di Indonesia
i
ii
iii
HUKUM EKONOMI DIGITAL © 2019.
DI INDONESIA Isi buku sepenuhnya
tanggung jawab penulis.
Dr. Danrivanto Budhijanto, Hak Cipta dilindungi oleh
SH., LL.M in IT Law, FCBArb. undang-undang.
Desain Sampul
Hendra Kurniawan
iv
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
REPUBLIK INDONESIA
v
lantas yang berlaku adalah hukum rimba sepenuhnya.
Buku Hukum Ekonomi Digital di Indonesia karya Pak
Danrivanto Budhijanto ini adalah salah satu bukti bahwa
perkembangan ekonomi digital tetap dapat terwadahi
dasar-dasar hukum positif di Indonesia, terutama jika
hukum ekonomi yang mewadahinya dipahami secara
lebih progresif.
Apalagi pada dasarnya hukum dasar negara kita
adalah konstitusi dengan landasan filosofis Pancasila. Dari
Pancasila kita mendapatkan pegangan untuk segala jenis
praktik hidup bernegara kita. Bung Karno pernah menyata-
kan bahwa jika lima sila dari Pancasila itu diperas, maka
inti di dalamnya adalah semangat gotong royong. Sema-
ngat ini sangat relevan dengan ekonomi digital, baik dalam
tataran filosofis maupun praktis. Para unicorn kita
menunjukkan bahwa kolaborasi dan gotong royong
ternyata dapat juga dipraktikkan dalam ekonomi yang
serbadigital ini.
Selain berefleksi atas tatanan hukum ekonomi baku,
buku ini juga menyumbang secara lebih jauh dengan
memunculkan wacana baru tentang hukum ekonomi digi-
tal yang nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bekal
memahami berbagai permasalahan hukum yang mungkin
tanpa preseden sebelumnya. Dinamika perubahan digi-
tal akan membawa kepada dialektika hukum yang
mungkin akan selalu membutuhkan perubahan dalam
perjalanannya, terus menerus tanpa henti. Dalam konteks
itulah pentingnya kehadiran buku ini, yaitu dalam
vi
menyumbang wacana dan mengisi celah akademis yang
diperlukan untuk saat ini.
Saya mengapresiasi jerih payah Pak Danrivanto untuk
menghadirkan karya yang tepat waktu ini, akan sangat
bermanfaat bagi perkembangan ekonomi digital di Tanah
Air.
Selamat membaca.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
vii
viii
Pengantar Penulis
ix
edge, while respecting applicable legal frameworks,
and working to build consumer trust, privacy, data
protection and intellectual property rights protec-
tion. We welcome the G20 Repository of Digital Poli-
cies to share and promote the adoption of innovative
digital economy business models. We recognize the
importance of the interface between trade and the
digital economy. We will continue our work on arti-
ficial intelligence, emerging technologies and new
business platforms.”
x
xi
Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai
dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada
data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja
yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan. Hasil
dari Survei Global McKinsey 2017 menunjukkan bahwa
peningkatan pangsa korporasi yang menggunakan data dan
analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertum-
buhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan
yang berbasis model bisnis data memerlukan kombinasi
strategi, budaya, dan organisasi yang tepat. Perusahaan
melakukan monetisasi data (data monetizing, data capi-
talization) sebagai alat pertumbuhan finansial. Walaupun
masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan
dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah
berada di depan perusahaan-perusahaan yang lainnya.
Ekonomi digital memiliki potensi peningkatan eko-
nomi kerakyatan di Indonesia dengan 3 pilar “berbagi”
yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai
kepercayaan (trust sharing), dan berbagi pengetahuan (in-
tellectual sharing). Ekononomi kerakyatan adalah konsep
dalam upaya mengimplementasikan kedaulatan negara
(rakyat) di bidang ekonomi. Mubyarto merumuskan sistem
ekonomi yang berkeadilan sosial yaitu sistem ekonomi
nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
atas asas kekeluargaan, mengandung prinsip-prinsip
pemanfaatan hak milik yang merupakan anjuran atau
norma-norma perilaku manusia sebagai berikut:1
1 Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, (Jakarta:
LP3ES, 1987), hlm. 215-216.
xii
1. Memperhatikan dan mengutamakan kepentingan
negara dan kepentingan masyarakat;
2. Menempatkan kepentingan bersama di atas kepen-
tingan pribadi dan golongan;
3. Adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang
lain; dan
4. Tidak menggunakan hak milik pribadi untuk usaha-
usaha yang bersifat memeras orang lain, untuk hal-
hal yang bersifat pemborosan dan untuk kehidupan
yang bersifat mewah, atau perbuatan-perbuatan lain
yang bertentangan dengan dan merugikan kepen-
tingan umum.
xiii
5. Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progresif
sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi
penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di
tengah-tengah masyarakat, selain itu penerapan pajak
penghasilan dan kekayaan progresif itu juga diper-
lukan sebagai upaya untuk terus menerus membentuk
dana jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang
rentan.
xiv
xv
tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.4 Trio teore-
tikus sepanjang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato
akan terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika
mereka masih bisa menjadi saksi hidup dari Revolusi
Industri 4.0. Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak
hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis,
sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah
mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat
mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat
pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan
teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel memberikan
ketegasan hal dimaksud sebelum membahas uraian
pemikirannya dalam History Lessons for a General Theory
of Law and Technology yaitu:5
“The marvels of technological advance are not al-
ways risk- free. Such risks and perceived risks often
create new issues and disputes to which the legal sys-
tem must respond.” (Dicetak tebal oleh Penulis)
xvi
atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian menu-
rut Sunaryati, pengertian atau konotasi Economisch Recht
di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law
di Amerika Serikat.6 Sunaryati Hartono memberikan suatu
pemahaman bahwa Hukum Ekonomi Pembangunan
adalah bagaimana peranan Pemerintah sebagai unsur
pembaharu dan pemberi arah kepada pembangunan
ekonomi itu lebih menonjol.7 Sunaryati menjelaskan pula
Hukum Ekonomi Sosial tekanannya adalah pada pem-
bagian pendapatan nasional secara adil dan merata,
memelihara, dan meningkatkan martabat kemanusiaan
manusia Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi
dimaksud.8 Perkembangan teknologi informasi yang
berbasis infrastruktur digital di Indonesia menjadikan
pemahaman teoritikal dan praktikal Sunaryati tentang
Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Eko-
nomi Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah kese-
luruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang
secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi
digital di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital.
Hukum Ekonomi Digital didekati dan dibahas melalui
pendekatan teori hukum, legislasi, dan regulasi sehingga
dapat dicapainya tujuan masyarakat informasi di Indone-
sia yang bersumber kepada Pancasila dan berdasar
xvii
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hukum Ekonomi
Digital adalah platform untuk mengantisipasi percepatan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pemanfaatan
infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan
inovasi teknologi informasi yang masif. Buku ini diawali
dengan pemahaman Teoretikal Hukum Ekonomi Digital
yaitu teori hukum ekonomi digital; hukum, legislasi dan
regulasi; asas-asas hukum ekonomi digital; kaidah dan
norma hukum ekonomi digital; dan institusionalisasi
hukum ekonomi digital. Pembahasan berikutnya adalah
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0
(konsepsi keadilan, konsepsi kepastian hukum, konsepsi
ketertiban, konsepsi kemanfaatan); kemudian Fungsi
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 (per-
sonal, sosial,transaksional, nasional dan global); dan Peran
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 serta
ditutup dengan pembahasan tentang Legislasi dan
Regulasi Ekonomi Digital Indonesia yaitu revolusi finansial
digital dan Big Data; transaksi finansial dalam yurisdiksi
virtual; dan regulasi teknologi finansial (fintech) di Indo-
nesia.
Buku ini merupakan bentuk syukur dan penghargaan
untuk seluruh ilmu pengetahuan dari para mahaguru
Penulis, terutamanya dalam memahami cyberlaw dan tek-
nologi informasi serta hukum ekonomi di Indonesia yaitu
Prof. Dr. Mieke Komar Kantaatmadja, Prof. Dr. E. Saefullah
Wiradipradja, Prof. Dr. C.F.G Sunaryati Hartono, Prof.
Dr. Ahmad Ramli, Dr. Budi Rahardjo, dan Dr. Dimitri
Mahayana.
xviii
Materi-materi yang disusun dan dimuat dalam Buku
ini didasarkan kepada rujukan dari tulisan-tulisan ilmiah
berbentuk buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian, kamus
dan karya tulis lain termasuk naskah akademik, baik dalam
format cetak maupun virtual dimana seluruh Hak Cipta
yang melekat sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang
bagi para penulisnya.
Buku ini tentu tidak akan pernah dapat terwujud
dengan tanpa izin dan ridha Allah SWT karenanya dihatur-
kan terima kasih dan penghargaan bagi seluruh pihak yang
dengan telah ikhlas membantu dengan tulus. Namun
izinkan Penulis secara khusus menghaturkan terima kasih
atas kebaikan dan bantuan yang luar biasa kepada Aep
Gunarsa sebagai Editor dan Hendra Kurniawan sebagai
Desainer Sampul. Penulis haturkan pula terima kasih
kepada Penerbit LoGoz.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Buku ini
hanyalah sebagian kecil dari keinginan untuk memahami
samudera ilmu-Nya Yang Maha Luas oleh karenanya
kekurangan adalah suatu kenyataan. Besar harapan dari
Penulis bahwa saran dan masukan dapatlah diberikan
sebagai upaya untuk lebih meningkatkan pemahaman atas
kebesaran dan keimanan kepada Allah SWT.
Danrivanto Budhijanto
xix
xx
Senarai Isi
BAB I
TEORETIKAL HUKUM EKONOMI
DIGITAL DI INDONESIA ......................................... 1
A. Teori Hukum Ekonomi Digital ......................... 17
B. Hukum, Legislasi dan Regulasi ........................ 26
C. Asas-Asas Hukum Ekonomi Digital .................. 31
D. Kaidah dan Norma Hukum Ekonomi Digital .... 36
E. Institusionalisasi Hukum Ekonomi Digital ......... 44
BAB II
HUKUM EKONOMI DIGITAL
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0 ........................ 55
xxi
A. Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ............................. 60
1. Konsepsi Keadilan .................................... 79
2. Konsepsi Kepastian Hukum ...................... 89
3. Konsepsi Ketertiban.................................. 92
4. Konsepsi Kemanfaatan ............................. 94
B. Fungsi Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 104
1. Fungsi Personal ...................................... 108
2. Fungsi Sosial .......................................... 113
3. Fungsi Transaksional .............................. 123
4. Fungsi Nasional dan Global.................... 125
C. Peran Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 128
BAB III
LEGISLASI DAN REGULASI
EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA ................... 145
A. Revolusi Finansial Digital dan Big Data .......... 146
B. Regulasi Teknologi Finansial (FinTech)
di Indonesia ................................................. 158
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial ................................ 162
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang
Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox)
Teknologi Finansial ................................ 166
xxii
3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi,
dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial ................................ 170
4. Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018
tentang Inovasi Keuangan Digital
di Sektor Jasa Keuangan .......................... 172
LAMPIRAN
I. UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan TransaksiElektronik ...... 209
II. UU No. 19 Tahun 2016 tentangPerubahan
AtasUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ..... 249
III. Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017
tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial .. 271
IV. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba
Terbatas (Regulatory Sandbox)
Teknologi Finansial ....................................... 297
xxiii
V. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara
Pendaftaran, Penyampaian Informasi,
dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial ....................................... 317
VI. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan ..................... 333
xxiv
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB 1
TEORETIKAL HUKUM EKONOMI
DIGITAL DI INDONESIA
1
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
2
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
3
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
4
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
5
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
6
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
7
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
8
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
9
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
10
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
11
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
12
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
13
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
14
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
15
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
16
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
behind each of the new trends in law, including law and economics, is ‘a
brooking doubt about whether law deserves a privileged place in resolv-
ing conflict and ordering society”.
48 C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Binacipta-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman,
Bandung, 1988, hlm. 45-46.
49 Id., hlm. 42-43
50 Idem
17
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
18
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
19
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
20
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
21
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
22
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
23
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
24
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
65 Idem, hlm. 98
66 Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional Methodolgy
of Comparative Legal Studies and An Example from Private International
Law”, Cardozo Journal of International and Comparative Law, Fall 2005.
67 James Gordley, “Is Comparative Law a Distinct Discipline?”, 46 Am. J.
Comp. L. 607 (1998).
25
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
26
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
27
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
28
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
29
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
76 Id.
77 Id.
30
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
31
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
32
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
33
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
34
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
35
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
36
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
37
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
38
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
39
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
40
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
91 Contoh berkenaan dengan penggunan the local loop atau local cable-
based networks. Lihat Knieps, “Deregulation in Contestable and Non-
Contestable Markets:Interconnection and access” (2000) 23 Fordham
International Law Journal 90 dan Kearney and Merrill, “TheGreat Trans-
formation of Regulated Industries Law” (1998) 98 Columbia Law Review
1323.
92 Lihat Report of OECD Roundtable on Regulation and Competition Issues
in Broadcasting in the Light of Convergence DAFFE/CLP(99)1 (1999).
93 Lihat Judge R Posner, “The Effects of Deregulation on Competition: The
Experience of the United States “(2000) 23 Fordham International Law
Journal S 7, beliau menyampaikan pendapat: “Because deregulation
contemplates the substitution of competition for regulation as the ‘regu-
lator’ of the deregulated markets, deregulation increases the importance
of antitrust law as a means of preventing unregulated firms from eliminat-
ing competition amongst themselves by mergers or price-fixing agree-
ments .... It is important that ‘competition’ be understood in its correct
economic sense, lest antitrust become another form of regulation. Com-
petition is not a matter of many sellers or low prices or frequent changes
in prices or market shares. It is properly regarded as the state in which
resources are deployed with maximum efficiency, and it is not so much
the existence of actual rivalry, let alone any specific market or structure or
behavior, as the potential for rivalry, that assures competition. The proper
role of antitrust law is to protect that potential by limiting mergers, pre-
venting the formation and operation of cartels and other horizontal price-
fixing or market-dividing agreements or modalities, and, to a limited
extent, preventing abusive tactics by individually powerful firms”.
41
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
42
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
43
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
44
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
45
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
46
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
47
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
48
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
49
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
50
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
51
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
52
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
53
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
54
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
BAB 2
HUKUM EKONOMI DIGITAL
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
55
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
56
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
57
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
58
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
113 https://kumparan.com/rudiantara/timing-untuk-revisi-uu-ite
59
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
60
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
61
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
62
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
63
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
64
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
65
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
66
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
67
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
118 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-
gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum
Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema
Institute, Jakarta, 2012, hlm. 122.
119 Id.
120 Id.
121 Ibid, hlm. 123.
68
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
69
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
70
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
126 Thomas Ian McLoud, Legal Theory, Macmillan, 1999, hlm. 9 seba-
gaimana dimuat oleh Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi,
Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 10.
71
72
73
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
74
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
75
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
76
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
128 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law and
Technology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology,
Vol. 8:2, 2007, hlm. 551.
129 Teori Hukum Pembangunan dikembangkan di Universitas Padjadjaran;
Studi Hukum Kritis oleh ESLAM dengan tokohnya Soetandyo
Wignjosubroto dan Ifdal Kasim; dan Cita Hukum Pancasila atau Filsafat
Hukum Pancasila di Universitas Parahyangan Bandung.
77
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
78
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
1. Konsepsi Keadilan
Di samping analisis atas pengertian-pengertian teknikal
yuridik (konsep yuridik), juga analisis atas pengertian-
pengertian dan konsep-konsep dalam Teori Hukum dan
Filsafat Hukum dapat sangat produktif dan menjernihkan.
Di sini suatu konfrontasi dengan teknik hukum adalah
dengan Dogmatika Hukum yaitu antara hukum positif dan
dengan praktik hukum, terutama akan merupakan metode
yang paling disarankan bagi teoretisi hukum untuk menam-
pilkan pengertian-pengertian secara lebih tajam dan menguji
kegunaan mereka.
Beberapa pengertian, seperti “keadilan” (rechtvaardig-
heid atau gerechtigheid) telah menjadi sebab yang meng-
hadirkan suatu kepustakaan yang melimpah. Analisis-
analisis atas pengertian persamaan (gelijkheidsbegrip) juga
di sini terkait erat padanya, seperti “kebebasan”, “kepastian
hukum”, “kelayakan” (billijkheid), “negara hukum” (rule of
law). Kepustakaan yang dicurahkan pada pengertian-
pengertian ini tidak cukup diberikan perhatian pada suatu
analisis yang cermat dan uraian pengertian (begripsom-
schrijving) atas pengertian-pengertian yang dipersoalkan. Di
130 Sumber: Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Principle,
Lawbook Co, New South Wales, 2004, hlm. 15, Lihat Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat
Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama
dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006 yang memuat pemikiran-
pemikirannya yaitu Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional; dan Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan
Hukum Nasional: Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan
Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia. Lihat pula Gary Minda,
“The Jurisprudential Movements of the 1980’s”, Ohio State Journal, 1989.
79
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
80
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
81
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
82
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
83
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
84
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
85
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
134 Id.
86
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
135 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-
nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988.
87
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
136 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-
nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988.
88
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
89
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
90
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
138 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 56.
139 John Austin menggangap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap
dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas tidak
dapat dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai
yang baik atau buruk.
140 Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law & State, Transaction Pub-
lishers, New Jersey, 2006.
91
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
3. Konsepsi Ketertiban
Aristoteles yang membahas hukum dalam berbagai konteks,
tidak pernah memberikan suatu definisi formal tentang
hukum. Ia menulis dengan cara yang berbeda-beda bahwa
hukum adalah “suatu jenis ketertiban, dan hukum yang
baik adalah ketertiban yang baik” (Politics 1326a), “akal
yang tidak dipengaruhi oleh nafsu” (ibid. 1287a), dan “jalan
tengah” (ibid. 1287b). Namun, semuanya itu tidak dapat
dianggap sebagai suatu definisi, melainkan sebagai ciri-ciri
(karakterisasi) hukum yang dimotivasi oleh sesuatu yang
mau dikemukakan oleh Aristoteles dalam konteks tertentu.
Mengikuti pendapat Plato, Aristoteles menolak pan-
dangan kaum Sofis yang berpendapat bahwa hukum itu
adalah hanya konvensi saja. Di dalam suatu komunitas yang
sejati –sebagaimana yang dibedakan dari suatu aliansi, yang
di dalamnya hukum hanya sekadar suatu “covenant”–
hukum berkaitan dengan kebajikan moral (moral virtue,
keutamaan moral) dari para warga masyarakat. Aristoteles
secara tajam membedakan antara konstitusi (politeia) dan
aturan-aturan hukum (nomoi); konstitusi berkaitan dengan
organisasi jabatan-jabatan di dalam negara, sedangkan
aturan aturan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang
berdasarkannya para pejabat harus menjalankan penge-
lolaan negara, dan mengambil tindakan terhadap para
pelanggarnya (ibid. 1289a). Konstitusi suatu negara dapat
saja mengarah pada demokrasi, walaupun kaidah-kaidah
hukumnya diterapkan dalam semangat oligarki dan sebalik-
nya (ibid. 1292b). Perundang-undangan seyogianya diarah-
92
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
93
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
4. Konsepsi Kemanfaatan
Penetapan sebuah undang-undang, penutupan sebuah
kontrak, dan penyerahan (pengalihan, transfer) pemilikan
atau hak-hak lain dengan penggunaan perkataan-
perkataan, tertulis atau lisan, adalah contoh-contoh dari
transaksi hukum (legal transaction) yang telah dimungkinkan
oleh adanya tipe-tipe aturan hukum tertentu dan dapat
didefinisikan dalam kerangka aturan-aturan demikian. Bagi
beberapa pemikir, transaksi-transaksi (tindakan dalam
hukum [act in the law] atau perbuatan hukum [juristic act])
yang demikian tampak misterius –beberapa orang bahkan
telah menyebut mereka “magical”– karena mereka menga-
kibatkan perubahan kedudukan hukum para individu atau
terciptanya atau hapusnya undang-undang.
Karena, dalam hampir semua sistem hukum modern,
perubahan perubahan demikian biasanya ditimbulkan
94
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
95
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
96
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
97
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
98
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
99
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
100
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
101
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
102
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
103
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
141 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-
gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum
Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema In-
stitute, Jakarta, 2012, hlm. 122.
104
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
105
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
106
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
144 Schwab, Klaus. “The Fourth Industrial Revolution.” Foreign Affairs. Akses
pada tanggal 9 Agustus 2018 melalui https://www.foreignaffairs.com/
articles/2015-12-12/fourth-industrial-revolution.
107
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
1. Fungsi Personal
Manusia hari ini berdiri di tepi revolusi teknologi yang pada
dasarnya akan mengubah cara hidup, bekerja, dan berhu-
bungan satu sama lain. Dalam skala, ruang lingkup, dan
kerumitannya, transformasi tidak akan seperti yang pernah
dialami manusia sebelumnya. Perlu dipahami bahwa
respons terhadapnya harus terintegrasi dan komprehensif,
melibatkan semua pemangku kepentingan dari peme-
rintahan secara global, dari sektor publik dan swasta hingga
108
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
109
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
110
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
111
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
112
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
2. Fungsi Sosial
Revolusi Industri 4.0 telah mengubah cara kita hidup,
bekerja, dan berkomunikasi yang mengkonstruksi ulang
peran pemerintah, pendidikan, perawatan kesehatan, dan
perdagangan pada hampir setiap aspek kehidupan. Manusia
di masa depan mengubah hal-hal yang dihargai dan cara
113
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
114
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
115
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
116
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
units/understand-the-impact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-
society-and-individuals#
117
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
118
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
119
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
120
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
121
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
122
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
dan apa yang Anda hargai saat revolusi ini terungkap sangat
penting. Dunia yang kita ciptakan melalui teknologi dapat
membentuk kehidupan kita dan merupakan yang kita
teruskan ke generasi berikutnya, sebagaimana ditegaskan
oleh Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution
bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise
humanity’s traditional sources of meaning –work, commu-
nity, family, and identity– or it can lift humanity into a new
collective and moral consciousness based on a sense of
shared destiny. The choice is ours.”
3. Fungsi Transaksional
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada transaksi bisnis
bahwa percepatan inovasi dan kecepatan disrupsi yang sulit
untuk dipahami atau diantisipasi dan kendali ini merupakan
sumber kejutan konstan, bahkan untuk yang paling ter-
hubung dan paling terinformasi dengan baik. Hampir di
semua industri ditemui ada bukti yang jelas bahwa teknologi
yang mendukung Revolusi Industri 4.0 memiliki dampak
besar pada bisnis. Di sisi penawaran, banyak industri melihat
pengenalan teknologi baru yang menciptakan cara-cara
baru sepenuhnya untuk melayani kebutuhan yang ada dan
secara signifikan menjadi disrupsi rantai nilai industri yang
ada. Kemudian disrupsi juga mengalir dari pesaing inovatif
yang gesit, yang berkat akses ke platform digital global untuk
penelitian, pengembangan, pemasaran, penjualan, dan
distribusi, dapat mendorong petahana mapan lebih cepat
dari sebelumnya dengan meningkatkan kualitas, kecepatan,
atau harga.
123
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
124
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
125
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
126
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
127
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
128
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
129
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
130
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
131
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
132
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
133
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
134
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
135
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
136
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
137
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
138
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
156 Id.
139
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
157 Id.
140
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
141
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
142
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
143
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
144
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB 3
LEGISLASI DAN REGULASI
EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
145
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
158 https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-and-virtual-
currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15
146
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
147
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
148
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
149
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
162 https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-
insights/fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-
mip-mck-oth-1712, diakses pada tanggal 27 Desember 2017.
150
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
151
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
152
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
153
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
154
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
163 https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-dna-tiga-
fokus-reformasi-kebijakan-tik,diakses pada tanggal 12 Desember 2017.
155
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
164 https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-fintech-
menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-indonesia/0/berita_satker,
diakses pada tanggal 12 Desember 2017.
156
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
157
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
158
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
159
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
160
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
161
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
166 https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-aturan-soal-
fintechs, diakses pada tanggal 7 Desember 2017.
162
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
163
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
164
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
165
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
166
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
167
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
168
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
169
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
170
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
171
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
172
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
167 https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-aturan-
baru-soal-fintech-ini-isinya
173
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
174
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
175
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
176
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
SENARAI PUSTAKA
177
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
178
SENARAI PUSTAKA
179
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
180
SENARAI PUSTAKA
181
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
182
SENARAI PUSTAKA
183
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
184
SENARAI PUSTAKA
185
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
186
SENARAI PUSTAKA
187
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Sumber Lain
http://www.internetworldstats.com/stats.htm.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=
S0103-65132018000100401#B029.
https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-
aturan-soal-fintechs
https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-
aturan-baru-soal-fintech-ini-isinya
188
SENARAI PUSTAKA
https://www.foreignaffairs.com/articles/2015-12-12/fourth-
industrial-revolution.
http://www.legalitas.org/artikel/alat/bukti/elektronik/
dokumen/elektronik/kedudukan/nilai/derajat/
kekuatan/pembuktiannya/hukum
https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-
dna-tiga-fokus-reformasi-kebijakan-tik
https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-
fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-
indonesia/0/berita_satker
https://trailhead. salesforce.com/en/modules/impacts-of-the-
fourth-industrial-revolution/units/understand-the-im-
pact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-society-
and-individuals#
https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-
and-virtual-currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15
https://www.intel.com/content/www/us/en/silicon-innova-
tions/moores-law-technology.html
https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-
analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-
monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712
https://www.weforum. org/agenda/2016/01/the-fourth-in-
dustrial-revolution-what-it-means-and-how-to-re-
spond
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-
trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-
trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/
189
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
https://www.weforum.org/agenda/2017/02/ethics-2-0-how-
the-brave-new-world-needs-a-moral-compass
https://www.weforum.org/agenda/2017/06/the-fourth-indus-
trial-revolution-is-about-people-not-just-machines
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang R.I. No 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
The Singapore Evidence Act 2006.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucuian Uang
Dutch Electronic Signature Act 2001
Nieuwe Regeling van Het Bewijsrecht in Burgelijke Zaken,
1988
Dutch Civil Code
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHPerdata
HIR / RBg
190
GLOSARIUM
Glosarium
191
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
192
GLOSARIUM
193
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
194
GLOSARIUM
195
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
bisnisnya.
Start-up : Serapan dari bahasa Inggris yang
menun-jukkan sebuah bisnis yang baru
dirintis atau perusahaan rintisan, yang
merujuk pada semua perusahaan yang
belum lama beroperasi.
Teknologi Finansial (FinTech) : Penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis baru serta dapat berdampak
pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran,
keamanan, dan keandalan sistem
pembayaran.
196
INDEKS
Indeks
B D
Basil Markesinis 25, 26 data 47, 62, 117, 121, 124, 125,
behaviorisme 89 139, 146, 149, 150, 151, 152,
Belvedere 60 153, 154, 165, 172, 175, 176
biaya 8, 37, 111, 148, 176 David Hume 99
197
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
F J
Facebook 64, 144, 120, 133 J.W. Salmond 103
fairness 28, 29 Jeremy Bentham 99, 100
Felix Cohen 90 Jerome Frank 89
filsafat 23, 65, 68, 73, 74, 89, 100, John Austin 33, 101, 102, 103
132 John Rawls 32
fintech 146, 149, 156, 157, 158, John Stuart Mill 99, 100
162, 174, 175 joint venture 52
Fred Rodell 90 Joseph W. Bingham 89
Friedmann 88
G K
kaidah 17, 20, 23, 26, 30, 31, 65,
globalisasi 44, 46, 90 68, 69, 81, 82, 89, 92, 94, 96,
Google 133, 140 101, 103, 129, 141
Gray 103, 104 Kant 99
Gregory N. Mandel 19, 76 karir 47, 58, 118
Karl Marx 84
198
INDEKS
kebiasaan 65
Khaitan 61 M
Klaus Schwab 107, 108, 114, 120, martabat 29, 31, 58, 64
123, 132 Max Tegmark 116
komersial 51, 52 Maynard 60
kompetisi 36, 37, 40, 41, 42, 43 mazhab 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15,
konservatif 11 16, 77
konstitusi 134 McCalley 61
konsumen 43, 48, 49, 62, 110, 124, metodologi 2, 3, 4, 5, 10, 15
127, 156, 164, 167, 175, 175, miskin 17, 47
176 Mochtar Kusumaatmadja 22, 23,
kontrak 15, 50, 65, 98, 99, 102, 24, 49, 67, 68, 69, 104, 128
105, 158, 159, 161 monetisasi 149, 151, 152, 153, 154
konvergensi 25, 34, 35, 36, 41, 42, monopoli 41, 42
43, 44, 45, 46, 51, 59, 68, 131, moral 63, 65, 71, 74, 77, 80, 82,
132 87, 88, 92, 99, 102, 132, 135
koperasi 57 Morris R. Cohen 89
korporasi 58, 59, 149, 150, 151, Mubyarto 56, 57
152, 153, 154 multilateral 52
krisis 17, 62
kuasi 42
N
L Nick Bostrom 133
nominalisme 89
landreform 57 norma 4, 56, 64
Lawrence Lessig 145
Laws 81
legal alchemy 95
legal culture 83, 85
O
legal justice 93 onderwerp 66
legal reform 100 order 104
legal structure 83 ortodoks 3, 4
legal substance 83 Otje Salman 22, 68
legal system 19, 77 otomatisasi 47
legal transaction 94
legislasi 19, 35, 43, 58, 59, 63, 130,
160 P
legitimasi 16, 74
lembaga 23, 51, 69, 74, 105, 121, pajak 57
129 Pancasila 23, 68, 69, 77
Leon Green 90 paradoks 19
Lewis Kornhauser 7, 8, 9, 10 pelopor 3, 5, 8
lex mercatoria 33 perempuan 47
Liao 61 perseroan 50
Lili Rasjidi 22, 23, 67, 68 perspektif 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15,
logical positivism 12 34, 47, 60
199
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
200
INDEKS
U
Uber 135
universal 11, 12, 13, 15, 16, 28,
43, 90
utilitas 100, 102
utopian 139
V
viral 113
virtual 106, 114, 119, 121, 149,
156, 164
W
Walter Nelles 90
WhatsApp 148
White Paper 63
William Paley 102
William Twining 28, 31, 90
Wimboh Santoso 173
Y
yudisial 93, 103
yuridis 91
yurisdiksi 52, 106, 149, 160
yurisprudensi 131, 161
Yuval Harari 135, 138
201
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
202
LAMPIRAN
Lampiran
203
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
204
LAMPIRAN
205
206
https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/
fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712
208
209
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
210
LAMPIRAN
211
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
212
LAMPIRAN
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,
baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-
hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksana-
kan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masya-
rakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang
untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang peng-
gunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal
mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi
pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
213
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan
dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Infor-
masi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada
padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim
dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem
Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah
memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali
Pengirim.
214
LAMPIRAN
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elek-
tronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar ber-
kaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elek-
tronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Kean-
dalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya
kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa
Penanda Tangan;
215
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan
Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati- hatian
untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap
data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, meng-
gunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatut-
nya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang
oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan
Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda
Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat
menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat
bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
216
LAMPIRAN
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK
DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Serti-
fikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keter-
kaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum
Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di
Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus menyediakan
informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa,
yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan;
217
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyeleng-
garakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertang-
gung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik
sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesa-
lahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri,
setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan
Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum seba-
gai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi
yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami
oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur
atau petunjuk.
218
LAMPIRAN
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam
lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elek-
tronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi
Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada
asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Inter-
nasional.
219
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus meng-
gunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim
telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik
sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui
Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelak-
sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para
pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal berope-
rasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara
langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal ber-
operasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna
jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
220
LAMPIRAN
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur
pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memung-
kinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih
dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN
PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip
pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak
melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak
melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masya-
rakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara
tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pemba-
talan Nama Domain dimaksud.
Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masya-
rakat.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh
masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih sementara
pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indone-
sia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui kebera-
daannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan.
221
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun
menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang
ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual ber-
dasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang- undangan,
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas per-
setujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang
ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
222
LAMPIRAN
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi an-
caman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik
Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau
menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari,
ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan peru-
223
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengu-
rangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memin-
dahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada
Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meng-
akibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya
Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi
tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan,
mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang diran-
cang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi
224
LAMPIRAN
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilang-
an, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Or-
ang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada
di wilayah yurisdiksi Indonesia.
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terha-
dap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan
225
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki
data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya
serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepen-
tingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai
dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Tekno-
logi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
226
LAMPIRAN
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang- Undang ini.
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Peja-
bat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus seba-
gai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elek-
tronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan,
kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik
yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas
izin ketua pengadilan negeri setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeli-
haranya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini;
227
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
228
LAMPIRAN
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-
undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
229
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara pal-
ing lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama
230
LAMPIRAN
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual ter-
hadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk
layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah
sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk
dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral,
perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas pener-
bangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana
dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan
pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
231
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
ANDI MATTALATA
232
LAMPIRAN
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah
mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia
secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas
(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan
budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi
Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan,
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan
melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan
hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law,
secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian
pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konver-
gensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.
Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi
(law of information technology), hukum dunia maya (virtual world
law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat
kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem
komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan
memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang
merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Perma-
salahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elek-
tronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer
dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan
perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan teleko-
munikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak
233
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
234
LAMPIRAN
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-
mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/
atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku
235
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 3
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi peman-
faatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala
sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat-
kan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung
proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersang-
kutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi
mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak
lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik.
“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak
dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk
secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengaki-
batkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak
lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti
asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga
dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
Pasal 4
Cukup jelas.
236
LAMPIRAN
Pasal 5
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang
digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau
dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada
hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke
dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam ling-
kup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya
tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik
pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang
mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi
dari salinannya.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan
timbulnya suatu hak.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar”
meliputi:
237
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 10
Ayat (1)
Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa
pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elek-
tronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit
dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi
Keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi
berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas
bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda
Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan
tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuat-
an hukum dan akibat hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupa-
kan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap
Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesem-
patan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengem-
bangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda
Tangan Elektronik.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur
tentang teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda
Tangan Elektronik.
238
LAMPIRAN
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah infor-
masi yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara
Tanda Tangan Elektronik.
Pasal 15
Ayat (1)
“Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
“Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik
dan nonfisik.
“Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik
memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya.
Ayat (2)
“Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang
bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap peman-
faatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara
baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar
dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masya-
rakat.
239
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kon-
trak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik
dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai
hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.
Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat
dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan
penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata
internasional (HPI).
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang
berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata inter-
nasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku
pada kontrak tersebut.
Ayat (4)
Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak inter-
nasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah
forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat
berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya.
Ayat (5)
Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewe-
nangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum
perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas
tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efek-
tivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat
berada (principle of effectiveness).
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga
mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem
Elektronik yang bersangkutan.
240
LAMPIRAN
Pasal 20
Ayat (1)
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara
para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data,
identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification
number/PIN) atau sandi lewat (password).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini
sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang membe-
rikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk
melakukan perubahan atas informasi yang disampaikannya,
misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi
ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama
(first come first serve).
241
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun
dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten,
merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib
dilindungi oleh Undang-Undang ini dengan memperhatikan
ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data
pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (pri-
vacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai
berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan
pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat
berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan
242
LAMPIRAN
memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimak-
sud pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain dengan:
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan
atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut
kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya;
atau
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak
dapat atau gagal diterima oleh yang berwenang mene-
rimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
Ayat (3)
Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses
Komputer atau melarang akses ke dalam Komputer dengan
berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta
tingkatan kewenangan yang ditentukan.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah
243
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah pene-
litian yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang
memiliki izin.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
244
LAMPIRAN
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat” merupakan lembaga yang bergerak di bidang
teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
245
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang
memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
246
LAMPIRAN
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap per-
buatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang
dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh
pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk:
a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi;
c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam
korporasi;
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
247
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
248
LAMPIRAN
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),
Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2),
dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
249
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka,
yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data in-
terchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), tele-
gram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilaku-
kan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengum-
pulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengu-
mumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
250
LAMPIRAN
251
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
252
LAMPIRAN
“Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik
yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan
atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan
Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan.
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan
mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan
pemerintah.”
253
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
“Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elek-
tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebab-
kan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau peng-
hentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewe-
nangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-
undang.”
6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah;
serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elek-
tronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban
umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
254
LAMPIRAN
7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan
ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat
(1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Peme-
rintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewe-
nang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
255
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
256
LAMPIRAN
257
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
“Pasal 45
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/
atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
delik aduan.
258
LAMPIRAN
Pasal 45A
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menye-
barkan berita bohong dan menyesatkan yang mengaki-
batkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelom-
pok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 45B
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).”
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
259
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 25 November 2016
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 25 November 2016
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
260
LAMPIRAN
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan
berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan
dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan keter-
tiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk
legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang
meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya,
perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa
kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor
5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/
2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan
261
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
262
LAMPIRAN
263
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Doku-
men Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti
yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang
berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan
melalui Sistem Elektronik.
Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau
perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan
harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
264
LAMPIRAN
Ayat (4)
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang
digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan
data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi
(privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian
sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati
kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam
gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat
berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan
memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
265
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Angka 4
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah
mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau
berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui
Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah
semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan men-
transmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebab-
kan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dapat diketahui pihak lain atau publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pence-
maran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ayat (4)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan peme-
rasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Angka 5
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan”
adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, mem-
belokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elek-
tronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,
seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
266
LAMPIRAN
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 40
Ayat (1)
Fasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi, termasuk tata
kelola Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang
aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif.
Ketentuan ini termasuk memfasilitasi masyarakat luas,
instansi pemerintah, dan pelaku usaha dalam
mengembangkan produk dan jasa Teknologi Informasi
dan komunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu” adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil kemen-
terian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
267
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
268
LAMPIRAN
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 45A
Cukup jelas.
Pasal 45B
Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perun-
dungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung
unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengaki-
batkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.
269
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
270
LAMPIRAN
271
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
272
LAMPIRAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang
aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial
untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-
273
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
a. sistem pembayaran;
b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e. jasa finansial lainnya.
(2) Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kriteria:
a. bersifat inovatif;
b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis finansial yang telah eksis;
c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
d. dapat digunakan secara luas; dan
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Teknologi Finansial
mencakup:
a. pendaftaran;
b. Regulatory Sandbox;
c. perizinan dan persetujuan; dan
d. pemantauan dan pengawasan.
BAB III
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melakukan Pendaftaran
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang akan atau telah melaku-
kan kegiatan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) wajib melakukan pendaftaran pada Bank
Indonesia.
274
LAMPIRAN
Pasal 6
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial
tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia.
Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 7
(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dilakukan dengan menyampaikan permohonan tertulis kepada
Bank Indonesia oleh pihak yang berwenang mewakili Penye-
lenggara Teknologi Finansial.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dokumen berupa:
a. salinan akta pendirian badan hukum atau badan usaha;
b. data kepemilikan pada badan hukum atau badan usaha;
c. daftar susunan pengurus;
275
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 8
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia wajib:
a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai dengan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
dijalankan;
b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen
termasuk data dan/atau informasi transaksi;
c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehatihatian;
d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai mata uang;
e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan
f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-
lenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan
sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.
276
LAMPIRAN
Pasal 9
(1) Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) pada laman resmi Bank Indo-
nesia secara berkala.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 10
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial dan
tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial.
BAB IV
REGULATORY SANDBOX
Pasal 11
(1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi Finansial
untuk memastikan lebih lanjut bahwa produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya telah memenuhi kriteria
Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2), Bank Indonesia menyelenggarakan Regulatory Sandbox.
(2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat ditetapkan
masuk dalam Regulatory Sandbox harus merupakan Penyeleng-
gara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indone-
277
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penye-
lenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam
Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba
Penyelenggara Teknologi Finansial berupa:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem
pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang
memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori
sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial
dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta meng-
gunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan.
(5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis-
nya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pemba-
yaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji
coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada otoritas yang berwenang.
Pasal 13
(1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank Indo-
nesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi Penyelenggara
Teknologi Finansial.
278
LAMPIRAN
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN
Pasal 15
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori Penye-
lenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh izin dari
Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran, harus memenuhi aspek
kelayakan.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang
merupakan:
a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
b. pengembangan produk dan/atau aktivitas jasa sistem pem-
bayaran, namun tidak memenuhi kriteria Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), sebelum
melanjutkan pemasaran produk dan/atau layanan serta meng-
gunakan teknologi dan/atau model bisnisnya, harus terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
279
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB VI
PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penye-
lenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indo-
nesia.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang
diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan tata cara
penyampaian data dan/atau informasi diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyeleng-
gara Teknologi Finansial berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pem-
bayaran yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan dari
Bank Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur menge-
nai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
BAB VII
KERJA SAMA PENYELENGGARA JASA SISTEM
PEMBAYARAN DENGAN PENYELENGGARA
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 18
(1) Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus terlebih dahulu mem-
peroleh persetujuan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja sama
dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak melaku-
kan pendaftaran dan/atau perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2).
280
LAMPIRAN
BAB VIII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Pasal 19
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indo-
nesia berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan:
a. otoritas lain di dalam negeri; dan/atau
b. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau
lembaga internasional.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pertukaran data dan informasi terkait kelembagaan,
transaksi, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
b. pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang terkait
dengan Teknologi Finansial; dan/atau
c. hal lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia dan
otoritas lain.
BAB IX
SANKSI
Pasal 20
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal
5 ayat (4) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan usaha;
c. tindakan tertentu terkait penyelenggaraan kegiatan sistem
pembayaran; dan/atau
d. rekomendasi kepada otoritas yang berwenang untuk men-
cabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwe-
nang dimaksud.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat
(2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), dan/
atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penghapusan dari daftar Penyelenggara Teknologi Finansial
di Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-
tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26
281
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 21
Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) merupakan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20
ayat (2) juga dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
Pasal 22
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-
tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26, selain
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (3) juga dapat dikenakan sanksi berupa perintah untuk
menghentikan kerja samanya.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau reko-
mendasi kepada otoritas yang berwenang dalam hal Penyelenggara
Teknologi Finansial melanggar Peraturan Bank Indonesia ini atau
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan untuk penye-
lenggaraan Teknologi Finansial.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-
lenggaraan Teknologi Finansial; dan/atau
282
LAMPIRAN
Pasal 25
Pelaksanaan tugas di Bank Indonesia terkait penyelenggaraan
Teknologi Finansial dilakukan oleh unit kerja yang melaksanakan
fungsi pengelolaan Teknologi Finansial.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan
identifikasi adanya kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi
Finansial; dan
b. dalam hal terdapat kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang belum terdaftar, Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib memastikan kerja sama tersebut memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lama
6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) bulan terhitung
sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
283
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2017
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
YASONNA H. LAOLY
284
LAMPIRAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/ 12 /PBI/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL
I. UMUM
Inovasi teknologi dan penetrasinya dengan fitur finansial terus
berlangsung dan menandai munculnya momentum transformasi di
dunia finansial. Era digitalisasi ekonomi memicu penggunaan tekno-
logi internet, telepon pintar, dan big data hingga ke level konsumen
akhir secara lebih efisien, baik dari segi waktu, akses, maupun biaya.
Dalam konteks tersebut, arus digitalisasi ekonomi termasuk di dalam-
nya Teknologi Finansial memiliki potensi yang besar untuk mendorong
alokasi sumber daya ekonomi secara lebih efisien dan pada gilirannya
mendorong peningkatan produktivitas serta memberikan manfaat
yang lebih besar bagi masyarakat.
Di sisi lain, peleburan inovasi teknologi dengan fitur finansial
juga membawa risiko tersendiri. Fungsi konvensional cenderung
tereduksi perannya bahkan seringkali tergusur oleh fungsi baru yang
diperkenalkan oleh inovasi teknologi yang cenderung bersifat
mengganggu (disruptive).
Pemain baru bermunculan karena berkurangnya halangan untuk
masuk (barriers to entry) di industri keuangan. Pemain baru ini umum-
nya menjangkau segmen masyarakat dan/atau dunia usaha yang
rata-rata tidak atau belum tersentuh oleh sektor keuangan formal,
baik yang disebabkan oleh keterbatasan kapasitas jangkauan sektor
keuangan formal maupun belum atau tidak memenuhi kriteria mana-
jemen risiko yang dipersyaratkan secara baku oleh sektor keuangan
formal.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna pelaksanaan tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter,
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem
keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan melak-
sanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia
perlu menetapkan pengaturan, pengawasan, dan pemantauan terha-
dap penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pengaturan, pengawasan,
285
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penye-
lesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh
penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
sistem pembayaran antara lain penggunaan teknologi
blockchain atau distributed ledger untuk penyeleng-
garaan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik,
dan mobile payments.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah
Teknologi Finansial yang menggunakan teknologi
informasi dan/atau teknologi elektronik untuk mem-
fasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan lebih
murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa
keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan
286
LAMPIRAN
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam melakukan pendaftaran, Bank Indonesia memper-
hatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kegiatan usaha Penyelenggara Teknologi Finansial.
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
antara lain ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending).
Pendaftaran dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan
Teknologi Finansial dapat dipantau oleh Bank Indonesia
287
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi
Finansial antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk salinan akta pendirian badan hukum yaitu
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang dan perubahannya apabila ada.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
288
LAMPIRAN
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh data dan informasi lainnya antara lain fotokopi
bukti pendaftaran dan/atau perizinan dari otoritas
pengawas, sebaran wilayah terkait transaksi dan
pengguna, potensi bisnis, volume dan nilai transaksi,
peluang pasar, serta target pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip perlin-
dungan konsumen” adalah Penyelenggara Teknologi
Finansial menerapkan prinsip sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen.
Huruf b
Menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen
termasuk data dan/atau informasi transaksi antara lain
dilakukan dengan mengelola dan menatausahakan doku-
men transaksi dan/atau konsumen secara baik dan tertib
serta tidak memberikan data dan/atau informasi transaksi
dan/atau konsumen kepada pihak lain kecuali atas
persetujuan tertulis dari konsumen atau diwajibkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip manajemen
risiko” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial telah
melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian atas risiko yang mungkin timbul dalam
kegiatan usahanya.
289
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur menge-
nai prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pen-
danaan terorisme termasuk peraturan yang dikeluarkan
oleh lembaga pengawas dan pengatur yang terkait
dengan kegiatan usaha dan/atau keberadaan dari
Penyelenggara Teknologi Finansial yang bersangkutan.
Huruf f
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
antara lain peraturan mengenai pendirian badan hukum
serta penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digi-
tal yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang
diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer
pemberian (reward).
Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan
menggunakan virtual currency karena virtual currency
bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain
kewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran,
perizinan, atau persetujuan kepada otoritas terkait.
Tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial
termasuk kewajiban menerapkan prinsip perlindungan kon-
290
LAMPIRAN
Pasal 11
Ayat (1)
Implementasi Regulatory Sandbox merupakan salah satu
upaya Bank Indonesia untuk terus mendorong inovasi
Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlin-
dungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh status lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara
lain apabila pada saat dan/atau setelah diujicobakan,
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis bukan
termasuk kategori sistem pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyampaian kepada otoritas yang berwenang dimaksudkan
agar ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang termasuk
Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran.
291
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 13
Ayat (1)
Kebijakan tertentu antara lain pembatasan tertentu seperti
batasan wilayah, jumlah pengguna dan/atau jangka waktu
tertentu, dan/atau kemudahan untuk menyelenggarakan
kegiatan Teknologi Finansial selama proses uji coba melalui
Regulatory Sandbox.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cakupan aspek kelayakan meliputi:
a. legalitas dan profil perusahaan;
b. hukum;
c. kesiapan operasional;
d. keamanan dan keandalan sistem;
e. kelayakan bisnis;
f. kecukupan manajemen risiko; dan
g. perlindungan konsumen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Pemantauan dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya
potensi dampak negatif dari perkembangan Teknologi
Finansial yang terlalu ekspansif terhadap pelaksanaan kebi-
jakan moneter, kebijakan stabilitas sistem keuangan ter-
masuk makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran
untuk tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar,
aman, dan andal.
292
LAMPIRAN
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Guna memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan
informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial kepada
Bank Indonesia
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Koordinasi dan/atau kerja sama dengan otoritas di negara
lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga
internasional dilakukan dengan memperhatikan prinsip
seperti kepentingan nasional, resiprokalitas, serta keraha-
siaan data dan/atau informasi.
Ayat (2)
Huruf a
Data dan informasi termasuk data dan informasi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar
dan/atau diberikan izin oleh otoritas lain di dalam negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
293
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha
dilakukan oleh Bank Indonesia atau bekerja sama dengan
otoritas/pihak yang berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain
larangan untuk mengajukan permohonan izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Kebijakan penyelenggaraan Teknologi Finansial ditujukan
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan Bank Indonesia dengan ruang lingkup
antara lain aspek kelembagaan dan kepemilikan Penye-
lenggara Teknologi Finansial serta penggunaan inovasi
teknologi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
294
LAMPIRAN
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
295
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
296
LAMPIRAN
297
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
TENTANG RUANG
UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI
FINANSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang
aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
5. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan
ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-
struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.
BAB II
RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 2
Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
a. sistem pembayaran;
298
LAMPIRAN
b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e. jasa finansial lainnya.
BAB III
TATA CARA PENETAPAN
UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pertimbangan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial telah terdaftar di Bank
Indonesia;
b. Teknologi Finansial yang diselenggarakan mengandung
unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pemba-
yaran;
c. Teknologi Finansial mengandung unsur Inovasi;
d. Teknologi Finansial bermanfaat atau dapat memberi man-
faat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
e. Teknologi Finansial bersifat noneksklusif;
f. Teknologi Finansial dapat digunakan secara massal;
g. Teknologi Finansial telah dilengkapi dengan identifikasi
dan mitigasi risiko; dan
h. hal lain yang dianggap penting oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih leng-
kap dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus:
a. melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling sedikit
mengenai model bisnis dan manajemen risiko; dan
b. menyampaikan dokumen secara lengkap kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia menginformasikan mengenai pelaksanaan
presentasi melalui surat elektronik dan penyampaian dokumen
melalui surat kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.
299
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 5
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
b paling sedikit mengenai:
a. data dan informasi tentang profil Penyelenggara Teknologi
Finansial dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini;
b. data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit memuat:
1. unsur Inovasi dalam produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis yang akan diuji coba;
2. manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
3. kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan
perlindungan konsumen;
4. penjelasan bahwa kegiatan usaha bersifat noneksklusif;
5. hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi risiko
yang telah atau akan dilakukan;
6. hal spesifik yang dimintakan uji coba (jika ada); dan
7. rencana yang akan dilakukan setelah uji coba dalam
Regulatory Sandbox; dan
c. informasi pihak yang ditunjuk untuk mewakili Penyeleng-
gara Teknologi Finansial beserta alamat surat elektronik
yang akan digunakan untuk berkorespondensi dengan Bank
Indonesia.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b dibuktikan dengan dokumen sesuai dengan jenis
dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubenur ini.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Penye-
lenggara Teknologi Finansial untuk menyampaikan dokumen tam-
bahan selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
300
LAMPIRAN
Pasal 6
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kese-
suaian, dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat dokumen yang tidak lengkap,
tidak sesuai, dan/atau tidak benar, Bank Indonesia meminta
Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak tanggal permintaan dari Bank Indonesia.
(3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan melalui surat elektronik.
Pasal 7
(1) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial telah melakukan
presentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a dan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) dinyatakan lengkap, sesuai, dan benar, Bank
Indonesia memberi penetapan Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui surat.
BAB IV
PROSES UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 8
(1) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox menerapkan prinsip:
a. criteria-based process;
b. transparansi;
c. proporsionalitas;
d. keadilan (fairness);
e. kesetaraan (equal treatment); dan
f. forward looking.
(2) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan
proses perizinan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
301
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 9
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh
penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus
menyampaikan usulan skenario uji coba produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
penetapan.
(2) Usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan
diuji coba;
b. jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji coba;
c. target yang akan dicapai;
d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan batasan
lainnya; dan
e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam Regu-
latory Sandbox, yang memuat paling sedikit laporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial harus tetap memperhatikan
ketentuan peraturan perundangundangan dalam menyusun
usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang
disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(2) Dalam hal Bank Indonesia menilai usulan skenario yang disam-
paikan masih memerlukan perbaikan, Penyelenggara Teknologi
Finansial harus menyampaikan usulan skenario yang telah
diperbaiki dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak tanggal permintaan perbaikan dari Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang
telah diperbaiki dan disampaikan Penyelenggara Teknologi
Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila Penyelenggara Teknologi Finansial tidak menyampai-
kan perbaikan usulan skenario sampai dengan jangka waktu
302
LAMPIRAN
Pasal 11
(1) Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Bank
Indonesia atas skenario uji coba produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (6).
(2) Dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu pal-
ing lama 6 (enam) bulan.
(3) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Penyelenggara Teknologi Finansial menginformasikan alasan
dan jangka waktu perpanjangan yang dibutuhkan.
(5) Bank Indonesia menyampaikan jawaban kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial atas pengajuan perpanjangan yang disam-
paikan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
303
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 12
Penyelenggara Teknologi Finansial hanya dapat menyeleng-
garakan uji coba dalam Regulatory Sandbox sesuai skenario seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6).
Pasal 13
Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox, Penye-
lenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai berikut:
a. memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara
reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia; dan
c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Penyelenggara Teknologi Finansial bertanggung jawab atas hal
sebagai berikut:
a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang
disampaikan kepada Bank Indonesia untuk uji coba dalam Regu-
latory Sandbox;
b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menja-
lankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
diuji coba dalam Regulatory Sandbox;
c. perlindungan data dan informasi serta dana konsumen dalam
penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan
d. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penyelenggara Tekno-
logi Finansial kepada konsumen dan/atau pihak lain yang
terkait, baik selama maupun setelah proses uji coba dalam Regu-
latory Sandbox.
Pasal 15
Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama
pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar untuk
menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial.
304
LAMPIRAN
BAB V
HASIL UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regu-
latory Sandbox berdasarkan hasil penilaian atas seluruh
rangkaian kegiatan selama pelaksanaan uji coba.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara Tekno-
logi Finansial;
b. penerapan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian; dan
c. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam
Regulatory Sandbox yaitu:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan status hasil uji
coba dalam Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial.
(2) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dan produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori
sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial
dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu menga-
jukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-
lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan sta-
tus hasil uji coba berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan ketentuan mengenai penyampaian surat
penetapan status hasil uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penyelenggara Teknologi Finansial dapat menyampaikan
305
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB VI
KEWAJIBAN IZIN SEBAGAI
PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN
Pasal 18
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori seba-
gai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh
izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indo-
nesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(2) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lainnya, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut
harus:
306
LAMPIRAN
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu untuk
penetapan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; dan/
atau
c. skenario uji coba, yang akan diujicobakan dalam Regula-
tory Sandbox.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-
lenggaraan Teknologi Finansial; dan
b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk men-
dukung perekonomian nasional.
Pasal 20
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait
pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran
c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat
di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai
4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indo-
nesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media
lainnya.
307
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
Ttd
SUGENG
308
LAMPIRAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/14/PADG/2017
TENTANG
RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)
TEKNOLOGI FINANSIAL
I. UMUM
Bahwa perkembangan dan inovasi pada industri teknologi
keuangan perlu dimitigasi secara tepat dan memadai agar membe-
rikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian. Sehubungan
dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menciptakan rezim penga-
turan yang tepat agar mampu mendorong laju inovasi yang dilakukan
oleh Penyelenggara Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-
hatian.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu
dengan menerbitkan ketentuan mengenai ruang uji coba terbatas
(regulatory sandbox) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya dalam suatu
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyele-
saian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh penye-
lenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem pemba-
yaran antara lain penggunaan QR code, teknologi block-
chain, atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer
dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile pay-
ments.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah Teknologi
309
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen
antara lain lebih murah, lebih mudah, dan/atau lebih
310
LAMPIRAN
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
311
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ayat (3)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Techno-
logy Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “criteria-based process” adalah
prinsip yang diterapkan dalam proses uji coba dengan
memperhatikan pemenuhan kriteria yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Huruf b
Prinsip transparansi antara lain dilakukan melalui publi-
kasi hasil Regulatory Sandbox secara berkala.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “proporsionalitas” adalah Regu-
latory Sandbox dilakukan dengan mempertimbangkan
jenis, skala, dan risiko dari produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang diuji coba.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “forward looking” adalah Regu-
latory Sandbox selalu mempertimbangkan potensi
pengembangan ke depan agar lebih memberikan manfaat
kepada masyarakat dan perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
312
LAMPIRAN
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Target yang akan dicapai mencakup target akhir dan
atau target antara selama jangka waktu uji coba.
Huruf d
Contoh batasan lainnya yaitu batasan penggunaan fitur
tertentu pada produk atau layanan selama dalam proses
uji coba.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perseroan terbatas, perlindungan konsumen, dan
kewajiban penggunaan rupiah.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permintaan perbaikan dapat disampaikan melalui surat
elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
313
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 13
Huruf a
Penerapan prinsip perlindungan konsumen dituangkan antara
lain dalam perjanjian antara Penyelenggara Teknologi Finan-
sial dengan konsumen.
Huruf b
Informasi pelaksanaan uji coba antara lain berupa perkem-
bangan dan rencana tindak lanjut uji coba.
Huruf c
Khusus untuk ketentuan peraturan perundang-undangan
Bank Indonesia, kewajiban untuk menaatinya dapat disesuai-
kan dengan kebijakan Bank Indonesia.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “pendampingan dan review” adalah
Bank Indonesia melakukan interaksi yang bersifat asistensi dan
advisory serta monitoring secara intensif dan reguler dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial terkait produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan agar sejalan
dengan skenario uji coba yang disepakati serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia juga melakukan review atas kesiapan dan
keandalan sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial, pene-
rapan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan
kehati-hatian, dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan pendampingan dan review, Bank Indone-
sia melakukan monitoring dan assessment terhadap laporan
pelaksanaan uji coba yang disampaikan Penyelenggara Tekno-
logi Finansial.
Pasal 16
Cukup jelas.
314
LAMPIRAN
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keputusan Bank Indonesia terhadap permohonan izin dan/
atau persetujuan dapat berupa persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana
diatur antara lain dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis di luar skenario uji coba baru dapat dilakukan
oleh Penyelenggara Teknologi Finansial setelah Bank Indo-
nesia memberikan keputusan berupa persetujuan atas permo-
honan izin dan/atau persetujuan yang diajukan. Apabila
Bank Indonesia memberikan keputusan berupa penolakan
maka Penyelenggara Teknologi Finansial menghentikan
kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mengacu pada ketentuan Bank In-
donesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran” adalah penerapan tata
cara untuk memperoleh izin dilakukan dengan memper-
315
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
316
LAMPIRAN
317
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan
ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-
struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
318
LAMPIRAN
BAB II
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Penyampaian Informasi
Pasal 2
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang:
a. akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi
kriteria Teknologi Finansial berupa:
1) bersifat inovatif;
2) dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis;
3) dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
4) dapat digunakan secara luas; dan
5) kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. berada di bawah kewenangan otoritas lain yang menye-
lenggarakan Teknologi Finansial di bidang sistem pemba-
yaran, wajib mendaftar pada Bank Indonesia.
(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mem-
peroleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau
b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan otoritas lain.
Pasal 3
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang akan atau telah melakukan
kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus menyampaikan
319
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Kedua
Kelembagaan Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 4
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial
tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pendaftaran
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) menyampaikan permohonan pendaftaran
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditanda-
tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara
Teknologi Finansial.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga disertai
dengan pengisian dan pengiriman formulir pendaftaran.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-
ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format permohonan dan formulir pendaftaran sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) seba-
gaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara
Teknologi Finansial mengajukan permohonan pendaftaran
melalui surat.
320
LAMPIRAN
Bagian Keempat
Dokumen Pendaftaran
Pasal 6
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial
disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan kebenaran
atas seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai cukup
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanda-
tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara
Teknologi Finansial.
Bagian Kelima
Pemrosesan Pendaftaran
Pasal 7
(1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas
kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), serta memperhatikan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa doku-
men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-
tahukan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial untuk
melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.
(3) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial tidak melengkapi
kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimak-
321
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Keenam
Publikasi dan Penghapusan
Penyelenggara Teknologi Finansial Terdaftar
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memublikasikan Daftar Penyelenggara Tekno-
logi Finansial pada laman resmi Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap Daftar
Penyelenggara Teknologi Finansial dalam laman resmi Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat menghapus Penyelenggara Teknologi
Finansial dari Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. berdasarkan hasil pemantauan Bank Indonesia, produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sudah tidak
digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial;
322
LAMPIRAN
Bagian Ketujuh
Tata Cara Penyampaian Informasi bagi Penyelenggara Teknologi
Finansial Berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Pasal 10
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 menyampaikan informasi mengenai produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru kepada Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh
pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
juga disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir penyam-
paian informasi.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-
ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format penyampaian informasi dan formulir penyampaian
informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
323
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 11
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
disampaikan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan,
kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), serta memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan bahwa doku-
men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-
tahukan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk
melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.
(4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak
melengkapi kekurangan dokumen sesuai pemberitahuan Bank
Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) maka Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat dikena-
kan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-
garaan pemrosesan transaksi pembayaran.
(6) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran telah lengkap maka Bank Indonesia mela-
kukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen telah dinyatakan
benar dan sesuai, Bank Indonesia mencatat produk, layanan
teknologi, dan/atau model bisnis baru tersebut.
324
LAMPIRAN
BAB III
PRINSIP MANAJEMEN RISIKO DAN KEHATI-HATIAN
Pasal 12
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen risiko dan
kehati-hatian dalam menyelenggarakan Teknologi Finansial.
(2) Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa identifikasi, pengukuran, peman-
tauan, dan pengendalian yang paling sedikit dilakukan terhadap
kepengurusan, kebijakan dan prosedur, serta pengendalian
intern.
(3) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup risiko keamanan informasi, risiko operasional, risiko
kepatuhan, dan risiko lainnya yang terkait dengan penyeleng-
garaan Teknologi Finansial.
(4) Penerapan manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kompleksitas produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari Penyelenggara
Teknologi Finansial.
BAB IV
PEMANTAUAN
Pasal 13
Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar Penyelenggara
Teknologi Finansial.
Pasal 14
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib menyampaikan data dan/atau informasi
yang diminta oleh Bank Indonesia.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa data dan/atau informasi:
a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang
disampaikan secara berkala;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
c. kondisi keuangan;
d. kepengurusan dan kepemilikan; dan
e. data dan/atau informasi lain.
325
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait
pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disam-
paikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q.
Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat di
Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai
4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komu-
nikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
326
LAMPIRAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
Ttd
SUGENG
327
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/15/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI,
DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI
FINANSIAL
I. UMUM
Kebijakan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-
garaan Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijak-
an di bidang moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan di
bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, serta
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang sistem pem-
bayaran.
Kebijakan yang terdiri dari pengaturan dan pemantauan terhadap
penyelenggaraan Teknologi Finansial ini penting agar Bank Indone-
sia dapat melakukan monitoring dan mitigasi risiko dari potensi
berkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow
economy) serta untuk terus mendorong pengembangan ekosistem
Teknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen,
manajemen risiko, dan kehati-hatian.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut
mengenai tata cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan peman-
tauan Penyelenggara Teknologi Finansial agar terdapat pedoman
yang jelas dalam rangka pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia
terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial tersebut.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
328
LAMPIRAN
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berwenang mewakili penyelenggara Teknologi
Finansial antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Surat tertulis diajukan kepada Departemen Kebijakan Sistem
Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology
Office.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bagi permohonan yang dinyatakan batal, maka seluruh
329
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap antara lain putusan untuk menghentikan
kegiatan usaha.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
330
LAMPIRAN
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian
dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian
atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/
atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Risiko lainnya termasuk namun tidak terbatas pada:
a. risiko keuangan;
b. risiko likuiditas;
c. risiko hukum;
d. risiko reputasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Dalam pelaksanaan pemantauan, Bank Indonesia dapat mela-
331
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Transaksi mencakup nilai, volume, dan/atau pengguna.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk kondisi keuangan adalah mengenai permodalan.
Huruf d
Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi mengenai rencana perubahan modal
dan/atau kepemilikan serta realisasi perubahan modal
dan/atau kepemilikan dimaksud.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technol-
ogy Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
332
LAMPIRAN
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR JASA KEUANGAN
333
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
TENTANG INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI
SEKTOR JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah
aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen
keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
2. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan
kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
3. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan
IKD.
4. Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan
proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola
Penyelenggara.
5. Ekosistem IKD adalah komunitas yang terdiri dari otoritas, Penye-
lenggara, konsumen, dan/atau pihak lain yang memanfaatkan
platform digital secara bersama untuk mendorong IKD yang
bermanfaat bagi masyarakat.
BAB II
TUJUAN, RUANG LINGKUP DAN KRITERIA IKD
Bagian Kesatu
Tujuan IKD
Pasal 2
(1) IKD dilaksanakan oleh Penyelenggara secara bertanggung
jawab.
(2) Pengaturan IKD dilakukan dengan tujuan untuk:
a. mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab;
b. mendukung pemantauan IKD yang efektif; dan
334
LAMPIRAN
Bagian Kedua
Ruang Lingkupdan Kriteria IKD
Pasal 3
Ruang lingkup IKD meliputi:
a. penyelesaian transaksi;
b. penghimpunan modal;
c. pengelolaan investasi;
d. penghimpunan dan penyaluran dana;
e. perasuransian;
f. pendukung pasar;
g. pendukung keuangan digital lainnya; dan/atau
h. aktivitas jasa keuangan lainnya.
Pasal 4
Kriteria IKD meliputi:
a. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan;
b. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai
sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor
jasa keuangan;
c. mendukung inklusi dan literasi keuangan;
d. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas;
e. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada;
f. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan
g. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan
data.
BAB III
PENCATATAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum Penyelenggara
Pasal 5
(1) Penyelenggara terdiri dari:
a. Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
b. pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
335
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Kedua
Permohonan Pencatatan
Pasal 6
(1) Penyelenggara yang akan atau telah melakukan kegiatan dalam
ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan meme-
nuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menga-
jukan permohonan pencatatan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan formulir tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Kewajiban pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Penyelenggara yang telah terdaftar dan/atau
telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencatatan atas permohonan
pencatatan yang diajukan oleh Penyelenggara dengan memper-
timbangkan kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh
Penyelenggara meliputi:
a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta
identitas kelengkapan data pengurus;
b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;
c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan
IKD; dan
d. rencana bisnis.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
pencatatan secara elektronik untuk pencatatan IKD maka
permohonan pencatatan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan secara elektronik melalui sistem pencatatan Otoritas
Jasa Keuangan.
336
LAMPIRAN
BAB IV
REGULATORY SANDBOX
Bagian Kesatu
Prinsip Dasar Regulatory Sandbox
Pasal 7
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan Regulatory Sand-
box untuk memastikan IKD memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox
dapat memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
dikecualikan sementara dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tertentu.
(3) Pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan sepanjang memenuhi hal sebagai berikut:
a. selama Penyelenggara berada di dalam Regulatory Sand-
box;
b. mendapat persetujuan satuan kerja pengawas terkait di
Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. pengecualian sementara hanya berlaku terhadap Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan yang bersifat non prudensial.
Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara
sebagai Peserta Regulatory Sandbox
Pasal 8
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Penyelenggara untuk diuji
coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Penyelenggara yang memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berda-
sarkan surat permohonan yang diajukan satuan kerja penga-
was terkait di Otoritas Jasa Keuangan;
b. merupakan bisnis model yang baru;
c. memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas;
d. terdaftar di asosiasi Penyelenggara; dan
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
337
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Regulatory Sandbox
Pasal 9
Regulatory Sandbox dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan
apabila diperlukan.
Pasal 10
Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki;
b. berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox;
c. mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk
pengembangan bisnis sektor jasa keuangan;
d. mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan
otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan
e. berkolaborasi dengan Lembaga Jasa Keuangan atau pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Pasal 11
(1) Hasil Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara dinyatakan
dengan status:
a. direkomendasikan;
b. perbaikan; atau
c. tidak direkomendasikan.
(2) Dalam hal Penyelenggara berstatus direkomendasikan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan
akan memberikan rekomendasi pendaftaran sesuai dengan
aktivitas usaha dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal hasil uji coba berstatus perbaikan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat memberikan perpanjangan waktu dengan
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pene-
tapan status.
(4) Dalam hal hasil uji coba berstatus tidak direkomendasikan,
Penyelenggara tidak dapat mengajukan kembali IKD yang sama.
(5) Penyelenggara yang berstatus tidak direkomendasikan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan dari pencatatan
sebagai Penyelenggara.
338
LAMPIRAN
Pasal 12
(1) Dalam hal hasil uji coba menunjukkan keterkaitan dengan
kewenangan otoritas lain, Otoritas Jasa Keuangan akan
berkoordinasi dengan otoritas tersebut.
(2) Dalam pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara dapat
berkoordinasi dengan Lembaga Jasa Keuangan dan pihak terkait
lainnya dengan tetap berada di bawah koordinasi Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Peraturan pelaksanaan terkait tata cara pelaksanaan Regula-
tory Sandbox diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
Bagian Keempat
Keterbukaan Informasi
Pasal 13
(1) Penyelenggara wajib mengungkapkan informasi penting dan
relevan selama pelaksanaan uji coba di Regulatory Sandbox
serta menyampaikannya kepada satuan kerja yang membidangi
penelitian dan pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi tambahan
kepada Penyelenggara selama pelaksanaan Regulatory Sand-
box.
BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 14
(1) Penyelenggara yang berstatus direkomendasikan berhak menga-
jukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
hak yang sama untuk mengajukan permohonan pendaftaran
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyelenggara harus mengajukan permohonan pendaftaran
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak penetapan status direkomendasikan.
(4) Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan
pendaftaran hingga melewati batas waktu pendaftaran yang
diberikan maka status rekomendasi pendaftaran dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
339
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 15
(1) Penyelenggara mengajukan permohonan pendaftaran dengan
disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) sepanjang terdapat perubahan atas dokumen dimaksud.
(2) Persetujuan atas permohonan pendaftaran dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima secara lengkap.
Pasal 16
Dalam hal Penyelenggara yang menerima status perbaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b namun tidak
melakukan perbaikan yang memadai hingga perpanjangan waktu
berakhir maka status hasil uji coba Regulatory Sandbox akan diubah
menjadi berstatus tidak direkomendasikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c.
BAB VI
PEMANTAUAN
Pasal 17
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemantauan
terhadap Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk melengkapi mekanisme pemantauan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, Penyelenggara diwajibkan untuk menerapkan prinsip
pemantauan secara mandiri.
340
LAMPIRAN
Bagian Kesatu
Prinsip Pemantauan Secara Mandiri
Pasal 18
(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pemantauan secara
mandiri paling sedikit meliputi:
a. prinsip tata kelola teknologi informasi dan komunikasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
c. edukasi dan sosialisasi kepada konsumen;
d. kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk
data dan/atau informasi transaksi;
e. prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian;
f. prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
g. inklusif dan prinsip keterbukaan informasi.
(2) Untuk melaksanakan pemantauan, Penyelenggara wajib
menginventarisasi risiko utama yang paling sedikit mencakup:
a. risiko strategis;
b. risiko operasional sistemik;
c. risiko operasional individual;
d. risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme;
e. risiko perlindungan data konsumen;
f. risiko penggunaan jasa pihak ketiga;
g. risiko siber; dan
h. risiko likuiditas.
Pasal 19
Penyelenggara wajib memiliki perangkat yang dapat mening-
katkan efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang akan
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
341
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Bagian Kedua
Pemantauan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pihak Lain
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemantauan terhadap Penye-
lenggara.
Pasal 21
(1) Penyelenggara membentuk asosiasi Penyelenggara.
(2) Penyelenggara yang tercatat atau terdaftar untuk menjalani uji
coba di Regulatory Sandbox menjadi anggota asosiasi yang
ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menetapkan
standar dengan mempergunakan pendekatan disiplin pasar yang
berlaku bagi anggotanya yang paling sedikit meliputi:
a. merumuskan aturan operasi, standar industri dan kode etik,
sesuai dengan jenis bisnis yang berbeda;
b. menerima dan meneruskan laporan serta menerima
keluhan;
c. menyusun statistik keuangan dan memantau risiko serta
penelitian tentangisumakrodanmikrokeuangan;
d. menjadi penghubung antara Otoritas Jasa Keuangan dan
Penyelenggara untuk meningkatkan dukungan pengaturan
dan pertukaran informasi;
e. menetapkan mekanisme pengaturan diri dan sanksi atas
pelanggaran anggota terhadap aturan dan kode etik; dan
f. melaksanakan pendidikan, pelatihan, dan perlindungan
konsumen serta kerjasama domestik dan internasional.
(4) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada
standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Peraturan pelaksanaan terkait penunjukan Asosiasi
Penyelenggara diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 22
(1) Pengawasan IKD mencakup prinsip:
a. pengawasan berbasis risiko dan teknologi; dan
b. pengawasan berbasis disiplin pasar.
(2) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pengawasan berbasis
risiko dan teknologi terhadap IKD.
342
LAMPIRAN
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 23
Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox
wajib menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
343
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 24
Penyelenggara yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
wajib menyusun laporan risk self assessment secara bulanan serta
menyampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 25
Selain memberikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, Penyelenggara wajib melakukan pelaporan kepada konsumen
terkait hal yang berhubungan dengan kinerja investasi, nilai investasi,
dan/atau portofolio yang dimiliki para konsumen.
Pasal 26
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal
25 wajib memberikan hak akses kepada Otoritas Jasa Keuangan
atas pelaporan.
Pasal 27
Untuk mengolah laporan risk self assessment, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang memanggil atau meminta keterangan tambahan
dari Penyelenggara.
BAB VIII
TATA KELOLA
Pasal 28
(1) Penyelenggara wajib memiliki rencana strategis sistem elek-
tronik yang mendukung rencana bisnis Penyelenggara.
(2) Penyelenggara wajib menyusun kebijakan, prosedur, dan standar
yang paling sedikit meliputi aspek:
a. strategi bisnis;
b. perlindungan konsumen;
c. risiko, dan permodalan;
d. pengembangan sumber daya manusia;
e. pengembangan dan perencanaan produk dan layanan;
f. operasional teknologi informasi;
g. jaringan komunikasi;
h. pengamanan informasi;
i. rencana pemulihan bencana;
j. layanan pengguna; dan
k. penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi.
344
LAMPIRAN
BAB IX
PUSAT DATA
Pasal 29
Penyelenggara wajib menempatkan pusat data dan pusat
pemulihan bencana di wilayah Indonesia.
BAB X
PERLINDUNGAN DAN KERAHASIAAN DATA
Pasal 30
(1) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan keter-
sediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang
dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimus-
nahkan.
(2) Ketentuan pemanfaatan data dan informasi pengguna yang
diperoleh Penyelenggara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memperoleh persetujuan dari pengguna;
b. menyampaikan batasan pemanfaatan data dan informasi
kepada pengguna;
c. menyampaikan setiap perubahan tujuan pemanfaatan data
dan informasi kepada pengguna dalam hal terdapat peru-
bahan tujuan pemanfaatan data dan informasi; dan
d. media dan metode yang dipergunakan dalam memperoleh
data dan informasi terjamin kerahasiaan, keamanan, serta
keutuhannya.
BAB XI
EDUKASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 31
(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan
konsumen yaitu:
345
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsu-
men secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
(2) Penyelenggara wajib menyediakan pusat pelayanan konsumen
berbasis teknologi.
(3) Pusat pelayanan konsumen berbasis teknologi paling sedikit
terdiri atas penyediaan pusat layanan konsumen yang dapat
dilaksanaan sendiri atau melalui pihak lain.
Pasal 32
(1) Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi terkini kepada Otoritas Jasa Keuangan dan konsumen
mengenai aktivitas layanan keuangan digital.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai
alat bukti.
Pasal 33
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada kon-
sumen tentang penerimaan, penundaan, atau penolakan permo-
honan layanan keuangan digital.
(2) Dalam hal Penyelenggara menyampaikan informasi penundaan
atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-
lenggara wajib menyampaikan alasan penundaan atau
penolakan.
Pasal 34
Penyelenggara wajib melaksanakan kegiatan untuk mening-
katkan literasi dan inklusi keuangan.
BAB XII
ASPEK KEPATUHAN LAINNYA
Pasal 35
Penyelenggara yang terdaftar wajib menerapkan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa
346
LAMPIRAN
BAB XIII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Bagian Kesatu
Pusat IKD
Pasal 36
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dan/atau
kerja sama untuk menciptakan pusat IKD dengan:
a. otoritas lain di dalam negeri;
b. pemerintah pusat dan daerah;
c. asosiasi financial technology dan pusat inovasi di luar Otoritas
Jasa Keuangan;
d. pakar dan akademisi; dan/atau
e. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau lem-
baga internasional.
Bagian Kedua
Ekosistem IKD
Pasal 37
(1) Penyelenggara yang telah tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan dapat bekerja sama dengan Lembaga Jasa
Keuangan untuk menciptakan sinergi ekosistem IKD.
(2) Penyelenggara harus berperan dalam menciptakan ekosistem
digital jasa keuangan dan menyelaraskan layanan digital yang
saling mendukung di Indonesia.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 38
(1) Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi
mengenai konsumen kepada pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
dalam hal:
a. konsumen memberikan persetujuan secara elektronik; dan/
atau
347
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
BAB XV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 39
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di sektor jasa
keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan
sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b sampai dengan huruf d dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara
bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.
Pasal 40
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
348
LAMPIRAN
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
(1) Perjanjian kerja sama antara Lembaga Jasa Keuangan dengan
Penyelenggara yang belum tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan tetap dapat dilanjutkan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
(2) Dalam hal persyaratan pendaftaran Penyelenggara yang telah
diberikan status direkomendasikan belum diatur, Penyelenggara
tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan pendaftaran
dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta
identitas kelengkapan data pengurus;
b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;
c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan
IKD; dan
d. rencana bisnis.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan mengenai kewajiban pencatatan mulai berlaku 1 (satu)
bulan terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan.
Pasal 43
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
349
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018
ttd
WIMBOH SANTOSO
Diundangkandi Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2018
ttd
YASONNA H. LAOLY
ttd
Yuliana
350
LAMPIRAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL
DI SEKTOR JASA KEUANGAN
I. UMUM
IKD berperan penting dalam mendukung pelayanan jasa
keuangan yang lebih cepat, murah, mudah, dan luas sehingga dapat
menjangkau daerah terpencil dalam rangka mempersempit disparitas
ekonomi yang tinggi antar wilayah.
Kehadiran teknologi lainnya juga mendukungterciptanya
layanan jasa keuangan yang lebih efisien dan sesuai dengan kebu-
tuhan masyarakat. Peranan jasa keuangan dengan biaya operasional
murah dan dalam skala kecil sangat tepat untuk melayani segmen
mikro, kecil dan menengah.
Inovasi memiliki dua sisiyaitu sisi yang memberikan manfaat
atausisi yangberpotensi mendisrupsi layanan jasa keuangan tradi-
sional. Efek disrupsi yang akan terjadi dapat menimbulkan ketidak-
stabilan sektor keuangan dan persaingan yang tidak sehat.
Dalam rangka meminimalisasi dampak negatif inovasi maka
inovasi perlu diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat serta mengedepankan tata kelola yang
baik agar tercipta perlindungan konsumen. Selain itu diperlukan
sinergi antara lembaga jasa keuangan dengan IKD non Lembaga
Jasa Keuangan agar menciptakan sinergi dan meminimalisir
kompetisi.
Inovasi perlu ditumbuhkembangkan melalui pembangunan
ekosistem keuangan digital yang mendukung ekosistem dimaksud
dengan melibatkan banyak unsur yang saling berinteraksi untuk
mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit), termasuk otoritas
terkait. Pelaksanaan koordinasi antar pelaku di dalam ekosistem,
akan difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Pusat
IKD (fintech center).
351
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 1
Cukup jelas.
352
LAMPIRAN
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara bertanggung jawab” adalah
penggunaan baru atau yang lebih baik atas produk, layanan,
dan proses keuangan yang telah ada untuk memenuhi kebu-
tuhan konsumen, dunia usaha, dan masyarakat yang terus
berkembang dengan cara antara lain:
a. menerapkan prinsip tata kelola dan manajemenrisiko yang
baik;
b. selaras dengan strategi bisnis secara keseluruhan;
c. bermanfaat bagi masyarakat luas;
d. mengutamakan perlindungan konsumen dan kerahasiaan
data; dan
e. mendukung inklusi dan literasi keuangan.
Ayat (2)
Inovasi berbeda dengan penyempurnaan proses bisnis karena
inovasi tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penjualan produk dan layanan keuangan namun mencip-
takan nilai tambah baru.
Lingkup pengaturan ini hanya mencakup IKD yang meng-
gunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mendukung pemantauan IKD
yang efektif” adalah pengembangan IKD oleh Penye-
lenggara harus disertai dengan pemantauan berbasis risiko
yang memperhatikan tata kelola dan manajemen risiko
dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, kewajaran,
persaingan yang sehat, transparansi, dan perlindungan
konsumen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mendorong sinergi di dalam
ekosistem digital jasa keuangan” adalah Ekosistem IKD
diharapkan mampu menumbuh-kembangkan inovasi di
bidang jasa keuangan agar lebih efisien dan mening-
katkan kepuasan konsumen. Ekosistem digital jasa
353
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 3
Huruf a
Dalam praktiknya penyelesaian transaksi biasa disebut juga
dengan settlement. Penyelesaian transaksi antara lain terkait
penyelesaian investasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghimpunan modal”antara
lainequity crowdfunding, virtual exchange and
smartcontract, serta alternative due diligence.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengelolaan investasi”antara lain
advance algorithm, cloud computing, capabilities sharing,
open source information technology, automated advice and
management, social trading, dan retail algorithmic trading.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penghimpunan dan penyaluran
dana”antara lainpinjam meminjam berbasis aplikasi
teknologi (P2P lending), alternative adjudication, virtual
technologies, mobile 3.0, dan third-partyapplication pro-
gramming interface.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perasuransian” antara lain sharing
economy, autonomous vehicle, digital distribution, dan
securitization and hedge fund.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” antara lain artifial
inteligence/machine learning, machine readble news,
socialsentiment, big data, market information platform,
danautomated data collection and analysis.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pendukung keuangan digital
354
LAMPIRAN
Pasal 4
Penilaian awal kriteria atas potensi inovasi bagi Lembaga Jasa
Keuangan dilakukan oleh satuan kerja pengawas terkait di
Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan untuk Penyelenggara selain
Lembaga Jasa Keuangan melalui prosedur pencatatan kepada
satuan kerja yang membawahkan penelitian dan
pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak diperkenankan mengelola
portofolio atau exposure” adalah Penyelenggara hanya
menyediakan platform untuk memfasilitasi transaksi dan
layanan jasa keuangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Permohonan pencatatan yang dilakukan oleh Penyelenggara
merupakan syarat bagi Penyelenggara untuk dapat
mengikuti proses Regulatory Sandbox.
Permohonan pencatatan oleh Penyelenggara selain Lembaga
Jasa Keuangan disampaikan oleh direksi kepada satuan kerja
yang membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
355
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ayat (2)
Permohonan pencatatan bagi Lembaga Jasa Keuangan yang
menyelenggarakan IKD untuk masuk ke dalam pengujian
Regulatory Sandbox disampaikan oleh Lembaga Jasa
Keuangan kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas
Jasa Keuangan dengan tembusan kepada satuan kerja yang
membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Ayat(4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukupjelas.
Pasal 8
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyelenggara berbentuk selain Lembaga Jasa Keuangan
yang telah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan tidak perlu
mengajukan kembali surat permohonan untuk
diikutsertakan dalam Regulatory Sandbox.
Permohonan bagi Penyelenggara berbentuk Lembaga
Jasa Keuangan berbeda dengan permohonan pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Permohonan yang
dimaksud adalah permohonan yang diajukan oleh satuan
kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan kepada
satuan kerja yang membawahkan penelitian dan
pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan agar
inovasi Lembaga Jasa Keuangan dapat masuk ke dalam
pengujian Regulatory Sandbox.
356
LAMPIRAN
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” adalah lembaga peme-
rintah, otoritas, ahli, asosiasi, dan organisasi lainnya di sektor
jasa keuangan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk
mendukung pelaksanaan Regulatory Sandbox dan
pengembangan IKD.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “informasi penting dan relevan”
antara lain insiden serangan siber.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Pasal14
Ayat (1)
Permohonan pendaftaran dilakukan oleh Penyelenggara
kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa
Keuangan.
357
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ayat(2)
Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan
Penyelenggara yang dimaksud pada ayat (1) meliputi Penye-
lenggara yang telah tercatat maupun belum tercatat di
Otoritas Jasa Keuangan namun memiliki jenis IKD yang sama
dengan Penyelenggara yang telah diberikan status
direkomendasikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Materi sosialisasi yang diberikan kepada konsumen pal-
ing sedikit terkait risiko dari IKD.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
358
LAMPIRAN
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Perangkat yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan
perlu dilaksanakan dengan membentuk unit khusus (regulatory
technology) yang berada di dalam Penyelenggara IKD. Unit
tersebut dapat bekerja sama dengan pihak lain (termasuk kerja
sama dengan IKDatau asosiasi) dan tetap menjaga kerahasiaan
data dan informasi.
Cakupan dari regulatory technology paling sedikit meliputi
aspek:
a. kepatuhanadalah tindakanuntuk memberikan notifikasi
otomatis terkait perubahan aturan baik di level nasional dan
global;
b. kontrol dan manajemen identitas adalah dalam rangka
pelaksanaan know your customer principledan anti pencu-
cian uang dan pencegahan pendanaan terorisme;
c. manajemen risikoadalah perangkat yang memungkinkan
pelaporan risiko berdasarkan transaksi, risiko konsolidasi, dan
pelaporan internal risiko termasuk pemantauan limit risiko;
d. pelaporanadalah pelaporan secara otomatis yang terintegrasi
yang dilaksanakan secara efisien, sederhana, dan mening-
katkan akurasi pelaporan;
e. pemantauan transaksi adalah perangkat yang memung-
kinkan dilakukannya monitoring dan auditing terhadap
transaksi untuk menghindari fraud dan pelanggaran risiko;
dan
f. sistem otomasi transaksi adalah sistem yang meliputi perhi-
tungan margin, fee, imbal hasil yang sesuai dengan perjan-
jian, serta tidak melanggar business conduct.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
359
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemantauan berbasis risiko dan
teknologi”adalah pemantauan terhadap Penyelenggara
yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangandengan
mempergunakan teknologi (supervisory technology).
Pemantauan dimaksud ditujukan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pemantauan terhadap Penyeleng-
gara terkait aspek kepatuhan terhadap aturan yang
berlaku.
Ruang lingkup pemantauan antara lain:
a. data-input approachadalahpelaporan elektronik
dengan menggunakan paket data dengan
formatstandar;
b. data-pull approach adalah pelaporan dalam format
data mentah;
c. real-time accessadalah akses yang memungkinkan
dilakukan pemantauan setiap saat;
d. reporting utilities adalah perangkat yang meng-
hasilkan pelaporan secara elektronik;
e. gathering intelligence from unstructured dataadalah
pengumpulan dan analisis data yang tidak terstruktur
misalnya sosial media, materi sosialisasi, perjanjian
dengan konsumen, dan sebagainya; dan
f. regulatory submission and data quality management
adalah perangkat yang memungkinkan melakukan
pengiriman laporan beserta validasi dan pengendalian
kualitas data yang dilaporkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendekatan yang berimbang
antara aspek prudensial dengan dukungan terhadap
inovasi” merupakan kewenangan yang dimiliki Otoritas
360
LAMPIRAN
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
361
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Ayat (4)
Setiapinovasi selalu membawa dampak dan risiko sehingga
jika terdapat perubahan terkait model bisnis, proses bisnis,
dan lain-lain atas IKD yang telah tercatat dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan maka Penyelenggara mencatatkan
ulang perubahan IKD dan mengikuti kembali uji coba Regu-
latory Sandbox.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Standar minimum perlindungan konsumen mengacu kepada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
namun demikian prinsip perlindungan konsumen tetap
mengacu kepada setiap perubahan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cakupan dari pusat pelayanankonsumenberbasis teknologi
(customer service tech) antara lainmeliputi:
a. saluran komunikasi multikanal adalah penyampaian
keluhan dengan berbagai media baik media suara,
elektronik, maupun sosial;
b. knowledge management adalah proses identifikasi, pem-
buatan, penelaahan, publikasi, dan penyediaan konten
multimedia yang memungkinkan dilaksanakannya
penjelasan kepada konsumen melalui web self service;
c. aplikasi pencatat keluhan adalah aplikasi dimaksud
selain menghasilkan data keluhan konsumen yang dapat
dianalisis, juga dimungkinkan untuk melakukan komuni-
kasi antar konsumen;
d. customer service analytics adalah pelayanan konsumen
362
LAMPIRAN
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Pusat IKD merupakan sarana komunikasi dalam mengiden-
tifikasi, membina, mengawasi seluruh Penyelenggara, dan
menjamin perlindungan konsumen di Indonesia. Dengan adanya
Pusat IKD diharapkan dapat memudahkan koordinasi dan
kolaborasi antara otoritas terkait dan Penyelenggara.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pusat inovasi merupakan wadah inovasi dan pengembangan
IKD yang berperan untuk memberikan rekomendasi dan
masukan terhadap ekosistem digital industri jasa keuangan.
Dalam praktiknya pusat inovasi di luar Otoritas Jasa
Keuangan biasa disebut juga dengan innovation hub.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
363
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal43
Cukup jelas.
364
LAMPIRAN
LAMPIRAN
PERATURANOTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR
JASA KEUANGAN FORMULIR PERMOHONAN
PENCATATAN PENYELENGGARA
Kepada
Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Deputi Komisioner OJK Institute
365
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA
Hormat Kami,
Direksi ...............
Meterai
Rp.6000,-
..................................
(Nama jelas dan tanda tangan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
WIMBOH SANTOSO
ttd
Yuliana
366