Anda di halaman 1dari 392

Hukum Ekonomi Digital

di Indonesia

i
ii
iii
HUKUM EKONOMI DIGITAL © 2019.
DI INDONESIA Isi buku sepenuhnya
tanggung jawab penulis.
Dr. Danrivanto Budhijanto, Hak Cipta dilindungi oleh
SH., LL.M in IT Law, FCBArb. undang-undang.

Copyright ©2019 Hak Cipta dimiliki oleh penulis.


All right reserved Dilarang memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
Cetakan Pertama, ini dalam bentuk apa pun tanpa
izin penulis dan penerbit.
Juli 2019

Diterbitkan oleh Katalog Dalam Terbitan


LOGOZ PUBLISHING
HUKUM EKONOMI DIGITAL
Soreang Indah V-20
DI INDONESIA
Bandung 40911
Telp/Fax 022-85874472 - Dr. Danrivanto Budhijanto,
081322702828 SH., LL.M in IT Law, FCBArb.
logozpublishing@gmail.com
–Ed.1. –Cet. 1.
– Bandung: Logoz Publishing, 2019
Anggota IKAPI 1 jil., xxiv + 366 hlm.; ilus.; 15 x 21 cm

Penyunting ISBN 978-623-7416-01-2


Aep Gunarsa

Desain Sampul
Hendra Kurniawan

iv
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
REPUBLIK INDONESIA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Salam sejahtera untuk kita sekalian,
Senyampang masih relatif berusia muda, ranah digital kita
membutuhkan rambu-rambu. Mumpung belum keburu
karut-marut, ekonomi digital kita membutuhkan hanya
koridor yang baru.
Memang justru akibat kemudaan usianya, ranah digi-
tal ibaratnya masih seperti rimba belantara yang
cenderung gelap dan tak bertuan. Kita harus babat alas
untuk membuat akses jalan, atau melindungi diri dari
binatang buas yang mengancam keselamatan jiwa.
Namun bukan berarti tak ada cahaya sama sekali di
tepi belantara. Bukan berarti ada kekosongan hukum yang
memagari prakti-praktik ekonomi digital. Bukan berarti

v
lantas yang berlaku adalah hukum rimba sepenuhnya.
Buku Hukum Ekonomi Digital di Indonesia karya Pak
Danrivanto Budhijanto ini adalah salah satu bukti bahwa
perkembangan ekonomi digital tetap dapat terwadahi
dasar-dasar hukum positif di Indonesia, terutama jika
hukum ekonomi yang mewadahinya dipahami secara
lebih progresif.
Apalagi pada dasarnya hukum dasar negara kita
adalah konstitusi dengan landasan filosofis Pancasila. Dari
Pancasila kita mendapatkan pegangan untuk segala jenis
praktik hidup bernegara kita. Bung Karno pernah menyata-
kan bahwa jika lima sila dari Pancasila itu diperas, maka
inti di dalamnya adalah semangat gotong royong. Sema-
ngat ini sangat relevan dengan ekonomi digital, baik dalam
tataran filosofis maupun praktis. Para unicorn kita
menunjukkan bahwa kolaborasi dan gotong royong
ternyata dapat juga dipraktikkan dalam ekonomi yang
serbadigital ini.
Selain berefleksi atas tatanan hukum ekonomi baku,
buku ini juga menyumbang secara lebih jauh dengan
memunculkan wacana baru tentang hukum ekonomi digi-
tal yang nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bekal
memahami berbagai permasalahan hukum yang mungkin
tanpa preseden sebelumnya. Dinamika perubahan digi-
tal akan membawa kepada dialektika hukum yang
mungkin akan selalu membutuhkan perubahan dalam
perjalanannya, terus menerus tanpa henti. Dalam konteks
itulah pentingnya kehadiran buku ini, yaitu dalam

vi
menyumbang wacana dan mengisi celah akademis yang
diperlukan untuk saat ini.
Saya mengapresiasi jerih payah Pak Danrivanto untuk
menghadirkan karya yang tepat waktu ini, akan sangat
bermanfaat bagi perkembangan ekonomi digital di Tanah
Air.
Selamat membaca.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 14 Agustus 2019


Menteri Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia

vii
viii
Pengantar Penulis

“Bertambah pentingnya peranan teknologi


di zaman modern ini bagi kehidupan manusia
dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia
dan lingkungan hidupnya menyebabkan
bahwa faktor-faktor ini pun
tidak dapat diabaikan.”
Mochtar Kusumaatmadja, 1976

Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revo-


lution (Revolusi Industri 4.0) telah membawa tantangan
baru terutama dalam ekonomi digital. G-2O pada Desem-
ber 2018 di Argentina telah memastikan kesepakatan
bersama dalam pemberdayaan ekonomi digital. 20 Lead-
ers’ Declaration Building Consensus For Fair And Sustain-
able Development dalam butir ke-9 dinyatakan bahwa:
“To maximize the benefits of digitalization and emerg-
ing technologies for innovative growth and produc-
tivity, we will promote measures to boost micro, small
and medium enterprises and entrepreneurs, bridge
the digital gender divide and further digital inclusion,
support consumer protection, and improve digital gov-
ernment, digital infrastructure and measurement of
the digital economy. We reaffirm the importance of
addressing issues of security in the use of ICTs. We
support the free flow of information, ideas and knowl-

ix
edge, while respecting applicable legal frameworks,
and working to build consumer trust, privacy, data
protection and intellectual property rights protec-
tion. We welcome the G20 Repository of Digital Poli-
cies to share and promote the adoption of innovative
digital economy business models. We recognize the
importance of the interface between trade and the
digital economy. We will continue our work on arti-
ficial intelligence, emerging technologies and new
business platforms.”

Wilayah Asia khususnya Negara-negara ASEAN


memiliki peran utama dalam peradaban ekonomi digital
sebagaimana terlihat dari data International Monetary
Fund (IMF) pada halaman berikutnya.
Ekonomi digital memiliki karakter yang masif dan
eskalatif karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi
informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh
maka dapat disebarkan data secara meluas dan berubah
dalam berbagai format dalam waktu yang singkat. Utilisasi
informasi dari ekonomi digital termasuk kegiatan
pengumpulan data (data collecting); penelisikan/pengaisan
data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data
(data behavior analyzing). Data dimaksud harus mampu
dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial
sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model
bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis aplikasi tidak
hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik
(e-commerce) maupun teknologi finansial (FinTech).

x
xi
Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai
dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada
data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja
yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan. Hasil
dari Survei Global McKinsey 2017 menunjukkan bahwa
peningkatan pangsa korporasi yang menggunakan data dan
analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertum-
buhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan
yang berbasis model bisnis data memerlukan kombinasi
strategi, budaya, dan organisasi yang tepat. Perusahaan
melakukan monetisasi data (data monetizing, data capi-
talization) sebagai alat pertumbuhan finansial. Walaupun
masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan
dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah
berada di depan perusahaan-perusahaan yang lainnya.
Ekonomi digital memiliki potensi peningkatan eko-
nomi kerakyatan di Indonesia dengan 3 pilar “berbagi”
yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai
kepercayaan (trust sharing), dan berbagi pengetahuan (in-
tellectual sharing). Ekononomi kerakyatan adalah konsep
dalam upaya mengimplementasikan kedaulatan negara
(rakyat) di bidang ekonomi. Mubyarto merumuskan sistem
ekonomi yang berkeadilan sosial yaitu sistem ekonomi
nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
atas asas kekeluargaan, mengandung prinsip-prinsip
pemanfaatan hak milik yang merupakan anjuran atau
norma-norma perilaku manusia sebagai berikut:1
1 Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, (Jakarta:
LP3ES, 1987), hlm. 215-216.

xii
1. Memperhatikan dan mengutamakan kepentingan
negara dan kepentingan masyarakat;
2. Menempatkan kepentingan bersama di atas kepen-
tingan pribadi dan golongan;
3. Adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang
lain; dan
4. Tidak menggunakan hak milik pribadi untuk usaha-
usaha yang bersifat memeras orang lain, untuk hal-
hal yang bersifat pemborosan dan untuk kehidupan
yang bersifat mewah, atau perbuatan-perbuatan lain
yang bertentangan dengan dan merugikan kepen-
tingan umum.

Mubyarto merumuskan pula 5 (lima) agenda pokok


ekonomi kerakyatan sebagai berikut:2
1. Desentralisasi hak atas pengelolaan sumber-sumber
penerimaan negara kepada daerah;
2. Pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan
lahan pertanian kepada para petani penggarap
(landreform);
3. Reformasi koperasi dan pendirian koperasi-koperasi
sejati;
4. Pengembangan mekanisme persaingan yang
menjamin berlangsungnya persaingan usaha secara
sehat; dan

2 Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial,


(Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika, 2002), hlm. 3.

xiii
5. Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progresif
sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi
penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di
tengah-tengah masyarakat, selain itu penerapan pajak
penghasilan dan kekayaan progresif itu juga diper-
lukan sebagai upaya untuk terus menerus membentuk
dana jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang
rentan.

Keadilan sosial tidak berdiri sendiri, namun mem-


punyai kaitan erat dengan keadilan hukum, politik, sosial,
dan ekonomi.3 Peran yang terus tumbuh dari platform
transportasi on-line, perdagangan on-line, pendidikan on-
line menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari
pentingnya peradaban digital ekonomi dalam mencapai
tujuan kesejahteraan umum. Pemerintah bersama eko-
sistem industri terus berupaya memperluas dan memper-
kuat sektor infrastruktur digital dan sumber daya talenta
digital. Pemerintah dengan “tol langit” memastikan sektor
infrastruktur digital sebagaimana dimuat dalam halaman
berikut.
Paradoks Teori Hukum tidak diketahui kapan dimulai-
nya namun yang pasti belum akan berakhir sampai
dengan hari ini yang telah memasuki Revolusi Industri
4.0 (Abad Digital Informasi). Terminologi Pa-ra-doks (n)
adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan
(berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran,

3 Mubyarto, op.cit., 1987, hlm. 206-207.

xiv
xv
tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.4 Trio teore-
tikus sepanjang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato
akan terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika
mereka masih bisa menjadi saksi hidup dari Revolusi
Industri 4.0. Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak
hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis,
sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah
mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat
mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat
pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan
teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel memberikan
ketegasan hal dimaksud sebelum membahas uraian
pemikirannya dalam History Lessons for a General Theory
of Law and Technology yaitu:5
“The marvels of technological advance are not al-
ways risk- free. Such risks and perceived risks often
create new issues and disputes to which the legal sys-
tem must respond.” (Dicetak tebal oleh Penulis)

C.F.G Sunaryati Hartono sebagai Ibu Hukum Eko-


nomi di Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa
dalam Teori Hukum dimuat istilah “Hukum Ekonomi”
merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda)

4 Pa-ra-doks (n) adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (ber-


lawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya
mengandung kebenaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI Dalam
Jaringan).
5 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law and
Technology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology, Vol.
8: 2, 2007, hlm. 551.

xvi
atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian menu-
rut Sunaryati, pengertian atau konotasi Economisch Recht
di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law
di Amerika Serikat.6 Sunaryati Hartono memberikan suatu
pemahaman bahwa Hukum Ekonomi Pembangunan
adalah bagaimana peranan Pemerintah sebagai unsur
pembaharu dan pemberi arah kepada pembangunan
ekonomi itu lebih menonjol.7 Sunaryati menjelaskan pula
Hukum Ekonomi Sosial tekanannya adalah pada pem-
bagian pendapatan nasional secara adil dan merata,
memelihara, dan meningkatkan martabat kemanusiaan
manusia Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi
dimaksud.8 Perkembangan teknologi informasi yang
berbasis infrastruktur digital di Indonesia menjadikan
pemahaman teoritikal dan praktikal Sunaryati tentang
Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Eko-
nomi Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah kese-
luruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang
secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi
digital di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital.
Hukum Ekonomi Digital didekati dan dibahas melalui
pendekatan teori hukum, legislasi, dan regulasi sehingga
dapat dicapainya tujuan masyarakat informasi di Indone-
sia yang bersumber kepada Pancasila dan berdasar

6 C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,


Binacipta-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman,
Bandung, 1988, hlm. 45-46.
7 Id.
8 Id.

xvii
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hukum Ekonomi
Digital adalah platform untuk mengantisipasi percepatan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pemanfaatan
infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan
inovasi teknologi informasi yang masif. Buku ini diawali
dengan pemahaman Teoretikal Hukum Ekonomi Digital
yaitu teori hukum ekonomi digital; hukum, legislasi dan
regulasi; asas-asas hukum ekonomi digital; kaidah dan
norma hukum ekonomi digital; dan institusionalisasi
hukum ekonomi digital. Pembahasan berikutnya adalah
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0
(konsepsi keadilan, konsepsi kepastian hukum, konsepsi
ketertiban, konsepsi kemanfaatan); kemudian Fungsi
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 (per-
sonal, sosial,transaksional, nasional dan global); dan Peran
Hukum Ekonomi Digital Dalam Revolusi Industri 4.0 serta
ditutup dengan pembahasan tentang Legislasi dan
Regulasi Ekonomi Digital Indonesia yaitu revolusi finansial
digital dan Big Data; transaksi finansial dalam yurisdiksi
virtual; dan regulasi teknologi finansial (fintech) di Indo-
nesia.
Buku ini merupakan bentuk syukur dan penghargaan
untuk seluruh ilmu pengetahuan dari para mahaguru
Penulis, terutamanya dalam memahami cyberlaw dan tek-
nologi informasi serta hukum ekonomi di Indonesia yaitu
Prof. Dr. Mieke Komar Kantaatmadja, Prof. Dr. E. Saefullah
Wiradipradja, Prof. Dr. C.F.G Sunaryati Hartono, Prof.
Dr. Ahmad Ramli, Dr. Budi Rahardjo, dan Dr. Dimitri
Mahayana.

xviii
Materi-materi yang disusun dan dimuat dalam Buku
ini didasarkan kepada rujukan dari tulisan-tulisan ilmiah
berbentuk buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian, kamus
dan karya tulis lain termasuk naskah akademik, baik dalam
format cetak maupun virtual dimana seluruh Hak Cipta
yang melekat sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang
bagi para penulisnya.
Buku ini tentu tidak akan pernah dapat terwujud
dengan tanpa izin dan ridha Allah SWT karenanya dihatur-
kan terima kasih dan penghargaan bagi seluruh pihak yang
dengan telah ikhlas membantu dengan tulus. Namun
izinkan Penulis secara khusus menghaturkan terima kasih
atas kebaikan dan bantuan yang luar biasa kepada Aep
Gunarsa sebagai Editor dan Hendra Kurniawan sebagai
Desainer Sampul. Penulis haturkan pula terima kasih
kepada Penerbit LoGoz.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Buku ini
hanyalah sebagian kecil dari keinginan untuk memahami
samudera ilmu-Nya Yang Maha Luas oleh karenanya
kekurangan adalah suatu kenyataan. Besar harapan dari
Penulis bahwa saran dan masukan dapatlah diberikan
sebagai upaya untuk lebih meningkatkan pemahaman atas
kebesaran dan keimanan kepada Allah SWT.

Bandung, Juni 2019

Danrivanto Budhijanto

xix
xx
Senarai Isi

KATA PENGANTAR MENTERI KOMUNIKASI


DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA
RUDIANTARA ........................................................ v

PENGANTAR PENULIS ......................................... vii

BAB I
TEORETIKAL HUKUM EKONOMI
DIGITAL DI INDONESIA ......................................... 1
A. Teori Hukum Ekonomi Digital ......................... 17
B. Hukum, Legislasi dan Regulasi ........................ 26
C. Asas-Asas Hukum Ekonomi Digital .................. 31
D. Kaidah dan Norma Hukum Ekonomi Digital .... 36
E. Institusionalisasi Hukum Ekonomi Digital ......... 44

BAB II
HUKUM EKONOMI DIGITAL
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0 ........................ 55

xxi
A. Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ............................. 60
1. Konsepsi Keadilan .................................... 79
2. Konsepsi Kepastian Hukum ...................... 89
3. Konsepsi Ketertiban.................................. 92
4. Konsepsi Kemanfaatan ............................. 94
B. Fungsi Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 104
1. Fungsi Personal ...................................... 108
2. Fungsi Sosial .......................................... 113
3. Fungsi Transaksional .............................. 123
4. Fungsi Nasional dan Global.................... 125
C. Peran Hukum Ekonomi Digital
dalam Revolusi Industri 4.0 ........................... 128

BAB III
LEGISLASI DAN REGULASI
EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA ................... 145
A. Revolusi Finansial Digital dan Big Data .......... 146
B. Regulasi Teknologi Finansial (FinTech)
di Indonesia ................................................. 158
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial ................................ 162
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang
Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox)
Teknologi Finansial ................................ 166

xxii
3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi,
dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial ................................ 170
4. Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018
tentang Inovasi Keuangan Digital
di Sektor Jasa Keuangan .......................... 172

SENARAI PUSTAKA ............................................ 177

GLOSARIUM ...................................................... 191

INDEKS .............................................................. 197

LAMPIRAN
I. UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan TransaksiElektronik ...... 209
II. UU No. 19 Tahun 2016 tentangPerubahan
AtasUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ..... 249
III. Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017
tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial .. 271
IV. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba
Terbatas (Regulatory Sandbox)
Teknologi Finansial ....................................... 297

xxiii
V. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara
Pendaftaran, Penyampaian Informasi,
dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial ....................................... 317
VI. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan ..................... 333

xxiv
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB 1
TEORETIKAL HUKUM EKONOMI
DIGITAL DI INDONESIA

“Tampaklah bahwa tidak hanya bidang Ekonomi harus


ditangani secara konseptual, sistemik dan profesional, tetapi
bidang Hukum Ekonomi pun mau tidak mau juga harus dipelajari,
ditekuni, dibahas dan dikembangkan secara konseptual, sistemik
dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan
kebijaksanaan dan pengambilan keputusan
di bidang ekonomi.”
C.F.G Sunaryati Hartono, 2003

1
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pemikiran berkaitan Hukum dan Ekonomi (Law and Eco-


nomics) mulai muncul secara global sebagai pandangan
para ahli pada awal 1970-an, ketika sejumlah para ahli
hukum dan ekonomi mengembangkan suatu metodologi
‘baru’ dan teori Yurisprudensial dengan mempergunakan
analisis ekonomi terhadap hukum. Pemahaman ‘baru’
tentang Hukum dan Ekonomi pada awal 1970-an dimak-
sudkan sebagai kerangka teoretis baru untuk secara sis-
tematis menggambarkan dan memformulasikan putusan
hakim dan pengambilan keputusan di tatanan hukum.
Pendirian utama yang baru dalam Hukum dan Ekonomi1
adalah terhadap suatu putusan hakim secara umumnya
dapat dilakukan penelitian dan jika perlu diperbaiki sesuai
dengan penerapan konsep ekonomi yang fundamental.2
Pertentangan dan perbedaan terjadi pula antara para
pemikir aliran Hukum dan Ekonomi yaitu antara penganut

1 Pemahaman awal berkenaan dengan topik Hukum dan Ekonomi dimulai


dari pemahaman the ‘old’ law and economics dan the ‘new’ law and
economics. Pemahaman “the old law and economics” berkaitan dengan
analisis ekonomi terhadap hukum persaingan usaha, hukum perpajakan
dan hukum korporasi, yang memiliki permasalahan-permasalahan men-
dasar dengan bagaimana indikator-indikator ekonomi memberikan
pengaruh terhadap pengaturan atau regulasi dan penerapannya dalam
pasar. Lihat Posner, The Economic Analysis of Law (3d ed. 1986). Pada
‘the new lawand economics’ lebih menerapkan kepada analisis ekonomi
terhadap pengaturan ‘common law’ seperti hukum kontrak, hukum kepe-
milikan dan tort, dimana relevansi ekonomi lebih kecil keterkaitannya.
Lihat Posner, “The Economic Approach to Law”, 53 TEX. L. REV. 757
(1975). Perbedaan antara “new and old versions of law and economics”
muncul pada saat praktisi-praktisi hukum akan menerapkan dalam
kegiatan mereka. Lihat P. Areeda and D. Turner, Antitrust Law: An Analysis
of Antitrust Principles and Their Application (Vols. 1-8) (1986).
2 Karya tulisan yang paling maju dan berpengaruh terhadap diperkenal-
kannya analisis ekonomi untuk diterapkan dalam hukum adalah dari
Posner yaitu bukunya The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed.
1986.

2
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

ortodoks dan penganut pembaharuan. Posisi pemikiran


penganut ortodoks Hukum dan Ekonomi dikembangkan
melalui satu metodologi dasar berdasarkan pada perspektif
ekonomi dari Chicago School.3 Chicago School adalah
‘hardliners’ yang merupakan para pelopor (the founding
fathers) pada 1970-an dan awal 1980-an yang mendorong
dengan kuat suatu hipotesis tentang law-and-efficiency.
Hipotesis dimaksud secara normal dihubungkan dengan
pandangan dari Judge Richard A. Posner yang menyatakan
bahwa common law merupakan suatu wahana utama untuk
menciptakan dan mendorong efisiensi, hal mana oleh
Posner diberikan ungkapan ‘wealth maximization’.4 Pende-
katan dimaksud mendasarkan kepada premis argumentasi
bahwa struktur dari common law pada hakikatnya dimak-
sudkan untuk memaksimalkan nilai hukum/keputusan
hakim agar dapat diperhitungkan dengan mata uang (dollar).5
Pada pertengahan tahun 1980-an, pengaruh dari
Chicago School mencapai puncaknya.6 Generasi baru dari

3 Lihat Minda, “The Lawyer-Economist at Chicago: Richard A. Posner


“The Economic Analysis of Law”, 39 OHIO ST. L.J. 439, 462 (1978); R.
Posner, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed. 1986; R. Posner,
The Economics of Justice, Harvard, 1981. Lihat pula Minda, “The Law
and Economics and Critical Legal Studies Movements in American Law”,
sebagaimana dimuat dalam Law and Economics 87 (N. Mercuro ed.
1989).
4 Posner, “Utilitarianism, Economics, and Legal Theory”, 8 J. LEGAL STUD.
103 (1979)
5 Lihat R. Posner, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed. 1986,
hlm. 20-22.
6 Lihat Richard Posner, “Wealth Maximization and Judicial Decision mak-
ing”, 4 INT’L. REV. L. & ECON. 131 (1984); Posner, “The Ethics of Wealth
Maximization: Reply To Malloy”, 36 KANSAS L. REV. 261, 263 (1988).
Lihat pula Greenwalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive
Quest for the Fetters That Bind Judges”, 75 COLUM. L. REV. 359 (1975).

3
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Hukum dan Ekonomi telah muncul, mereka memiliki ‘jarak’


pemikiran dengan penganut ortodoks dari Chicago School
dan mulai mengembangkan metodologi alternatif untuk
mendekati analisis ekonomi terhadap hukum (economic
analysis of law).7 Para pemikir Hukum dan Ekonomi
bersepakat bahwa analisis efisiensi dari ekonomi adalah
‘suatu jalan keberhasilan’ untuk memahami perilaku
hukum, namun banyak praktisi saat ini menolak pema-
haman dimaksud karena ‘efisiensi’ tidaklah harus dianggap
sebagai satu-satunya norma hukum yang terkait dengan
keputusan hakim pada common law.8
Perkembangan terakhir, bahkan telah muncul lagi
generasi baru kedua dari para pemikir Hukum dan Ekonomi
yang lebih baru pemikirannya dan dikenal dengan ‘genu-
inely reformist law and economics’. Mereka berpendapat
bahwa tidak seharusnya aturan-aturan hukum hanya men-
dasarkan kepada efisiensi semata baik yang menerimanya
ataupun yang menolaknya, namun perlu juga diarahkan
kepada eksaminasi terhadap hukum publik dan justifikasi
normatifnya.9 Para pemikir dari generasi baru kedua Hukum
dan Ekonomi telah membantu untuk pada akhirnya

7 Leff, “Economic Analysis of Law: Some Realism About Nominalism”, 60


VA. L. REV. 451 (1974) dan Ulen, “Law and Economics: Settled Issues
And Open Questions”, Law and Economics210 (N. Mercuro ed. 1989).
8 Lihat Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”,
Law and Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 210 dan R. Cooter
& T. Ulen, Economics of Law (1988).
9 Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”, Law
and Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 253.

4
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menetapkan suatu gerakan “liberal school of law and eco-


nomics” yang New Haven atau Reformist School.10
Generasi terkini dari mazhab Hukum dan Ekonomi lebih
cenderung untuk menahan diri terhadap fungsionalisasi dari
peran ekonomi terhadap hukum dan lebih sedikit menerima
orientasi konservatif dari para pelopor Chicago School.11
Beberapa hal berkenaan dengan metodologi telah dicapai
kesepakatan, seperti antar lain bahwa klaim dimana teori
ekonomi mikro adalah satu basis untuk menganalisis
hukum; analisis manfaat-biaya (cost-benefif) dan definisi
ekonomi untuk biaya (opportunity cost) adalah penting
untuk dipahami bagi para pembuat keputusan yang bijak.
Para pemikir dari generasi kedua Hukum dan Ekonomi telah
beralih dari pemikiran ortodoks terhadap ‘efisien’ bahwa
hal dimaksud bertanggungjawab kepada hampir setiap
permasalahan hukum, dan sebagai gantinya mereka mene-
gaskan bahwa ‘permasalahan-permasalahan hukum dan
ekonomi’ tetap masih terbuka untuk selalu ada hingga jangka
waktu panjang.12
Generasi Kedua para pemikir Hukum dan Ekonomi juga
lebih berwawasan luas secara teoretis serta jauh lebih
canggih dibandingkan para pelopor (founding fathers)
Hukum dan Ekonomi.13 Generasi baru Hukum dan Eko-
nomi telah mengembangkan teori ekonomi mikro yang
10 Fiss, “The Death of the Law?”, 72 CORNELL L. REV. 1 (1986); Kornhauser,
“The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349 (1984).
11 Rose-Ackerman, “Inalienability and The Theory of Property”, 85 COLUM.
L. REV. 931 (1985) .
12 Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Questions”, Law
and Economics 210 (N. Mercuro ed. 1989), hlm. 224-225.
13 Ibid.

5
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menjanjikan sesuatu yang lebih realistis, namun demikian


tetap diperlukan pemahaman yang jelas atas hal-hal terkait
dengan birokrasi, institusional dan konteks keterhubungan
transaksi modern, hubungan hukum, dan putusan hakim.
Teori Baru berkenaan keterhubungan perjanjian dan peri-
laku strategis diusulkan untuk dimodifikasi atau menggan-
tikan model yang statis serta asumsi teori ekonomi mikro
neoklasikal yang digunakan oleh para praktisi Chicago
School.14
Sebuah kelompok baru dari para pemikir Public Choice
pada gilirannya menawarkan pula suatu teori untuk pema-
haman ekonomi atas hukum menurut undang-undang serta
perilaku dari pembuat undang-undang.15 Pemikir Hukum
dan Ekonomi dari New Haven School,16 menyatakan
bahwa visi penganut pembaharuan pemikiran berkenaan
digunakannya analisis ekonomi untuk mempertahankan
berbagai konsepsi liberal terhadap hukum dan putusan
hakim.17 Pada kenyataannya, mazhab Hukum dan
Ekonomi telah tumbuh untuk meliputi sejumlah besar

14 Lihat Goetz & Scott, “Principles of Relational Contracts”, 67 VA. L. REV.


1089 (1981); MacNeil, “Contracts: Adjustments of Long-Term Economic
Relations Under Classical, Neoclassical, and Relational Contract Law”,
72 NW. U.L. REV. 854 (1978); dan O. Williamson, The Economics of
Discretionary Behaviour: Managerial Objectives in a Theory of the Firm
(1964).
15 M. Olsen, The Logic of Collective Action (1965) sebagaimana pula dimuat
dalam “Symposium on the Theory of Public Choice”, 74 VA. L. REV. 167
(1988); Easterbrook, “Statutes Domain”, 50 U. CHI. L. REV. 533 (1983);
Posner, “Economics, Politics and the Reading of Statutes and the Consti-
tution”, 49 U. CHI. L. REV. 262 (1982).
16 Fiss, “The Death of the Law?” 72 CORNELL L. REV. 1 (1986); Kornhauser,
“The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349 (1984).
17 Roberto Unger, The Critical Legal. Studies Movement12 (1983).

6
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

perspektif teoretis yang divergen terhadap konsepsi normatif


tentang hukum dan putusan hakim.
Walaupun mazhab Hukum dan Ekonomi telah menga-
lami dinamika pemahaman yang berbeda secara teori dan
perspektif, namun ada beberapa pemahaman yang sama
dan sejalan dari para pemikir Hukum dan Ekonomi. Lewis
Kornhauser, seorang pemikir dari generasi kedua Hukum
dan Ekonomi, telah mengidentifikasikan empat persamaan
pernyataaan pemikiran dari ‘corpus’ mazhab Hukum dan
Ekonomi yaitu:
(1) suatu ‘pernyataan tingkah laku’ (behavioral claim) yang
menyatakan bahwa teori ekonomi dapat menyediakan
suatu teori yang bagus untuk menggambarkan/
memprediksikan bagaimana orang akan bertindak
berdasarkan suatu aturan hukum;18
(2) suatu ‘pernyataan normatif’ (normative claim) yang
menyatakan bahwa ‘hukum haruslah mampu untuk
efisien;19
(3) suatu ‘pernyataan fakta atau positif’ (positive claim) yang
menyatakan bahwa dalam common law terdapat
hukum yang sesungguhnya sudah efisien;20 dan

18 Lihat Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349


(1984); Minow, “Law Turning Outward”, 73 TELOS 79 (1986); Posner,
“The Decline of Law as an Autonomous Discipline: 1962-1987”, 100
HARV. L. REV. 761 (1987); Sunstein, “Feminism and Legal Theory”, 101
HARV. L. REV. 826 (1988); West, “Jurisprudence and Gender”, 55 U.
CHI. L. REV. 1 (1988); White, “Economics and Law: Two Cultures in
Tension”, 54 TENN. L. REV. 161 (1986).
19 Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L. REV. 349
(1984) hlm. 354.
20 Ibid.

7
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(4) suatu ‘pernyataan genetik’ (genetic claim) yang menya-


takan bahwa common law cenderung untuk memilih
aturan yang efisien, walaupun tidak setiap aturan akan
efisien di setiap waktu.21

Berdasarkan pendapat dari Kornhauser bahwa setiap


bagian dari hukum dan ekonomi adalah melekat baik secara
tegas maupun implisit, terhadap satu atau lebih dari per-
nyataan yang secara logika berbeda.22 Kornhauser mengi-
dentifikasikan bahwa hanya para pelopor dari Chicago
School yang mengadopsi hipotesis ‘law-and-efficiency’ dan
menganut keempat pernyataan Hukum dan Ekonomi
dimaksud di atas. Para pemikir mazhab Hukum dan
Ekonomi menerima ‘pernyataan tingkah laku’ dimana
individu memberikan reaksi secara rasional terhadap insentif
dan aturan hukum yang mempengaruhi perilaku. Karena
para pemikir dimaksud telah menguji bahwa ‘pernyataan
normatif’ mengidentifikasikan adanya keterkaitan antara
perilaku yang efisien dengan dipilihnya aturan-aturan yang
diterapkan’,23 mereka menggunakan ‘pernyataan tingkah
laku’ untuk mengidentifikasikan hukum yang mempe-
ngaruhi perilaku efisien. Bagi mereka, proses peradilan oleh
hakim merupakan ‘latihan’ terkait antar lain dengan analisis
manfaat (cost and benefit analysis), transaksi biaya pengu-
rangan (transaction cost reduction), pengkajian risiko (risk
assessment), dan maksimalisasi kekayaan (wealth maxi-

21 Id, hlm. 355.


22 Id, hlm. 353.
23 Id, hlm. 354.

8
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

malization). Seperti dalam perspektif ekonomi bahwa


ditempatkannya para juri dalam peran ‘social engineer’
(pengubah masyarakat) dengan tujuan berbeda terhadap
pembentukan hak dan kewajiban dengan memperhatikan
alokasi sumber daya yang efisien.24
Pernyataan Positif dan Pernyataan Genetik Hukum dan
Ekonomi yang diidentifikasikan oleh Kornhauser meng-
gambarkan posisi dari penganut Chicago School, yang
memandang ‘common law’ sebagai sebuah sistem dari
aturan yang berdasar kepada fakta atau secara alamiah
(genetika) memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi
perilaku efisien berdasarkan hukum.25 Perspektif hukum
dasar mereka adalah suatu produk pandangan dunia yang
mengejar kebenaran tentang hukum di dalam satu para-
digma yang mengevaluasi hukum berdasarkan ukuran
standar yang universal, seperti ‘wealth maximalization’.
Untuk penganut pemahaman dimaksud maka hipotesis ‘law-
and-efficiency’ adalah suatu prinsip organisasional yang
menyeluruh untuk pemahaman terhadap sifat alami
hubungan hukum.26
Para pemikir dari generasi kedua mazhab Hukum dan
Ekonomi, bagaimanapun juga tetap menolak efisiensi
berdasarkan ‘pernyataan normatif’ dan ‘pernyataan genetik’
yang diidentifikasikan oleh Kornhauser atau walau
pernyataan-pernyataan dimaksud merupakan hal yang

24 Berbeda dengan konsepsi Roscoe Pound tentang social engineering,


sebagaimana dimuat dalam “A Survey of Social Interest”, 57 HARV. L.
REV. 1 (1943).
25 Kornhauser, Loc.Cit.
26 White, Op Cit, hlm.168.

9
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

persuasif.27 Sementara generasi terbaru dari mazhab Hukum


dan Ekonomi mengadopsi ‘pernyataan positif’ tentang
analisis ekonomi terhadap hukum, dengan cara yang
berbeda sebagaimana yang sebelumnya diidentifikasikan
oleh Kornhauser. Mereka hanya mengakui bahwa suatu
aturan hukum hanya dapat diuji dengan menggunakan teori
ekonomi mikro,28 dan istrumen-instrumen (tools) dari teori
ekonomi mikro akan menyediakan penjelasan atas hukum
dan perkiraan konsekuensi dari penerapan hukum itu
sendiri.29 Pernyataan Positif yang dianut oleh para pemikir
generasi terbaru Hukum dan Ekonomi nampak bersahaja,
karena mereka hanya berasumsi bahwa hukum dapat dipa-
hami sebagai sebuah sistem yang rasional dari perilaku
berbasis pada kepentingan ekonomi. Sebagai ganti daripada
mengadopsi hipotesis law-and-efficiency, para pemikir ini
menganut hipotesis bahwa ‘hukum adalah rasional’ (law is
rational).30
Karena hal tersebut maka satu-satunya pernyataan yang
diidentifikasikan oleh Kornhauser sebagai karakter meto-
dologi dominan pada pergerakan Hukum dan Ekonomi hari
ini adalah ‘pernyataan tingkah laku’ (bevavioral claim).31
Pernyataan dimaksud disetujui oleh seluruh generasi
mazhab Hukum dan Ekonomi untuk kunci dalam mema-
hami pandangan rasional sebagai instrumen kalkulasi yang

27 Rose-Ackerman, Op Cit, hlm. 237 dan Ulen, Op Cit, hlm. 210.


28 Ulen, Loc Cit.
29 R. Cooter & T. Ulen, Op Cit, hlm. 11.
30 ‘The fundamental hypothesis of the economic analysis is that law is
rational.’
31 Kornhauser, Op Cit, hlm. 29.

10
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

lebih tajam antara kemanfaatan dan biaya perseorangan (in-


dividual cost and benefit) serta mengevaluasi hubungan
hukum dalam berbagai sistem aturan. Pernyataan tingkah
laku terhadap ekonomi menetapkan konsensus pandangan
bahwa ‘hukum adalah rasional dan karenanya dapat
dianalisis oleh konsepsi ekonomi’.32 Semua penganut dari
mazhab Hukum dan Ekonomi mempercayai bahwa aturan
hukum memiliki kemiripan dengan ‘harga’ dan para subjek
hukum adalah individu yang rasional sempurna untuk
memperhitungkannya.33
Jika ada perbedaan pemikiran secara ideologis terhadap
mazhab Hukum dan Ekonomi maka hal dimaksud bukan-
lah perspektif konservatif dari Chicago School atau hipotesis
‘law-and-efficiency’. Pemahaman atau ideologi dari per-
gerakan Hukum dan Ekonomi dapat dengan baik diterang-
kan hari ini sebagai kaitan dengan suatu pandangan dunia
tertentu yang berasumsi bahwa rasionalitas dan kepentingan
ekonomi membentuk satu prinsip universal yaitu untuk

32 R. Cotter & T. Ulen, Op Cit, hlm. 12.


33 Kornhauser, Op Cit, hlm 353, dimuat “Thus, a liability rule, which im-
poses costs on individuals for various actions, may be seen as setting the
price for engaging in those activities”. Lihat pula R. Cooter & T. Ulen, Op
Cit, hlm. 11; dimuat “the rule that gift promises are generally unenforce-
able raises the implicit price to those who truly wish to make such a
promise and also raises the price of taking action in reliance on such a
promise’s being fulfilled; the rule that grants an exclusive property right,
good against the world, to the person who authors an original novel
lowers the costs to the author of defending her work against expropria-
tion and thereby induces her to expend additional resources in writing;
the rule that imposes liability on some who fail to take a reasonable
amount of precaution raises the price of being careless and thereby
increases the amount of precuation consumed.”

11
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

memahami hukum dan putusan hakim.34 Pernyataan


Tingkah Laku dan Pernyataan Positif dari generasi kedua
Hukum dan Ekonomi mengamati pandangan dimaksud
bahwa hukum dan dunia sosial yang lebih besar mungkin
dapat dipahami sebagai sebuah sistem perilaku rasional,
yang kadang dipengaruhi oleh impuls ke arah efisiensi dan
kadang juga tidak pada lain waktu, namun selalu berda-
sarkan kepada suatu hasil yang memiliki tujuan. Berdasarkan
cara dimaksud, ajaran ‘hukum adalah rasional’ mengkarak-
terisasi suatu pandangan dunia tertentu dengan berbasis
pada kepercayaan yang universal, pengetahuan yang
objektif tentang sesuatu yang membentuk motivasi indi-
vidual.35
Dalam ruh dari paham positivisme logis (logical posi-
tivism), para ahli hukum tetap memelihara suatu perspektif
tentang dunia yang mengasumsikan kebutuhan atas sesuatu
yang abstrak, universal, dan rasional.36 Terminologi yang

34 Kelman, “Misunderstanding Social Life: A Critique of the Core Premises


of ‘Law and Economics’”, 33 J. LEGAL EDUC. 274 (1983); Peller, “The
metaphysics of American Law”, 73 CALIF. L. REV. 1151, 1268 (1985).
35 Roberto Unger, “The Critical Legal Studies Movement”, Harvard Law
Review, January 1983 menyatakan ‘the belief that the authoritative legal
ideas-embody and sustain a defensible scheme of human association.’
dan ‘laws are not merely the outcome of contingent power struggles or of
practical pressures lacking in rightful authority.’
36 R. Posner, The Economic Analysis of Law dinyatakan bahwa ‘But it is true
that the assumptions of economic theory are one-dimensional and pal-
lid when viewed as descriptions of human behavior .... However, ab-
straction-reductionism if you like-is of the essence of scientific inquiry.’
Lihat pula Sen, “Rational Foolds: A Critique of Behavioral Foundations of
Economic Theory”, 6 PHIL. & PUB. AFF. 317; Fletcher, “Fairness and
Utility and Tort Theory”, 85 HARV. L. REV. 537 (1972); Tribe, “Policy
Science: Analysis or Ideology?”, 2 PHIL. & PUB. AFF. 66 (1972); Tribe,
“Technology Assessments and the Fourth Discontinuity: The Limits of
Instrumental Rationality”, 46 S. CAL. L. REV. 617 (1973).

12
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dipergunakan oleh gerakan Hukum dan Ekonomi melan-


jutkan pemahaman itu bahwa untuk mengasumsikan agar
analisis hukum dapat terus berproses maka diperlukan
penelitian ilmiah atas fenomena yang kompleks dan abstrak
untuk disederhanakan sebagai hukum yang universal.
Perspektif dimaksud dapat dipahami sebagai suatu standar
yang bisa diterima untuk menganalisis suatu argumentasi
hukum.37 Diasumsikan bahwa seorang pengacara mampu
menemukan suatu basis yang secara relatif stabil untuk
memberikan justifikasi terhadap akibat hukum dengan
proposisi universal tentang hukum, terlepas dari spekulasi
tentang motivasi ekonomi dari individu-individu yang
homogen. Hipotesis ‘hukum adalah rasional’ menjadi dapat
diterima sebagai jalan keluar permasalahan untuk men-
standarkan analisis terhadap suatu argumentasi hukum.38
Tidak seperti para ahli hukum tradisional yang mem-
fokuskan penelitian mereka lebih kepada hukum yang
tertulis (legal texts), para ahli hukum dari mazhab Hukum
dan Ekonomi melihat dari luar hukum yang tertulis dalam
mengembangkan perkiraan ekonomi yang berbasis rasio-
nalitas terhadap kepentingan murni dari subjek hukum pada
saat dihadapkan oleh kekuatan memaksa dari hukum yang

37 Berdasarkan Hukum dan Ekonomi maka argumentasi hukum harus


dinilai sebagai putusan yang didasarkan kepada logika yang dapat
diperkirakan dan dinyatakan pendekatan konseptual dalam Hukum dan
Ekonomi.
38 Frug, Argument, Op Cit, hlm. 872, dinyatakan bahwa ‘Argument as Char-
acter ... involves examining the elements of [legal argument] such as
facts, precedents and principles, not in terms of how they support the
argumet’s conclusion but in terms of how they form attitudes or induce
actions in others.’

13
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

mengatur atau memerintah.39 Hampir keseluruhan dari


penganut mazhab Hukum dan Ekonomi, selalu menyer-
takan variabel “kenaifan” ke dalam penelitian mereka seba-
gai bentuk pemahaman dari Pernyataan Tingkah Laku yang
berasumsi bahwa kekuatan memaksa dari hukum yang
mengatur atau memerintah tidak mempunyai efek terhadap
struktur pilihan dasar dari para subjek hukum.40 Dalam
menitikberatkan konsekuensi dari perilaku yang berda-
sarkan hukum, maka mazhab Hukum dan Ekonomi menem-
patkan lebih sedikit perhatian terhadap konsep hukum atas
hak (rights) sebagai suatu kerangka normatif untuk mene-
tapkan kewajiban-kewajiban korelatif (correlative duties) dan
sebagai gantinya menitikberatkan pada konsekuensi tingkah
laku dari berbagai kumpulan aturan hukum. Sebagai akibat-
nya, ‘hak dan kewajiban-kewajiban korelatif’ dimaksud tidak
lagi dapat menjadi pemegang utama dalam analisis ekonomi
terhadap hukum.41
Kekuatan ekonomi baru telah menjadikan para ahli
hukum untuk membuat satu pergeseran dalam perspektif ana-
lisis mereka ke arah perspektif normatif dari rasionalitas baru,
dimana terjadi re-karakteristik fakta yang menurut hukum
relevan sebagai permasalahan normatif terhadap kerangka
biaya dan manfaat dalam konteks sempit dari teori ekonomi
mikro.42 Pergeseran dalam perspektif analisis telah memung-
kinkan ahli teori hukum untuk melakukan restrukturisasi

39 Kornhauser, Op Cit, hlm. 34 dan Ulen, Op Cit, hlm. 211.


40 Lihat Kornhauser, Op Cit, hlm. 43-44.
41 Id, hlm. 31.
42 Gjerdingen, “The Coase Theorem and the Psychology of Common Law
Thought”, 56 S. CAL. L. REV. 711 (1983).

14
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kategori hukum dalam cara yang fundamental. Para ahli


hukum memanfaatkan pemahaman yang mendalam dari ahli
hukum-ekonomi yang berpendapat bahwa subjek yang
nampaknya tidak bertalian, seperti dalam kontrak, hukum
benda, keperdataan, dan hukum pidana dapat diteliti dari
suatu perspektif yang lebih universal. Para ahli hukum dapat
mengakui bahwa perkara penipuan surat-surat berharga
tidaklah kemudian menjadi sama tingkatannya dengan
perkara gangguan yang disebabkan oleh polusi udara.43
Mazhab Hukum dan Ekonomi juga menawarkan suatu
pendekatan baru kepada para ahli hukum. Para penganut
mazhab Hukum dan Ekonomi berpendapat dimana
perlunya para ahli hukum harus berkonsentrasi pada
perumusan dan kemudian menguji ‘falsifiable’, terkait
dengan penyelundupan hukum terkait kehidupan sosial.44
Pendekatan yang mendasar digunakan untuk menjadikan
hukum sebagai sesuatu yang mungkin dapat dipelajari dan
dipahami sebagai suatu ‘ilmu pengetahuan’ (science).
Sementara itu para pemikir hukum dan ekonomi memahami
bahwa para pemikir hukum tradisional telah rancu dalam
melakukan pendekatan dan metodologinya, mereka ber-
pendapat bahwa justifikasi berkenaan dengan doktrin
hukum saat ini dimungkinkan karena adanya analisis
ekonomi. Sementara itu hanya para pelopor Chicago School
43 Ackerman, Op Cit, hlm. 59 dinyatakan bahwa ‘While a layman might
think that there is almost nothing in common between, say, the problems
raised by securities fraud and those raised by air pollution, a common
externality analysis makes it possible for lawyers in one field to learn from
the regulatory experience in the other.’
44 Lihat Tushnet, “Legal Scholarship: Its Causes and Cure”, 90 YALE L.J.
1205, 1211 (1981).

15
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

berpendapat bahwa prinsip maksimalisasi kekayaan (wealth


maximization) dapat mengandaskan analisis hukum, semua
penganut mazhab Hukum dan Ekonomi percaya bahwa
hakim mampu memahami perilaku rasional sebagai sebuah
standar universal untuk mengkaji hukum ‘secara objektif.’
Hakikat mazhab Hukum dan Ekonomi adalah untuk
menyediakan suatu metode universal dalam mencapai
suatu pemahaman menyeluruh dari permasalahan-perma-
salahan hukum.45
Jika analisis ekonomi memungkinkan terjadinya pene-
rapan pemberlakuan untuk semua subjek hukum,46 maka
kemudian para ahli hukum mempunyai suatu instrumen
atau perangkat (tool) yang kuat untuk memahami dan mem-
bangun hukum serta peraturan perundang-undangan.
Perangkat (tool) baru ini, bagaimanapun mencoba mema-
hami hukum sebagai gagasan dimana suatu permasalahan
dapat dipelajari secara ‘autonomously’ melalui metode
tradisional berbentuk analisis hukum. Analisis ekonomi
terhadap hukum ‘baru’ meminta para ahli hukum mencari
di luar hukum (beyond the law) untuk menemukan suatu
medium baru dalam pemecahan permasalahan secara
kebijakan. Pada akhirnya akan berujung kepada perlunya
pemahaman baru atas legitimasi hukum.47

45 Pemahaman bahwa hukum adalah suatu badan universal bukanlah


prinsip yang sama sekali baru, sebagaimana diungkapkan sebelumnya
oleh Langdell, Preface to Selection on Cases on The Law of Contracts
(1879) dan Ackerman, Introduction: On the Role of Economic Analysis
in Property Law, in Economic Foundations of Property Law (B. Ackerman
ed. 1975).
46 Lihat Posner, Op Cit, hlm.18.
47 Lihat pula Minow, Op Cit, hlm. 89, dinyatakan bahwa “narguing that

16
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

A. TEORI HUKUM EKONOMI DIGITAL


C.F.G Sunaryati Hartono sebagai Ibu Hukum Ekonomi di
Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa dalam teori
hukum dimuat istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terje-
mahan dari Economisch Recht (Belanda) atau Economic
Law (Amerika). Sekalipun demikian menurut Sunaryati,
pengertian atau konotasi Economisch Recht di Belanda
ternyata berbeda dengan arti Economic Law di Amerika
Serikat.48 Sebab pengertian Economisch Recht (Belanda)
sebenarnya berasal dari istilah Droit E’conomique (Perancis)
yang sebelumnya dipakai oleh GerardFarjat dan yang
setelah Perang Dunia Kedua berkembang menjadi Droit de
l’economie.49 Droit E’conomique adalah kaidah-kaidah
Hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari
kekuasaan eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930-an
diadakan untuk membatasi kebebasan pasar di Perancis,
demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya
mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebu-
tuhannya akanpangan, tetapi agar rakyat petani dan buruh
juga tidak akan mati kelaparan.50
Krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan nama “mal-
aise” di tahun 1930-an itulah yang mengakibatkan adanya
koreksi terhadap faham “pasar bebas”, karena ternyata Peme-

behind each of the new trends in law, including law and economics, is ‘a
brooking doubt about whether law deserves a privileged place in resolv-
ing conflict and ordering society”.
48 C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Binacipta-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman,
Bandung, 1988, hlm. 45-46.
49 Id., hlm. 42-43
50 Idem

17
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

rintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan


Hukum Administrasi Negara yang menentukan harga mak-
simum dan harga minimum bagi bahan-bahan pokok mau-
pun menentukan izin-izin Pemerintah yang diperlukan untuk
berbagai usaha di bidang ekonomi, seperti misalnya untuk
membuka perusahaan, untuk menentukan banyaknya pena-
naman modal; dan dalam usaha apa modal ditanamkan;
untuk mengimpor atau mengekspor barang, kemana,
seberapa dan sebagainya. Peraturan-peraturan Hukum
Administrasi Negara seperti itu dicakup dengan nama Droit
E’conomique atau Hukum Ekonomi dalam arti sempit.
Kemudian, setelah Perang Dunia Kedua, yaitu sekitar
tahun 1945-an, negara-negara Eropa yang harus memba-
ngun kembali negaranya dengan bantuan International
Bank for Reconstruction, PBB diwajibkan menyusun Ren-
cana Pembangunan Lima Tahun yang mendasari kepu-
tusan IBRD untuk memberi bantuan kepada negara-negara
yang bersangkutan. Persetujuan internasional antara IBRD
dan negara penerima bantuan dituangkan dalam kebijak-
sanaan dan peraturan hukum negara penerima bantuan
untuk dilaksanakan, seperti misalnya sampai kini juga terjadi
di Indonesia sejak Orde Baru. Keseluruhan kebijaksanaan
dan peraturan hukum yang tidak hanya terbatas pada
Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur hal-
hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum
Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata Internasional,
bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana, dicakup
dengan nama Droit de l’Economique atau Hukum Ekonomi
dalam arti luas.

18
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Tekno-Legislasi (tecno-legislation) atau Legislasi


Teknologi menjadi suatu paradigma dan kerangka baru
dalam pembentukan hukum dan norma. Tekno-Legislasi
dalam pemahaman Dogmatika Hukum menjadi paralel
dengan munculnya paradoks Teori Hukum yang telah
memasuki Abad Digital Informasi.51 Trio teoretikus sepan-
jang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato akan
terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika mereka
masih bisa menjadi saksi hidup Abad Digital Informasi.
Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak hanya memiliki
karakter filosofis, historis, humanis, sosiologis, psikologis,
bahkan ekonomis namun sudah mengarah kepada tekno-
logis. Ternyata yang dapat mengantisipasi permasalahan
yang muncul akibat pemanfaatan teknologi adalah sistem
hukum, bukan teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel
memberikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas
uraian pemikirannya dalam History Lessons for a General
Theory of Law and Technology yaitu:52
“The marvels of technological advance are not always
risk- free. Such risks and perceived risks often create new
issues and disputes to which the legal system must
respond.” (Dicetak tebal oleh Penulis)

51 Pa-ra-doks (n) adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berla-


wanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya
mengandung kebenaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI Dalam
Jaringan)
52 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law and
Technology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology, Vol.
8:2, 2007, hlm. 551.

19
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, sebagai-


mana yang dipahami dari Sudikno Mertokusumo bahwa
teori hukum berhubungan dengan hukum pada umumnya
dan dikenal sebagai meta teori Ilmu Hukum.53 Teori Hukum
digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum
tertentu yang mendasar, yang berkaitan dengan masalah-
masalah hukum positif (legal problems, legislations issues,
regulations disputes) tetapi jawabannya tidak dapat dicari
atau diketemukan dalam hukum positif (peraturan
perundang-undangan).54 Sudikno dengan tegas meng-
kualifikasikan bahwa Teori Hukum adalah teorinya Ilmu
Hukum, dan Ilmu Hukum adalah teorinya peraturan
perundang-undangan dan praktik hukum.
Arief Sidharta menyatakan pula bahwa Teori Hukum
adalah seperangkat pernyataan (klaim), pandangan dan
pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan
dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem
tersebut, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berda-
sarkannya dimungkinkan untuk merancang hipotesis
tentang isi aturan hukum (yakni produk interpretasi aturan
hukum) dan konsep yuridik yang terbuka untuk pengujian,
dan berfungsi untuk mensistematisasi kaidah-kaidah hukum
dengan cara tertentu.55 Bagi Arief, Teori Hukum berfungsi
untuk menjelaskan, menilai dan memprediksi dengan

53 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit Cahaya Atma


Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.
54 Idem, hlm. 4.
55 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan
Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

20
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

metode interpertasi suatu peraturan perundang-undangan,


yang digunakan dalam praktik hukum dan secara rasional
dikaji konsistensinya dalam kerangka sistem hukum yang
berlaku.56
Alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari daratan
Eropa dan Amerika Serikat ke Indonesia tidak lepas dari
peran para tokoh pemikir hukum (prominent legal scholar)
yang berkesempatan langsung mempelajari teori-teori
hukum di Belanda dan Amerika Serikat. Terutamanya pemi-
kiran dari Amerika Serikat menjadi landasan dasar (platform)
pemahaman Teori Hukum di dunia. Calabresi secara meya-
kinkan menyampaikan sebagai berikut:57
“In the early days of this century, this approach focused
on sociology. Later, in a sort of renaissance during the
New Deal, it relied on rudimentary economics as well
as on sociology, and somewhat later yet, on psychol-
ogy and psychoanalysis. In its amazingly successful
1960s ‘rediscovery’, which for a while threatened, fool-
ishly, to dominate all of U.S. law, it concentrated on quite
sophisticated economic insights. Today, while the New
(1960s) Economic Analysis of Law (if somewhat less
vainglorious than at earlier times) remains alive and well,
so do Law and Philosophy, Law and Psychoanalysis,
Law and History, Law and Literature, and any number
of other permutations and combinations of the ‘Law and
... theme’.”
56 Id.
57 Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four Approaches
to Law and to the Allocation of Body Parts”, (2003), Stanford Law Review,
Vol. 55, hlm. 2112-2113.

21
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bahkan beberapa tokoh pemikir hukum Indonesia


dimaksud bertemu dan menjadi mahasiswa dari tokoh-tokoh
teori hukum dimaksud. Salah satu tokoh pemikir hukum
Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja yang berke-
sempatan memperoleh alih pengetahuan dari Harvard Law
School dan Yale Law School Amerika Serikat. Teori Hukum
Pembangunan yang dikenal sebagai respon antisipatif
terhadap variabel pembangunan di tahun 1970-an merupa-
kan karya paripurna (masterpiece of mind) dari Mochtar
Kusumaatmadja.
Lili Rasjidi telah membuka tabir Teori Hukum Pemba-
ngunan, bahwa sepanjang yang Beliau ikuti dari Mochtar
Kusumaatmadja maka pemikiran dimaksud dapat dibeda-
kan dalam dua fase perkembangan.58 Fase Pertama, terjadi
antara kurun waktu 1970-an sampai dengan sekitar tahun
1990-an, pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dapat
ditelusuri dari buku-buku kecil yang berasal dari berbagai
kertas kerja yang dicetak Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran serta
disebarluaskan oleh Penerbit Binacipta Bandung dan kemu-
dian dikompilasi menjadi buku dengan judul Konsep-
konsep Hukum dalam Pembangunan oleh Editor HR Otje
Salman dan Eddy Damian, diterbitkan pertama kali oleh
Alumni pada tahun 2002.59

58 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-


gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum
Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema Insti-
tute, Jakarta, 2012, hlm. 122.
59 Id.

22
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Fase Kedua, diawali ketika Mochtar Kusumaatmadja


mulai tertarik mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila
ke dalam pandangan-pandangan teoretisnya di bidang
hukum dan mulai mendasarkan pemikirannya pada
khazanah budaya lokal.60 Lili Rasjidi memahami bahwa
Mochtar Kusumaatmadja sudah beranjak dari posisinya
sebagai ilmuwan hukum dan mencoba memasuki wilayah
kajian filsafat hukum.61
Penyatuan keterhubungan (interplay) antara pemikiran
Fase Kesatu dan Fase Kedua dari Mochtar Kusumaatmadja
adalah kemampuan pikir unggul Beliau untuk merepre-
sentasikan teori-teori hukum global dengan kondisi faktual
bangsa Indonesia, dengan nilai dan konseptualiasi pemi-
kiran Pancasila. Pemikiran Fase Kesatu merupakan hasil
konvergensi pemikiran-pemikiran besar yang sudah teruji
di daratan Eropa dan Amerika Serikat. Hukum adalah yang
meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta
proses-proses yang mewujudkan hukum ke dalam kenya-
taan kehidupan masyarakat.62
60 Id.
61 Ibid, hlm. 123.
62 Lihat Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 dan HR Otje Salman S dan
Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Mem-
buka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, bahwa:
1. Konsep “asas” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam
dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan Hugo
Grotius bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi yang direflek-
sikan dengan asas dan prinsip.
2. Konsep “kaidah” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Positivisme
Hukum dan Legisme dengan tokoh-tokohnya yaitu Jellinek, Hans
Kelsen, dan John Austin bahwa hukum adalah perintah (command),
kewajiban, sanksi sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-
undangan oleh yang memiliki kekuasaan (negara).

23
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa Mochtar


Kusumaatmada telah berhasil bukan hanya membuat defi-
nisi tentang hukum melainkan berhasil menemukan apa
yang dimaksud dengan konsep hukum dalam pengertian
yang dinamis (dynamic system of norms) yang meliputi
keempat unsur-unsur di atas sebagai suatu rangkaian yang
berhubungan satu sama lain dan selalu dalam keadaan
dinamis (bergerak).63 Romli melalui Teori Hukum Integratif
berupaya memberikan pencerahan mengenai relevansi dan
arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia
dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang
mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari
kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis
lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.64 Teori
Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang

3. Konsep “lembaga” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sejarah


dengan tokoh-tokohnya yaitu Carl von Savigny dan Puchta bahwa
hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda-beda menurut
waktu dan tempatnya, serta bersumber pada pergaulan hidup manu-
sia dari masa ke masa (sejarah) tercermin melalui perilaku semua
individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana
kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh
para ahli hukumnya (doktrin).
4. Konsep “proses” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sociologi-
cal Jurisprudence dengan tokoh-tokohnya yaitu Roscoe Pound, Eugen
Ehrlich, Benjamin Cardozo bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Selain
juga bersumberkan pemikiran dari Mazhab Pragmatic Legal Realism
dengan tokoh-tokohnya Oliver Wendell Homes, Karl Llewellyn dan
juga Roscoe Pound, bahwa hukum itu merupakan “a tool of social
enginnering” dan memahami pentingnya rasio atau akal sebagai
sumber hukum.
63 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2012, hlm. 47.
64 Idem, hlm. 97-98

24
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dinamis, tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan


hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara
aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat
nasional dan internasional dari waktu ke waktu.65
Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman
konseptual dan teoretikal Penulis dari penyatuan (conver-
gence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum
terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad
Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional
maupun tataran internasional. Paradigma dari konvergensi
tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih
mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi kon-
vergensi dan konsepsi non-konvergensi hukum.66 Pende-
katan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau
perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan
sistem hukum yang berbeda diharapkan dapat menjelaskan
pentingnya Teori Konvergensi Hukum.
Para ahli hukum berpendapat bahwa suatu sistem
hukum dibentuk mendasarkan kepada format yang berbeda
namun tetap memiliki kesatuan inti pemahaman.67 Basil
Markesinis sesuai dengan pendekatan hukum perban-
dingan, berpendapat bahwa suatu sistem hukum mene-
mukan cara yang berbeda untuk mendekati suatu perma-

65 Idem, hlm. 98
66 Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional Methodolgy
of Comparative Legal Studies and An Example from Private International
Law”, Cardozo Journal of International and Comparative Law, Fall 2005.
67 James Gordley, “Is Comparative Law a Distinct Discipline?”, 46 Am. J.
Comp. L. 607 (1998).

25
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

salahan serupa,68 dan dalam pelaksanaannya sering men-


capai hasil yang secara fungsional serupa. Markesinis
berpendapat perlunya difokuskan pada persamaan dari
sistem hukum yang berbeda karena dunia memiliki
perbedaan.69

B. HUKUM, LEGISLASI DAN REGULASI


Bertambah pentingnya peranan teknologi di zaman modern
ini bagi kehidupan manusia dan pengaruhnya terhadap
kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya menye-
babkan bahwa faktor-faktor ini pun tidak dapat diabaikan.
Kesemuanya ini berarti bahwa proses pembentukan
undang-undang harus dapat menampung semua hal yang
erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah
yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila
perundang-undangan itu hendak merupakan suatu penga-
turan hukum yang efektif. Efektifnya produk perundang-
undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian
akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan
dalam pelaksanaannya. Karenanya pengertian hukum yang
memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatau perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehi-

68 Basil S. Markesinis & Hannes Unberath, The German Law of Torts: A


Comparative Treatise (2002); Basil S. Markesinis, Foreign Law & Com-
parative Methodology: A Subject & a Thesis (1997); Basil S. Markesinis,
Always on the Same Path: Essays on Foreign Law & Comparative Meth-
odology (2001).
69 Basil S. Markesinis, Foreign Law & Comparative Methodology: A Sub-
ject & a Thesis, 6 (1997).

26
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula menca-


kup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.70
Suatu Teori Hukum tidak terlepas dari lingkungan
zaman dimana teori tersebut lahir karena dia harus menja-
wab permasalahan hukum yang dihadapi atau mem-
permasalahkan suatu pendapat/pikiran tentang hukum yang
dominan pada saat itu. Hukum terikat pada waktu, tempat,
dan jika ingin memenuhi fungsinya.71 Hukum merupakan

70 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,


Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja-
sama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 30.
71 Lihat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is rechtstheorie?, 1982
(Apakah Teori Hukum itu?), diterjemahkan oleh Arief Sidharta,
Laboratorium Hukum-Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, 2000 yang mengkualifikasikan dan menjelaskan bahwa:
1. Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah Filsafat yang diterapkan pada hukum atau
gejala-gejala hukum. Filsafat Hukum berada pada tataran yang “lebih
tinggi” dibandingkan Teori Hukum dan Filsafat Hukum memiliki
cakrawala yang “lebih luas” karenanya Filsafat Hukum harus mampu
memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan dan tuntas untuk
sebuah tata hukum (rechtsbestel) atau tatanan hukum (rechtsorde).
Filsafat Hukum harus mampu memberikan dan menyediakan
pengertian-pengertian fundamental yang akan digunakan pada karya
ilmiah emprikal dalam Teori Hukum dan Dogmatika Hukum.
2. Teori Hukum
Ketika ilmu ditujukan untuk menemukan kebenaran, Dogmatika
Hukum hanya dapat mencapai kebenaran sebagian saja kebenaran
sesungguhnya tentang hukum. Teori Hukum harus berupaya
mencapai ke belakang kebenaran yang lebih dalam dari hukum
dengan suatu penelitian tentang latar belakangnya dalam konteks
yang lebih luas dari keseluruhan masyarakat. Teori Hukum berupaya
untuk menjelaskan hukum secara mendasar dan memberikan
jawaban atas pertanyaan ilmiah “mengapa hukum itu adalah
sebagaimana ia adanya”. Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk
pada kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum ke
dalam konteks total dari kenyataan-kenyataan faktual dan keyakinaan
idiil yang hidup dan terkait padanya serta mengintegrasikannya ke

27
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

ungkapan dari suatu pola kultur tertentu, gambaran manusia


dan masyarakat tertentu.72
William Twining dalam Globalisation and Legal Theory
mengemukakan bahwa perlu dilakukan kategorisasi teori-
teori hukum sesuai dengan zamannya sehingga sulit untuk
menyatakan bahwa suatu teori yang bersifat universal.73
Teori-teori yang lahir pada abad ke-19 atau abad ke-20
karena latar belakangnya berbeda memiliki pendekatan
yang berbeda pula. Teori-teori yang lahir pada abad ke-21
akan dipengaruhi oleh tantangan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta globalisasi di berbagai
bidang akan sangat mewarnai teori-teori hukumnya. Faktor
yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam
pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu
menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”.74
dalam pergaulan hidup masyarakat. Teori Hukum memiliki metode
interdisipliner, dengan fungsi menggabungkan (overkoepelen) dan
mensintesa dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum sehingga dikenal
dengan metode interdisipliner sintetikal.
3. Dogmatika Hukum
Dogmatika Hukum dapat didefinisikan sebagai cabang dari Ilmu
Hukum yang berkenaan dengan objek-objek (pokok pengaturan)
dari hukum, berkenaan dengan tata hukum (rechtsbestel) dalam
keseluruhannya, menghimpun bahan-bahan yang relevan dan
mengolahnya ke dalam suatu perkaitan yang koheren, dengan tujuan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan
tunggal tentang pokok telaah yang diteliti dan semata-mata berda-
sarkan kepada sumber-sumber pengetahuan yang tersaji dalam
hukum. Kegunaan dari Dogmatika Hukum adalah upaya menemu-
kan dan menghimpun bahan empirikal sampai ke sudut-sudut terjauh
dari hukum. Tugas utama dari Dogmatika Hukum adalah penataan
dan pengolahan sistematikal terhadap bahan-bahan dimaksud.
72 Ibid
73 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-
don, 2000, hlm. 52-53.
74 Leonard J. Theberge. “Law and Economic Development”, Journal of
lnternational Law and Politic vol. 9 (1989). H. 232

28
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi


apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas
(stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan meng-
akomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predict-
ability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil
khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya
untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi
melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek
keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar
pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga
mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.
Hukum Ekonomi Indonesia dapat dikategorikan menjadi
sebagai berikut:75
a. Hukum Ekonomi Pembangunan adalah yang
menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum menge-
nai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehi-
dupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi)
secara nasional dan berencana;
b. Hukum Ekonomi Sosial adalah yang menyangkut
pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara
pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional itu
secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kema-
nusiaan (hak-hak asasi manusia) manusia Indonesia
(distribusi yang adil dan merata); dan

75 Hukum Ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi Hukum Ekonomi


Pembangunan dan Hukum Ekonomi Nasional merupakan hasil
pemikiran C.F.G Sunaryati Hartono sebagaimana dimuat dalam buku
Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta-Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bandung, 1988, hlm. 41.

29
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

c. Hukum Ekonomi Digital adalah yang menyangkut


pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara
meregulasi (regulator), memfasilitasi (fasilitator), dan
mengakselerasi (akselerator) pembangunan ekonomi
nasional berbasis teknologi digital dan demokratisasi
ekonomi bersama (sharing economy) dalam yurisdiksi
virtual Indonesia.

Sunaryati Hartono memberikan suatu pemahaman


bahwa Hukum Ekonomi Pembangunan bahwa peranan
Pemerintah sebagai unsur pembaharu dan pemberi arah
kepada pembangunan ekonomi itu lebih menonjol.76
Sunaryati menjelaskan pula Hukum Ekonomi Sosial
tekanannya adalah pada pembagian pendapatan nasional
secara adil dan merata, memelihara, dan meningkatkan
martabat kemanusiaan manusia Indonesia dalam rangka
pembangunan ekonomi dimaksud.77 Hukum Ekonomi
Digital adalah platform untuk mengantisipasi percepatan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan pemanfaatan
infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan inovasi
teknologi informasi yang masif.
Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut
pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem
ekonomi Indonesia yang terarah, sedangkan Hukum
Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut pemikiran hukum
dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana
meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia

76 Id.
77 Id.

30
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sebagai perorangan, dan tetap memelihara harkat dan


martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap
menjunjung tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak
yang lemah dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah
dimaksud. Sunaryati menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah
Hukum mengenai Ekonomi Indonesia memiliki sifat Hukum
Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial
sehingga didefinisikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah
dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur
kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia.78
Perkembangan teknologi informasi yang berbasis infra-
struktur digital di Indonesia menjadikan pemahaman
teoritikal dan pratikal C.F.G Sunaryati Hartono tentang
Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Ekonomi
Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah keseluruhan
kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara
khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi digital
di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital.

C. ASAS-ASAS HUKUM EKONOMI DIGITAL


Pengertian globalisasi dapat dipahami sebagai suatu
kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan dan mengkon-
solidasikan suatu unifikasi dunia ekonomi, satu sistem
ekologi, dan satu jaringan komunikasi yang melingkupi
seluruh dunia. Pengertian dimaksud sebagaimana yang
diungkapkan oleh William Twinning yaitu “... In the present

78 Idem, hlm. 53.

31
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

context the term ‘globalisation’ refers to those process which


tend to create and consolidate a unified world economy, a
single ecological system, and a complex network of com-
munications that covers the whole globe, ...”.79
Globalisasi sejatinya dari sisi proses bukanlah hal baru
dimana lahirnya negara-negara modern telah dimulai
semenjak abad ke-16. Dimana telah dimulai dilakukannya
internasionalisasi dan mengalirnya arus perpindahan masya-
rakat, agama dan perdagangan sebagai prakondisi dari
perkembangan ekonomi internasional dan budayanya.
Dikaitkan dengan hubungan internasional sebagaimana
yang diungkapkan oleh John Rawls bahwa adanya asumsi
terhadap Teori Hukum hari ini dapat diperlakukan kepada
masyarakat sebagai “hypothetically closed and self-sufficient
unit”.80 Dimana proses dari globalisasi secara fundamental
telah merubah secara signifikan batas-batas negara, bangsa
dan masyarakat.
Globalisasi dan interdependensi telah mengubah
pemahaman teori kotak hitam (black box theory) dimana
cara pandang pada suatu negara atau masyarakat atau sistem
hukum merupakan hal yang tertutup dan lembaga yang
tidak dapat diintervensi serta terisolasi baik secara internal
dan eksternal. Dua hal utama yang akan terjadi, Pertama,
hukum nasional tidak lagi diperlakukan sebagai yang tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti pada hukum
hak asasi manusia, hukum perdagangan internasional (Gen-

79 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-


don, 2000, hlm. 4.
80 Ibid

32
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

eral Agreement on Trade and Tariff/GATT). Kedua, doktrin


kedaulatan negara mulai bergeser khususnya dalam bidang
hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi
manusia.
Teori hukum yang berkiblat kepada Anglo-American
menitikberatkan kepada dua jenis tertib hukum yaitu hukum
nasional dan hukum internasional. Pada hari ini, kerangka
hukum di dunia harus berhadapan dengan masalah-masalah
yang lebih rumit seperti penyusunan, kebangkitan kembali,
pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tata tertib
hukum. Dalam skala global telah dibutuhkan adanya
tatanan hukum yang baru, terutamanya dalam bidang ling-
kungan hidup, telekomunikasi dan sumber daya alam.
Diharapkan ius humanititas dapat mengatur sumber daya
alam sebagai “the common heritage of mankind” baik ber-
sandarkan kepada filosofi dan politis. Pengembangan lebih
lanjut peran dari lex mercatoria sebagai upaya untuk mela-
kukan pengaturan perekonomian dunia.
Tantangan terbesar dari globalisasi terhadap Teori
Hukum adalah konstruksi dari kerangka Teori Hukum yang
dapat melebihi budaya hukumnya sendiri. Pada abad ke-
19 titik sentral dari Teori Hukum adalah analitikal dan histo-
rikal juris. Dimana paham dari John Austin yang menitik-
beratkan kepada “principles, notions, and distinctions” yang
dapat ditemui pada sistem hukum yang sudah mapan.
Dampak globalisasi terhadap Teori Hukum dapat
dipahami bahwa Teori Hukum harus mampu menjelaskan
dengan gambaran yang menyeluruh yaitu deskriptif, ekspla-
natori, normatif dan analitikal terhadap fenomena hukum

33
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

pada dunia modern.81 Teori Hukum dimaksud didasarkan


kepada konstruksi dari berbagai perspektif yaitu tidak hanya
kepada hukum nasional dan hukum internasional akan
tetapi termasuk pula tata aturan global, regional, trans-
nasional dan lokal yang telah dianggap sebagai “aturan”
dimana tujuan dan berkaitan di antara mereka. Hal dimak-
sud akan mengarah kepada pluralisme hukum baik di antara
atau di luar sistem hukum nasional maupun budaya dan
tradisi.82
Teori Hukum sebagai ajaran Ilmu hukum adalah untuk
memahami hukum pada dunia yang modern maka dampak
dari globalisasi dan interpendensi menjadikan perlunya
multi-interpertasi bahwa suatu fenomena setempat perlu
ditinjau dari perspektif yang lebih luas terhadap dan termasuk
kepada dunia dan umat manusia pada umumnya. Teori
Hukum sebagai dampak dari globalisasi harus tetap mampu
mengakomodasi pluralisme budaya yang ada.
Konsep-konsep hukum tentang konvergensi (conver-
gence), harmonisasi (harmonization), dan unifikasi (unifica-
tion) telah menjadi konsep-konsep yang terus berkembang
khususnya dalam studi perbandingan hukum. Konsep-
konsep hukum dimaksud secara umum dapat dipahami
sebagaimana dimuat dalam tabel berikut ini:83

81 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-


don, 2000, hlm. 52-53.
82 Ibid
83 Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic Interpertation of Legal
Transplants”, Journal of Legal Studies, The University of Chicago, Juni,
2006. “Convergence is used to refer to the coming together of legal
systems, concepts, principles, or norms; harmonization is seen as an
approximation of national or state laws by virtue of provisions laid down

34
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Tabel 1. Konsep Hukum Konvergensi, Harmonisasi dan Unifikasi

Konsep Hukum Pemahaman Umum

Konvergensi Dipergunakan sebagai upaya untuk penyatuan


sistem-sistem hukum, konsepsi, prinsip-prinsip,
atau norma-norma.

Harmonisasi Dipergunakan sebagai upaya untuk menyiapkan


hukum nasional atau hukum negara bagian yang
memiliki keterkaitan pengaturan didasarkan
kepada hukum, regulasi dan tindakan administratif.

Unifikasi Dipergunakan sebagai upaya harmonisasi secara


ekstrem baik terhadap perbedaan maupun
fleksibilitas dalam pengaturan dan tidak
memberikan ruang terhadap ketentuan lain.

D. KAIDAH DAN NORMA


HUKUM EKONOMI DIGITAL
Pemikiran untuk mengantisipasi implikasi konvergensi
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap kaidah
dan norma tekno-legislasi Hukum Ekonomi Digital dalam
tiga pemikiran utama, yaitu:84
1. Pemikiran pertama, memiliki keterkaitan dengan perma-
salahan bentuk yang memadai dari struktur institusi
regulator untuk mengantisipasi dampak konvergensi TIK
di negara-negara yang mengatur telekomunikasi dan
penyiaran di bawah rezim pengaturan yang terpisah;
by law, regulation, or administrative action; and unification is an extreme
version of harmonization in which differentiability or flexibility is ruled
out and no derogation in the preempted areas is allowed.”
84 Angeline Lee, “Convergence in Telecom, Broadcasting and it: A Compara-
tive Analysis of Regulatory Approaches in Malaysia, Hong Kong and
Singapore”, Singapore Journal of International and Comparative Law,
2001.

35
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

2. Pemikiran kedua, berhubungan dengan pergeseran


fokus pengaturan atau regulasi yang lebih kepada
pengaturan kompetisi dan pengendalian penguasaan
pasar di dalam industri konvergensi TIK; dan
3. Pemikiran ketiga, berhubungan dengan kebutuhan
akan satu pendekatan menyeluruh (holistic) untuk mem-
bentuk suatu kerangka konvergensi TIK.

Pemikiran pertama dimaksud di atas, telah cenderung


untuk menyederhanakan permasalahan dan menyelesaikan
permasalahan dengan bertumpu kepada satu regulator
supra-nasional untuk melakukan pengaturan sekaligus
untuk telekomunikasi dan penyiaran. Pendekatan ini
nampak tidak memperhatikan perlunya pemahaman
pendekatan lintas-sektor horizontal (cross-sectoral horizontal
approach) sebagaimana direkomendasikan oleh OECD85
dan beberapa negara telah mengadopsi seperti Australia
salah satunya.
Pemikiran kedua dimaksud di atas, merupakan upaya
pergeseran dalam regulasi yang memfokuskan kepada
pengaturan kompetisi dan penguasaan pasar sehingga
terjadi deregulasi dan pasar yang turut terkonvergensi. Pada
pemahaman berikutnya maka diperlukan pengaturan yang
lebih mengarah kepada bentuk formal hukum dan regulasi
kompetisi. Memperhatikan fakta sejarah dalam pengaturan
kewenangan dalam regulasi kompetisi adalah sejauh mana

85 Lihat Report of OECD Roundtable on Regulation and Competition Issues


in Broadcasting in the Light of Convergence DAFFE/CLP(99)1 (1999)
hlm. 78-81.

36
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

untuk dapat memperkenalkan kerangka aturan kompetisi


yang bersifat khusus (lex specialis) dan berdiri sendiri (sui
generis), dimana pada sisi yang lain pemerintah belum siap
untuk memperkenalkan hukum persaingan usaha yang
bersifat umum.
Pemikiran ketiga dan terakhir dimaksud di atas adalah
untuk menggunakan pendekatan menyeluruh (holistic)
untuk membangun satu kerangka konvergensi, walaupun
tidak menjadi sederhana dikarenakan perlu memperbaiki
peraturan perundang-undangan telekomunikasi yang sudah
tidak sesuai lagi (outdated) bagi era pre-liberalisasi.86 Upaya
dimaksud diperlukan untuk meminimalkan gangguan dan
memastikan stabilitas pasar untuk operator serta penyedia
layanan telekomunikasi. Salah satu jalan keluar adalah
memberikan tugas dan kewenangan bagi suatu regulator
yang menyatu (combined regulator) dengan tanggung
jawabnya kepada industri konvergensi.
Hukum Moore memberikan pemahaman bahwa
penggerak utama dari digital ekonomi adalah peningkatan
eksponensial berkelanjutan dalam kinerja biaya TIK,
terutama mikroelektronika.87 Digitalisasi desain, manufaktur
maju dan robotika, komunikasi, dan jaringan komputer

86 Diperkenalkannya suatu pengaturan baru merupakan refleksi dari tujuan


regulasi ke arah suasana liberalisasi dan konvergensi.
87 MOORE’S LAW (Hukum Moore) adalah sebuah pengamatan yang
dilakukan oleh pendiri Intel Gordon Moore pada tahun 1965 yang
menyatakan bahwa jumlah transistor yang dapat dipasangkan ke sirkuit
terpadu bisa bertambah dua kali lipat dalam setiap 18 bulan. Silahkan
mengakses laman https://www.intel.com/content/www/us/en/silicon-in-
novations/moores-law-technology.html

37
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terdistribusi (Internet) telah mengubah proses inovasi dan


kemungkinan relokasi kerja selama beberapa dekade.
Ekonomi Digital atau Digital Economy menjadikan 3
(tiga) kecenderungan yang relatif barupada pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi yang sangat maju serta
semakin meningkat dimana-mana.88 Pertama, ada sumber
data baru, dari ponsel cerdas hingga sensor pabrik,
menghasilkan akumulasi data dalam jumlah besar di
“cloud,” dan menciptakan kumpulan informasi yang dapat
digunakan untuk membuat wawasan, produk, layanan baru
– juga sebagai risiko bagi masyarakat. Kedua, model bisnis
yang didasarkan pada platform teknologi dan produk –
inovasi platform, kepemilikan platform, dan keterpaduan
platform– adalah, dalam berbagai industri dan area produk,
secara radikal mengubah struktur industri dan ketentuan
persaingan usaha. Ketiga, kemajuan kuantitatif dalam
teknologi semikonduktor yang dijelaskan dalam Hukum
Moore di beberapa bidang, terutama pemrosesan grafis,
maju ke titik di mana perubahan kualitatif mulai terjadi dalam
aplikasi praktis untuk pembelajaran mesin berbasis kecer-
dasan buatan (Artificial Intelegence).
Pendekatan ‘satu untuk semua’ (one stop shopping)
memiliki kemanfaatan bagi industri sehingga dapat memi-
nimalkan biaya administratif untuk pemerintah dan perce-
patan proses waktu untuk pelaku pasar. Tentu saja secara
politis tidak menyenangkan, dimana kewenangan regulasi

88 THE NEW DIGITAL ECONOMY AND DEVELOPMENT, UNCTAD Tech-


nical Notes on ICT for Development, TECHNICAL NOTE NO8, TN/
UNCTAD/ICT4D/08, October 2017.

38
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

informasi publik (content regulation) secara tradisional


memang berada di bawah kendali dari suatu kementrian
pemerintahan yang berorientasi politis, budaya dan kebu-
tuhan sosial dari negara dimaksud.
Pelepasan kendali dari fungsi sebelumnya kepada satu
kementerian baru dengan tanggung jawab untuk men-
dorong dan mengembangkan sektor teknologi informasi dan
komunikasi (TIK-ICT) terkadang tidak harus sejalan dengan
pengaturan, tujuan dan kemampuan dari kementrian baru
yang dibentuk. Contoh di Malaysia, meskipun dengan
penetapan dari suatu regulator yang menyatu di bawah
kewenangan dari satu kementerian baru yaitu Ministry of
Communications and Multimedia namun Ministry of Infor-
mation masih mempertahankan kewenangannya atas Radio
Television Malaysia (RTM) yang merupakan lembaga
penyiaran nasional.89
Pendekatan satu regulator (single operator) perlu mem-
perhatikan pendekatan lintas-sektor horizontal (cross-
sectoral horizontal approach) sebagaimana direkomen-
dasikan oleh OECD dan diadopsi oleh Australia.90 Pende-

89 SM Hussein, “The Malaysian Communications and Multimedia Act 1998


- Its Implications on the Information Technology (IT) Industry”, (2000) 9
Information and Communications Technology Law 79; ‘Fears of “broad-
casting invasion”’, (Singapore) Straits Times, 6 Mar 2000; ‘Control of
core media stays local, says BG Yeo’, (Singapore) Straits Times, 6 Mar
2000; ‘Controls on foreign broadcasters soon’, (Singapore) Straits Times,
10 Mar 2001 and ‘BG Yeo explains why changes to SBA Act needed’,
(Singapore) Business Times, 12 May 2001.
90 Untuk pemaparan umum tentang rezim pengaturan di Australia dapat
dilihat pada Australian Telecommunications Regulation, the Communi-
cations Law Centre Guide (Communications Law Centre, 1997); OECD
Report; dan J Rodwell, ‘Australia’, Oct 1997, The Asia Law Guide to
Telecommunications 51.

39
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

katan ini mengalokasikan tanggung jawab di antara institusi


regulator yang berbeda dengan dasar fungsional lintas sektor
(contohnya perekonomian, kompetisi dan permasalahan
materi atau isi dialokasikan kepada masing-masing regula-
tor sektoral nasional yang berbeda masing-masing tanggung
jawabnya untuk setiap area regulator). Di Australia, regulasi
untuk layanan telekomunikasi, pengaturan isi (content) dan
kompetisi telah dialokasikan berturut-turut kepada Commu-
nications Australia Authority (ACA), Broadcasting Australia
Authority (ABA) dan Competition Australia and Consumer
Commission (ACCA).
Negara-negara yang cenderung untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian regulasi isi (content) untuk
terpisah dari area regulasi lainnya, menggunakan pende-
katan ini untuk dapat mempertahankan kendali atas isi (con-
tent) di bawah suatu kementrian pemerintah terpisah. Seiring
waktu maka setiap institusi regulator akan meningkatkan
keahlian dan kemampuannya sesuai area yang diperun-
tukan bagi masing-masing regulator. Salah satu kelemahan
dari pendekatan ini adalah pembiayaan awal dan opera-
sional dari sejumlah institusi regulator mungkin saja menjadi
lebih tinggi daripada mengoperasikan satu regulator tunggal.
Untuk negara-negara kecil dengan jumlah operator yang
tidak banyak dan penyedia layananan telekomunikasi serta
dimana ukuran pasar yang kecil maka pendekatan dimaksud
menjadi tidak sesuai.
Liberalisasi dan deregulasi telekomunikasi menjadikan
diyakini dan diterimanya peran institusi regulator dengan
paradigma baru dari regulasi yang lebih memfokuskan

40
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kepada regulasi penguasaan pasar di area-area monopoli


alamiah yang semakin menyempit.91 Fokus dari regulasi
penyiaran juga turut berubah dengan adanya konvergensi,
dari yang sebelumnya berbentuk kendali langsung atas isi
(content) dan iklan, kini mengarah kepada kompetisi dan
pengendalian penguasaan pasar.92
Fokus perhatian ini dapat ditangani dengan baik oleh
institusi regulator jika seluruh tenaga regulator ditujukan
kepada suatu kerangka kompetisi yang kuat.93 Praktik dari
negara-negara seperti Malaysia, Hong Kong dan Singapura
yang sebelumnya tidak memiliki sejarah regulasi kompetisi
dan dimana pemerintah belum pula siap untuk memper-

91 Contoh berkenaan dengan penggunan the local loop atau local cable-
based networks. Lihat Knieps, “Deregulation in Contestable and Non-
Contestable Markets:Interconnection and access” (2000) 23 Fordham
International Law Journal 90 dan Kearney and Merrill, “TheGreat Trans-
formation of Regulated Industries Law” (1998) 98 Columbia Law Review
1323.
92 Lihat Report of OECD Roundtable on Regulation and Competition Issues
in Broadcasting in the Light of Convergence DAFFE/CLP(99)1 (1999).
93 Lihat Judge R Posner, “The Effects of Deregulation on Competition: The
Experience of the United States “(2000) 23 Fordham International Law
Journal S 7, beliau menyampaikan pendapat: “Because deregulation
contemplates the substitution of competition for regulation as the ‘regu-
lator’ of the deregulated markets, deregulation increases the importance
of antitrust law as a means of preventing unregulated firms from eliminat-
ing competition amongst themselves by mergers or price-fixing agree-
ments .... It is important that ‘competition’ be understood in its correct
economic sense, lest antitrust become another form of regulation. Com-
petition is not a matter of many sellers or low prices or frequent changes
in prices or market shares. It is properly regarded as the state in which
resources are deployed with maximum efficiency, and it is not so much
the existence of actual rivalry, let alone any specific market or structure or
behavior, as the potential for rivalry, that assures competition. The proper
role of antitrust law is to protect that potential by limiting mergers, pre-
venting the formation and operation of cartels and other horizontal price-
fixing or market-dividing agreements or modalities, and, to a limited
extent, preventing abusive tactics by individually powerful firms”.

41
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kenalkan hukum persaingan usaha secara umum,94 satu


permasalahan yang masih perlu dicarikan jalan keluarnya
oleh regulator adalah sejauh mana untuk dapat diperke-
nalkan suatu kerangka kompetisi efektif yang sudah ada atau
baru sama sekali. Pada saat kondisi telekomunikasi dan
penyiaran tetap dilanjutkan untuk diatur secara terpisah di
bawah rezim yang berbeda, penerapan aplikasi asimetris
dari kompetisi yang mengatur hanya kepada satu sektor,
dan kondisi yang mendorong ke arah inkonsistensi juga perlu
ditangani secara tepat.95
Pada akhirnya, suatu karakteristik umum dari
perundang-undangan komunikasi pre-liberalisasi khususnya
perundang-undangan telekomunikasi dari praktik negara-
negara adalah mereka pada mulanya membuat draft
peraturan perundang-undangan tentang liberalisasi dan
kompetisi. Pengaturan regulasi dari layanan telekomunikasi
pada waktu sebelumnya adalah dilakukan oleh suatu institusi
pemerintahan atau badan kuasi pemerintah dengan hak
monopoli terhadap layanan dimaksud.
Permasalahan apapun yang muncul dari layanan
telekomunikasi dimaksud cukup dicarikan jalan keluarnya
secara internal oleh badan itu sendiri tanpa diperlukan
adanya intervensi legislatif atau regulasi. Perundang-
undangan terkait dengan kegiatan konvergensi teleko-
munikasi dan penyiaran harus dirancang secara lebih

94 Praktik di Hong Kong dapat diketahui pada tulisan R Wu and G Leung,


“Media Policy and Regulation in the Age of Convergence - The Hong
Kong Experience”, (2000) 30 Hong Kong Law Journal 454.
95 Ibid.

42
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

memadai untuk melingkupi seluruh kegiatan konvergensi


dimaksud. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penga-
turan dimaksud antara lain adalah layanan universal,
perlindungan konsumen, alokasi spektrum, regulasi kom-
petisi, meningkatkan peran perizinan menjadi ‘class licence’
berkait kepada regulasi telekomunikasi.
Pemikiran yang muncul terkait dengan kewenangan
terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya
kegiatan konvergensi, adalah perlu diteliti dan digantinya
regulasi dengan perundang-undangan de novo atau apakah
perlu membuat perundang-undangan baru berdasarkan
kebutuhan dan berbasis incremental. Pembentukan pera-
turan perundang-undangan memerlukan pertimbangan
waktu dan dipikirkan secara hati-hati. Hal dimaksud tidak
memungkinkan atau sulit untuk dapat dipraktikan jika proses
liberalisasi berjalan sangat cepat seperti yang terjadi di
Singapura. Tersamarnya batasan-batasan antara telekomu-
nikasi dan penyiaran sebagai hasil konvergensi maka
pendefinisian ulang dari pasar dan parameter-parameter
dalam suatu industri yang dinamis dan yang cepat berubah
adalah suatu tugas yang tidak sederhana. Regulasi berkaitan
dengan kesempatan untuk masuk ke pasar telekomunikasi
dan penyiaran mendasarkan kepada diterbitkannya dan
klarifikasi atas izin kepada operator serta penyedia layanan
adalah konsekuensi dari perubahan definisi dari legislasi
yang baru. Hal dimaksud dapat secara potensial menye-
babkan permasalahan utama bagi para operator dan
penyedia layanan.

43
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

E. INSTITUSIONALISASI HUKUM EKONOMI DIGITAL


Globalisasi menyebabkan terjadinya konvergensi dari
tatanan hukum (legal order) atau sistem hukum. Para ahli
hukum dan ekonomi telah memprediksikan bahwa tatanan
hukum akan bergerak ke arah yang lebih memadai. Mereka
berpendapat bahwa implikasi dari globalisasi akan
memaksa tatanan hukum untuk berkonvergensi sehingga
tercapainya efisiensi secara ekonomis. Hal dimaksud
dikarenakan tatanan regulasi terkait dari suatu tatanan
hukum akan membuat satu sistem hukum saja tidak akan
mampu memberikan solusi yang optimal dari permasalahan-
permasalahan yang muncul.96 Banyak para ahli hukum
meramalkan suatu konvergensi yang serupa akan terjadi,
khususnya para ahli hukum yang menganut faham fungsio-
nalis komparatis (functionalist comparatists) menyakini
bahwa konsep unifikasi hukum adalah diinginkan dan tidak
terelakkan dalam suatu tatanan hukum.97 Argumentasi
mereka didasarkan kepada ekivalensi fungsional, dimana
suatu sistem hukum dapat tampak berbeda karena mereka

96 Anthony Ogus, “Competition Between National Legal Systems: A Con-


tribution of Economic Analysis to Comparative Law”, 48 Int’l & Comp.
L.Q. 405 (1999); Ugo A. Mattei, Luisa Antonioli & Andrea Rossato, “Com-
parative Law and Economics”, 1 Encyclopedia of Law and Economics
505 (Boudewijn Bouckaert & Gerrit De Geest eds., 2000). Jennifer G.
Hill, “The Persistent Debate about Convergence in Comparative Corpo-
rate Governance”, 27 Sydney L. Rev. 743 (2005). Ronald J. Gilson, “Glo-
balizing Corporate Governance: Convergence of Form or Function”, 49
Am. J. Comp. L. 329 (2001)
97 Catherine Valcke, “Comparative Law as Comparative Jurisprudence—
The Comparability of Legal Systems”, 52 Am. J. Comp. L. 713 (2004);
Gerhard Dannemann, “Comparative Law: Study of Similarities or Differ-
ences?”, Oxford Handbook of Comparative Law 383 (Mathias Reimann
& Reinhard Zimmermann eds., 2006).

44
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

mempunyai doktrin dan institusi berbeda namun perbedaan


dimaksud hanya pada permukaanya saja. Karena pada
dasarnya institusi dimaksud tetap mampu memenuhi fungsi
yang sama dan serupa. Menyadari bahwa tatanan hukum
adalah secara substansial telah serupa maka akan membuat
itu menjadi mudah untuk menyatukan hukum juga secara
formal.98
Pada sisi yang lainnya, terdapat suatu pemahaman
bahwa budaya hukum (legal culture) merupakan suatu
hambatan dari upaya konvergensi tatanan hukum.99 Budaya
hukum dideskripsikan sebagai sebuah penghalang dari
situasi yang lebih efisien, sebagaimana yang didorong untuk
terjadi oleh para ahli ekonomi.100 Hampir mirip pula, para
ahli hukum berargumentasi bahwa perbedaan budaya
menjadi suatu lawanan dari persamaan yang ingin dituju
secara fungsionalis komparatis.101 Pemahaman ini berujung
kepada sulitnya dilakukan konvergensi tatanan hukum jika
budaya lokal dan nilai-nilai menjadi variabel yang penting,
hal dimaksud dicerminkan dalam hukum pidana dan

98 Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan Journal of


International Law, Summer 2006. E.g., Konrad Zweigert & Hein Kötz,
Introduction to Comparative Law 24 (Tony Weir trans., 3d ed. 1998);
Ugo Mattei, “A Transaction Costs Approach to the European Civil Code”,
5 Eur. Rev. Priv. L. 537 (1997);
99 Pierre Legrand, “European Legal Systems Are Not Converging”, 45 Int’l
& Comp. L.Q. 52, 61-62 (1996).
100 Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan Journal of
International Law, Summer 2006.
101 Günter Frankenberg, “Critical Comparisons: Rethinking Comparative
Law”, 26 Harv. Int’l L.J. 411 (1985); Bernhard Grossfeld, Core Ques-
tions of Comparative Law (Vivian Grosswald Curran trans., 2005); Pierre
Legrand, Le droit comparé (1999); Vivian Grosswald Curran, “Dealing
in Difference: Comparative Law’s Potential for Broadening Legal Per-
spectives”, 46 Am. J. Comp. L. 657 (1998).

45
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hukum keluarga. Namun pada bidang hukum ekonomi,


dimana budaya lokal sebagian besar serupa dan hubungan
transnasional mampu “memaksa” sistem hukum nasional
maka pada akhirnya konvergensi dapat diwujudkan. Sekali-
pun budaya lokal tetap memberikan dukungan terhadap
Hukum Ekonomi,102 namun tetaplah tidak mudah untuk
melihat bagaimana tetap kuatnya budaya nasional dan
mengapa globalisasi ekonomi tidak cukup mampu untuk
menciptakan suatu kultur global,103 yang pada gilirannya
dapat mewadahi terjadinya konvergensi hukum dan
unifikasi.
Tranformasi digital dengan seluruh potensinya untuk
percepatan ekonomi menjadi sangat tinggi di Asia. Negara-
negara OECD telah menetapkan tujuan mereka pada Per-
temuan Tingkat Menteri Cancun 2016 dalam Ekonomi Digi-
tal.104 Pertemuan dimaksud untuk memaksimalkan man-
faat transformasi digital untuk inovasi, pertumbuhan dan
kemakmuran sosial. Negara-negara dimaksud memfokus-
kan upaya pada implikasi kebijakan tranformasi digital,
meningkatkan pengukuran, dan mengembangkan kerangka
kerja kebijakan terpadu untuk pendekatan seluruh peme-
rintahan. Kebijakan dan regulasi pemerintah dalam empat

102 Pierre Legrand, Counterpoint: Law Is Also Culture, in The Unification


of International Commercial Law, 245 (Franco Ferrari ed., 1998).
103 Volkmar Gessner, “Global Approaches in the Sociology of Law: Prob-
lems and Challenges”, 22 J.L. Soc’y 85, 90 (1995); Charles Koch, “En-
visioning a Global Legal Culture”, 25 Mich. J. Int’l L. 1 (2003); Russell
Menyhart, “Changing Identities and Changing Law: Possibilities for a
Global Legal Culture”, 10 Ind. J. Global Legal Stud. 157 (2003).
104 OECD (2017), OECD Digital Economy Outlook 2017, OECD Publish-
ing, Paris. hlm 1, 46-47.

46
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bidang utama yaitu akses dan konektivitas, penggunaan dan


keterampilan, inovasi digital, serta risiko dan kepercayaan
digital. Meskipun empat bidang dimaksud mungkin tampak
agak berbeda, namun masalah kebijakan untuk masing-
masing masalah tersebut semakin saling terkait dan perlu
dipertimbangkan dengan perspektif menyeluruh. Perspektif
seperti itu sedang dikembangkan oleh sebagian besar
negara-negara OECD dalam strategi digital nasional mereka.
Perlunya mengambil manfaat dari ekonomi digital
membutuhkan seluruh pemerintah melakukan pendekatan
yang secara proaktif menangani berbagai masalah kebijakan
dan hubungan mereka dengan lintas bidang kebijakan.
Internet of Things (IoT) adalah contoh yang mungkin segera
menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari bahwa
banyak miliaran benda yang saling berhubungan di seluruh
dunia. Perangkat “cerdas” yaitu peralatan, mesin dan
infrastruktur menciptakan peluang untuk otomatisasi dan
interaksi secara “real time”. Aplikasi dan layanan IoT, yang
ditingkatkan oleh analitik data, diharapkan membantu
menghidupkan kembali industri, memenuhi beberapa
kebutuhan populasi yang semakin tua, berfungsi sebagai
elemen inti dari kota cerdas (smart city).
Pemerintah terus menyelaraskan prioritas ekonomi digi-
tal secara langsung dengan sosial ekonomi tujuan tertentu
seperti meningkatkan perawatan untuk orang sakit dan
lanjut usia, membuat lebih banyak karir peluang yang
tersedia untuk anak perempuan dan perempuan, menye-
diakan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak miskin
dan mereka yang tinggal di daerah terpencil, dan mempro-

47
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

mosikan pertumbuhan dan pekerjaan. Prioritas utama dalam


konteks ini termasuk melanjutkan akses ke jaringan broad-
band berkecepatan tinggi dan perombakan undang-undang
untuk meningkatkan kecepatan dan jangkauan layanan
komunikasi. Banyak negara memilikinya juga fokus pada
penyediaan pelatihan dan memacu inovasi di sektor TIK,
serta pada mendorong penggunaan TIK melalui layanan e-
government, program pelatihan, dan subsidi. Pada saat yang
sama, negara-negara terus mengatasi tantangan dan risiko
yang timbul dari transformasi digital dengan memperkenal-
kan strategi keamanan digital nasional, sementara perlin-
dungan privasi terus menjadi menonjol pada agenda
pemerintah.
Hal dimaksud juga menjadi lebih jelas dari sebelumnya
bahwa transformasi digital dapat mengganggu, dan bahwa
kebijakan yang dipertimbangkan dengan baik diperlukan
tidak hanya untuk memungkinkan terjadinya gangguan,
tetapi juga untuk mendorongnya sehingga manfaatnya
dapat direalisasikan sepenuhnya dan tanpa penundaan
yang tidak perlu. Negara-negara telah meluncurkan inisiatif
yang bertujuan membantu pemula atau muda dan kecil
perusahaan menengah (UKM) melalui akselerator atau
inkubator, dan telah mempromosikan aplikasi dan layanan
digital dengan berbagai langkah kebijakan. Namun,
langkah-langkahnya adalah juga diperlukan untuk mere-
dam pukulan ketika transformasi digital memindahkan
pekerja dan melindungi konsumen dalam pengaturan
komersial baru yang berkembang. Akibatnya, kebijakan
dalam mendukung pelatihan kejuruan dan pendidikan tinggi

48
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dalam TIK adalah umum, mungkin melibatkan kemitraan


dengan sektor swasta, dan terkadang bertujuan untuk
membantu kelompok tertentu, seperti para penganggur.
Lebih jauh lagi, transformasi digital pekerjaan telah memicu
tinjauan hukum tenaga kerja dan peraturan ketenagakerjaan
sektor-sektor khusus. Sementara itu, sebagai pasar e-com-
merce berkembang, demikian juga respons kebijakan untuk
melindungi konsumen dan memastikan kepercayaan.
Sebagai contoh, pembuat kebijakan sudah mulai bergulat
dengan tantangan dalam menerapkan perlindungan
konsumen untuk peer platform dan pasar platform online
lainnya. Mereka juga telah mengambil langkah untuk
mengatasi hambatan terkait perlindungan konsumen
terhadap e-commerce lintas batas.
Singkatnya, selain transformasi digital adalah peluang
untuk disambut tetapi juga membawa tantangan tertentu
yang perlu dikelola. Secara umum, transformasi digital
mengubah dunia lebih cepat daripada banyak regulasi yang
telah berkembang. Pemerintah bisa mendapat manfaat dan
mekanisme untuk secara berkala meninjau kerangka kerja
regulasi dan jika perlu perbarui untuk memastikan bahwa
mereka cocok untuk yang dengan dunia yang semakin
digital.
Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1976 telah
memberikan penekanan terhadap hal-hal dimaksud.105
Mochtar berpendapat bahwa masalah-masalah dalam suatu

105 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum dan Masyarakat dan Pembinaan


Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung-Penerbit Binacipta, 1976,
hlm. 14-15.

49
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur


oleh hukum secara garis besarnya dapat dibagi dalam dua
golongan besar yaitu:
(a) masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan
pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan
kehidupan budaya dan spiritual masyarakat; dan
(b) masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat
dan kemajuan pada umumnya bersifat “netral” dilihat
dari sudut kebudayaan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pembaharuan


hukum dalam bidang demikian lebih mudah dilakukan.
Karena ini bidang-bidang yang “netral” seperti hukum
perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas
(darat air dan udara) lebih mudah dan segera dapat
ditangani. Karena adanya interrelasi yang erat antara hukum
dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat terutama faktor-
faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan seorang ahli hukum
harus pula memperhatikan segi-segi ini kalau ia hendak
berhasil dalam tugasnya. Bertambah pentingnya peranan
teknologi di zaman modern ini bagi kehidupan manusia
dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dan
lingkungan hidupnya menyebabkan bahwa faktor-faktor ini
pun tidak dapat diabaikan. Kesemuanya ini berarti bahwa
proses pembentukan undang-undang harus dapat
menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan)
dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan
undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu

50
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hendak merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.


Efektifnya produk perundang-undangan dalam pene-
rapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan
prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya.
Karenanya pengertian hukum yang memadai harus tidak
hanya memandang hukum itu sebagai suatau perangkat
kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (in-
stitutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.106
Pembentukan tiga pemikiran utama yang mendasari
konvergensi hukum,107 ternyata tetap memiliki pendekatan
yang tradisional yaitu pemisahan antara hukum interna-
sional publik dan hukum perdata internasional publik.108
Pemikiran Pertama, bahwa telah menjadi pemahaman
umum bahwa kedaulatan para pihak yang terlibat suatu
transaksi komersial khususnya dengan pihak swasta asing,
tetap menjadi pertimbangan yang mengakibatkan para
pihak swasta asing akan tunduk kepada suatu hukum
nasional jika dilakukan pilihan hukum pada peradilan

106 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pemba-


ngunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan
bekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 30.
107 Ronald A. Brand, “Semantic Distinction in an Age of Legal Conver-
gence”, University of Pennsylvania Journal of International Economic
Law, Spring, 1996.
108 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit
Binacipta, 1976, hlm. 1, dimana beliau mendefinisikan Hukum Inter-
nasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
(hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Hukum Perdata
Internasional adalah keseluruhan kaidah asas hukum yang mengatur
hubungan perdata yang melintasi batas negara.

51
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

nasional. Teori Penerimaan Hukum dimaksud menyim-


pangi imunitas kedaulatan negara asing, terutama dicermin-
kan dengan dipergunakannya forum arbitrase dan forum
penyelesaian sengketa terhadap persengketaan komersial
lintas batas negara.
Pemikiran Kedua, hubungan antara para pihak dan
kedaulatan yang dimilikinya tetap akan tunduk kepada
penerapan hukum internasional publik. Tidak lagi menjadi
perdebatan bahwa orang asing yang berkaitan dengan
kedaulatan suatu negara hanya akan menjadi yurisdiksi
badan peradilan/tribunal internasional. Perjanjian Pem-
bangunan Jangka Panjang (long term economic develop-
ment agreement), Joint Venture Agreement, dan bentuk
perjanjian korporasi lainnya yang bersifat kerjasama publik
atau privat akan berujung kepada transaksi dan sengketa
komersial yang melintasi batas negara.
Pemikiran Ketiga, meningkatnya jumlah pihak-pihak
swasta telah banyak mempengaruhi perkembangan prinsip-
prinsip dalam perjanjian perdagangan bilateral, regional,
dan multilateral, khususnya prinsip berkaitan dengan
pembatasan atas tindakan/perilaku pihak asing terhadap
kedaulatan negara lain. Semakin berkembangnya per-
dagangan internasional menjadikan prinsip dimaksud
mengikat bagi para individu dan badan hukum. Perkem-
bangan prinsip ini memerlukan perhatian yang hati-hati
dalam penerapannya dan kategori para pihaknya. Semen-
tara itu pengaturan dan mekanisme penyelesaian sengketa
yang akan diberlakukan memiliki pembatasan terhadap

52
BAB 1 - TEORETIKAL HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kedaulatan. Walaupun para pihak dimaksud dari waktu ke


waktu tetap menginginkan adanya keterlibatan pengaturan
khususnya dalam pembentukan, penafsiran dan penerapan
dari hukum yang akan diberlakukan.

53
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

54
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

BAB 2
HUKUM EKONOMI DIGITAL
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

“Given the Fourth Industrial Revolution’s


extraordinarily fast technological and social change,
relying only on government legislation and incentives
to ensure the right outcomes is ill-advised. These are likely
to be out-of-date or redundant by the time
they are implemented.”
The World Economic Forum, November 2016

55
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ekonomi digital memiliki potensi peningkatan ekonomi


kerakyatan di Indonesia dengan tiga pilar “berbagi” yaitu
berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai kepercayaan
(trust sharing), dan berbagi pengetahuan (intellectual shar-
ing). Ekonomi kerakyatan adalah konsep dalam upaya
mengimplementasikan kedaulatan negara (rakyat) di bidang
ekonomi. Mubyarto merumuskan sistem ekonomi yang
berkeadilan sosial yaitu sistem ekonomi nasional yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas keke-
luargaan, mengandung prinsip-prinsip pemanfaatan hak
milik yang merupakan anjuran atau norma-norma perilaku
manusia sebagai berikut:109
1. Memperhatikan dan mengutamakan kepentingan
negara dan kepentingan masyarakat;
2. Menempatkan kepentingan bersama di atas kepen-
tingan pribadi dan golongan;
3. Adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang
lain; dan
4. Tidak menggunakan hak milik pribadi untuk usaha-
usaha yang bersifat memeras orang lain, untuk hal-hal
yang bersifat pemborosan dan untuk kehidupan yang
bersifat mewah, atau perbuatan-perbuatan lain yang
bertentangan dengan dan merugikan kepentingan
umum.

109 Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, (Jakarta:


LP3ES, 1987), hlm. 215-216.

56
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Mubyarto merumuskan pula 5 (lima) agenda pokok


ekonomi kerakyatan sebagai berikut:110
1. Desentralisasi hak atas pengelolaan sumber-sumber
penerimaan negara kepada daerah;
2. Pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan
lahan pertanian kepada para petani penggarap
(landreform);
3. Reformasi koperasi dan pendirian koperasi-koperasi
sejati;
4. Pengembangan mekanisme persaingan yang menjamin
berlangsungnya persaingan usaha secara sehat; dan
5. Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progresif
sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi
penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di
tengah-tengah masyarakat, selain itu penerapan pajak
penghasilan dan kekayaan progresif itu juga diperlukan
sebagai upaya untuk terus menerus membentuk dana
jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang rentan.

Keadilan sosial tidak berdiri sendiri, namun mempunyai


kaitan erat dengan keadilan hukum, politik, sosial, dan
ekonomi.111 Peran yang terus tumbuh dari platform trans-
portasi on-line, perdagangan on-line, pendidikan on-line
menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya
peradaban digital ekonomi dalam mencapai tujuan kesejah-
teraan umum. Pemerintah bersama ekosistem industri terus

110 Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial,


(Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika, 2002), hlm. 3

57
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

berupaya memperluas dan memperkuat sektor infrastruktur


digital dan sumber daya talenta digital.
Pada akhirnya Revolusi Industri 4.0 akan mengubah
tidak hanya apa yang manusia lakukan tetapi juga siapa
“kita” sebagai manusia. Siapa dan apa akan mempengaruhi
identitas serta semua permasalahan kita yang terkait
dengannya yaitu perlindungan privasi, konstruksi hak milik,
pola konsumsi, waktu yang dicurahkan untuk bekerja dan
bersantai, dan bagaimana dirinya mengembangkan karir,
menumbuhkan keterampilan, bertemu orang-orang, dan
memelihara hubungan itu sendiri. Hal-hal dimaksud sudah
mengubah kondisi kesehatan manusia dan mengarah ke
diri yang “dikuantifikasi”, dan lebih cepat dari yang kita kira
sehingga dapat menyebabkan augmentasi manusia.
Dalam memahami skala dan kompleksitas ekonomi
global serta pengetahuan kita tentang sifat manusia, maka
akan sangat naif untuk hanya mengandalkan spontanitas
dan kesukarelaan dari perilaku etis individu serta korporasi
untuk memastikan keadilan atau meningkatkan martabat
manusia juga masyarakat.112 Pemberlakuan legislasi dan
regulasi yang dikombinasikan dengan penegakan hukum
yang serius, tetap diperlukan untuk memandu perilaku
masyarakat dan memastikan supremasi hukum. Namun
pendekatan ini sering menghasilkan permainan kucing-dan-
tikus antara regulator dan pelaku ekonomi. Individu dan

111 Mubyarto, Op. Cit., 1987, hlm. 206-207


112 Daniel Malan, “The Law Can’t Keep Up With New Tech. Here’s How
To Close The Gap”, dapat diakses pada laman https://
www.weforum.org/agenda/2018/06/law-too-slow-for-new-tech-how-
keep-up/

58
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

korporasi yang taat hukum menghabiskan banyak waktu


serta finansial untuk mencari celah hukum sekedar men-
capai kepatuhan teknis saja, sementara yang lain melakukan
”akrobatik” hukum sehingga ketidakpatuhan mereka tetap
tidak dapat terdeteksi.
Cyberlaw terus berupaya mengantisipasi dampak dari
revolusi dan konvergensi dari Teknologi Informasi pada
abad Data Digital dengan melakukan pendekatan legislasi,
regulasi, dan swa-regulasi. Pendekatan Legislasi (legislative
approach) adalah upaya untuk membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi
dan sekaligus sebagai antisipasi terhadap fenomena kon-
vergensi dari Teknologi Informasi. Solusi legislatif dalam
mendefinisikan rezim hukum baru, atau membentuk
kerangka pengaturan, atau regulasi yang baru adalah upaya
antisipatif terhadap implikasi konvergensi dan arah
kebijakan masa depan dari peradaban manusia. Sebagai-
mana yang dinyatakan secara tegas oleh Menteri Komuni-
kasi dan Informatika Republik Indonesia Rudiantara
bahwa:113
“Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang
merupakan UU pertama di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang
menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan
perlindungan dalam bidang pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.”(Dicetak tebal oleh
Penulis)

113 https://kumparan.com/rudiantara/timing-untuk-revisi-uu-ite

59
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

A. HUKUM EKONOMI DIGITAL


DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Menurut Cambridge Dictionary edisi 2017, istilah revolusi
industri pada awalnya didefinisikan sebagai: “[…] periode
waktu di mana pekerjaan mulai dilakukan lebih banyak oleh
mesin di pabrik daripada dengan tangan di rumah”. Kema-
juan dalam sains dan teknologi terus mendukung perkem-
bangan industrialisasi di seluruh dunia dan telah membantu
membawa makna yang lebih spesifik dan eksplisit untuk
terminologi “revolusi industri” ini selama bertahun-tahun
(Belvedere et al., 2013). Meskipun masih belum ada kese-
pakatan universal tentang apa yang merupakan revolusi
industri (Maynard, 2015), empat fase umum telah diiden-
tifikasi dari perspektif evolusi teknologi (National Academy
of Science and Engineering, 2013). Revolusi Industri 1.0
dianggap sebagai salah satu kemajuan penting dalam
kemanusiaan, yang dimulai dengan menggunakan fasilitas
manufaktur mekanis air dan fasilitas tenaga uap sejak akhir
abad ke-18. Revolusi Industri 2.0 terjadi pada awal abad
ke-20 dengan ditandai penerapan teknologi produksi massal
bertenaga listrik dan melalui pembagian kerja. Revolusi
Industri 3.0 dimulai pada sekitar pertengahan 1970-an
melalui otomatisasi manufaktur dengan mempopulerkan
teknologi elektronik dan teknologi informasi di pabrik-
pabrik. Ketiga revolusi industri dimaksud totalnya mem-
butuhkan waktu sekitar 200 tahun atau dua abad untuk ber-
kembang. Namun dalam beberapa tahun terakhir, seiring
dengan meningkatnya perhatian penelitian pada Internet
of Things (IoT) (Atzori et al., 2010) dan Cyber-Physical Sys-

60
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

tems (CPS) (Khaitan dan McCalley, 2015) maka industri,


pemerintah dan masyarakat di umum telah memperhatikan
kecenderungan ke arah “Revolusi Industri 4.0” dan ber-
tindak untuk mengambil manfaat dari apa yang dapat
diberikannya (Siemieniuch et al., 2015). Selain itu, menurut
karya sebelumnya (Liao et al., 2017), jumlah konferensi dan
makalah akademis yang terkait dengan “Industri 4.0” (satu
upaya penelitian signifikan dalam era Revolusi Industri
Keempat) telah meningkat secara bertahap, dari 2013 hingga
2015, sebanyak 12,6 kali dan 24,2 kali berturut-turut.114
Daftar fenomena permasalahan dimaksud tidak ada
habisnya karena kita hanya terbatasi oleh imajinasi sebagai
manusia. Integrasi dan dominasi teknologi digital yang tak
tertandingi dalam kehidupan dapat mengurangi sebagian
dari kapasitas kemanusiawian kita yang murni, seperti welas
asih dan kerja sama. Hubungan manusia dengan dawai
pintar (smartphone) adalah contoh yang paling kasat mata
dan kasat rasa, bahwa hubungan yang konstan dapat men-
cabut manusia dari salah satu aset terpenting dalam kehi-
dupan yaitu waktu untuk berhenti, berefleksi, dan terlibat
dalam perbincangan yang bermakna sebagai seorang
manusia.
Baik teknologi maupun disrupsi adalah kekuatan ekso-
gen dimana manusia tidak memiliki kendali terhadapnya.
Manusia secara keseluruhan bertanggung jawab untuk
membimbing evolusinya, dalam keputusan yang dibuat

114 Laman diakses pada 17 Agustus 2018 yaitu http://www.scielo.br/


scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0103-
65132018000100401#B029.

61
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

setiap harinya sebagai warga negara, konsumen, dan in-


vestor. Sehingga masyarakat harus memahami peluang dan
kekuatan yang dimiliki untuk membentuk Revolusi Industri
4.0 dan mengarahkannya menuju masa depan yang men-
cerminkan tujuan dan nilai bersamanya sebagai manusia.
Namun untuk melakukan hal dimaksud perlu dikembang-
kan pandangan bersama yang komprehensif dan global
tentang bagaimana teknologi memengaruhi kehidupandan
membentuk kembali lingkungan ekonomi, sosial, budaya,
dan manusia. Para pengambil keputusan hari ini terlalu
sering terjebak dalam pemikiran tradisional, linear, atau
terlalu terserap oleh berbagai krisis yang menuntut perhatian
mereka, sehingga terhalang untuk berpikir secara strategis
tentang kekuatan dan inovasi yang membentuk masa depan
umat manusia.
Tantangan terbesar dari seorang manusia yang ditim-
bulkan oleh teknologi informasi terkini adalah aspek privasi
(privacy). Manusia secara naluriah memahami mengapa
aspek privasi (privacy) menjadi sangat penting, namun pada
kenyataan hari ini penelusuran, pengumpulan, penelisikan,
dan analisis perilaku dari berbagi informasi tentang manusia
adalah bagian terpenting dari konektivitas baru peradaban
Big Data. Perdebatan tentang permasalahan-permasalahan
mendasar seperti dampak pada kehidupan batin manusia
dari hilangnya kendali atas data pribadi terus akan mening-
kat di tahun-tahun mendatang. Belum lagi revolusi yang
terjadi dalam bioteknologi (bio-tech) dan kecerdasan artifisial
(Artificial Intelligent) dimana perlu mendefinisikan kembali

62
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

apa artinya menjadi manusia dengan mendorong kembali


ambang batas hidup, kesehatan, kognisi, dan kemampuan
ragawi serta indrawi saat ini, sehingga akan memaksa
manusia untuk mendefinisikan kembali batas moral dan
etika.
Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial
Revolution (Revolusi Industri 4.0) telah membawa tantangan
baru. Revolusi Industri 4.0 yang luar biasa cepat telah
berdampak pada perubahan teknologi dan sosial maka
adalah hal yang keliru untuk memastikan hasil yang tepat
jika hanya mengandalkan legislasi dan insentif dari peme-
rintah/regulator. Pada saat diterapkannya suatu legislasi dan
insentif dari pemerintah/regulator bisa jadi sudah keting-
galan zaman atau berlebihan. Hal dimaksud diartikulasikan
dalam buku White Paper yang diterbitkan oleh World Eco-
nomic Forum pada November 2016 bahwa, “Given the
Fourth Industrial Revolution’s extraordinarily fast technologi-
cal and social change, relying only on government legisla-
tion and incentives to ensure the right outcomes is ill-ad-
vised. These are likely to be out-of-date or redundant by the
time they are implemented”.
White Paper dimaksud berpendapat bahwa cara terbaik
untuk memastikan hasil positif dalam ekosistem yang begitu
rumit adalah beroperasi dengan dasar nilai yang jelas, misal-
nya dengan berfokus pada prinsip-prinsip dasar seperti
martabat manusia dan kebaikan bersama. Pendekatan ini
tampaknya lebih efektif daripada terus mengejar keterting-
galan regulasi sepanjang waktu. Regulasi dan kepatuhan

63
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terhadap norma etika tidak harus terjebak dalam situasi


“serba salah”. Prinsip “comply or explain” (patuhi atau
jelaskan) memungkinkan sejumlah jalan keluar dengan
memberikan opsi kepada perusahaan untuk menghindari
kepatuhan yang tidak substansial dengan menjelaskan
kapan prinsip tertentu tidak berlaku bagi mereka.115 Tanpa
dipungkiri bahwa ekosistem global yang kompleks akan
membutuhkan kekhususan teknologi informasi di sebagian
besar wilayah dunia, namun tantangan berikutnya adalah
untuk menunjukkan landasan etika tidak boleh diremeh-
kan. Perlu ada tanggung jawab hukum bagi Facebook untuk
menunjukkan bagaimana martabat penggunanya dilin-
dungi daripada sekadar menghadirkan algoritma yang dapat
diaudit.

115 Pemahaman Prinsip Comply or Explain adalah sebagaimana berikut:


The UK Corporate Governance Code (formerly the Combined Code) is
primarily a best practice standard of governance for the quality of a
company’s board leadership, effectiveness, accountability, remunera-
tion process and investor relations. Apart from references to relevant
statutory regulations, the code itself has no legal force but it does re-
quire a company to comply with the provisions of the code or explain
why it has not done so.
The “comply or explain” approach recognises that good governance
cannot be constrained by ever-increasing statutory regulations which
tend towards a “one size fits all” solution. Sometimes, an alternative to
following a provision of the code may be justified in particular circum-
stances. A condition of doing so is that the reasons for it should be
explained to shareholders who may wish to discuss the position with
the company and whose voting intentions may be influenced as a
result
The code requires that a company’s explanation in its annual report
“should aim to illustrate how its actual practices are both consistent
with the principle to which the particular provision relates and contrib-
ute to good governance.” The principle of “comply or explain” means
that companies are accountable to shareholders who can exercise
sanctions rather than being accountable to a regulator such as the
Securities and Exchange Commission (SEC) in the US.

64
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Regulator harus menerima fakta-fakta sosial dan industri


serta teknologi daripada berjuang melawan ketidakpastian
yang disebabkan oleh Revolusi Industri 4.0. Legislasi dan
regulasi hukum untuk menunjukkan bagaimana prinsip-
prinsip etika telah diterapkan bukanlah mantra ajaib, tetapi
merupakan perubahan penting untuk mencapai ketertiban
dan kemanfaatan untuk pencapaian tujuan masyarakat.
Moral dan etika secara historikal adalah juga bagian
utama dari pembahasan Teori Hukum. Teori Hukum
memandang hukum yang ada dari sudut situasi yuris, yakni
orang-orang yang berurusan dengan undang-undang,
traktat-traktat, kontrak-kontrak, kebiasaan-kebiasaan,
praktek-praktek yuridikal, perikatan-perikatan dari semua
jenis dan peradilan.116 Titik berdiri dari mana Teori Hukum
meneliti hukum adalah titik berdiri orang dalam (insider),
bukan dari orang luar yang mempunyai kepentingan,
sehingga dengan itu ia membedakan diri dari disiplin-disiplin
lain yang juga memilih hukum sebagai objek studinya seperti
antara lain Filsafat, Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Psikologi.
Teori Hukum mempelajari hukum dengan tujuan suatu
pemahaman yang lebih baik dan terutama lebih mendasar
tentang hukum, demi hukum, bukan demi suatu pema-
haman dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan atau
dalam kaidah-kaidah etikal yang dianut dalam masyarakat
atau dalam reaksi-reaksi psikologikal dari suatu penduduk.
Pemahaman ini tidak berarti bahwa Teori Hukum langsung

116 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan


Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-
rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

65
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkret


dengan memformulasikan kaidah-kaidah “de lege ferenda”
(hukum yang akan datang, ius constituendum) namun ia
adalah bukan pembentuk undang-undang. Memang benar
bahwa mereka beranjak dari hal bahwa suatu pengetahuan
yang lebih mendalam tentang latar belakang dari hukum
dapat memberikan kontribusi pada suatu pengaturan yuri-
dikal yang lebih baik terhadap masalah-masalah kema-
syarakatan. Seorang teoretisi hukum tidak akan pernah
menjelaskan bahwa karyanya tidak relevan bagi tatanan
hukumnya dan masalah-masalah yang diajukan di dalam-
nya. Pada akhirnya bahwa pokok-telaah (onderwerp),
tujuan dan peneliti sendiri, sama seperti di dalam praktik
hukum, disituasikan dalam suasana hukum (rechtssfeer).
Teori Hukum adalah sebuah cabang dari Ilmu Hukum dan
bukan ilmu bantu dari Ilmu Hukum.
Evolusi Teori Hukum di Indonesia memiliki pula alur
periodesasi sebagaimana yang dimunculkan oleh revolusi
industri. Alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari
daratan Eropa dan Amerika Serikat ke Indonesia tidak lepas
dari peran para tokoh pemikir hukum (prominent legal
scholar) yang berkesempatan langsung mempelajari teori-
teori hukum di Belanda dan Amerika Serikat. Terutamanya
pemikiran dari Amerika Serikat menjadi landasan dasar (plat-
form) pemahaman Teori Hukum di dunia. Calabresi secara
menyakinkan menyampaikan sebagai berikut:117

117 Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four Approaches


to Law and to the Allocation of Body Parts”, (2003), Stanford Law
Review, Vol. 55, hlm. 2112-2113.

66
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

“In the early days of this century, this approach focused


on sociology. Later, in a sort of renaissance during the
New Deal, it relied on rudimentary economics as well
as on sociology, and somewhat later yet, on psychol-
ogy and psychoanalysis. In its amazingly successful
1960s ‘rediscovery’, which for a while threatened, fool-
ishly, to dominate all of U.S. law, it concentrated on quite
sophisticated economic insights. Today, while the New
(1960s) Economic Analysis of Law (if somewhat less
vainglorious than at earlier times) remains alive and well,
so do Law and Philosophy, Law and Psychoanalysis,
Law and History, Law and Literature, and any number
of other permutations and combinations of the ‘Law and
... theme’.”

Bahkan beberapa tokoh pemikir hukum Indonesia


dimaksud bertemu dan menjadi mahasiswa dari tokoh-tokoh
teori hukum dimaksud. Salah satu tokoh pemikir hukum
Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja yang ber-
kesempatan memperoleh alih pengetahuan dari Harvard
Law School dan Yale Law School Amerika Serikat. Teori
Hukum Pembangunan yang dikenal sebagai respon
antisipatif terhadap variabel pembangunan di tahun 1970-
an merupakan karya paripurna (masterpiece of mind) dari
Mochtar Kusumaatmadja.
Lili Rasjidi telah membuka tabir Teori Hukum Pem-
bangunan, bahwa sepanjang yang Beliau ikuti dari Mochtar
Kusumaatmadja maka pemikiran dimaksud dapat dibeda-

67
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kan dalam dua fase perkembangan.118 Fase Pertama, terjadi


antara kurun waktu 1970-an sampai dengan sekitar tahun
1990-an, pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dapat
ditelusuri dari buku-buku kecil yang berasal dari berbagai
kertas kerja yang dicetak Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran serta
disebarluaskan oleh Penerbit Binacipta Bandung dan kemu-
dian dikompilasi menjadi buku dengan judul Konsep-
konsep Hukum dalam Pembangunan oleh Editor H.R. Otje
Salman dan Eddy Damian, diterbitkan pertama kali oleh
Alumni pada tahun 2002.119
Fase Kedua, diawali ketika Mochtar Kusumaatmadja
mulai tertarik mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila
ke dalam pandangan-pandangan teoretisnya di bidang
hukum dan mulai mendasarkan pemikirannya pada
khazanah budaya lokal.120 Lili Rasjidi memahami bahwa
Mochtar Kusumaatmadja sudah beranjak dari posisinya
sebagai ilmuwan hukum dan mencoba memasuki wilayah
kajian filsafat hukum.121
Penyatuan keterhubungan (interplay) antara pemikiran
Fase Kesatu dan Fase Kedua dari Mochtar Kusumaatmadja
adalah kemampuan pikir unggul Beliau untuk merepre-
sentasikan teori-teori hukum global dengan kondisi faktual

118 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-
gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum
Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema
Institute, Jakarta, 2012, hlm. 122.
119 Id.
120 Id.
121 Ibid, hlm. 123.

68
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

bangsa Indonesia, dengan nilai dan konseptualiasi pemi-


kiran Pancasila. Pemikiran Fase Kesatu merupakan hasil
konvergensi pemikiran-pemikiran besar yang sudah teruji
di daratan Eropa dan Amerika Serikat. Hukum adalah yang
meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta
proses-proses yang mewujudkan hukum ke dalam kenya-
taan kehidupan masyarakat.122
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa Mochtar
Kusumaatmadja telah berhasil bukan hanya membuat
definisi tentang hukum melainkan berhasil menemukan apa
122 Lihat Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 dan HR Otje Salman S dan
Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Mem-
buka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, bahwa:
1. Konsep “asas” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam
dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan Hugo
Grotius bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi yang direflek-
sikan dengan asas dan prinsip.
2. Konsep “kaidah” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Positivisme
Hukum dan Legisme dengan tokoh-tokohnya yaitu Jellinek, Hans
Kelsen, dan John Austin bahwa hukum adalah perintah (command),
kewajiban, sanksi sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-
undangan oleh yang memiliki kekuasaan (negara).
3. Konsep “lembaga” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sejarah
dengan tokoh-tokohnya yaitu Carl von Savigny dan Puchta bahwa
hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda-beda menurut
waktu dan tempatnya, serta bersumber pada pergaulan hidup manu-
sia dari masa ke masa (sejarah) tercermin melalui perilaku semua
individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana
kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh
para ahli hukumnya (doktrin).
4. Konsep “proses” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sociologi-
cal Jurisprudence dengan tokoh-tokohnya yaitu Roscoe Pound,
Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo bahwa hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Selain juga bersumberkan pemikiran dari Mazhab Pragmatic Legal
Realism dengan tokoh-tokohnya Oliver Wendell Homes, Karl
Llewellyn dan juga Roscoe Pound, bahwa hukum itu merupakan
“a tool of social enginnering” dan memahami pentingnya rasio
atau akal sebagai sumber hukum.

69
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

yang dimaksud dengan konsep hukum dalam pengertian


yang dinamis (dynamic system of norms) yang meliputi
keempat unsur-unsur di atas sebagai suatu rangkaian yang
berhubungan satu sama lain dan selalu dalam keadaan
dinamis (bergerak). 123 Romli melalui Teori Hukum Integratif
berupaya memberikan pencerahan mengenai relevansi dan
arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia
dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang
mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari
kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis
lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.124 Teori
Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang
dinamis, tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan
hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara
aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat
nasional dan internasional dari waktu ke waktu.125
Perdebatan panjang tanpa jawaban adalah apakah
yang menjadi manfaat mempelajari Teori Hukum. Tidak
perlu dikotomi mutlak antar teori hukum dan praktik hukum,
karenanya keduanya memiliki asal-usul yang identik dan
luaran yang yang tidak berbeda. Sebagaimana yang dikutip
oleh Sudikno Mertokusumo, pemahaman secara tegas
namun bijak diungkap oleh Ian McLeod bahwa penge-
tahuan teori hukum melengkapi para praktisi hukum untuk

123 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori


Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2012, hlm. 47.
124 Idem, hlm. 97-98.
125 Idem, hlm. 98.

70
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

lebih berhasil dalam karir profesinya. Pernyataan Ian McLeod


secara lengkapnya sebagai berikut:126
“... the value of a knowledge of legal theory lies in the
fact that it provides a principled overview of law as a
whole, which enables practitioners to relate a large num-
ber of individualized statements of legal doctrine to, and
evaluate them in the light of each other. Practitioners
with a knowledge of legal theory will be able to con-
struct arguments, and counter opposing arguments, with
more confidence, and with a greater likelihood of suc-
cess, than would otherwise be the case.” (Dicetak tebal
oleh Penulis)

Perlu dipahami bahwa Revolusi Industri 4.0 semuanya


bermuara pada orang-orang dan nilai-nilainya. Umat manu-
sia perlu membentuk masa depan yang berhasil bagi kita
semua dengan menyiapkan orang-orang terbaik dan mem-
berdayakan mereka. Dalam bentuknya yang paling pesi-
mistis dan tidak manusiawi, Revolusi Industri 4.0 mungkin
memang memiliki potensi untuk “me-robotisasi” kemanu-
siaan dan dengan demikian mencabut kita dari hati dan
jiwa kita. Namun “hanya” sebagai pelengkap bagian-bagian
terbaik dari sifat manusia –kreativitas, empati, penatagunaan
– itu juga dapat mengangkat manusia menjadi kesadaran
kolektif dan moral baru yang didasarkan pada rasa takdir
bersama.

126 Thomas Ian McLoud, Legal Theory, Macmillan, 1999, hlm. 9 seba-
gaimana dimuat oleh Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi,
Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 10.

71
72

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA


Gambar Revolusi Industri 4.0 dalam Aspek-Aspek Peradaban Manusia
Sumber: Worl Economic Forum
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Memaknai minat yang tumbuh dalam Revolusi Industri


4.0 di seluruh dunia maka muncul pertanyaan apakah
dampak yang dibawa dari Revolusi Industri 4.0 ke berbagai
negara dan wilayah terutamanya dalam konstruksi evolusi
Teori Hukum. Teori Hukum harus berupaya untuk memu-
lihkan kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan kema-
syarakatan, sekali lagi mempersatukan keberbagaian yang
ditata oleh ilmu-ilmu dan keharusan-keharusan akademik
ke dalam suatu gambaran menyeluruh yang setia pada
kebenaran. Teori Hukum dalam mencapai tujuan dimaksud
harus mengandalkan (memanfaatkan, merujuk pada) ilmu-
ilmu lainnya. Faktor-faktor pembentukan hukum yang
berdasarkan Teori Hukum harus menjelaskan hukum itu
sendiri dengan pokok-pokok telaah (objek-objek) dari ilmu-
ilmu sebagai berikut:127
1. Filsafat. Ilmu Filsafat adalah yang menentukan bagi
keseluruhan tata-hukum adalah pandangan-pan-
dangan fundamental tentang peranan dan tugas dari
sebuah masyarakat yang terorganisasi dan tempat
manusia di dalamnya, khususnya filsafat-filsafat negara
(anarkhisme, liberalisme, cita-negara hukum, sosialisme,
totaliterisme), pandangan-pandangan tentang bentuk-
bentuk kekuasaan (demokrasi, otokrasi, pemisahan
kekuasaan, asas legalitas), pandangan-pandangan
tentang bentuk negara (unitarisme, federalisme,
konfederalisme), dan dalam kerangka itu filsafat-filsafat

127 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan


Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-
rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

73
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hukum spesifik tentang peranan, landasan, sumber


legitimitas dari hukum. Pandangan-pandangan negara
dan pandangan-pandangan hukum ini sendiri berkiprah
dalam filsafat-filsafat, gambaran-gambaran dunia dan
manusia yang lebih luas atau lebih umum yang dalam
suatu lingkungan kultur menentukan semangat zaman.
2. Ilmu Etika. Ilmu Etika adalah bagaimana pandangan-
pandangan moral yang diterima dalam suatu masya-
rakat tertentu tentang baik dan buruk, tentang apa yang
seharusnya dan yang tidak seharusnya, dan apa dari
yang baik itu yang seyogianya harus dilindungi dan
dimajukan oleh hukum, apa yang sebagai hal yang
buruk yang seyogianya harus dikendalikan dan dipe-
rangi oleh hukum dalam mewujudkan “nada-nada
bawah yang menyertainya” (landasan moral, onder-
toon) dari hukum yang karenanya bahkan disebut juga
“hukum pra-yuridikal”.
3. Ilmu Sejarah. Tidak ada Teori Hukum yang dapat
mengabaikan untuk mempelajari dalam situasi kema-
syarakatan apa (politikal, kemiliteran, ekonomikal,
kultural dan keagamaan) lembaga-lembaga dan aturan-
aturan hukum telah terbentuk. Dalam suatu filsafat
hukum yang memandang hukum sebagai produk
(resultante) dari perancangan yang disituasikan secara
historikal ditemui bahwa Sejarah menempati posisi
sangat penting yang sangat menonjol, bahkan menye-
babkan penggabungan atau pencakupan semuanya
baik fakta-fakta maupun gagasan-gagasan.

74
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

4. Sosiologi. Bahan-bahan terberi demografikal, akibat-


akibat dari keterberian-keterberian tersebut, diferensiasi
dalam pelapisan sosial, pembentukan kelompok, sebab-
sebab dan motif-motif perilaku sosial, interaksi di antara
individu-individu dan kelompok-kelompok dan antara
lain perimbangan kekuasaan adalah objek-objek telaah
dari Sosiologi, yaitu untuk memahami dan menjelaskan
hukum sebagai gejala sosial adalah sangat penting.
5. Politik. Ilmu Politik menggabungkan diri padanya
dengan studi-studi tentang semua hal yang berkaitan
dengan perebutan (verovering), penggunaan dan
dampak-dampak kekuasaan memutuskan kebijakan
(beleidsmacht, policy power) dalam suatu masyarakat
yang terorganisasi. Politik yang secara langsung terarah
pada penataan ulang yuridikal (juridische hervorming)
bagi Teori Hukum mempunyai arti penting secara
langsung.
6. Psikologi Sosial. Ilmu Psikologi Sosial dengan pene-
litiannya atas perilaku manusia dalam konteks kemasya-
rakatan, baik antar-manusia maupun berkenaan
dengan lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok
dan bentuk-bentuk pengungkapannya (penampilan-
nya) di dalam masyarakat.
7. Ekonomi. Ilmu Ekonomi sangat menentukan sebagai
faktor-faktor pembentukan hukum secara hakikat terkait
hal memperoleh dan pembagian barang-barang dalam
suatu masyarakat yang memandang kepentingan
material sebagai tema utama dari kegiatan politikalnya

75
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(juga dalam apa yang dinamakan sektor sosial). Hukum


tidak dapat dijelaskan tanpa masukan (kontribusi) dari
Ilmu Ekonomi.
8. Antropologi Budaya. Ilmu Antropologi Budaya yang
mempelajari kultur-kultur dalam semua aspek mereka,
struktur sosial, perkerabatan, organisasi-organisasi
politik, teknik, ekonomi, religi, dan lain-lain, bagi teoretisi
hukum adalah sangat penting. Antropologi Budaya
mensituasikan hukum sebagai suatu aspek dari kultur
dalam perkaitan yang umum. Dalam arti aslinya dari
Etnologi, ia memberikan informasi tentang peradaban
dari bangsa-bangsa non-barat yang dengan mereka
harus diciptakan komunikasi yuridikal yang erat, seperti
pembentukan hukum nasional Indonesia akan ikut
ditentukan oleh hal itu.
9. Teknologi. Evolusi bahkan revolusi Teori Hukum tidak
hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis,
sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah
mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat
mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat
pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan
teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel mem-
berikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas
uraian pemikirannya dalam History Lessons for a Gen-
eral Theory of Law and Technology bahwa “The mar-
vels of technological advance are not always risk- free.

76
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Such risks and perceived risks often create new issues


and disputes to which the legal system must respond.”128

Tujuan hukum di Indonesia yang berdasarkan Cita-


hukum Pancasila adalah mewujudkan pengayoman bagi
manusia yaitu melindungi manusia secara pasif dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang, dan melindungi
secara aktif dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan
yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasya-
rakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara
utuh.129 Termasuk dalam rumusan dimaksud adalah tujuan
untuk memelihara dan mengembangkan “budi pekerti
kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dimana pelak-
sanaan pencapaian tujuan hukum itu dilaksanakan dengan
upaya mewujudkan ketertiban dan keteraturan yang
memunculkan prediktabilitas; kedamaian yang berketen-
teraman; keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, pro-
tektif); kesejahteraan dan keadilan sosial; dan pembinaan
akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mazhab, aliran dan teori hukum beserta tokohnya dari
tahun 1960-an sampai dengan tahun 2000-an (post mod-

128 Gregory N. Mandel, History Lessons for a General Theory of Law and
Technology, Minnesota Journal of Law in Science and Technology,
Vol. 8:2, 2007, hlm. 551.
129 Teori Hukum Pembangunan dikembangkan di Universitas Padjadjaran;
Studi Hukum Kritis oleh ESLAM dengan tokohnya Soetandyo
Wignjosubroto dan Ifdal Kasim; dan Cita Hukum Pancasila atau Filsafat
Hukum Pancasila di Universitas Parahyangan Bandung.

77
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

ern) atau milenial dapat diilustrasikan dengan periodisasi


Revolusi Industri adalah sebagaimana tabel berikut ini:130

Tabel 2. Mazhab, Aliran dan Teori Hukum beserta Tokohnya


dalam Periodisasi Revolusi Industri dari tahun1960-an sampai
dengan tahun 2000-an (post modern-milineal)

Tahun 1960-1970 1970-1990 1990-2010 2010>

Revolusi III III III dan IV IV


Industri 1969-2010 1969-2010 1969-2010 2010-2018

Wilayah Inggris dan Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Australia


Amerika Serikat

Tokoh Hart posner Posner


Fuller Unger Unger
Kelsen Hart Hart
Mochtar Mochtar Kusumaatmadja
Kusumaatmadja Finnis
Finnis Neo-Modern
Dworkin
Rawls

Teori HART: POSNER: POSNER:


Hukum Neo-Positivis The Economic The Economic Analysis
(revived/new- Analysis of Law of Law
positivism)
UNGER: UNGER:
FULLER: TheCritical The Critical Legal Studies
Teori Hukum Legal Studies
Alam Baru HART: Neo-Positivis
(New Natural HART: (revived/neo-positivism)
Law) Neo-Positivis
(revived/new- Mochtar
KELSEN: positivism) KUSUMAATMADJA:
Teori Hukum Teori Hukum Pembangunan
Murni (new Mochtar
conceptualism) KUSUMA- Satjipto RAHARDJO:
ATMADJA: Teori Hukum Progresif
Teori Hukum
Pembangunan Romli ATMASASMITA:
Teori Hukum Integratif
FINNIS:
Neo-Natural Danrivanto BUDHIJANTO:
Law Teori Hukum Konvergensi

78
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

1. Konsepsi Keadilan
Di samping analisis atas pengertian-pengertian teknikal
yuridik (konsep yuridik), juga analisis atas pengertian-
pengertian dan konsep-konsep dalam Teori Hukum dan
Filsafat Hukum dapat sangat produktif dan menjernihkan.
Di sini suatu konfrontasi dengan teknik hukum adalah
dengan Dogmatika Hukum yaitu antara hukum positif dan
dengan praktik hukum, terutama akan merupakan metode
yang paling disarankan bagi teoretisi hukum untuk menam-
pilkan pengertian-pengertian secara lebih tajam dan menguji
kegunaan mereka.
Beberapa pengertian, seperti “keadilan” (rechtvaardig-
heid atau gerechtigheid) telah menjadi sebab yang meng-
hadirkan suatu kepustakaan yang melimpah. Analisis-
analisis atas pengertian persamaan (gelijkheidsbegrip) juga
di sini terkait erat padanya, seperti “kebebasan”, “kepastian
hukum”, “kelayakan” (billijkheid), “negara hukum” (rule of
law). Kepustakaan yang dicurahkan pada pengertian-
pengertian ini tidak cukup diberikan perhatian pada suatu
analisis yang cermat dan uraian pengertian (begripsom-
schrijving) atas pengertian-pengertian yang dipersoalkan. Di

130 Sumber: Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Principle,
Lawbook Co, New South Wales, 2004, hlm. 15, Lihat Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat
Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama
dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006 yang memuat pemikiran-
pemikirannya yaitu Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional; dan Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan
Hukum Nasional: Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan
Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia. Lihat pula Gary Minda,
“The Jurisprudential Movements of the 1980’s”, Ohio State Journal, 1989.

79
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sini juga terdapat lagi suatu ruang yang terbuka untuk


penelitian bidang Teori Hukum.
Hal dimaksud lebih berlaku lagi untuk analisis atas
pengertian-pengertian seperti “hakikat dari urusan atau
ihwalnya” (de aard van de zaak), “itikad baik”, “penyalah-
gunaan hak”, “rechtsverwerking” (pelepasan hak), “kesa-
daran hukum”, “perasaan hukum”, “kemauan negara”
(staatswil).
Plato berusaha untuk memulihkan kembali, sejauh
mungkin, analogi tradisional antara keadilan dan kosmos
yang tertib. Keadilan (justice), atau tindakan yang benar,
tidak dapat diidentikkan dengan hanya kepatuhan pada
aturan-aturan hukum, juga suatu kehidupan moral yang
sejati tidak dapat direduksikan menjadi sekedar konformitas
pada suatu katalog kewajiban-kewajiban konvensional.
Kewajiban melibatkan (berkaitan dengan) suatu penge-
tahuan tentang apa yang baik bagi manusia, dan hal ini
bertalian erat dengan sifat manusia. Pertanyaan “Apa
keadilan itu?” mendominasi karya Plato yang berjudul “Re-
public”. Plato memahami keadilan sebagai suatu ciri dari
sifat (watak) manusia yang mengkoordinasi dan membatasi
berbagai elemen dari psike manusia pada lingkungannya
yang tepat (proper spheres), agar memungkinkan manusia
dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.
Untuk dapat memahami bekerjanya keadilan di dalam
jiwa manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam konteks
yang luas, dalam kerangka negara kota (polis). Negara akan
berfungsi baik jika diperintah oleh orang yang memahami
seni pemerintahan (art of government), dan penerapan seni

80
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

ini memerlukan pemahaman yang mendalam (insight)


secara positif tentang Yang Baik (the Good). Di dalam suatu
masyarakat yang adil, setiap warga menjalankan peran yang
ia paling mampu melaksanakannya demi kebaikan dari
keseluruhan. Demikian juga halnya, di dalam moral eko-
nomi dari kehidupan pribadi, keadilan menang (menge-
muka) jika akal menang dan selera serta nafsu rendah
diletakkan pada tempatnya yang sesuai. Suatu tertib sosial
yang adil tercapai sejauh akal dan asas-asas rasional
mengatur kehidupan para anggotanya.
Tekanan Plato pada akal mempengaruhi definisinya
tentang hukum. Hukum adalah pikiran yang masuk akal
atau pikiran hasil penalaran (reasoned thought, logismos,
pikiran terargumentasi) yang dirumuskan dalam keputusan
negara (Laws, 644d). Plato menolak pandangan bahwa
otoritas dari hukum bertumpu semata-mata hanya pada
kemauan dari kekuasaan yang memerintah (governing
power). Buku yang berjudul Laws berisi suatu uraian yang
terinci tentang berbagai cabang dari hukum dan merupakan
suatu percobaan untuk merumuskan suatu sistem aturan-
aturan untuk memerintah keseluruhan kehidupan sosial.
Berbeda secara kontras dengan konsep polis yang ideal
seperti yang dipaparkan dalam karya berjudul Republic.
yang di dalamnya tidak diperlukan adanya perundang-
undangan yang terinci, di dalam Laws, Plato menerima
“aturan hukum dan ketertiban, yang merupakan yang
terbaik kedua” (Laws 875d).
Manusia sepanjang peradabannya telah mengenal
hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat

81
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

maksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan


peraturan-peraturan yang bersifat memaksa. Peraturan-
peraturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan-kepen-
tingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan
sesamanya dalam pergaulan hidup. Selain hukum sebagai
suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita
mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemi-
kian kuat dan mendalam sehingga dalam perasaan dan
percakapan sehari-hari telah berubah menjadi suatu tuntut-
an hukum yang diakui dan dipertahankan.131
Anjuran bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan
kepentingan-kepentingan mereka atau kelompoknya dalam
bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat dikeluarkan
berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu
anjuran moral atau rasa susila yang seyogianya senantiasa
ada pada batin mereka. Kaidah moral atau kesusilaan hanya
menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada hak kepada
orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang
menjadi peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika
penguasa tersebut akan memandang moral atau rasa susila
tersebut sebagai hak orang lain (dalam hal ini rakyat dan
masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya
penyelundupan hukum-demi kepentingan mereka yang
berkedok hukum formal-dan membuat peraturan-peraturan
yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak.
Hukum menetapkan kode moral (moral code) yang
lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan
131 Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990.

82
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

fungsi sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang


spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat
moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan
yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum,
termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa
yang memiliki wewenang untuk itu.
Akhirnya, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat
sebagai penggabungan moralitas/keadilan sosial, terhadap
mana individu-individu, kelompok-kelompok atau organi-
sasi pemerintah harus senantiasa mengorientasikan tingkah
lakunya. Memahami bahwa tuntutan masyarakat dapat
sangat berbeda dengan pembuat hukum, maka konsepsi-
konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan
khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam
hukum harus merupakan perwujudan moralitas sosial.
Selanjutnya, berdasarkan keyakinan bahwa hukum
merupakan penggabungan moralitas sosial maka perlu
pengujian sederhana mengenai efektivitas pemberlakuan
produk perundang-undangan dalam masyarakat dengan
menggunakan 3 (tiga) alat uji yaitu: substansi hukum (legal
substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya
hukum (legal culture). Asumsi yang mendasari tema ini ialah
bahwa hukum bisa, atau, seringkali bertentangan dengan
moralitas atau keadilan sosial. Hal ini menimbulkan perta-
nyaan: bagaimana serta dalam kondisi mana hukum-sebagai
perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk
menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan
kebijakan-dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

83
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Karl Marx dalam pendekatan analisisnya terhadap


pembuatan undang-undang didapatkan ciri-ciri kekuasaan
hukum dalam masyarakat kapitalis, yaitu wataknya yang
palsu, dimana keinginan atau kenyataan yang ada dalam
masyarakat dirumuskan berdasarkan keinginan-keinginan
pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas
hukum formal dan dengan cara seperti itu kekuasaan
hukum dinyatakan berlaku. Tetapi apabila kepentingan-
kepentingan kelas terbentur asas-asas hukum yang telah
ditegakkan, maka dibuatlah pengecualian-pengecualian
dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum tersebut
yang dibuat dalam bentuk yang (seolah-olah) formal juga,
yang menurut Marx disebut sebagai ketidakjujuran kelas
yang berkuasa terhadap hukum.132
Gambaran Marx seperti itu ternyata terjadi pula di
Indonesia terutama di masa Orde Baru, hukum yang diwu-
judkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dengan sangat mudah diputarbalikkan oleh penguasa
(pemerintah) demi mengamankan kepentingan-kepen-
tingan mereka. Mereka yang membuat peraturan, mereka
pula yang paling pertama melakukan pelanggaran atau
membuat pengecualian-pengecualian. Secara teknis legal
formal, pengaturan-pengaturan yang dibuat oleh penguasa
kadang-kadang terlihat sangat valid dalam materinya,
namun acapkali substansi materi peraturan tersebut ternyata
hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan
penguasa atau pihak yang berada di belakangnya.
132 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan
Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

84
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Terjadi penyelelundupan-penyelundupan kepentingan


yang terjadi pada penerapan hukum, sehingga yang muncul
pada materi perundang-undangan tampak dari luar sah dan
valid namun dilihat dari segi substansinya terlihat sangat
immoral, artinya seringkali merupakan perwujud penipuan-
penipuan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.
Sistem atau struktur hukum Indonesia yang merupakan
warisan sistem hukum Belanda, berangkat dari pemikiran-
pemikiran Eropa Kontinental dimana Positivisme mengalir
sangat kuat, hukum diwujudkan lebih kepada perangkat
aturan-aturan tertulis dan acapkali mengabaikan sumber-
sumber hukum lain seperti adat-istiadat, kebiasaan dan yuris-
prudensi yang lebih banyak merupakan perwujudan rasa
keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Bernard Arief Sidharta berpendapat bahwa sistem
hukum Eropa Kontinental hanya dapat berlaku efektif dan
efisien pada masyarakat-masyarakat yang telah memiliki
kesadaran atau mental hukum (legal culture) yang sangat
tinggi seperti pada negara-negara yang telah maju, sementara
di Indonesia dimana pemerintah dan masyarakatnya belum
sepenuhnya sadar akan supremasi hukum tampaknya akan
lebih cocok apabila diberlakukan sistem hukum yang
dianut seperti pada negara-negara Anglo Saxon, dimana
hukum tercipta melalui kesadaran yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat itu sendiri, yang tidak
melulu terpatok dalam buku-buku perundang-undangan
yang kaku.133
133 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan
Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masya-
rakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 69.

85
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Kelemahan lain yang digambarkan oleh Bernard Arief


Sidharta bahwa asas tata urutan perundang-undangan (Tap
MPRS No. XX Tahun 1966) yang mengacu kepada teori
stufenbau des recht seringkali ternyata dalam pelaksana-
annya di Indonesia diputarbalikkan, seperti misalnya
Keputusan-keputusan Presiden yang seharusnya melak-
sanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
ternyata acapkali menyimpang atau bahkan bertentangan
dengan undang-undang yang seharusnya dipedomani.134
Seringkali kita jumpai pula bentuk-bentuk peraturan yang
secara limitatif telah diatur, ternyata dalam kenyataannya
muncul bentuk-bentuk lain seperti Keputusan Bersama
Menteri. Berdasarkan shal-hal dimaksud, menurut Arief
Sidharta bahwa sudah saatnya Indonesia memikirkan
perubahan-perubahan secara mendasar pada sistem
hukumnya, sehingga dapat secara fleksibel mengakomo-
dasi perubahan-perubahan materi perundang-undangan
seperti yang telah digambarkan di atas, sehingga tidak akan
ada lagi hujatan yang dialamatkan kepada pemerintah
bahwa selama ini ternyata tidak konsisten melaksanakan
asas-asas yang berlaku umum dalam dunia ilmu hukum.
Hukum harus senantiasa berada dimuka, guna
mengantisipasi perubahan-perubahan mendasar yang
sangat cepat terjadi pada masyarakat sehingga
permasalahan-permasalahan yang berkembang di
masyarakat akan segera mendapatkan jawaban dan
pemecahannya sedini dan sesegera mungkin, dan jika kita

134 Id.

86
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

merujuk kepada pendapat seorang penganut pragmatisme


hukum dari Amerika Serikat yaitu Roscoe Pound dikatakan
bahwa hukum harus dijadikan sebagai alat pembaruan
sosial (law as a tool of social engineering).
Moralitas dalam hukum diinterpretasikan dalam ber-
bagai cara.135 Pertama, sebagai larangan atas perbuatan
immoral yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang menga-
kibatkan kerugian pada orang-orang atau pada masyarakat,
misalnya pencurian atau pembakaran dan kegiatan yang
tidak menimbulkan kerugian seperti itu misalnya dalam hal
pelarangan pelacuran dan pelanggaran-pelanggaran lain-
nya dalam bidang moralitas seksual dan kesusilaan umum.
Kedua, hukum menetapkan kode moral yang lazim
dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial.
Misalnya hukum kontrak, mengharuskan cara-cara tertentu
bagi pihak-pihak yang terikat dalam hubungan-hubungan
kontrak. Hukum perburuhan berisi berbagai peraturan moral
bagi interaksi antara majikan dan buruh. Terdapat juga
peraturan-peraturan yang bersifat indisipliner bagi berbagai
profesi penting, seperti misalnya profesi-profesi dokter, ahli
hukum dan wartawan.
Ketiga, terdapat suatu moralitas hukum yang spesifik,
yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral
yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang
dikembangkan dalam praktik di bidang hukum dan yang

135 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-
nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988.

87
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terikat dalam lembaga-lembaga dan ajaran-ajaran hukum.


Moralitas hukum ini merupakan bidang khusus para ahli
hukum dan para sarjana hukum. Seringkali moralitas ini
harus dilindungi terhadap pendapat mayoritas dan terhadap
kepentingan-kepentingan politik dan sosial yang penting,
misalnya, asas proses hukum yang wajar dalam pengadilan-
pengadilan terhadap teroris politik. Di sini kita menjumpai
peraturan-peraturan dan asas-asas hukum yang spesifik bagi
pemakaian dan pelaksanaan peraturan-peraturan lainnya,
seperti asas bahwa tidak seorangpun boleh dihukum kecuali
jika ia terbukti bersalah karena melanggar peraturan hukum
yang diumumkan dan diketahui sebelumnya, dan kecuali
jika ia telah diberi kesempatan untuk didengar dan untuk
membela dirinya.
Negara hukum formal adalah hasil perwujudan masya-
rakat dalam praktik, yang cenderung menjauhkan hukum
dari keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang
mengalami krisis moral yang sangat mendasar seperti di
Indonesia, maka sebagaimana yang dikemukakan oleh
Friedmann bahwa semua nilai-nilai dan asas-asas hukum
yang sangat fundamental untuk mewujudkan keadilan justru
dapat menjauhkan “hukum” dari keadilan atau kebutuhan
hukum riil masyarakat yang sesungguhnya.136

136 Lihat Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indo-
nesia, Jakarta, 1990 dan A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988.

88
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

2. Konsepsi Kepastian Hukum


Joseph W. Bingham adalah salah seorang realist yang
pertama sebagaimana dimuat dalam karyanya “What is the
Law?” (Michigan Law Review, Vol.11, 1912, 1 25 and 109
121). Bingham mengemukakan bahwa aturan hukum,
seperti kaidah-kaidah ilmiah, tidak mempunyai eksistensi
independen, karena hanya merupakan konstruksi-konstruksi
mental yang dengan mudah meringkaskan fakta-fakta
partikular. Kaidah-kaidah hukum sungguh-sungguh adalah
keputusan-keputusan yudisial, dan apa yang disebut aturan-
aturan atau asas-asas termasuk dalam faktor-faktor kausatif
(secara mental) yang ada di belakang keputusan itu. Nomi-
nalisme dan Behaviorisme ini, yang menjadi ciri khas penulis
penulis realist awal, dikritik oleh Morris R. Cohen (1880–
1947), hingga akhir akhir ini seorang dari sedikit filsuf
akademis di Amerika Serikat yang mempunyai perhatian
pada filsafat hukum. “Analisis perilaku” dipertahankan oleh
Karl N. Llewllyn, yang memperluas penerapan analisis itu
melampaui perilaku yudisial pada perilaku “pejabat” (Juris-
prudence, Chicago, 1962; collected papers).
Apa yang disebut mitos kepastian hukum diserang oleh
Jerome Frank (1889-1957) dalam karyanya Law and the
Modern Mind (New York, 1930), yang menjelaskan sumber
mitos itu dalam peristilahan Freudian. Dalam edisi keenam
(New York, 1949), Frank bersikap lebih ramah terhadap
pemikiran hukum alam, yang menandai perubahan sikap-
nya dari sikap “skeptisisme aturan” pada awalnya menuju
ke “skeptisisme fakta” (Courts on Trial, Princeton, N.J. 1949).
Realist penting lainnya meliputi Thurman Arnold, Leon

89
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Green, Felix Cohen, Walter Nelles, Herman Oliphant, dan


Fred Rodell. Baik positivisme maupun realisme, dua-duanya
diserang oleh Lon L. Fuller (Law in Quest of Itself, Chicago,
1940), seorang eksponen pemikiran hukum alam non
Thomistik dari Amerika yang berpengaruh (The Morality of
Law, New Haven, 1964). Hidup kembalinya (revival) doktrin-
doktrin hukum alam adalah salah satu aspek yang sangat
menarik dalam perkembangan pemikiran hukum pada
masa kini. Kontribusi-kontribusi dan kritik-kritik mutakhir
dapat ditemukan di dalam majalah The Natural Law Fo-
rum.
William Twining dalam Globalisation and Legal Theory
mengemukakan bahwa perlu dilakukan kategorisasi teori-
teori hukum sesuai dengan zamannya sehingga sulit untuk
menyatakan bahwa suatu teori yang bersifat universal.137
Teori-teori yang lahir pada abad ke-19 atau abad ke-20
karena latar belakangnya berbeda memiliki pendekatan
yang berbeda pula. Teori-teori yang lahir pada abad ke-21
akan dipengaruhi oleh tantangan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta globalisasi di berbagai
bidang akan sangat mewarnai teori-teori hukumnya.
Studi literatur menunjukkan bahwa Aliran Positivisme
Hukum atau Aliran Hukum Positif begitu kental mewarnai
pemikiran-pemikiran hukum pada abad ke-19 bahkan
hingga abad ke-20. Aliran Hukum Positif dipengaruhi oleh
pemahaman sebelumnya (Legisme) bahwa hukum identik
dengan undang-undang dan satu-satunya sumber hukum
137 William Twining, Globalisation and Legal Theory, Butterworths, Lon-
don, 2000, hlm. 52-53.

90
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

adalah undang-undang.138 Hukum adalah perintah


penguasa sebagaimana yang dikatakan John Austin memi-
liki dimensi pemahaman bahwa penguasa adalah mereka
yang memegang kekuasaan tertinggi/kedaulatan sehingga
hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi
kewajiban dan kedaulatan (law is a command of lawgiver).139
Konsekuensi yang muncul adalah hukum harus berisikan
aturan/ketentuan dalam berbentuk tertulis sebagai peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa berda-
sarkan kewenangan yang dimilikinya melalui konstitusi
(legislasi).
Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen bahkan menya-
takan bahwa hukum perlu dibersihkan dari anasir-anasir
(unsur) non-yuridis seperti etis, sosiologis, politis termasuk
kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
(living law).140 Sehingga semakin menguatkan pemahaman
bahwa hukum adalah peraturan perundang-undangan dan
bukan termasuk hukum yang tidak tertulis. Namun pada
sisi yang lain dengan hukum harus dalam bentuk tertulis
maka dapat diwujudkan adanya kepastian hukum (legal
certainty) sehingga pada akhirnya dapat terhindarkan
adanya kesewenang-wenangan dari penguasa.

138 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 56.
139 John Austin menggangap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap
dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas tidak
dapat dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai
yang baik atau buruk.
140 Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law & State, Transaction Pub-
lishers, New Jersey, 2006.

91
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

3. Konsepsi Ketertiban
Aristoteles yang membahas hukum dalam berbagai konteks,
tidak pernah memberikan suatu definisi formal tentang
hukum. Ia menulis dengan cara yang berbeda-beda bahwa
hukum adalah “suatu jenis ketertiban, dan hukum yang
baik adalah ketertiban yang baik” (Politics 1326a), “akal
yang tidak dipengaruhi oleh nafsu” (ibid. 1287a), dan “jalan
tengah” (ibid. 1287b). Namun, semuanya itu tidak dapat
dianggap sebagai suatu definisi, melainkan sebagai ciri-ciri
(karakterisasi) hukum yang dimotivasi oleh sesuatu yang
mau dikemukakan oleh Aristoteles dalam konteks tertentu.
Mengikuti pendapat Plato, Aristoteles menolak pan-
dangan kaum Sofis yang berpendapat bahwa hukum itu
adalah hanya konvensi saja. Di dalam suatu komunitas yang
sejati –sebagaimana yang dibedakan dari suatu aliansi, yang
di dalamnya hukum hanya sekadar suatu “covenant”–
hukum berkaitan dengan kebajikan moral (moral virtue,
keutamaan moral) dari para warga masyarakat. Aristoteles
secara tajam membedakan antara konstitusi (politeia) dan
aturan-aturan hukum (nomoi); konstitusi berkaitan dengan
organisasi jabatan-jabatan di dalam negara, sedangkan
aturan aturan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang
berdasarkannya para pejabat harus menjalankan penge-
lolaan negara, dan mengambil tindakan terhadap para
pelanggarnya (ibid. 1289a). Konstitusi suatu negara dapat
saja mengarah pada demokrasi, walaupun kaidah-kaidah
hukumnya diterapkan dalam semangat oligarki dan sebalik-
nya (ibid. 1292b). Perundang-undangan seyogianya diarah-

92
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

kan untuk mewujudkan kepentingan bersama (umum) dari


para warganegara, dan keadilan –yang pada dasarnya
sama– seyogianya ditetapkan berdasarkan standar kepen-
tingan bersama (ibid. 1283a).
Namun Aristoteles mengakui bahwa hukum seringkali
merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelas khusus
(sekelompok orang, a particular class), dan ia menekankan
peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu faktor
stabilisasi. Tampaknya Aristoteles mempunyai dua pertim-
bangan dalam pikirannya. Pertama, pengambilan kepu-
tusan yudisial itu bersifat praktis –hal itu melibatkan
pertimbangan– dan sebagai demikian tidak dapat sepenuh-
nya ditentukan terlebih dahulu. Kedua, penyelesaian isu-
isu tentang fakta yang dipersoalkan dalam suatu kasus
tertentu, yang berdasarkannya keputusan itu tergantung,
tidak dapat diputuskan terlebih dahulu oleh perundang-
undangan. Penekanan pada ketidakcukupan dari aturan-
aturan umum ini berkaitan dengan pembahasan Aristoteles
yang berpengaruh tentang ekuitas (equity, epieikeia). Ekuitas
adalah adil (just), “tetapi bukan adil secara legal melainkan
suatu koreksi terhadap keadilan yang legal (legal justice)”
(Nicomachean Ethics 1137b10).
Kadang kadang Aristoteles tampak seperti mau
mengemukakan bahwa ekuitas berperan bila terdapat
kekosongan di dalam hukum, sehingga ia (ekuitas itu)
berwujud dalam bentuk tindakan hakim sebagaimana yang
akan dilakukan oleh pembentuk hukum (lawgiver) jika ia
dihadapkan pada persoalan yang bersangkutan. Namun ia

93
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

juga tampak seperti mau mengemukakan bahwa ekuitas


mengkoreksi kekerasan (kekakuan, harshness) dari hukum
bila keputusan sesuai dengan aturan tertulis akan meng-
hasilkan suatu ketidakadilan. Dengan demikian, asas-asas
ekuitas berkaitan erat dengan kaidah-kaidah hukum
universal yang tidak tertulis “berdasarkan pada alam”, suatu
“keadilan alamiah” (natural justice) yang mengikat semua
orang, bahkan juga mereka yang tidak mempunyai asosiasi
atau persetujuan antara satu dengan lainnya. Namun, apa
yang adil secara alamiah itu dapat berbeda-beda dari
masyarakat ke masyarakat.

4. Konsepsi Kemanfaatan
Penetapan sebuah undang-undang, penutupan sebuah
kontrak, dan penyerahan (pengalihan, transfer) pemilikan
atau hak-hak lain dengan penggunaan perkataan-
perkataan, tertulis atau lisan, adalah contoh-contoh dari
transaksi hukum (legal transaction) yang telah dimungkinkan
oleh adanya tipe-tipe aturan hukum tertentu dan dapat
didefinisikan dalam kerangka aturan-aturan demikian. Bagi
beberapa pemikir, transaksi-transaksi (tindakan dalam
hukum [act in the law] atau perbuatan hukum [juristic act])
yang demikian tampak misterius –beberapa orang bahkan
telah menyebut mereka “magical”– karena mereka menga-
kibatkan perubahan kedudukan hukum para individu atau
terciptanya atau hapusnya undang-undang.
Karena, dalam hampir semua sistem hukum modern,
perubahan perubahan demikian biasanya ditimbulkan

94
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

dengan penggunaan perkataan perkataan, tertulis atau lisan,


tampaknya seperti terdapat sejenis “legal alchemy” (kimia
hukum, abrakadabra hukum). Tidaklah jelas bagaimana
hanya sekedar penggunaan ekspresi ekspresi seperti
“dengan ini ditetapkan .....”, “Saya dengan ini mewariskan
....”, atau “para pihak dengan ini menyepakati ....” dapat
menghasilkan perubahan perubahan. Dalam kenyataan,
bentuk umum dari gejala ini bukanlah secara eksklusif
bidang hukum (not exclusively legal), namun secara
komparatif hanya baru akhir-akhir ini secara jelas diisolasi
dan dianalisis. Perkataan-perkataan dari suatu perjanjian
biasa (promise) atau yang digunakan dalam suatu upacara
pembabtisan untuk memberi nama seorang anak jelas dapat
dianalogikan dengan tindakan-tindakan dalam bidang
hukum. Para ahli hukum kadang-kadang membedakan
fungsi bahasa yang khas ini sebagai penggunaan “perkataan-
perkataan yang operatif” (operative words), dan di bawah
kategori ini telah membedakan, misalnya, perkataan-
perkataan yang digunakan dalam sebuah perjanjian sewa-
menyewa (lease) untuk menciptakan hubungan sewa-
menyewa (tenancy) dari semata mata bahasa deskriptif dari
penyebutan fakta-fakta mengenai para pihak dan kese-
pakatan mereka.
Perkataan-perkataan (atau dalam hal-hal tertentu
gerakan tangan, seperti pemungutan suara atau bentuk-
bentuk perilaku lain) ditujukan untuk mempunyai efek
operatif sehingga harus ada aturan-aturan hukum yang
menetapkan bahwa jika perkataan-perkataan (atau gerakan

95
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

gerakan) itu digunakan dalam situasi yang tepat (sesuai,


appropriate) oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi yang
diperlukan untuk itu, maka aturan hukum tertentu atau
kedudukan para individu harus dianggap telah berubah.
Aturan-aturan yang demikian dapat dipandang dari satu
sudut pandang tertentu sebagai memberikan pada bahasa
yang digunakan sejenis kekuatan atau efek tertentu yang
dalam suatu pengertian yang luas merupakan arti dari
mereka (bahasa itu); dari sudut pandang yang lain mereka
dapat dipandang (dipersepsi) sebagai memberikan kepada
para individu kekuasaan hukum (legal power) untuk men-
ciptakan (mengadakan) perubahan-perubahan hukum yang
demikian.
Dalam Ilmu Hukum Kontinental diberikan pemahaman
bahwa aturan-aturan yang demikian biasanya disebut
sebagai “kaidah-kaidah kompetensi” (kaidah-kaidah
kewenangan) untuk membedakannya dari aturan-aturan
hukum yang lebih sederhana yang hanya menetapkan
kewajiban-kewajiban dengan atau tanpa hak-hak yang
berkaitan dengannya. Sebagaimana yang sudah diimpli-
kasikan dalam ungkapan-ungkapan “acts in the law”
(tindakan dalam kerangka hukum, perbuatan hukum) dan
“operative words” (kata-kata operatif), terdapat kesamaan
yang penting antara eksekusi (pelaksanaan) transaksi-
transaksi hukum dan kasus-kasus tindakan manusia yang
lebih jelas. Butir-butir kesamaan ini adalah sangat penting
dalam pemahaman tentang apa yang sering tampaknya
problematikal –relevansi keadaan mental atau psikologik

96
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

para pihak yang bersangkutan dengan pembentukan atau


keabsahan transaksi-transaksi yang demikian.
Dalam banyak hal aturan-aturan yang relevan mene-
tapkan bahwa sebuah transaksi adalah tidak sah atau
sekurang-kurangnya terbuka kemungkinan untuk dike-
sampingkan berdasarkan keadaan pihak pihak jika pihak
yang mengadakannya gila, keliru mengenai hal tertentu, di
bawah paksaan atau pengaruh di luar batas (undue influ-
ent). Di sini terdapat suatu analogi yang penting dengan cara-
cara yang berdasarkan fakta-fakta psikologi yang sama (mens
rea) dapat, sesuai dengan asas-asas hukum pidana, mem-
bebaskan seseorang dari pertanggungjawaban pidana untuk
tindakan-tindakannya. Dalam kedua lingkungan itu terdapat
eksepsi-eksepsi (pengecualian): dalam hukum pidana
terdapat beberapa kasus pertanggung-jawaban “strict” (strict
liability) di mana unsur pengetahuan atau intensi (niat) tidak
perlu dibuktikan; dan dalam beberapa tipe transaksi, bukti
bahwa seseorang mengaitkan arti khusus pada perkataan-
perkataan yang ia gunakan atau keliru dalam beberapa hal
dalam penggunaan mereka tidak akan membatalkan (in-
validate) transaksi tersebut, sekurang-kurangnya terhadap
pihak yang dengan itikad baik telah mendasarkan diri pada
transaksi itu.
Perhatian terhadap analogi-analogi antara transaksi
hukum yang sah dan tindakan yang bertanggungjawab dan
kondisi kondisi mental bahwa dalam hal yang satu (dapat)
membatalkan dan dalam hal lain dapat membebaskan dari
pertanggungjawaban ini dapat menjelaskan banyak per-

97
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

tentangan teoretikal yang kabur tentang sifat (hakikat)


transaksi hukum seperti kontrak. Demikianlah, menurut salah
satu teori utama (teori “kehendak”, “will” theory) sebuah
kontrak menurut esensinya adalah suatu fakta psikologikal
yang kompleks –sesuatu yang muncul bila terjadi suatu
pertemuan pikiran (meeting of minds, consensus ad idem)
yang bersama sama “menghendaki” atau “menginginkan”
timbulnya (adanya) sejumlah hak dan kewajiban secara
bertimbal balik. Perkataan-perkataan yang digunakan,
menurut teori ini, adalah hanya bukti saja dari konsensus
ini.
Teori rivalnya (teori “objektif”) berpendapat bahwa apa
yang menciptakan kontrak bukanlah suatu gejala psikolo-
gikal, melainkan penggunaan secara aktual dari perkataan-
perkataan penawaran dan penerimaan, dan bahwa kecuali
dalam hal-hal khusus hukum semata-mata hanya mem-
berikan akibat pada arti yang biasa dari bahasa yang
digunakan para pihak dan tidak memperdulikan keadaan
alam pikiran aktual mereka. Jelasnya, tiap pihak pada per-
tentangan pendapat ini berpegangan erat pada sesuatu yang
penting tetapi terlalu melebih-lebihkannya. Memang benar,
seperti pada janji biasa, sebuah kontrak hukum tidak dibuat
oleh fakta-fakta psikologikal. Sebuah kontrak, seperti sebuah
janji biasa, “dibuat” (diciptakan) tidak oleh adanya keadaan
mental tetapi oleh perkataan-perkataan (atau dalam bebe-
rapa hal oleh perbuatan-perbuatan). Jika ia diciptakan secara
verbal, maka ia diciptakan dengan penggunaan operatif dari
bahasa, dan terdapat banyak aturan hukum yang tidak

98
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

konsisten dengan gagasan bahwa suatu consensus ad idem


disyaratkan. Di lain pihak, hanya karena penggunaan
operatif dari bahasa adalah suatu jenis tindakan, hukum
dapat –dan dalam hampir semua sistem hukum yang
beradab berlaku– memperluas padanya suatu doktrin
tentang pertanggungjawaban atau validitas (keabsahan)
yang membuat unsur-unsur mental tertentu menjadi relevan.
Demikianlah sebuah kontrak, walaupun dibuat dengan
perkataan-perkataan, dapat batal atau dibatalkan jika salah
satu pihak gila, keliru dalam beberapa hal, atau ada di bawah
tekanan jiwa (under duress). Karena itu, kebenaran yang
ada secara laten di antara kesalahan-kesalahan teori
“kemauan” dan teori “objektif” dapat dipertemukan dalam
suatu analisis yang mengungkapkan secara eksplisit analogi
antara transaksi-transaksi yang diciptakan dengan peng-
gunaan bahasa secara operatif dan tindakan-tindakan yang
bertanggungjawab.
Sementara Kant dan para pengikutnya dapat dikatakan
telah mempertahankan suatu jenis pemikiran tentang
hukum alam (masih menganut suatu konsep hukum alam,
walaupun berbeda dari tipe pandangan Stoa dan Thomistik),
Jeremy Bentham (1748–1832) dan pengikut pengikutnya
(terutama John Stuart Mill) mengklaim menolak pemikiran
yang demikian secara menyeluruh. Pertama, David Hume
(1711–1776) mengemukakan bahwa distingsi (penilaian)
moral tidak diderivasi dari akal (reason); nafsu (passion), atau
sentimen, adalah landasan paling akhir dari penilaian moral
(moral judgment). Keadilan berakar dalam utilitas/

99
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kemanfaatan. Kedua, kriminolog dari Italia bernama Cesare


Beccaria (1738-1794), dalam karyanya “Of Crimes and
Punishments” (1764), melancarkan kritik yang sangat tajam
tanpa tedeng aling-aling terhadap institusi-institusi hukum
pidana dan metode-metode penghukuman yang ada pada
waktu itu. Standar penilaiannya adalah apakah “kebaha-
giaan terbesar bagi jumlah terbanyak” telah diwujudkan
secara maksimal. Bentham mengakui jasa Beccaria bagi
perkembangan pemikirannya, dan “asas utilitas” (asas
manfaat) ini menjadi dasar dari berjilid-jilid “codes” yang
direncanakan Bentham. Namun, ia tidak merumuskan sifat
(hakikat) dari hukum dengan referensi pada utilitas atau
manfaat. Di dalam karyanya The Limits of Jurisprudence
Defined (diterbitkan tahun 1945) Bentham merumuskan
undang-undang sebagai ekspresi dari “kemauan dari
seorang penguasa dalam suatu negara”.
Pandangan Bentham dimaksud yang cocok sekali
untuk menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
Revolusi Industri di Inggris, adalah sangat penting dalam
menghasilkan pembaharuan hukum (legal reform). Pada
tahun 1832, tahun dari kematiannya, Reform Act telah
diundangkan, terutama merupakan hasil karya dari para
pengikutnya. Karya Mill berjudul On Liberty (1859) adalah
suatu percobaan untuk membahas pembatasan paksaan
hukum (legal coercion) oleh negara dalam kerangka (ber-
dasarkan) pandangan utilitarian yang dimodifikasi.
Bentham dalam pemahaman filsafat hukum telah mem-
pengaruhi dunia berbahasa Inggris terutama melalui pikiran

100
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

John Austin (1790–1859), tokoh penyebar benih (seminal


figure) dalam Legal Positivism dan Analitic Jurisprudence
Inggris dan Amerika. Austin mencoba menemukan suatu
demarkasi yang jelas batas-batas dari hukum positif, yang
dapat menjadi anteseden bagi suatu “ilmu hukum umum”
(general jurisprudence) yang meliputi analisis dari “asas-asas,
gagasan-gagasan, dan distingsi-distingsi” seperti kewajiban,
hak, dan hukuman, yang terdapat dalam setiap sistem
hukum; analisis-analisis ini pada gilirannya akan digunakan
dalam “ilmu hukum khusus” (particular jurisprudence),
eksposisi (pemaparan) secara sistematis dari suatu tata hukum
tertentu.
Austin mulai dengan membedakan “law properly so
called” dan “law improperly so called”. Austin berpendapat
bahwa “law properly so called”adalah selalu “a species of
command”, suatu ekspresi dari suatu keinginan (wish) atau
hasrat, secara analitik dikaitkan dengan gagasan tentang
kewajiban, pertanggungjawaban untuk menerima hukuman
(atau sanksi), dan superioritas. Austin terhadap “law improp-
erly so called” sampai pada analisisnya tentang “kedaulatan”
yang terkenal dan berpengaruh; “laws strictly so called”
(kaidah-kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari
mereka yang secara politik berkedudukan lebih tinggi (po-
litical superiors) kepada mereka yang secara politik berke-
dudukan lebih rendah (political inferiors). Berdasarkan ini
disimpulkan bahwa Hukum Internasional adalah hanya
“moralitas internasional positif” ketimbang hukum dalam
arti yang sesungguhnya (law in a strict sense). (Beberapa

101
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

penulis, memandang hal ini sebagai suatu konsekuensi yang


tidak menguntungkan dan mungkin berbahaya, terdorong
melakukan beberapa revisi terhadap Austinianisme)
“Separasi” (pemisahan) hukum dan moralitas dari Austin
seringkali dianggap sebagai tonggak yang menandai
positivisme hukum (legal positivism) yaitu dengan pen-
dapatnya yang terkenal bahwa ”Adanya hukum adalah
suatu hal; faedah atau kekurangannya adalah soal lain”,
tulisnya dalam The Province of Jurisprudence Determined
(V, note).
Namun Austin adalah seorang utilitarian; dalam mem-
bedakan antara hukum yang ada dan hukum yang
seharusnya ada, ia tidak memaksudkan bahwa hukum
adalah bukan sasaran bagi kritik moral secara rasional ber-
dasarkan utilitas atau kemanfaatan, yang bagi Austin adalah
petunjuk pada hukum dari Tuhan. Pada titik ini Austin
dipengaruhi oleh theological utilitarians seperti William
Paley. Pandangan-pandangan Austin telah menjadi objek
diskusi yang serius, baik di luar maupun di dalam tradisi
tradisi positivisme dan analitical jurisprudence. Dan mana-
kala disiplin-disiplin sejarah, antropologi, dan etnologi
memperoleh kedudukan semakin penting pada abad
sembilanbelas, berkembanglah pendekatan-pendekatan
yang bersaing tentang pemahaman hukum. Sir Henry Maine
(1822-1888) yang merumuskan hukum sejarah (historical
law) bahwa perkembangan hukum adalah suatu gerakan
(pergeseran) dari status ke kontrak, mengemukakan di dalam
karyanya Early History of Institutions (London, 1875) bahwa

102
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

teori hukum perintah kedaulatan (the command sovereignty


theory of law) tidak berlaku dalam suatu masyarakat primitif,
di mana hukum sebagian besar berupa kebiasaan dan
“penguasa” politik, yang memiliki kekuasaan atas hidup dan
matinya dari para warga masyarakatnya, tidak pernah
membuat kaidah hukum.
Pandangan Austinian hanya dapat diselamatkan
dengan mempertahankan fiksi bahwa apa yang diizinkan
oleh “penguasa” adalah apa yang diperintahkannya.
Walaupun demikian, Austin mempunyai banyak pengikut
pada peralihan ke abad duapuluh, seperti misalnya T.E.
Holland (1835-1926) dan J.W. Salmond (1862-1924), yang
mencoba mempertahankan aspek imperatif dan koersi
(paksaan) pada waktu berusaha merevisi teori Austin.
Peran pengadilan-pengadilan semakin mendapat
tekanan (semakin ditonjolkan). Di Amerika Serikat, John
Chipman Gray (1839-1915) menulis The Nature and
Sources of the Law (New York, 1909; 2d ed., New York,
1921), salah satu kontribusi Amerika yang paling penting
pada persoalan ini. Dengan mengakui jasa Austin, Gray
mendefinisikan hukum sebagai “aturan-aturan yang ditetap-
kan oleh pengadilan-pengadilan (dari negara bagian) untuk
menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum”
(the rules which the courts [of the State] lay down for the
determination of legal rights and duties). Definisi dari Gray
ini menyebabkan ia harus mengkonstruksi undang-undang,
preseden yudisial, kebiasaan, pendapat ahli (doktrin), dan
moralitas sebagai sumber-sumber hukum ketimbang

103
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sebagai hukum. Semua hukum adalah buatan hakim (judge


made law). Peralatan negara (machinery of the state) berdiri
di latar belakang dan menyediakan unsur koersifnya, yang
tidak masuk ke dalam definisi dari “hukum”. Pengaruh Gray
dapat ditelusuri dalam “the realist movement” di Amerika
Serikat.

B. FUNGSI HUKUM EKONOMI DIGITAL


DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa tujuan
pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal
saja, adalah ketertiban (order), ketertiban adalah tujuan
pokok dan pertama dari segala hukum dan kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamen-
tal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.141
Di samping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,
menurut masyarakat dan zamannya.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini,
diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar-
manusia dalam masyarakat. Pemahaman yang penting sekali
bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi
merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang
melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat

141 Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, seba-
gaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum
Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema In-
stitute, Jakarta, 2012, hlm. 122.

104
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

lembaga-lembaga hukum seperti misalnya dalam lembaga


(1) perkawinan, yang memungkinkan kehidupan yang tak
dikacaukan oleh hubungan laki-laki dan perempuan;
lembaga (2) hak milik; dan lembaga (3) kontrak yang harus
ditepati oleh pihak-pihak yang menyepakatinya. Tanpa
kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijel-
makan olehnya maka manusia tak mungkin mengem-
bangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan
Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat
tempat hidup. Sjachran Basah secara lebih konstruktif
menjelaskan 5 (lima) fungsi hukum yang dikenal pula dengan
“Panca Fungsi Hukum”dalam kaitannya dengan kehidupan
masyarakat sebagai berikut:142
1. Direktif bahwa hukum berfungsi sebagai pengarah
dalam membangun untukmembentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara;
2. Integratif bahwa hukum berfungsi sebagai pembina
kesatuan bangsa;
3. Stabilitatif bahwa hukum berfungsi sebagai pemelihara
(termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan
penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
4. Perfektif bahwa hukum berfungsi sebagai penyem-
purna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara,
maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat; dan
142 Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, Penerbit Armico, Bandung,
1986.

105
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

5. Korektif bahwa hukum berfungsi baik terhadap warga


negara maupun administrasi negara dalam mendapat-
kan keadilan.

Sjachran terlebih khusus memberikan pemahaman


dalam korelasi dan interaksi administrasi/tata kelola/gover-
nance dari pemerintah dan/atau regulator dengan warga
negara dan para pemangku kepentingan lainnya. Prinsip-
prinsip Hukum Administrasi Negara yang melampaui
zamannya telah diperkenalkan Sjachran Basah, sehingga
relevansi fungsi Direktif, Integratif, Stabilitatif, Perfektif, dan
Korektif menjadi platform Hukum Ekonomi Digital untuk
pengaturan Revolusi Industri 4.0 dalam penegakan yurisdiksi
virtual. Pemahaman Mochtar dan Sjachran sebelumnya
menjadi lebih lengkap dengan Teori Hukum Progresif dari
Satjipto Rahardjo. Sunarjati Hartono mengungkapkan
bahwa sebenarnya hukum progresif adalah sebuah studi
hukum yang inter, multi, dan transdisipliner, sebagai pemi-
kiran hukum yang cocok untuk mengatur masyarakat di
abad ke-21 dan masa depan.143
Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0 mem-
bebaskan manusia dari kekuatan hewan, memungkinkan
produksi massal dan membawa kemampuan digital ke
miliaran orang. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya sangat
berbeda dengan ditandai dengan berbagai teknologi baru
yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis, mem-

143 Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi Intelektual &


Pertarungan Tafsir terhadap Filsafat Hukum Progresif, Penerbit Thafa
Media dan Satjipto Rahardjo Institute, Yogyakarta, 2013, hlm. 398.

106
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

pengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi dan industri, dan


bahkan ide-ide yang menantang tentang “apa” artinya
menjadi manusia. Pergeseran dan gangguan yang terjadi
menjadikan manusia hidup di masa yang penuh dengan
janji dan bahaya besar. Dunia memiliki potensi untuk
menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke jaringan
digital, secara dramatis meningkatkan efisiensi organisasi dan
bahkan mengelola aset dengan cara yang dapat membantu
meregenerasi lingkungan alam serta berpotensi disrupsi
terhadap revolusi-revolusi industri sebelumnya.
Schwab memiliki keprihatinan besar bahwa organisasi
mungkin tidak dapat beradaptasi; pemerintah dapat gagal
menggunakan dan mengatur teknologi baru untuk menang-
kap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan
masalah keamanan yang baru dan penting; ketidaksetaraan
bisa tumbuh; dan fragmentasi masyarakat.144 Schwab
menempatkan pula perubahan terbaru ke dalam konteks
historikal; menguraikan teknologi utama (main stream) yang
mendorong Revolusi Industri 4.0; membahas dampak
utama pada pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan
individu; dan menyarankan cara untuk menanggapi hal-
hal dimaksud. Perlu keyakinan bahwa Revolusi Industri 4.0
berada dalam kendali selama kita mampu berkolaborasi
lintas geografis, sektoral, dan disiplin untuk memahami
peluang yang dihadirkannya dalam peradaban manusia.

144 Schwab, Klaus. “The Fourth Industrial Revolution.” Foreign Affairs. Akses
pada tanggal 9 Agustus 2018 melalui https://www.foreignaffairs.com/
articles/2015-12-12/fourth-industrial-revolution.

107
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Schwabsecara khusus menyatakan seruan bagi para


pemimpin dan warga negara untuk “bersama membentuk
masa depan yang bekerja untuk semua dengan menem-
patkan orang-orang terbaiknya, memberdayakan mereka
dan terus-menerus mengingatkan diri kita bahwa semua
teknologi baru ini adalah alat pertama dan utama yang dibuat
oleh orang-orang untuk manusia”.
Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi atau dampat
terhadap bagaimana fungsi hukum di dalam masyarakat.
Sehingga perlu didekati dari pemahaman Teori Hukum.
Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam
suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis
berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara
tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam
konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran
praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman
yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih
atas bahan-bahan yuridikal.

1. Fungsi Personal
Manusia hari ini berdiri di tepi revolusi teknologi yang pada
dasarnya akan mengubah cara hidup, bekerja, dan berhu-
bungan satu sama lain. Dalam skala, ruang lingkup, dan
kerumitannya, transformasi tidak akan seperti yang pernah
dialami manusia sebelumnya. Perlu dipahami bahwa
respons terhadapnya harus terintegrasi dan komprehensif,
melibatkan semua pemangku kepentingan dari peme-
rintahan secara global, dari sektor publik dan swasta hingga

108
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

akademisi dan masyarakat sipil. Revolusi Industri 1.0


menggunakan air dan tenaga uap untuk mekanisasi pro-
duksi, kemudian Revolusi Industri 2.0 menggunakan tenaga
listrik untuk menciptakan produksi massal. Revolusi Industri
3.0 menggunakan instrumen elektronik dan sistem tekno-
logi informasi untuk melakukan otomatisasi produksi, maka
sekarang Revolusi Industri 4.0 sedang membangun revolusi
digital yang telah terjadi sejak pertengahan abad lalu yang
ditandai dengan perpaduan teknologi yang mengaburkan
garis antara bidang fisik, digital, dan biologis.145
Transformasi revolusi industri saat ini tidak hanya
melambangkan perpanjangan dari Revolusi Industri 3.0,
tetapi lebih pada penyiapan kedatangan Revolusi Industri
4.0 dan karakter yang berbeda secara kecepatan, ruang
lingkup, dan dampak sistemnya. Kecepatan terobosan saat
ini tidak memiliki preseden historikal, jika dibandingkan
dengan revolusi-revolusi industri sebelumnya. Revolusi
Industri 4.0 melakukan kecepatan eksponensial dan bukan
linier. Selain itu, hal dimaksud menjadi disrupsi hampir setiap
industri di berbagai negara. Belum lagi masif dan kedalaman
perubahan ini menandai transformasi seluruh sistem pro-
duksi, manajemen, dan pemerintahan.
Posibilitas miliaran orang yang terkoneksi oleh perang-
kat seluler dengan kekuatan pemrosesan yang belum pernah
terjadi sebelumnya, kapasitas penyimpanan, dan akses ke
pengetahuan yang tidak terbatas. Posibilitas dimaksud kan

145 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://


www.weforum. org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-
what-it-means-and-how-to-respond

109
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

digandakan dengan terobosan teknologi yang muncul di


bidang-bidang seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelli-
gent-AI), robotika, Internet of Things (IoT), kendaraan
otonom, pencetakan 3-D, nanoteknologi, bioteknologi, ilmu
material, penyimpanan energi, dan komputasi kuantum.
Artificial Intelligent ada di sekitar kita, mulai dari mobil yang
mengemudi sendiri dan drone hingga asisten virtual dan
perangkat lunak yang menerjemahkan atau berinvestasi.
Kemajuan yang mengesankan telah dibuat dalam Artificial
Intelligent dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh
peningkatan eksponensial dalam daya komputasi dan oleh
ketersediaan data dalam jumlah besar, dari perangkat lunak
yang digunakan untuk menemukan obat baru untuk algo-
ritma yang digunakan untuk memprediksi kepentingan
budaya kita. Teknologi fabrikasi digital berinteraksi dengan
dunia biologis setiap harinya. Profesi insinyur, perancang,
dan arsitek menggabungkan desain komputasi, manufaktur
aditif, teknik material, dan biologi sintetis untuk merintis
simbiosis antara mikroorganisme, tubuh kita, produk yang
kita konsumsi, dan bahkan bangunan yang kita huni saat
ini.
Revolusi-revolusi industri sebelumnya memiliki iden-
tifikasi yang mirip dengan Revolusi Industri 4.0 yaitu memiliki
potensi untuk meningkatkan tingkat pendapatan global dan
meningkatkan kualitas hidup penduduk di seluruh dunia.
Sampai saat ini, mereka yang telah memperoleh sebagian
besar dari potensi itu adalah konsumen yang mampu mem-
bayar dan mengakses dunia digital; teknologi telah memung-

110
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

kinkan produk dan layanan baru yang meningkatkan


efisiensi dan kesenangan kehidupan pribadi sosok manusia.
Sekarang ini proses atau layanan untuk memesan taksi,
memesan penerbangan, membeli produk, melakukan pem-
bayaran, mendengarkan musik, menonton film, atau bahkan
bermain game digital telah dapat dilakukan dari jarak jauh.Di
masa depan inovasi teknologi juga akan mengarah pada
keajaiban sisi penawaran, dengan keuntungan jangka
panjang dalam efisiensi dan produktivitas. Biaya transportasi
dan komunikasi akan menurun, logistik dan rantai pasokan
global akan menjadi lebih efektif, dan biaya perdagangan
akan berkurang yang semuanya akan membuka pasar baru
dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee
menyampaikan pemahaman bahwa revolusi dapat meng-
hasilkan ketimpangan yang lebih besar, terutama dalam
potensinya untuk mengganggu pasar tenaga kerja.146
Revolusi Industri 4.0 mengarah kepada skenario terjadinya
pengganti otomasi tenaga kerja di seluruh ekonomi, per-
pindahan pekerja oleh mesin mungkin memperburuk
kesenjangan antara kembali ke modal dan kembali ke
tenaga kerja. Namun pada sisi lain juga mungkin bahwa
perpindahan pekerja oleh teknologi akan secara agregat
menghasilkan peningkatan bersih dalam pekerjaan yang
aman dan bermanfaat.

146 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://


www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-
what-it-means-and-how-to-respond

111
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Prediksi yang paling moderat tidak dapat meramalkan


skenario mana yang mungkin muncul dan sejarah menun-
jukkan bahwa hasilnya mungkin merupakan kombinasi dari
keduanya. Namun di masa depan selain variabel modal,
maka variabel bakat yang juga akan mempengaruhi faktor
kritis produksi. Hal ini akan memunculkan pasar kerja yang
semakin dipisah menjadi segmen “rendah keterampilan/
upah rendah” dan “tinggi keterampilan/upah tinggi”,
sehingga pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan
ketegangan sosial.
Selain tantangan ekonomi yang menjadi perhatian
utama maka tantangan ketidaksetaraan mewakili perhatian
masyarakat terbesar yang terkait dengan Revolusi Industri
4.0, dimana penerima manfaat terbesar dari inovasi cen-
derung menjadi penyedia modal intelektual dan fisik yaitu
para inovator, pemegang saham, dan investor. Hal dimaksud
menjelaskan meningkatnya kesenjangan kekayaan antara
mereka yang bergantung pada modal dan yang bergantung
kepada tenaga kerja. Teknologi karenanya adalah salah satu
alasan utama mengapa pendapatan telah dalam posisi
stagnan, atau bahkan menurun. Bahkan untuk mayoritas
penduduk di negara-negara berpenghasilan tinggi terjadi
permintaan untuk pekerja berketerampilan tinggi telah
meningkat sementara permintaan untuk pekerja dengan
pendidikan yang lebih rendah dan keterampilan yang lebih
rendah telah menurun. Hasilnya adalah pasar kerja dengan
permintaan yang kuat pada ujung tinggi dan rendah, tetapi
lekukan keluar dari tengah.

112
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Hal dimaksud di atas menjelaskan mengapa begitu


banyak pekerja yang kecewa dan takut bahwa pendapatan
dan anak-anak mereka akan terus stagnan, sehingga men-
jelaskan pula mengapa kelas menengah di seluruh dunia
semakin mengalami rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan
yang meresap. Ekonomi pemenang (the winner takes all,
mengambil-semua) yang hanya menawarkan akses terbatas
ke kelas menengah adalah rumus tepat untuk terjadinya
malaise dan kelalaian demokratis. Ketidakpuasan juga bisa
dipicu oleh meluasnya teknologi digital dan dinamika pem-
bagian informasi yang viral secara masif oleh media sosial.
Lebih dari 30% populasi global sekarang menggunakan
platform media sosial untuk terhubung, belajar, dan berbagi
informasi. Dalam dunia yang ideal maka interaksi ini akan
memberikan kesempatan bagi pemahaman dan kohesi
lintas budaya, namun mereka juga dapat menciptakan dan
menyebarluaskan harapan yang tidak realistis mengenai apa
yang membentuk kesuksesan bagi individu atau kelompok.
Hal dimaksud juga menawarkan peluang bagi paham dan
ideologi ekstrem atau radikal untuk menyebar secara lebih
masif lagi dibandingkan 30 tahun lalu.

2. Fungsi Sosial
Revolusi Industri 4.0 telah mengubah cara kita hidup,
bekerja, dan berkomunikasi yang mengkonstruksi ulang
peran pemerintah, pendidikan, perawatan kesehatan, dan
perdagangan pada hampir setiap aspek kehidupan. Manusia
di masa depan mengubah hal-hal yang dihargai dan cara

113
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menghargai mereka, sehingga dapat mengubah hubungan


kita, peluang kita, dan identitas kita karena hal itu mengubah
dunia fisik dan dunia virtual.147 Perubahan itu termasuk
dalam beberapa kasus adalah tubuh kita sendiri.
Pendidikan dan akses ke informasi dapat meningkatkan
tingkat kehidupan miliaran orang. Hal dimaksud dapat
melalui perangkat dan jaringan komputasi yang semakin
kuat, layanan digital, dan perangkat seluler yang sudah
menjadi kenyataan bagi orang-orang di seluruh dunia,
termasuk juga yang berada di negara-negara terbelakang.
Revolusi media sosial yang diwujudkan oleh Facebook,
Twitter, dan Tencent telah memberikan suara kepada semua
orang dan cara berkomunikasi secara langsung di seluruh
planet ini. Saat ini, lebih dari 30% orang di dunia mengguna-
kan layanan media sosial untuk berkomunikasi dan tetap
berada di puncak peristiwa dunia.
Inovasi ini dapat menciptakan desa global sejati,
membawa miliaran lebih banyak orang ke dalam ekonomi
global. Mereka dapat membawa akses ke produk dan
layanan ke pasar yang sama sekali baru. Mereka dapat mem-
beri orang kesempatan untuk belajar dan menghasilkan
dengan cara baru, dan mereka dapat memberikan identitas
baru kepada orang-orang karena mereka melihat potensi
untuk diri mereka sendiri yang sebelumnya tidak tersedia.
Klaus Schwab menyatakan dalam bukunya The Fourth In-
dustrial Revolution bahwa:
147 Liao, Y., Loures, E. R., Deschamps, F., Brezinski, G., & Venâncio, A.
(2017). The impact of the fourth industrial revolution: a cross-country/
region comparison. Production, 28, e20180061. DOI: 10.1590/0103-
6513.20180061

114
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

“The Fourth Industrial Revolution, finally, will change


not only what we do but also who we are. It will affect
our identity and all the issues associated with it: our sense
of privacy, our notions of ownership, our consumption
patterns, the time we devote to work and leisure, and
how we develop our careers, cultivate our skills, meet
people, and nurture relationships.”

Layanan belanja dan pengiriman online –termasuk oleh


drone – sudah mendefinisikan kembali kenyamanan dan
pengalaman ritel. Kemudahan pengiriman dapat mengubah
komunitas, bahkan di tempat-tempat terpencil, dan memulai
ekonomi daerah kecil atau pedesaan.Dalam dunia fisik,
kemajuan dalam ilmu biomedis dapat menyebabkan kehi-
dupan yang lebih sehat dan rentang hidup yang lebih lama.
Mereka dapat mengarah pada inovasi dalam ilmu syaraf,
seperti menghubungkan otak manusia ke komputer untuk
meningkatkan kecerdasan atau pengalaman dunia simulasi.
Bayangkan semua kekuatan robot itu dengan keterampilan
pemecahan masalah manusia.
Kemajuan dalam keamanan otomotif melalui teknologi
Revolusi Industri 4.0 dapat mengurangi korban jiwa dan
biaya asuransi, serta emisi karbon. Kendaraan otonom dapat
membentuk kembali ruang hidup kota, arsitektur, dan jalan
sendiri, dan membebaskan ruang untuk ruang yang lebih
sosial dan berpusat pada manusia. Teknologi digital dapat
membebaskan pekerja dari tugas-tugas yang dapat dioto-
matisasi, membebaskan mereka untuk berkonsentrasi dalam
menangani masalah bisnis yang lebih kompleks dan mem-

115
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

beri mereka lebih banyak otonomi/mandiri. Hal ini juga


dapat memberikan pekerja dengan alat dan wawasan baru
yang radikal untuk merancang solusi yang lebih kreatif untuk
masalah yang sebelumnya tidak dapat diatasi.
Namun, sementara Revolusi Industri 4.0 memiliki
kekuatan untuk mengubah dunia secara positif, kita harus
menyadari bahwa teknologi dapat memiliki hasil negatif jika
kita tidak berpikir tentang bagaimana mereka dapat
mengubah kita. Kami membangun apa yang kami hargai.
Ini berarti kita perlu mengingat nilai-nilai kita saat mem-
bangun dengan teknologi baru ini. Sebagai contoh, jika kita
menghargai uang daripada waktu keluarga, kita dapat
membangun teknologi yang membantu kita menghasilkan
uang dengan mengorbankan waktu keluarga. Pada giliran-
nya, teknologi ini dapat menciptakan insentif yang membuat
lebih sulit untuk mengubah nilai yang mendasarinya.
Orang memiliki hubungan yang mendalam dengan
teknologi. Mereka adalah bagaimana kita menciptakan
dunia kita, dan kita harus mengembangkannya dengan hati-
hati. Lebih dari sebelumnya, penting bagi kita untuk memulai
dengan benar. Kita harus memenangkan perlombaan ini
antara kekuatan teknologi yang semakin besar, dan kebijak-
sanaan yang berkembang yang dengannya kita menga-
turnya. Max Tegmark menegaskan dalam “Life 3.0” bahwa
“We have to win this race between the growing power of
the technology, and the growing wisdom with which we
manage it. We don’t want to learn from mistakes.”148
148 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://trailhead.
salesforce.com/en/modules/impacts-of-the-fourth-industrial-revolution/

116
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada biotek-


nologi yang dapat menyebabkan kemajuan kontroversial
seperti bayi perancang, drive gen (mengubah sifat warisan
dari seluruh spesies), atau implan yang diperlukan untuk
menjadi kandidat yang kompetitif untuk sekolah atau peker-
jaan. Inovasi dalam robot dan otomasi dapat mengarah pada
kehilangan pekerjaan, atau setidaknya pekerjaan yang
sangat berbeda dan menghargai keterampilan yang ber-
beda. Kecerdasan buatan, robotik, bioteknologi, alat
pemrograman, dan teknologi lainnya dapat digunakan
untuk membuat dan menyebarkan senjata.
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada media
sosial yang ternyata dapat menghapus batas dan
menyatukan orang, tetapi juga dapat mengintensifkan
kesenjangan sosial. Sehingga dapat mengamplifikasi cyber-
bullying, ujaran kebencian, dan menyebarkan cerita palsu/
hoax. Kita harus memutuskan aturan media sosial seperti
apa yang ingin kita buat, tetapi kita juga harus menerima
bahwa media sosial membentuk kembali apa yang kita
hargai dan bagaimana kita membuat dan menyebarkan
aturan-aturan itu. Selain itu, selalu terhubung dapat berubah
menjadi kewajiban, tanpa jeda dari kelebihan data dan
koneksi yang terus menerus.
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada peru-
bahan ketenagakerjaan, dimana kecerdasan buatan mele-
paskan tingkat produktivitas yang baru dan menambah

units/understand-the-impact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-
society-and-individuals#

117
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hidup kita dalam banyak cara. Seperti dalam revolusi industri


masa lalu, itu juga dapat menjadi kekuatan yang meng-
ganggu, membuat orang terpelintir dari pekerjaan dan
mengajukan pertanyaan tentang hubungan antara manusia
dan mesin. Tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan akan
terpengaruh karena kecerdasan buatan mengotomatiskan
berbagai tugas. Namun, seperti yang dilakukan teknologi
internet pada 20 tahun lalu, revolusi kecerdasan buatan akan
mengubah banyak pekerjaan –dan menelurkan jenis peker-
jaan baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Pekerja
dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk tugas-tugas
pemecahan masalah yang kreatif, kolaboratif, dan rumit
yang tidak dapat ditangani oleh otomatisasi mesin.
Namun, pekerja dengan pendidikan yang lebih sedikit
dan keterampilan yang lebih sedikit berada dalam posisi
yang kurang menguntungkan ketika Revolusi Industri 4.0
berlangsung. Bisnis dan pemerintah perlu beradaptasi
dengan sifat pekerjaan yang berubah dengan berfokus pada
pelatihan orang untuk pekerjaan masa depan. Pengem-
bangan bakat, pembelajaran seumur hidup, dan karir akan
menjadi penting untuk tenaga kerja masa depan.
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep
perubahan kesetaraan, dimana orang-orang bertanya
apakah Revolusi Industri 4.0 adalah jalan menuju masa
depan yang lebih baik untuk semua. Kekuatan teknologi
meningkat dengan cepat dan memfasilitasi tingkat inovasi
yang luar biasa. Lebih banyak orang dan hal-hal di dunia
menjadi terhubung, tetapi itu tidak selalu membuka jalan

118
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

bagi masyarakat global yang lebih terbuka, beragam, dan


inklusif. Pelajaran dari revolusi industri sebelumnya termasuk
kesadaran bahwa teknologi dan generasi kekayaannya
dapat melayani kepentingan kelompok kecil yang kuat di
atas yang lain. Teknologi baru yang kuat yang dibangun di
jaringan digital global dapat digunakan untuk menjaga
masyarakat di bawah pengawasan yang tidak semestinya
sementara membuat kita rentan terhadap serangan fisik dan
virtual. Hal dimaksud adalah tantangan yang dapat kita
hadapi untuk memastikan kombinasi teknologi dan politik
bersama-sama tidak menciptakan kesenjangan yang
menghambat orang.
Menurut Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia
2017, “Revolusi Industri Keempat memiliki potensi untuk
meningkatkan tingkat pendapatan dan meningkatkan
kualitas hidup bagi semua orang. Tapi hari ini, manfaat eko-
nomi Revolusi Industri 4.0 menjadi lebih terkonsentrasi di
antara kelompok kecil. Ketimpangan yang semakin mening-
kat ini dapat menyebabkan polarisasi politik, fragmentasi
sosial, dan kurangnya kepercayaan pada institusi. Untuk
mengatasi tantangan ini, para pemimpin di sektor publik
dan swasta perlu memiliki komitmen yang lebih dalam untuk
pembangunan yang lebih inklusif dan pertumbuhan yang
adil yang mengangkat semua orang.”
Banyak orang di seluruh dunia belum mendapat man-
faat dari revolusi industri sebelumnya, sebagaimana yang
ditulis oleh penulis Shaping the Fourth Industrial Revolu-
tion, setidaknya 600 juta orang hidup di pertanian petani

119
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kecil tanpa akses ke mekanisasi apa pun, kehidupan yang


masih hidup tidak tersentuh oleh Revolusi Industri 1.0.
Sekitar sepertiga penduduk dunia (2,4 miliar) kekurangan
air minum bersih dan sanitasi yang aman, sekitar seperenam
(1,2 miliar) tidak memiliki listrik –kedua sistem berkembang
dalam Revolusi Industri 2.0. Revolusi digital berarti men-
jadikan lebih dari 3 miliar orang sekarang memiliki akses ke
Internet, yang masih menyisakan lebih dari 4 miliar orang
dari Revolusi Industri 3.0. Sarana bahwa ketika kita meng-
hargai dan terlibat dengan teknologi menarik dari Revolusi
Industri 4.0, kita harus bekerja untuk memastikan bahwa
peluang yang mereka bawa tersebar dengan baik di seluruh
dunia dan di seluruh komunitas kita. Secara khusus, kita
harus membantu mereka yang kehilangan peningkatan
besar dalam kualitas hidup yang diberikan Revolusi Industri
1.0, 2.0 dan 3.0, sebagaimana yang ditegaskan oleh Klaus
Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution bahwa “Let
us together shape a future that works for all by putting people
first, empowering them and constantly reminding ourselves
that all of these new technologies are first and foremost tools
made by people for people.”
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep
perubahan konstruksi privasi, dimana manusia menghargai
kemampuan untuk mengendalikan apa yang diketahui
tentang dirinya, namun manusia ternyata hidup di dunia di
mana pelacakan informasi pribadi setiap individu adalah
kunci untuk memberikan layanan yang lebih cerdas dan
dipersonalisasi. Facebook melacak apa yang anda lakukan

120
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

sehingga ia tahu konten dan iklan mana yang paling relevan


bagi anda. Ponsel cerdas (smartphone) melacak lokasi anda,
dan anda dapat membagikan informasi itu dengan aplikasi
yang merekomendasikan tempat untuk makan atau ber-
belanja. Pengecer menganalisis riwayat pembelian anda
untuk merekomendasikan produk dan menawarkan kupon
untuk mendorong lebih banyak penjualan.
Di masa depan, anda akan masuk ke toko dan penjual
akan segera memiliki nama anda, peringkat kredit, status
perkawinan, dan pembelian sebelumnya yang melintas ke
layar virtual augmented-reality mereka.Teknologi Revolusi
Industri 4.0 sendiri netral dan bebas nilai, tetapi apakah
mereka diterapkan dengan cara yang membangun keper-
cayaan? Apakah konsumen akan percaya bahwa kecer-
dasan buatan dan sistem robot yang baru dapat membuat
hidup mereka lebih baik, atau apakah mereka akan takut
dengan mesin dan mereka yang mengendalikan mereka?
Apakah warga negara akan mempercayai lembaga dan
penyedia layanan yang mengumpulkan dan mengelola data
mereka?
Untuk Revolusi Industri 4.0 sanggup menghasilkan
kepercayaan, setiap orang yang berkontribusi padanya (ter-
masuk Anda) harus berkolaborasi dan merasakan hubungan
dengan tujuan bersama. Lebih banyak transparansi tentang
bagaimana kita mengatur dan mengelola teknologi ini
adalah kunci, seperti juga model keamanan yang mening-
katkan kepercayaan diri kita bahwa sistem ini tidak akan
diretas, dikenali, atau menjadi alat penindasan oleh mereka
yang mengendalikannya.

121
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep


membawa semuanya bersama, bahwa inovasi dalam kecer-
dasan buatan, bioteknologi, robotika, dan teknologi baru
lainnya akan mendefinisikan kembali apa artinya menjadi
manusia dan bagaimana kita berinteraksi satu sama lain dan
planet ini. Kemampuan kami, identitas kami, dan potensi
kami semua akan berevolusi seiring dengan teknologi yang
kami buat. Dalam beberapa dekade mendatang, kita harus
membangun pagar pembatas yang menjaga kemajuan
Revolusi Industri 4.0 di jalur untuk memberi manfaat bagi
seluruh umat manusia. Kita harus mengenali dan mengelola
potensi dampak negatif yang dapat mereka miliki, terutama
di bidang kesetaraan, pekerjaan, privasi, dan kepercayaan.
Kita harus secara sadar membangun nilai positif ke dalam
teknologi yang kita buat, berpikir tentang bagaimana mereka
akan digunakan, dan merancangnya dengan penerapan
etika dalam pikiran dan mendukung cara kolaboratif untuk
melestarikan apa yang penting bagi kita.
Upaya ini menuntut semua pemangku kepentingan –
pemerintah, pembuat kebijakan, organisasi internasional,
pembuat peraturan, organisasi bisnis, akademisi, dan
masyarakat sipil– untuk bekerja sama mengendalikan
teknologi yang kuat dengan cara yang membatasi risiko dan
menciptakan dunia yang sejalan dengan tujuan bersama
untuk masa depan. Anda, sebagai pribadi, warga negara,
karyawan, investor, dan pemberi pengaruh sosial, adalah
pemangku kepentingan yang sangat penting dalam Revolusi
Industri 4.0. Membagi pemikiran Anda tentang teknologi

122
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

dan apa yang Anda hargai saat revolusi ini terungkap sangat
penting. Dunia yang kita ciptakan melalui teknologi dapat
membentuk kehidupan kita dan merupakan yang kita
teruskan ke generasi berikutnya, sebagaimana ditegaskan
oleh Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution
bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise
humanity’s traditional sources of meaning –work, commu-
nity, family, and identity– or it can lift humanity into a new
collective and moral consciousness based on a sense of
shared destiny. The choice is ours.”

3. Fungsi Transaksional
Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada transaksi bisnis
bahwa percepatan inovasi dan kecepatan disrupsi yang sulit
untuk dipahami atau diantisipasi dan kendali ini merupakan
sumber kejutan konstan, bahkan untuk yang paling ter-
hubung dan paling terinformasi dengan baik. Hampir di
semua industri ditemui ada bukti yang jelas bahwa teknologi
yang mendukung Revolusi Industri 4.0 memiliki dampak
besar pada bisnis. Di sisi penawaran, banyak industri melihat
pengenalan teknologi baru yang menciptakan cara-cara
baru sepenuhnya untuk melayani kebutuhan yang ada dan
secara signifikan menjadi disrupsi rantai nilai industri yang
ada. Kemudian disrupsi juga mengalir dari pesaing inovatif
yang gesit, yang berkat akses ke platform digital global untuk
penelitian, pengembangan, pemasaran, penjualan, dan
distribusi, dapat mendorong petahana mapan lebih cepat
dari sebelumnya dengan meningkatkan kualitas, kecepatan,
atau harga.

123
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pergeseran di sisi permintaan juga terjadi, seiring mening-


katnya transparansi, keterlibatan konsumen, dan pola peri-
laku konsumen yang baru (semakin dibangun di atas akses
ke jaringan dan data seluler) memaksa perusahaan untuk
menyesuaikan cara mereka merancang, memasarkan, dan
menghasilkan produk dan layanan. Tren utamanya adalah
pengembangan platform yang didukung teknologi yang
menggabungkan permintaan dan pasokan untuk menjadi
disrupsi struktur industri yang ada, seperti yang kita lihat
dalam ekonomi “berbagi” (sharing economy) atau “sesuai
permintaan” (demand economy). Platform teknologi ini,
yang mudah digunakan oleh ponsel pintar, mengumpulkan
orang, aset, dan data –sehingga menciptakan cara-cara baru
untuk mengkonsumsi barang dan jasa dalam prosesnya.
Selain itu, mereka menurunkan hambatan bagi bisnis dan
individu untuk menciptakan kekayaan, mengubah ling-
kungan pribadi dan profesional pekerja. Bisnis platform baru
ini dengan cepat melipatgandakan menjadi banyak layanan
baru, mulai dari laundry hingga belanja, dari pekerjaan ke
tempat parkir, dari pijat hingga perjalanan.
Secara keseluruhan, ada empat efek utama yang dimiliki
oleh Revolusi Industri 4.0 yaitu pada harapan pelanggan,
pada peningkatan produk, pada inovasi kolaboratif, dan
pada bentuk organisasi.149 Baik konsumen atau bisnis,
pelanggan semakin menjadi pusat ekonomi, yang semuanya
tentang bagaimana cara pelanggan dilayani. Produk dan

149 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://


www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-
what-it-means-and-how-to-respond/

124
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

layanan fisik, apalagi, sekarang dapat ditingkatkan dengan


kemampuan digital yang meningkatkan nilainya. Teknologi
baru membuat aset lebih tahan lama dan tangguh, semen-
tara data dan analisis mengubah cara pemeliharaannya.
Dunia pengalaman pelanggan, layanan berbasis data,
dan kinerja aset melalui analitik, sementara itu, membu-
tuhkan bentuk kolaborasi baru, terutama mengingat kece-
patan di mana inovasi dan gangguan terjadi. Dan munculnya
platform global dan model bisnis baru lainnya, akhirnya,
berarti bahwa bakat, budaya, dan bentuk organisasi harus
dipikirkan kembali. Secara keseluruhan, pergeseran tak
terelakkan dari digitalisasi sederhana (Revolusi Industri 3.0)
menjadi inovasi berdasarkan kombinasi teknologi (Revolusi
Industri 4.0) memaksa perusahaan untuk menguji kembali
cara mereka berbisnis. Intinya bagaimanapun adalah hal
yang sama yaitu pemimpin bisnis dan eksekutif senior perlu
memahami lingkungan mereka yang berubah, menantang
asumsi dari tim operasi mereka, dan tanpa henti serta terus
berinovasi.

4. Fungsi Nasional dan Global


Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada pemerintah
bahwa ketika dunia fisik, digital, dan biologis terus menyatu,
teknologi dan platform baru akan semakin memungkinkan
warga untuk terlibat dengan pemerintah, menyuarakan
pendapat mereka, mengoordinasikan upaya mereka, dan
bahkan menghindari pengawasan otoritas publik. Bersa-
maan dengan itu, pemerintah akan mendapatkan kekuatan

125
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

teknologi baru untuk meningkatkan kontrol mereka atas


populasi, berdasarkan pada sistem pengawasan yang
menyebar dan kemampuan untuk mengendalikan infra-
struktur digital. Secara keseluruhan, bagaimanapun, peme-
rintah akan semakin menghadapi tekanan untuk mengubah
pendekatan mereka saat ini untuk keterlibatan publik dan
pembuatan kebijakan, karena peran utama mereka dalam
melakukan kebijakan berkurang karena sumber-sumber
baru persaingan dan redistribusi dan desentralisasi kekua-
saan yang dimungkinkan oleh teknologi baru.
Pada akhirnya, kemampuan sistem pemerintah dan
otoritas publik untuk beradaptasi akan menentukan kelang-
sungan hidup mereka. Jika mereka terbukti mampu me-
rangkul dunia perubahan yang mengganggu, menundukkan
struktur mereka ke tingkat transparansi dan efisiensi yang
akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan daya
saing mereka, mereka akan bertahan. Jika mereka tidak dapat
berevolusi, mereka akan menghadapi masalah yang
meningkat.
Bidang regulasi yang terutama perlu antisipasi yaitu
sistem kebijakan publik dan pengambilan keputusan saat
ini berevolusi bersamaan dengan Revolusi Industri 2.0, ketika
para pembuat keputusan memiliki waktu untuk mempelajari
masalah tertentu dan mengembangkan tanggapan yang
diperlukan atau kerangka kerja peraturan yang tepat. Seluruh
proses dirancang untuk menjadi linier dan mekanistik,
mengikuti pendekatan “top down” yang ketat. Tetapi
pendekatan semacam itu tidak lagi layak. Mengingat laju

126
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

perubahan dan dampak luas Revolusi Industri 4.0, para


legislator dan regulator ditantang ke tingkat yang belum
pernah terjadi sebelumnya dan sebagian besar terbukti tidak
mampu mengatasinya.
Kemudian bagaimana mereka dapat mempertahankan
kepentingan konsumen dan masyarakat luas sambil terus
mendukung inovasi dan pengembangan teknologi? Dengan
merangkul tata kelola yang “gesit” (agile), seperti halnya
sektor swasta semakin mengadopsi respon tangkas terha-
dap pengembangan perangkat lunak dan operasi bisnis
secara lebih umum. Ini berarti regulator harus terus bera-
daptasi dengan lingkungan baru yang cepat berubah,
menciptakan kembali diri mereka sendiri sehingga mereka
dapat benar-benar memahami apa yang mereka atur. Untuk
melakukannya, pemerintah dan badan regulator perlu
bekerja sama erat dengan bisnis dan masyarakat sipil.
Revolusi Industri 4.0 juga akan sangat mempengaruhi
sifat keamanan nasional dan internasional, yang mem-
pengaruhi baik probabilitas maupun sifat konflik. Sejarah
peperangan dan keamanan internasional adalah sejarah
inovasi teknologi, dan hari ini tidak terkecuali. Konflik
modern yang melibatkan negara semakin “hibrida” di alam,
menggabungkan teknik medan perang tradisional dengan
unsur-unsur yang sebelumnya terkait dengan aktor non-
negara. Perbedaan antara perang dan perdamaian,
kombatan dan nonkombatan, dan bahkan kekerasan dan
non-kekerasan (berpikir cyberwarfare) menjadi tidak nyaman
dan kabur.

127
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ketika proses ini terjadi dan teknologi baru seperti sen-


jata otonom atau biologis menjadi lebih mudah digunakan,
individu dan kelompok kecil akan semakin bergabung
dengan negara-negara yang mampu menyebabkan keru-
sakan massal. Kerentanan baru ini akan menimbulkan keta-
kutan baru. Tetapi pada saat yang sama, kemajuan teknologi
akan menciptakan potensi untuk mengurangi skala atau
dampak kekerasan, melalui pengembangan mode perlin-
dungan baru, misalnya, atau ketepatan yang lebih tinggi
dalam penargetan.

C. PERAN HUKUM EKONOMI DIGITAL


DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Hukum Ekonomi Digital memiliki peran yang tidak bisa
digantikan dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 sebagai
upaya pencapaian tujuan masyarakat. Mochtar Kusuma-
atmadja menegaskan bawa peran hukum dalam pemba-
ngunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu
terjadi dengan cara yang teratur yang didasarkan oleh
perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau
kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur
melalui prosedur hukum, baik berwujud perundang-
undangan atau keputusan badan-badan peradilan.
Perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) meru-
pakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang
membangun maka Hukum Ekonomi Digital menjadi suatu
alat yang tidak dapat diabaikan dalam Revolusi Industri 4.0.

128
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Peran Hukum Ekonomi Digital sebagaimana dimaksud


adalah suatu alat pembaharuan masyarakat, sehingga
mengharuskan masyarakat memiliki pengetahuan lebih
banyak dan luas dari Hukum Ekonomi Digital. Seorang ahli
hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun
dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 harus mengetahui
interaksi antara hukum dengan faktor-faktor lain dalam
perkembangan masyarakat, terutama variabel-variabel tek-
nologi, ekonomi, dan sosial. Hukum Ekonomi Digital
mengharuskan dilakukannya analisis fungsionil dari sistem
hukum sebagai keseluruhan dan kaidah-kaidah serta
lembaga-lembaga sosial tertentu. Sistem Hukum seba-
gaimana dimaksud dapat dijelaskan melalui pendekatan
Teori Hukum dan Ilmu Hukum. Teori Hukum adalah teori-
nya Ilmu Hukum, sebagaimana yang dipahami dari Sudikno
Mertokusumo bahwa teori hukum berhubungan dengan
hukum pada umumnya dan dikenal sebagai metateori Ilmu
Hukum.150 Teori Hukum digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah hukum tertentu yang mendasar, yang
berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif (legal
problems, legislations issues, regulations disputes) tetapi
jawabannya tidak dapat dicari atau diketemukan dalam
hukum positif (peraturan perundang-undangan).151 Sudikno
dengan tegas mengkualifikasikan bahwa Teori Hukum
adalah teorinya Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum adalah

150 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit Cahaya


Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.
151 Idem, hlm. 4.

129
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

teorinya peraturan perundang-undangan (legislasi dan


regulasi) dan praktik hukum (law in actions).
Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada
kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum
ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian faktual
dan keyakinan-keyakinan ideal yang hidup yang terkait
padanya, sehingga mampu mengintegrasikannya ke dalam
masyarakat (pergaulan hidup). Tiap ilmu atau tiap cabang
ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh
pokok-telaahnya (objeknya) tetapi oleh metodenya, yakni
cara khas yang dengannya orang bekerja untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum tidak dapat
lain kecuali interdisipliner sintetikal. Teori Hukum dengan
metode interdispliner melaksanakan suatu fungsi konver-
gensi atau menggabungkan (overkoepelen) dan, lebih lagi,
mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum.
Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan
secara layak densitas dari kenyataan ini sebagaimana dalam
keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang berurusan
dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan
hukum. Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebe-
naran yang tidak dapat dipecah (ondeelbaar) serta tidak ada
realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal, namun
yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan
kemasyarakatan, yang di dalamnya hukum mensituasikan
diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek hukum secara
terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada
kebenaran.

130
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni meng-


ungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan
keadilan. Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi
instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan meme-
lihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk
melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan,
sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat, sarana
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong,
mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakat).
Dalam masyarakat paska-kolonial yang sedang
menjalani perubahan sosial yang fundamental dan
mencakup seluruh bidang kehidupan secara simultan, maka
perundang-undangan memegang peranan dominan dalam
pembangunan tata-hukum nasional serta menjalankan
fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan perubahan
masyarakat. Yurisprudensi berperan untuk mendukung
dengan menjabarkan ketentuan perundang-undangan
dakam putusan konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu
Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai sarana
intelektual untuk membantu proses pembentukan hukum
melalui perundang-undangan dan yurisprudensi, serta
membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi
hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan
masyarakat.
Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman
konseptual dan teoretikal Penulis dari penyatuan (conver-
gence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum

131
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

terhadap hubungan manusia dan masyarakat dalam


Revolusi Industri 4.0, baik dalam tataran nasional, regional
maupun tataran internasional. Paradigma dari konvergensi
tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih
mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi kon-
vergensi dan konsepsi non-konvergensi hukum.152 Pende-
katan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau
perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan
sistem hukum yang berbeda diharapkan dapat menjelaskan
pentingnya konsepsi konvergensi hukum.
Klaus Schwab, sang pendiri World Economic Forum,
mempercayai bahwa fase Revolusi Industri 4.0 akan
dibangun di sekitar “cyber-physical systems” (sistem cyber-
fisik) dengan mengaburkan fisik, digital dan biologis.153
Ketika manusia merangkul usia mesin ini, maka kita perlu
dihadapkan dengan tantangan etika baru dan menyerukan
undang-undang baru. Dalam beberapa kasus, seluruh kode
moral mungkin perlu di-boot ulang. Begitulah sifat terobosan
teknologi.
Etika yang berasal dari filsafat atau agama tidak mudah
masuk ke dunia teknologi. Segala sesuatu dari Aristoteles
hingga Sepuluh Perintah Tuhan memberikan manusia
navigasi moral, tetapi seperangkat aturan yang ditetapkan

152 Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional Methodolgy


of Comparative Legal Studies and An Example from Private Interna-
tional Law”, Cardozo Journal of International and Comparative Law,
Fall 2005.
153 Laman diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 yaitu https://
www.weforum.org/agenda/2017/02/ethics-2-0-how-the-brave-new-
world-needs-a-moral-compass

132
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

cenderung mengalami dilema. Dunia sains juga memiliki


bagian upaya, dari tiga Hukum Asimov untuk Robot hingga
karya Nick Bostrom tentang etika. Namun, manusia merasa
cukup sulit untuk mengembangkan kebajikan untuk
perilaku mereka sendiri, apalagi membangun kebajikan
yang relevan ke dalam teknologi baru. Implikasi etis berkisar
dari yang langsung seperti “bagaimana algoritma di
belakang Facebook dan Google memengaruhi segala
sesuatu dari emosi kita hingga pemilihan kita?”. Ke masa
depan seperti “apa yang akan terjadi jika kendaraan yang
mengemudi sendiri berarti tidak ada lagi pekerjaan untuk
pengemudi truk?”, di bawah ini beberapa rekonstruksi ulang
etika terhadap Revolusi Industri 4.0 yaitu:
Ilmu Kehidupan yang memunculkan pertanyaan
apakah pengeditan gen harus legal secara yuridis untuk
memanipulasi ras manusia dan menciptakan “bayi
desainer”? Peneliti kanker Siddhartha Mukherjee, dalam
bukunya yang diakui secara kritis, The Gene, menyoroti
pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam bahwa
kemajuan dalam ilmu genom akan muncul. Daftar
pertanyaan etis panjang: bagaimana jika tes pra-kelahiran
memprediksi anak Anda akan memiliki IQ 80 poin, jauh di
bawah rata-rata, kecuali Anda melakukan sedikit penge-
ditan? Bagaimana jika teknologi ini hanya terbatas pada
orang-orang kaya?
Artificial Intellegent atau kecerdasan artifisial melalui
pembelajaran mesin (machine learning) dan Big Data. Seiring
waktu, kecerdasan artifisial akan membantu manusia

133
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

membuat segala macam keputusan. Tetapi bagaimana


manusia sanggup memastikan algoritma ini dirancang
dengan baik? Bagaimana manusia menghaluskan bias dari
sistem seperti itu, yang pada akhirnya akan digunakan untuk
menentukan promosi pekerjaan, penerimaan perguruan
tinggi dan bahkan pilihan jodoh dalam hidup kita? Haruskah
polisi setempat menggunakan perangkat lunak aplikasi
pengenal wajah? Haruskah penegakan hukum/presekusi
berdasarkan algoritma menjadi legal? Apa dampaknya
terhadap privasi kita? Akankah teknologi mutakhir ada di
tangan penegak hukum setempat di era negara penga-
wasan?
Media sosial dan dawai (gadget) yang memunculkan
pertanyaan bagaimana jika Kindles (aplikasi buku elektronik)
tertanam dengan perangkat lunak aplikasi pengenalan wajah
dan sensor bio-metrik, sehingga perangkat dapat menge-
tahui bagaimana setiap kalimat memengaruhi detak jantung
dan tekanan darah kita?
Robot dan Mesin yang memunculkan pertanyaan
bagaimana kita memastikan mobil tanpa pengemudi apa
yang bisa menentukan sendiri secara independen?
Bagaimana kita memutuskan apa yang dapat diputuskan
oleh Robot? Akankah ada kebutuhan untuk robot yang
setara dengan hak asasi manusia seperti yang dimuat dalam
konstitusi? Bagaimana dengan hak manusia untuk menikahi
robot dan robot untuk memiliki properti? Haruskah Cyborg
yang sangat maju diizinkan untuk mencalonkan diri untuk
jabatan politik?

134
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Biasanya di masa lalu, pasar bebas telah memutuskan


nasib inovasi baru dan dengan waktu, pemerintah lokal
datang dan campur tangan (Uber dilarang di Jepang tetapi
beroperasi di India). Namun, dalam hal ini pendekatan
semacam itu bisa menjadi bencana.
Ini bukan Revolusi Industri 1.0 dimana kekhawatirannya
bukan hal baru. Mereka telah ada selama lebih dari 200
tahun sejak Revolusi Industri. Tapi seperti yang dikatakan
oleh sejarawan dan filsuf Yuval Harari, masalah anak itu
(yang menangis serigala) pada akhirnya benar. Kemajuan
teknologi secara tradisional melampaui proses politik,
manusia telah melewatkan menyusun piagam moral untuk
internet, dan terus bermain mengejar sampai hari ini. Manusia
tidak bisa menjadi buta-sisi oleh batas berikutnya, baik dalam
bioteknologi atau kecerdasan buatan. Masa depan manusia
semakin banyak ditulis oleh para insinyur dan pengusaha,
yang tidak perlu dimintai pertanggungjawaban.
Masyarakat pandai beradaptasi terhadap perubahan –
dari mesin uap ke iPhone hingga peningkatan masa hidup
yang nyata. Seperti yang dikatakan Bill Gates, “teknologi
itu amoral”, terserah pada manusia itu sendiri untuk memu-
tuskan bagaimana menggunakannya dan di mana untuk
menarik garis.154 Miliaran orang dan banyak mesin saling
terhubung satu sama lain. Melalui teknologi inovatif,
kekuatan dan kecepatan pemrosesan yang belum pernah
terjadi sebelumnya, dan kapasitas penyimpanan yang sangat

154 Laman diakses pada tanggal 17 Agutus 2018 yaitu https://


www.weforum.org/agenda/2017/06/the-fourth-industrial-revolution-is-
about-people-not-just-machines

135
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

besar, data dikumpulkan dan dimanfaatkan tidak seperti


sebelumnya.
Otomatisasi, pembelajaran mesin, komputasi mobile
dan kecerdasan buatan –ini bukan lagi konsep futuristik–,
mereka adalah realitas kita yang bagi banyak orang,
perubahan ini menakutkan. Revolusi industri sebelumnya
telah menunjukkan jika perusahaan dan industri tidak
beradaptasi dengan teknologi baru, mereka berjuang. Lebih
buruk lagi, mereka gagal. Inovasi ini akan membuat industri
–dan dunia– lebih kuat dan lebih baik. Perubahan yang
dibawa oleh Revolusi Industri 4.0 tidak dapat dihindari,
tidak opsional. Kemungkinan imbalannya mengejutkan
yaitu standar hidup yang tinggi; peningkatan keselamatan
dan keamanan; dan sangat meningkatkan kapasitas
manusia.
Bagi orang-orang, harus ada pergeseran dalam pola pikir
dan meskipun sulit, masa depan pekerjaan terlihat sangat
berbeda dari masa lalu. Orang-orang dengan semangat,
kreativitas, dan semangat kewirausahaan akan merangkul
masa depan ini, daripada bergantung pada status quo.
Orang dapat menjadi lebih baik dalam pekerjaan mereka
dengan teknologi saat ini –dan teknologi yang akan datang
– daripada takut bahwa keterampilan manusia mereka akan
direndahkan.
Kita semua pernah mendengar cerita tentang komputer
yang mengalahkan bahkan para grandmaster terhebat.
Namun ceritanya lebih bernuansa; manusia dan komputer
bermain berbeda dan masing-masing memiliki kekuatan

136
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

dan kelemahan. Komputer lebih memilih untuk mundur,


tetapi mereka dapat menyimpan sejumlah besar data dan
tidak bias dalam pengambilan keputusan mereka. Manusia
bisa lebih keras kepala, tetapi juga bisa membaca kelemahan
lawan mereka, mengevaluasi pola kompleks, dan membuat
keputusan kreatif dan strategis untuk menang. Bahkan para
pembuat mesin catur buatan mengakui bahwa pemain catur
terbaik sebenarnya adalah tim manusia dan mesin.
Dunia akan selalu membutuhkan kecemerlangan
manusia, kecerdikan manusia dan keterampilan manusia.
Perangkat lunak dan teknologi memiliki potensi untuk mem-
berdayakan orang ke tingkat yang jauh lebih besar daripada
di masa lalu –membuka kreativitas, persepsi, dan imajinasi
laten manusia di setiap tingkat setiap organisasi. Pergeseran
ini akan memungkinkan pekerja di garis depan, di jalan dan
di lapangan untuk membuat keputusan yang lebih cerdas,
memecahkan masalah yang lebih berat dan melakukan
pekerjaan mereka dengan lebih baik.
Melalui cara yang sama bahwa master catur dan kom-
puter bekerja paling baik bersama, mekanik menggunakan
keterampilan manusia yang tidak dapat direplikasi oleh
sebuah mesin: kecerdikan, kreativitas, dan pengalaman.
Teknologi mendeteksi masalah yang tidak diketahui dan
tidak terlihat oleh mata manusia, sehingga ketika mekanik
dan teknologi bekerja sama, pekerjaan diselesaikan lebih
cepat, dengan lebih sedikit kesalahan dan hasil yang lebih
baik. Sebagaimana yang kini terjadi di semua industri seperti
penerbangan, energi, transportasi, kota cerdas, manufaktur,
sumber daya alam, dan konstruksi.

137
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Produktivitas yang dapat mengingatkan pada apa yang


dilihat dunia saat munculnya Revolusi Industri 1.0. Tetapi
dampak Revolusi Industri 4.0 akan berjalan jauh lebih luas,
dan lebih dalam, daripada yang pertama. Manusia hari ini
akan memiliki pengetahuan, bakat, dan alat untuk menye-
lesaikan beberapa masalah terbesar dunia: kelaparan,
perubahan iklim, penyakit. Mesin akan memberi wawasan
dan perspektif yang manusia butuhkan untuk mencapai
solusi tersebut. Tetapi mereka tidak akan memberikan
penilaian atau kecerdikan.
“Modernitas adalah kesepakatan”, tulis Harari dalam
bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, bahwa
“seluruh kontrak dapat dirangkum dalam satu frase bahwa
manusia setuju untuk menyerah makna dalam pertukaran
untuk kekuasaan.” Kekuatan dari Revolusi Industri 4.0
dalam waktu dekat memberi kita atribut seperti dewa yaitu
kemampuan untuk memperpanjang rentang hidup dan
bahkan menipu kematian, agensi untuk menciptakan bentuk
kehidupan baru, untuk menjadi perancang cerdas
Galapagos, sarana untuk mengakhiri perang dan kelaparan
dan wabah. Namun akan ada harga yang harus dibayar
untuk kekuatan ini.
Sebagai permulaan, Harari menyarankan, itu ditakdir-
kan, jika tren saat ini berlanjut, untuk didistribusikan dengan
sangat tidak merata.155 Umur panjang dan kualitas super-
manusia yang baru cenderung menjadi pelestarian techno

155 Yuval Noah Harari,Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Harvill


Secker, London, 2017.

138
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

super-kaya, penguasa alam semesta data. Sementara itu,


redundansi tenaga kerja, digantikan oleh mesin-mesin yang
efisien, akan menciptakan “kelas tidak berguna” yang sangat
besar, tanpa tujuan ekonomi atau militer. Sehingga dengan
tidak adanya agama, fiksi yang menyeluruh akan diperlukan
untuk memahami dunia. Sekali lagi, jika tidak ada perubahan
dalam pendekatan manusia, Harari membayangkan bahwa
“Dataisme”, keyakinan universal pada kekuatan algoritma,
akan menjadi sakral.156 Bagi para utopian, ini akan sangat
mirip dengan “singularitas”: sistem pemrosesan data yang
serba tahu dan ada di mana-mana, yang benar-benar tidak
dapat dibedakan dari gagasan-gagasan Tuhan, yang
dengannya manusia akan selalu terhubung.
Harari dalam bukunya optimis tentang prospek ini,
bahwa dia memiliki rasa keadilan yang kuat dari para ahli
etika: apa yang Homo Sapiens (dalam kebijaksanaannya)
telah kunjungi di dunia alami melalui produksi pangan
industri mungkin suatu hari akan dikunjungi oleh Homo
Sapiens. Individu akan menjadi hanya kumpulan “subsistem
biokimia” yang dipantau oleh jaringan global, yang akan
memberi tahu kita detik demi detik bagaimana perasaan
kita. Dari tempat kami berdiri, katanya, di masa kini yang
dipercepat, tidak ada masa depan jangka panjang yang bisa
dibayangkan, masih kurang dapat diprediksi –dan ada
banyak waktu untuk pertanyaan. Pertanyaan Harari yang
kadang-kadang sesak nafas dan selalu kompulsif membuat
kita seperti ini: “Apa yang lebih berharga, kecerdasan atau

156 Id.

139
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kesadaran?” Google tidak akan membantu dalam mem-


berikan jawabannya.157
Pembentukan aturan perundang-undangan, yang
dirumuskan dengan bersaranakan bahasa, dimaksudkan
untuk mengatur perilaku warga masyarakat dan untuk
digunakan menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi
di kemudian hari. Maksudnya, aturan-aturan itu dimak-
sudkan untuk peristiwa-peristiwa di masa depan setelah
terbentuknya aturan-aturan itu, dan tidak dimaksudkan
untuk mengatur peristiwa yang sudah terjadi sebelum
terbentuknya (non-retroaktif). Namun, pembentuk undang-
undang tidak mampu untuk mengantisipasi semua kejadian
konkret individual. Karena itu, untuk dapat mencakup
kejadian-kejadian konkret yang tidak dapat dibayangkan
kemungkinan terjadinya terlebih dahulu, maka pembentuk
undang-undang menggunakan kata-kata atau istilah-istilah
umum yang cakupan penerapannya luas dan abstrak dalam
perumusannya. Artinya, yang dirumuskan dalam aturan
perundang-undangan adalah model-model perilaku yang
abstrak, sehingga dapat berlaku secara umum. Dengan
demikian untuk dapat diterapkan dan digunakan menye-
lesaikan masalah (sengketa) konkret, maka aturan tersebut
harus dipahami sehingga dapat diketahui apa yang mau
diharuskan atau dilarang dengan aturan itu.
Untuk dapat memahaminya, aturan tersebut harus
diinterpretasi sedemikian sehingga kaidah hukum yang
tercantum (tersembunyi) di dalam aturan perundang-

157 Id.

140
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

undangan dapat ditampilkan ke permukaan. Jadi, ketika


aturan perundang-undangan akan diterapkan atau diguna-
kan, maka aturan abstrak yang berlaku secara umum itu
harus dikonkretisasikan, artinya diindividualisasi pada situasi
konkret yang tengah dihadapi. Dengan cara itu akan
menjadi jelas, dalam situasi konkret tertentu, siapa berhak
(berkewajiban) atas apa terhadap siapa berkenaan dengan
apa dan atas dasar apa; artinya untuk menentukan apa
kaidah hukumnya bagi situasi konkret tertentu. Karena
menurut hakikat, tujuan dan fungsinya, aturan perundang-
undangan itu selalu berlaku umum dan absrak, maka untuk
dapat diterapkan dengan baik, maka aturan tersebut selalu
memerlukan interpretasi, artinya kaidah hukum yang ter-
cantum di dalamnya harus ditemukan terlebih dahulu
melalui intepretasi dan atau konstruksi. Bahkan pernyataan
“In claris non est interpretatio” (jika sudah jelas maka tidak
diperlukan interpretasi) sesungguhnya adalah sebuah hasil
interpretasi.
Upaya untuk menemukan kaidah hukum yang ter-
cantum dalam aturan perundangan mendorong studi dan
munculnya metode interpretasi. Sejak terbentuk kodifikasi
hukum di Perancis, aliran legisme mendominasi praktek
hukum dan pemikiran tentang hukum. Di bawah dominasi
legisme, maka metode interpretasi yang dominan dalam 5
sampai 7 dekade sejak terbentuknya kodifikasi hukum di
Perancis adalah metode gramatikal, historis, dan sistematis.
Gerakan kodifikasi hukum dan berpengaruhnya Aliran
Legisme adalah reaksi terhadap absolutisme yang

141
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sewenang-wenang. Karena itu, tidak mengherankan jika


nilai-nilai kepastian hukum dan prediktabilitas mendominasi
pemikiran tentang hukum dan penyelenggaraan hukum
dalam kenyataan sejak gerakan itu memberikan hasil yang
nyata.
Setelah Ajaran Legisme dengan metode interpretasi
gramatikal, historikal, dan sistematis sudah tidak memenuhi
lagi tuntutan keadilan dalam masyarakat, maka pada abad
ke-19, studi tentang metode-metode penemuan hukum
mengalami kemajuan pesat. Studi ini memunculkan dan
mengembangkan metode-metode interpretasi secara
gramatikal, historikal, sistematis, teleologis dan sosiologis.
Di samping itu juga mengembangkan metode-metode
konstruksi hukum yang mencakup yaitu argumentum per
analogiam (analogi), argumentum a contrario, argumentum
a fortiori, dan penghalusan hukum nilai kepastian hukum
dan prediktabilitas mendominasi pemikiran tentang hukum.
Pada abad ke-20 yang menonjol adalah studi tentang
penalaran hukum (legal reasoning) atau teori argumentasi
yuridik.
Untuk mewujudkan tujuan hukum yang sesungguhnya,
artinya untuk membuat hukum menjadi hukum yang
progresif, yakni hukum yang mengabdi manusia, untuk
mewujudkan kedilan di dalam masyarakat, maka secara
hermeneutis semua metode interpretasi perlu dikerahkan.
Jadi, menetapkan apa makna hukum yang tercantum dalam
suatu aturan perundang-undangan dilakukan berdasarkan
aturan hukum positif yang dipahami (diinterpretasi) ber-

142
BAB 2 - HUKUM EKONOMI DIGITAL DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0

dasarkan makna kata dan struktur kalimatnya (gramatikal)


dalam konteks latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan
dengan tujuannya (teleologikal) yang menentukan isi aturan
hukum positif tersebut serta dalam konteks hubungan aturan-
aturan positif yang lainnya (sistematikal), dan secara kon-
tekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasya-
rakatan dan ekonomika (sosiologikal) dengan mengacu
nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental
(filosofikal) dalam proyeksi ke masa depan (futurologikal).

143
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

144
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB 3
LEGISLASI DAN REGULASI
EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

“Laws, norms, markets,


and codes regulates behavior in cyberspace.”
Lawrence Lessig, The Laws of Cyberspace-1998

“Technological innovations will be the heart and blood


of the banking industry for many years to come and if big banks
do not make the most of it, the new players from FinTech and
large technology companies surely will.”
David M. Brear, Partner Think Differently Group

145
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pada bulan November 2016, European Comission atau


Komisi Eropa membentuk satuan tugas internal (task force)
pada financial technology atau teknologi keuangan dengan
tiga tujuan yang utama.158 Pertama, untuk memastikan
bahwa semua kebijakan di seluruh dewan diinformasikan
oleh dan memperhitungkan inovasi teknologi. Kedua, untuk
menilai apakah regulasi dan kebijakan yang ada sesuai
untuk tujuan di era digital; dan Ketiga, untuk mengiden-
tifikasi tindakan dan proposal yang dapat memanfaatkan
peluang potensial yang ditawarkan teknologi finansial
(fintech), sementara juga mengatasi risiko yang mungkin
timbul. Komisi Eropa menunjukkan bahwa satuan tugas
telah melihat kerangka kerja yang ada di dalam negara-
negara anggota Uni Eropa telah berbicara dengan para
pemangku kepentingan yang relevan dan mempertim-
bangkan kasus untuk tanggapan Eropa yang terkoordinasi.

A. REVOLUSI FINANSIAL DIGITAL DAN BIG DATA


Peningkatan yang ekskalatif dari aktivitas sosial dan
konstelasi ekonomi masyarakat dunia telah memasuki suatu
masyarakat yang berorientasi kepada informasi atau data.
Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan dibanyak
sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic
commerce atau e-commerce), pendidikan (electronic edu-
cation), kesehatan (tele-medicine), telekarya, transportasi,

158 https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-and-virtual-
currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15

146
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

industri, pariwisata, lingkungan sampai ke sektor hiburan.159


Teknologi informasi melingkupi sistem yang mengumpul-
kan (collect), menyimpan (store), memproses, memproduksi
dan mengirimkan informasi dari dan ke industri ataupun
masyarakat secara efektif dan cepat.160
Penggunaan teknologi internet di dunia merupakan
fenomena global yang luar biasa. Riset dari Internet World
Stats (IWS) sampai dengan bulan Maret pada tahun 2017
ditemui fakta dan data bahwa pengguna internet di dunia
adalah 3.739.698.500 dari keseluruhan populasi penduduk
sejumlah 7.519.028.970 jiwa.161 Pengguna internet ter-
banyak adalah di kawasan Asia yang mencapai lebih dari
1 miliar pengguna dengan 50,1% dari keseluruhan peng-
guna internet di dunia yaitu 1.874.136.654, dimana pada
tahun 2006 “baru” sejumlah 364.270.713 pengguna
(pertumbuhan 1.539,6 % semenjak 2000-2017).
Pengguna internet terbesar kedua adalah Eropa yaitu
636.971.824 yang pada tahun 2006 adalah sejumlah
290.121.957 pengguna, kemudian diikuti oleh Amerika
Latin/Kepulauan Karibia yaitu sejumlah 385.919.382

159 Suhono Harso Supangkat, Teknologi Informasi dan Ekonomi Digital:


Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurusan Teknik Elektro, Institut
Teknologi Bandung, 2000.
160 Istilah Teknologi Informasi merupakan terjemahan dari Information
Technology (IT) yang memiliki pengertian proses data (data process-
ing) dengan pendekatan yang semula management information sys-
tem (MIS) menjadi teknologi informasi. Istilah Teknologi Informasi
dikenal pertama kali pada tahun 1989 saat dilakukannya merger Si-
emens dan Nixdorf. Lihat Harry Newton, Newton’s Telecom Dictio-
nary, 18th Edition, CMP Books, New York, 2002, hlm. 402-403.
161 Keseluruhan fakta dan data dapat diakses melalui laman http://
www.internetworldstats.com/stats.htm.

147
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

padahal pada tahun 2006 masih 79.033.597 pengguna,


Afrika dengan pengguna sejumlah 353.121,578 yang
melonjak luar biasa dari tahun 2006 yang hanya
22.737.500, dan berikutnya adalah kawasan Amerika Utara
yaitu sejumlah 320.068.243 dimana pada tahun 2006
sempat di posisi ketiga dengan 225.801.428 pengguna
(dengan pertumbuhan hanya 8,6 % semenjak 2000-2017);
Timur Tengah dengan 141.931.765 pengguna dimana
pada tahun 2006 sejumlah 18.203.500 pengguna; dan yang
terakhir adalah kawasan Oceania/Australia sebanyak
27.549.054 pengguna dengan dibandingkan dengan tahun
2006 sejumlah 17.690.762 pengguna.
Keseluruhan pengguna internet dunia kini mencapai
pertumbuhan hampir 936% semenjak tahun 2000-2017.
Fakta dan data dari IWS memberikan pemahaman bahwa
penggunaan internet menjadi ultra-masif sehingga perlunya
identifikasi dan konstruksi objektif dari karakter pemanfaatan
teknologi informasi melalui internet.
Pertama, internet memiliki karakter global dan tidak
mengenal batas negara. Kedua, setiap pengguna internet
dapat melakukan komunikasi secara interaktif end-to-end
bahkan dapat melakukan kegiatan penyiaran (video real
time) dengan biaya yang relatif rendah serta sanggup secara
mandiri terkodekan (encryption) seperti WhatsApp dan Tele-
gram. Ketiga, tidak ada satupun yang dapat mengklaim
dirinya “pemilik” internet yang merupakan gabungan
beratus-ratus ribu jaringan dan platform. Keempat, pertum-
buhan yang luar biasa dari pengguna internet dan perkem-

148
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bangan yang cepat pada teknologi internet itu sendiri.


Kelima, internet tidak berada dalam lingkup pengaturan
suatu pemerintahan negara atau organisasi tertentu sehingga
dibutuhkan kerjasama internasional dalam upaya mengatasi
permasalahan-permasalahan hukum yang muncul. Hal-hal
dimaksud menjadikan teknologi internet sebagai sesuatu
yang unik, sehingga perlu dicarikan pengaturan atau hukum
yang dapat diterapkan secara optimal dalam kegiatan
teknologi informasi di yurisdiksi virtual.
Big Data memiliki karakter yang masif dan eskalatif
karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi informasi
atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka dapat
disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai
format dalam waktu yang singkat. Utilisasi informasi dari Big
Data termasuk kegiatan pengumpulan data (data collect-
ing); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku
interaksi data (data behavior analyzing). Data dimaksud
harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator
finansial sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai
model bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis aplikasi
tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan
elektronik (e-commerce) maupun teknologi finansial
(FinTech).
Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai
dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada
data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja
yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan. Hasil
dari Survei Global McKinsey menunjukkan bahwa pening-

149
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

katan pangsa korporasi yang menggunakan data dan


analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertum-
buhan finansial.162 (lihat Lampiran) Pertumbuhan finansial
dari perusahaan yang berbasis model bisnis data memer-
lukan kombinasi strategi, budaya, dan organisasi yang tepat.
Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing,
data capitalization) sebagai alat pertumbuhan finansial.
Walaupun masih dalam evolusi awal nampak beberapa
perusahaan dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi)
sudah berada di depan perusahaan-perusahaan yang
lainnya.
Responden di perusahaan-perusahaan ini mengatakan
bahwa mereka berpikir lebih kritis daripada yang lain tentang
memonetisasi data yang mereka kuasai, dan juga meng-
gunakan data dengan sejumlah cara untuk menciptakan
nilai bagi pelanggan dan transaksi bisnis. Mereka menam-
bahkan layanan baru terhadap penawaran yang sudah eksis,
mengembangkan model bisnis baru, dan bahkan langsung
menjual produk berbasis data atau utilisasinya. Selain itu,
Survei dimaksud menunjukkan juga respons dari institusi
yang melihat dampak paling besar dari program analisis dan
data mereka menawarkan edukasi kepada orang lain yang
berusaha memanfaatkan data mereka sebaik mungkin.
Perusahaan-perusahaan tersebut, menurut responden,
membuat dasar analisis yang kuat yaitu strategi analisis data
dan analisis yang terukur jelas, desain organisasi dan praktik

162 https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-
insights/fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-
mip-mck-oth-1712, diakses pada tanggal 27 Desember 2017.

150
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

pengelolaan talenta yang lebih baik, dan penekanan yang


lebih besar untuk mengubah wawasan terkait data baru.
Secara keseluruhan, responden mengatakan bahwa
penggunaan data dan analisis telah membawa perubahan
penting pada fungsi bisnis inti (core business) perusahaan
mereka. Sebagai contoh, hampir separuh dari semua
responden mengatakan bahwa data dan analisis secara
signifikan atau secara mendasar mengubah praktik bisnis
dalam fungsi penjualan dan pemasaran mereka, dan lebih
dari sepertiga mengatakan hal yang sama tentang penelitian
dan pengembangan (Research and Development). Seluruh
responden dari sektor industri teknologi paripurna (high-
tech) dan industri energi serta material dasar melaporkan
bahwa jumlah fungsi terbesar ditransformasikan oleh model
bisnis analisis data.
Di seluruh sektor industri, sebagian besar responden
setuju bahwa tujuan utama aktivitas data dan analisisnya
adalah menghasilkan pendapatan baru bagi korporasi.
Instrumen monetisasi data sebagai model bisnis untuk
menghasilkan pendapatan sebagai upaya yang cukup baru
dimulai dalam dua tahun terakhir, hal dimaksud diketahui
dari sejumlah 41% responden yang perusahaannya telah
memonetisasi data. Monetasi data sebagai model bisnis yang
baru lahir, pada industri tertentu sudah dilakukan sebagai-
mana nampak lebih dari setengah responden industri energi
dan material dasar, jasa keuangan, dan teknologi paripurna
(high-tech) mengatakan bahwa perusahaan mereka telah
mulai memonetisasi data. Terlebih lagi, upaya ini juga terbukti
menjadi sumber diferensiasi.

151
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Monetisasi data nampaknya berkorelasi dengan kinerja


terdepan di industri. Responden pada perusahaan berkinerja
tinggi dalam survei Global McKinsey, menyatakan bahwa
mereka telah menghasilkan analisis data dan melakukannya
dengan lebih banyak cara, termasuk menambahkan layan-
an baru ke penawaran yang ada, mengembangkan model
bisnis yang sama sekali baru, dan kemitraan dengan peru-
sahaan lain di industri terkait untuk membuat kolaborasi data
bersama. Mungkin tidak mengejutkan, responden pada
korporasi yang berkinerja tinggi (high-performers) juga
melihat keuntungan lini teratas (a top-line benefit) yaitu model
bisnis monetisasi data mereka berkontribusi lebih dari 20
persen terhadap pendapatan perusahaan.
Mendapatkan hak untuk monetisasi data memerlukan
usaha yang signifikan dan menjadi penting untuk tetap
berada di depan para pesaing tradisional dan distrupsi baru
(new distruption). Berdasarkan hasil survei, berikut beberapa
langkah yang bisa dilakukan eksekutif korporasi untuk
memulai upaya memonetisasi data yang tepat sehingga
menjadi nilai tambah kompetitif pada platform pasar industri.
Fokus terlebih dahulu di internal korporasi. Hampir
tidak mungkin sebuah perusahaan berhasil menciptakan
bisnis berbasis data yang berfokus pada eksternal sementara
masih berjuang untuk mendapatkan data yang jernih dan
konsisten yang dibagi secara internal di seluruh organisasi.
Sebelum perusahaan memulai model bisnis monetisasi data
maka mereka harus menopang platform data strategi, desain,
dan arsitektur yang akan membantu mereka membangun

152
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

konstruksi bisnisnya dan platform teknis yang mereka


butuhkan untuk memonetisasi data secara efektif. Menem-
patkan data mereka untuk bekerja untuk penggunaan in-
ternal, seperti memperbaiki pengambilan keputusan atau
mengoptimalkan operasi, juga dapat berfungsi sebagai dasar
pengujian untuk platform data mereka dan juga untuk model
monetisasi data dari bisnis berbasis data.
Cari tahu inovasi yang ada di luar korporasi. Setelah
platform fundamental dari data dan monetisasinya terbentuk
di perusahaan maka mereka masih perlu menemukan
bahwa solusi paling inovatif dapat diperoleh secara terbaik
dari luar korporasi. Model bisnis di ekosistem data lebih
optimal dengan bermitra (partnering). Mitra semacam itu
mencakup perusahaan analisis yang dapat melengkapi
kemampuan organisasi yang ada, penyedia platform yang
menjadi instrumen atau solusi (host tools or solution), dan
penyedia data yang dapat membantu organisasi menda-
patkan akses ke rangkaian data yang unik. Perusahaan
bahkan dapat bermitra dengan pemasok, pelanggan, atau
rekan industri mereka untuk menambah dan memperkaya
data yang ada; mereka kemudian dapat menawarkan data
tersebut sebagai add-on unik untuk produk atau layanan
yang ada, atau menjual data sebagai bagian dari bisnis yang
sama sekali baru.
Berkomitmen pada transformasi end-to-end dan
dapatkan bisnis yang terlibat. Bahkan saat data monetisasi
sudah meningkat, banyak perusahaan masih berjuang untuk
mendorong dampak bisnis utamanya. Hal dimaksud terjadi

153
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

karena dua alasan yaitu kegagalan melakukan perubahan


masif yang diperlukan untuk memasuki pasar baru (new
market), dan kurangnya kemitraan antara bisnis dan tek-
nologi informasi. Untuk transformasi, perubahan semacam
itu bisa melibatkan rekonfigurasi model operasi dan fungsi
bisnis utama (dari pengembangan produk hingga pema-
saran), program penyiapan tenaga kerja, dan program
manajemen perubahan yang bertujuan untuk mengubah
budaya organisasi, pola pikir, dan perilaku. Upaya sub-
stansial semacam ini memerlukan komitmen penuh dari
petinggi korporasi, siapa yang harus berkomunikasi dengan
manajer senior –baik di unit bisnis maupun pusat teknologi–
prioritas dari inisiatif atau program yang diberikan dan
kebutuhan untuk mendedikasikan waktu, modal sumber
daya manusia (human capital), dan keuangan yang mema-
dai. Banyak perusahaan yang berjuang untuk berhasil
dalam monetisasi data, khususnya mereka menemukan
strategi yang tepat ketika mereka mendelegasikan semua
upaya analisis dan data dengan utilisasi teknologi informasi.
Pada kenyataannya, upaya memonetisasi data lebih efektif
saat bisnis dipimpin dan difokuskan pada utilisasi yang
paling berharga untuk meningkatkan nilai kompetitif
korporasi.
Indonesia memiliki banyak faktor yang layak diperhi-
tungkan untuk investasi oleh pelaku industri. Salah satunya
terkait keseriusan pemerintah mereformasi kebijakan bidang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal itu disam-
paikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika,

154
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Rudiantara, dalam Diskusi Panel Korean Indonesian Busi-


ness Dialogue 2017 “The 4th Industrial Wave Preparation
& Expectation” di The Westin Jakarta, Selasa (12 Desember
2017) bahwa:163
“Pemerintah fokus pada reformasi kebijakan di sektor
TIK, terutama di DNA (device, network, dan applica-
tion). Jika butuh sertifikasi perangkat, kita permudah
prosesnya. Dalam hal jaringan, pemerintah punya ber-
bagai affirmative policy termasuk untuk menyediakan
internet dengan kecepatan tinggi.”

Pemerintah Republik Indonesia dalam kebijakan untuk


aplikasi adalah menyiapkan marketplace untuk menjem-
batani antara start-up dan pemodal. Upaya mengejar keter-
tinggalan broadband yang dilakukan Indonesia dengan
banyak berkaca dari keberhasilan ekosistem DNA Korea
yang sudah bermula sejak 30 tahun lalu. Faktor lain yang
patut diperhitungkan adalah keadaan ekonomi Indonesia
yang stabil, bonus demografi yang sebentar lagi akan
dihadapi Indonesia, serta tingginya tingkat kepercayaan in-
vestor kepada Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang
stabil dan diproyeksikan pada tahun 2030 GDP Indonesia
akan menjadi nomor lima di dunia, setara dengan ekonomi
kolektif negara-negara ASEAN. Indonesia akan berada di
puncak demografi di mana angka usia produktif dua kali
lipat dibanding usia non-produktif. Indonesia juga berada

163 https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-dna-tiga-
fokus-reformasi-kebijakan-tik,diakses pada tanggal 12 Desember 2017.

155
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

di posisi ketiga dalam hal kepercayaan investor, setelah


China dan India.
Menteri Rudiantara dalam Acara Kerjasama Gerakan
Nasional 1000 Startup Digital dan Bank Bukopin di
Kementerian Kominfo, Jakarta, Kamis (2/3/2017) menyam-
paikan bahwa Dunia perbankan di Indonesia kini perlu
merumuskan model bisnis baru berbasis teknologi.
“Perbankan Indonesia, hanya masalah waktu saja harus
memikirkan bisnis model yang baru terutama untuk con-
sumer banking. Manajemen perbankan harus memikirkan
untuk menginteraksikan diri terhadap gelombang teknologi
perbankan baru, yakni financial technology (FinTech ),” jelas
Menteri Rudiantara.164
Penerapan teknologi dalam aspek perbankan sangat
beragam. Oleh karena itu, Menteri Kominfo mengharapkan
dunia perbankan harus memahami karakteristik konsumen.
“Fintech itu bermacam-macam, akan tetapi yang banyak
berkembanag adalah virtual landing yang berkaitan dengan
consumer banking. Kenapa, orang lebih senang meng-
gunakan FinTech untuk meminjam uang daripada pergi ke
bank? Alasannya adalah dari sisi waktu, karena prosesnya
cepat,” papar Rudiantara.
Menteri Rudiantara menyebutkan saat ini kurang lebih
ada 140 fasilitas layanan FinTech yang sudah terdaftar,
bahwa “Memang cost atau bunganya lebih tinggi dari cost
traditional banking. Akan tetapi jauh lebih baik dari rentenir.

164 https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-fintech-
menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-indonesia/0/berita_satker,
diakses pada tanggal 12 Desember 2017.

156
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ini menunjukkan bahwa UKM yang meminjam bisa meng-


hitung, walaupun mendapatkan bunga yang lebih besar
akan tetapi ada kepastian bisa mendapatkan pinjaman
secara lebih cepat untuk mengembangkan bisnis”.
Menteri Rudiantara menyatakan pula bahwa ke depan
fintech akan digunakan sebaga financial inclusion, hal itu
dikaitkan dengan adanya penggunaan teknologi seluler di
kalangan masyarakat Indonesia dimana di Indonesia ada
170 juta orang yang minimal memiliki ponsel dan 130 juta
orang yang akses ke internet dan ada 100 juta orang akses
internet lewat ponsel. Namun jumlah penduduk Indonesia
yang punya rekening bank, kalau dilihat ukuran financial
inclusion rate dari Bank Indonesia, hanya sebanyak 90 juta
sehingga artinya ada 80 juta orang punya ponsel tetapi tidak
diberi akses aplikasi yang berkaitan dengan keuangan dan
perbankan.
Rudiantara memamparkan pula pada IMF-WBG
Annual Meetings 2018 di Bali, bahwa:165
“To maximize the benefits of digitalization and emerg-
ing technologies for innovative growth and productiv-
ity, we will promote measures to boost micro, small and
medium enterprises and entrepreneurs, bridge the digi-
tal gender divide and further digital inclusion, support
consumer protection, and improve digital government,
digital infrastructure and measurement of the digital

165 Rudiantara, E-commerce In Emerging Markets: Growth, Challenges,


and Opportunities, disampaikan dalam Indonesia Eximbank Panel Dis-
cussion, the 2018 IMF-WBG Annual Meetings, Sofitel Hotel, Nusa
Dua, Bali, 2018.

157
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

economy. We reaffirm the importance of addressing is-


sues of security in the use of ICTs. We support the free
flow of information, ideas and knowledge, while respect-
ing applicable legal frameworks, and working to build
consumer trust, privacy, data protection and intellec-
tual property rights protection. We welcome the G20
Repository of Digital Policies to share and promote the
adoption of innovative digital economy business mod-
els. We recognize the importance of the interface be-
tween trade and the digital economy. We will continue
our work on artificial intelligence, emerging technolo-
gies and new business platforms.”

B. REGULASI TEKNOLOGI FINANSIAL (FINTECH)


DI INDONESIA
Konsepsi regulasi eksisting untuk Teknologi Finansial terlihat
jelas berorientasi pada transaksi. Regulasi dimaksud meng-
anggap transaksi sebagai unit yang relevan untuk tujuan
regulasi dan menyusun regulasi pada komunikasi elektronik
sebagai terminologi minimum dari pelaksanaan kontrak
elektronik. Permasalahan, regulasi, dan solusi semacam itu
mewakili generasi pertama dari perdagangan elektronik (e-
commerce). Pemahaman hukum yang dimunculkan oleh
platform elektronik mengantar ke generasi kedua perda-
gangan elektronik.
Regulasi yang ada pada dasarnya berorientasi pada
transaksi, pada sisi yang lain platform ekonomi mengklaim

158
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

pendekatan hukum yang berorientasi organisasi. Platform


elektronik digital menimbulkan pertanyaan hukum, pada
dua sudut yang menarik yaitu bagaimana platform bekerja
dan platform peran mana, atau lebih tepatnya platform
operator, lakukan atau harus lakukan dalam ekonomi digital.
Pergeseran dari pendekatan berorientasi transaksi ke pen-
dekatan berorientasi organisasi ini bukan sekadar perubahan
skala atau fokus.
Munculnya platform dalam ekonomi digital memun-
culkan sejumlah masalah menarik yang baru dan berbeda
dan melampaui efek menggunakan komunikasi elektronik
dalam pembentukan dan kinerja kontrak. Pertama, kategori
masalah hukum yang terkait dengan fakta bahwa platform
menjadi lingkungan yang diatur sendiri berdasarkan kontrak,
sejauh mana otonomi pengaturan dan implikasinya. Kedua,
kategori masalah hukum lain yang muncul dari kapasitas
platform yang menghasilkan kepercayaan (menyediakan
mekanisme untuk mengontrol akses, sistem pengawasan
untuk memantau kepatuhan, kebijakan pelanggaran dan
hukuman, umpan balik sistem reputasi, teknik penilaian,
model penyelesaian sengketa). Ketiga, kategori masalah
hukum yang relevan mengenai peran operator platform
sebagai regulator, pengawas, penegak regulasi ‘lini pertama’,
dan penyedia layanan, yang mengarah pada perdebatan
apakah operator platform bertindak sebagai perantara asli
dan sejauh mana aturan tanggung jawab perantara adalah
yang kemudian berlaku.

159
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Platform elektronik sama sekali tidak menerima


perhatian yang mencakup semua dari sudut pandang
legislasi. Oleh karenanya kerangka hukum untuk platform
elektronik belum dikembangkan lebih lanjut. Sebaliknya,
perhatian terhadap platform elektronik telah, dan masih,
terfragmentasi, parsial dan tangensial. Di satu sisi, beberapa
yurisdiksi telah membahas paparan pertanggungjawaban
perantara elektronik dan menyusun rezim tanggung jawab
hukum tertentu.Tetapi dipertanyakan apakah operator plat-
form adalah perantara asli untuk tujuan rezim tanggung
jawab tertentu. Oleh karena itu regulasi perantara tidak
sepenuhnya mencakup semua sudut hukum platform. Di
sisi lain, beberapa regulasi khusus telah diadopsi terkait
dengan platform sektoral seperti regulasi tentang platform
pengumpulan dana dari masyarakat (crowdfunding).
Ketika ekonomi digital global tumbuh berdasarkan
model berbasis platform, perbedaan dalam pendekatan,
atau dalam regulasi menimbulkan hambatan bagi perda-
gangan internasional, membangkitkan ketidakpastian,
meningkatkan risiko dalam transaksi perdagangan elektronik
yang dilakukan, tentu saja melalui platform elektronik, dan
menafikan berkembangnya model bisnis yang inovatif dan
mengganggu. Ketiadaan kerangka kerja yang harmonis
untuk platform elektronik, hukum dan regulasi di tingkat
nasional/regional berbeda menjadikan tidak hanya aktivitas
lintas batas dan transaksi elektronik tidak dianjurkan, tetapi
di atas segalanya bahwa efisiensi yang berasal dari dan
peluang yang terkait dengan platform elektronik dilewatkan

160
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan potensi pengembangan platform elektronik yang


dipercaya oleh kepercayaan dirusak secara serius.
Platform elektronik, dalam semua variannya (pasar
elektronik, platform berbasis berbagi, komunitas bisnis,
jejaring sosial, platform crowdfunding) adalah dan beroperasi
sebagai lingkungan elektronik tertutup. Penutupan suatu
lingkungan tidak tergantung pada teknologi tertentu, peng-
gunaan teknik komunikasi tertentu atau tingkat keamanan
yang mungkin memang tinggi juga di lingkungan terbuka.
Perbedaan antara lingkungan terbuka dan lingkungan
tertutup pada dasarnya didasarkan pada faktor hukum.
Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di bawah ini, penutupan
suatu lingkungan dicapai dengan menggunakan infrastruktur
kontrak yang menciptakan konteks yang dapat dipercaya
berdasarkan kontrak untuk pengguna, mandiri, dan, sampai
batas maksimum yang mungkin, independen dari yurisdiksi
di dalam negeri.
Platform elektronik sebagai lingkungan tertutup telah
dibangun oleh serangkaian perjanjian antara operator dan
komunitas pengguna. Ketiadaan regulasi hukum tertentu,
kewajiban dan hak operator platform ditetapkan oleh
ketentuan kontrak antara operator dan setiap pengguna,
dan, akibatnya peran yang akan dilakukan oleh operator
sebenarnya dirancang oleh serangkaian kontrak yang
mendukung platform.
Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan di Indone-
sia telah merespon inovasi teknologi dalam industri keuang-
an dengan pendekatan regulatif. Bank Indonesia (BI)

161
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menyebutkan cepatnya perkembangan ini dikhawatirkan


bisa menimbulkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan
di Indonesia. Regulasi yang tertuang dalam Peraturan BI
(PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan
teknologi finansial.
Deputi Gubernur BI, Sugeng menjelaskan BI meman-
dang pertumbuhan fintech di Indonesia sangat baik dan juga
bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan eko-
nomi Indonesia, yakni dengan inovasi yang dimiliki FinTech
maka kegiatan ekonomi bisa lebih baik.166 “Tapi saking
cepatnya perkembangan bisa menimbulkan risiko. Karena
itu BI mengeluarkan peraturan dan kebijakan untuk menye-
imbangkan ini. Mereka tetap berkembang tapi tidak men-
ciptakan ketidakstabilan sistem keuangan di Indonesia,” ujar
Sugeng dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis
(7/12/2017).

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/


2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Finansial
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI Tekfin) ditetapkan
dengan pertimbangan bahwa perkembangan teknologi dan
sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi yang
berkaitan dengan teknologi finansial; perkembangan
teknologi finansial di satu sisi membawa manfaat, namun di
sisi lain memiliki potensi risiko; dan ekosistem teknologi

166 https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-aturan-soal-
fintechs, diakses pada tanggal 7 Desember 2017.

162
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

finansial perlu terus dimonitor dan dikembangkan untuk


mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar,
aman, dan andal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkelanjutan dan inklusif; penyelenggaraan
teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan
konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian; dan
respons kebijakan Bank Indonesia terhadap perkembangan
teknologi finansial harus tetap sinkron, harmonis, dan terin-
tegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia
Ketentuan dalam PBI Tekfin ini berlaku bagi Penye-
lenggara Teknologi Finansial yang menyelenggarakan
Teknologi Finansial di bidang sistem pembayaran. Ruang
lingkup pengaturan dalam PBI Tekfin mencakup tujuan dan
ruang lingkup; pendaftaran; Regulatory Sandbox; perizinan
dan persetujuan; pemantauan dan pengawasan; kerja sama
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Penye-
lenggara Teknologi Finansial; koordinasi dan kerja sama;
dan sanksi. Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikate-
gorikan ke dalams istem pembayaran; pendukung pasar;
manajemen investasi dan manajemen risiko; pinjaman;
pembiayaan dan penyediaan modal; dan jasa finansial
lainnya.
Kriteria Teknologi Finansial adalah bersifat inovatif; dapat
berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis finansial yang telah eksis; dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat; dapat digunakan secara luas; dan

163
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penye-


lenggara Teknologi Finansial yang memenuhi kriteria seba-
gaimana dimaksud wajib melakukan pendaftaran pada
Bank Indonesia. Pendaftaran dikecualikan bagi Penyeleng-
gara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia dan/atau Penyelenggara Teknologi
Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain.
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia dan memenuhi kriteria
Teknologi Finansial tetap harus menyampaikan informasi
mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya kepada Bank Indonesia. Kewajiban Penyeleng-
gara Teknologi Finansial yang telah terdaftar menerapkan
prinsip perlindungan konsumen; menjaga kerahasiaan data
dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau infor-
masi transaksi; menerapkan prinsip manajemen risiko dan
kehati-hatian; menggunakan rupiah dalam setiap transaksi
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai mata uang; menerap-
kan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan penda-
naan terorisme; dan memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan
kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual
currency.
Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Tekno-
logi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia pada

164
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

laman resmi Bank Indonesia secara berkala. Bank Indonesia


menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
terdaftar beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox. Bank
Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara
Teknologi Finansial berupa kategori:
a. Berhasil;
b. Tidak berhasil; atau
c. Status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap


Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia dan Penyelenggara Teknologi Finansial
wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang diminta
oleh Bank Indonesia. Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran dengan Penyelenggara Teknologi Finansial
yang terdaftar harus terlebih dahulu memperoleh perse-
tujuan Bank Indonesia. Penyelenggara Jasa Sistem Pemba-
yaran dilarang bekerja sama dengan Penyelenggara Tekno-
logi Finansial yang tidak melakukan pendaftaran dan/atau
perizinan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen-
daftaran, prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian,
pengumuman Penyelenggara Teknologi Finansial yang
telah terdaftar, Regulatory Sandbox dan tata cara penyam-
paian data dan/atau informasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

165
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor


19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba
Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi
Finansial
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/
2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sand-
box) Teknologi Finansial (PADG Regulatory Sandbox)
diterbitkan sehubungan dengan telah diundangkannya
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada tanggal 29 No-
vember 2017 (PBI Tekfin). PADG Regulatory Sandbox ini
berisi pengaturan teknis atas materi ketentuan yang diatur
dalam PBI Tekfin dalam rangka memperjelas dan mem-
berikan pedoman dalam penyelenggaraan ruang uji coba
terbatas (Regulatory Sandbox).
Pokok-pokok pengaturan PADG Regulatory Sandbox
meliputi ruang lingkup penyelenggaraan Teknologi
Finansial; tata cara penetapan uji coba dalam Regulatory
Sandbox; proses uji coba dalam Regulatory Sandbox; hasil
uji coba dalam Regulatory Sandbox;kewajiban izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnyauntuk diuji coba dalam Regulatory Sand-
box. Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang
lebih lengkap dalam pemberian penetapan, Penyelenggara
Teknologi Finansial harus melakukan presentasi kepada
Bank Indonesia paling sedikit mengenai model bisnis dan

166
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

manajemen risiko dan menyampaikan dokumen secara


lengkap kepada Bank Indonesia.
Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan
merupakan proses perizinan yang dilakukan oleh Bank In-
donesia. Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
memperoleh penetapan harus menyampaikan usulan
skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penetapan.
Usulan skenario paling sedikit memuat:
a. Produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
akan diuji coba;
b. Jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji
coba;
c. Target yang akan dicapai; dan
d. Batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan
batasan lainnya; dan
e. Mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam
Regulatory Sandbox.
f. Bank Indonesia melakukan review usulan skenario
yang disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial.

Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario,


Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyatakan
kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang telah
disetujui dengan menandatangani surat pernyataan. Bank
Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan

167
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kepada Penyelenggara Teknologi Finasial setelah Penye-


lenggara Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan
menjalankan skenario uji coba. Jangka waktu uji coba dalam
Regulatory Sandbox ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal penetapan Bank Indonesia atas skenario uji
coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dan
dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu
paling lama 6 (enam) bulan. Selama pelaksanaan uji coba
dalam Regulatory Sandbox, Penyelenggara Teknologi
Finansial memiliki kewajiban untuk memastikan diterap-
kannya prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian yang memadai; menyampaikan
laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun
insidentil sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; dan
tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review
selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox
sebagai dasar untuk menetapkan status hasil uji coba
Penyelenggara Teknologi Finansial. Bank Indonesia
menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penyelenggara
Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam Regu-
latory Sandbox. Setelah jangka waktu berakhir, Bank Indo-
nesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara
Teknologi Finansial berupa berhasil; tidak berhasil; atau
status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil dan produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk

168
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka


Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-
lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Dalam hal
uji coba dinyatakan tidak berhasil dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau
layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis
yang diujicobakan.
Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk
kategori sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
harus memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-
lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Dalam hal
Penyelenggara Teknologi Finansial merupakan Penye-
lenggara Jasa Sistem Pembayaran Lainnya, Penyelenggara
Teknologi Finansial tersebut harus berbentuk perseroan
terbatas dan memenuhi aspek kelayakan. Tata cara mem-
peroleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Lainnya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.

169
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor


19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran,
Penyampaian Informasi, dan Pemantauan
Penyelenggara Teknologi Finansial
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/
2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Infor-
masi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial
(PADG Tekfin) diterbitkan sehubungan dengan telah diun-
dangkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/
2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada
tanggal 29 November 2017 (PBI Tekfin). PADG Tekfin
memuat pengaturan teknis atas materi ketentuan yang diatur
dalam PBI Tekfin dalam rangka memperjelas dan mem-
berikan pedoman pendaftaran bagi Penyelenggara
Teknologi Finansial. Pokok-pokok pengaturan PADG Tekfin
meliputi:
a. Pendaftaran; antara lain mencakup tata cara, pemro-
sesan, publikasi pendaftaran, dan penghapusan pen-
daftaran.
b. Prinsip Manajemen Risiko dan Kehati-hatian.
c. Pemantauan; antara lain mengatur pemantauan oleh
BI terhadap tekfin terdaftar, serta tata cara penyampaian
informasi.
d. Ketentuan lain-lain; mengatur terkait dengan kores-
pondensi dengan Bank Indonesia.

Penyelenggara tekfin yang memenuhi kriteria sesuai PBI


tekfin wajib melakukan pendaftaran, kecuali bagi Penye-
lenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah

170
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kewenangan otoritas lain dan Penyelenggara Jasa Sistem


Pembayaran yang telah memperoleh izin dari BI. Namun
demikian, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dimaksud
harus tetap menyampaikan infromasi kepada Bank Indo-
nesia mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis baru yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial.
Penyelenggara Teknologi Finansial harus merupakan badan
usaha, khusus bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
harus berbentuk badan hukum sesuai ketentuan yang
mengaturnya.
Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan
permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia secara
tertulis disertai dengan dokumen pendaftaran secara daring
(online). Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
terdaftar akan dipublikasikan pada laman resmi Bank Indo-
nesia dan dapat dihapus apabila:
a. Produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
sudah tidak digunakan oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial;
b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;
c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi
oleh Bank Indonesia dan/atau otoritas yang berwenang;
d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan
tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
e. Terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari
otoritas berwenang;

171
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

f. Permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi


Finansial; dan/atau
g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya.

Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar


harus menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-
hatian. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah tercantum
dalam Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial. Penye-
lenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan data dan/
atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia berupa:
a. Transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial,
yang disampaikan secara berkala;
b. Produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis;
c. Kondisi keuangan;
d. Kepengurusan dan kepemilikan; dan
e. Data dan/atau informasi lain.

4. Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang


Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas yang memiliki
tugas pengawasan sektor jasa keuangan telah pula menge-
luarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang
Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai
ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan
industri teknologi finansial (fintech). Ketua Dewan Komi-

172
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sioner OJK, Wimboh Santoso, menjelaskaan bahwa


“Peraturan ini dikeluarkan OJK mengingat cepatnya kema-
juan teknologi di industri keuangan digital yang tidak dapat
diabaikan dan perlu dikelola agar dapat memberikan man-
faat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.”167
Inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar meng-
hasilkan inovasi keuangan digital yang bertanggung jawab,
aman, mengedepankan perlindungan konsumen dan
memiliki risiko yang terkelola dengan baik. Peraturan ini juga
dikeluarkan sebagai upaya mendukung pelayanan jasa
keuangan yang inovatif, cepat, murah, mudah, dan luas serta
untuk meningkatkan inklusi keuangan, investasi, pembia-
yaan serta layanan jasa keuangan lainnya.
Pokok-pokok pengaturan Inovasi Keuangan Digital
(IKD) antara lain mekanisme pencatatan dan pendaftaran
fintech. Setiap penyelenggara IKD baik perusahaan startup
maupun Lembaga Jasa Keuangan (LJK) akan melalui tiga
tahap proses sebelum mengajukan permohonan perizinan
sebagai berikut:
a. Pencatatan kepada OJK untuk perusahaan Startup/non-
LJK. Permohonan pencatatan secara otomatis termasuk
permohonan pengujian Regulatory Sandbox. Sedang-
kan untuk LJK, permohonan Sandbox diajukan kepada
pengawas masing-masing bidang (Perbankan, Pasar
Modal, IKNB).
b. Proses Regulatory Sandbox berjangka waktu paling

167 https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-aturan-
baru-soal-fintech-ini-isinya

173
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

lama satu tahun dan dapat diperpanjang selama 6 bulan


bila diperlukan.
c. Pendaftaran/perizinan kepada OJK.

Selanjutnya, mengenai mekanisme pemantauan dan


pengawasan I dalam hal ini OJK akan menetapkan penye-
lenggara IKD yang wajib mengikuti proses Regulatory Sand-
box. Hasil uji coba Regulatory Sandbox ditetapkan dengan
status direkomendasikan, perbaikan, dan tidak direkomen-
dasikan. Penyelenggara IKD yang sudah menjalani Regu-
latory Sandbox dan berstatus direkomendasikan dapat
mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. Untuk
pelaksanaan pemantauan dan pengawasan, penyelenggara
IKD diwajibkan untuk melakukan pengawasan secara
mandiri dengan menyusun laporan self assessment yang
sedikitnya memuat aspek tata kelola dan mitigasi risiko.
Penyelenggara IKD dilarang mencantumkan nama dan/atau
logo OJK namun dapat mencantumkan nomor tanda ter-
catat/terdaftar. Dalam jangka menengah, OJK dapat
menunjuk pihak lain (Asosiasi Penyelenggara IKD yang
diakui oleh OJK) yang bertugas dalam pengawasan IKD.
Pokok-pokok pengaturan OJK dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Pembentukan Ekosistem Fintech. Untuk memelihara
ekosistem keuangan, Lembaga Jasa Keuangan yang
telah memperoleh izin atau terdaftar di OJK dilarang
bekerja sama dengan Penyelenggara IKD yang belum
tercatat di OJK atau terdaftar di otoritas lain yang
berwenang guna memelihara ekosistem keuangan.

174
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. Membangun Budaya Inovasi. OJK menginisiasi pem-


bentukan Pusat Inovasi Keuangan Digital (Fintech Cen-
ter) dan ekosistem IKD yang bertujuan sebagai sarana
komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antara otoritas
terkait dan pelaku IKD serta wadah Inovasi dan
Pengembangan IKD.
c. Inklusi dan Literasi. Penyelenggara IKD wajib melak-
sanakan kegiatan untuk meningkatkan literasi dan
inklusi keuangan kepada masyarakat.
d. Bisnis dan Perlindungan Data. Penyelenggara IKD wajib
menyediakan pusat pelayanan konsumen berbasis tek-
nologi sebagai bentuk penerapan edukasi dan per-
lindungan konsumen beserta usahanya.
e. Manajemen Risiko yang Efektif. Penyelenggara IKD
wajib menerapkan prinsip pemantauan secara mandiri,
menginventarisasi risiko utama, menyusun laporan risk
self assessment secara bulanan, dan memiliki perangkat
yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan atas
proses pemantauan yang dilakukan oleh OJK.
f. Kolaborasi. Dengan dibentuknya Fintech Center maka
dapat membantu berjalannya proses Regulatory Sand-
box sebagai langkah inkubasi model bisnis yang inklusif
dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta meningkatkan
sinergi antar industri, pemerintah, akademisi dan inno-
vation hub lain.
g. Perlindungan Konsumen. Penyelenggara wajib mene-
rapkan prinsip dasar perlindungan konsumen yaitu (a)
transparansi, (b) perlakuan yang adil, (c) keandalan, (d)
kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen,

175
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian


sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya
terjangkau.
h. Transparansi. Penyelenggara IKD wajib menerapkan
prinsip pengawasan berbasis disiplin pasar, risiko dan
teknologi terhadap inovasinya antara lain harus mem-
perhatikan transparansi produk dan layanan, pasar yang
kompetitif dan inklusif, kesesuaian dengan kebutuhan
konsumen, penanganan mekanisme keluhan yang
segera, dan aspek keamanan dan kerahasiaan data
konsumen dan transaksi.
i. Anti-Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Penyelenggara IKD juga wajib menerapkan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme di sektor jasa keuangan terhadap konsumen
sesuai ketentuan Peraturan OJK di bidang AML-CFT
(Anti Money Laundering and Counter-Financing of
Terrorism).

Sebelumnya OJK telah mengeluarkan peraturan menge-


nai fintech peer to peer lending melalui POJK 77/POJK.01/
2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.

176
BAB 3 - LEGISLASI DAN REGULASI EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

SENARAI PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan


Perkembangan Sosial, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988.
A.L.M. van Mierlo, C.J.J.C. van Nispen, M.V. Polak,
Burgerlijke Rechtsvordering – Teks en Commentaar,
Tweede Druk, Kluwer, Deventer, 2005
Ackerman, Introduction: On the Role of Economic Analy-
sis in Property Law, in Economic Foundations of Prop-
erty Law (B. Ackerman ed. 1975).
Adrian Keane, The Modern Law of Evidence, Fifth Edition,
Butterworths, London, Edinburgh, Dublin, 2000.
Algra dkk, Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983.
Angeline Lee, “Convergence in Telecom, Broadcasting and
it: A Comparative Analysis of Regulatory Approaches
in Malaysia, Hong Kong and Singapore”, Singapore
Journal of International and Comparative Law, 2001.
Anthony Ogus, “Competition Between National Legal Sys-
tems: A Contribution of Economic Analysis to Com-
parative Law”, 48 Int’l & Comp. L.Q. 405 (1999).
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Noordhoof-
Kolff N.V., Jakarta, 1954.

177
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Awaludin Marwan, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi


Intelektual & Pertarungan Tafsir terhadap Filsafat
Hukum Progresif, Penerbit Thafa Media dan Satjipto
Rahardjo Institute, Yogyakarta, 2013.
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, 1996.
Basil S. Markesinis, Foreign Law & Comparative Methodol-
ogy: A Subject & a Thesis (1997).
––––––––––, Foreign Law & Comparative Methodology: A
Subject & a Thesis, 6 (1997).
––––––––––, Always on the Same Path: Essays on Foreign
Law & Comparative Methodology (2001).
Basil S. Markesinis & Hannes Unberath, The German Law
of Torts: A Comparative Treatise (2002).
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya
Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang
Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2013.
Bernhard Grossfeld, Core Questions of Comparative Law
(Vivian Grosswald Curran trans., 2005).
Bruggink, Rechtsreflecties, alih bahasa oleh Arief Sidharta,
PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 1999.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan
Indonesia, Binacipta-Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman, Bandung, 1988.

178
SENARAI PUSTAKA

Catherine Valcke, “Comparative Law as Comparative Juris-


prudence—The Comparability of Legal Systems”, 52
Am. J. Comp. L. 713 (2004).
Charles Koch, “Envisioning a Global Legal Culture”, 25
Mich. J. Int’l L. 1 (2003).
Daniel Malan, “The Law Can’t Keep Up With New Tech.
Here’s How To Close The Gap”, https://www.
weforum.org/agenda/2018/06/law-too-slow-for-new-
tech-how-keep-up/
Daniel Seng and Sriram Chakravarthi, Computer Output as
Evidence: Consultation Paper, Singapore Academy
of Law, 2003.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Easterbrook, “Statutes Domain”, 50 U. CHI. L. REV. 533
(1983).
Edward Wilding, Computer Evidence: A Forensic Investi-
gation Handbook, Sweet & Maxwell, London, 1997.
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem
Pembuktian Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2009.
Fabio Morosini, “Globalization & Law: Beyond Traditional
Methodolgy of Comparative Legal Studies and An
Example from Private International Law”, Cardozo
Journal of International and Comparative Law, Fall
2005.
Fiss, “The Death of the Law?”, 72 CORNELL L. REV. 1 (1986);
Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36
STAN. L. REV. 349 (1984).

179
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Fletcher, “Fairness and Utility and Tort Theory”, 85 HARV.


L. REV. 537 (1972).
Gary Minda, “The Jurisprudential Movements of the 1980’s”,
Ohio State Journal, 1989.
Gerhard Dannemann, “Comparative Law: Study of Simi-
larities or Differences?”, Oxford Handbook of Com-
parative Law 383 (Mathias Reimann & Reinhard
Zimmermann eds., 2006).
Gjerdingen, “The Coase Theorem and the Psychology of
Common Law Thought”, 56 S. CAL. L. REV. 711
(1983).
Goetz & Scott, “Principles of Relational Contracts”, 67 VA.
L. REV. 1089 (1981).
Greenwalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive
Quest for the Fetters That Bind Judges”, 75 COLUM.
L. REV. 359 (1975).
Guido Calabresi, “An Introduction to Legal Thought: Four
Approaches to Law and to the Allocation of Body
Parts”, (2003), Stanford Law Review, Vol. 55.
––––––––––, History Lessons for a General Theory of Law
and Technology, Minnesota Journal of Law in Sci-
ence and Technology, Vol. 8:2, 2007.
Günter Frankenberg, “Critical Comparisons: Rethinking
Comparative Law”, 26 Harv. Int’l L.J. 411 (1985);
Hans Kelsen, General Theory of Law & State, Transaction
Publishers, New Jersey, 2006.
Harry Newton, Newton’s Telecom Dictionary, 18th Edition,
CMP Books, New York, 2002.

180
SENARAI PUSTAKA

H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, Teori Hukum:


Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
Refika Aditama, Bandung, 2004.
Ida Iswoyokusumo, “Peraturan Baru Hukum Pembuktian
dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland”,
BIna Yustisia, MA, 1994.
James Gordley, “Is Comparative Law a Distinct Discipline?”,
46 Am. J. Comp. L. 607 (1998).
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is rechtstheorie?,
1982 (Apakah Teori Hukum itu?), diterjemahkan oleh
Arief Sidharta, Laboratorium Hukum-Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2000
Jennifer G. Hill, “The Persistent Debate about Convergence
in Comparative Corporate Governance”, 27 Sydney
L. Rev. 743 (2005).
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Mor-
als and Legislation, Oxford at Clarendo Press, 1823.
Judge R. Posner, “The Effects of Deregulation on Competi-
tion: The Experience of the United States “(2000) 23
Fordham International Law Journal S 7.
Kearney and Merrill, “TheGreat Transformation of Regulated
Industries Law” (1998) 98 Columbia Law Review
1323.
Kelman, “Misunderstanding Social Life: A Critique of the
Core Premises of ‘Law and Economics’”, 33 J. LEGAL
EDUC. 274 (1983)
Knieps, “Deregulation in Contestable and Non-Contestable
Markets:Interconnection and access”, (2000) 23
Fordham International Law Journal 90

181
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Konrad Zweigert & Hein Kötz, Introduction to Comparative


Law 24 (Tony Weir trans., 3d ed. 1998).
Kornhauser, “The Great Image of Authority”, 36 STAN. L.
REV. 349 (1984).
Langdell, Preface to Selection on Cases on The Law of Con-
tracts (1879).
Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science
Prespective, Russel Sage Foundation, New York,
1975.
Leff, “Economic Analysis of Law: Some Realism About
Nominalism”, 60 VA. L. REV. 451 (1974).
Leonard J. Theberge. “Law and Economic Development”,
Journal of lnternational Law and Politic vol. 9 (1989).
Liao, Y., Loures, E. R., Deschamps, F., Brezinski, G., &
Venâncio, A. (2017). The impact of the fourth indus-
trial revolution: a cross-country/region comparison.
Production, 28, e20180061. DOI: 10.1590/0103-
6513.20180061
Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu
Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan
Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Lili Rasjidi, “Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pemba-
ngunan”, dalam Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori
Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi, Edi-
tor Shidarta, Epistema Institute, Jakarta, 2012.
Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan,
sebagaimana dimuat dalam Mochtar Kusuma-
Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi

182
SENARAI PUSTAKA

dan Implikasi, Editor Shidarta, Epistema Institute,


Jakarta, 2012.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
MacNeil, “Contracts: Adjustments of Long-Term Economic
Relations Under Classical, Neoclassical, and Rela-
tional Contract Law”, 72 NW. U.L. REV. 854 (1978).
Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Prin-
ciple, Lawbook Co, New South Wales, 2004.
Margaret Leiboff, Legal Theories in Principle, Thomson,
Sydney, 2004.
Mieke Komar Kantaatmadja, et.al, Cyberlaw Suatu
Pengantar, ELIPS, 2001.
Minda, “The Lawyer-Economist at Chicago: Richard A.
Posner “The Economic Analysis of Law”, 39 OHIO
ST. L.J. 439, 462 (1978);
Minda, “The Law and Economics and Critical Legal Studies
Movements in American Law”, Law and Economics
87 (N. Mercuro ed. 1989).
Minow, “Law Turning Outward”, 73 TELOS 79 (1986).
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum dan Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian
Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universi-
tas Padjadjaran, Bandung-Penerbit Binacipta, 1976.
–––––––––––, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit
Binacipta, 1976.
–––––––––––, Konsep-Konsep Hukum dalam Pemba-
ngunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum

183
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit PT.


Alumni, Bandung, 2006.
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,
(Jakarta: LP3ES, 1987).
Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-
ilmu Sosial, (Yogyakarta: Yayasan Agro-Ekonomika,
2002).
Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic
Interpertation of Legal Transplants”, Journal of Legal
Studies, The University of Chicago, Juni, 2006.
O. Williamson, The Economics of Discretionary Behaviour:
Managerial Objectives in a Theory of the Firm (1964).
OECD (2017), OECD Digital Economy Outlook 2017,
OECD Publishing, Paris.
P. Areeda and D. Turner, Antitrust Law: An Analysis of
Antitrust Principles and Their Application (Vols. 1-8)
(1986).
Peller, “The metaphysics of American Law”, 73 CALIF. L.
REV. 1151, 1268 (1985).
Phil Huxley and Michael O’Connell, Blackstone Statutes
on Evidence, Fifth Edition, Blackstone Press Limited,
2000.
Pierre Legrand, “European Legal Systems Are Not Converg-
ing”, 45 Int’l & Comp. L.Q. 52, 61-62 (1996).
Pierre Legrand, Counterpoint: Law Is Also Culture, in The
Unification of International Commercial Law, 245
(Franco Ferrari ed., 1998).
Pierre Legrand, Le droit comparé (1999).

184
SENARAI PUSTAKA

Pitlo, Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijke


Wetboek, Zesde Druk, Gouda Quint, Arnhem, 1981,
No. 43.
Posner, “The Economic Approach to Law”, 53 TEX. L. REV.
757 (1975).
R. Wu and G. Leung, “Media Policy and Regulation in the
Age of Convergence - The Hong Kong Experience”,
(2000) 30 Hong Kong Law Journal 454.
Ralf Michaels, “Two Paradigm of Jurisdiction”, Michigan
Journal of International Law, Summer 2006.
Report of OECD Roundtable on Regulation and Competi-
tion Issues in Broadcasting in the Light of Convergence
DAFFE/CLP(99)1 (1999).
Richard Posner, “Utilitarianism, Economics, and Legal
Theory”, 8 J. LEGAL STUD. 103 (1979).
–––––––, The Economics of Justice, Harvard, 1981.
–––––––, “Economics, Politics and the Reading of Statutes
and the Constitution”, 49 U. CHI. L. REV. 262 (1982).
–––––––, “Wealth Maximization and Judicial Decision mak-
ing”, 4 INT’L. REV. L. & ECON. 131 (1984);
–––––––, The Economic Analysis of Law, Aspen, 3d ed.
1986.
–––––––, “The Decline of Law as an Autonomous Disci-
pline: 1962-1987”, 100 HARV. L. REV. 761 (1987).
–––––––, “The Ethics of Wealth Maximization: Reply To
Malloy”, 36 KANSAS L. REV. 261, 263 (1988).
Roberto Unger, “The Critical Legal Studies Movement”,
Harvard Law Review, January 1983.

185
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi


terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori
Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta,
2012.
––––––––, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap
Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum
Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012.
Ronald A. Brand, “Semantic Distinction in an Age of Legal
Convergence”, University of Pennsylvania Journal of
International Economic Law, Spring, 1996.
Ronald J. Gilson, “Globalizing Corporate Governance: Con-
vergence of Form or Function”, 49 Am. J. Comp. L.
329 (2001).
Roscoe Pound, An Introduction of the Philosophy of Law,
Yale University Press, London, 1930.
Rose-Ackerman, “Inalienability and The Theory of Prop-
erty”, 85 COLUM. L. REV. 931 (1985).
Russell Menyhart, “Changing Identities and Changing Law:
Possibilities for a Global Legal Culture”, 10 Ind. J. Glo-
bal Legal Stud. 157 (2003).
Sen, “Rational Foolds: A Critique of Behavioral Foundations
of Economic Theory”, 6 PHIL. & PUB. AFF. 317.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Alumni, 1985.
–––––––––, Tiga Tulisan tentang Hukum, Penerbit Armico,
Bandung, 1986.
–––––––––, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Administrasi, Rajawali Pers, 1987.

186
SENARAI PUSTAKA

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum


dalam Masyarakat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta,
1980.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali,
Jakarta, 1993.
Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat,
Alumni, Bandung 1986.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 2002
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Penerbit
Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012.
Suhono Harso Supangkat, Teknologi Informasi dan Ekonomi
Digital: Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurusan
Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, 2000.
Sunstein, “Feminism and Legal Theory”, 101 HARV. L. REV.
826 (1988).
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1977.
Tribe, “Policy Science: Analysis or Ideology?”, 2 PHIL. &
PUB. AFF. 66 (1972).
–––––, “Technology Assessments and the Fourth Disconti-
nuity: The Limits of Instrumental Rationality”, 46 S.
CAL. L. REV. 617 (1973).
Tushnet, “Legal Scholarship: Its Causes and Cure”, 90 YALE
L.J. 1205, 1211 (1981).
Ugo A. Mattei, “A Transaction Costs Approach to the Euro-
pean Civil Code”, 5 Eur. Rev. Priv. L. 537 (1997);
––––––, Luisa Antonioli & Andrea Rossato, “Comparative
Law and Economics”, 1 Encyclopedia of Law and

187
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Economics 505 (Boudewijn Bouckaert & Gerrit De


Geest eds., 2000).
Ulen, “Law and Economics: Settled Issues And Open Ques-
tions”, Law and Economics210 (N. Mercuro ed.
1989).
Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990.
Vivian Grosswald Curran, “Dealing in Difference: Compara-
tive Law’s Potential for Broadening Legal Perspec-
tives”, 46 Am. J. Comp. L. 657 (1998).
Volkmar Gessner, “Global Approaches in the Sociology of
Law: Problems and Challenges”, 22 J.L. Soc’y 85, 90
(1995).
West, “Jurisprudence and Gender”, 55 U. CHI. L. REV. 1
(1988); White, “Economics and Law: Two Cultures
in Tension”, 54 TENN. L. REV. 161 (1986).
William Twining, Globalisation and Legal Theory,
Butterworths, London, 2000.
Yuval Noah Harari,Homo Deus: A Brief History of Tomor-
row, Harvill Secker, London, 2017.

Sumber Lain
http://www.internetworldstats.com/stats.htm.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=
S0103-65132018000100401#B029.
https://finance.detik.com/moneter/3759701/bi-terbitkan-
aturan-soal-fintechs
https://finance.detik.com/moneter/d-4192994/ojk-terbitkan-
aturan-baru-soal-fintech-ini-isinya

188
SENARAI PUSTAKA

https://www.foreignaffairs.com/articles/2015-12-12/fourth-
industrial-revolution.
http://www.legalitas.org/artikel/alat/bukti/elektronik/
dokumen/elektronik/kedudukan/nilai/derajat/
kekuatan/pembuktiannya/hukum
https://jpp.go.id/24-nasional/313990-menkominfo-jelaskan-
dna-tiga-fokus-reformasi-kebijakan-tik
https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-
fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-
indonesia/0/berita_satker
https://trailhead. salesforce.com/en/modules/impacts-of-the-
fourth-industrial-revolution/units/understand-the-im-
pact-of-the-fourth-industrial-revolution-on-society-
and-individuals#
https://www.globalpolicywatch.com/2018/01/blockchain-
and-virtual-currency-regulation-in-the-eu/#_ftn15
https://www.intel.com/content/www/us/en/silicon-innova-
tions/moores-law-technology.html
https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-
analytics/our-insights/fueling-growth-through-data-
monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712
https://www.weforum. org/agenda/2016/01/the-fourth-in-
dustrial-revolution-what-it-means-and-how-to-re-
spond
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-
trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-indus-
trial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/

189
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

https://www.weforum.org/agenda/2017/02/ethics-2-0-how-
the-brave-new-world-needs-a-moral-compass
https://www.weforum.org/agenda/2017/06/the-fourth-indus-
trial-revolution-is-about-people-not-just-machines

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang R.I. No 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
The Singapore Evidence Act 2006.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucuian Uang
Dutch Electronic Signature Act 2001
Nieuwe Regeling van Het Bewijsrecht in Burgelijke Zaken,
1988
Dutch Civil Code
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHPerdata
HIR / RBg

190
GLOSARIUM

Glosarium

Algoritma : Dalam matematika dan ilmu komputer,


algoritma adalah prosedur langkah-demi-
langkah untuk penghitungan. Algoritma
digunakan untuk penghitungan, pemro-
sesan data, dan penalaran otomatis.
Behaviorisme : Filosofi dalam psikologi yang berdasar
pada proposisi bahwa semua yang
dilakukan organisme –termasuk tindakan,
pikiran, atau perasaan– dapat dan harus
dianggap sebagai perilaku.
Big Data : Istilah umum untuk segala himpunan data
(data set) dalam jumlah yang sangat besar,
rumit dan tak terstruktur sehingga menjadi-
kannya sukar ditangani apabila hanya
menggunakan perkakas manajemen basis
data biasa atau aplikasi pemroses data
tradisional belaka.

191
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Broadband : Atau Pita Lebar; merupakan sebuah istilah


dalam internet yang merupakan koneksi
internet transmisi data kecepatan tinggi.
Ada dua jenis pitalebar yang umum, yaitu
DSL dan kabel modem, yang mampu
mentransfer 512 kbps atau lebih, kira-kira
9 kali lebih cepat dari modem yang
menggunakan kabel telepon standar.
Copyright : Atau Hak Cipta; lambang © adalah Hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengatur penggunaan hasil
penuangan gagasan atau informasi
tertentu. Pada dasarnya, hak cipta meru-
pakan “hak untuk menyalin suatu cipta-
an”. Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi
penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.
Pada umumnya pula, hak cipta memiliki
masa berlaku tertentu yang terbatas.
Data : Keterangan yang benar dan nyata;
pengumpulan; keterangan atau bahan
nyata yang dapat dijadikan dasar kajian
(analisis atau kesimpulan); kumpulan
informasi dalam bentuk yang dapat
diproses oleh komputer, seperti repre-
sentasi digital dari teks, angka, gambar
grafis, atau suara.
Dekadensi : “Penurunan” atau “kemerosotan”; dalam
penggunaannya, kata dekadensi lebih

192
GLOSARIUM

sering merujuk pada segi-segi sosial seperti


moral, ras, bangsa, agama, sikap dan seni.
Domain : Nama domain (domain name) adalah
nama unik yang diberikan untuk meng-
identifikasi nama server komputer seperti
web server atau email server di jaringan
komputer ataupun internet. Nama domain
berfungsi untuk mempermudah
pengguna di internet pada saat melakukan
akses ke server, selain juga dipakai untuk
mengingat nama server yang dikunjungi
tanpa harus mengenal deretan angka yang
rumit yang dikenal sebagai alamat IP.
Nama domain ini juga dikenal sebagai
sebuah kesatuan dari sebuah situs web
seperti contohnya “wikipedia.org”. Nama
domain kadang-kadang disebut pula
dengan istilah URL, atau alamat website.
Hoax : Atau hoaks mengandung makna berita
bohong, berita tidak bersumber. Hoaks
merupakan sebagai rangkaian informasi
yang memang sengaja disesatkan, tetapi
“dijual” sebagai kebenaran. Rujukan
referensi lain sama dengan Fake news
sebagai berita palsu yang mengandung
informasi yang sengaja menyesatkan
orang dan memiliki agenda politik tertentu.
Hoaks bukan sekadar misleading alias

193
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

menyesatkan, informasi dalam fake news


juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi
disajikan seolah-olah sebagai serangkaian
fakta.
Inovasi : Merupakan setiap ide atau pun gagasan
baru yang belum pernah ada atau pun
diterbitkan sebelumnya. Sebuah inovasi
biasanya berisi terobosan-terobosan baru
mengenai sebuah hal yang diteliti oleh
sang inovator.
Konservatif : Kolot; bersikap mempertahankan
keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang
berlaku.
Konvergensi : Keadaan menuju satu titik pertemuan;
memusat.
Korporasi : Badan usaha yang sah; badan hukum;
perusahaan atau badan usaha yang
sangat besar atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai satu
perusahaan besar.
Korporasi : Badan usaha yang sah; badan hukum;
perusahaan atau badan usaha yang
sangat besar atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai satu
perusahaan besar.
Kuasi : Hampir seperti; seolah-olah.
Legislasi : Pembuatan undang-undang.
Legitimasi : Keterangan yang mengesahkan atau
membenarkan bahwa pemegang kete-

194
GLOSARIUM

rangan adalah betul-betul orang yang


dimaksud; kesahan
Monetisasi : Berasal dari bahasa EngIonesia (English
dan Indonesia) yang artinya merubah atau
mengelola suatu sarana (contohnya blog)
yang semula hanya sebagai ajang menulis
dan berekspresi menjadi media untuk
mencari uang.
Nominalisme : Salah satu aliran ilmu filsafat dan teologi
yang menganggap bahwa gagasan atau
konsep umum yang ada tidak menunjuk
pada kenyataan apapun, maka gagasan
hanya kata-kata saja (dalam bahasa Latin
nomina) yang disusun akal budi sebagai
tanda belaka untuk mengatur keanekaan
individual.
Paradoks : Pernyataan yang seolah-olah bertentang-
an (berlawanan) dengan pendapat umum
atau kebenaran, tetapi kenyataannya
mengandung kebenaran.
Platform : Unsur yang penting dalam pengembang-
an perangkat lunak. Platform mungkin
dapat didefinisikan secara sederhana
sebagai tempat untuk menjalankan
perangkat lunak.
Regulatory Sandbox : Suatu ruang uji coba terbatas yang
aman untuk menguji Penyelenggara
Teknologi Finansial beserta produk,
layanan, teknologi, dan/atau model

195
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bisnisnya.
Start-up : Serapan dari bahasa Inggris yang
menun-jukkan sebuah bisnis yang baru
dirintis atau perusahaan rintisan, yang
merujuk pada semua perusahaan yang
belum lama beroperasi.
Teknologi Finansial (FinTech) : Penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis baru serta dapat berdampak
pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran,
keamanan, dan keandalan sistem
pembayaran.

196
INDEKS

Indeks

Big Data 62, 132, 146, 149


A bilateral 52
Bill Gates 135
abstrak 12, 13, 140, 141 Black Box Theory 32
agama 32, 132, 139 broadband 48
agenda 48 budaya 32, 34, 45, 46, 50, 62,
agreement 33, 52 76, 110, 113, 125, 131, 150,
algoritma 64 , 110, 133, 134, 139 154
analisis 8, 14, 16, 62, 79, 80, 84,
89, 124, 125, 149, 150, 151,
152
analogi 80, 97, 142
C
Anglo Saxon 85 Calabresi 21, 66
arbitrase 52 Cesare Beccaria 100
argumentasi 13, 45, 142 Chicago School 3, 4, 5, 6, 8, 9,
Arief Sidharta 20, 85, 86 11, 15
Aristoteles 19, 92, 93, 132 claim 7, 8, 10
artificial 38, 62. 110, 133 Common Law 4, 8
asas 23, 26, 31, 51, 56, 68, 73, 81, content 40
84, 88, 89, 94, 97, 101 cyber-bullying 117
asing 51, 52 cyberlaw 59
Atzori 60 cyber-Physical 60
augmentasi 58 cyborg 134

B D
Basil Markesinis 25, 26 data 47, 62, 117, 121, 124, 125,
behaviorisme 89 139, 146, 149, 150, 151, 152,
Belvedere 60 153, 154, 165, 172, 175, 176
biaya 8, 37, 111, 148, 176 David Hume 99

197
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

David M. Brear 145


demokrasi 57, 73, 92 H
desentralisasi 57, 126 hakim 2, 4, 6, 8, 12, 93, 104
digital 19, 25, 30, 31, 35, 38, 46, Hans Kelsen 91
47, 48, 49, 56, 57, 58, 59, 61, Herman Oliphant 90
106, 110, 111, 113, 114, 115, hipotesis 3, 10, 11, 13, 20
119, 123, 124, 125, 126, 128, hoax 117
129, 146, 156, 159, 160, 173, homogen 13
175
doktrin 15, 33, 45, 99, 103
draft 42 I
Ian McLeod 70, 71
E ideologi 11, 113
iklan 41
e-commerce 49, 158 implikasi 44, 59
Eddy Damian 22, 68 imunitas 52
efficiency 3 incremental 43
efisiensi 12, 111, 160 infrastruktur 58
e-government 48 inovasi 38, 47, 48, 62, 111, 112,
ekosistem 57, 64, 153, 154, 162, 118, 123, 124, 125, 127, 135,
174 136, 146, 161, 162, 172, 173,
engineering 60 175, 176
etika 64, 65, 74, 132 integratif 24, 70
evolusi 19, 60, 61, 66, 73, 76 intervensi 42

F J
Facebook 64, 144, 120, 133 J.W. Salmond 103
fairness 28, 29 Jeremy Bentham 99, 100
Felix Cohen 90 Jerome Frank 89
filsafat 23, 65, 68, 73, 74, 89, 100, John Austin 33, 101, 102, 103
132 John Rawls 32
fintech 146, 149, 156, 157, 158, John Stuart Mill 99, 100
162, 174, 175 joint venture 52
Fred Rodell 90 Joseph W. Bingham 89
Friedmann 88

G K
kaidah 17, 20, 23, 26, 30, 31, 65,
globalisasi 44, 46, 90 68, 69, 81, 82, 89, 92, 94, 96,
Google 133, 140 101, 103, 129, 141
Gray 103, 104 Kant 99
Gregory N. Mandel 19, 76 karir 47, 58, 118
Karl Marx 84

198
INDEKS

kebiasaan 65
Khaitan 61 M
Klaus Schwab 107, 108, 114, 120, martabat 29, 31, 58, 64
123, 132 Max Tegmark 116
komersial 51, 52 Maynard 60
kompetisi 36, 37, 40, 41, 42, 43 mazhab 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15,
konservatif 11 16, 77
konstitusi 134 McCalley 61
konsumen 43, 48, 49, 62, 110, 124, metodologi 2, 3, 4, 5, 10, 15
127, 156, 164, 167, 175, 175, miskin 17, 47
176 Mochtar Kusumaatmadja 22, 23,
kontrak 15, 50, 65, 98, 99, 102, 24, 49, 67, 68, 69, 104, 128
105, 158, 159, 161 monetisasi 149, 151, 152, 153, 154
konvergensi 25, 34, 35, 36, 41, 42, monopoli 41, 42
43, 44, 45, 46, 51, 59, 68, 131, moral 63, 65, 71, 74, 77, 80, 82,
132 87, 88, 92, 99, 102, 132, 135
koperasi 57 Morris R. Cohen 89
korporasi 58, 59, 149, 150, 151, Mubyarto 56, 57
152, 153, 154 multilateral 52
krisis 17, 62
kuasi 42
N
L Nick Bostrom 133
nominalisme 89
landreform 57 norma 4, 56, 64
Lawrence Lessig 145
Laws 81
legal alchemy 95
legal culture 83, 85
O
legal justice 93 onderwerp 66
legal reform 100 order 104
legal structure 83 ortodoks 3, 4
legal substance 83 Otje Salman 22, 68
legal system 19, 77 otomatisasi 47
legal transaction 94
legislasi 19, 35, 43, 58, 59, 63, 130,
160 P
legitimasi 16, 74
lembaga 23, 51, 69, 74, 105, 121, pajak 57
129 Pancasila 23, 68, 69, 77
Leon Green 90 paradoks 19
Lewis Kornhauser 7, 8, 9, 10 pelopor 3, 5, 8
lex mercatoria 33 perempuan 47
Liao 61 perseroan 50
Lili Rasjidi 22, 23, 67, 68 perspektif 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15,
logical positivism 12 34, 47, 60

199
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

petani 57, 119


platform 30, 38, 49, 57, 106, 113, S
123, 124, 125, 148, 152, 153, sains 60
158, 159, 160, 161 Satjipto Rahardjo 106
Plato 19, 80, 81, 92 sejarah 74, 102, 112, 143
politeia 92 sengketa 52
populasi 113, 147 Siddhartha Mukherjee 133
positivisme 85, 90, 102 Siemieniuch 60
potensi 56, 161, 162 Sir Henry Maine 102
pragmatisme 87 Sjachran Basah 105, 106
predictability 28, 29 smartphone 61, 121
privasi 48, 58, 62, 120, 122 Socrates 19
progresif 57, 106 Sofis 92
proses 23, 51, 69, 77, 88, 129, spiritual 50
135, 173 stability 28, 29
publik 4, 6, 39, 51, 52, 108, 119, start-up 155, 156
125, 126 strategi 48, 150
subjek 14, 15, 16
subsidi 48
R Sudikno Mertokusumo 20, 70 , 129
Sunaryati Hartono 1, 17, 31, 106
recht 17
supremasi 58
rechtssfeer 66
reformasi 57
regulasi 36, 40, 41, 42, 43, 44,
46, 58, 59, 63, 130, 146, 158, T
159, 161, 162 T.E. Holland 103
Regulatory Sandbox 163, 166, teori 6, 10, 14, 19, 20, 22, 32, 33,
167, 168, 173, 174 , 175 34, 65, 66, 67, 68, 70, 73, 74,
Republic 81 75, 76, 77, 80, 86, 90, 91, 98,
revolusi 19, 31, 58, 59, 60, 61, 99, 103, 106, 108, 129, 130,
62, 63, 65, 71, 73, 76, 78, 131, 142
100, 106, 107, 108, 109, 113, terpencil 47
114, 116, 117, 118, 119, 120, texts 13
121, 122, 123, 124, 125, 126, Thurman Arnold 89
127, 128, 129, 132, 133, 135, tool 16
136, 138 tradisional 13, 15, 16, 51, 62, 80,
Richard A. Posner 3 127, 152
risiko 8, 48, 162, 163, 164, 165, traktat 65
167, 173, 174 Twitter 114
ritel 115
robot 115, 117, 121, 134
Romli Atmasasmita 23, 69, 70
Roscoe Pound 87
Rudiantara 59, 155, 156, 157

200
INDEKS

U
Uber 135
universal 11, 12, 13, 15, 16, 28,
43, 90
utilitas 100, 102
utopian 139

V
viral 113
virtual 106, 114, 119, 121, 149,
156, 164

W
Walter Nelles 90
WhatsApp 148
White Paper 63
William Paley 102
William Twining 28, 31, 90
Wimboh Santoso 173

Y
yudisial 93, 103
yuridis 91
yurisdiksi 52, 106, 149, 160
yurisprudensi 131, 161
Yuval Harari 135, 138

201
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

202
LAMPIRAN

Lampiran

203
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

204
LAMPIRAN

205
206

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA


Sumber:
https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/fueling-growth-
through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712
LAMPIRAN
Sumber:
207

https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-analytics/our-insights/
fueling-growth-through-data-monetization?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1712
208

HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA


Sumber:
https://kominfo.go.id/content/detail/9420/menkominfo-fintech-menjadi-model-bisnis-baru-bagi-perbankan-
indonesia/0/berita_satker
LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu


proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa
tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi
di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat infor-
masi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya
pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan
Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga
pembangunan Teknologi Informasi dapat dilaku-
kan secara optimal, merata, dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan
kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi
Informasi yang demikian pesat telah menyebab-
kan perubahan kegiatan kehidupan manusia
dalam berbagai bidang yang secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk per-
buatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi harus terus dikembangkan untuk men-
jaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan
dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan demi kepentingan nasional;

209
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan


penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kese-
jahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengem-
bangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan
Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk
mencegah penyalahgunaannya dengan memper-
hatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya
masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN


TRANSAKSI ELEKTRONIK.

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

210
LAMPIRAN

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan


dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau
media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menga-
nalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenis-
nya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenis-
nya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengu-
mumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem
Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,
dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elek-
tronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik
yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu
Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diseleng-
garakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang
berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberi-
kan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.

211
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen


yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan
mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai
alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau
terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau
kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elek-
tronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat diguna-
kan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode
atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan
lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indone-
sia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk
oleh Presiden.

212
LAMPIRAN

Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,
baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-
hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi.

Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksana-
kan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masya-
rakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang
untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang peng-
gunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal
mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi
pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

213
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan
dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Infor-
masi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada
padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim
dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem
Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah
memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali
Pengirim.

214
LAMPIRAN

(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi


Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik
tertentu untuk menerima Informasi Elektronik, penerimaan
terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki Sistem Elektronik yang ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang
digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi
pertama yang berada di luar kendali Pengirim;
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi tera-
khir yang berada di bawah kendali Penerima.

Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elek-
tronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar ber-
kaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elek-
tronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Kean-
dalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya
kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa
Penanda Tangan;

215
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang


terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi
siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda
Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi
Elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan
Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati- hatian
untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap
data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, meng-
gunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatut-
nya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang
oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan
Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda
Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat
menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat
bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan

216
LAMPIRAN

d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung


Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memas-
tikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait
dengan Sertifikat Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala
kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK
DAN SISTEM ELEKTRONIK

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Serti-
fikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keter-
kaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum
Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di
Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus menyediakan
informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa,
yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan;

217
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat


Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan
dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.

Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyeleng-
garakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertang-
gung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik
sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesa-
lahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.

Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri,
setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan
Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum seba-
gai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi
yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami
oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur
atau petunjuk.

218
LAMPIRAN

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elek-


tronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam
lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elek-
tronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi
Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada
asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Inter-
nasional.

219
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus meng-
gunakan Sistem Elektronik yang disepakati.

Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim
telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik.

Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik
sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui
Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelak-
sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para
pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal berope-
rasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara
langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal ber-
operasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna
jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,

220
LAMPIRAN

kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem


Elektronik.

Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur
pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memung-
kinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih
dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN
PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip
pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak
melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak
melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masya-
rakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara
tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pemba-
talan Nama Domain dimaksud.

Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masya-
rakat.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh
masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih sementara
pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indone-
sia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui kebera-
daannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan.

221
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun
menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang
ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual ber-
dasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang- undangan,
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas per-
setujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang
ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memi-
liki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

222
LAMPIRAN

Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).

Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi an-
caman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik
Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau
menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari,
ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan peru-

223
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,


penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan
hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-
undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi seba-
gaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengu-
rangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memin-
dahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada
Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meng-
akibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya
Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi
tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan,
mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang diran-
cang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi

224
LAMPIRAN

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai


dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis
dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi
dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak
pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian,
pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elek-
tronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilang-
an, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Or-
ang lain.

Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada
di wilayah yurisdiksi Indonesia.

BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terha-
dap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan

225
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-


undangan.

Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki
data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya
serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepen-
tingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai
dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Tekno-
logi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.

226
LAMPIRAN

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masya-
rakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki
fungsi konsultasi dan mediasi.

BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Peja-
bat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus seba-
gai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elek-
tronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan,
kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik
yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas
izin ketua pengadilan negeri setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeli-
haranya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini;

227
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar


dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan
dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait
dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau kete-
rangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan keten-
tuan Undang-Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan
Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasar-
kan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang
berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang
diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan
atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digu-
nakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan
terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berda-
sarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum
acara pidana yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik
melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua penga-
dilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat
jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan
penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.

228
LAMPIRAN

Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-
undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

229
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara pal-
ing lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama

230
LAMPIRAN

12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak


Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual ter-
hadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk
layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah
sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk
dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral,
perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas pener-
bangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana
dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan
pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

231
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 2008 NOMOR 58

232
LAMPIRAN

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah
mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia
secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas
(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan
budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi
Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan,
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan
melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan
hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law,
secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian
pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konver-
gensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.
Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi
(law of information technology), hukum dunia maya (virtual world
law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat
kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem
komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan
memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang
merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Perma-
salahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elek-
tronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer
dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan
perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan teleko-
munikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak

233
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

atau program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan


dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang
apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan
fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk
persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan kebera-
daan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi
yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang
berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan
mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem
informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwu-
judan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk
organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan
pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya.
Pada sisi yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional
adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup
komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya
manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya men-
cakup fungsi input, process, output, storage, dan communication.
Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak
lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi
persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus
pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan
kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi
dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun
dan dari mana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi
maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi,
misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di
Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat
penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terako-
modasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif,
melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsu-
kan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan
detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa
demikian kompleks dan rumit.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan
karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui

234
LAMPIRAN

sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari


perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan infor-
matika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring
dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi infor-
masi, media, dan komunikasi.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang
siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan
sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis
kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan
kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditem-
puh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan
hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang
berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen
elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang
dibuat di atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan
kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media,
dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena
itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space,
yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial,
budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam
penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat
mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan
teknologi informasi menjadi tidak optimal.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-
mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/
atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku

235
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum


(yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan
hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, meng-
ingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elek-
tronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial
atau universal.
Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia”
adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepen-
tingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat
dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedau-
latan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.

Pasal 3
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi peman-
faatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala
sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat-
kan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung
proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersang-
kutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi
mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak
lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik.
“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak
dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk
secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengaki-
batkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak
lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti
asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga
dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.

Pasal 4
Cukup jelas.

236
LAMPIRAN

Pasal 5
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang
digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.

Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau
dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada
hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke
dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam ling-
kup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya
tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik
pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang
mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi
dari salinannya.

Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan
timbulnya suatu hak.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar”
meliputi:

237
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum


dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok,
penyelenggara maupun perantara;
b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi
syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau
jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi
barang/jasa.

Pasal 10
Ayat (1)
Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa
pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elek-
tronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit
dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi
Keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi
berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas
bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda
Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan
tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuat-
an hukum dan akibat hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupa-
kan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap
Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesem-
patan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengem-
bangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda
Tangan Elektronik.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur
tentang teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda
Tangan Elektronik.

238
LAMPIRAN

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah infor-
masi yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara
Tanda Tangan Elektronik.

Pasal 15
Ayat (1)
“Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
“Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik
dan nonfisik.
“Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik
memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya.
Ayat (2)
“Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang
bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap peman-
faatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara
baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar
dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masya-
rakat.

239
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kon-
trak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik
dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai
hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.
Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat
dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan
penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata
internasional (HPI).
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang
berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata inter-
nasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku
pada kontrak tersebut.
Ayat (4)
Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak inter-
nasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah
forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat
berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya.
Ayat (5)
Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewe-
nangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum
perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas
tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efek-
tivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat
berada (principle of effectiveness).

Pasal 19
Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga
mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem
Elektronik yang bersangkutan.

240
LAMPIRAN

Pasal 20
Ayat (1)
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara
para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data,
identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification
number/PIN) atau sandi lewat (password).
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini
sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang membe-
rikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk
melakukan perubahan atas informasi yang disampaikannya,
misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi
ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama
(first come first serve).

241
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam


Nama Domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual
karena tidak diperlukan pemeriksaan substantif, seperti
pemeriksaan dalam pendaftaran merek dan paten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “melanggar hak Orang lain”, misal-
nya melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar,
nama Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada
intinya merugikan Orang lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Nama Domain secara
tanpa hak” adalah pendaftaran dan penggunaan Nama
Domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi
atau menghambat Orang lain untuk menggunakan nama
yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama
produknya, atau untuk mendompleng reputasi Orang yang
sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan
konsumen.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun
dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten,
merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib
dilindungi oleh Undang-Undang ini dengan memperhatikan
ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data
pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (pri-
vacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai
berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan
pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat
berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan

242
LAMPIRAN

memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimak-
sud pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain dengan:
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan
atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut
kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya;
atau
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak
dapat atau gagal diterima oleh yang berwenang mene-
rimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
Ayat (3)
Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses
Komputer atau melarang akses ke dalam Komputer dengan
berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta
tingkatan kewenangan yang ditentukan.

Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah

243
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,


mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Infor-
masi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi
maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis
atau radio frekuensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah pene-
litian yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang
memiliki izin.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

244
LAMPIRAN

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat” merupakan lembaga yang bergerak di bidang
teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f

245
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang
memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

246
LAMPIRAN

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap per-
buatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang
dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh
pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk:
a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi;
c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam
korporasi;
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 4843

247
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

248
LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 19 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghor-


matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan per-
timbangan keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat yang demokratis perlu dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik agar terwujud keadilan, ketertiban
umum, dan kepastian hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),
Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2),
dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,

249
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 4843).

Dengan Persetujuan Bersama:


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka,
yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data in-
terchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), tele-
gram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilaku-
kan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengum-
pulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengu-
mumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.

250
LAMPIRAN

4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik


yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disim-
pan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,
atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, terma-
suk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu mema-
haminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan pro-
sedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengum-
pulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampil-
kan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebar-
kan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan
Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang,
penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan
Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk
keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem
Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem
Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan
terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis
yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elek-
tronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas
yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam
Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum
yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang
memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.

251
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen


yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit
dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri
atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau
terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan
atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi
logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya
atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk
dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik
untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara In-
donesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau
perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang
ditunjuk oleh Presiden.”

252
LAMPIRAN

2. Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1)


dan ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang
ini.
3. Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik
yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan
atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan
Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan.
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan
mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan
pemerintah.”

4. Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat


(1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi
sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal
Undang-Undang ini.
5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31 diubah sehingga Pasal
31 berbunyi sebagai berikut:

253
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

“Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elek-
tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebab-
kan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau peng-
hentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewe-
nangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-
undang.”

6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah;
serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40
berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elek-
tronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban
umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

254
LAMPIRAN

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan


dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemu-
tusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara
Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses
terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memi-
liki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data
tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) mem-
buat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya
sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimili-
kinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat
(2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.”

7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan
ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat
(1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Peme-
rintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewe-
nang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.

255
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi


Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau
keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elek-
tronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau
Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana
yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu
yang diduga digunakan sebagai tempat untuk
melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik;

256
LAMPIRAN

g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat


dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang
diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan
peraturan perundang-undangan;
h. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang
terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;
i. meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem
Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem
Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik
yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyi-
dikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau
k. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja
sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi
dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”

257
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

8. Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara Pasal 45 dan Pasal 46


disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 45
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendis-
tribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/
atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
delik aduan.

258
LAMPIRAN

Pasal 45A
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menye-
barkan berita bohong dan menyesatkan yang mengaki-
batkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelom-
pok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 45B
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).”

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-


dangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

259
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 25 November 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 25 November 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 2016 NOMOR 251

260
LAMPIRAN

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. UMUM
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan
berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan
dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan keter-
tiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk
legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang
meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya,
perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa
kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor
5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/
2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan

261
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum,


melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan
dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/
2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan
kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena
di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi
lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan
(regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan
diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah
berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas
hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi
hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya
dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan
pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk
mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap
intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka
penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar
putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak
terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna
atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU
ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elek-
tronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu
dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penang-
kapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan
permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku
dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti
kejahatan.

262
LAMPIRAN

Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan


konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan
atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman,
penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan
menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama,
ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-
nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan,
ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari
mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan
peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal
dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia
serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi
yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepen-
tingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau
Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu,
dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan
mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan
Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan
kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan
kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan
Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara
intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah

263
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan


Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan
mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal
43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang
diatur di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Doku-
men Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti
yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang
berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan
melalui Sistem Elektronik.
Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau
perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan
harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
Ayat (3)
Cukup jelas.

264
LAMPIRAN

Ayat (4)
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang
digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan
data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi
(privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian
sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati
kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam
gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat
berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan
memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

265
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Angka 4
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah
mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau
berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui
Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah
semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan men-
transmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebab-
kan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dapat diketahui pihak lain atau publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pence-
maran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ayat (4)
Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan peme-
rasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Angka 5
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan”
adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, mem-
belokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elek-
tronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,
seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

266
LAMPIRAN

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 40
Ayat (1)
Fasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi, termasuk tata
kelola Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang
aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif.
Ketentuan ini termasuk memfasilitasi masyarakat luas,
instansi pemerintah, dan pelaku usaha dalam
mengembangkan produk dan jasa Teknologi Informasi
dan komunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu” adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil kemen-
terian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

267
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

bidang komunikasi dan informatika yang telah memenuhi


persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang
memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi
Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya
tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

268
LAMPIRAN

Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Angka 8
Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 45A
Cukup jelas.

Pasal 45B
Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perun-
dungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung
unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengaki-
batkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5952

269
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

270
LAMPIRAN

PERATURAN BANK INDONESIA


NOMOR 19/12/PBI/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem infor-


masi terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya
yang berkaitan dengan teknologi finansial untuk
memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat ter-
masuk akses terhadap layanan finansial dan pemro-
sesan transaksi;
b. bahwa perkembangan teknologi finansial di satu
sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen,
pelaku usaha maupun perekonomian nasional,
namun di sisi lain memiliki potensi risiko yang
apabila tidak dimitigasi secara baik dapat meng-
ganggu sistem keuangan;
c. bahwa ekosistem teknologi finansial perlu terus
dimonitor dan dikembangkan untuk mendukung
terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien,
lancar, aman, dan andal untuk mendukung pertum-
buhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan
inklusif;
d. bahwa penyelenggaraan teknologi finansial harus
menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian dengan tetap
memperhatikan perluasan akses, kepentingan

271
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

nasional, serta standar dan praktik internasional


yang berlaku;
e. bahwa respons kebijakan Bank Indonesia terhadap
perkembangan teknologi finansial harus tetap sin-
kron, harmonis, dan terintegrasi dengan kebijakan
Bank Indonesia lainnya seperti penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran dan gerbang
pembayaran nasional (national payment gateway)
serta perlu dikoordinasikan dengan otoritas terkait;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia ten-
tang Penyelenggaraan Teknologi Finansial;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang


Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) seba-
gaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In-
donesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5952);

272
LAMPIRAN

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang


Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5204);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indone-
sia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang
aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial
untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-

273
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem


keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan
andal.

Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
a. sistem pembayaran;
b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e. jasa finansial lainnya.
(2) Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kriteria:
a. bersifat inovatif;
b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis finansial yang telah eksis;
c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
d. dapat digunakan secara luas; dan
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Teknologi Finansial
mencakup:
a. pendaftaran;
b. Regulatory Sandbox;
c. perizinan dan persetujuan; dan
d. pemantauan dan pengawasan.

BAB III
PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Kewajiban Melakukan Pendaftaran
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang akan atau telah melaku-
kan kegiatan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) wajib melakukan pendaftaran pada Bank
Indonesia.

274
LAMPIRAN

(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikecualikan bagi:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mem-
peroleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau
b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan otoritas lain.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a tetap harus menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia mengenai produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis baru yang memenuhi kriteria Teknologi
Finansial.
(4) Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan otoritas lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b yang menyelenggarakan Teknologi Finansial di bidang
sistem pembayaran wajib melakukan pendaftaran kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 6
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial
tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia.

Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 7
(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dilakukan dengan menyampaikan permohonan tertulis kepada
Bank Indonesia oleh pihak yang berwenang mewakili Penye-
lenggara Teknologi Finansial.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dokumen berupa:
a. salinan akta pendirian badan hukum atau badan usaha;
b. data kepemilikan pada badan hukum atau badan usaha;
c. daftar susunan pengurus;

275
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

d. gambaran umum perusahaan;


e. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk, layanan,
teknologi yang disediakan, dan/atau model bisnis yang telah
berjalan dan/atau akan dikembangkan yang memenuhi
kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2); dan
f. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan
Teknologi Finansial.
(3) Bank Indonesia melaksanakan pendaftaran Penyelenggara
Teknologi Finansial dengan mempertimbangkan kelengkapan
dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) serta dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 8
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia wajib:
a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai dengan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
dijalankan;
b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen
termasuk data dan/atau informasi transaksi;
c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehatihatian;
d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai mata uang;
e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan
f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-
lenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan
sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.

276
LAMPIRAN

(3) Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan surat


pernyataan kepatuhan atas kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu pal-
ing lama 3 (tiga) bulan sejak Penyelenggara Teknologi Finansial
terdaftar di Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip manajemen risiko dan
kehati-hatian diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 9
(1) Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) pada laman resmi Bank Indo-
nesia secara berkala.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 10
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial dan
tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial.

BAB IV
REGULATORY SANDBOX
Pasal 11
(1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi Finansial
untuk memastikan lebih lanjut bahwa produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya telah memenuhi kriteria
Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2), Bank Indonesia menyelenggarakan Regulatory Sandbox.
(2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat ditetapkan
masuk dalam Regulatory Sandbox harus merupakan Penyeleng-
gara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indone-

277
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau telah


menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

Pasal 12
(1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penye-
lenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam
Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba
Penyelenggara Teknologi Finansial berupa:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem
pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang
memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori
sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial
dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta meng-
gunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan.
(5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis-
nya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pemba-
yaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji
coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada otoritas yang berwenang.

Pasal 13
(1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank Indo-
nesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi Penyelenggara
Teknologi Finansial.

278
LAMPIRAN

(2) Penetapan kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

BAB V
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN
Pasal 15
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori Penye-
lenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh izin dari
Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran, harus memenuhi aspek
kelayakan.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang
merupakan:
a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
b. pengembangan produk dan/atau aktivitas jasa sistem pem-
bayaran, namun tidak memenuhi kriteria Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), sebelum
melanjutkan pemasaran produk dan/atau layanan serta meng-
gunakan teknologi dan/atau model bisnisnya, harus terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

279
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB VI
PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penye-
lenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indo-
nesia.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang
diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan tata cara
penyampaian data dan/atau informasi diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.

Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyeleng-
gara Teknologi Finansial berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pem-
bayaran yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan dari
Bank Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur menge-
nai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

BAB VII
KERJA SAMA PENYELENGGARA JASA SISTEM
PEMBAYARAN DENGAN PENYELENGGARA
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 18
(1) Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus terlebih dahulu mem-
peroleh persetujuan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja sama
dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak melaku-
kan pendaftaran dan/atau perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2).

280
LAMPIRAN

BAB VIII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Pasal 19
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indo-
nesia berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan:
a. otoritas lain di dalam negeri; dan/atau
b. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau
lembaga internasional.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pertukaran data dan informasi terkait kelembagaan,
transaksi, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
b. pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang terkait
dengan Teknologi Finansial; dan/atau
c. hal lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia dan
otoritas lain.

BAB IX
SANKSI
Pasal 20
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal
5 ayat (4) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan usaha;
c. tindakan tertentu terkait penyelenggaraan kegiatan sistem
pembayaran; dan/atau
d. rekomendasi kepada otoritas yang berwenang untuk men-
cabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwe-
nang dimaksud.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat
(2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), dan/
atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penghapusan dari daftar Penyelenggara Teknologi Finansial
di Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-
tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26

281
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dikenakan sanksi administratif berupa:


a. teguran tertulis;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa
sistem pembayaran; dan/atau
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.

Pasal 21
Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) merupakan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20
ayat (2) juga dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.

Pasal 22
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar keten-
tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26, selain
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (3) juga dapat dikenakan sanksi berupa perintah untuk
menghentikan kerja samanya.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau reko-
mendasi kepada otoritas yang berwenang dalam hal Penyelenggara
Teknologi Finansial melanggar Peraturan Bank Indonesia ini atau
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan untuk penye-
lenggaraan Teknologi Finansial.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-
lenggaraan Teknologi Finansial; dan/atau

282
LAMPIRAN

b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk


mendukung perekonomian nasional.

Pasal 25
Pelaksanaan tugas di Bank Indonesia terkait penyelenggaraan
Teknologi Finansial dilakukan oleh unit kerja yang melaksanakan
fungsi pengelolaan Teknologi Finansial.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan
identifikasi adanya kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi
Finansial; dan
b. dalam hal terdapat kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang belum terdaftar, Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib memastikan kerja sama tersebut memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lama
6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) bulan terhitung
sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.

Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-


dangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

283
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2017

GUBERNUR BANK INDONESIA,

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI ANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017


NOMOR 245

284
LAMPIRAN

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/ 12 /PBI/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL

I. UMUM
Inovasi teknologi dan penetrasinya dengan fitur finansial terus
berlangsung dan menandai munculnya momentum transformasi di
dunia finansial. Era digitalisasi ekonomi memicu penggunaan tekno-
logi internet, telepon pintar, dan big data hingga ke level konsumen
akhir secara lebih efisien, baik dari segi waktu, akses, maupun biaya.
Dalam konteks tersebut, arus digitalisasi ekonomi termasuk di dalam-
nya Teknologi Finansial memiliki potensi yang besar untuk mendorong
alokasi sumber daya ekonomi secara lebih efisien dan pada gilirannya
mendorong peningkatan produktivitas serta memberikan manfaat
yang lebih besar bagi masyarakat.
Di sisi lain, peleburan inovasi teknologi dengan fitur finansial
juga membawa risiko tersendiri. Fungsi konvensional cenderung
tereduksi perannya bahkan seringkali tergusur oleh fungsi baru yang
diperkenalkan oleh inovasi teknologi yang cenderung bersifat
mengganggu (disruptive).
Pemain baru bermunculan karena berkurangnya halangan untuk
masuk (barriers to entry) di industri keuangan. Pemain baru ini umum-
nya menjangkau segmen masyarakat dan/atau dunia usaha yang
rata-rata tidak atau belum tersentuh oleh sektor keuangan formal,
baik yang disebabkan oleh keterbatasan kapasitas jangkauan sektor
keuangan formal maupun belum atau tidak memenuhi kriteria mana-
jemen risiko yang dipersyaratkan secara baku oleh sektor keuangan
formal.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna pelaksanaan tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter,
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem
keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan melak-
sanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia
perlu menetapkan pengaturan, pengawasan, dan pemantauan terha-
dap penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pengaturan, pengawasan,

285
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dan pemantauan ini penting agar penyelenggaraan Teknologi


Finansial dimonitor dan diarahkan dengan baik sehingga manfaat
dari Teknologi Finansial dapat lebih dinikmati oleh masyarakat dan
berbagai risiko termasuk potensi muncul dan berkembangnya
transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow economy) dapat
termitigasi dengan baik. Selain itu, pengaturan dan pengawasan ini
penting untuk terus mendorong pengembangan ekosistem Teknologi
Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Seiring dengan semakin diadopsinya Teknologi Finansial oleh
masyarakat, menjadi krusial bagi Bank Indonesia untuk mewajibkan
Penyelenggara Teknologi Finansial tetap menerapkan prinsip perlin-
dungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penye-
lesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh
penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
sistem pembayaran antara lain penggunaan teknologi
blockchain atau distributed ledger untuk penyeleng-
garaan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik,
dan mobile payments.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah
Teknologi Finansial yang menggunakan teknologi
informasi dan/atau teknologi elektronik untuk mem-
fasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan lebih
murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa
keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan

286
LAMPIRAN

Teknologi Finansial pada kategori pendukung pasar (mar-


ket support) antara lain penyediaan data perbandingan
informasi produk atau layanan jasa keuangan.
Huruf c
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada
kategori manajemen investasi dan manajemen risiko
antara lain penyediaan produk investasi online dan
asuransi online.
Huruf d
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada
kategori pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau
funding), dan penyediaan modal (capital raising) antara
lain layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (peer-to-peer lending) serta pembiayaan atau
penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-
funding).
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah
Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran,
pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen
risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan
modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Dalam melakukan pendaftaran, Bank Indonesia memper-
hatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kegiatan usaha Penyelenggara Teknologi Finansial.
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
antara lain ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending).
Pendaftaran dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan
Teknologi Finansial dapat dipantau oleh Bank Indonesia

287
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

untuk pelaksanaan tugas di bidang moneter, stabilitas sistem


keuangan, dan sistem pembayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada
di bawah kewenangan otoritas lain yaitu penyelenggara
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (peer-topeer lending).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi
Finansial antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk salinan akta pendirian badan hukum yaitu
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang dan perubahannya apabila ada.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

288
LAMPIRAN

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh data dan informasi lainnya antara lain fotokopi
bukti pendaftaran dan/atau perizinan dari otoritas
pengawas, sebaran wilayah terkait transaksi dan
pengguna, potensi bisnis, volume dan nilai transaksi,
peluang pasar, serta target pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip perlin-
dungan konsumen” adalah Penyelenggara Teknologi
Finansial menerapkan prinsip sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen.
Huruf b
Menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen
termasuk data dan/atau informasi transaksi antara lain
dilakukan dengan mengelola dan menatausahakan doku-
men transaksi dan/atau konsumen secara baik dan tertib
serta tidak memberikan data dan/atau informasi transaksi
dan/atau konsumen kepada pihak lain kecuali atas
persetujuan tertulis dari konsumen atau diwajibkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip manajemen
risiko” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial telah
melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian atas risiko yang mungkin timbul dalam
kegiatan usahanya.

289
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur menge-
nai prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pen-
danaan terorisme termasuk peraturan yang dikeluarkan
oleh lembaga pengawas dan pengatur yang terkait
dengan kegiatan usaha dan/atau keberadaan dari
Penyelenggara Teknologi Finansial yang bersangkutan.
Huruf f
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
antara lain peraturan mengenai pendirian badan hukum
serta penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digi-
tal yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang
diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer
pemberian (reward).
Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan
menggunakan virtual currency karena virtual currency
bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain
kewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran,
perizinan, atau persetujuan kepada otoritas terkait.
Tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial
termasuk kewajiban menerapkan prinsip perlindungan kon-

290
LAMPIRAN

sumen, manajemen risiko, kehati-hatian, dan hubungan hukum


antara Penyelenggara Teknologi Finansial dengan pengguna
jasa dan/atau pihak lainnya.

Pasal 11
Ayat (1)
Implementasi Regulatory Sandbox merupakan salah satu
upaya Bank Indonesia untuk terus mendorong inovasi
Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlin-
dungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh status lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara
lain apabila pada saat dan/atau setelah diujicobakan,
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis bukan
termasuk kategori sistem pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyampaian kepada otoritas yang berwenang dimaksudkan
agar ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang termasuk
Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran.

291
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 13
Ayat (1)
Kebijakan tertentu antara lain pembatasan tertentu seperti
batasan wilayah, jumlah pengguna dan/atau jangka waktu
tertentu, dan/atau kemudahan untuk menyelenggarakan
kegiatan Teknologi Finansial selama proses uji coba melalui
Regulatory Sandbox.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cakupan aspek kelayakan meliputi:
a. legalitas dan profil perusahaan;
b. hukum;
c. kesiapan operasional;
d. keamanan dan keandalan sistem;
e. kelayakan bisnis;
f. kecukupan manajemen risiko; dan
g. perlindungan konsumen.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Pemantauan dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya
potensi dampak negatif dari perkembangan Teknologi
Finansial yang terlalu ekspansif terhadap pelaksanaan kebi-
jakan moneter, kebijakan stabilitas sistem keuangan ter-
masuk makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran
untuk tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar,
aman, dan andal.

292
LAMPIRAN

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Guna memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan
informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial kepada
Bank Indonesia
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Koordinasi dan/atau kerja sama dengan otoritas di negara
lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga
internasional dilakukan dengan memperhatikan prinsip
seperti kepentingan nasional, resiprokalitas, serta keraha-
siaan data dan/atau informasi.
Ayat (2)
Huruf a
Data dan informasi termasuk data dan informasi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar
dan/atau diberikan izin oleh otoritas lain di dalam negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

293
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha
dilakukan oleh Bank Indonesia atau bekerja sama dengan
otoritas/pihak yang berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain
larangan untuk mengajukan permohonan izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Kebijakan penyelenggaraan Teknologi Finansial ditujukan
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan Bank Indonesia dengan ruang lingkup
antara lain aspek kelembagaan dan kepemilikan Penye-
lenggara Teknologi Finansial serta penggunaan inovasi
teknologi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.

294
LAMPIRAN

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 61

295
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

296
LAMPIRAN

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR


NOMOR 19/14/PADG/2017
TENTANG
RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)
TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan inovasi


pada kegiatan yang menggunakan teknologi finan-
sial perlu diberikan ruang uji coba terbatas bagi
penyelenggara teknologi finansial beserta produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya;
b. bahwa ruang uji coba terbatas sebagaimana
dimaksud dalam huruf a harus tetap menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-
tapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory
Sandbox) Teknologi Finansial;

Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016


tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi
Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indone-
sia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5945);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017
tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017

297
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 6142);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
TENTANG RUANG
UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI
FINANSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang
aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
5. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan
ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-
struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.

BAB II
RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 2
Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
a. sistem pembayaran;

298
LAMPIRAN

b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e. jasa finansial lainnya.

BAB III
TATA CARA PENETAPAN
UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pertimbangan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial telah terdaftar di Bank
Indonesia;
b. Teknologi Finansial yang diselenggarakan mengandung
unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pemba-
yaran;
c. Teknologi Finansial mengandung unsur Inovasi;
d. Teknologi Finansial bermanfaat atau dapat memberi man-
faat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
e. Teknologi Finansial bersifat noneksklusif;
f. Teknologi Finansial dapat digunakan secara massal;
g. Teknologi Finansial telah dilengkapi dengan identifikasi
dan mitigasi risiko; dan
h. hal lain yang dianggap penting oleh Bank Indonesia.

Pasal 4
(1) Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih leng-
kap dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus:
a. melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling sedikit
mengenai model bisnis dan manajemen risiko; dan
b. menyampaikan dokumen secara lengkap kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia menginformasikan mengenai pelaksanaan
presentasi melalui surat elektronik dan penyampaian dokumen
melalui surat kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.

299
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disam-


paikan secara daring (online) melalui laman Bank Indonesia.
(4) Dalam hal sarana daring (online) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum dapat digunakan, penyampaian kelengkapan
dokumen dilakukan melalui surat kepada Bank Indonesia.

Pasal 5
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
b paling sedikit mengenai:
a. data dan informasi tentang profil Penyelenggara Teknologi
Finansial dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini;
b. data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit memuat:
1. unsur Inovasi dalam produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis yang akan diuji coba;
2. manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
3. kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan
perlindungan konsumen;
4. penjelasan bahwa kegiatan usaha bersifat noneksklusif;
5. hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi risiko
yang telah atau akan dilakukan;
6. hal spesifik yang dimintakan uji coba (jika ada); dan
7. rencana yang akan dilakukan setelah uji coba dalam
Regulatory Sandbox; dan
c. informasi pihak yang ditunjuk untuk mewakili Penyeleng-
gara Teknologi Finansial beserta alamat surat elektronik
yang akan digunakan untuk berkorespondensi dengan Bank
Indonesia.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b dibuktikan dengan dokumen sesuai dengan jenis
dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubenur ini.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Penye-
lenggara Teknologi Finansial untuk menyampaikan dokumen tam-
bahan selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

300
LAMPIRAN

Pasal 6
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kese-
suaian, dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat dokumen yang tidak lengkap,
tidak sesuai, dan/atau tidak benar, Bank Indonesia meminta
Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak tanggal permintaan dari Bank Indonesia.
(3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan melalui surat elektronik.

Pasal 7
(1) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial telah melakukan
presentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a dan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) dinyatakan lengkap, sesuai, dan benar, Bank
Indonesia memberi penetapan Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui surat.

BAB IV
PROSES UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 8
(1) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox menerapkan prinsip:
a. criteria-based process;
b. transparansi;
c. proporsionalitas;
d. keadilan (fairness);
e. kesetaraan (equal treatment); dan
f. forward looking.
(2) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan
proses perizinan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

301
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 9
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh
penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus
menyampaikan usulan skenario uji coba produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
penetapan.
(2) Usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan
diuji coba;
b. jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji coba;
c. target yang akan dicapai;
d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan batasan
lainnya; dan
e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam Regu-
latory Sandbox, yang memuat paling sedikit laporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial harus tetap memperhatikan
ketentuan peraturan perundangundangan dalam menyusun
usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang
disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(2) Dalam hal Bank Indonesia menilai usulan skenario yang disam-
paikan masih memerlukan perbaikan, Penyelenggara Teknologi
Finansial harus menyampaikan usulan skenario yang telah
diperbaiki dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak tanggal permintaan perbaikan dari Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang
telah diperbaiki dan disampaikan Penyelenggara Teknologi
Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila Penyelenggara Teknologi Finansial tidak menyampai-
kan perbaikan usulan skenario sampai dengan jangka waktu

302
LAMPIRAN

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Penyelenggara


Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diujicobakan dalam
Regulatory Sandbox.
(5) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario yang diaju-
kan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus
menyatakan kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang
telah disetujui dengan menandatangani surat pernyataan seba-
gaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Bank Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan kepada
Penyelenggara Teknologi Finasial melalui surat setelah Penye-
lenggara Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan menjalan-
kan skenario uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 11
(1) Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Bank
Indonesia atas skenario uji coba produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (6).
(2) Dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu pal-
ing lama 6 (enam) bulan.
(3) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Penyelenggara Teknologi Finansial menginformasikan alasan
dan jangka waktu perpanjangan yang dibutuhkan.
(5) Bank Indonesia menyampaikan jawaban kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial atas pengajuan perpanjangan yang disam-
paikan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

303
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 12
Penyelenggara Teknologi Finansial hanya dapat menyeleng-
garakan uji coba dalam Regulatory Sandbox sesuai skenario seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6).

Pasal 13
Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox, Penye-
lenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai berikut:
a. memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara
reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia; dan
c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14
Penyelenggara Teknologi Finansial bertanggung jawab atas hal
sebagai berikut:
a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang
disampaikan kepada Bank Indonesia untuk uji coba dalam Regu-
latory Sandbox;
b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menja-
lankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
diuji coba dalam Regulatory Sandbox;
c. perlindungan data dan informasi serta dana konsumen dalam
penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan
d. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penyelenggara Tekno-
logi Finansial kepada konsumen dan/atau pihak lain yang
terkait, baik selama maupun setelah proses uji coba dalam Regu-
latory Sandbox.

Pasal 15
Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama
pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar untuk
menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial.

304
LAMPIRAN

BAB V
HASIL UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regu-
latory Sandbox berdasarkan hasil penilaian atas seluruh
rangkaian kegiatan selama pelaksanaan uji coba.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara Tekno-
logi Finansial;
b. penerapan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian; dan
c. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam
Regulatory Sandbox yaitu:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan status hasil uji
coba dalam Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial.
(2) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dan produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori
sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial
dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu menga-
jukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penye-
lenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan sta-
tus hasil uji coba berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan ketentuan mengenai penyampaian surat
penetapan status hasil uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penyelenggara Teknologi Finansial dapat menyampaikan

305
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai ketentuan Bank


Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia sebelum Bank In-
donesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sand-
box sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
(4) Dalam hal permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) telah diterima oleh Bank Indonesia,
Penyelenggara Teknologi Finansial dapat memasarkan produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya sesuai dengan
skenario uji coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
sampai dengan Bank Indonesia memberikan keputusan atas
permohonan izin dan/atau persetujuan yang telah disampaikan.
(5) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau
layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis
yang diujicobakan.
(6) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis-
nya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pemba-
yaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji
coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) kepada otoritas yang berwenang.

BAB VI
KEWAJIBAN IZIN SEBAGAI
PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN
Pasal 18
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori seba-
gai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh
izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indo-
nesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(2) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lainnya, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut
harus:

306
LAMPIRAN

a. berbentuk perseroan terbatas; dan


b. memenuhi aspek kelayakan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Tata cara memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu untuk
penetapan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; dan/
atau
c. skenario uji coba, yang akan diujicobakan dalam Regula-
tory Sandbox.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penye-
lenggaraan Teknologi Finansial; dan
b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk men-
dukung perekonomian nasional.

Pasal 20
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait
pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran
c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat
di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai
4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indo-
nesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media
lainnya.

307
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan


Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,

Ttd

SUGENG

308
LAMPIRAN

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/14/PADG/2017
TENTANG
RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)
TEKNOLOGI FINANSIAL

I. UMUM
Bahwa perkembangan dan inovasi pada industri teknologi
keuangan perlu dimitigasi secara tepat dan memadai agar membe-
rikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian. Sehubungan
dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menciptakan rezim penga-
turan yang tepat agar mampu mendorong laju inovasi yang dilakukan
oleh Penyelenggara Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-
hatian.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu
dengan menerbitkan ketentuan mengenai ruang uji coba terbatas
(regulatory sandbox) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya dalam suatu
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyele-
saian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh penye-
lenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem pemba-
yaran antara lain penggunaan QR code, teknologi block-
chain, atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer
dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile pay-
ments.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah Teknologi

309
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau


teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian infor-
masi yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk
dan/atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat.
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan
data perbandingan informasi produk atau layanan jasa
keuangan.
Huruf c
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain
penyediaan produk investasi online dan asuransi online.
Huruf d
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding),
dan penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-
to-peer lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana
berbasis teknologi informasi (crowd-funding).
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah
Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran,
pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen
risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen
antara lain lebih murah, lebih mudah, dan/atau lebih

310
LAMPIRAN

cepat, sedangkan bermanfaat atau dapat memberi


manfaat bagi perekonomian misalnya membuka
lapangan kerja baru, memperlancar transaksi ekonomi,
dan/atau membawa efisiensi dalam transaksi ekonomi.
Huruf e
Bersifat noneksklusif dimaksudkan agar Penyelenggara
Teknologi Finansial terbuka terhadap kebijakan Bank In-
donesia terkait interkoneksi dan interoperabilitas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Hal lain yang dianggap penting antara lain rekam jejak
Penyelenggara Teknologi Finansial dalam proses uji coba
Regulatory Sandbox yang pernah diikuti, kepentingan
nasional, standar dan praktik internasional, kondisi ekosis-
tem teknologi finansial, dan optimalisasi interoperabilitas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

311
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (3)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Techno-
logy Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “criteria-based process” adalah
prinsip yang diterapkan dalam proses uji coba dengan
memperhatikan pemenuhan kriteria yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Huruf b
Prinsip transparansi antara lain dilakukan melalui publi-
kasi hasil Regulatory Sandbox secara berkala.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “proporsionalitas” adalah Regu-
latory Sandbox dilakukan dengan mempertimbangkan
jenis, skala, dan risiko dari produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang diuji coba.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “forward looking” adalah Regu-
latory Sandbox selalu mempertimbangkan potensi
pengembangan ke depan agar lebih memberikan manfaat
kepada masyarakat dan perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

312
LAMPIRAN

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Target yang akan dicapai mencakup target akhir dan
atau target antara selama jangka waktu uji coba.
Huruf d
Contoh batasan lainnya yaitu batasan penggunaan fitur
tertentu pada produk atau layanan selama dalam proses
uji coba.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perseroan terbatas, perlindungan konsumen, dan
kewajiban penggunaan rupiah.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permintaan perbaikan dapat disampaikan melalui surat
elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

313
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 13
Huruf a
Penerapan prinsip perlindungan konsumen dituangkan antara
lain dalam perjanjian antara Penyelenggara Teknologi Finan-
sial dengan konsumen.
Huruf b
Informasi pelaksanaan uji coba antara lain berupa perkem-
bangan dan rencana tindak lanjut uji coba.
Huruf c
Khusus untuk ketentuan peraturan perundang-undangan
Bank Indonesia, kewajiban untuk menaatinya dapat disesuai-
kan dengan kebijakan Bank Indonesia.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Yang dimaksud dengan “pendampingan dan review” adalah
Bank Indonesia melakukan interaksi yang bersifat asistensi dan
advisory serta monitoring secara intensif dan reguler dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial terkait produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan agar sejalan
dengan skenario uji coba yang disepakati serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia juga melakukan review atas kesiapan dan
keandalan sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial, pene-
rapan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan
kehati-hatian, dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan pendampingan dan review, Bank Indone-
sia melakukan monitoring dan assessment terhadap laporan
pelaksanaan uji coba yang disampaikan Penyelenggara Tekno-
logi Finansial.

Pasal 16
Cukup jelas.

314
LAMPIRAN

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keputusan Bank Indonesia terhadap permohonan izin dan/
atau persetujuan dapat berupa persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana
diatur antara lain dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis di luar skenario uji coba baru dapat dilakukan
oleh Penyelenggara Teknologi Finansial setelah Bank Indo-
nesia memberikan keputusan berupa persetujuan atas permo-
honan izin dan/atau persetujuan yang diajukan. Apabila
Bank Indonesia memberikan keputusan berupa penolakan
maka Penyelenggara Teknologi Finansial menghentikan
kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mengacu pada ketentuan Bank In-
donesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran” adalah penerapan tata
cara untuk memperoleh izin dilakukan dengan memper-

315
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

hatikan tingkat kesesuaian produk, layanan, teknologi, dan/


atau model bisnis Penyelenggara Teknologi Finansial dengan
jenis dan karakteristik jasa sistem pembayaran.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

316
LAMPIRAN

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR


NOMOR 19/15/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN
INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA
TEKNOLOGI FINANSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan


kebijakan mengenai penyelenggaraan teknologi
finansial untuk mendukung pelaksanaan tugas
Bank Indonesia di bidang moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan sistem pembayaran sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan teknologi finansial;
b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan teknologi finansial
dapat dilaksanakan dengan baik untuk mencapai
tujuan yang diharapkan maka diperlukan keten-
tuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi para
pihak yang menjadi penyelenggara teknologi
finansial;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-
tapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian
Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial.

317
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016


tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi
Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indone-
sia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5945);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017
tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6142);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR


TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN,
PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMAN-
TAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI
FINANSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/
atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelan-
caran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan
ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infra-
struktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial.
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam keten-
tuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.

318
LAMPIRAN

5. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang


aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
6. Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial di Bank Indonesia
yang selanjutnya disebut Daftar Penyelenggara Teknologi
Finansial adalah daftar Penyelenggara Teknologi Finansial yang
dinyatakan telah terdaftar di Bank Indonesia.

BAB II
PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Penyampaian Informasi
Pasal 2
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang:
a. akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi
kriteria Teknologi Finansial berupa:
1) bersifat inovatif;
2) dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis;
3) dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
4) dapat digunakan secara luas; dan
5) kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau
b. berada di bawah kewenangan otoritas lain yang menye-
lenggarakan Teknologi Finansial di bidang sistem pemba-
yaran, wajib mendaftar pada Bank Indonesia.
(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mem-
peroleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau
b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan otoritas lain.

Pasal 3
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang akan atau telah melakukan
kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus menyampaikan

319
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis


baru kepada Bank Indonesia.

Bagian Kedua
Kelembagaan Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 4
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial
tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pendaftaran
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) menyampaikan permohonan pendaftaran
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditanda-
tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara
Teknologi Finansial.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga disertai
dengan pengisian dan pengiriman formulir pendaftaran.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-
ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format permohonan dan formulir pendaftaran sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) seba-
gaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara
Teknologi Finansial mengajukan permohonan pendaftaran
melalui surat.

320
LAMPIRAN

Bagian Keempat
Dokumen Pendaftaran
Pasal 6
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial
disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan kebenaran
atas seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai cukup
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanda-
tangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara
Teknologi Finansial.

Bagian Kelima
Pemrosesan Pendaftaran
Pasal 7
(1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas
kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), serta memperhatikan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa doku-
men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-
tahukan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial untuk
melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.
(3) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial tidak melengkapi
kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimak-

321
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

sud pada ayat (3) maka Penyelenggara Teknologi Finansial


dinyatakan membatalkan permohonan pendaftaran.
(5) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Tekno-
logi Finansial telah lengkap maka Bank Indonesia melakukan
penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen.
(6) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dokumen yang disampai-
kan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial tidak benar dan/
atau tidak sesuai termasuk jika permohonan yang diajukan tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Bank
Indonesia menolak permohonan pendaftaran.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dokumen telah dinyatakan
benar dan sesuai, Bank Indonesia mencantumkan Penyeleng-
gara Teknologi Finansial dalam Daftar Penyelenggara Teknologi
Finansial.
(8) Bank Indonesia menyampaikan hasil penelitian kebenaran dan
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7)
kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.

Bagian Keenam
Publikasi dan Penghapusan
Penyelenggara Teknologi Finansial Terdaftar
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memublikasikan Daftar Penyelenggara Tekno-
logi Finansial pada laman resmi Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap Daftar
Penyelenggara Teknologi Finansial dalam laman resmi Bank
Indonesia.

Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat menghapus Penyelenggara Teknologi
Finansial dari Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. berdasarkan hasil pemantauan Bank Indonesia, produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sudah tidak
digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial;

322
LAMPIRAN

b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh izin


dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;
c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi oleh
Bank Indonesia dan/atau otoritas yang berwenang;
d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan
tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
e. terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari
otoritas berwenang;
f. permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi Finansial;
dan/atau
g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya.

Bagian Ketujuh
Tata Cara Penyampaian Informasi bagi Penyelenggara Teknologi
Finansial Berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Pasal 10
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 menyampaikan informasi mengenai produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru kepada Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh
pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
juga disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir penyam-
paian informasi.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara dar-
ing (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format penyampaian informasi dan formulir penyampaian
informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.

323
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) seba-


gaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan informasi melalui surat.

Pasal 11
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
disampaikan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan,
kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), serta memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan bahwa doku-
men yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberi-
tahukan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk
melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik.
(4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak
melengkapi kekurangan dokumen sesuai pemberitahuan Bank
Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) maka Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat dikena-
kan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-
garaan pemrosesan transaksi pembayaran.
(6) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran telah lengkap maka Bank Indonesia mela-
kukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen telah dinyatakan
benar dan sesuai, Bank Indonesia mencatat produk, layanan
teknologi, dan/atau model bisnis baru tersebut.

324
LAMPIRAN

BAB III
PRINSIP MANAJEMEN RISIKO DAN KEHATI-HATIAN
Pasal 12
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen risiko dan
kehati-hatian dalam menyelenggarakan Teknologi Finansial.
(2) Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa identifikasi, pengukuran, peman-
tauan, dan pengendalian yang paling sedikit dilakukan terhadap
kepengurusan, kebijakan dan prosedur, serta pengendalian
intern.
(3) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup risiko keamanan informasi, risiko operasional, risiko
kepatuhan, dan risiko lainnya yang terkait dengan penyeleng-
garaan Teknologi Finansial.
(4) Penerapan manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kompleksitas produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari Penyelenggara
Teknologi Finansial.

BAB IV
PEMANTAUAN
Pasal 13
Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar Penyelenggara
Teknologi Finansial.

Pasal 14
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib menyampaikan data dan/atau informasi
yang diminta oleh Bank Indonesia.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa data dan/atau informasi:
a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang
disampaikan secara berkala;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
c. kondisi keuangan;
d. kepengurusan dan kepemilikan; dan
e. data dan/atau informasi lain.

325
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(3) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


huruf a disampaikan secara bulanan yaitu pada minggu pertama
bulan berikutnya.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan secara tahunan yaitu
pada bulan pertama tahun berikutnya.
(5) Dalam hal terjadi perubahan data dan/atau informasi sebagai-
mana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d,
Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyampaikan
informasi perubahan data dan/atau informasi paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal perubahan.
(6) Penyampaian data dan/atau informasi dilakukan secara daring
(online) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Dalam hal sarana penyampaian data dan/atau informasi secara
daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum
tersedia, Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi melalui surat atau surat elektronik.

BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait
pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disam-
paikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q.
Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat di
Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai
4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komu-
nikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.

326
LAMPIRAN

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan


Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017

ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,

Ttd

SUGENG

327
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/15/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI,
DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI
FINANSIAL

I. UMUM
Kebijakan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyeleng-
garaan Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijak-
an di bidang moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan di
bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, serta
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang sistem pem-
bayaran.
Kebijakan yang terdiri dari pengaturan dan pemantauan terhadap
penyelenggaraan Teknologi Finansial ini penting agar Bank Indone-
sia dapat melakukan monitoring dan mitigasi risiko dari potensi
berkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow
economy) serta untuk terus mendorong pengembangan ekosistem
Teknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen,
manajemen risiko, dan kehati-hatian.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut
mengenai tata cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan peman-
tauan Penyelenggara Teknologi Finansial agar terdapat pedoman
yang jelas dalam rangka pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia
terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial tersebut.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

328
LAMPIRAN

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berwenang mewakili penyelenggara Teknologi
Finansial antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Surat tertulis diajukan kepada Departemen Kebijakan Sistem
Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology
Office.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bagi permohonan yang dinyatakan batal, maka seluruh

329
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

dokumen milik Penyelenggara Teknologi Finansial yang


telah disampaikan tidak dikembalikan kepada Penye-
lenggara Teknologi Finansial.
Ayat (5)
Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian
dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian
atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/
atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap antara lain putusan untuk menghentikan
kegiatan usaha.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

330
LAMPIRAN

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian
dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian
atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/
atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Risiko lainnya termasuk namun tidak terbatas pada:
a. risiko keuangan;
b. risiko likuiditas;
c. risiko hukum;
d. risiko reputasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 13
Dalam pelaksanaan pemantauan, Bank Indonesia dapat mela-

331
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

kukan kegiatan seperti peninjauan lapangan, diskusi, dan/atau


klarifikasi.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Transaksi mencakup nilai, volume, dan/atau pengguna.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk kondisi keuangan adalah mengenai permodalan.
Huruf d
Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi mengenai rencana perubahan modal
dan/atau kepemilikan serta realisasi perubahan modal
dan/atau kepemilikan dimaksud.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technol-
ogy Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

332
LAMPIRAN

OTORITAS JASA KEUANGAN


REPUBLIK INDONESIA

SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR JASA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa seiring kemajuan teknologi, inovasi


keuangan digital tidak dapat diabaikan dan perlu
dikelola agar dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya untuk kepentingan masyarakat;
b. bahwa inovasi keuangan digital perlu diarahkan
agar menghasilkan inovasi keuangan digital yang
bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlin-
dungan konsumen dan memiliki risiko yang
terkelola dengan baik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangansebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mene-
tapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan;

Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang


Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

333
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
TENTANG INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI
SEKTOR JASA KEUANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat IKD adalah
aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen
keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa
keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
2. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan
kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
3. Penyelenggara adalah setiap pihak yang menyelenggarakan
IKD.
4. Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan
proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola
Penyelenggara.
5. Ekosistem IKD adalah komunitas yang terdiri dari otoritas, Penye-
lenggara, konsumen, dan/atau pihak lain yang memanfaatkan
platform digital secara bersama untuk mendorong IKD yang
bermanfaat bagi masyarakat.

BAB II
TUJUAN, RUANG LINGKUP DAN KRITERIA IKD
Bagian Kesatu
Tujuan IKD
Pasal 2
(1) IKD dilaksanakan oleh Penyelenggara secara bertanggung
jawab.
(2) Pengaturan IKD dilakukan dengan tujuan untuk:
a. mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab;
b. mendukung pemantauan IKD yang efektif; dan

334
LAMPIRAN

c. mendorong sinergi di dalam ekosistem digital jasa


keuangan.

Bagian Kedua
Ruang Lingkupdan Kriteria IKD
Pasal 3
Ruang lingkup IKD meliputi:
a. penyelesaian transaksi;
b. penghimpunan modal;
c. pengelolaan investasi;
d. penghimpunan dan penyaluran dana;
e. perasuransian;
f. pendukung pasar;
g. pendukung keuangan digital lainnya; dan/atau
h. aktivitas jasa keuangan lainnya.

Pasal 4
Kriteria IKD meliputi:
a. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan;
b. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai
sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor
jasa keuangan;
c. mendukung inklusi dan literasi keuangan;
d. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas;
e. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada;
f. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan
g. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan
data.

BAB III
PENCATATAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum Penyelenggara
Pasal 5
(1) Penyelenggara terdiri dari:
a. Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
b. pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

335
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(2) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b


harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.
(3) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak diperkenankan mengelola portofolio atau exposure.

Bagian Kedua
Permohonan Pencatatan
Pasal 6
(1) Penyelenggara yang akan atau telah melakukan kegiatan dalam
ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan meme-
nuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menga-
jukan permohonan pencatatan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan formulir tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Kewajiban pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Penyelenggara yang telah terdaftar dan/atau
telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencatatan atas permohonan
pencatatan yang diajukan oleh Penyelenggara dengan memper-
timbangkan kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh
Penyelenggara meliputi:
a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta
identitas kelengkapan data pengurus;
b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;
c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan
IKD; dan
d. rencana bisnis.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
pencatatan secara elektronik untuk pencatatan IKD maka
permohonan pencatatan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan secara elektronik melalui sistem pencatatan Otoritas
Jasa Keuangan.

336
LAMPIRAN

BAB IV
REGULATORY SANDBOX
Bagian Kesatu
Prinsip Dasar Regulatory Sandbox
Pasal 7
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyelenggarakan Regulatory Sand-
box untuk memastikan IKD memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox
dapat memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
dikecualikan sementara dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tertentu.
(3) Pengecualian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan sepanjang memenuhi hal sebagai berikut:
a. selama Penyelenggara berada di dalam Regulatory Sand-
box;
b. mendapat persetujuan satuan kerja pengawas terkait di
Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. pengecualian sementara hanya berlaku terhadap Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan yang bersifat non prudensial.

Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara
sebagai Peserta Regulatory Sandbox
Pasal 8
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Penyelenggara untuk diuji
coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Penyelenggara yang memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berda-
sarkan surat permohonan yang diajukan satuan kerja penga-
was terkait di Otoritas Jasa Keuangan;
b. merupakan bisnis model yang baru;
c. memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas;
d. terdaftar di asosiasi Penyelenggara; dan
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

337
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Regulatory Sandbox
Pasal 9
Regulatory Sandbox dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan
apabila diperlukan.

Pasal 10
Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki;
b. berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox;
c. mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk
pengembangan bisnis sektor jasa keuangan;
d. mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan
otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan
e. berkolaborasi dengan Lembaga Jasa Keuangan atau pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Pasal 11
(1) Hasil Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara dinyatakan
dengan status:
a. direkomendasikan;
b. perbaikan; atau
c. tidak direkomendasikan.
(2) Dalam hal Penyelenggara berstatus direkomendasikan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan
akan memberikan rekomendasi pendaftaran sesuai dengan
aktivitas usaha dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal hasil uji coba berstatus perbaikan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat memberikan perpanjangan waktu dengan
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pene-
tapan status.
(4) Dalam hal hasil uji coba berstatus tidak direkomendasikan,
Penyelenggara tidak dapat mengajukan kembali IKD yang sama.
(5) Penyelenggara yang berstatus tidak direkomendasikan sebagai-
mana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan dari pencatatan
sebagai Penyelenggara.

338
LAMPIRAN

Pasal 12
(1) Dalam hal hasil uji coba menunjukkan keterkaitan dengan
kewenangan otoritas lain, Otoritas Jasa Keuangan akan
berkoordinasi dengan otoritas tersebut.
(2) Dalam pelaksanaan Regulatory Sandbox, Penyelenggara dapat
berkoordinasi dengan Lembaga Jasa Keuangan dan pihak terkait
lainnya dengan tetap berada di bawah koordinasi Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Peraturan pelaksanaan terkait tata cara pelaksanaan Regula-
tory Sandbox diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.

Bagian Keempat
Keterbukaan Informasi
Pasal 13
(1) Penyelenggara wajib mengungkapkan informasi penting dan
relevan selama pelaksanaan uji coba di Regulatory Sandbox
serta menyampaikannya kepada satuan kerja yang membidangi
penelitian dan pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi tambahan
kepada Penyelenggara selama pelaksanaan Regulatory Sand-
box.

BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 14
(1) Penyelenggara yang berstatus direkomendasikan berhak menga-
jukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
hak yang sama untuk mengajukan permohonan pendaftaran
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyelenggara harus mengajukan permohonan pendaftaran
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak penetapan status direkomendasikan.
(4) Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan
pendaftaran hingga melewati batas waktu pendaftaran yang
diberikan maka status rekomendasi pendaftaran dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

339
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat tanda bukti terdaftar


bagi Penyelenggara yang telah menyelesaikan proses pendaf-
taran.
(6) Penyelenggara yang bukan merupakan Lembaga Jasa Keuangan
dan sudah memiliki status terdaftar dapat mencantumkan nomor
tanda bukti terdaftar dalam setiap penawaran atau promosi
produk atau layanannya.
(7) Penyelenggara dengan status direkomendasikan yang telah
mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan namun
tidak dapat memenuhi ketentuan pendaftaran hingga akhir
jangka waktu yang diberikan, status direkomendasikan dan pen-
catatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15
(1) Penyelenggara mengajukan permohonan pendaftaran dengan
disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) sepanjang terdapat perubahan atas dokumen dimaksud.
(2) Persetujuan atas permohonan pendaftaran dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima secara lengkap.

Pasal 16
Dalam hal Penyelenggara yang menerima status perbaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b namun tidak
melakukan perbaikan yang memadai hingga perpanjangan waktu
berakhir maka status hasil uji coba Regulatory Sandbox akan diubah
menjadi berstatus tidak direkomendasikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c.

BAB VI
PEMANTAUAN
Pasal 17
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemantauan
terhadap Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk melengkapi mekanisme pemantauan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, Penyelenggara diwajibkan untuk menerapkan prinsip
pemantauan secara mandiri.

340
LAMPIRAN

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup


pemantauan atas laporan self assessment, pemantauan on-site,
dan/atau metode pemantauan lainnya.
(4) Peraturan pelaksanaan terkait pedoman pemantauan Otoritas
Jasa Keuangan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.

Bagian Kesatu
Prinsip Pemantauan Secara Mandiri
Pasal 18
(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pemantauan secara
mandiri paling sedikit meliputi:
a. prinsip tata kelola teknologi informasi dan komunikasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
c. edukasi dan sosialisasi kepada konsumen;
d. kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk
data dan/atau informasi transaksi;
e. prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian;
f. prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
g. inklusif dan prinsip keterbukaan informasi.
(2) Untuk melaksanakan pemantauan, Penyelenggara wajib
menginventarisasi risiko utama yang paling sedikit mencakup:
a. risiko strategis;
b. risiko operasional sistemik;
c. risiko operasional individual;
d. risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme;
e. risiko perlindungan data konsumen;
f. risiko penggunaan jasa pihak ketiga;
g. risiko siber; dan
h. risiko likuiditas.

Pasal 19
Penyelenggara wajib memiliki perangkat yang dapat mening-
katkan efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang akan
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

341
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Bagian Kedua
Pemantauan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pihak Lain
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemantauan terhadap Penye-
lenggara.

Pasal 21
(1) Penyelenggara membentuk asosiasi Penyelenggara.
(2) Penyelenggara yang tercatat atau terdaftar untuk menjalani uji
coba di Regulatory Sandbox menjadi anggota asosiasi yang
ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menetapkan
standar dengan mempergunakan pendekatan disiplin pasar yang
berlaku bagi anggotanya yang paling sedikit meliputi:
a. merumuskan aturan operasi, standar industri dan kode etik,
sesuai dengan jenis bisnis yang berbeda;
b. menerima dan meneruskan laporan serta menerima
keluhan;
c. menyusun statistik keuangan dan memantau risiko serta
penelitian tentangisumakrodanmikrokeuangan;
d. menjadi penghubung antara Otoritas Jasa Keuangan dan
Penyelenggara untuk meningkatkan dukungan pengaturan
dan pertukaran informasi;
e. menetapkan mekanisme pengaturan diri dan sanksi atas
pelanggaran anggota terhadap aturan dan kode etik; dan
f. melaksanakan pendidikan, pelatihan, dan perlindungan
konsumen serta kerjasama domestik dan internasional.
(4) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada
standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Peraturan pelaksanaan terkait penunjukan Asosiasi
Penyelenggara diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.

Pasal 22
(1) Pengawasan IKD mencakup prinsip:
a. pengawasan berbasis risiko dan teknologi; dan
b. pengawasan berbasis disiplin pasar.
(2) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip pengawasan berbasis
risiko dan teknologi terhadap IKD.

342
LAMPIRAN

(3) Prinsip pengawasan berbasis risiko dan teknologi sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. pendekatan yang berimbang antara aspek prudensial
dengan dukungan terhadap inovasi;
b. kolaboratif dengan otoritas dan lembaga lain dalam mela-
kukan pengawasan, pengaturan, serta penentuan standar
pada layanan keuangan digital;
c. menekankan pada aspek tata kelola dan manajemen risiko
yang handal dalam memanfaatkan teknologi dan mengen-
dalikan ekosistem digitalnya; dan
d. meneliti penerapan proses yang baik terkait pengenalan
konsumen, manajemen risiko, dan pengawasan operasional
yang dilaksanakan oleh pihak ketiga.
(4) Pengawasan berbasis disiplin pasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus memperhatikan:
a. standar profesi dan etika pasar;
b. transparansi produk dan layanan;
c. pasar yang kompetitif dan inklusif;
d. kesesuaian dengan kebutuhan konsumen;
e. penanganan mekanisme keluhan yang segera;
f. aspek keamanan dan kerahasiaan data konsumen dan
transaksi;
g. aspek kepatuhan terhadap peraturan;
h. aspek standar dan keamanan platform;
i. aspek tata kelola teknologi informasi;
j. risiko pasar;
k. risiko counter-party dan clearing agency;
l. aspek edukasi online; dan
m. aspek sertifikat elektronik.

BAB VII
PELAPORAN
Pasal 23
Penyelenggara yang sedang dalam proses Regulatory Sandbox
wajib menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.

343
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 24
Penyelenggara yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
wajib menyusun laporan risk self assessment secara bulanan serta
menyampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 25
Selain memberikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, Penyelenggara wajib melakukan pelaporan kepada konsumen
terkait hal yang berhubungan dengan kinerja investasi, nilai investasi,
dan/atau portofolio yang dimiliki para konsumen.

Pasal 26
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal
25 wajib memberikan hak akses kepada Otoritas Jasa Keuangan
atas pelaporan.

Pasal 27
Untuk mengolah laporan risk self assessment, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang memanggil atau meminta keterangan tambahan
dari Penyelenggara.

BAB VIII
TATA KELOLA
Pasal 28
(1) Penyelenggara wajib memiliki rencana strategis sistem elek-
tronik yang mendukung rencana bisnis Penyelenggara.
(2) Penyelenggara wajib menyusun kebijakan, prosedur, dan standar
yang paling sedikit meliputi aspek:
a. strategi bisnis;
b. perlindungan konsumen;
c. risiko, dan permodalan;
d. pengembangan sumber daya manusia;
e. pengembangan dan perencanaan produk dan layanan;
f. operasional teknologi informasi;
g. jaringan komunikasi;
h. pengamanan informasi;
i. rencana pemulihan bencana;
j. layanan pengguna; dan
k. penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi.

344
LAMPIRAN

(3) Penyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia yang memi-


liki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi infor-
masi dan keuangan.
(4) Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan wajib mengajukan permohonan pencatatan kepada
Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat perubahan terkait model
bisnis, proses bisnis, kelembagaan, dan operasional IKD yang
dimiliki.

BAB IX
PUSAT DATA
Pasal 29
Penyelenggara wajib menempatkan pusat data dan pusat
pemulihan bencana di wilayah Indonesia.

BAB X
PERLINDUNGAN DAN KERAHASIAAN DATA
Pasal 30
(1) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan keter-
sediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang
dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimus-
nahkan.
(2) Ketentuan pemanfaatan data dan informasi pengguna yang
diperoleh Penyelenggara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memperoleh persetujuan dari pengguna;
b. menyampaikan batasan pemanfaatan data dan informasi
kepada pengguna;
c. menyampaikan setiap perubahan tujuan pemanfaatan data
dan informasi kepada pengguna dalam hal terdapat peru-
bahan tujuan pemanfaatan data dan informasi; dan
d. media dan metode yang dipergunakan dalam memperoleh
data dan informasi terjamin kerahasiaan, keamanan, serta
keutuhannya.

BAB XI
EDUKASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 31
(1) Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan
konsumen yaitu:

345
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsu-
men secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
(2) Penyelenggara wajib menyediakan pusat pelayanan konsumen
berbasis teknologi.
(3) Pusat pelayanan konsumen berbasis teknologi paling sedikit
terdiri atas penyediaan pusat layanan konsumen yang dapat
dilaksanaan sendiri atau melalui pihak lain.

Pasal 32
(1) Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi terkini kepada Otoritas Jasa Keuangan dan konsumen
mengenai aktivitas layanan keuangan digital.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai
alat bukti.

Pasal 33
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada kon-
sumen tentang penerimaan, penundaan, atau penolakan permo-
honan layanan keuangan digital.
(2) Dalam hal Penyelenggara menyampaikan informasi penundaan
atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penye-
lenggara wajib menyampaikan alasan penundaan atau
penolakan.

Pasal 34
Penyelenggara wajib melaksanakan kegiatan untuk mening-
katkan literasi dan inklusi keuangan.

BAB XII
ASPEK KEPATUHAN LAINNYA
Pasal 35
Penyelenggara yang terdaftar wajib menerapkan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa

346
LAMPIRAN

keuangan terhadap konsumen sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa


Keuangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan.

BAB XIII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Bagian Kesatu
Pusat IKD
Pasal 36
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dan/atau
kerja sama untuk menciptakan pusat IKD dengan:
a. otoritas lain di dalam negeri;
b. pemerintah pusat dan daerah;
c. asosiasi financial technology dan pusat inovasi di luar Otoritas
Jasa Keuangan;
d. pakar dan akademisi; dan/atau
e. otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau lem-
baga internasional.

Bagian Kedua
Ekosistem IKD
Pasal 37
(1) Penyelenggara yang telah tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan dapat bekerja sama dengan Lembaga Jasa
Keuangan untuk menciptakan sinergi ekosistem IKD.
(2) Penyelenggara harus berperan dalam menciptakan ekosistem
digital jasa keuangan dan menyelaraskan layanan digital yang
saling mendukung di Indonesia.

BAB XIV
LARANGAN
Pasal 38
(1) Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi
mengenai konsumen kepada pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
dalam hal:
a. konsumen memberikan persetujuan secara elektronik; dan/
atau

347
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

b. Penyelenggara diwajibkan oleh ketentuan peraturan


perundang-undangan untuk memberikan data dan/atau
informasi mengenai konsumen kepada pihak ketiga.
(3) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik oleh konsumen
dalam bentuk dokumen elektronik.

BAB XV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 39
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di sektor jasa
keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan
sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b sampai dengan huruf d dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara
bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.

Pasal 40
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

348
LAMPIRAN

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
(1) Perjanjian kerja sama antara Lembaga Jasa Keuangan dengan
Penyelenggara yang belum tercatat dan/atau terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan tetap dapat dilanjutkan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
(2) Dalam hal persyaratan pendaftaran Penyelenggara yang telah
diberikan status direkomendasikan belum diatur, Penyelenggara
tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan pendaftaran
dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. salinan akta pendirian badan hukum Penyelenggara beserta
identitas kelengkapan data pengurus;
b. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;
c. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan
IKD; dan
d. rencana bisnis.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan mengenai kewajiban pencatatan mulai berlaku 1 (satu)
bulan terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan.

Pasal 43
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengun-


dangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

349
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018

KETUA DEWAN KOMISIONER


OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIMBOH SANTOSO

Diundangkandi Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2018

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018


NOMOR135

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana

350
LAMPIRAN

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL
DI SEKTOR JASA KEUANGAN

I. UMUM
IKD berperan penting dalam mendukung pelayanan jasa
keuangan yang lebih cepat, murah, mudah, dan luas sehingga dapat
menjangkau daerah terpencil dalam rangka mempersempit disparitas
ekonomi yang tinggi antar wilayah.
Kehadiran teknologi lainnya juga mendukungterciptanya
layanan jasa keuangan yang lebih efisien dan sesuai dengan kebu-
tuhan masyarakat. Peranan jasa keuangan dengan biaya operasional
murah dan dalam skala kecil sangat tepat untuk melayani segmen
mikro, kecil dan menengah.
Inovasi memiliki dua sisiyaitu sisi yang memberikan manfaat
atausisi yangberpotensi mendisrupsi layanan jasa keuangan tradi-
sional. Efek disrupsi yang akan terjadi dapat menimbulkan ketidak-
stabilan sektor keuangan dan persaingan yang tidak sehat.
Dalam rangka meminimalisasi dampak negatif inovasi maka
inovasi perlu diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat serta mengedepankan tata kelola yang
baik agar tercipta perlindungan konsumen. Selain itu diperlukan
sinergi antara lembaga jasa keuangan dengan IKD non Lembaga
Jasa Keuangan agar menciptakan sinergi dan meminimalisir
kompetisi.
Inovasi perlu ditumbuhkembangkan melalui pembangunan
ekosistem keuangan digital yang mendukung ekosistem dimaksud
dengan melibatkan banyak unsur yang saling berinteraksi untuk
mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit), termasuk otoritas
terkait. Pelaksanaan koordinasi antar pelaku di dalam ekosistem,
akan difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Pusat
IKD (fintech center).

351
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Selain itu, untuk usaha penumbuhkembangan IKD perlu dilaku-


kan pula melalui pendekatan pemantauan berdasarkan aktivitas (ac-
tivity-basedsupervision) dan pendekatan berdasarkan kelembagaan
(institution-based supervision).
Pengaturan dan pemantauan IKD menerapkan prinsip berimbang
antara prinsip perlindungan konsumen dan kehati-hatian dengan
inovasi dan kompetisi. Prinsip ini dilaksanakan dalam bentuk penga-
turan dan pemantauan oleh para pelaku pasar sendiri (disiplin pasar).
Otoritas menetapkan pengaturan berbasis prinsip (principle based
regulations) yang mengatur pokokregulasi sebagai acuan bagi industri
untuk merumuskan lebih rinci peraturan pelaksanaan atau standar
operasional untuk bisnisnya. Para pelaku pasar diminta untuk mela-
kukan pendalaman terhadap prinsip pengaturan tersebut melalui
penentuan standar operasional secara rinci disesuaikan dengan
dinamika pasar, teknologi, dan perlindungan konsumen untuk men-
jaga integritas dan efektifitas. Penyelenggara perlu membentuk
lembaga tertentu untuk penetapan standar terkait aspek operasional,
conduct business, dan etika bisnis yang diakui dan dilaksanakan
bersama oleh para anggotanya. Lembaga dimaksud berkoordinasi
secara intensif dengan Otoritas Jasa Keuanganagar pengawasan
terhadap IKD berjalan secara optimal.
Sebagai sarana untuk mempertemukan para pelaku industri
dengan regulator dibentuk Regulatory Sandbox. Melalui forum
tersebut akan dilakukan identifikasi dan observasi oleh otoritas
terhadap dinamika dan risiko layanan jasa keuangan digital pasar.
Denganpemahaman terhadap model bisnis baru, otoritas dapat
menentukan upaya mitigasi demi menjaga stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan hal sebagaimana
disebutkan di atas maka perlu untuk melakukan pembentukan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Inovasi Keuangan Digi-
tal di Sektor Jasa Keuangan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

352
LAMPIRAN

Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara bertanggung jawab” adalah
penggunaan baru atau yang lebih baik atas produk, layanan,
dan proses keuangan yang telah ada untuk memenuhi kebu-
tuhan konsumen, dunia usaha, dan masyarakat yang terus
berkembang dengan cara antara lain:
a. menerapkan prinsip tata kelola dan manajemenrisiko yang
baik;
b. selaras dengan strategi bisnis secara keseluruhan;
c. bermanfaat bagi masyarakat luas;
d. mengutamakan perlindungan konsumen dan kerahasiaan
data; dan
e. mendukung inklusi dan literasi keuangan.
Ayat (2)
Inovasi berbeda dengan penyempurnaan proses bisnis karena
inovasi tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penjualan produk dan layanan keuangan namun mencip-
takan nilai tambah baru.
Lingkup pengaturan ini hanya mencakup IKD yang meng-
gunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mendukung pemantauan IKD
yang efektif” adalah pengembangan IKD oleh Penye-
lenggara harus disertai dengan pemantauan berbasis risiko
yang memperhatikan tata kelola dan manajemen risiko
dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, kewajaran,
persaingan yang sehat, transparansi, dan perlindungan
konsumen.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mendorong sinergi di dalam
ekosistem digital jasa keuangan” adalah Ekosistem IKD
diharapkan mampu menumbuh-kembangkan inovasi di
bidang jasa keuangan agar lebih efisien dan mening-
katkan kepuasan konsumen. Ekosistem digital jasa

353
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

keuangan terdiri dari otoritas, lembaga keuangan, akse-


lerator, Penyelenggara, fasilitator, inkubator, pengem-
bang kapasitas, teknologi digital, wirausaha, dan konsu-
men yang berinteraksi untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi melalui pemanfaatan bakat, pakar, dan pemer-
hati yang berkecimpung di bidang ekonomi kreatif.

Pasal 3
Huruf a
Dalam praktiknya penyelesaian transaksi biasa disebut juga
dengan settlement. Penyelesaian transaksi antara lain terkait
penyelesaian investasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghimpunan modal”antara
lainequity crowdfunding, virtual exchange and
smartcontract, serta alternative due diligence.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengelolaan investasi”antara lain
advance algorithm, cloud computing, capabilities sharing,
open source information technology, automated advice and
management, social trading, dan retail algorithmic trading.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penghimpunan dan penyaluran
dana”antara lainpinjam meminjam berbasis aplikasi
teknologi (P2P lending), alternative adjudication, virtual
technologies, mobile 3.0, dan third-partyapplication pro-
gramming interface.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perasuransian” antara lain sharing
economy, autonomous vehicle, digital distribution, dan
securitization and hedge fund.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” antara lain artifial
inteligence/machine learning, machine readble news,
socialsentiment, big data, market information platform,
danautomated data collection and analysis.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pendukung keuangan digital

354
LAMPIRAN

lainnya” antara lain social/eco crowd funding, Islamic digi-


tal financing, e-waqf, e-zakat, robo advisedan credit scor-
ing.
Huruf h
Yang dimaksuddengan “aktivitas jasa keuangan lainnya”
antara lain invoice trading, voucher, token, dan produk
berbasis aplikasi blockchain.

Pasal 4
Penilaian awal kriteria atas potensi inovasi bagi Lembaga Jasa
Keuangan dilakukan oleh satuan kerja pengawas terkait di
Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan untuk Penyelenggara selain
Lembaga Jasa Keuangan melalui prosedur pencatatan kepada
satuan kerja yang membawahkan penelitian dan
pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak diperkenankan mengelola
portofolio atau exposure” adalah Penyelenggara hanya
menyediakan platform untuk memfasilitasi transaksi dan
layanan jasa keuangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Permohonan pencatatan yang dilakukan oleh Penyelenggara
merupakan syarat bagi Penyelenggara untuk dapat
mengikuti proses Regulatory Sandbox.
Permohonan pencatatan oleh Penyelenggara selain Lembaga
Jasa Keuangan disampaikan oleh direksi kepada satuan kerja
yang membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

355
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (2)
Permohonan pencatatan bagi Lembaga Jasa Keuangan yang
menyelenggarakan IKD untuk masuk ke dalam pengujian
Regulatory Sandbox disampaikan oleh Lembaga Jasa
Keuangan kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas
Jasa Keuangan dengan tembusan kepada satuan kerja yang
membawahkan penelitian dan pengembangan IKD di
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Ayat(4)
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukupjelas.

Pasal 8
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyelenggara berbentuk selain Lembaga Jasa Keuangan
yang telah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan tidak perlu
mengajukan kembali surat permohonan untuk
diikutsertakan dalam Regulatory Sandbox.
Permohonan bagi Penyelenggara berbentuk Lembaga
Jasa Keuangan berbeda dengan permohonan pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Permohonan yang
dimaksud adalah permohonan yang diajukan oleh satuan
kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan kepada
satuan kerja yang membawahkan penelitian dan
pengembangan IKD di Otoritas Jasa Keuangan agar
inovasi Lembaga Jasa Keuangan dapat masuk ke dalam
pengujian Regulatory Sandbox.

356
LAMPIRAN

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” adalah lembaga peme-
rintah, otoritas, ahli, asosiasi, dan organisasi lainnya di sektor
jasa keuangan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk
mendukung pelaksanaan Regulatory Sandbox dan
pengembangan IKD.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “informasi penting dan relevan”
antara lain insiden serangan siber.
Ayat(2)
Cukup jelas.

Pasal14
Ayat (1)
Permohonan pendaftaran dilakukan oleh Penyelenggara
kepada satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa
Keuangan.

357
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat(2)
Penyelenggara yang memiliki jenis IKD yang sama dengan
Penyelenggara yang dimaksud pada ayat (1) meliputi Penye-
lenggara yang telah tercatat maupun belum tercatat di
Otoritas Jasa Keuangan namun memiliki jenis IKD yang sama
dengan Penyelenggara yang telah diberikan status
direkomendasikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Materi sosialisasi yang diberikan kepada konsumen pal-
ing sedikit terkait risiko dari IKD.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

358
LAMPIRAN

Huruf g
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Perangkat yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan
perlu dilaksanakan dengan membentuk unit khusus (regulatory
technology) yang berada di dalam Penyelenggara IKD. Unit
tersebut dapat bekerja sama dengan pihak lain (termasuk kerja
sama dengan IKDatau asosiasi) dan tetap menjaga kerahasiaan
data dan informasi.
Cakupan dari regulatory technology paling sedikit meliputi
aspek:
a. kepatuhanadalah tindakanuntuk memberikan notifikasi
otomatis terkait perubahan aturan baik di level nasional dan
global;
b. kontrol dan manajemen identitas adalah dalam rangka
pelaksanaan know your customer principledan anti pencu-
cian uang dan pencegahan pendanaan terorisme;
c. manajemen risikoadalah perangkat yang memungkinkan
pelaporan risiko berdasarkan transaksi, risiko konsolidasi, dan
pelaporan internal risiko termasuk pemantauan limit risiko;
d. pelaporanadalah pelaporan secara otomatis yang terintegrasi
yang dilaksanakan secara efisien, sederhana, dan mening-
katkan akurasi pelaporan;
e. pemantauan transaksi adalah perangkat yang memung-
kinkan dilakukannya monitoring dan auditing terhadap
transaksi untuk menghindari fraud dan pelanggaran risiko;
dan
f. sistem otomasi transaksi adalah sistem yang meliputi perhi-
tungan margin, fee, imbal hasil yang sesuai dengan perjan-
jian, serta tidak melanggar business conduct.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

359
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemantauan berbasis risiko dan
teknologi”adalah pemantauan terhadap Penyelenggara
yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangandengan
mempergunakan teknologi (supervisory technology).
Pemantauan dimaksud ditujukan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pemantauan terhadap Penyeleng-
gara terkait aspek kepatuhan terhadap aturan yang
berlaku.
Ruang lingkup pemantauan antara lain:
a. data-input approachadalahpelaporan elektronik
dengan menggunakan paket data dengan
formatstandar;
b. data-pull approach adalah pelaporan dalam format
data mentah;
c. real-time accessadalah akses yang memungkinkan
dilakukan pemantauan setiap saat;
d. reporting utilities adalah perangkat yang meng-
hasilkan pelaporan secara elektronik;
e. gathering intelligence from unstructured dataadalah
pengumpulan dan analisis data yang tidak terstruktur
misalnya sosial media, materi sosialisasi, perjanjian
dengan konsumen, dan sebagainya; dan
f. regulatory submission and data quality management
adalah perangkat yang memungkinkan melakukan
pengiriman laporan beserta validasi dan pengendalian
kualitas data yang dilaporkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendekatan yang berimbang
antara aspek prudensial dengan dukungan terhadap
inovasi” merupakan kewenangan yang dimiliki Otoritas

360
LAMPIRAN

Jasa Keuangan untuk melakukan tindakan tertentu


terhadap Penyelenggara dalam kondisi tertentu, dengan
mempertimbangkan antara lain aspek skala usaha dan
dampak sistemik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Laporan kinerja berkala secara triwulanan disampaikan kepada
satuan kerja yang membidangi penelitian dan pengembangan
IKD di Otoritas Jasa Keuangan.
Penyelenggara berbentuk Lembaga Jasa Keuangan menyam-
paikan inovasi produk atau layanan yang diuji coba melalui
Regulatory Sandbox secara terpisah dan dibedakan dengan
pelaporan aktivitas Lembaga Jasa Keuangan secara keseluruhan
yang dilaporkan ke satuan kerja pengawas terkait di Otoritas
Jasa Keuangan.

Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

361
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Ayat (4)
Setiapinovasi selalu membawa dampak dan risiko sehingga
jika terdapat perubahan terkait model bisnis, proses bisnis,
dan lain-lain atas IKD yang telah tercatat dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan maka Penyelenggara mencatatkan
ulang perubahan IKD dan mengikuti kembali uji coba Regu-
latory Sandbox.

Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Standar minimum perlindungan konsumen mengacu kepada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
namun demikian prinsip perlindungan konsumen tetap
mengacu kepada setiap perubahan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cakupan dari pusat pelayanankonsumenberbasis teknologi
(customer service tech) antara lainmeliputi:
a. saluran komunikasi multikanal adalah penyampaian
keluhan dengan berbagai media baik media suara,
elektronik, maupun sosial;
b. knowledge management adalah proses identifikasi, pem-
buatan, penelaahan, publikasi, dan penyediaan konten
multimedia yang memungkinkan dilaksanakannya
penjelasan kepada konsumen melalui web self service;
c. aplikasi pencatat keluhan adalah aplikasi dimaksud
selain menghasilkan data keluhan konsumen yang dapat
dianalisis, juga dimungkinkan untuk melakukan komuni-
kasi antar konsumen;
d. customer service analytics adalah pelayanan konsumen

362
LAMPIRAN

dapat optimal sesuai dengan permasalahan yang


disampaikan; dan
e. data produktivitas agen adalah pencatatan terhadap
aktivitas agen dalam menangani keluhan konsumen dan
kecepatan dalam menangani keluhan sesuai dengan
kebijakan internal Penyelenggara.

Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Pusat IKD merupakan sarana komunikasi dalam mengiden-
tifikasi, membina, mengawasi seluruh Penyelenggara, dan
menjamin perlindungan konsumen di Indonesia. Dengan adanya
Pusat IKD diharapkan dapat memudahkan koordinasi dan
kolaborasi antara otoritas terkait dan Penyelenggara.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pusat inovasi merupakan wadah inovasi dan pengembangan
IKD yang berperan untuk memberikan rekomendasi dan
masukan terhadap ekosistem digital industri jasa keuangan.
Dalam praktiknya pusat inovasi di luar Otoritas Jasa
Keuangan biasa disebut juga dengan innovation hub.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

363
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal43
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 6238

364
LAMPIRAN

LAMPIRAN
PERATURANOTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR13 /POJK.02/2018
TENTANG
INOVASI KEUANGAN DIGITAL DI SEKTOR
JASA KEUANGAN FORMULIR PERMOHONAN
PENCATATAN PENYELENGGARA

Nomor : .......................... ....., ........... 20 ...


Lampiran : ..........................
Perihal : Permohonan Pencatatan
Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital

Kepada
Yth. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Deputi Komisioner OJK Institute

Menunjuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.01/


2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan,
bersama ini kami mengajukan permohonan pencatatan
Penyelenggara atas nama .......
Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami
sampaikan dokumen sebagai berikut:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut
perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh
instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan;
b. bukti identitas kelengkapan data pengurus;
c. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk;
d. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan IKD;
dan
e. rencana bisnis.

Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu**),


kami mengucapkan terima kasih.

365
HUKUM EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA

Hormat Kami,
Direksi ...............

Meterai
Rp.6000,-
..................................
(Nama jelas dan tanda tangan)

**) Coret yang tidak perlu

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

WIMBOH SANTOSO

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana

366

Anda mungkin juga menyukai