Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM

MAGISTER HUKUM KONSENTRASI HUKUM BISNIS JAKARTA

TINJAUAN ATAS KEBIJAKAN ELECTRONIC MONEY (E-MONEY)

DARI PERSPEKTIF KEADILAN

Dosen : Prof. Sudjito Atmorejo. S.H., M.Si

Penyusun:

Latifah Nur’Aini (NIM. 19/448162/PHK/10671)


Nenden Aminah (NIM. 19/448171/PHK/10680)
Theresia Roma Uli ( NIM. 19/448189/PHK/10698)

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di kawasan ASEAN

yang sedang mendorong mengupayakan percepatan pertumbuhan di seluruh sektor

dengan program revolusi industry 4.0. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah

yang cukup luas, menjadi modal yang cukup untuk mengejar percepatan

pembangunan di segala sektor. Selain menjadi salah satu anggota G-20, saat ini

Indonesia telah masuk dalam 1 trillion dollars club economy1. Hal tersebut menjadi

bukti bahwa Indonesia mampu menjadi Negara besar dan mampu mengejar

ketertinggalan dengan Negara-negara berkembang dan maju lainnya.

Program Revolusi Industri 4.0 tersebut, ditandai dengan meningkatnya

konektivitas, interaksi dan semakin konvergensinya batas antara manusia, mesin,

dan sumber daya lainnya melalui teknologi informasi dan komunikasi. Revolusi

tersebut merupakan sebuah lompatan besar di sektor industri dengan pemanfaatan

teknologi informasi dan komunikasi sepenuhnya tidak hanya dalam proses produksi,

tetapi juga di seluruh rantai nilai guna mencapai efisiensi yang setinggi-tingginya

untuk melahirkan model bisnis yang baru dan berbasis digital.2 Program tersebut

memudahkan segala bentuk komunikasi bahkan transaksi perdagangan dengan

cepat karena tidak lagi terbatas oleh jarak dan waktu. Salah satu kegiatan di sektor

ekonomi yang terlihat berkembang dari revolusi tersebut adalah transaksi jual beli

elektronik/ e-commerce dengan instrumen pembayaran non tunai atau transaksi

keuangan non tunai.


1
Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State Documents & Translation, “Indonesia Now
Among Group of Countries With Economies Above $1 Trillion: President Jokowi”, diakses dari
https://setkab.go.id/en/indonesia-now-among-group-of-countries-with-economies-above-1-trillion-
president-jokowi/, pada tanggal 03 September 2019, pukul 14.27.
2
Kominfo, “Infrastruktur Digital Topang Percepatan Masuki Industri 4.0”, diakses dari
https://kominfo.go.id/content/detail/17244/infrastruktur-digital-topang-percepatan-masuki-industri-
40/0/berita, pada tanggal 03 September 2019, pukul 14.43.

2
Percepatan Industri yang dibarengi dengan perkembangan teknologi

membawa perubahan dalam melakukan transaksi perdagangan tersebut berdampak

pula dengan alat pembayaran yang digunakan. Perubahan tersebut dapat dilihat

dengan bergesernya bentuk penggunaan uang dalam bentuk tunai (konvensional)

menjadi alat elektronik. Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2014, telah

mendorong penggunaan elektronik money (e- money) untuk menciptakan Cashless

Society. Hal tersebut didukung oleh Bank Indonesia yang gencar menyerukan

Gerakan Nasional Non-Tunai (GNTT) di seluruh wilayah Indonesia, demi mencapai

pertumbuhan non-tunai sebesar 10%.3 Hal ini dilakukan dengan berkiblat pada jejak

negara-negara yang telah lebih dahulu mecanangkan cashless society. Bukanlah

perkara mudah menggeser peran uang tunai yang sudah menjadi bagian penting

dalam kehidupan masyarakat selama hampir ratusan tahun, dan mengubahnya

menjadi sebuah kartu sebagai alat bayar atau dikenal sebagai electronic money (e-

money).

E-money atau uang elektronik merupakan alat pembayaran dalam bentuk

kartu dimana nilai uangnya disimpan secara elektronik dan dalam pengisiannya

pemegang e-money harus menyetorkan sejumlah uang terlebih dahulu sebelum

digunakan untuk bertransaksi. Media elektronik untuk menyimpan nilai uang

elektronik dapat berupa chip atau server. Ketika digunakan, nilai uang elektronik

akan berkurang sebesar nilai transaksi. E-money adalah salah satu alternatif yang

amat potensial dalam menggenjot peningkatan inklusi keuangan. Perusahaan

telekomunikasi dan perbankan berlomba-lomba mengeluarkan layanan dan produk

e-money, dan mulai merambah bisnis startup tepatnya di bidang financial technology

(fintech) yang memiliki skala lebih kecil (misalnya Tokocash milik Tokopedia, ada

Bukadompet milik Bukalapak dan Gopay kepunyaan Gojek).4 Bank Indonesia telah
3
Irpanudin, “Jalan Panjang Dinanti, Menuju Cashless Society”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/dean/557792d3a623bd285315be4d/jalan-panjang-dinanti-menuju-
cashless-society?page=all, pada tanggal 06 September 2019, pukul 13.15 WIB.
4
Ferry Faby Fadillah, “ Sudah Saatnya beralih ke e-money, Alat Pembayaran Jaman Now”, diakses
dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/sudah-saatnya-beralih-ke-e-money-alat-

3
merilis daftar penyelenggara uang elektronik yang telah memperoleh izin per 24 Mei

2019 dengan jumlah penyelenggara sebanyak 38 Perusahaan.5

Mengkonversi kegiatan yang sebelumnya berbentuk konvensional dalam hal

ini penggunaan uang tunjai menjadi kegiatan berbasis teknologi bukan tanpa risiko.

Meskipun pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia gencar melakukan sosialisasi

penggunaan e-money atau disebut Gerakan Nasional Non Tunai, perlu diperhatikan

kesiapan baik dari pembuat kebijakan dan masyarakat yang akan melaksanakan.

Jakarta misalnya, menjadi salah kota yang menjadi diorama yang tepat untuk

menggambarkan masyarakat modern dengan kegiatan perekonomian serba

cashless. Perubahan gaya hidup ke arah cashless society seperti di Jakarta, bukan

berarti tanpa resiko, Peristiwa Jakarta Black out pada bulan Agustus 2019,

Pemadaman di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang berlangsung selama

kurang lebih 8-18 jam. Padamnya listrik disebabkan oleh gangguan pada transmisi

SUTET 500kV PLN di Jawa Barat.6

Menurut penulis, selain resiko sistem Pengaturan terkait biaya dan sosialisasi

yang belum merata menjadi bagian dari hal-hal yang mendasari penulis membuat

tulisan ini. Pengaturan tentang e-money perlu ditinjau apakah sudah mengakomodir

kepentingan, kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

pembayaran-zaman-now/, pada tanggal 07 September, pukul 15 : 54).


5
Bank Indonesia, “Payment System License Information”, diakses dari https://www.bi.go.id/en/sistem-
pembayaran/informasi-perizinan/uang-elektronik/penyelenggara-berizin/Pages/default.aspx, pada
tanggal 07 September 2019, pukul 15 : 58.
6
Hilel Hodawya, “Peristiwa blckout yang pernah melanda Jakarta dan Sekitarnya”, diakses dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/07/21163031/peristiwa-blackout-yang-pernah-
melanda-jakarta-dan-sekitarnya?page=all berdampak pada seluruh transaksi elektronik, pada tanggal
07 September 2019, pukul 16.10.

4
Berdasarkan pendahuluan yang sudah Penulis kemukakan diatas, maka dapat

diidentifikasikan beberapa permasalahan berkenaan dengan penggunaan e-money di

Indonesia, yaitu:

1. Bagaimanakah perkembangan e-money di Indonesia?

2. Apakah kebijakan e-money yang diterapkan di Indonesia dipandang dari perspektif

keadilan?

5
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Teori mengenai Keadilan

Sulit dipungkiri adanya kenyataan bahwa kepentingan materiel dan imateriel

dalam bermasyarakat baik secara individual maupun dan berbagai kelompok dapat

saling bertentangan. Pertentangan ini akan mengarah pada konflik yang terus-

menerus apabila hukum tidak hadir untuk menengahinya. Dalam hal demikian,

hukum harus berfungsi dalam mencapai tujuan damai sejahtera. Untuk menciptakan

keadaan damai sejahtera tersebut, hukum mempertimbangkan kepentingan-

kepentingan secara cermat dan menciptakan kesimbangan di antara kepentingan itu.

Tujuan untuk mencapai damai sejahtera tersebut dapat terwujud apabila hukum

sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil, yaitu suatu pengaturan yang

didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara seimbang,

sehingga setiap orang sebanyak mungkin memperoleh apa yang menjadi

bagiannya.7

Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti : tidak berat

sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-

wenang.8 Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan “justice” kata

dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau hak. Dengan demikian salah satu

pengertian dari “justice” adalah hukum. Dari makna keadilan sebagai hukum,

kemudian berkembang arti dari kata “justice” sebagai “lawfullness” yaitu keabsahan

menurut hukum. Pengertian lain yang melekat pada keadilan dalam makna yang

lebih luas adalah “fairness” yang sepadan dengan kelayakan. Ciri adil dalam arti

layak atau pantas, dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hukum.

Misalnya “principle of fair play” yang merupakan salah satu asas-asas umum

7
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., “Pengantar Ilmu Hukum - Edisi Revisi”,
(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2008), hlm. 131)
8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), hlm. 517)

6
pemerintahan yang baik, “fair wage” diartikan sebagai upah yang layak yang sering

ditemui dalam istilah hukum ketenagakerjaan. Hal yang sama dikemukakan dalam

konsep keadilan Aristoteles yang disebutnya dengan “fairness in human action”,

Keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia.9

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya

keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum harus

mengakomodasi ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat,

diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting,

bahkan ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan tujuan hukum satu-

satunya.10 Jika demikian bagaimana pandangan tentang keadilan menurut kaidah-

kaidah atau aturan-aturan yang berlaku umum yang mengatur hubungan manusia

dalam masyarakat atau hukum positif.11

Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-

kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam

filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat

bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan

adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen

prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu: Pemilahan kelas-kelas yang tegas;

misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga

harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia. Identifikasi takdir negara

dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap kelas ini dan

persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi

pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta

kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.12

9
1Bahder Johan Nasution, ”Kajian Filosofis Tentang Hukum dan Keadilan dari Pemikiran Klasik
sampai Pemikiran Modern” (Jurnal Universitas Jambi, 2017), hlm. 13
10
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, Cetakan ke-4 (PT Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2015), hlm.
290.
11
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Alumni: Bandung, 2000), hlm. 4.
12
Muhamad Erwin, op.cit hlm. 292

7
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan,

misalnya berikut ini : Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti

keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua

bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi

dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan. Harus

ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda

terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua

inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.

Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada

autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para

pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif

pertama akan melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternatif kedua akan

melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya.13

Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur

aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini

adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan

bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan negara.

Bagaimana individu melayani negara dan bagaimana negara melayani individu.

Selain daripada Plato, teori mengenai keadilan ini juga dikemukakan oleh

Thomas Aquinas. Dimana menurut pandangan beliau terdapat dua macam keadilan,

yang salah satunya ialah keadilan distributif (iustitia distibutiva). Dimana dalam

keadilan ini merujuk kepada adanya persamaan di antara manusia didasarkan atas

prinsip proporsionalitas, Gustav Radburch mengemukakan bahwa pada keadilan

distributif terdapat hubungan yang bersifat superordinasi dan subordinasi artinya

antara yang mempunyai wewenang untuk membagi dan yang mendapat bagian.14

13
Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society and Its Enemy),
diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 110.
14
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., “Pengantar Ilmu Hukum - Edisi Revisi”.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008). hlm. 132

8
Lebih lanjut, Thomas menyatakan untuk melaksanakan keadilan ini

diperlukan adanya pihak yang membagi yang bersifat superordinasi terhadap lebih

dari satu orang atau kelompok orang sebagai pihak yang menerima bagian yang

sama-sama mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi terhadap yang

membagi. Hal yang menjadi tolak ukur dalam prinsip proporsionalitas dalam

kerangka keadilan distributif adalah jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi. Dengan

adanya dua orang atau kelompok orang yang berkedudukan sama sebagai

subordinat terhadap pihak yang membagi dapat dilihat apakah yang membagi telah

berlaku adil berdasarkan tolak ukur tersebut. Dalam dunia nyata, pihak yang

membagi adalah negara dan pihak yang mendapat bagian adalah rakyatnya.

Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari keadilan distributif adakah suatu negara telah

membuat undang-undang yang berdasar pada tolak ukur tersebut, apakah tindakan

pemerintah juga demikian dan pengadilan juga menjatuhkan putusan yang

memperhatikan ukuran-ukuran itu. 15

Dalam kehidupan bernegara, akan selalu ada antinomi dalam hukum.

Perdebatan akan tujuan hukum mana yang harus lebih didahulukan dari tujuan

lainnya. Apakah peraturan yang dibuat oleh pemerintah harus lebih mengedepankan

keadilan tanpa memandang kepastian hukum nya dan kemanfaatannya, atau

mengedepankan kepastian hukum dan kemanfaatan daripada mengedepankan

keadilan. Apabila hukum yang dibuat dan dilaksanakan lebih mengarah kepada

kepastian hukum, artinya itu semakin tegar dan tajam peraturan hukum, semakin

terdesaklah keadilan. Akhirnya bukan tidak mungkin terjadi summum ius summa

iniura yakni, keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Dengan demikian

terdapat antinomi antara tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum.

Betapa pun, tujuan hukum adalah untuk menciptakan damai sejahtera dalam

hidup bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itulah, perlu merujuk pandangan

15
Ibid., hlm. 133

9
Ulpianus yang menyatakan: perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan

sesama manusia, dan setiap orang mendapat bagiannya.

Dari beberapa definisi dapat dipahami bahwa pengertian keadilan adalah

semua hal yang berkenaan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar

manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya

sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau

pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan

kewajibannya.16

2. Teori Mengenai E-Money:

Perkembangan teknologi telah membawa suatu perubahan kebutuhan

masyarakat atas suatu alat pembayaran yang dapat memenuhi kecepatan, ketepatan,

dan keamanan dalam setiap transaksi elektronik. Sejarah membuktikan

perkembangan alat pembayaran terus berubah-ubah bentuknya, mulai dari bentuk

logam, uang kertas konvensional, hingga kini alat pembayaran telah mengalami

evolusi berupa data yang dapat ditempatkan pada suatu wadah atau disebut dengan

alat pembayaran elektronik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,

salah satu wewenang Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran adalah menetapkan penggunaan alat pembayaran.

Penetapan penggunaan alat pembayaran ini dimaksudkan agar alat pembayaran yang

digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan dan efisiensi bagi

penggunanya. Perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi memberi

dampak terhadap munculnya inovasi-inovasi baru dalam pembayaran elektronis

(Electronic Payment).

16
Ibid., hlm. 135

10
Maka dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang

senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang

semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan

penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk keuangan. Melihat kondisi

tersebut maka Bank Indonesia selaku bank sentral Indonesia yang memiliki tugas

menentukan kebijakan moneter dan mengatur sistem pembayaran mengeluarkan

kebijakan sistem pembayaran melalui e-money yang telah diatur dalam Peraturan

Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018

dikatakan bahwa Uang Elektronik (E-Money) adalah alat pembayaran yang

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;

2. nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip;

3. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan

penerbit uang elektronik tersebut; dan

4. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai

perbankan.17

Tujuan awal penggunaan e-money adalah untuk kepraktisan, hanya dengan

satu tindakan maka transaksi berhasil dilakukan, selain itu tidak perlu membawa

uang tunai jika ingin membeli sesuatu. Namun pada dasarnya e-money tidak

bertujuan untuk mengganti fungsi uang tunai secara total. Pemegang kartu e-

money sebaiknya memilih kartu e-money sesuai kebutuhan. Hal ini karena ada

banyak kartu e-money yang beredar di pasaran dan menawarkan fasilitas

pembayaran yang tidak sama. Selain itu tidak semua pedagang yang dapat

17
Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik

11
menerima transaksi pembayaran melalui e-money. Dengan kata lain, belum ada

kartu e-money yang bisa memenuhi semua kebutuhan.

Meskipun relatif masih dalam tahap perkembangan awal, e-money

mempunyai potensi dalam menggeser peran uang tunai untuk pembayaran-

pembayaran yang bersifat retail sebab transaksi retail tersebut dapat dilakukan

dengan lebih mudah dan murah baik bagi konsumen maupun pedagang

(merchant). Pengembangan e-money di berbagai negara telah melahirkan berbagai

issue implikasi pengembangan e-money terhadap kebijakan Bank Sentral

khususnya yang berkaitan dengan fungsi pengawasan sistem pembayaran dan

efektifitas kebijakan moneter.

Berbeda dengan kartu kredit atau kartu debit, kartu e-money tidak

memerlukan konfirmasi data atau otorisasi Personal Identification Number (PIN)

ketika akan digunakan sebagai alat pembayaran dan tidak terkait langsung dengan

rekening nasabah di bank. Hal ini karena e-money merupakan produk stored value

dimana sejumlah nilai monetary value telah terekam dalam alat pembayaran yang

digunakan. Hal tersebut memungkinkan kartu dapat dipindahtangankan dan bisa

dipakai siapapun selama saldo masih mencukupi. Hal ini dapat membahayakan

karena jika kartu e-money hilang, maka saldo yang tersisa dapat digunakan oleh

orang lain. Pada kenyataannya, e-money dengan nilai yang dapat di top up atau

diisi ulang ini tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga

yang mengeluarkan produk ini. Artinya jika pencurian atau penggunaan kartu e-

money yang bukan pemegang kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu

tersebut tidak dapat diblokir.

Pengertian e-money, menurut Bank for International Settlements diartikan:

“stored-value or “prepaid” products in which a record of the funds or “value”

available to a consumer is stored on an electronic device in the consumer’s

possession. The electronic value is purchased by the consumer (for example,

in the way that other prepaid instruments such as travellers’ cheques might be

12
purchased) and is reduced whenever the consumer uses the device to make

purchases. Traditional electronic payment transactions such as those with

debit or credit cards typically require online authorisation and involve the

debiting of the consumer’s bank account after the transaction”.18

Berdasarkan pengertian diatas, e-money adalah produk nilai uang yang

disimpan (stored value) atau produk prabayar (prepaid), di mana sejumlah dana atau

nilai uang disimpan dalam suatu media elektronik yang dimiliki konsumen. Nilai

elektronik tersebut “dibeli” oleh konsumen dan tersimpan dalam media elektronik

yang merupakan pemiliknya, di mana nilai uang elektroniknya akan berkurang setiap

kali konsumen menggunakannya untuk melakukan pembayaran.

Contoh produk e-money yang sudah ada yang telah dikeluarkan oleh penerbit

yang disahkan oleh Bank Indonesia diantaranya adalah Kartu Flazz dari BCA, kartu

e-money dari Bank Mandiri, Kartu e-money Bank Mega, Kartu Brizzi dari BRI, selain

itu ada juga e-money yang berwujud dalam suatu aplikasi seperti t-cash dari

telkomsel, XL Tunai dari XL Axiata, dan Dompetku dari Indosat, GoPay dari GoJek,

OVO, dan Dana.

Dengan adanya berbagai macam produk e-money dari masing-masing

penerbit, baik lembaga Bank maupun provider telepon serta produk-produk yang

muncul beriringan dengan perubahan kebiasaan masyarakat untuk mulai

menggunakan e-money, muncul polemik mengenai cara top-up atau pengisian ulang

e-money itu sendiri.

Bank Indonesia sendiri telah dengan jelas menetapkan pengaturan mengenai

batas maksimal yang bisa diterapkan oleh masing-masing penerbit terkait hal ini.

Berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/10/PADG/2017 tentang

Gerbang Pembayaran Nasional, dalam Lampiran II dengan jelas dinyatakan bahwa

terdapat biaya administrasi dalam melakukan pengisian ulang e-money ini. Hal ini

18
Rachmadi Usman, “Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran” Jurnal Yuridika
Volume 32 No.1, 2017, hlm. 138

13
jelas menjadi sorotan masyarakat terutama bagi Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan bahwa

kebijakan yang diterapkan oleh Bank Indonesia menjadi kontra produktif, dimana

pemerintah menetapkan bahwa pemerintah ingin mengubah arah penggunaan uang

menjadi cashless, namun disisi lain pemerintah menetapkan bahwa setiap pengisian

ulang e-money akan dikenakan biaya administrasi, secara filosofis apa yang

dilakukan Bank Indonesia justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless

society tersebut. Lebih lanjut beliau menjelaskan dengan cashless society sektor

perbankan justru lebih diuntungkan dibandingkan konsumen (masyarakat).

Perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi/pembelian belum dilakukan

oleh konsumen. Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan

disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak

mendapatkan insentif, bukan disinsentif. Pengenaan biaya top up hanya bisa

ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang

digunakan, dan tidak pantas pula jika sektor perbankan dalam menggali pendapatan

lebih dengan mengandalkan “uang recehan”. Seharusnya keuntungan bank berbasis

dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut

transaksi recehan dengan mengenakan biaya pengisian ulang, apalagi banyak

pengguna e-money berasal dari kalangan menengah bawah.19

3. Teori Mengenai Cashless dan Perkembangannya

Era cashless di Indonesia sudah di depan mata. Di satu sisi, cashless society

dipandang sebagai media alternatif selain uang tunai (hard cash) yang

19
Tulus Abadi, “Pernyataan Pers YLKI Kritik Peraturan BI terkait Pengenaan Biaya Topup E-money,
diakses dari https://ylki.or.id/2017/09/pernyataan-pers-ylki-kritik-peraturan-bank-indonesia-bi-terkait-
pengenaan-biaya-top-up-e-money/, pada tanggal 4 September 2019, pukul 14.10.

14
dipergunakan dalam transaksi perdagangan, Dalam hal ini perpindahan atau

pertukaran uang tunai antar pihak yang melakukan transaksi digantikan melalui

sistem elektronik, salah satu contohnya adalah e-money. Sementara di sisi yang

lain, cashless society dilihat sebagai struktur/bangunan baru masyarakat atau

komunitas yang tidak lagi memandang uang sebagai sesuatu yang harus berwujud

dalam lembaran kertas atau koin (berwujud fisik). Namun demikian pengertian

cashless bukan berarti ketiadaan uang sebagai media transaksi.

Cashless society adalah keadaan ekonomi di mana transaksi keuangan tidak

dilakukan dengan uang dalam bentuk uang kertas atau koin fisik, melainkan melalui

transfer informasi digital (biasanya representasi elektronik uang) antara pihak yang

bertransaksi. Sebagian kecil masyarakat di Indonesia pasti pernah bertransaksi

secara cashless. Bahkan ada juga yang sudah jarang memegang uang tunai.

Mereka membayar toll dengan e-money, membayar transportasi umum dengan e-

money, membayar parkir dengan e-money, belanja dengan kartu debit ataupun

kartu kredit, belanja online dengan metode pembayaran non-tunai, dan lain–lain.20

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa cashless society merupakan cara

pandang baru masyarakat dalam menilai hakikat uang, terkait dengan

penggunaannya dalam transaksi. Dalam hal ini, uang dilihat sebagai sebuah sarana

dan bukan merupakan entitas fisik semata.

Munculnya konsep cashless society ini juga didasari oleh fakta yang

mengungkapkan jika penggunaan uang tunai secara fisik dalam transaksi

membutuhkan biaya-biaya yang tidak sedikit, terutama dalam kaitannya dengan

penerbitan uang fisik, perputaran dan distribusi, serta perawatan dan penggantian

uang yang rusak/usang.

Selain alasan biaya penerbitan, distribusi dan perawatan, terdapat faktor lain

yang memicu gagasan cashless society, diantaranya:

20
Compfest, “Kelebihan dan Kekurangan di Dunia Cashless Society, diakses dari
https://www.compfest.id/blog/kelebihan-dan-kekurangan-di-dunia-cashless-society/m, pada tanggal
08 September 2019, pukul 10.50.

15
1. Kesadaran akan banyaknya potensi kecurangan dan kejahatan yang

diakibatkan oleh adanya uang fisik, misalnya beredarnya uang palsu.

2. Kesadaran bahwa dalam masyarakat yang tidak bergantung pada uang fisik

justru akan mempermudah tugas pemerintah dalam mengelola dan mengawasi

transaksi-transaksi dari kegiatan ekonomi dan perdagangan melalui akses

pada laporan-laporan elektronik.

3. Transaksi tanpa melibatkan perpindahan uang secara fisik juga mengurangi

kemungkinan terjadinya korupsi dan kolusi di antara pihak-pihak yang

bertransaksi, terutama terkait dengan pelayanan publik.

Namun tidak dapat dipungkiri, kehadiran sistem cashless juga

membawa dampak bagi masyarakat terutama masyarakat urban/ibu kota. Tidak

hanya membawa dampak positif, namun juga pasti ada dampak negatif dari

penerapan sistem ini.

Kelebihan sistem cashless yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

Keuntungan pertama dan terpenting dari ekonomi cashless adalah bahwa

seseorang tidak perlu membawa uang tunai dimanapun yang pada gilirannya

mengurangi kemungkinan pencurian dari dompet, mengurangi ketidaknyamanan

karena membawa uang tunai apalagi jika jumlahnya banyak, dan memberikan

kebebasan jika sewaktu-waktu butuh perubahan (misalnya transaksi lebih dari

sekali) saat transaksi dilakukan. Transaksi ini juga tidak ada resiko menerima

uang palsu dan sebagainya.

Manfaat lain dari ekonomi cashless adalah bahwa lebih mudah untuk

melacak transaksi ilegal karena jika uang tunai digunakan secara langsung untuk

melakukan transaksi, tidak mudah bagi kita untuk melacak transaksi karena uang

tersebut tidak masuk ke sistem perbankan namun dalam kasus transaksi digital,

sangat mudah untuk melacak transaksi karena semua catatan ada di bank yang

16
menghasilkan transaksi yang lebih transparan yang pada gilirannya menyebabkan

turunnya korupsi dalam perekonomian negara.

Keuntungan lain dari transaksi keuangan cashless adalah karena

semua transaksi akan dilakukan melalui jalur terorganisir yaitu melalui bank dan

lembaga keuangan, hal itu menghasilkan peningkatan pendapatan pajak bagi

pemerintah karena semua transaksi tunai yang dilakukan secara ilegal masuk ke

sistem perbankan yang pada gilirannya membantu pemerintah dalam melacak

semua transaksi dan memungut pajak atas mereka yang pada gilirannya dapat

digunakan oleh pemerintah untuk kemajuan ekonomi negara.21

Seiring perkembangan penggunaan cashless di masyarakat,

ditemukan beberapa kekurangan yang menjadi dampak berkembangnya

cashless ini. Kelemahan terbesar dari transaksi keuangan cashless adalah

bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan untuk melakukan transaksi

digital sehingga jangkauannya terbatas hanya pada pusat perkotaan dan

sekitarnya saja dan oleh karena itu sangat sulit menerapkan transaksi keuangan

cashless di masyarakat pedesaan yang masih belum melek teknologi dan susah

akses internet. Apalagi jika mereka masih buta huruf dan miskin. Oleh karena

itu, kurangnya infrastruktur dan pendidikan yang layak di antara warga negara

menjadi kendala nyata Sistem Transaksi cashless ini.

Kelemahan lain dari Sistem Transaksi cashless) ini adalah bahwa

meskipun mudah melakukan transaksi digital namun dibalik itu ada risiko yang

mengintai terkait kejahatan siber dan kehilangan uang hasil jerih payah mereka

jika sampai terkena kasus penipuan online dan peretasan rekening bank dan

oleh karena itu lebih baik melakukan transaksi tunai daripada melakukan

transaksi digital jika seseorang tidak sepenuhnya mengetahui transaksi secara

online ini.
21
Ibid.

17
Kelemahan lain dari Sistem Transaksi cashless ini adalah bahwa cara

pembayaran digital seperti kartu kredit dan internet banking melibatkan

beberapa biaya transaksi yang tidak sesuai dengan transaksi tunai dan oleh

karena itu setiap individu yang berpikir untuk melakukan transaksi online akan

memperhitungkan biaya transaksi ini. Oleh karena itu, adanya biaya transaksi

merupakan penghalang bagi Sistem Transaksi cashless ini bagi masyarakat

yang kritis terhadap biaya.22

Selain itu muncul pula risiko karena masih kurang pahamnya

pengguna dalam menggunakan uang elektronik, seperti pengguna tidak

menyadari uang elektronik yang digunakan ditempelkan dua kali pada reader

untuk suatu transaksi yang sama sehingga nilai uang elektronik berkurang lebih

besar dari nilai transaksi.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Perkembangan E-Money di Indonesia

Alat pembayaran berkembang sangat pesat dan maju, dimulai dari sistem

barter antar barang yang diperjual-belikan sampai dikenal satuan tertentu yang
22
Setiyo HN, “Mengenal Cashless Society” Majalah Sindo Weekly No. 50 Tahun V, 6-12 Februari
2017, hlm. 5

18
memiliki nilai pembayaran yang saat ini dikenal dengan uang. Di Nusantara sendiri,

sejak abad ke-5 sampai abad ke-14 sudah beredar mata uang emas, perak,

tembaga, timah maupun perunggu. Berbagai kerajaan di Nusantara seperti

Majapahit, Aceh dan Pasai, mengeluarkan mata uangnya sendiri. Mata uang

Kerajaan Aceh bahkan sempat berlaku meluas di belahan dunia. Setelah Indonesia

merdeka, tepatnya pada Oktober 1946, Indonesia menerbitkan mata uang yang

berlaku secara nasional yakni Oeang Republik Indonesia. Bentuk uang pertama

Indonesia adalah uang kertas yang bernominal 1 sen dengan gambar keris tanpa

“bungkus” dan gambar teks Undang-Undang Dasar 1945 di baliknya. 23

Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang

berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat

pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat

pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro. Selain itu

dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat

pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu

Prabayar).

Perubahan teknologi mendorong munculnya inovasi-inovasi di berbagai

bidang, salah satunya dapat dilihat dari penggunaan uang sebagai alat pembayaran.

Masyarakat yang sejak awal terbiasa menggunakan uang tunai dalam bertransaksi,

mulai beralih menggunakan e-money sebagai alat pembayaran. Hal ini didukung oleh

kebijakan Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 20/6/PBI/2018

tentang Uang Elektronik (“E-Money”). Dalam peraturan ini tersirat bahwa Bank

Indonesia menggandeng pihak-pihak baik lembaga bank maupun lembaga non-bank

untuk dapat menerbitkan e-money (“Penerbit”).

Dalam e-money terdapat sejumlah nilai uang yang disimpan secara elektronik

pada kartu, sehingga keberadaannya tidak dapat dikategorikan sebagai produk

23
Asrari Puadi, ORI, Uang Pertama di Indonesia, diakses dari
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/12/03/ori-uang-pertama-di-indonesia, pada tanggal 07
Seotember 2019, pukul 17.10.

19
simpanan. Hal ini mengingat pada uang elektronik tersimpan sejumlah nilai uang

elektronik setelah disetorkan terlebih dahulu kepada Penerbit maupun pihak yang

ditunjuk oleh Penerbit untuk dapat melakukan penambahan nilai uang, baik secara

tunai maupun secara transfer. Bila dicermati konsep uang elektronik dalam Pasal 1

angka 3 PBI No. 11/12/PBI/2009 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No.

18/17/PBI/2016, jelas bahwa produk uang elektronik itu bukan merupakan simpanan,

karena nilai uang elektronik yang disetorkan oleh pemegang uang elektronik kepada

penerbit uang elektronik tidak tersimpan di rekening bank, nilai uang yang disetorkan

tersebut terekam secara elektronik pada kartu yang diterbitkan.

B. Kebijakan E-Money dari Perspektif Keadilan

Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga September 2017, jumlah e-money

yang beredar di masyarakat sebanyak 71.783.618. Hingga bulan yang sama, volume

transaksi uang elektronik telah mencapai Rp.817.366 miliar, dengan 67,55 juta

transaksi. BI juga mencatat ada 486.039 reader (mesin pembaca) uang elektronik. 24

Pengguna terbesar e-money adalah masyarakat urban/ kota besar, dimana

infrastruktur di bidang teknologi di kota-kota besar mendukung untuk dilakukan

cashless society.

Besarnya minat masyarakat atas penggunaan e-money, merupakan dampak dari

Gerakan Nasional Non Tunai (Penggunaan E-money). Namun Gerakan ini tidak serta-

merta dapat berjalan dengan mulus sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah

dan ditemukan beberapa kondisi yang menjadikan Gerakan ini menjadi “cacat

bawaan”. Cacat bawaan dari GNTT, yang pertama mengenai istilah GNTT itu sendiri,

GNTT ini pada dasarnya merupakan “gerakan”, bukan merupakan kewajiban. Namun

dalam prakteknya sering kali menjadi suatu kewajiban. Contohnya dalam penggunaan

jalan tol, pemerintah mewajibkan pengguna jalan tol untuk menggunakan e-money

24
Dinda Purnamasari, “50,90% Masyarakat Khawatirkan Penggunaan Data e-Money”, diakses dari
https://tirto.id/5090-masyarakat-khawatirkan-penggunaan-data-e-money-cy41, pada tanggal 07
September 2019, pukul 17.30.

20
dalam transaksi pembayaran, tidak ada pilihan lain yang diberikan pemerintah selain

daripada penggunaan e-money. Hal ini menjelaskan bahwa Gerakan Nasional Non

Tunai sudah beralih menjadi Kewajiban Nasional Non Tunai.

Kedua, kebijakan itu melanggar Undang-Undang Mata Uang. Dalam undang-

undang itu tidak dikenal istilah uang elektronik (e-money) hanya dikenal uang logam

dan atau uang kertas. Bank Indonesia mengakui bahwa uang elektronik (e-money)

tidak diatur dalam undang-undang tersebut, melainkan dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, seharusnya Undang-Undang Bank Indonesia

hanya mengatur soal fungsi dan kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Sedangkan dalam hal transaksi, basisnya adalah Undang-Undang Mata Uang. Ironis

sekali jika dalam hal ini Bank Indonesia menelurkan kebijakan yang tidak jelas dari sisi

regulasi. Kebijakan atas e-money menjadi prematur, yang terbukti dengan tidak

adanya landasan hukum yang menjadi payung bagi gerakan penggunaan e-money.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran

Nasional (National Payment Gateway) menjadi cacat bawaan secara yuridis karena

bertentangan dengan regulasi yang ada di atasnya. Benar bahwa Pasal 15 ayat 1

huruf c Undang-Undang BI menyebutkan bahwa salah satu kewenangan BI adalah

menetapkan penggunaan alat pembayaran. Di sini telah terjadi kontradiksi hukum,

maka dua aturan itu harus diharmoniskan terlebih dulu.

Ketiga, Penggunaan e-money bertentangan dengan hak-hak konsumen,

dimana dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dijelaskan bahwa konsumen berhak untuk menentukan cara untuk

memperoleh barang atau jasa. Dalam hal ini berarti konsumen berhak untuk memilih

menggunakan uang tunai ataupun non-tunai (e-money). Sistem Penggunaan e-money

juga masih merugikan konsumen. Misalnya, saldo yang tersisa di kartu non-tunai tidak

bisa digunakan lagi. Belum lagi jika kartu itu hilang, saldo yang ada tidak bisa diklaim

kepada penerbit karena tidak ada sistem proteksi pada kartu tersebut. Jadi dalam hal

21
ini secara yuridis Penggunaan e-money bertentangan dengan hak paling dasar bagi

konsumen, dan karena itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 25

Permasalahan lain yang muncul seiring perkembagan e-money adalah,

pertama semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan e-money tidak diikuti

dengan produsen atau penjual barang dan jasa yang menerapkan cara pembayaran

non-tunai di gerai-gerai yang mereka miliki. Hal ini juga menyulitkan pengguna e-

money karena uang yang telah mereka masukkan ke dalam e-money untuk dapat

bertransaksi tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, dan menyebabkan

pengguna harus tetap mempersiapkan uang tunai untuk dapat bertransaksi.

Permasalahan lain yang justru bertentangan dengan permasalahan pertama adalah

dalam hal menggunakan moda transportasi umum maupun penggunaan jalan tol.

Seperti kita ketahui sendiri, beberapa moda transportasi umum seperti Commuter

Line, Mass Rapid Transit (MRT), maupun Transjakarta sudah menerapkan sistem

pembayaran dengan menggunakan e-money, bahkan beberapa stasiun Commuter

Line sudah tidak lagi menerima pembayaran dengan cara uang tunai. Transaksi dalam

menggunakan jalan tol juga sudah mulai bergeser, dahulu dalam menggunakan jalan

tol, para pengguna masih dapat membayar dengan menggunakan uang tunai, namun

sekarang semua transaksi pengguna tol sudah harus menggunakan e-money.

Kerugian lain yang harus ditanggung oleh konsumen atas penggunaan e-

money adalah pengenaan biaya administrasi dari penerbit kartu saat melakukan top

up. Hal tersebut didukung dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur nomor

19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional pasal 45 ayat (6). Dimana

dalam peraturan tersebut mengatur bahwa pemegang kartu e-money dikenakan

biaya administrasi sebesar Rp. 1.500 sampai dengan Rp. 2.000,- dalam satu kali

pengisian. Hal tersebut tidak sejalan dengan semangat cashless society yang

digalakkan dimana e-money seharusnya menjadi alternatif alat pembayaran yang

25
YLKI, “Cacat Bawaan Gerakan Non-Tunai”, diakses dari https://ylki.or.id/2017/11/cacat-bawaan-
gerakan-non-tunai/, pada tanggal 3 September 2019, pukul 11.00.

22
ditawarkan pemerintah. Menurut hemat penulis, biaya administrasi untuk pengisian

hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam hal ini penerbit kartu dan pihak

perbankan. Dalam pembuatan pengaturan e-money, masih berat pada kepentingan

golongan, sehingga peraturan yang dibuat tersebut menjauhi cita-cita nasional.

Pemikiran dasar dalam kepentingan bangsa dan Negara Wajib ditempatkan lebih

tinggi di atas kepentingan pribadi atau golongan; dalam kehidupan utuh sebagai

bangsa Indonesia, adanya kemajemukan (keberagaman, kebhinekaan) dihormati:

serta kehidupan bernegara hukum senantiasa dalam proses berubah menuju cita-

cita nasional, yakni :

a. melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. memajukan kesejahteraan umum;

c. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

d. ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. 26

Negara lain seperti Singapura dan Inggris,dalam penggunaan

transaksi non tunainya (e-money) justru diberi insentif bukan dikenakan biaya. Bank

berlomba-lomba menawarkan aneka diskon bagi pengguna e-money, sehingga

banyak masyarakat berpindah dari transaksi tunai ke digital. Biaya transfer antar

pengguna maupun biaya top up tidak dibebankan ke konsumen. Perbankan

mendapatkan manfaat apabila banyak masyarakat yang menggunakan layanan

digital. Hal tersebut merupakan bagian dari promosi bank. Riset yang dilakukan oleh

Collinson mengungkap 63% loyalitas nasabah bank dipengaruhi oleh rendahnya fee

transaksi. Sementara itu perbankan di Inggris misalnya, mencari pendapatan dari

layanan lain seperti penyaluran kredit. Cross subsidy ini pada ujungnya juga

mendatangkan manfaat bagi bank. Penulis berpendapat pengenaan tarif administrasi

26
Sudjito Atmorejo, “Hukum Progresif Untuk Mewujudkan Keadilan Substantif Dalam Bingkai Nilai-
Nilai Pancasila,” dalam Sudjito Atmorejo, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan (Cet. IV; Yogyakarta:
Dialektika, 2018), h. 120.

23
atas nilai uang yang dimiliki pemegang e-money, tidak memenuhi rasa keadilan.27

Masyarakat diminta untuk berbondong-bondong meringankan beban pemerintah

dengan memakai e-money, namun itikad baik masyarakat tidak dibarengi dengan

kemudahan seperti pemerataan sosialisasi e-money di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur

yang merata. Nampaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih perlu

dipertanyakan dalam pemberlakuan sistem e-money.

Aturan mengenai e-money dapat disebut sebagai hukum publik.

Hukum Publik umumnya bersifat imperatif, sedangkan hukum privat bersifat fakultatif.

Namun dalam hal-hal tertentu dapat berlaku sebaliknya. Hukum secara luas dan

mendalam berusaha mewujudkan keadilan sejati bersifat imperatif apabila diperlukan

bagi kepentingan umum, namun untuk hal-hal tertentu apabila tidak sejalan dengan
28
keadaan nyata ia bersifat fakultatif. Menurut Penulis, peraturan dan kebijakan yang

dibuat seharusnya mengakomodir kebutuhan masyarakat tanpa memberatkan, benar

adanya bahwa hukum adalah perwujudan dari kebijakan publik yang dipengaruhi

oleh isu-isu politik, dan kondisi perubahan politik sangat mempengaruhi kebijakan

publik.29 Terhadap isu yang penulis bahas, bahwa dalam merumuskan

kebijakan/peraturan terkait e-money masih berat pada kepentingan pihak tertentu,

khususnya bagi bank dan penggiat usaha yang memperoleh keuntungan dari

kebijakan tersebut.

Penulis memahami, bahwasanya pemerintah sedang mendorong

perubahan sosial dalam masyarakat untuk tercapainya tujuan hukum dalam aspek

kemanfaatan dan keadilan bagi semua lapisan masyarakat dalam hal penggunaan

27
Bhima Yudhistira Adhinegara, “Transaksi E-money Jangan Korbankan Konsumen”, diakses dari
http://www.neraca.co.id/article/85782/transaksi-e-money-jangan-korbankan-konsumen, pada tanggal
07 September 2019, pukul 16.00.
28
Dirjosisworo dalam Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, “ Dasar-dasar Politik Hukum” (PT
Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm. 79
29
Pramudya, “Meneliti Kebijakan Publik,” (Cet. I; Salatiga: Sanggar Mitra Sabda, 2007) hlm. 1.

24
alat pembayaran, namun hal ini tidak bisa dicapai tanpa disertai ketersediaan fasilitas

dan pemberian kemudahan sehingga kemanfaatan dan keadilan ini dapat dirasakan

oleh semua lapisan masyarakat. Undang-undang dan peraturan yang dibuat sadar

ataupun tidak sering digunakan sebagai bentuk dukungan tambahan bagi kekuasaan

dari pemerintah. Kebijakan Pemberlakuan untuk memberi dukungan kepada

kekuasaan tertentu berdampak buruk pada pembangunan hukum nasional. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat bahwa hukum sebagai perwujudan dari kebijakan

publik adalah peraturan, karena itu peraturan juga sangat dipengaruhi oleh

paradigma dan cara pandang penguasa terhadap hukum. ketika penguasa akan

mengambil kebijakan publik yang kemudian diwujudkan menjadi peraturan-peraturan

yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem sosial yang dapat mengatur dan

mengendalikan masyarakat30.

30
Pramudya,op.cit.hlm 1

25
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kondisi seperti yang sudah disebutkan diatas dapat membawa permasalahan baru di

dalam masyarakat. Pertama, tidak semua masyarakat sudah mempunyai wawasan

mengenai penggunaan e-money maupun produk turunannya. Sehingga banyak kita

dapati seperti masyarakat pendatang dari luar Ibu Kota Jakarta yang justru tidak

mengetahui apa e-money itu dan bagaimana cara kerja e-money itu sendiri.

Sehingga bukan tidak mungkin dapat dikatakan bahwa hanya masyarakat urban/ibu

kota saja yang menuju era cashless society, namun tidak pada masyarakat di daerah

lainnya. Kedua, masyarakat miskin dan sangat miskin yang tidak mempunyai akses

kepada produk keuangan (bahkan tidak memiliki akun rekening di bank manapun)

semakin terpinggirkan. Alhasil, alih-alih menjadikan produk finansial semakin inklusif,

e-money justru menciptakan kelompok eksklusif baru. Bakal terjadi dua realitas

finansial di dalam masyarakat. Yakni, masyarakat modern yang tenggelam dalam

tren e-money (cashless society) dan masyarakat yang semakin tergeser dari

perkembangan ini.

Hal tersebut justru membuat ketimpangan keadilan dari peraturan yang

dibuat oleh pemerintah. Sudah seharusnya produk hukum yang dibuat oleh

pemerintah dapat diterima dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat di seluruh

wilayah Republik Indonesia, tidak hanya untuk daerah-daerah tertentu saja yang

mendapatkan keuntungan dari produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah.

26
B. SARAN

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan maka dapat disampaikan saran

terkait dengan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam

transaksi e-money adalah :

1. Perlu dilakukan penataan ulang atas kebijakan terkait e-money. Pemerintah

wajib memberikan fasilitas yang lebih memadai dalam bentuk infrastruktur dan

kemudahan dalam mendayagunakan e-money terlebih apabila himbauan untuk

menggunakan e-money di berlakukan di seluruh Indoneslia.

2. Bentuk pengaturan lebih tegas untuk melindungi perlindungan pemegang kartu

dalam transaksi e-money yang dapat berupa Undang-Undang, Peraturan

ataupun Perjanjian lainnya yang lebih jelas, lengkap dan memberikan

persamaan kedudukan antara penerbit dan pemegang kartu. Mengingat e-

money adalah alat bayar pengganti uang, seharusnya pemerintah turut

mengatur pihak-pihak mana yang boleh menerbitkan, bila perlu dibuat

gratis/tidak berbayar untuk proses to up atau isi ulang.

27
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka.

Karl R. Popper, 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society and
Its Enemy), diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., 2008, Pengantar Ilmu Hukum - Edisi
Revisi, Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, Cetakan ke-4, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung:Alumni.

Nasution, Bahder Johan, 2017.Kajian Filosofis Tentang Hukum dan Keadilan dari Pemikiran
Klasik sampai Pemikiran Modern, Jambi : Jurnal Universitas Jambi.

Setiyo HN, “Mengenal Cashless Society” Majalah Sindo Weekly No. 50 Tahun V, 6-12
Februari 2017.

Sudjito Atmorejo, 2018, Hukum Progresif Untuk Mewujudkan Keadilan Substantif Dalam
Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, dalam Sudjito Atmorejo, Hukum Dalam Pelangi
Kehidupan Cet. IV,Yogyakarta: Dialektika.

Internet :
Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State Documents & Translation,
“Indonesia Now Among Group of Countries With Economies Above $1 Trillion:
President Jokowi”, diakses dari https://setkab.go.id/en/indonesia-now-among-group-
of-countries-with-economies-above-1-trillion-president-jokowi/, pada tanggal 03
September 2019, pukul 14.27.

Kominfo, “Infrastruktur Digital Topang Percepatan Masuki Industri 4.0”, diakses dari
https://kominfo.go.id/content/detail/17244/infrastruktur-digital-topang-percepatan-
masuki-industri-40/0/berita, pada tanggal 03 September 2019, pukul 14.43.

Irpanudin, “Jalan Panjang Dinanti, Menuju Cashless Society”, diakses dari


https://www.kompasiana.com/dean/557792d3a623bd285315be4d/jalan-panjang-
dinanti-menuju-cashless-society?page=all, pada tanggal 06 September 2019, pukul
13.15 WIB.

Ferry Faby Fadillah, “ Sudah Saatnya beralih ke e-money, Alat Pembayaran Jaman Now”,
diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/sudah-saatnya-
beralih-ke-e-money-alat-pembayaran-zaman-now/, pada tanggal 07 September,
pukul 15 : 54.

28
Bank Indonesia, “Payment System License Information”, diakses dari
https://www.bi.go.id/en/sistem-pembayaran/informasi-perizinan/uang-
elektronik/penyelenggara-berizin/Pages/default.aspx, pada tanggal 07 September
2019, pukul 15 : 58.

Hilel Hodawya, “Peristiwa blckout yang pernah melanda Jakarta dan Sekitarnya”, diakses
dari https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/07/21163031/peristiwa-blackout-
yang-pernah-melanda-jakarta-dan-sekitarnya?page=all berdampak pada seluruh
transaksi elektronik, pada tanggal 07 September 2019, pukul 16.10.

Tulus Abadi, “Pernyataan Pers YLKI Kritik Peraturan BI terkait Pengenaan Biaya Topup E-
money, diakses dari https://ylki.or.id/2017/09/pernyataan-pers-ylki-kritik-peraturan-
bank-indonesia-bi-terkait-pengenaan-biaya-top-up-e-money/, pada tanggal 4
September 2019, pukul 14.10.

Compfest, “Kelebihan dan Kekurangan di Dunia Cashless Society, diakses dari


https://www.compfest.id/blog/kelebihan-dan-kekurangan-di-dunia-cashless-society/m,
pada tanggal 08 September 2019, pukul 10.50.

Asrari Puadi, ORI, Uang Pertama di Indonesia, diakses dari


https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/12/03/ori-uang-pertama-di-indonesia,
pada tanggal 07 Seotember 2019, pukul 17.10.

Dinda Purnamasari, “50,90% Masyarakat Khawatirkan Penggunaan Data e-Money”, diakses


dari https://tirto.id/5090-masyarakat-khawatirkan-penggunaan-data-e-money-cy41,
pada tanggal 07 September 2019, pukul 17.30.

YLKI, “Cacat Bawaan Gerakan Non-Tunai”, diakses dari https://ylki.or.id/2017/11/cacat-


bawaan-gerakan-non-tunai/, pada tanggal 3 September 2019, pukul 11.00.

Bhima Yudhistira Adhinegara, “Transaksi E-money Jangan Korbankan Konsumen”, diakses


dari http://www.neraca.co.id/article/85782/transaksi-e-money-jangan-korbankan-
konsumen, pada tanggal 07 September 2019, pukul 16.00.

Peraturan perundang-undangan :
Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.
Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran
Nasional

29

Anda mungkin juga menyukai