Anda di halaman 1dari 23

Perlindungan Hak pengguna dalam perjanjian pinjaman secara

online berdasarkan perlindungan konsumen dengan dalam


perspektif hak asasi manusia
Mitha Amelia Pradika
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya
Email : mithaameliapradika124@gmail.com

Abstrac : The purpose of this article is to ascertain the present conditions surrounding online loans
and to learn how consumer rights are protected from a human rights standpoint. Normative research
is the methodology employed. The discussion's conclusions demonstrate that the Financial Services
Authority has been in charge of regulating and overseeing internet loans. On the other hand, there
are no financial technology regulations that penalize unlicensed online lenders. The public's
ignorance of the online lending process and the absence of particular regulations governing financial
technology, such as safeguards against the abuse of personal data, combine to produce human rights
breaches. which is a management tool used to carry out financial technology operations. Thus, it can
be said that there is still room for improvement when it comes to online loan users' rights being
protected. Given that customers have fundamental rights that must be protected in their capacity as
consumers and as human beings with fundamental rights that are inherent from birth, this
circumstance requires attention. In order to take legal action against illicit online loans, it is
necessary to socialize people about online lending, develop a Financial Technology Act, and adopt
the Law on Personal Data Protection.

Key Words: illegal online loans; consumer rights; protection of human rights

Abstrak : Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui kondisi terkini seputar pinjaman online dan
mempelajari bagaimana hak-hak konsumen dilindungi dari sudut pandang hak asasi manusia.
Penelitian normatif adalah metodologi yang digunakan. Kesimpulan diskusi menunjukkan bahwa
Otoritas Jasa Keuangan selama ini bertugas mengatur dan mengawasi pinjaman internet. Di sisi lain,
tidak ada peraturan teknologi keuangan yang memberikan sanksi kepada pemberi pinjaman online
yang tidak berizin. Ketidaktahuan masyarakat terhadap proses pinjaman online dan tidak adanya
peraturan khusus yang mengatur teknologi keuangan, seperti perlindungan terhadap
penyalahgunaan data pribadi, berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. yang
merupakan alat manajemen yang digunakan untuk menjalankan operasional teknologi keuangan.
Dengan demikian, dapat dikatakan masih ada ruang untuk perbaikan dalam hal perlindungan hak-
hak pengguna pinjaman online. Mengingat konsumen mempunyai hak-hak dasar yang harus
dilindungi dalam kapasitasnya sebagai konsumen dan sebagai manusia dengan hak-hak dasar yang
melekat sejak lahir, maka hal ini perlu mendapat perhatian. Untuk mengambil tindakan hukum
terhadap pinjaman online ilegal, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pinjaman
online, menyusun Undang-Undang Teknologi Keuangan, dan mengadopsi Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi.

Kata Kunci: pinjaman online ilegal; hak-hak konsumen; perlindungan hak asasi manusia
I. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi saat ini membawa pengaruh yang sangat
besar bagi kehidupan manusia. Berbagai kemudahan dalam menjalankan aktivitas
menjadi keuntungan yang diperoleh manusia dengan adanya teknologi informasi
tersebut. Kemajuan teknologi menjadikan informasi dan komunikasi semakin hari
semakin berkembang dengan pesat yang memberikan kemudahan bagi umat
manusia.
Faktanya, karena keterbatasan keuangan, beberapa orang tidak mampu
memperoleh atau membeli barang dan jasa yang mereka perlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat yang mampu atau mempunyai cukup modal akan
membayar tunai untuk membeli barang; Namun, mereka yang mempunyai sedikit
atau tanpa modal tidak akan bisa membeli barang. Saat ini konsumen yang
membutuhkan modal bisa mendapatkannya melalui usaha pembiayaan. Perusahaan
pembiayaan adalah entitas komersial yang bergerak dalam bidang penyediaan jasa
pembiayaan konsumen1.Sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI
No.84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa
Perusahaan Pembiayaan adalah suatu badan usaha di luar Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari Masyarakat.
Dalam praktek tidak berarti bahwa munculnya fenomena Perusahaan
pembiayaan ini di dalam masyarakat tidak membawa masalah serta berbagai
hambatan. Hal ini muncul mengingat bahwa dalam memberikan fasilitas
pembiayaan terhadap konsumen, perusahaan pembiayaan akan melakukan
perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Tindakan
atau perbuatan perusahaan pembiayaan untuk menyerahkan dana pembiayaan yang

1
Ade Putri Lestari , Sh. 2020. Kepastian Perlindungan Hukum Pada Klausula Baku Dalam
Perjanjian Pinjaman Online Di Indonesia. Supremasi Jurnal Hukum Vol. 2, No.2, 2020 E-Issn :
2621-7007
diperlukan oleh konsumen serta demikian pula tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh konsumen untuk melakukan pembayaran kembali hutang
pembiayaan, tentunya hal itu merupakan suatu perbuatan yang akan membawa
akibat hukum. Oleh karenanya perbuatan tersebut perlu mendapatkan penanganan
dari aspek hukum perdata. Salah satu aspek dalam hukum perdata yang berperan
penting adalah perjanjian, karena perjanjian sangat penting dalam hubungan antar
subjek hukum. Perjanjian merupakan awal untuk terciptanya hubungan hukum
antar subjek hukum. Dalam perjanjian akan timbul hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihak yang melakukan perjanjian.2
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
tercermin dari pesatnya perkembangan negara saat ini dalam berbagai disiplin ilmu.
Kita harus mempertimbangkan kemajuan sosiologi, teknologi, dan ekonomi jika
kita ingin mencapai tujuan ini. Pemerintah dan masyarakat melaksanakan
pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional yang diinginkan.3 Internet marupakan salah satu
media dari kemajuan teknologi dari informasi dan komunikasi. Hal yang dapat
dilakukan melalui internet mulai dari berhubungan sosial, bekerja, hingga
melakukan bisnis perdagangan secara e-commerce. Semua hal tersebut dapat
dilakukantanpa melakukan kontak langsung dengan orang lain. Bisnis secara e-
commerce dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa fasilitas seperti situs
internet, jejaring sosial, facebook maupun layanan e-banking. Dengan cara ini dapat
mengikuti tantangan untuk melaksanakan pemahaman dalam tatanan baru itu.
Maraknya konflik dalam industri e-commerce menunjukkan bahwa
meskipun kemajuan teknologi merupakan produk peradaban manusia dan dapat

2
Aqlatul Gondho U. 2018. Tinjauan Yuridis Klausula Baku Dalam Perjanjian Penggunaan Layanan
Peer To Peer (P2p) Lending Antara Penyelenggara Dan Pemberi Pinjaman (Studi Kasus :
Amartha.Com), Jurnal Universitas Gadjah Mada
3
AULIA, NURUL, Joni Emirzon, and Sri Handayani. “PERLINDUNGAN HUKUM
OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PINJAM MEMINJAM UANG SECARA
ONLINE (STUDI OTORITAS JASA KEUANGAN REGIONAL 7 KOTA PALEMBANG).”
Sriwijaya University, 2020.
memberikan dampak positif bagi manusia dan lingkungan, namun juga dapat
memberikan dampak buruk. Karena tidak adanya komitmen atau kesepakatan
antara pelanggan dan pelaku usaha dalam bidang perdagangan e-commerce, maka
pelaku usaha memanfaatkan e-commerce sebagai salah satu cara untuk melakukan
kejahatan atau tindak pidana, sehingga berujung pada terbentuknya perselisihan
semacam ini. Di permukaan, ada kalanya para korban mengungkapkan pengalaman
mereka terhadap kejahatan dunia maya dan kerugian yang ditimbulkannya kepada
publik melalui pemberitaan umum.
Pengusaha dapat bersaing di pasar dunia yang menjadi semakin modern,
praktis, dan efisien dengan penggunaan teknologi dan informasi ini. Bagi semua
bangsa dan negara, termasuk Indonesia, yang merupakan anggota sistem ikatan
sosial global, hubungan internasional sangatlah penting. Sebagai inovator dan
pembangun teknologi, manusia memfasilitasi konvergensinya sendiri melalui
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Perdagangan merupakan salah
satu dari sekian banyak kegunaan internet sebagai media dan alat komunikasi
elektronik.
Bisnis online adalah bisnis yang dilakukan dengan catalog bagai media
dengan pasaran bagai internet gunakan dengan website. Kegiatan perdagangan
menggunakan internet tersebut membuat negara seolah-olah tanpa batas teritorial
(borderless) menimbulkan keuntungan dan kemudahan bagi suatu bangsa yang
dapat dilihat dalam berbagai bentuk kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi,
politik dan budaya. Mekanisme transaksi dan perjanjian dengan dunia luar cukup
dikendalikan melalui ruang kecil dengan teknologi berbasis protocol internet yang
menawarkan fasilitas yang efektif, efisien dan modern. Dibalik keuntungan dan
kemudahan dapat pula menimbulkan dampak negatif.
Era globalisasi telah membawa banyak perubahan di segala sektor
kehidupan manusia tidak terkecuali dalam bidang teknologi dan informasi.
Teknologi dan informasi memiliki peran penting dalam menunjang segala aktivitas
kehidupan manusia. Salah satu aktivitas yang memanfaatkan teknologi dan
informasi adalah kegiatan bisnis dan ekonomi serta industri keuangan.
Perkembangan teknologi dan informasi dalam sektor industri keuangan ditandai
dengan hadirnya financial technology (fintech)1. “The National Digital Research
Centre (NDRC) di Dublin Irlandia mendefinisikan financial technology
(selanjutnya disebut fintech) sebagai “innovation in financial services” atau
“inovasi dalam layanan keuangan fintech” yang merupakan suatu inovasi pada
sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern”.
Fintech merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang memadukan
perkembangan bidang teknologi informasi dengan jasa finansial yang mengubah
model bisnis dari konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam melakukan
kegiatan bisnis seperti kegitan pembayaran harus bertatap muka dan membawa
sejumlah uang tunai, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan
kegiatan pembayaran yang dapat dilakukan dimana saja dalam hitungan detik.
Fintech lahir seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini di
dominasi oleh pengguna teknologi informasi yang memiliki tuntutan hidup yang
serba cepat, sehingga dengan adanya “Keberadaan fintech dapat mendatangkan
proses transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman”.
Kuatnya arus teknologi dalam mengubah transaksi bisnis di masyarakat,
mendorong Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia berperan
secara pro aktif memastikan lalu lintas transaksi bisnis yang didukung oleh
teknologi tetap berjalan dengan tertib dan aman. Bank Indonesia mengeluarkan
regulasi terkait dengan fintech, yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
(selanjutnya disebut PBI Tekfin) sebagai wujud pro aktif dalam menjaga ketertiban
lalu lintas transaksi bisnis serta ekonomi digital. Dalam ketentuan Pasal 3 PBI
fintech, Bank Indonesia menggolongkan jenis-jenis fintech seperti sistem
pembayaran; pendukung pasar; manajemen investasi dan manajenen risiko;
pinjaman, pembiayaan, dan penyertaan modal; dan jasa finansial lainnya.
Salah satu jenis fintech yang banyak diminati oleh para pelaku bisnis guna
mendorong inovasi dan pengembangan bisnis adalah jenis fintech pinjaman,
pembiayaan, dan penyertaan modal karena dianggap lebih efisien daripada
mengajukan pinjaman, pembiayaan dan penyertaan modal pada Lembaga keuangan
konvensional seperti perbankan. Jumlah perusahaan penyelenggara layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi yang tercacat di OJK sebanyak 164
perusahaan per 20 desember 2019, dengan rincian sebanyak 25 perusahaan layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang sudah mengantongi izin
dari OJK, sedangkan sebanyak 139 perusahaan layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi berstatus terdaftar di OJK. Akan tetapi, per 19 Februari
2020 terdapat 3 perusahaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi yang dibatalkan tanda bukti terdaftar sebagai penyelenggara layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi antara lain PT. Pinjam
Meminjam Global, PT. Nusantara Digital Techno, dan PT. Unikas Indonesia
Pasifik. Melihat perkembangan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi, OJK menunjukan perannya sebagai regulator dari Financial Technology
2.0 Digital Lembaga Jasa Keuangandan Digital Banking yang melingkupi tiga
ranah sektor industri diantaranya perbankan, pasar modal, dan industri keuangan
non bank seperti E-Gadai, E-LKM, E-pinjaman, dan E- Asuransi, serta financial
technology 3.0-3.5 Startup Companies Non Lembaga Jasa Keuangan dengan ranah
bisnis yang akan diatur adalah koperasi, bursa berjangka, dan loan based
crowdfunding termasuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi, dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 Tentang layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (selanjutnya disebut POJK 77/POJK.01/2016).
Pada dasarnya konsep bisnis layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi sangat mirip dengan konsep marketplace online, yang
menyediakan wadah sebagai tempat pertemuan antara pembeli dan penjual”. “Pada
kegiatan pinjaman secara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi melibatkan tiga pihak seperti pemberi pinjaman, penerima pinjaman, dan
perusahaan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi sebagai perantara yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman melalui platform yang telah disediakan”.
Penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi pada umumnya bertujuan untuk menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
melalu sistem timbal balik antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Tujuan serta peran layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
pada sektor keuangan memberikan implikasi yang signifikan.
Perkembangan dunia digital telah memberikan berbagai layanan yang
memudahkan bagi masyarakat salah satunya dengan kehadiran layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi atau pinjaman online. Melalui
pinjaman online ini, masyarakat yang memerlukan dana dalam jumlah mikro dapat
secara cepat mendapatkan pinjaman tanpa perlu mengajukan kredit ke bank.
Layanan pinjaman online dapat diakses oleh masyarakat melalui aplikasi.4
Kehadiran pinjaman online sebagai salah satu bentuk financial technology
(fintech) merupakan imbas dari kemajuan teknologi dan banyak menawarkan
pinjaman dengan syarat dan ketentuan lebih mudah dan fleksibel dibandingkan
dengan lembaga keuangan konvensial seperti bank. Selain itu juga pinjaman online
dianggap cocok dengan pasar di Indonesia karena meskipun masyarakat belum
memiliki akses keuangan, namun penetrasi kepemilikan dan penggunaan telepon
selular sangat tinggi1. Hal ini dapat terlihat pada data Hootsuite yang menunjukkan
bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia pada Januari 2018 menembus 132,7
juta pengguna dengan tingkat penetrasi mencapai 50%. Selain itu juga populasi
pengguna perangkat mobile memiliki angka yang lebih tinggi lagi yang mencapai
177,9 juta pengguna, dengan tingkat penetrasi mencapai 67%2.
Pinjaman online merupakan “suatu inovasi pada sektor finansial. Tentunya,
inovasi finansial ini mendapat sentuhan teknologi modern. Keberadaan pinjaman
online dapat mendatangkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman.
Kemunculan perusahaan-perusahaan keuangan dalam pelayanan pinjaman online
semakin dapat perhatian publik uang berbasis teknologi informasi (peer to peer
lending atau P2P lending ) dan yang menjadi regulator perusahaan tersebut yakni
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Erlina, Andi Arvian Agung dan Erlina. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


4

KONSUMEN JASA PINJAMAN ONLINE.” Alauddin Law Development 2, No.3 (2020).


Penggunaan teknologi informasi atau pinjaman online dianggap
menguntungkan bagi para konsumen karena prosesnya dianggap mudah tanpa
jaminan. Hanya memerlukan handphone dan internet sebagai media dalam proses
pinjaman online. Hal ini juga menguntungkan bagi konsumen karena konsumen
tidak perlu datang langsung ke tempat. Pinjaman online memiliki karakter tersendiri
dalam dunia perbankan dimana hal itu seperti ruang jarak yang luas antara kreditur
dan debitur tidak harus bertemu untuk melakukan transaksi, dan menggunakan
media internet yang mudah diakses kapanpun dan dimanapun. Karakter yang
dimiliki oleh pinjaman online tersebut dapat memberikan kemudahan bagi kedua
pihak dalam melakukan tindakan pinjam-meminjam uang.5
Penggunaan perjanjian baku dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen
bukanlah hal yang baru, terutama pada sektor jasa. UUPK tidak melarang
penggunaan perjanjian baku, namun melarang ketentuan yang mengalihkan
tanggung jawab pelaku usaha maupun mengurangi hak konsumen sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 UUPK. Sebagai catatan, UUPK tidak menggunakan
terminologi “perjanjian baku”, namun menggunakan terminologi “klausula baku”.
Klausula baku menurut UUPK didefinisikan sebagai setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Seiring perkembangan berbagai transaksi berbasis teknologi informasi,
perjanjian baku memasuki bentuk baru, yakni dalam bentuk kontrak elektronik.
Menurut UU ITE, kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
dengan menggunakan sistem elektronik. Beberapa kontrak elektronik yang sering
digunakan antara lain clickwrap contract dan browsewrap contract. Ketentuan
dalam kontrak elektronik erat kaitannya dengan perjanjian baku. Namun demikian,
penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk menyediakan fitur yang
sekurang-kurangnya memberikan kesempatan bagi pengguna untuk

5
Kirom, Faizul. “Perlindungan Hukum Konsumen Pinjaman Online (Pinjol).”
retizen.republika.co.id,2021.
membaca perjanjian sebelum melakukan transaksi atau memilih meneruskan atau
berhenti melakukan aktivitas berikutnya.
Terkait dengan penyelenggaraan Fintech, khususnya peer to peer landing
(P2PL), perjanjian baku menjadi salah satu klausula dalam Peraturan OJK
No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (POJK Layanan P2PL) dengan penekanan pada 2 (dua) hal
yang dilarang dicantumkan, yakni perihal pengalihan tanggung jawab dan
tunduknya konsumen pada ketentuan baru/perubahan ketentuan. Pengaturan lebih
komprehensif mengenai perjanjian baku diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku (SEOJK Perjanjian
Baku) yang merupakan pelaksana dari Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK Perlindungan Konsumen).
Di Indonesia, sebelum Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi, platform peer to peer lending sejatinya telah
ada dalam masyarakat. Pinjaman online berbeda dengan layanan pinjam meminjam
uang sebagaimana diatur pada Pasal 1754 KUHPerdata.4 Pada perjanjian pinjam
meminjam uang sebagaimana diatur pada Pasal 1754 KUHPerdata para pihak yang
terlibat adalah “pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dimana para pihak ini
memiliki hubungan hukum secara langsung melalui perjanjian pinjam meminjam.”
Pemberi pinjaman berkewajiban untuk memberikan kepada pihak lain suatu jumlah
tertentu barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa penerima
pinjaman akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula. Sedangkan dalam layanan pinjaman online, pemberi pinjaman tidak
bertemu langsung dengan penerima pinjaman, bahkan diantara para pihak dapat
saja tidak saling mengenal karena dalam sistem pinjaman online terdapat pihak lain
yakni platform peer to peer yang menghubungkan kepentingan antara para pihak
ini.
Pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mendefinisikan klausula baku yaitu “setiap aturan/ ketentuan dan syarat-syarat yang
telah diatur dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.”
Dalam hal ini termasuk juga pada ruang lingkup perjanjian pinjam
meminjam secara online yang memakai klausula baku pada perjanjiannya.
Perkembangan jasa perbankan yang menggunakan teknologi sebagai tenaga
pendukung harus disertai pula perangkat hukum yang memadai.5 Teknologi
finansial di satu sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha,
maupun perekonomian nasional. Namun, di sisi lain memiliki potensi risiko yang
apabila tidak dimitagasi secara baik dapat mengganggu sistem keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, serta untuk mendorong inovasi di bidang
keuangan dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien,lancar aman dan andal.6 Setiap
pelaku usaha mengupayakan adanya profit atau keuntungan yang akan didapatkan
pasca melaksanakan aktifitas usaha. Meskipun demikian, tidak banyak perusahaan
yang mampu untuk menjamin terselenggaranya hal sebagaimana yang
diekspektasikan oleh seorang konsumen namun cenderung berorientasi pada
keuntungan. Hal ini merupakan bagian dari rahasia publik yang berkembang di
Indonesia terkait dengan pelayanan maupun produk yang ditawarkan. Kelemahan
tersebut menjadi sebuah indikator mengukur kebijakan perusahaan ataupun pelaku
usaha lokal di Indonesia.
Pernyataan tersebut berarti bahwa penagihan pinjaman online menjadi suatu hal
yang perlu mendapatkan perhatian banyak pihak mengingat pengguna layanan pinjaman
online tersebut mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, bahkan mengarah
pada pelanggaran HAM. Salah satu permasalahan dapat pemberitaan iNews.id mengenai
kasus yang dialami seorang karyawati yang melakukan peminjaman uang melalui aplikasi
CoCo Tek, yang termasuk perusahaan fintech.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk
mengatasi permasalahan pinjaman online ini. Dalam hal ini Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU
Perlindungan Konsumen), ternyata belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum
kepada para pengguna layanan pinjaman online.
Dalam pinjaman online tentu diberlakukannya suatu perjanjian. Perjanjian
ini dapat dikatakan sebagai perjanjian kredit. Perjanjian kredit berlaku sebagai
perjanjian baku, karakteristik tersebut menimbulkan bentuk perjanjian standar/
baku. Hadirnya perjanjian baku menyebabkan adanya ketidakseimbangan
kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen, dalam kontrak baku sering kali
dipergunakan oleh pelaku usaha untuk mencantumkan klausula eksonerasi yang
memberikan pembatasan kewajiban dan tanggung jawab bagi pihak pelaku usaha.
Hal ini tentu dapat berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pencantuman
klausula eksonerasi akan sangat merugikan konsumen pada umumnya memiliki
posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan pihak pelaku usaha, dikarenakan
beban yang semestinya dipikul oleh pelaku usaha, akan serta merta berpindah
menjadi beban bagi konsumen.6

Istilah Klausula Baku disebut juga: “Klausula Eksonerasi”. Undang-


Undang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
klausa baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.” Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap
perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam bahasa umum sering disebut sebagai:
“disclamer”, yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan suatu jasa
tertentu. Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu “melarang
pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang telat atau bentuknya sulit terlihat,

6
Nurmantari, Ni Nyoman Ari Diah, and Nyoman A Martana. “Perlindungan Hukum Terhadap Data
Pribadi Peminjam Dalam Layanan Aplikasi Pinjaman Online.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum
8 (2019): hal1–14
tidak bisa dibaca dengan jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti.” Berbeda
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang secara
eksplisit memuat akibat hukum terhadap klausula baku yang melanggar ketentuan,
berupa batal demi hukum klausula baku tersebut, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
tidak mengatur secara eksplisit akibat hukum dari klausula baku dimaksud. Sanksi
Otoritas Jasa Keuangan lebih ditekankan pada kepatuhan penyelenggara pinjaman
online terhadap ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dengan ancaman sanksi
administrasi.
Mengenai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adanya peraturan
yang menegaskan bahwa setiap konsumen haruslah dilindungi hak-haknya serta
jaminan mengenai perlindungan konsumen mendapat cukup perhatian karena
sebagai konsumen seharusnya dilindungi dari berbagai kecurangan transaksi
diberikan hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan tentunya hak untuk
tidak didiskriminasi dan menjamin keselamatan konsumen.

1.2.Rumusan Masalah
1) Bagaimana Dampak Yang Timbul Pada Hak Konsumen yang dilanggar
dari perjanjian Pinjaman Online (Fintech Lending)?
2) Bagaimana pengaturan klausula baku terkait perjanjian pinjam
meminjam uang secara online dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ?
3) Apa akibat hukum pencantuman klausula baku bagi penyedia pinjaman
online ?

1.3.Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui dan menanalisis Dampak Yang Timbul Pada Hak
Konsumen yang dilanggar dari perjanjian Pinjaman Online (Fintech
Lending)
2) Untuk mengetahui dan menanalisis pengaturan klausula baku terkait
perjanjian pinjam meminjam uang secara online dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ?
3) Untuk mengetahui dan menanalisis akibat hukum pencantuman klausula
baku bagi penyedia pinjaman online ?

1.4.Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan artikel
ilmiah-ilmiah ini, untuk menunjang penggunaan metode penelitian tersebut
digunakan berbagai pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statue
Approach) yaitu menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang ditangani dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

II. Hasil dan Pembahasan


2.1.Dampak Yang Timbul Pada Hak Konsumen yang dilanggar dari
perjanjian Pinjaman Online (Fintech Lending)
Fintech Lending atau pinjaman berbasis teknologi informasi adalah satu di
antara inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang
memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi
pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung.7Fintech Landing disebut juga
dengan pinjaman online dan peningkatan layanan dibidang industri keuangan
merupakan salah satu bentuk dan fungsi dari fintech. Pinjaman Online merupakan
suatu fasilitas pinjaman uang oleh penyedia jasa keuangan yang terintegrasi dengan
teknologi informasi, mulai dari proses pengajuan, persetujuan hingga pencairan
dana dilakukan secara online atau melalui konfirmasi SMS dan/atau telepon6.
Adapun cara kerja Pinjaman online ialah penyelenggara hanya berperan sebagai
perantara yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Dalam
keberadaannya, saat ini sudah banyak pinjaman online yang terdaftar di OJK.
Walaupun ada banyak juga pinjaman online yang beroperasi tanpa pengawasan dan

Noviandari, Alicia. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM


7

PINJAMAN ONLINE DENGAN FIDUSIA.” Universitas Islam Kalimantan MAB,2020.


izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal Inilah yang dikenal sebagai pinjaman
online ilegal8.
Masyarakat yang memiliki pendapatan rendah menjadikan pinjaman online
sebagai pilihan yang tepat karena menyediakan akses pinjaman cepat dengan syarat
mudah, namun pinjaman online ini sangat rentan dengan praktik predatory lending
khususnya pada pinjaman online ilegal yang belum terdaftar dan mempunyai izin
OJK. Saat konsumen sudah masuk ke dalam ekosistem pinjaman online, mereka
akan terus-menerus mendapatkan penawaran melalui pesan singkat yang berisi
tautan untuk mengunduh aplikasi pinjaman online ilegal. Secara agresif konsumen
terus diberi promo yang sangat menarik, supaya mereka tergiur dan menggunakan
pinjaman online sebagai solusi tercepat mengatasi masalah keuangan. Rendahnya
literasi keuangan konsumen dimanfaatkan dengan cerdasnya oleh pelaku usaha
pinjaman online ilegal dengan memberikan penawaran dana cepat yang dapat
langsung dicairkan dalam hitungan jam tanpa syarat yang rumit. Untuk pencairan
pinjaman syaratnya saja cukup mudah hanya memberikan identitas dan foto diri
saja, namun sebagai konsekuensinya penyedia jasa pinjaman online membebankan
bunga dan biaya layanan yang sangat tinggi dan memberatkan konsumen.
Diantara pelaku usaha pinjaman online legal dan ilegal, pinjaman online
ilegal-lah yang banyak melakukan pelanggaran hukum. Pelaku usaha pinjaman
online ilegal ini kurang transparan memberikan informasi manfaat dan risiko
produk yang ditawarkan sehingga konsumen seringkali tidak mengerti mekanisme
penghitungan biaya layanan dan bunga yang berimbas pada nominal pinjaman yang
dicairkan serta jumlah yang harus dikembalikan. Disamping itu konsumen juga
tidak mengetahui bahwa penyelenggara membebankan biaya untuk pelunasan
pinjaman sebelum jatuh tempo atau untuk pembatalan pengajuan pinjaman.
Saat pandemi Corona ini banyak masyarakat yang kelimpungan untuk
memenuhi kebutuhan mereka, dalam situasi seperti ini banyak konsumen yang
terjerat dengan pinjaman online terutama pinjaman online ilegal karena

8
Poernomo, Sri Lestari, “Standar Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 19, no. 1 (2019): 109–120.
menawarkan syarat yang sangat mudah, mereka tidak berpikir dampak yang
ditimbulkan dari pinjaman online ilegal tersebut8. Masalah muncul ketika jatuh
tempo konsumen tidak bisa membayar tagihan,maka penagihan akan dialihkan
kepada pihak ketiga yaitu debt collector. Debt collector sering melakukan
penagihan dengan datang langsung ke rumah/ kantor dengan memaksa dan memaki
supaya konsumen membayar hutangnya. Ironisnya debt collector memperoleh
akses atas data yang terdapat pada ponsel konsumen termasuk foto pribadi di galeri,
sosial media, aplikasi transportasi dan belanja online, email, bahkan supaya
pinjaman cepat disetujui dan dicairkan konsumen dengan terpaksa memberikan
nomer IMEI. Lebih buruknya lagi konsumen mengalami teror yang tidak wajar
(ditelpon saat tengah malam), diancam, baik lewat telepon maupun pesan singkat,
pelecehan seksual secara verbal dan cyber bullying dengan cara mengintimidasi
dengan menyebar data dan foto konsumen kepada orang yang ada dalam daftar
kontak konsumen disertai kata-kata yang mendiskreditkan. Penagihan juga
dilakukan kepada keluarga, teman, rekan kerja, dan saudara sehingga mengganggu
hubungan keluarga dan hubungan sosial. Hal tersebut menimbulkan trauma, stress,
depresi, gelisah (anxiety), tidak fokus bekerja, dan kehilangan kepercayaan diri
bahkan sampai bunuh diri. Lebih parahnya ada konsumen kehilangan pekerjaan
akibat penagihan yang dilakukan kepada atasannya di tempatnya bekerja.9
Lebih jelasnya inilah dampak- dampak yang timbul pada konsumen
pinjaman online terutama pinjaman online ilegal :
1) Bunga terlalu tinggi.
2) Penagihan dilakukan tidak hanya kepada konsumen tetapi juga kontak
darurat yang disertakan oleh konsumen.
3) Ancaman dapat berupa penipuan, fitnah, juga pelecehan seksual.
4) Data pribadi konsumen disebarluaskan.
5) Kontak yang ada pada gawai peminjam disebarkan terkait informasi
pinjaman disertai foto peminjamnya.
6) Seluruh akses terhadap gawai peminjam diambil.

9
Priliasari, Erna. “Pentingnya Perlindungan Data Pribadi Dalam Transaksi Pinjaman
Online (The Urgency Of Personal Protection In Peer To Peer Lending).” Majalah Hukum Nasional,
no. 2 (2019): 1–27.
7) Tidak ada kejelasan tentang kontak dan lokasi kantor penyedia layanan
aplikasi pinjaman online.
8) Biaya adminnya juga tidak jelas.
9) Bunga terus naik, sedangkan aplikasinya berganti nama tanpa ada
pemberitahuan kepada peminjam.
10) Peminjam telah membayar pinjaman namun pinjaman tidak hapus atau
hilang alasannya tidak masuk ke sistem.
11) Pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, aplikasi di
Appstore/Playstore tidak bisa dibuka bahkan hilang.
12) Penagihan pinjaman dilakukan oleh berbeda-beda orang.
13) Data dari KTP digunakan oleh pelaku usaha aplikasi pinjaman online
untuk mengajukan pinjaman diaplikasi lain

2.2.Pengaturan klausula baku terkait perjanjian pinjam meminjam uang


secara online dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pencantuman klausula baku akan sangat merugikan konsumen sehingga
memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan pihak pelaku usaha,
dikarenakan beban yang semestinya dipikul oleh pelaku usaha, akan serta merta
berpindah menjadi beban bagi konsumen. Ketentuan mengenai pecantuman
klausula baku berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
tercantum dalam Pasal 18, diuraikan bahwa “pelaku usaha dalam menawarkan
barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya.” Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu“melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang telat
atau bentuknya sulit terlihat, tidak bisa dibaca dengan jelas atau pengungkapannya
sulit dimengerti.” Ketentuan Pasal 18 ini sangat penting untuk melindungi
konsumen atau nasabah debitur, mengingat bahwa masih banyak pihak bank yang
menetapkan klausula-klausula baku yang menyatakan tunduknya nasabah kepada
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pihak bank kepada nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit.10 Selain itu
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 dimaksudkan untuk mencegah adanya
klausula-klausula baku yang letak dan bentuknya sulit atau tidak dapat terbaca jelas
oleh nasabah, sementara dalam klausula-klausula tersebut mungkin saja ada yang
sangat memberatkan nasabah debitur.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) ada empat syarat


yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu “kesepakatan para pihak
yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu
hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.” Dari keempat syarat yang ada, syarat
keempat yang paling erat hubungannya dengan masalah yang menyangkut akibat
perjanjian kredit bank yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Berdasarkan persyaratan tersebut dikatakan bahwa “isi
suatu perjanjian harus memuat suatu kausa yang diperbolehkan atau legal
(gedorloof de dorzaak). Yang dijadikan obyek atau isi dan tujuan prestasi yang
tertuang dalam perjanjian harus merupakan kausa yang legal, sehingga perjanjian
itu menjadi perjanjian yang valid atau sah dan mengikat (binding).”11 Bila suatu
perjanjian yang telah mematuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-
undang, yaitu “mematuhi ketiga syarat (sepakat, kecakapan, obyek tertentu), tetapi
perjanjian berkenaan dengan suatu sebab yang tidak dibolehkan, maka perjanjian
yang demikian menjadi tidak legal (illegal), dan tidak mempunyai akibat hukum.

Jika melihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan


secara ekplisit sama sekali tidak mengatur perlindungan nasabah, bagi nasabah
debitur, beberapa pasal dari undang-undang perbankan tersebut hanya mengatur
kedudukan bank maupun kedudukan penyimpan dana, perlindungan nasabah
debitur sepenuhnya diserahkan kepada nasabah debitur yang bersangkutan dengan
cara bersikap hati-hati (prudential principles) dalam melakukan hubungan

10
Prabawa, Ida Bagus Eddy, and Gede Putra Ariana. "Lembaga Perlindungan Hukum Bagi
Nasabah Bank Pengguna Automated Teller Machine (ATM)" Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum
7, no. 10 (2019): 1-14.

11
Rahmanto, Tony Yuri, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis
Trasaksi Elektronik.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 19, no. 1 (2019): 31–52.
kontraktual dengan baik, namun dengan cara ini dianggap tidak fungsional
mengingat proses dan bentuk kontrak itu sendiri bersifat baku dan kecualinya posisi
tawar nasabah dalam mempengaruhi sangat kecil.12 Pasca terbentuknya Otoritas
Jasa Keuangan, perlindungan terhadap nasabah bank diamanatkan pada Otoritas
Jasa Keuangan. kemudian ditindak lanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan (POJK Nomor 1 Tahun 2013). Undang-Undang Perlindungan
Konsumen melarang dengan jelas klausula baku terkait perjanjian pinjaman online
namun dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan tidak mengatur secara eksplisit
akibat hukum dari klausula baku. Hal ini melanggar ketentuan hak konsumen.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak konsumen adalah:

a. berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.

2.3.akibat hukum pencantuman klausula baku bagi penyedia pinjaman online


Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu melindungi
hak-hak konsumen. Undang-undang tersebut juga memberikan harapan agar pelaku
usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan
adanya undang-undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi berimbang, dan merekapun bisa menggugat atau

12
Syaifudin, Arief “Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Di Dalam Layanan
Financial Technology Berbasis Peer To Peer (P2P) Lending (Studi Kasus Di PT.Pasar Dana
Pinjaman Jakarta).” Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 26, no. 4 (2020): 408–421.
menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku
usaha.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah


“adanya kepastian hukum yang meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas
barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-
haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.”
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri telah mengatur mengenai hak-
hak milik konsumen yaitu pada Pasal 4, “hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan konsumen, upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut.” Hak ini dimaksud karena pelaku usaha berada dalam kedudukan yang
lebih kuat baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan dibandingkan dengan
konsumen. Maka konsumen harus mendapatkan advokasi, perlindungan, serta
penyelesaian sengketa patut atas hak-haknya.

Konsumen selayaknya mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum


perlindungan konsumen yang termuat dalam Pasal 64 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : “Segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada
saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”Sebagaimana Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, “pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha, berupa sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 rupiah (dua miliar rupiah) sebagaimana diatur
dalam Pasal 62 UUPK.”14 Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
memberikan perlindungan terhadap konsumen atas adanya klausula baku pinjaman
online. “Pada Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
diatur hukuman bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
pencantuman klausula.” Serta di dalam ketentuan Pasal 63 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen “dapat diancam dengan hukuman tambahan seperti
pencabutan izin usaha, pengambilan secara paksa barang tertentu, ganti rugi,
pengambilan barang dari produksi pasar, pengumuman keputusan hakim, dan
penghentian aktivitas tertentu yang menyebabkan konsumen tidak untung.”13
Selain sanksi yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
konsumen mendapatkan jalur alternative untuk melakukan pengaduan dan
penyelesaian sengketa terhadap adanya klausula baku yang dilakukan oleh
penyelenggara usaha disuatu lembaga. Lembaga yang dimaksud yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK ini diatur pada Pasal 49 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Menurut Pasal 1 Angka 11 Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen merupakan “badan penyelesaian sengketa antara
penyelenggara usaha dengan konsumen dan berada dalam Tingkat II luar
pengadilan.”14 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ketentuan yang
secara eksplisit akibat hukum dimuat terhadap perjanjian baku yang ketentuan
dilanggar, berupa batal demi hukum klausula baku tersebut, ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan tidak mengatur secara eksplisit akibat hukum dari perjanjian baku
dimaksud. Sanksi Otoritas Jasa Keuangan lebih ditekankan pada kepatuhan
penyelenggara P2PL terhadap ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dengan ancaman
sanksi administrasi.

III. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum bagi konsumen dengan melakukan sistem pengawasan
perusahaan berbasis fintech sangat berkaitan dengan permasalahan hukum
perlindungan konsumen yang secara umum diatur dalam UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Warmadewa, I. Made Aditia, and I. Made Udiana. "Akibat Hukum Wanprestasi Dalam
13

Perjanjian Baku." Kertha Semaya 4, no. 03 (2019).

Wahyuni, Raden Ani Eko dan Turisno,Bambang Eko, “Praktik Finansial Teknologi Ilegal
14

Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika Bisnis.” Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia 1, no. 3 (2019): 379–391.
2. Pengaturan klausula baku terkait pinjaman online dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen melarang dengan jelas klausula baku terkait
perjanjian pinjaman online namun dalam ketentuan OJK tidak mengatur
secara eksplisit akibat hukum dari klausula baku. Hal ini melanggar
ketentuan hak konsumen. Pada Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen telah diatur hukuman bagi pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pencantuman klausula baku.
Serta di dukung oleh peraturan- peraturan yang lain yang menguatkan dan
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan aturan hukum yang ideal yang
bisa diterapkan dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen
pinjaman online pada khususnya, seperti juga Undang- Undang Nomor 39
tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 30,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi. Salah satu langkah yang
harus dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya harus berpedoman
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi karena faktanya
ditemukan pelanggaran hukum baik oleh Perusahaan pinjaman online legal
maupun ilegal.
3. Dalam kasus-kasus yang terjadi paling banyak didominasi oleh pinjaman
online ilegal, hal itu karena lemahnya regulasi baik dari sistem pengawasan
hingga penegakan hukum terhadap perusahaan yang curang. Perlindungan
konsumen yang diamanatkan kepada OJK disebutkan secara eksplisit dalam
Pasal 4 (c) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dan
sebagai payung hukum yang kuat OJK mengeluarkan peraturan Nomor:
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa
Keuangan. Hal-hal tersebut dilakukan paling tidak untuk meminimalisasi
kejadian dan kerugian yang tidak diinginkan.
Daftar Pustaka

A. Jurnal

AULIA, NURUL, Joni Emirzon, and Sri Handayani. “PERLINDUNGAN


HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PINJAM
MEMINJAM UANG SECARA ONLINE (STUDI OTORITAS JASA
KEUANGAN REGIONAL 7 KOTA PALEMBANG).” Sriwijaya
University, 2020.

Erlina, Andi Arvian Agung dan Erlina. “PERLINDUNGAN HUKUM


TERHADAP KONSUMEN JASA PINJAMAN ONLINE.” Alauddin Law
Development 2, No.3 (2020).
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/aldev/article/view/13190.

Kirom, Faizul. “Perlindungan Hukum Konsumen Pinjaman Online (Pinjol).”


retizen.republika.co.id,2021.
https://retizen.republika.co.id/posts/16110/perlindungan-hukum-
konsumen-pinjaman-online-pinjol.

Nurmantari, Ni Nyoman Ari Diah, and Nyoman A Martana. “Perlindungan Hukum


Terhadap Data Pribadi Peminjam Dalam Layanan Aplikasi Pinjaman
Online.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8 (2019): hal1–14

Noviandari, Alicia. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH


DALAM PINJAMAN ONLINE DENGAN FIDUSIA.” Universitas Islam
Kalimantan MAB,2020.

Poernomo, Sri Lestari, “Standar Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perlindungan


Konsumen.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 19, no. 1 (2019): 109–120.

Priliasari, Erna. “Pentingnya Perlindungan Data Pribadi Dalam Transaksi Pinjaman


Online (The Urgency Of Personal Protection In Peer To Peer Lending).”
Majalah Hukum Nasional, no. 2 (2019): 1–27.

Prabawa, Ida Bagus Eddy, and Gede Putra Ariana. "Lembaga Perlindungan Hukum
Bagi Nasabah Bank Pengguna Automated Teller Machine (ATM)" Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 1-14.

Rahmanto, Tony Yuri, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penipuan


Berbasis Trasaksi Elektronik.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 19, no. 1
(2019): 31–52.

Syaifudin, Arief “Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Di Dalam Layanan


Financial Technology Berbasis Peer To Peer (P2P) Lending (Studi Kasus
Di PT.Pasar Dana Pinjaman Jakarta).” Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum 26, no. 4 (2020): 408–421.

Warmadewa, I. Made Aditia, and I. Made Udiana. "Akibat Hukum Wanprestasi


Dalam Perjanjian Baku." Kertha Semaya 4, no. 03 (2019).

Wahyuni, Raden Ani Eko dan Turisno,Bambang Eko, “Praktik Finansial Teknologi
Ilegal Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika Bisnis.” Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 3 (2019): 379–391.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 1998 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 324 Tahun 2016

Lampiran Turnitin :

Anda mungkin juga menyukai