DISUSUN OLEH:
ANGGIA RETTRISUNZ P I M PANJAITAN
NPM: 2206108403
HUKUM EKONOMI
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2023
ABSTRAK
ABSTRACT
Regulations regarding the protection of consumer rights in the world of e-commerce are
still of concern even though many sectoral regulations have been promulgated, as well as
weak supervision and weak law enforcement in resolving consumer disputes. The
regulation of trade via the internet still raises many conceptual or theoretical questions
which indicate the need to develop a more detailed conceptual and theoretical explanation
of the need for more complex laws and regulations to be able to protect consumers
properly. More than that, national regulations deal with the context of trade via the
internet that crosses national boundaries without always being controlled through
conventional means. The regulation of trade via the internet still raises many conceptual
or theoretical questions which indicate the need to develop a more detailed conceptual
and theoretical explanation of the need for more complex laws and regulations to be able
to protect consumers properly. More than that, national regulations deal with the context
of trade via the internet that crosses national boundaries without always being controlled
through conventional means. The regulation of trade via the internet still raises many
conceptual or theoretical questions which indicate the need to develop a more detailed
conceptual and theoretical explanation of the need for more complex laws and regulations
to be able to protect consumers properly. More than that, national regulations deal with
the context of trade via the internet that crosses national boundaries without always being
controlled through conventional means.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi mempromosikan pembangunan suatu negara dengan menciptakan
insentif untuk setiap inovasi baru dan dengan mendorong industri, perdagangan, keuangan,
investasi, dan bahkan pertumbuhan kemampuan kelembagaan. Teknologi juga telah
memfasilitasi pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan meningkatkan komunikasi,
konsumsi, pembangunan, dan pertumbuhan lapangan kerja. Hal ini telah menggeser
ekonomi menjadi transformasi digital dengan kemajuan pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang tentunya menimbulkan perdebatan baru yang semakin menarik.
Ekonomi digital terus berkembang di tanah air, bahkan Indonesia dinilai memiliki potensi
besar karena tingkat penetrasi pengguna internet terus meningkat. Ini telah menyediakan
platform terbuka yang mengurangi biaya transaksi untuk memulai bisnis, terlepas dari siapa
yang mencoba memulainya. Keuntungan bagi pengusaha dari hal ini adalah memberikan
pilihan yang lebih luas, lebih cepat, lebih terjangkau, dan dapat diandalkan kepada
pelanggannya1. Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di Asia
Tenggara. Indonesia sendiri merupakan pasar potensial bagi ekonomi digital. Besarnya
potensi ekonomi digital di Indonesia dibuktikan dengan nilai US$20 juta pada tahun 2016.
Dan pada tahun 2025, nilainya diproyeksikan mencapai US$133 miliar atau sekitar Rp.
1,826 triliun, dengan kontribusi di berbagai sektor seperti e-commerce US$ 21 juta (2019),
e-travel US$ 10 juta (2019) dan transportasi US$ 25 juta (2019). Pesatnya perkembangan
ekonomi digital di Indonesia disebabkan oleh aliran investasi asing yang signifikan,
perkembangan kelas konsumen yang pesat, penetrasi smartphone yang tinggi, dan evolusi
infrastruktur pembayaran yang memfasilitasi pembelian online.2
Namun, dengan semakin majunya perkembangan ekonomi Indonesia di abad ke-21 juga
menimbulkan masalah besar yang salah satunya adalah perlindungan konsumen di
Indonesia. mengakses transaksi digital. Pertumbuhan perkembangan produk dan fasilitas
digital telah mendorong pemerintah, industri, dan konsumen untuk beradaptasi dengan
1
Dewa Gede Sidan Raeskyesa, dan Erica Novianti Lukas. (2019). 'Apakah Digitalisasi Meningkatkan Pertumbuhan
Ekonomi? Bukti dari Negara-negara ASEAN8'. Jurnal Ekonomi Indonesia 8 (2). Diterima
darihttp://jurnal.isei.or.id/index.php/isei/article/view/33.
2
Fetry Wuryasti.(2020). “Potensi Besar Ekonomi Digital Indonesia”. Media Indonesia. Diambil dari
https://mediaindonesia.com/ekonomi/354089/potensi-besar-ekonomi-digital-indonesia.
model bisnis baru karena transaksi digital berlangsung tanpa pemeriksaan, pemeriksaan atau
evaluasi produk, oleh karena itu diperlukan literasi digital agar konsumen dapat memahami
syarat dan ketentuan sistem pembayaran dan transaksi elektronik yang diperlukan. Sebuah
survei dari GBG menyatakan 55% pemalsuan identitas dan 53% pencurian identitas terjadi
dari money bagal yang membahayakan 175,4 juta pengguna internet di Indonesia dari
potensi pelanggaran3. 3.130 laporan kasus kejahatan dunia maya yang diterima sepanjang
Januari hingga Juli 2019 oleh Direktorat Reserse Kriminal Polri4. Laporan penipuan online
paling dominan yaitu sebanyak 1.243 kasus. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) mencatat pengaduan belanja online menduduki peringkat ketiga, terhitung 6,3% dari
563 pengaduan kategori individu. Keluhan umum adalah peretasan akun e-niaga konsumen.
Penjahat biasanya meretas atau menipu atas nama marketplace. Pada prinsipnya, konsumen
memiliki pilihan untuk mengajukan pengaduan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, dan
bila perlu memprosesnya melalui berbagai cara, seperti melaporkannya ke pihak berwajib,
penyelesaian di luar pengadilan (misalnya alternatif penyelesaian sengketa), dan litigasi.
Namun, konsumen di Indonesia kurang aktif dalam melaporkan keluhan. Padahal hal ini
sudah dijamin oleh undang-undang yang ada di Keluhan umum adalah peretasan akun e-
niaga konsumen. Penjahat biasanya meretas atau menipu atas nama marketplace.5
Pada prinsipnya, konsumen memiliki pilihan untuk mengajukan pengaduan kepada pelaku
usaha yang bersangkutan, dan bila perlu memprosesnya melalui berbagai cara, seperti
melaporkannya ke pihak berwajib, penyelesaian di luar pengadilan (misalnya alternatif
penyelesaian sengketa), dan litigasi. Namun, konsumen di Indonesia kurang aktif dalam
melaporkan keluhan. Padahal hal ini sudah dijamin oleh undang-undang yang ada di
Keluhan umum adalah peretasan akun e-niaga konsumen. Penjahat biasanya meretas atau
menipu atas nama marketplace. Pada prinsipnya, konsumen memiliki pilihan untuk
mengajukan pengaduan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, dan bila perlu
memprosesnya melalui berbagai cara, seperti melaporkannya ke pihak berwajib,
penyelesaian di luar pengadilan (misalnya alternatif penyelesaian sengketa), dan litigasi.
3
GBG, dan The Asian Banker. (2020). 'Future-Proofing Fraud Prevention in Digital Channels: Studi Lembaga
Keuangan Indonesia'.
4
Lidwina, Andrea. (ed. 31 Oktober 2019). 'Penipuan Online, Kejahatan Siber Yang Paling Banyak
Dilaporkan'.Databoks. Diperoleh darihttps://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/31/penipuan-
online-kejahatan-siber- paling-banyak-dilaporkan.
5
Merlyna Lim. (2013). “Internet dan Kehidupan Sehari-hari di Indonesia: Kepanikan Moral Baru?”. Jurnal
Humaniora dan Ilmu Sosial Asia Tenggara 169 (1). https://doi.org/10.1163/22134379- 12340008.
Namun, konsumen di Indonesia kurang aktif dalam melaporkan keluhan. Dikaerenaka
kebanyakan perselisihan seringkali mengalami banyak kendala dan jarang memberikan hasil
yang memuaskan. Minimnya pengaduan konsumen juga dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan konsumen tentang hak-haknya dan lembaga yang bertanggung jawab dalam
perlindungan konsumen. Kesulitan yang muncul dalam sengketa antar pihak dalam transaksi
digital terkait dengan pilihan hukum yang akan diterapkan sebagai dasar penyelesaian
sengketa tersebut. Masalah pilihan hukum dan pengadilan dapat terjadi karena transaksi
digital tidak hanya dilakukan oleh pihak domestik, tetapi juga oleh pihak dari negara yang
berbeda.
Bertitik tolak dari permasalahan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
Jika berbicara tentang undang-undang perlindungan konsumen maka kita juga harus
berbicara tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Undang-
undang Perlindungan Konsumen lahir sebagai solusi dari pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian saat ini. Jika dibandingkan dengan pelaku usaha, pelanggan selalu berada
pada posisi yang lemah atau tidak seimbang sebagai penggerak perekonomian dan dapat
menjadi senjata dalam praktik bisnis untuk meraup keuntungan terbesar dari pelaku usaha.
Meski sudah ada sejak lama dalam dua dekade terakhir, payung hukum yang
berorientasi pada konsumen ini belum banyak disadari oleh konsumen sendiri. Banyak
konsumen menganggap tindakan ini sangat diperlukan ketika mereka terlibat dalam kasus
pidana atau perdata saja. Padahal, jika konsumen (termasuk kita) ingin lebih melek, kita
jadi lebih paham seluk-beluk masalah konsumen yang diperlakukan tidak adil dan
bagaimana memperjuangkan haknya.
Ada kewajiban konsumen lainnya yang berkaitan dengan pemberdayaan konsumen
dan hak atas pengetahuan, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Kewajiban ini berarti bahwa konsumen wajib membaca rincian, pedoman,
pelaksanaan atau prosedur penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Art. 5a, yang berarti
bahwa konsumen memiliki kewajiban untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab
tersedia bagi mereka. Sedangkan pelaku usaha seharusnya bertindak secara bertanggung
jawab terhadap konsumennya. Elemen perlindungan eksternal dirujuk oleh peraturan, tetapi
tanggung jawab atas kerugian konsumen hanya disebut dalam ketentuan terakhir Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, dan bukan sebagai tujuan utama. Dalam kaitannya
dengan sengketa konsumen, konsep ini berlaku luas pada tingkat penilaian, pertimbangan,
kehati-hatian dan pengetahuan yang secara logis diperlukan untuk disediakan oleh
pelanggan saat membeli barang dan jasa. Dengan kata lain, pengadilan dapat menyelidiki
apakah pengadu telah cukup waspada dan, dengan sendirinya, standar pembuktian pada
pelanggan dalam konteks perselisihan kontrak dan lainnya mungkin menghadapi tantangan
yang cukup besar.
Sistem Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sudah tidak memadai lagi, apalagi mengingat perkembangan zaman di era
ekonomi digital. UU Perlindungan Konsumen harus direvisi agar bisa menampung
sebanyak-banyaknya dalam hal memenuhi kemungkinan kebutuhan perlindungan
konsumen di masa depan. Dengan demikian, integritas perlindungan konsumen dapat
membangun rasa saling percaya antara pelaku usaha dan konsumen secara efektif dan adil.
Undang-undang Perlindungan Konsumen secara hukum mengatur hak dan kewajiban
konsumen serta tanggung jawab pelaku usaha dalam transaksi konvensional/tradisional,
sedangkan perlindungan konsumen dalam transaksi dengan menggunakan sistem
elektronik tidak dapat sepenuhnya mengacu pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Pengaturan transaksi elektronik kemudian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengaturan
perlindungan konsumen sektoral cenderung gagap dan gagap ketika harus menghadapi
berbagai peristiwa perlindungan konsumen di era digital. UU Perlindungan Konsumen
belum memasukkan perlindungan dan keamanan data untuk transaksi digital seperti teknik
kriptografi dan kebijakan privasi penyedia e-commerce. Peraturan terkait jenis data apa saja
yang dapat dikumpulkan oleh penyelenggara dan bagaimana mereka diperbolehkan
mengolahnya juga masih belum terkonsolidasi karena adanya perbedaan dan tumpang
tindih aturan antara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang
Perdagangan No.7 Tahun 2014 dan Undang-Undang Pemerintah No. .80 Tahun 2019.6
Perlindungan konsumen digital dan permasalahan yang muncul dari celah hukum
membuat UU tersebut perlu direvisi karena merupakan prioritas yang mendesak. UU
Perlindungan Konsumen telah diidentifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai target
untuk direvisi. Sayangnya, menurut Prolegnas 2020-2024, RUU tersebut menduduki
peringkat 123 dari 248 RUU yang akan ditinjau dan diterima DPR, yang sayangnya turun
ke peringkat 21 dibanding Legislasi Nasional 2015-2019 sebelumnya. Sangat tidak pasti
bahwa, untuk sisa siklus undang-undang saat ini, amandemen atau revisi Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang ada akan diperlukan.
6
Laurensius S.Arliman. (2018). 'Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangna Ilmu Hukum
DI Indonesia
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan
Konsumen) merupakan pedoman bagi setiap pelaku usaha dalam melakukan transaksi
perdagangan, baik secara tradisional maupun on-line atau e-commerce . Ruang lingkup
pengaturan dalam Undang-undang Perdagangan meliputi perdagangan dalam dan luar
negeri, perdagangan perbatasan, perizinan, standardisasi, perdagangan melalui sistem
elektronik, perlindungan dan keamanan perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha
mikro, kecil dan menengah, pengembangan ekspor, tugas dan wewenang, internasional
kerjasama perdagangan, sistem informasi perdagangan, komite perdagangan nasional,
pengawasan dan penyidikan. E-commerce mensyaratkan bahwa setiap individu atau
organisasi yang memperdagangkan produk atau jasa harus memiliki data dan informasi
yang lengkap dan dapat diandalkan yang tertulis dalam Bab VIII Seni. 65-66 tentang
perdagangan melalui sistem elektronik. Sedangkan ketentuan lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Pemerintah seperti PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Elektronik, PP
No. 71 Tahun 2019 tentang Penerapan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan sebagainya.
UU Perdagangan mewajibkan pelaku usaha untuk menyampaikan informasi secara
komprehensif dan transparan sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang informasi dan
transaksi elektronik (UU ITE). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah
ketentuan yang berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun
di luar wilayah hukum Indonesia, yang berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia. yurisdiksi Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia; mengatur berbagai perlindungan hukum terhadap kegiatan yang memanfaatkan
internet sebagai media, baik transaksi maupun penggunaan informasi; Dan mengatur
berbagai ancaman hukuman atas kejahatan melalui internet.
Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik harus menempatkan posisi yang
setara antara pemilik bisnis online dan konsumen. Meski dilihat sebagai transaksi virtual,
transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU Informasi
dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan sebagai mitra hukum UU Perlindungan
Konsumen untuk saling mendukung. Kembali ke Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik jelas, bahwa konsep kunci dari transaksi elektronik adalah suatu pengaturan atau
“sebagaimana diputuskan” antara para pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen).
Transaksi elektronik menghubungkan para pihak dengan perjanjian sedemikian rupa
sehingga dari segi keamanan konsumen, nasabah yang melakukan transaksi elektronik
dianggap telah menyelesaikan seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku untuk transaksi
tersebut. Hal ini mengacu pada klausula khas yang disusun oleh pelaku usaha yang
menggunakan media internet. Sementara undang-undang menetapkan kontrak baku
sebagaimana tertuang dalam dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pengusaha, hal ini
memungkinkan kontrak baku dalam transaksi e-commerce menimbulkan
ketidakseimbangan antara pelaku usaha dan pelanggan. Di Indonesia, UU ITE menyatakan
bahwa transaksi elektronik dapat dimasukkan ke dalam kontrak elektronik yang dapat
ditentukan opsi hukum mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Para pihak
dalam sengketa e-commerce dapat memutuskan arbitrase, forum pengadilan, atau alternatif
lain mana yang dipilih dalam e-contract.
Dan jika pengadilan tidak terjadi, maka Sementara undang-undang menetapkan
kontrak baku sebagaimana tertuang dalam dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi
pengusaha, hal ini memungkinkan kontrak baku dalam transaksi e-commerce menimbulkan
ketidakseimbangan antara pelaku usaha dan pelanggan. Di Indonesia, UU ITE menyatakan
bahwa transaksi elektronik dapat dimasukkan ke dalam kontrak elektronik yang dapat
ditentukan opsi hukum mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Para pihak
dalam sengketa e-commerce dapat memutuskan arbitrase, forum pengadilan, atau alternatif
lain mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika pengadilan tidak terjadi, maka Sementara
undang-undang menetapkan kontrak baku sebagaimana tertuang dalam dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pengusaha, hal ini memungkinkan kontrak baku dalam transaksi e-
commerce menimbulkan ketidakseimbangan antara pelaku usaha dan pelanggan.
Di Indonesia, UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik dapat dimasukkan ke
dalam kontrak elektronik yang dapat ditentukan opsi hukum mana yang digunakan dalam
penyelesaian sengketa. Para pihak dalam sengketa e-commerce dapat memutuskan
arbitrase, forum pengadilan, atau alternatif lain mana yang dipilih dalam e-contract. Dan
jika pengadilan tidak terjadi, maka UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik dapat
dimasukkan ke dalam kontrak elektronik yang dapat ditentukan opsi hukum mana yang
digunakan dalam penyelesaian sengketa. Para pihak dalam sengketa e-commerce dapat
memutuskan arbitrase, forum pengadilan, atau alternatif lain mana yang dipilih dalam e-
contract. Dan jika pengadilan tidak terjadi, maka UU ITE menyatakan bahwa transaksi
elektronik dapat dimasukkan ke dalam kontrak elektronik yang dapat ditentukan opsi
hukum mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Para pihak dalam sengketa e-
commerce dapat memutuskan arbitrase, forum pengadilan, atau alternatif lain mana yang
dipilih dalam e-contract. Dan jika pengadilan tidak terjadi, maka Penyelesaian akan
kembali pada perbuatan hukum perdata internasional. Aplikasi di bidang kontrak komersial
selalu diperdebatkan. Di satu sisi, itu harus mewakili perbedaan antara kekuatan negosiasi
konsumen dan profesional. Di sisi lain, kontrak harus menjaga tingkat keseimbangan antara
para pihak.7
Selain transisi pelaku usaha ke dunia digital, teknologi digital saat ini sudah
mempengaruhi bisnis baik di pasar tradisional maupun bentuk bisnis modern lainnya yang
sudah ada. Hal ini dikarenakan batas pasar yang sangat luas dan tidak terbatas (borderless),
oleh karena itu diperlukan kesamaan persepsi dalam hukum persaingan usaha untuk
menghadapi era e-commerce di seluruh dunia. Karena e-commerce berkembang pesat,
dimungkinkan untuk berdagang antar negara yang, karena harga predator, dapat
menyebabkan persaingan tidak sehat dan bisnis asing menjual barang dengan harga yang
sangat murah dengan tujuan membunuh pesaingnya di platform e-commerce. Konsumen
dapat memperoleh manfaat dari persaingan yang sehat karena dapat mengakibatkan harga
yang lebih murah dan kualitas produk tetap terjamin.
7
Indra Kirana Darajat. (2014). 'Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha Dan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli
Secara Online Dengan Pembayaran Melalui Paypal'. E-Journal Lulusan Unpar 1
(2).http://journal.unpar.ac.id/index.php/unpargraduate/article/view/1041/1159.
8
Mochammad Fahlevi, Mohamad Saparudin, Sari Maemunah, Dasih Irma, and Muhamad Ekhsan. (2019). “Bisnis
Cybercrime Digital di Indonesia'. Web Konferensi E3S 125, no. 21001.
https://doi.org/doi.org/10.1051/e3sconf/201912521001.
secara implisit masih tersebar di berbagai tingkatan perundang-undangan di Indonesia,
terpisah dan terfragmentasi tergantung pada masing-masing sektor9. Hingga saat ini,
perlindungan data pribadi seperti pada umumnya hanya diatur dalam Peraturan Menteri No.
2 Tahun 2016, artinya ketiadaan undang-undang tersebut dapat memudahkan
penyalahgunaan data konsumen untuk kepentingan lain. Hal ini dikarenakan masyarakat
tidak memiliki acuan untuk melindungi datanya yang diberikan kepada pihak lain. Modus
penipuan berbasis social engineering misalnya kebanyakan menggunakan topik undian
berhadiah, penipuan uang muka, peretasan email perusahaan, pemalsuan website,
pengelabuan; Topik manipulasi psikologis mulai berkembang dengan meminta akses kode
OTP untuk transaksi keuangan korban, dan meminta kode verifikasi untuk penyedia
layanan telekomunikasi melalui SMS atau telepon. Apalagi, sanksi pelanggaran hanya pada
sanksi administrasi dan pidana denda. Oleh karena itu, jika terjadi penyalahgunaan data
pengguna dan situs diputuskan untuk diblokir, maka hal itu hanya bersifat sementara karena
situs berhak membuka blokir jika sanksi sudah berhenti.
Namun RUU ini juga belum diatur terkait dengan pembentukan komisi-komisi yang
berfungsi sebagai pengawas, pengatur dan pemantau. Peran komisi yang bersifat
independen dan imparsialitas menjadi faktor penting, mengingat hanya merekalah yang
sebenarnya berada di tengah-tengah industri dan pemerintahan.
Peraturan tentang perlindungan data pribadi sedapat mungkin harus memberikan
tugas pokok dan fungsi yang jelas kepada instansi dan organisasi terkait agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan. Dikhawatirkan juga akan muncul masalah struktur
kelembagaan ketika terjadi tumpang tindih kewenangan di antara keduanya. Namun,
Presiden Joko Widodo menyatakan, tidak boleh ada lembaga lain yang dibentuk untuk
melakukan perlindungan data pribadi karena dapat mengganggu sistem presidensial,
memperpanjang anggaran belanja, dan melebarkan birokrasi. Ketentuan mengenai transfer
data pribadi antar negara juga harus memenuhi standar yang berlaku secara internasional.
Indonesia tidak boleh mengungkapkan atau memberikan data yang dimilikinya kepada
negara lain untuk tujuan apapun sekalipun dengan cara yang sah menurut hukum, jika
negara tersebut tidak memiliki peraturan yang tidak setara dengan tingkat perlindungan
yang diberikan oleh RUU Perlindungan Data Pribadi Indonesia. Selain itu, semua
9
Fanny Priscillia. (2019). “Perlindungan Privasi Data Pribadi Perspektif Perbandingan Hukum'. Jatiswara 34
(3). https://doi.org/doi.org/10.29303/jatiswara.v34i3.218.
instrumen hukum dari negara lain termasuk Indonesia juga harus menyesuaikan dengan
peraturan internasional seperti EU General Data Protection Regulation, OECD Guidelines,
ASEAN Framework on Personal Data Protection dan APEC Privacy Framework19.
Ketika rancangan undang-undang ini diterapkan, mungkin diperlukan waktu
bertahun-tahun untuk berkembang agar perusahaan dapat mematuhi, meningkatkan
kesadaran, atau menerapkan panduan pelengkap hukum di area di mana lubang dapat
terjadi, terutama ketika teknologi teknologi baru diadopsi dengan siklus yang cepat.
Meskipun mengakui kepentingan berbagai konstituen, pembuat undang-undang harus
mencatat bahwa tindakan privasi data yang terukur penting untuk melindungi konsumen,
dan mengulur-ulur waktu tidak akan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Wahyuni
Djafar, Wakil Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
mengatakan setelah RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan, biasanya akan ada masa
transisi yang memakan waktu kurang lebih 2 hingga 3 tahun setelah undang-undang
tersebut disahkan. lulus. Mengingat preseden proses hukum Indonesia, Kecenderungan
pemerintah untuk mengambil waktu yang cukup lama untuk merumuskan undang-undang
teknis untuk memperluas proses transfer menjadi perhatian. Selanjutnya, di beberapa
organisasi reformasi lebih lanjut harus dilakukan untuk sektor korporasi membutuhkan
waktu. Sebab, diyakini bahwa undang-undang perlindungan data tidak hanya mengikat
sektor online, tetapi juga sektor offline.
10
Guan Yue,, Dwidja Priyatno, dan Anita Kamilah. (2019). 'Perbandingan Antara Undang-undang E-Commerce
Tiongkok dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Indonesia Terhadap Layanan Daring
Lintas Batas'. Jurnal Internasional Riset Ilmiah & Teknologi 8 (10): 89–94.
hukum saja, melainkan oleh suatu sistem perangkat hukum yang mampu memberikan
perlindungan secara serentak dan menyeluruh.
11
Agus Satory, Lasmin Alfies Sihombing, Yeni Nuraeni, and Mustaqim Mustaqim. (2020). 'Analisis Pelaksanaan
Program Edukasi Perlindungan Konsumen Dalam Meningkatkan Indeks Keberdayaan Konsumen'. Kemajuan
dalam Penelitian Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora 438..
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen yang layak
6. Hak untuk mendapatkan bimbingan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak membeda-
bedakan.
8. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
9. Hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pengaturan ini semata-mata dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan konsumen dan pelaku usaha, yang ditegakkan dengan jaminan hukum yang
melindungi hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha. Namun
UU tersebut juga tidak memenuhi syarat dengan meningkatnya risiko pelanggaran hak
konsumen seiring dengan hadirnya ekonomi digital.
Banyak pelaku usaha yang melakukan kecurangan dengan memanipulasi timbangan
yang mereka gunakan dalam berdagang dan dengan demikian keuntungan pelaku usaha
akan meningkat dan sebaliknya konsumen akan merasa sangat dirugikan dengan hal
tersebut. Hal ini tentu melanggar hak konsumen. Pada tahun 2019, Indeks Keberdayaan
Konsumen Indonesia berada di angka 41,70 atau berada pada level “mampu”. Artinya
konsumen sudah mengakui haknya namun belum terlalu aktif dalam memperjuangkan hak
tersebut. Pada 2019, jumlah pengaduan terkait platform e-commerce berkurang menjadi
lima dari total 1.518 pengaduan. Pada tahun 2020, jumlah pengaduan terkait transaksi di
platform e-commerce melonjak menjadi 70 atau sekitar 11 persen dari total 582 pengaduan.
Dan pada tahun 2020, hanya ada 299 pengaduan tentang perdagangan melalui sistem
elektronik.
Menanggapi hal tersebut di atas, pemerintah telah menunjukkan inisiatifnya dalam
mendidik dan melindungi masyarakat tentang hak-haknya sebagai konsumen. Pertama,
Kementerian Perdagangan terus berkomitmen dalam mengedepankan perlindungan
konsumen melalui berbagai event sosial dan kompetisi seperti Harkonas 2020 dan Pameran
Edukasi Konsumen dengan tujuan meningkatkan keberdayaan konsumen yang merupakan
kunci penting untuk terus membangun kepercayaan konsumen di Indonesia. Selain itu,
Kemendag juga terus melakukan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan dan
peredaran barang dan/atau jasa dengan strategi, yaitu pengawasan PMSE pangan pokok
dan kesehatan secara terus menerus oleh Dirjen Pengawasan Barang dan Jasa; Pengawasan
terkait parameter klausul baku dalam syarat dan ketentuan pengguna PMSE, cara
penjualan, jaminan, dan periklanan; pemantauan perlindungan data pengguna layanan
PMSE; Dan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Perdagangan dan Ketertiban
juga melakukan pengawasan secara online baik dari marketplace dengan parameter seperti
klausula cara penjualan dan periklanan, serta mengawasi sejauh mana pelaku usaha
bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumen.
Selanjutnya, pemerintah telah menyusun strategi pelaksanaan program Perlindungan
Konsumen dan Tatanan Usaha (PKTN) yang diikuti sekitar 150 peserta perwakilan dinas
dari 34 provinsi di Indonesia dengan memberikan masukan yang konstruktif untuk
menghasilkan kesamaan persepsi dan program kerja yang tepat sasaran. Sesuai Pasal 18 PP
No. 80 Tahun 2019, konsumen dapat menyampaikan pengaduannya melalui Ditjen PKTN
Kemendag dengan cara datang langsung ke kantor Kemendag, mengirimkan surat, via
Whatsapp, atau melalui website https:// simpktn.kemendag.go.id.
Kedua, sejak diberi tempat dalam peraturan perundang-undangan di bidang
konsumen, peran serta lembaga swadaya masyarakat semakin bermunculan dalam bidang
hukum lainnya, termasuk bidang hukum perlindungan konsumen. Oleh karena itu,
dibentuklah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang
memiliki kedudukan sebagai mitra masyarakat dan pemerintah dalam upaya perlindungan
hak-hak konsumen. Landasan hukum LPKSM adalah PP No. 59 Tahun 2001 tentang
LPKSM dan PP No. 89 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP No. 59 Tahun 2001 tentang
LPKSM. LPKSM mempunyai tugas dan fungsi menampung pengaduan konsumen,
menjembatani komunikasi antara konsumen, pelaku usaha dan/atau pemerintah, melakukan
kajian kritis, mengorganisir advokasi, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan. Untuk
menjamin ketertiban, kepastian dan transparansi penyelenggaraan perlindungan konsumen,
LPKSM perlu mendaftarkan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah
Provinsi. LPKSM dari Indonesia yang mendaftarkan diri sebagai anggota Consumer
International (CI) yaitu LP2K dan YLKI dengan tujuan untuk meningkatkan dan
mempromosikan kerjasama antar negara mengingat lalu lintas barang dan jasa yang
semakin meningkat dan pesat secara global12.
Ketiga ,Mekanisme penegakan hukum perlindungan konsumen memerlukan
12
Rosmawati. (2018). "Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen". Diedit oleh Y. Rendy. Depok: Grup
Prenadamedia. hal.107–15.
dukungan sistem peradilan. Selain LPKSM, BPSK, BPKN dan Kementerian Perdagangan,
lembaga yang juga dapat membantu penyelesaian masalah perlindungan konsumen adalah
kepolisian. Sehingga kasus ini masuk ke ranah kriminal, dimana polisi akan melakukan
penyelidikan. Hal ini terjadi jika keputusan BPSK tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha
sesuai dengan Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen.
Keempat,selain untuk memantau kinerja pelaku usaha dalam rangka perlindungan
konsumen, Badan Siber dan Sandi Negara dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara dan Peraturan Presiden Nomor 133
Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 53 Tahun 2017, dimana tugasnya
adalah identifikasi, perlindungan, pencegahan, pemulihan, pemantauan, pengendalian
perlindungan e-commerce, insiden/serangan dunia maya, diplomasi dunia maya dan pusat
kontak dunia maya. BSSN telah membuat platform bernama Indeks KAMI untuk menilai
dan mengevaluasi tingkat kesiapan yang meliputi kelengkapan dan kematangan keamanan
informasi di suatu organisasi berdasarkan kriteria dalam SNI ISO/IEC 27001. Selain itu,
13
Liputan 6. (2020). 'BPKN Akui Indeks Keberdayaan Konsumen Indonesia Masih Rendah'.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4376132/bpkn-akui-indeks-keberdayaan-konsumen- indonesia-masih-
rendah.
Pengertian platform menurut Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5
Tahun 2016 adalah wadah berupa aplikasi website, dan/atau layanan konten berbasis internet
lainnya yang digunakan untuk sarana transaksi dan/atau perdagangan melalui sarana
elektronik sistem. Platform digital menggerakkan hampir semua aktivitas manusia, baik itu
ekonomi, sosial, dan politik. Transformasi platform di dunia industri menawarkan arah yang
kuat pada tren ekonomi dan sosial utama saat ini, yaitu munculnya platform sebagai
paradigma perusahaan dan organisasi. Pertumbuhan banyak organisasi terbesar,
berkembang, dan terkuat saat ini didukung oleh model platform ini. Selain itu, platform
tersebut mulai bergerak dari bidang kesehatan, pendidikan dan listrik dan pemerintahan ke
berbagai bidang ekonomi dan sosial lainnya.
Tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen akibat penggunaan platform
online dalam jual beli juga harus ditanggung oleh penyedia14. Tanggung jawab penyedia
platform e-commerce ini menjadi penting karena selain penyedia platform adalah pihak yang
menahan penjual untuk menawarkan barang atau jasanya, penyedia platform berwenang
untuk menentukan konten apa yang dapat dimuat di platform mereka, atau dalam hal ini
kasus termasuk mengendalikan barang atau jasa untuk dijual. Berdasarkan Pasal 1800-1806
KUH Perdata, penyedia sebagai pemberi kuasa berhak atas penjual sebagai pemberi kuasa
yang melakukan penjualan kepada konsumen dengan menyediakan tempat penjualan barang
atau jasa, memberitahukan dengan memberikan pemberitahuan dalam setiap pemesanan
sampai dengan barang diterima konsumen, dan menyediakan sarana apabila terjadi
permasalahan dalam suatu transaksi dari konsumen atas barang yang diterima dari penjual
untuk melakukan pengembalian dana dan/atau barang.
Penegakan syarat dan ketentuan pada situs transaksi online tidak menjadi masalah selama
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Hanya saja, penerapan syarat dan ketentuan sepihak tersebut harus diimbangi
dengan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen dan konsumen juga diberikan
kesempatan untuk menempuh jalur hukum yang menjadi haknya sebagai warga negara
Indonesia.
Pengembangan paradigma bisnis untuk metode transaksi baru akan mengarah pada
dinamika pasar model bisnis baru menghadapi industri digital dan konvensional. Persaingan
antar pelaku usaha harus memberikan efek positif dan keuntungan bagi pembangunan
14
Emmy Febriani Thalib, dan Ni Putu Suci Meinarni. (2019). 'Tinjauan Yuridis Mengenai Marketplace Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia'. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 7 (2).
ekonomi dan harus memungkinkan pelanggan untuk memilih barang mereka. Namun
persaingan yang semakin meningkat pasti akan menimbulkan unregulated competition, jika
hal ini berdampak menghambat hadirnya model bisnis yang berbeda15. Sedangkan untuk
mengungkap praktik monopoli sangat sulit dibuktikan di Indonesia
Pelaku bisnis digital adalah pelaku dalam negara dengan banyak yurisdiksi atau undang-
undang perusahaan. Selain itu, praktik monopoli dalam ekonomi global tanpa batas sulit
diidentifikasi oleh pemerintah. Akan menjadi tantangan bagi regulator untuk menilai di mana
industri kompetitif berada dan di mana bisnis bersaing. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
lain terhadap posisi konsumen di platform digital.
Misalnya, persaingan harga adalah salah satu bentuk persaingan yang paling mudah
diidentifikasi. Ketika persaingan harga ini dihilangkan dengan mengadakan kesepakatan
penetapan harga antar pelaku usaha, maka dapat mengakibatkan surplus konsumen yang
seharusnya dinikmati oleh pembeli atau konsumen terpaksa beralih ke produsen atau penjual.
Tindakan yang dilakukan pelaku usaha bertujuan agar mereka mendapatkan keuntungan
yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, beberapa bisnis dalam kebijakan privasinya,
sebelum pelanggan diizinkan menggunakan barang yang disediakan oleh bisnis, mengklaim
bahwa perusahaan tidak akan pernah bertukar informasi pelanggan dengan pihak ketiga.
Namun, ketika bangkrut, pembeli mana pun menginginkan data informasi pelanggan dan
karenanya akan menjualnya dengan harga tinggi yang memang melanggar hukum.
Sementara bisnis tidak bangkrut atau belum tentu dijual, kebijakan privasinya masih bisa
mengecewakan jika detail konsumennya telah digunakan sebagai jaminan pinjaman16.
Dalam peraturan yang ada, Pasal 95 (A) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa pihak yang menjual data pribadi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
25.000.000 (sekitar USD1770). UU ITE dalam menindak pihak yang menyebarkan data
pribadi warga negara akan diancam hukuman maksimal 10 tahun dan denda Rp. 10 miliar
(sekitar USD719.397). Dalam kasus kebangkrutan dan transaksi, kebijakan privasi akan
15
Bambang Leo Handoko, Rudy Aryanto, and Idris Gautama. (2015). 'Dampak Sistem Sumber Daya Perusahaan
dan Praktik Rantai Pasokan pada Keunggulan Kompetitif dan Kinerja Perusahaan
16
Masitoh Indriyani,Nilam Andaria Kusuma Sari, dan Satria Unggul WP, Sari. (2017).' 'Perlindungan Privasi Dan
Data Pribadi Konsumen Daring Pada Online Marketplace System'. Justitia Jurnal Hukum 1, no. (2).
https://doi.org/dx.doi.org/10.30651/justitia.v1i2.1152.
mengungkapkan informasi lebih lanjut tentang pengaruh informasi konsumen. Pelepasan
hak-hak dasar konsumen, batasan penggunaan data, dan batasan pada bentuk organisasi
tempat data akan dijual harus dipertahankan. Selain itu, konsumen harus diberitahu atau
diberitahu apakah datanya akan dijual jika terjadi kerugian perusahaan, karena hal ini sesuai
dengan kewajiban pelaku usaha yang tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
(UU Perlindungan Konsumen).
BAB III
KESIMPULAN
Makalah ini menyimpulkan bahwa dalam konteks yang lebih luas, perlindungan konsumen
berlaku pada undang-undang dan peraturan yang menjamin hubungan yang setara antara
pemasok layanan dan pelanggan. Dalam ruang lingkup asimetri informasi yang melekat dan
ketidakseimbangan kekuatan pasar, tindakan pemerintah dan pembatasan perlindungan
konsumen dijamin, dengan bisnis memberikan lebih banyak informasi tentang barang atau
jasa daripada konsumen. Kerangka hukum untuk perlindungan konsumen biasanya mencakup
peningkatan transparansi dan kesadaran akan produk dan layanan, promosi daya saing pasar,
pencegahan penipuan, kepuasan pelanggan, dan penghapusan praktik diskriminatif.
Sehubungan dengan kemajuan konektivitas dan teknologi informasi, di mana produk atau
layanan dapat diperdagangkan kepada pelanggan melintasi batas negara dan negara,
keamanan peraturan bagi konsumen masih akan menjadi topik penting yang harus
diperhatikan. Ini bukan lagi hanya gejala geografis, tetapi epidemi sistemik untuk semua
pelanggan dunia. Intervensi negara diperlukan sesuai dengan semakin rumitnya tantangan
yang dihadapi konsumen, sehingga pemerintah harus melakukan strategi intervensi untuk
mengatasi kerugian yang mungkin terjadi pada konsumen. Intervensi dilakukan agar tercapai
keseimbangan antara hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen. Selanjutnya, jumlah
dan kompleksitas penipuan akan terus bertambah setiap tahun dan semakin parah. Semua
segmen masyarakat, termasuk bisnis hingga penyedia pasokan besar, serta pemerintah
mempercepat transformasi teknologi untuk memenuhi kebutuhan digital yang kini tidak lagi
hanya untuk hiburan. Karena itu, Keamanan sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia
untuk menghindari penipuan, serta menjaga keamanan dalam penggunaan teknologi digital.
Di negara berkembang seperti Indonesia, semuanya bertumpu pada perdagangan dan bisnis
akhir-akhir ini menjadi sangat bergantung pada komunikasi elektronik. Memang, kami akan
segera menggunakan sumber daya elektronik untuk pemerintahan. Perundang-undangan
untuk mempromosikan keamanan data pribadi hanya akan membantu jika mereka yang
menggunakan teknologi digital dapat melakukannya dengan percaya diri, sehingga teknologi
informasi dan e-commerce berbasis bisnis dapat dibangun dengan lancar. Kebijakan privasi
sangat penting untuk membangun kepercayaan antara bisnis, pelanggan, dan masyarakat.
DAFTAR REFERENSI
Buku
Atsar, Abdul, dan Rani Apriani. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen. Yogyakarta:
CV. Budi Utama, 2019.
Cronin, Mary J. Kebijakan Publik Dan Internet: Privasi, Pajak, dan Kontrak. Diedit oleh
Nicholas Imparato. California: Hoover Institution Press, 2000.
Rosmawati. Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Diedit oleh Y. Rendy. Depok:
Grup Prenadamedia, 2018.
Jurnal
Christiani, Theresia Anita. 'Metode Penelitian Normatif dan Empiris: Kegunaan dan
Relevansinya dalam Kajian Hukum Sebagai Objek'. Procedia - Sosial dan Perilaku
Ilmu 201–207 (2016): 1–
856.https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.006.
Darajat, Indra Kirana. 'Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha Dan Konsumen Dalam
Transaksi Jual Beli Secara Online Dengan Pembayaran Melalui Paypal'. Lulusan E-
Jurnal Unpar 1, TIDAK. 2
(2014).http://journal.unpar.ac.id/index.php/unpargraduate/articl
e/view/1041/1159.
Fahlevi,Mochammad, Mohamad Saparudin, Sari Maemunah, Dasih Irma, and Muhamad
Ekhsan. 'Bisnis Cybercrime Digital di Indonesia'. Web Konferensi E3S 125, no.
21001 (2019). https://doi.org/doi.org/10.1051/e3sconf/201912521001.
Handoko, Bambang Leo, Rudy Aryanto, and Idris Gautama. 'Dampak Sistem Sumber Daya
Perusahaan dan Praktik Rantai Pasokan pada Keunggulan Kompetitif dan Kinerja
Perusahaan: Kasus Perusahaan Indonesia'. Ilmu Komputer Procedia 72 (2015).
https://doi.org/10.1016/j.procs.2015.12.112.
Hotana, Melisa Setiawan. 'Industri E-Commerce Dalam Menciptakan Pasar Yang
Kompetitif Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha'. Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune 1, no. 1 (2018). https://doi.org/doi.org/10.30996/jhbbc.v0i0.1754.
Indriyani, Masitoh, Nilam Andaria Kusuma Sari, dan Satria Unggul WP, Sari.
'Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi Konsumen Daring Pada Online Marketplace
System'. Justitia Jurnal Hukum 1, no. 2 (2017).
https://doi.org/dx.doi.org/10.30651/justitia.v1i2.1152.
Jayuska, Rizki. 'Keabsahan Kontrak Pada Transaksi E-Commerce Melalui Media Internet
Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik'. Jurnal Cahaya Keadilan 4, no. 1
(2016).http://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/943.
Latumahina, Rosalinda Elsina. 'Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi Di Dunia Maya'.
Jurnal Gem Aktualitas 3, TIDAK. 2
(2014).http://hdl.handle.net/123456789/92.
Lim, Merlyn. 'Internet dan Kehidupan Sehari-hari di Indonesia: Kepanikan Moral Baru?'
Jurnal Humaniora dan Ilmu Sosial Asia Tenggara 169, no. 1 (2013).
https://doi.org/10.1163/22134379-12340008.
Lukito, Imam. 'Tantangan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Pembangunan E-
Commerce'. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, no. 3 (2017).
https://doi.org/dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2017.V11.349-367.
Priscylia, Fanny. 'Perlindungan Privasi Data Pribadi Perspektif Perbandingan Hukum'.
Jatiswara 34, TIDAK. 3
(2019).https://doi.org/doi.org/10.29303/jatiswara.v34i3.218
.
Raeskyesa, Dewa Gede Sidan, and Erica Novianti Lukas. 'Apakah Digitalisasi
Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi? Bukti dari Negara-negara ASEAN8'. Jurnal
Ekonomi Indonesia 8, no. 2
(2019).http://jurnal.isei.or.id/index.php/isei/article/view/33.
Risnain, Muh. 'Konsep Penguatan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Sebagai Lembaga Kuasi Peradilan Dalam Membangun Perekonomian Nasional Yang
Sehat Dan Adil'. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 6, no. 2 (2018).
https://doi.org/dx.doi.org/10.29303/ius.v6i2.557.
Rosadi, Sinta Dewi. 'Melindungi Privasi Data Pribadi Di Era Ekonomi Digital: Kerangka
Hukum Di Indonesia'. Jurnal Hukum Brawijaya 5, no. 1 (2018).
https://doi.org/dx.doi.org/10.21776/ub.blj.2018.005.01.09.
S,Laurensius Arliman. 'Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangna
Ilmu Hukum Di Indonesia'. Tinjauan Hukum Soumatera 1, no. 1 (2018).
https://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3346.
Safiranita, Tasya. 'Aspek Hukum Transaksi Perdagangan Melalui Media Elektronik
Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik'. Dialogia Iuridica 8, no. 2 (2017).
https://doi.org/doi.org/10.28932/di.v8i2.720.