Anda di halaman 1dari 5

Nama : Erika Sanjaya

Kelas : Hukum A
NIM : 01051200006

TUGAS INDIVIDUAL
MATA PERKULIAHAN KEJAHATAN DUNIA MAYA
“TUGAS PENGGANTI KULIAH”

Pertanyaan
Buatlah resume dari artikel berikut, dan cari tahu apa pengaturan terkait
perlindungan konsumen pada fintech lending di China dari artiket tersebut?
Investasi China muncul di sektor listrik, di mana investasi tersebut membiayai
konstruksi pembangkit listrik dan fasilitas pendukungnya, seperti Pelabuhan, dan
industri hilir Indonesia lainnya yang tengah meningkat, terkhususnya smelter
nikel. Sebagian besar dari investasi ini berhubungan dengan Belt and Road Initiative
(BRI) China, dan kedua pemerintah (China dan Indonesia) telah setuju untuk
melaksanakan proyek infrastruktur Bersama di 3 (tiga) Provinsi di Indonesia yang
spesifik dirancang untuk Investasi BRI : Sumatera Utara, Kalimantan Utara dan
Sulawesi Utara. Tetapi ada sektor ketiga dimana perusahaan – perusahaan swasta
China telah berinvestasi dengan jumlah besar dan menarik perhatian cukup besar
dari masyarakat Indonesia yakni financial technologies atau fintech. Bisnis –
bisnis ini didominasi oleh sistem pembayaran elektronik atau digital (e-payment)
dan online atau digital lending, atau lebih populer di Indonesia sebagai “fintech
lending”.
Selain dari 2 (dua) sub-sektor utama fintech ini, pemain – pemain utama fintech
beroperasi juga di sektor pasar online (marketplace) finansial, kecerdasan buatan,
big data untuk jasa keuangan (misalnya, penilaian kredit), dan pengelolaan
kekayaan (termasuk robo-advisory atau pemberi saran otomatis). Fintech telah
bertumbuh subur di Indonesia, terutama sejak tahun 2016, sebagian disebabkan
oleh industri keuangan tradisional Indonesia yang tidak dapat mengikuti
pertumbuhan kelas menengah dan kebutuhannya akan layanan berbasiskan
teknologi. Financial technology atau fintech secara sederhana mengacu pada
penggunaan teknologi untuk memberikan layanan keuangan. Dan dapat
mencakup hampir semua perkembangan teknologi di bidang layanan keuangan,
termasuk pemindahbukuan, anjungan tunai mandiri (ATM), electronic data capture
(EDC), dan aplikasi seluler digital perbankan.
Financial technology adalah industri ekonomi yang terdiri dari perusahaan yang
menggunakan teknologi untuk membuat layanan keuangan secara lebih efisien.
Fintech juga dapat didefinisikan sebagai industri keuangan yang menerapkan
teknologi untuk meningkatkan aktivitas keuangan. Didorong oleh kemajuan
teknologi, model layanan baru telah berkembang dalam industri keuangan yang
menawarkan peluang tambahan bagi pelanggan. Dibawah donominator umum
“fintech”, bisnis baru ini bertujuan untuk menantang Lembaga keuangan yang ada
dengan menggunakan teknologi untuk memberikan nilai kepada pelanggan
dengan cara alternatif. Dengan terus berinovasi dengan menggunakan teknologi
terbaru, fintech akan berdampak pada pengalaman pengguna, yang berarti
keseluruhan dari semua pengalaman yang dimiliki pengguna, yang berarti
keseluruhan dari semua pengalaman yang dimiliki pengguna dengan penyedia
layanan. Selain itu, akan berimplikasi pada ekonomi bisnis, yakni pendapatan,
biaya dan margin. Terakhir, para ahli sektor memprediksi fintech akan mengubah
dinamika industri secara keseluruhan, menyebabkan perubahan dalam struktur
kompetitif dan ekosistem layanan keuangan. Dalam penelitian ini, layanan
keuangan yang dimaksudkan adalah layanan peer to peer lending.
Akan tetapi, akhir – akhir ini istilah “fintech” mengacu pada perusahaan –
perusahaan start-up dan teknologi baru yang telah mulai menyediakan produk
dan layanan keuangan kepada pebisnis dan konsumen. Model baru ini berbeda
dikarenakan tidak lagi memperlakukan perusahaan teknologi sebagai “vendor
teknis” sebuah Lembaga keuangan. Fintech di Indonesia adalah kombinasi para
pemain teknologi internasional, regional, dan lokal yang merupakan pengusaha
independent seperti unicorn lokal contohnya : Go-Jek, perusahaan transportasi
online, atau yang merupakan perusahaan yang menjadi bagian dari sebuah grup
contohnya Alipay yang merupakaan anak perusahaan dari Firma China.
Munculnya tawaran langsung dari perusahaan – perusahaan teknologi telah
memaksa dibuatkannya format baru pemberian izin dan kepatuhan untuk
mengkompensasi tidak cocoknya klasifikasi model bisnis konvensional dengan
struktur yang baru. Di dalam industri finansial, sebuah divisi telah muncul antara
“pemain lama” atau Lembaga finansial tradisional (misalnya : bank, perusahaan
asuransi, bank investasi, perusahaan pembiayaan konsumen) dan “pendatang
baru” atau Lembaga finansial non-tradisional (misalkan : uang elektronik (e-
money), dompet elektronik (e-wallet), peer-too-peer (P2P)/marketplace lending). Istilah
“fintech” mengacu pada model – model bisnis baru yang sebelumnya tidak
diaturkan tetapi baru – baru ini diperkenalkan untuk mengakomodasi produk,
jasa, penawaran, ataupun model bisnis baru.
Perlindungan hukum konsumen penerima pinjaman atas perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pemberi pinjaman financial technology
yang berbasis peer to peer lending di Indonesia dapat mengacu pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan, Undang – Undang Perlindungan Konsumen dan Undang
– Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Setiono,
perlindungan hukum tersebut sendiri adalah perbuatan atau upaya yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan atau tindakan sewenang
– wenang yang dilakukan oleh penguasa dan tidak sesuai dengan aturan hukum
yang telah ada, untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Perlindungan hukum bagi para pengguna layanan pinjam meminjam berbasis
teknologi informasi tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip dasar
perlindungan hukum bagi pengguna layanan pinjam meminjam berbasis
teknologi informasi. Prinsip – prinsip tersebut mengacu pada Pasal 29 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan POJK Nomor. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang mengatakan bahwa :
“Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan pengguna
yakni : transparansi, perlakukan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan
data, dan penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan biaya
terjangkau”.
Perlindungan hukum terhadap konsumen (penerima pinjaman) financial
technology berbasis peer to peer lending juga dapat dilakukan dengan melaksanakan
kewajibannya dan mendapatkan hak – haknya dengan seimbang sebagai
konsumen dana penyelenggaraan layanan pinjam meminjam transaksi elektronik,
kewajiban tersebut mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 Undang
– Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan
mengenai hak – hak konsumen sendiri terdapat pada Pasal 4 Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan hukum juga
dapat dilakukan oleh pihak pelaku usaha untuk melakukan kewajibannya sesuai
dengan Pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan analisis penulis terhadap penelitian yang penulis lakukan
mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen penerima
pinjaman atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemberi
pinjaman financial technology yang berbasis peer to peer lending di Indonesia dapat
dilihat dari sisi hukum perlindungan konsumen, informasi dan transaksi
elektronik dan peraturan otoritas jasa keuangan yang di dalamnya terdapat sanksi
pidana dan denda. Berdasarkan Pasal 60 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang telah diaturkan dalam Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sanksi Administratif tersebut berupa penetapan ganti rugi yang paling banyak
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan berdasarkan Pasal 62 Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha
yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang Perlindungan
Konsumen dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama selama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar
rupiah). Sedangkan menurut Undang – Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), penyelesaian sengketa tersebut dapat mengacu pada Pasal
38 dan Pasal 39 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Pasal 38 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
SOURCE ARTIKEL

https://www.china-briefing.com/news/a-close-reading-china-fintech-
development-plan-for-2022-2025/

https://iclg.com/practice-areas/fintech-laws-and-regulations/2-the-fintech-
regulatory-regime-in-china

https://www.cnbc.com/2021/04/30/china-orders-fintech-companies-to-stick-
to-the-rules-as-clampdown-widens.html

https://www.scirp.org/journal/paperinformation.aspx?paperid=97887

Anda mungkin juga menyukai