Anda di halaman 1dari 26

ASPEK HUKUM DALAM FINANCIAL TECNOLOGY

Fintech (financial technology) merupakan pembaruan dalam bidang


industri jasa keuangan dengan berdasarkan teknologi dan informasi yang telah
memiliki payung hukum atau landasan hukum dan mendapatkan pengawasan
dari pemerintah Indonesia. Peran fintech di Indonesia di antaranya sebagai
berikut:

1. Mendorong kemampuan ekspor UMKM yang saat ini masih rendah


Muliaman D. Hadad, “Financial Technology (Fintech) di
Indonesia,” Kuliah Umum tentang Fintech –IBS, Otoritas Jasa
Keuangan, Jakarta, 2 Juni 2017
2. Meningkatkan inklusi keuangan nasional
3. Mendorong distribusi pembiayaan nasional masih belum merata di
17.000 pulau
4. Membantu pemenuhan kebutuhan pembiayaan dalam negeri yang
masih sangat besar
5. Mendorong pemerataan tingkat kesejahteraan penduduk

Dalam pelaksanaan industri fintech terdapat beberapa poin-poin penting sebagai


berikut:

1. Perlindungan Konsumen
Dalam pelaksanaan industri fintech terdapat potensi kehilangan
maupun penurunan kemampuan finansial baik yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan, penipuan, maupun force majeur dari kegiatan fintech.
Isu privasi pengguna fintech yang rawan terhadap penyalahgunaan data
baik yang disengaja maupun tidak disengaja (serangan hacker, malware,
dll).

2. Kepentingan Nasional
Salah satu keuntungan dari fintech dalam penerapan pemberian
pinjaman layanan uang digital adalah anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT). Kemudahan dan
kecepatan yang ditawarkan oleh fintech menimbulkan potensi
penyalahgunaan untuk kegiatan pencucian uang maupun pendanaan
terorisme. Dalam stabilitas sistem keuangan, perlu manajemen resiko
yang memadai agar tidak berdampak negatif terhadap stabilitas sistem
keuangan.

Dalam hal pemberian kredit berbasis teknologi informasi oleh


fintech kepada pelaku usaha UMKM, hal ini telah dilandasi oleh
penerbitan POJK No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi (LMPUBTI) atau
Peer-to-Peer Lending. Dalam POJK 77/2016, layanan pinjam meminjam
berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan
layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman
dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian
meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem
elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Penyelenggara dapat berbentuk badan hukum perseroan terbatas


(PT) atau koperasi baik berbentuk PT maupun koperasi, penyelenggara
wajib memiliki modal disetor minimal Rp 1 miliar pada saat
pendaftaran. Sedangkan pada saat permohonan izin, penyelenggara
wajib memiliki modal sendiri sebesar Rp 2,5 miliar. Permohonan
pendaftaran dilakukan paling lambat enam bulan setelah POJK ini
diundangkan. Sementara itu, permohonan izin disampaikan maksimal
satu tahun setelah penyelenggara terdaftar di OJK. Untuk diketahui,
beleid tersebut juga memberikan peluang bagi asing untuk menjadi
pendiri ataupun sebagai pemilik saham penyelenggara.
POJK tersebut juga mengatur kewajiban bagi fintech yang sudah
terdaftar di OJK untuk memberikan laporan secara berkala tiap tiga
bulan. Fintech peer to peer lending juga wajib memiliki kualifikasi
sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan atau latar belakang di
bidang teknologi informasi. Pasal 24 menyebutkan, penyelenggara
wajib menggunakan escrow account dan virtual account. Virtual
account bagi setiap pemberi pinjaman. Pelunasan pinjaman oleh
penerima pinjaman dilakukan melalui pembayaran ke escrow account
penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.
Sementara itu untuk perlindungan pemberi dan penerima pinjaman,
penyelenggara berdasarkan Pasal 29 wajib menerapkan prinsip:
transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan
data, dan penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana cepat dan
biaya terjangkau. Sehingga penelitian ini mencoba mengkaji mengenai
pelaksanaan pemberian kredit berbasis teknologi informasi oleh fintech
kepada pelaku UKM dan fungsi pengawasan OJK terhadap pelaksanaan
pemberian fasilitas kredit fintech terhadap pelaku UKM.

Financial Tecnologi diistilahkan dengan Fintech kata ini sudah lah


tidak asing lagi di dunia bisnis di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan
ini. Salah satu dari definisi Fintech di suatu pusat penelitian di Irlandia
merupakan “ innovation in Financial Services” atau di sebut juga inovasi
dalam layanan keuangan.
Tetapi banyak masyarakt yang binggung memaknai bahasa tersebut
makan ingat-ingat saja pembayaran dengan uang elektronik . investasi via
online atau pembiayaan dengan patungan online yang anda lakukan bersama
teman-teman di situs tertentu. Itulah beberapa contoh penggunaan fintech dalam
transaksi keuangan anda.
Partner firma hukum AKSET (Arfidea Kadri Sahetapy-Engel
Tisnadisastra) yang biasa disapa Abi ini mencontohkan bahwa pada dasarnya
internet banking dan penggunaan mesin ATM adalah bentuk inovasi teknologi
pada layanan keuangan. Hanya saja, inovasi ini melekat pada perbankan
sebagai bagian dari lembaga keuangan konvensional.
Abi berpendapat bahwa fintech yang dimaksud pada masa kini telah
mengembangkan berbagai produk serupa perbankan dan jasa keuangan
lainnya yang lebih efisien. Sehingga akhirnya menghasilkan industri
tersendiri yang produknya beririsan dengan komoditas berbagai
lembaga keuangan konvensional. Meskipun adapula produk dari
industri fintech yang menggandeng produk dari lembaga keuangan
konvensional seperti perusahaan perbankan, investasi, dan
perasuransian.
Sebagai industri baru yang muncul akibat kemajuan teknologi membuat
aspek hukum fintech masih terus berkembang dan tidak dapat ditampung
dengan berbagai regulasi yang ada saat ini. Abi mengemukakan bahwa
fenomena ini terjadi pada berbagai sistem hukum di dunia. Apalagi kehadiran
fintech yang bersandar pada internet of things membuat industri ini mampu
beroperasi melintas batas berbagai yurisdiksi.
Industri fintech ini terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap
perkembangan dengan bergantung suntikan dana investor. Tentunya, para
investor menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal berdasarkan
berbagai regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan kepercayaan pengguna fintech
dalam hal perlindungan konsumen, berbagai produk fintech juga membutuhkan
pengakuan dari regulator.
Maria Herminia Sagrado, partner dari firma hukum Makarim & Taira S.
memaparkan bahwa di Indonesia saat ini ada dua lembaga yang
berwenang mengatur fintech yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Namun, sejauh ini baru BI yang secara khusus
menerbitkan berbagai peraturan soal penyelenggaraan fintech. Berikut
pengaturan fintech di Indonesia:
1. peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tenatng
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
1. Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan
Transaksi Pembayaran (PBI PTP)diterbitkan dengan
mempertimbangkan:
a. Perkembangan teknologi dan system informasim yang
melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan
dengan financial technology (fintech) dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di bidang jasa
sistem pembayaran, baik dari sisi instrumen, penyelenggara ,
mekanisme, maupun infrastruktur penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
b. Inovasi dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran yang perlu tetap mendukung terciptanya sistem
pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal.
c. Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang
memadai, perluasan akses, kepentingan nasional
dan perlindungan konsumen, serta standar dan praktik
internasional.
d. Pengaturan sistem pembayaran saat ini yang perlu dilengkapi
dan dirumuskan secara lebihkomprehensif untuk
memberikan arah dan pedoman yang semakin jelas
kepada penyelenggara jasa sistem pembayaran dan
penyelenggara penunjang transaksi pembayaran, serta
kepada masyarakat.
2. Cakupan PBI ini meliputi:
a. penyelenggara dalam pemrosesan transaksi pembayaran;
b. perizinan dan persetujuan dalam penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran;
c. kewajiban dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran;
d. laporan;
e. peralihan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran; dan
f. pengawasan, larangan, serta sanksi.
3. Pemrosesan transaksi pembayaran meliputi kegiatan
pra transaksi, otorisasi, kliring, penyelesaian akhir (setelmen),
dan pascatransaksi. Kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran
dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran (PJSP) dan Penyelenggara Penunjang.
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran terdiri atas:
a. Prinsipal;
b. Penyelenggara Switching;
c. Penerbit;
d. Acquirer;
e. Penyelenggara Payment Gateway;
f. Penyelenggara Kliring;
g. Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
h. Penyelenggara Transfer Dana;
i. Penyelenggara Dompet Elektronik; dan
j. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5. Penyelenggara Penunjang merupakan pihak yang menunjang
terlaksananya pemrosesan transaksi pembayaran di seluruh
tahapan pemrosesan transaksi, yang antara lain terdiri dari
perusahaan yang menyelenggarakan:
a. pencetakan kartu;
b. personalisasi pembayaran;
c. penyediaan pusat data (data center) dan/atau pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center);
d. penyediaan terminal antara lain Automated Teller
Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC),
dan/atau reader;
e. penyediaan fitur keamanan instrumen pembayaran dan/atau
transaksi pembayaran;
f. penyediaan teknologi pendukung transaksi nirkontak
(contactless); dan/atau
g. penyediaan penerusan (routing) data pendukung pemrosesan
transaksi pembayaran.
6. Prinsip dasar izin atau persetujuan dalam penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran adalah sebagai berikut:
a. Pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
b. Pihak yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran dan akan melakukan
pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran,
pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem
pembayaran, dan/atau kerja sama dengan pihak lain,
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
7. Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan perizinan
dan/atau persetujuan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,
serta memberikan kemudahan kepada Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin atas proses
persetujuan kerja sama dalam rangka penggunaan dan perluasan
penggunaan instrumen pembayaran nontunai untuk program
yang terkait dengan kebijakan nasional.
8. Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Prinsipal,
Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentuk perseroan
terbatas yang paling sedikit 80% (delapan puluh persen)
sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia.
9. Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran,
setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib:
a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan
konsisten;
b. menerapkan standar keamanan sistem informasi;
c. menyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaran
secara domestik;
d. menerapan perlindungan konsumen; dan
e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran
kepada Bank Indonesia yang terdiri atas laporan berkala dan
laporan insidental.
11. Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan
pengawasan tidak langsung terhadap Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan
pengawasan kepada Penyelenggara Penunjang yang bekerjasama
dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
12. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang:
a. melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan
menggunakan virtual currency;
b. menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data
dan informasi transaksi pembayaran; dan/atau
c. memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat dipersamakan
dengan nilai uang yang dapat digunakan di luar lingkup
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang bersangkutan.
13. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar
ketentuan PBI ini dikenakan sanksi administratif berupa teguran,
denda, penghentian sementara atau seluruh kegiatan jasa sistem
pembayaran, dan/atau pencabutan izin sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran.
14. Ketentuan peralihan diatur sebagai berikut:
a. Pihak yang telah menyelenggarakan
kegiatan Switching, Payment Gateway, dan/atau Dompet
Elektronik sebelum PBI ini berlaku dan belum memperoleh
izin dari Bank Indonesia wajib mengajukan izin kepada
Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini
berlaku.
b. Ketentuan persentase kepemilikan saham wajib dipenuhi
oleh pihak yang sebelum PBI ini berlaku:
1) telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
2) sedang dalam proses perizinan dan kemudian
memperoleh izin dari Bank Indonesia, apabila setelah
berlakunya PBI ini, akan melakukan perubahan
kepemilikan.
c. Persyaratan dan tata cara permohonan bagi pihak yang
mengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum PBI ini
berlaku, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uang elektronik.
d. Bank yang telah menyelenggarakan Proprietary
Channel pada saat PBI ini mulai berlaku
wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud
kepada Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengandisertai
dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan
sejak PBI ini berlaku.
e. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment
Gateway dan/atau Dompet Elektronik pada saat Peraturan
Bank Indonesia ini mulai berlaku wajib melaporkan
penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia
untuk ditatausahakan dengan disertai dokumen
pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini
berlaku.
15. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran dan Penyelenggara Penunjang, pemenuhan
persyaratan perizinan, kewajiban Penyelenggara Dompet
Elektronik, format dan tata cara penyampaian laporan
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dan tata
cara pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
2. Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI Tekfin) diterbitkan
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Perkembangan teknologi dan sistem informasi terus
melahirkan berbagai inovasi yang berkaitan dengan teknologi
finansial;
b. Perkembangan teknologi finansial di satu sisi membawa
manfaat, namun di sisi lain memiliki potensi risiko;
c. Ekosistem teknologi finansial perlu terus dimonitor dan
dikembangkan untuk mendukung terciptanya stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran
yang efisien, lancar, aman, dan andal untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan
inklusif;
d. Penyelenggaraan teknologi finansial harus menerapkan
prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan
kehati-hatian;
e. Respons kebijakan Bank Indonesia terhadap perkembangan
teknologi finansial harus tetap sinkron, harmonis, dan
terintegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia.
2. Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang menyelenggarakan
Teknologi Finansial di bidang sistem pembayaran.
3. Ruang lingkup pengaturan dalam PBI ini mencakup:
a. tujuan dan ruang lingkup;
b. pendaftaran;
c. Regulatory Sandbox;
d. perizinan dan persetujuan;
e. pemantauan dan pengawasan;
f. kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial;
g. koordinasi dan kerja sama; dan
h. sanksi.
4. Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
(a) sistem pembayaran,
(b) pendukung pasar,
(c) manajemen investasi dan manajemen risiko,
(d) pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal, dan
(e) jasa finansial lainnya.
5. Kriteria Teknologi Finansial adalah sebagai berikut:
a. bersifat inovatif;
b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis finansial yang telah eksis;
c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
d. dapat digunakan secara luas;
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
6. Penyelenggara Teknologi Finansial yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada angka 5 wajib melakukan
pendaftaran pada Bank Indonesia. Pendaftaran dikecualikan bagi
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia dan/atau Penyelenggara Teknologi
Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain.
7. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia dan memenuhi kriteria Teknologi
Finansial tetap harus menyampaikan informasi mengenai
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya kepada
Bank Indonesia.
8. Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
terdaftar:
a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen;
b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi
konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi;
c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian;
d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai mata uang;
e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme; dan
f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

9. Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan


sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.
10. Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia pada laman resmi
Bank Indonesia secara berkala.
11. Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
yang telah terdaftar beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
12. Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara
Teknologi Finansial berupa:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
13. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia dan
Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan data
dan/atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia.
14. Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar harus terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja sama dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak melakukan
pendaftaran dan/atau perizinan.
15. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran, prinsip
manajemen risiko dan kehati-hatian, pengumuman
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
terdaftar, Regulatory Sandbox dan tata cara penyampaian data
dan/atau informasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/14/PADG/2017
Tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi
Finansial.
1. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017
tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatoryn Sandbox)
Teknologi Finansial (PADG Regulatory Sandbox) diterbitkan
sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial pada tanggal 29 November 2017 (PBI
Tekfin). PADG Regulatory Sandbox ini berisi pengaturan teknis
atas materi ketentuan yang diatur dalam PBI Tekfin dalam
rangka memperjelas dan memberikan pedoman dalam
penyelenggaraan ruang uji coba terbatas (Regulatory Sandbox).
2. Pokok-pokok pengaturan PADG Regulatory Sandbox meliputi:
a. ruang lingkup penyelenggaraan Teknologi Finansial;
b. tata cara penetapan uji coba dalam Regulatory Sandbox;
c. proses uji coba dalam Regulatory Sandbox;
d. hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox;
e. kewajiban izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
3. Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial
beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
4. Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih lengkap
dalam pemberian penetapan, Penyelenggara Teknologi Finansial
harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling sedikit
mengenai model bisnis dan manajemen risiko dan menyampaikan
dokumen secara lengkap kepada Bank Indonesia.
5. Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan
proses perizinan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
6. Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh
penetapan harus menyampaikan usulan skenario uji coba produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal penetapan.
7. Usulan skenario paling sedikit memuat:
a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan
diuji coba;
b. jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji coba;
c. target yang akan dicapai; dan
d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan batasan
lainnya; dan
e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam Regulatory
Sandbox.
8. Bank Indonesia melakukan review usulan skenario yang
disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial.
9. Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario,
Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyatakan
kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang telah disetujui
dengan menandatangani surat pernyataan.
10. Bank Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan kepada
Penyelenggara Teknologi Finasial setelah Penyelenggara
Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan menjalankan
skenario uji coba.
11. Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Bank
Indonesia atas scenario uji coba produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis dan dalam hal diperlukan, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu)
kali untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.
12. Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox,
Penyelenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai
berikut:
a. memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen
serta manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara
reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia; dan
c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama
pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar
untuk menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi
Finansial.
14. Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba
dalamRegulatory Sandbox. Setelah jangka waktu berakhir, Bank
Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara
Teknologi Finansial berupa:
a. berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
15. Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan sebelum
terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau
persetujuan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
16. Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau
layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis yang
diujicobakan.
17. Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori
sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus
memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
18. Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial merupakan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Lainnya, Penyelenggara
Teknologi Finansial tersebut harus berbentuk perseroan terbatas
dan memenuhi aspek kelayakan. Tata cara memperoleh izin
sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Lainnya
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Peraturan Anggota Desan Gubernur No. 19/15/PADG/2017 Tentang
Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan
Penyelenggaran Teknoligi Finansial
1. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/201
tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan
Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial (PADG Tekfin)
diterbitkan sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada tanggal 29
November 2017 (PBI Tekfin). PADG ini berisi pengaturan
teknis atas materi ketentuan yang diatur dalam PBI Tekfin dalam
rangka memperjelas dan memberikan pedoman pendaftaran bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial.
2. Pokok-pokok pengaturan PADG Tekfin meliputi:
a. Pendaftaran; antara lain mencakup tata cara, pemrosesan,
publikasi pendaftaran, dan penghapusan pendaftaran.
b. Prinsip Manajemen Risiko dan Kehati-hatian.
c. Pemantauan; antara lain mengatur pemantauan oleh BI
terhadap TekFin terdaftar, serta tata cara penyampaian
informasi.
d. Ketentuan lain-lain; mengatur terkait dengan korespondensi
dengan Bank Indonesia.
3. Penyelenggara TekFin yang memenuhi kriteria sesuai PBI
TekFin wajib melakukan pendaftaran, kecuali bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan otoritas lain dan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran yang telah memperoleh izin dari BI. Namun
demikian, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dimaksud
harus tetap menyampaikan infromasi kepada Bank Indonesia
mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
baru yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial.
4. Penyelenggara Teknologi Finansial harus merupakan badan
usaha, khusus bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaranharus
berbentuk badan hukum sesuai ketentuan yang mengaturnya.
5. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia secara tertulis disertai
dengan dokumen pendaftaran secara daring (online).
6. Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar akan
dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia dan dapat
dihapus apabila:
a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sudah
tidak digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial;
b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;
c. Penyelenggara Teknologi
Finansial dikenakan sanksi oleh Bank Indonesia dan/atau
otoritas yang berwenang;
d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan
tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
e. terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari
otoritas berwenang;
f. permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi Finansial;
dan/atau
g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisisebenarnya.
7. Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar harus
menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian.
8. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar
Penyelenggara Teknologi Finansial.
9. Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan data
dan/atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia berupa:
a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang
disampaikan secara berkala;
b. produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis;
c. kondisi keuangan;
d. kepengurusan dan kepemilikan; dan
e. data dan/atau informasi lain.

Dalam Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang


Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI Tekfin) telah ditegaskan definisi
yang digunakan oleh BI mengenai fintech hingga kategori dan kriterianya.
Definisi Teknologi Finansial/Fintech
Pasal 1:
Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuanganyang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan,
dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
Kategori Penyelenggaraan Teknologi Finansial/Fintech
Pasal 3 ayat 1:
1. Sistem pembayaran;
2. Pendukung pasar;
3. Manajemen investasi dan manajemen risiko;
4. Pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
5. Jasa finansial lainnya.
Kriteria Teknologi Finansial/Fintech
Pasal 3 ayat 2:
1. Bersifat inovatif;
2. Dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
finansial yang telah eksis;
3. Dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
4. Dapat digunakan secara luas; dan
5. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sementara itu, OJK baru menerbitkan satu pengaturan yang berkaitan
dengan salah satu produk fintech melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
M. Ajisatria Suleiman, Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi
Fintech Indonesia menilai, sejauh ini sebenarnya sudah ada enam
kegiatan fintechyang diatur dalam rezim sistem pembayaran dan sistem
jasa keuangan di Indonesia sebagai berikut:

Kategori Dasar Hukum Penjelasan

Uang Elektronik (Electronic


Money) adalah alat
pembayaran yang
memenuhi unsur-unsur
PBI No.11/12/PBI/2009 sebagai berikut:
jo. a. diterbitkan atas dasar nilai
PBI No.16/8/PBI/2014 uang yang disetor terlebih
jo. dahulu oleh
E-Money
PBI No. 18/ 17 pemegang kepada penerbit;
/PBI/2016 b. nilai uang disimpan secara
tentang Uang Elektronik elektronik dalam suatu media
(Electronic Money) seperti server
atau chip;
c. digunakan sebagai alat
pembayaran kepada
pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang
elektronik tersebut; dan
d. nilai uang elektronik yang
disetor oleh pemegang dan
dikelola oleh
penerbit bukan merupakan
simpanan sebagaimana
dimaksud dalam
undang-undang yang
mengatur mengenai
perbankan.

Dompet Elektronik
(Electronic Wallet) yang
selanjutnya disebut Dompet
Elektronik adalah layanan
PBI No.18/40/PBI/2016
elektronik untuk menyimpan
tentang
data instrumen pembayaran
E-Wallet Penyelenggaraan
antara lain alat pembayaran
Pemrosesan Transaksi
dengan menggunakan kartu
Pembayaran
dan/atau uang elektronik,
yang dapat juga menampung
dana, untuk melakukan
pembayaran.

Payment PBI No.18/40/PBI/2016 Payment Gateway adalah


Gateway tentang layanan elektronik yang
Penyelenggaraan memungkinkan pedagang
Pemrosesan Transaksi untuk memproses transaksi
Pembayaran pembayaran dengan
menggunakan alat
pembayaran dengan
menggunakan kartu, uang
elektronik, dan/atau
Proprietary Channel.

Layanan Pinjam Meminjam


Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah
penyelenggaraan layanan jasa
POJK keuangan untuk
No.77/POJK.01/2016 mempertemukan pemberi
Peer to Peer
tentang Layanan Pinjam pinjaman dengan penerima
(P2P)
Meminjam Uang pinjaman dalam rangka
Lending
Berbasis Teknologi melakukan perjanjian pinjam
Informasi meminjam dalam mata uang
rupiah secara langsung
melalui sistem elektronik
dengan menggunakan
jaringan internet.

POJK No. Agen Penjual Efek Reksa


Marketplace
39/POJK.04/2014 Dana adalah Pihak yang
Reksadana
tentang Agen Penjual melakukan penjualan Efek
Efek Reksadana Reksa Dana berdasarkan
kontrak kerja sama dengan
Manajer Investasi pengelola
Reksa Dana.

Perusahaan Pialang Asuransi


adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa
konsultasi dan/atau
POJK No.
keperantaraan dalam
69/POJK.05/2016
Marketplace penutupan asuransi atau
tentang
Asuransi asuransi syariah serta
Penyelenggaraan Usaha
penanganan penyelesaian
Perusahaan Asuransi
klaimnya dengan bertindak
untuk dan atas nama
pemegang polis, tertanggung,
atau peserta.

Peluang bisnis dalam industri ini dirasa Abi sangat besar mengingat
berbagai perusahaan fintech akan terus berkembang memenuhi permintaan
konsumen. Seiring semakin besarnya industri ini akan membutuhkan jasa
layanan hukum dari para konsultan hukum. “Sudah pasti pada waktu bisnisnya
makin besar keperluan terhadap lawyer juga ada,” katanya saat
diwawancarai hukumonline.
Perkembangan fintech yang begitu pesat akan membuat regulator tidak
akan mampu cepat mengimbangi industri ini dalam hal pengaturan. Di sinilah
menurut Abi peran penting konsultan hukum membantu klien dari industri
fintech agar tetap bersandar pada regulasi yang berkaitan meskipun belum
diatur secara khusus dan lengkap.
“Isu utamanya soal ketidakpastian hukum, baru segelintir produk fintech
yang diatur, baru setengah diatur, atau belum sama sekali. Kita bantu
menganalisis bisnis mereka masuk ke ranah regulasi yang mana,”
Dengan perkembangan ini menurutnya, para lawyer di sektor pasar
modal dan keuangan perlu terus meningkatkan commercial awareness atas
perkembangan industri fintech. Meskipun menurutnya regulasi dan prinsip
dasar dari industri ini tetap saja sektor jasa layanan keuangan yang telah
dikuasai para konsultan hukum pasar modal dan keuangan.
Ajisatria mengatakan bahwa ekspektasi pengusaha fintech kepada para
konsultan hukum sebenarnya tidak muluk. “Ekspektasinya para lawyers
ini paham prinsip-prinsip dasar dari sistem hukumnya, ini akan
kompleks metodenya (fintech), kalau nggak paham basic-nya nanti
bingung sendiri memahami kompleksitas fintech,”.
Ketua HKHPM, Indra Safitri menegaskan hal yang sama bahwa
perkembangan industri fintech perlu diperhatikan serius oleh para konsultan
hukum pasar modal dan keuangan. Ada perubahan era konvensional menuju
digitalisasi yang mempengaruhi desain hukum yang mendukung kebutuhan
bisnis kliennya.
“HKHPM perlu menyiapkan anggotanya agar memiliki paradigma baru
soal fintech, kita akan berhadapan langsung dengan industri ini di pasar
modal dan keuangan,”.
DAFTAR PUSTAKA

1. Muliaman D. Hadad, “Financial Technology (Fintech) di Indonesia,”


Kuliah Umum tentang Fintech –IBS, Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 2
Juni 2017
2. Kompas.com, 3 Januari 2017 12:00 WIB, Poin Penting Aturan Peer to
Peer Lending, dalam http://www.kompas.com , diunduh Kamis, 8 Maret
2018 pukul 10:10
3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017
tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi
Finansial https://www.bi.go.id /id/peraturan/ sistem-pembayaran
/Pages/PADG_191417.aspx, di unduh Rabu 15 Mei 2019 pukul 18.30
4. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/2017 tentang
Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan
Penyelenggara Teknologi Finansial https://www.bi.go.id /id/ peraturan
/sistem-pembayaran /Pages/PADG_191517.aspx, di unduh Rabu 15 Mei
2019 pukul 18.30
5. Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansia https://www.bi.go.id/id/ peraturan /sistem-
pembayaran /Pages/PBI_191217.aspx, di unduh Rabu 15 Mei 2019
pukul 18.30
6. Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran https://www.bi.go.id/id/ peraturan
/sistem-pembayaran/Pages/pbi_184016.aspx, di unduh Rabu 15 Mei
2019 pukul 18.30
7. Aspek hukum Fintech di Indonesia, https://www.hukumonline.com
/berita/baca/lt5a97b394460ec/ aspek-hukum-fintech-di-indonesia-yang-
wajib-diketahui-lawyer, di unduh Rabu 15 Mei 2019 pukul 18.30
8. Ernama, Budiharto, Hendro S., Op. Cit., hlm.

Anda mungkin juga menyukai