Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan

1. Latar belakang
Pada saat ini, banyak perusahaan yang terpuruk, sehingga kegiatan usahanya tidak
berjalan dengan baik. Salah satu penyebab perusahaan mengalami keterpurukan seperti itu
adalah karena tidak berjalannya atau tidak ada tata kelola perusahaan yang baik. Karena
penerapan GCG di Indonesia saat ini dinilai belum 100% efektif padahal implementasi
penerapan GCG yang baik di perusahaan akan meningkatkan sustainability and corporate
value.Peringkat GCG di Indonesia tertinggal relatif di banding negara tetangga (Wahyubroto &
Mustamu, 2017).
Survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers terhadap investor-investor
internasional di Asia menunjukan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk
dalam bidang standar akuntansi dan penataan, pertanggungjawaban terhadap pemegang saham,
standar-standar pengungkapan dan transaparansi serta proses-proses kepengurusan perusahaan.
Corporate governance atau tata kelola perusahaan adalah rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yangmemengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan
suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para
pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-
pihak utama dalam tatakelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan
direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok,pelanggan, bank dan
kreditor lain, regulator, lingkungan, sertamasyarakat luas . Saat ini, penerapan corporate
governance bukan lagi merupakan pilihan bagi perusahaan, tetapi sudah menjadi keharusan
untuk diimplementasikan. Hal ini diperkuat dengan adanya tuntutan dari publik kepada
perusahaan untuk menerapkan corporate governance sertaadanya regulasi yang mengatur
penerapannya.
Pengaplikasian good corporate governance secara penuh dan secara tepat dan utuh
memberikan banyak sekali manfaat, baik itu bagi karyawannya dan juga bagi perusahaan itu
sendiri. Saat ini sudah banyak sekali perusahaan yang sudah mengoptimalkan konsep good
corporate governance ini. Apa saja manfaatnya? Berikut ini adalah beberapa manfaat dari good
corporate governance :
1. Meningkatkan kualitas kerja para karyawan
Dengan adanya good corporate governance, maka kondisi lingkungan pekerjaan akan
menjadi lebih baik. Bertambah baiknya lingkungan dan suasana dari lingkungan pekerjaan,
maka karyawan akan merasa lebih dihargai dalam pekerjaannya. Hal ini akan bermanfaat
pada lebih baiknya dan meningkatnya kualitas kerja yang dilakukan oleh para karyawan.
Karyawan bisa merasa nyaman dan senang dalam bekerja di perusahaan yang menerapkan
good corporate governance tersebut.

2. Meningkatkan keterikatan kerja para karyawan


Kualitas pekerjaan dari para karyawannya bertambah dan juga kondisi dari lingkungan
pekerjaan yang membuat nyaman, maka karyawan pun akan memiliki keterikatan kerja
yang baik dengan perusahaannya. Hal ini akan berdampak pada perusahaan yang tidak perlu
repot dalam mengevaluasi hasil kerja dari para karyawannya. Karena dengan meningkatnya
keterikatan kerja dari para karyawan, maka hasil pekerjaan pun akan menjadi lebih baik dan
juga lebih fokus.

3. Meningkatkan kinerja perusahaan


Manfaat GCG yang berdampak pada kualitas pekerjaan pada karyawan, maka hal ini akan
berdampak langsung pada kinerja keseluruhan dari perusahaan tersebut. Good corporate
governance dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan dari karyawan, dan juga akan
berpengaruh pada meningkatnya kinerja keseluruhan dari perusahaan itu sendiri.

4. Neraca perusahaan yang lebih baik


Dengan meningkatnya kondisi kualitas pekerjaan dari karyawan dan juga meningkatnya
kinerja dari perusahaan secara keseluruhan, maka hal ini juga akan berdampak pada kondisi
neraca keuangan dari perusahaan yang akan menjadi lebih baik dan mengarah kea rah yang
positif. Itu artinya, kemungkinan perusahaan merugi resikonya akn menjadi lebih kecil,
dibandingkan perusahaan yang tidak menerapkan good corporate governance.
5. Penggunaan sumber daya yang lebih efektif
Selain itu manfaat GCG bagi perusahaan yang diterapkan , pengelolaan dan penggunaan
sumber daya akan menjadi lebih efektif. Perusahaan hanya akan menaruh karyawan yang
sesuai dengan kemampuannya. Hal ini tidak terjadi tumpang tindih tugas yang
menagkibatkan kekacauan pada tubuh perusahaan tersebut.

6. Dapat mencegah munculnya KKN


KKN atau yang sering kita kenal dengan istilah korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan
salah satu faktor penghambat dari kemajuan suatu perusahaan. Dengan adanya KKN pada
suatu perusahaan dapat menyebabkan :
 Perusahaan menjadi rugi
 Penempatan sumber daya yang tidak pas dan tidak efektif
 Bangkrut
 Terjerat kasus hukum
Dengan menerapkan prinsip dan konsep dari good corporate governance ini, maka KKN
yang sering terjadi pada perusahaan dapat dikrangi dan ditekan jumlahnya.

7. Suasana lingkungan bekerja yang lebih baik


Manfaat Good corporate governance juga berguna untuk meningkatkan lingkungan bekerja
menjadi lebih baik. Setiap karyawan akan merasa dihargai dan membuat mereka akan
merasa betah. Dengan begitu, penerapan good corporate governance akan menyebabkan
lingkungan pekerjaan darikaryawan menjadi lebih baik.

8. Mencegah terjadinya turnover pada karyawan


Turnover merupakan istilah lain untuk pindah kerja pada karyawan. Sering sekali kita
mendengan ada istilah karyawan yang tidak betah, baru 1 – 2 tahun bekerja sudah ingin
berhenti dan pindah dari pekerjaannya. Tentu saja hal ini dapat merugikan pihak
perusahaan. Namun demikian, dengan penerapan konsep good corporate governance, intensi
karyawan dalam melakukan turnover ini dapat ditekan dan diminamilisir. Hal ini karena
good corporate governance dapat meningkatkan kualitas pekerjaan dan membuat karyawan
menjadi lebih betah berapa dalam perusahaan tersebut.
9. Melindungi hak para pemegang saham
Manfaat GCG bagi perusahaan dalam konsep ini dapat melindungi hak dan kepentingan dari
para pemegang saham perusahaan. Dengan adanya good corporate governance, maka
kepentingan dan juga hak dari pemegang saham untuk menjalankan tugasnya menjadi lebih
optimal, sehingga para pemegang saham dapat menciptakan kebijakaan – kebijakan yang
nantinya akan bermanfaat bagi perusahaan dan karyawannya.

10. Meningkatkan nilai perusahaan dan menarik investor


Suatu perusahaan yang menerapkan good corporate governance dengan bak dan optimal
akan memiliki suasana dan kualitas pekerjaan yang baik. Selain itu good corporate
governance juga dapat berpengaruh pada kondisi neraca keuangan perusahaan. Hal ini akan
menjadi nilai tambah dari suatu perusahaan di mata para investor.
Para investor akan lebih tertarik untuk menanamkan saham pada perusahaan yang memiliki
kualitas dan suasana bekerja yang baik serta neraca keuangan yang positif.

11. Hubungan antar perangkat perusahaan yang lebih baik


Biasanya beberapa karyawan terutama bawahan seringkali merasa takut apabila berhadapan
dengan atasannya. Namun, dengan penerapan good corporate governance secara tepat, hal
ini tidak akan tejadi. Hubungan antara perangkat perusahaan, baik horizontal maupun
vertical akan menjadi lebih harmonis.
BAB II
Landasan Teori

Corporate Governance(CG) merupakan proses dan struktur yang digunakan untuk


mengarahkan dan mengelola bisnis serta urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan
kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders
yang lain.
Dalam menerapkan sistem tata kelola (Corporate Governance) yang baik, telah dibuat
pedoman khusus untuk membantu meningkatkan implementasinya yaitu Pedoman OECD.
Terdapat enam prinsip yang dikembangkan oleh OECD, yaitu :
1. Memastikan dasar untuk kerangka kerja tata kelola perusahaan yang efektif,
2. Hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci,
3. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham,
4. Peran pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan,
5. Pengungkapan dan transparansi, dan
6. Tanggung jawab dewan.
Dari beberapa prinsip diatas, berikut kelompok kami akan membahas mengenai prinsip
kedua dan ketiga.

1. Prinsip II OECD : Perlindungan Atas Hak-Hak Pemegang Saham


Prinsip CG OECD tentang tata kelola menyebutkan bahwa kerangka tata kelola
perusahaan harus melindungi hak-hak pemegang saham dan memfasilitasi pelaksanaan hak-hak
pemegang saham. Pada prinsip nomor 2 tersebut, terdapat 7 bagian,yaitu :
a. Hak-hak dasar pemegang saham termasuk hak untuk:
 Metode pendaftaran kepemilikan yang aman
 Mengalihkan atau memindahkan saham
 Mendapatkan informasi yang relevan dan material tentang korporasi secara tepat waktu
dan teratur
 Berpartisipasi dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
 Mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Dewan Komisaris
 Mendapatkan bagian dalam keuntungan perusahaan

b. Hak-hak pemegang saham untuk berpartisipasi dan mendapatkan cukup informasi dalam
pengambilan keputusan penting perusahaan, seperti :
 Perubahan anggaran dasar perusahaan atau akte pendirian atau dokumen-dokumen
tentang pengelolaan perusahaan lainnya

c. Pemegang saham memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dan memberikan
suara dalam RUPS serta diberikan informasi mengenai peraturan-peraturan termasuk prosedur
penyampaian hak suara. Hal ini meliputi :
 Informasi yang memadai dan tepat waktu terkait tanggal, lokasi, dan agenda RUPS,
termasuk masalah-masalah yang akan diputuskan dalam rapat
 Kesempatan untuk bertanya kepada pengurus, termasuk pertanyaan berkaitan dengan
audit eksternal tahunan, mengusulkan butir-butir agenda rapat, dan mengajukan
pemecahannya dalam batas-batas yang wajar.
 Pemberian fasilitas kepada pemegang saham untuk berpartisipasi efektif dalam
keputusan-keputusan pokok corporate governance, termasuk mengusulkan dan memilih
calon anggota pengurus. Selain itu, kewajaran atas komponen penggajian atau
kompensasi bagi anggota pengurus dan karyawan harus didasarkan pada persetujuan
pemegang saham.
 Pemegang saham harus dapat memberikan hak suara secara langsung atau in absentia,
dan efek yang sama harus diberikan kepada mereka, baik yang secara langsung atau in
absentia.

d. Struktur dan komposisi modal yang memungkinkan pemegang saham tertentu untuk
mendapatkan tingkat pengendalian yang tidak proporsional dengan kepemilikan ekuitas
mereka harus diungkapkan.
e. Pasar untuk pengendalian perusahaan berfungsi secara efisien dan transparan.
 Peraturan dan prosedur yang mengatur akuisisi perusahaan di pasar modal, dan transaksi
yang luar biasa, seperti merger dan penjualan aset perusahaan dalam jumlah yang
substansial, harus diatur secara jelas dan diungkapkan sehingga investor mengetahui hak-
hak dan pilihan-pilihannya. Transaksi harus terjadi pada harga transparan dan dalam
kondisi yang adil yang melindungi hak-hak semua pemegang saham sesuai dengan
klasifikasinya.
 Perangkat anti-take-over tidak boleh digunakan untuk melindungi manajemen dan dewan
direksi dari akuntabilitas.
f. Pelaksanaan hak-hak atas kepemilikan oleh seluruh pemegang saham, termasuk investor
institusi, harus difasilitasi. Hal-hal yang diatur adalah :
 Investor institusi yang bertindak dalam kapasitas secara fidusia harus mengungkapkan
keseluruhan tata kelola perusahaan dan kebijakan pemungutan suara berkaitan dengan
investasinya, termasuk tata cara yang telah ditetapkan untuk memutuskan penggunaan hak
suara mereka.
 Investor institusi yang bertindak dalam kapasitas secara fidusia harus mengungkapkan
bagaimana mereka menangani conflict of interest (konflik kepentingan) yang material yang
mungkin mempengaruhi pelaksanaan hak-hak pemilik utama berkaitan dengan
investasinya.

g. Pemegang saham, termasuk pemegang saham institusi, harus diperbolehkan untuk saling
berkonsultasi tentang masalah-masalah berkenaan dengan hak-hak dasar pemegang saham
sebagaimana didefinisikan dalam prinsip-prinsip tersebut di atas, dapat dikecualikan untuk
mencegah penyalahgunaan.

2. Prinsip III OECD : Perlakuan Yang Sama Terhadap Pemegang Saham


Terdapat beberapa sub prinsip dalam prinsip ketiga OECD, antara lain:
a. Semua Pemegang Saham Harus Diperlakukan Secara Adil
Semua investor harus memperoleh informasi mengenai hak yang dapat mereka miliki
dari semua jenis saham yang akan maupun telah mereka miliki. Struktur modal yang optimal
ditentukan oleh manajemen perusahaan maupun pemegang saham. Hal ini efektif untuk
mendistribusikan risiko dan tetap menjaga kepentingan kelangsungan perusahaan.
1. Hak pemegang saham minoritas harus dilindungi dan kepentingannya pun harus tetap
dijaga. Potensi penyalahgunaan ditandai dengan sistem hukum yang memungkingkan
pemegang saham pengendali untuk melaksanakan suatu tingkat pengendalian yang tidak
sesuai. Dengan kata lain mereka melakukan pemanfaatan dan berujung pada
penyalahgunaan. Kunci tuntuk melindungi pemegang saham minoritas adalah adanya
pembagian yang jelas.
2. Setiap suara dalam perusahaan harus dilakukan dengan cara yang disepakati bersama. Hal
ini diperlukan untuk menggambarkan keseimbangan yang wajar bahwa suara pemegang
saham selalu memperhatikan keinginan pemegang saham dan tidak memaksakan hal yang
berlebihan. Prinsip ini tidak berlaku untuk pelaksanaan hak suara oleh wali atau orang lain
yang bertindak dibawah hukum khusus.
3. Hambatan untuk memberikan suara harus dihapuskan. Investor asing yang berada di luar
negeri harus mendapatkan informasi mengenai perusahaan dengan lengkap dan terperinci.
Teknologi yang sudah canggih seharusnya dapat digunakan sebagai alat komunikasi yang
memadai untuk saling bertukar informasi antara investor dan perusahaan meskipun jarak
jauh memisahkan sehingga investor asing tetap dapat memberikan hak suaranya. 4) Proses
dan prosedur untuk rapat umum pemegang saham harus memungkinkan semua pemegang
saham memperoleh hak yang sama. Prosedur yang dibuat seharusnya tidak terlalu sulit
atau mahal untuk memberikan suara. Hak untuk berpartisipasi adalah hak yang
fundamental sehingga setiap pemegang sahamseharusnya bisa menggunakan haknya
tersebut. Beberapa perusahaan saat ini masih mengenakan biaya untuk pengambilan suara.
Oleh sebab itu, sebaiknya perusahaan membuat peraturan dan prosedur yang sekiranya
dapat memudahkan pemegang saham yang ingin menggunakan hak suaranya

b. Insider Trading Dan Perlakuan Kasar Harus Dilarang Dalam Kegiatan Perusahaan.
Hal-hal yang dapat merugikan perusahaan dan investor karena telah terjadi manipulasi
pasar modal yang dilarang dalam peraturan sekuritas dilarang keras untuk terjadi. Namun tidak
semua yuridiksi melarang tindakan prakter tersebut, meskipun begitu, kegiatan seperti itu sangat
tidak dianjurkan dalam praktek kegiatan di perusahaan.
c. Anggota Dewan Dan Eksekutif Kunci Harus Mengungkapkan Keterjadian Kepada
Dewan
Harus diugkapkan apakah secara langsung, tidak langsung, atau atas nama pihak keitga,
memiliki kepentingan material dalam suatu transaksi yang berpengaruh besar terhadap
perusahaan. Mereka berkewajiban untuk memberitahukan bisnis-bisnis apa saja yang sedang
mereka kelola diluar kegiatan perusahaan kepada dewan, sehingga kegiatan transaksi yang
dilakukan dapat menjadi jelas dan transparan serta dapat diidentifikasi dampak atas kegiatan
mereka terhadap kegiatan perusahaan.
BAB III
Pembahasan

1. Profil Sumalindo
Perseroan didirikan pada tanggal 14 April 1980 dengan nama PT Sumalindo Lestari Jaya.
Sesuai Anggaran Dasar secara garis besar Perseroan berusaha di bidang kehutanan, perindustrian
dan bidang pertambangan. PT Sumalindo Lestari Jaya memiliki Visi dan Misi sebagai berikut :

Visi
Menjadi industri perkayuan terpadu terbaik di dunia dan bertanggung jawab sosial, memberikan
solusi dengan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan yang menggunakan bahan baku
dari hutan yang dikelola secara lestari.
Misi:
 Mengelola kelompok usaha industri perkayuan terpadu di bidang kayu lapis dan kayu lapis
olahan, MDF serta produk-produk turunan lainnya yang berkaitan dengan industri
perkayuan serta mempunyai tanggung jawab sosial;
 Menjaga keberlangsungan kebutuhan bahan baku yang dipenuhi dari hutan alam dan hutan
tanaman yang dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari;
 Melakukan proses produksi yang memenuhi standar ramah lingkungan; dan
 Memberikan nilai tambah produk melalui peningkatan nilai disetiap proses tahapannya,
pengembangan produk, sumber daya manusia dan jalur distribusi.

Sejak awal dibentuk, Perseroan mengkhususkan diri di bidang kehutanan dan industri
perkayuan dengan mengelola 1 (satu) areal seluas 132.000 Ha dan pabrik kayu lapis dengan
kapasitas produksi 66.000 m3/tahun. Sejalan dengan berkembangnya usaha, melalui berbagai
corporate action antara lain penggabungan usaha, akuisisi, penambahan investasi dan juga
divestasi, saat ini Perseroan memiliki pabrik kayu lapis berkapasitas terpasang sebesar 190.000
m3/tahun dan pabrik MDF (Medium Density Fiberboard) berkapasitas terpasang 200.000
m3/tahun. Perseroan dan anak perusahaan saat ini mengelola 6 (enam) areal hutan alam seluas
770.455 Ha termasuk IUPHHK-HA atas nama PT Essam Timber dan PT Sumalindo Lestari Jaya
V yang masih dalamproses perpanjangan izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selain itu unit usaha lain adalah pembangkit listrik (Power Plant), yang dikelola oleh anak
perusahaan yakni PT Kalimantan Powerindo (PT.KP) berkapasitas total 22,5 MW.
Pada bulan Maret 1994 untuk pertama kalinya Perseroan melakukan Penawaran Umum
sebanyak 25.000.000 saham biasa atas nama, kepada masyarakat dan mencatatkan seluruh saham
yang telah dikeluarkan Perseroan di Bursa Efek Jakarta (s/i: PT Bursa Efek Indonesia). Melalui
beberapa kali Penawaran Umum Terbatas (Right Issue), penawaran waran serta konversi utang
menjadi modal saham, jumlah saham yang telah dikeluarkan dari portepel Perseroan dan tercatat
di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini berjumlah 3.986.916.802 saham.
Pada tahun 2002 PT Astra International Tbk pada saat itu selaku pemegang saham
mayoritas Perseroan (kepemilikan 75%) menjual seluruh kepemilikan sahamnya kepada PT
Sumber Graha Sejahtera (PT.SGS). PT.SGS adalah suatu Perseroan yang telah cukup lama
berkecimpung di bidang industri perkayuan, dimana sebelum melepaskan seluruh kepemilikan
sahamnya di Perseroan, tercatat memiliki 24,63% saham dari seluruh saham yang dikeluarkan
dari portepel Perseroan.
Pada November 2016 Bapak Amir Sunarko selaku Presiden Direktur Perseroan
melakukan transaksi pembelian seluruh saham yang dimiliki PT.SGS (24,63%) di Perseroan
melalui mekanisme di pasar negosiasi Bursa Efek Indonesia.

2. Kasus Sumalindo
Beberapa permasalahan yang melatarbelakangi kasus PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk
adalah sebagai berikut :
a. Terjadi penjualan saham atas kepemilikan anak perusahaan PT. Sumalindo Lestari
Jaya Tbk (PT. Sumalindo Hutani Jaya) yang tidak dilakukan secara terbuka dan
transparan kepada pemegang saham minoritas
PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk melakukan transaksi berupa penjualan saham atas anak
perusahaannya (PT. Sumalindo Hutani Jaya) pada tanggal 15 Juli 2009 sebesar 60% atau
sebanyak 7.201. u500 lembar saham dengan PT. Tjiwi Kimia seharga Rp 7.201. 500.000. Hal
yang sangat penting dan merupakan transaksi material terhadap perkembangan PT. Sumalindo
Lestari Jaya Tbk tersebut tidak didahului dengan presentasi maksud dan tujuan transaksi tersebut
di hadapan RUPS - LB. Oleh karena itu, direksi PT Sumalinda Lestari Jaya Tbk dianggap telah
melakukan pelanggaran terhadap pemegang saham minoritas karena seharusnya direksi PT.
Sumalindo Lestari Jaya Tbk menyampaikan maksud dan tujuannya dihadapan RUPS untuk
kemudian melakukan penjualan saham anak perusahannya.

b. Pembelian Zero Coupon Bond (ZCB) oleh direksi dan dewan komisaris PT. Sumalindo
Lestari Jaya Tbk yang tidak disampaikan pada RUPS
Pada tanggal 1 Juli 2009, PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk mendapatkan Zero Coupon
Bond yang diterbitkan oleh PT. Sumalindo Hutani Jaya Tbk sebesar Rp 140.254.908.652 dengan
jangka waktu selama 1 tahun. Zero coupon bond merupakan obligasi tanpa bunga. Tindakan
korporasi tersebut baru diketahui oleh pemegang saham minoritas tanggal 15 Oktober 2009, pada
saat RUPS-LB dilaksanakan. Transaksi yang terjadi antara PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk dan
PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk tersebut merupakan tindakan penting yang seharusnya dibahas
terlebih dahulu di dalam RUPS dan diketahui oleh seluruh pemegang saham tanpa kecuali oeh
pemegang saham minoritas, karena transaksi tersebut dinilai krusial dan menyangkut
keberlangsungan PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa direksi PT.
Sumalindo Lestari Jaya Tbk melakukan pelanggaran saat membeli Zero Coupon Bond, karena
seharusnya direksi PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk meminta persetujuan melalui RUPS pada saat
membeli Zero Coupon Bond yang diterbitkan oleh PT. Sumalindo Hutani Jaya Tbk.

c. Terdapat transaksi benturan kepentingan yang dilakukan oleh direksi PT. Sumalindo
Lestari Jaya Tbk dengan PT. Sumalindo Hutani Jaya Tbk yang tidak disampaikan melalui
RUPS
Pemberian utang tanpa jaminan (Zero Coupon Bond) sebesar Rp 140.254.908.652
merupakan transaksi yang dinilai mengandung benturan kepentingan dan tidak disampaikan pada
RUPS. Oleh karena itu, PT Sumalindo Lestari Jaya dinilai tidak mentaati azaz transparansi atau
keterbukaan informasi. Dimana seharusnya transaksi tersebut seharusnya disampaikan pada
RUPS terlebih dahulu sehingga dapat diketahui oleh berbagai pihak agar tidak terjadi kerugian
yang terjadi.
d. Terdapat pelanggaran yang dlakukan oleh direksi PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk
sehingga menyebabkan kerugian terhadap pemegang saham minoritas
PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk mengalami kerugian bersih sebesar Rp 262.500.000.000
pada tahun buku 2008. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya pembagian dividen bagi
pemegang saham pada tahun buku tersebut. Namun, pada tanggal 1 Juli 2009, PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk memberikan hutang kepada PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk senilai Rp
140.254.908.652 melalui Zero Coupon Bond yang diterbitakan oleh PT Sumalindo Hutani Jaya
Tbk untuk jangka waktu 1 tahun. Hal tersebut justru semakin memperparah kerugian PT
Sumalindo Lestari Jaya Tbk, karena pada saat itu perusahaan telah mengalami kerugian,
sementara PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk justru memberikan hutang kepada PT Sumalindo
Hutani Jaya Tbk dengan jumlah yang sangat signifikan. Kondisi tersebut menyebabkan PT
Sumalindo Lestari Jaya Tbk mengalami kerugian terus-menerus dan akibatnya pemegang saham
tidak mendapatkan pembagian dividen. Berdasarkan hal tersebut, direksi dan dewan komisaris
PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan perseroan
sehingga terus mengalami kerugian yang mengakibatkan tidak adanya dividen bagi pemegang
saham. Laporan keuangan yang tidak transparan terhadap pemegang saham minoritas membuat
pemegang saham minoritas mengalami kerugian tanpa mengetahui secara detail keadaan
keuangan perseroan.

e. Inbreng aset PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk pada PT Sumalindo Alam Lestari adalah
transaksi afiliasi dan tidak pernah disampaikan oleh PT. Sumalindo Lestari Jaya kepada
pemegang saham minoritas
Direksi PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk melakukan tindakan inbreng terhadap aset
perseroan PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk berupa Hutan Tanam Industri (HTI) seluas 36.576
Ha, pada PT Sumalindo Alam Lestari (anak perusahaan PT.SLJ) dengan nilai transaksi sebesar
Rp 229.765.000.000, dann ternyata PT Sumalilndo Lestari Jaya Tbk merupakan pemegang
saham mayoritas pada PT Sumalindo Alam Lestari, yang besarnya 99,98%. Tindakan korporatif
direksi PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk tersebut merupakan transaksi afiliasi yang seharusnya
diketahui oleh pemegang saham tanpa kecuali pemegang saham minoritas, akan tetapi transaksi
afiliasi tersebut tidak pernah diberitahukan secara terbuka kepadapemegang saham minoritas.
Berdasarkan hal tersebut, direksi PT. Sumalindo Letari Jaya Tbk telah melakukan pelanggaran
pada saat melaksanakan tindakan inbreng, karena seharusnya direksi PT Sumalindo Lestari Jaya
Tbk melakukan keterbukaan dalam segala transaksi yang berhubungan dengan perseroan. Selain
itu, PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk telah melalaikan prinsip managemen secara terbuka dengan
tidak mmberikan data yang akurat, tepat waktu, dan tepat sasaran terhadap sebanyak mungkin
akses kepada pihak pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas, bahkan juga kepada
pihak stakeholders lainnya mengenai informasi dan kebijaksanaan dari perusahaan tersebut.

f. Pemegang saham minoritas tidak mendapatkan tanggapan secara jelas atas pelanggaran
yang dilakukan oleh direksi dan dewan komsaris PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk
Pelanggaran yang dilakukan oleh PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk terhadapa pemegang
saham minoritas tidak mendapatkan tanggapan secara jelas. Hal tersebut telah dipertanyakan
oleh Dedi Hartawan Jamin selaku pemegang saham minortas kepada PT Sumalindo Lestari Jaya
Tbk dalam forum RUPS tahunan maupun RUPS-LB, baik secara lisan maupun tertulis. Namun,
tidak ada tanggapan dan jawaban sacara jelas dari pihak PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk.
Itikad baik pemegang saham minoritas dengan mengajukan permohonan untuk
memperoleh data dan informasi, mengusulkan untuk membentuk dan menunjuk auditor
independen mengenai permasalahan kerugian, mengenai kejanggalan dalam transaksi dan
penerbitan ZCB, inbreg aset HTI pada pihak lain dan kejanggalan-kejanggalan lainnya, serta
meminta penjelasan dan keterangan kepada PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk dan direksi maupun
dewan komisaris didalam forum resmi, namun dari pemegang saham mayoritas menolak
permohonan penunjukan auditor independen dan menolak untuk menjelaskan dan menerangkan
kejanggalan dan keanehan tindakan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. Terlebih lagi pemegang
saham mayoritas PT. SLJ adalah pihak yang terafiliasi dengan direksi PT Sumalindo Lestari Jaya
Tbk, sehingga pemegang saham minoritas tidak diperhatikan dan sama sekali tidak mendapatkan
informasi yang layak.

3. Hubungan case dengan prinsip 2 OECD


Dalam prinsip 2 OECD disebutkan bahwa pemegang saham memiliki hak untuk
berpartisipasi, dan mendapatkan informasi yang cukup terkait dengan keputusan material
perusahaan, seperti perubahan anggaran dasar, penambahan saham yang beredar, dan transaksi
material seperti transfer aset. Dalam kasus ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk melanggar prinsip 2 OECD dikarenakan perusahaan tersebut telah melalaikan
transparansi dan keterbukaan mengenai transaksi material seperti pengalihan saham PT
Sumalindo Hutani Jaya kepada PT Tjiwi Kimia dan pemberian hutang kepada OT Sumalindo
Hutani Jaya melalui Zero Coupon Bond , dimana seharusnya transaksi-transaksi tersebut
seharusnya diketahui melalui RUPS dan mendapatkan persetujuan dari RUPS terlebih dahulu
sebelum pelaksanaan transaksi dilakukan. Sehingga mengakibatkan pemegang saham minoritas
diperlakukan seccara tidak adil dalam sistem informasi mengenai transaksi yang terjadi dalam
perseroan dan menyebabkan kerugian terhadap perseroan.

4. Hubungan Case dengan OECD 3A : Equitable Treatment of Shareholders


Pada bagian ini akan dibahas review atas kasus gugatan pemilik saham minoritas
dipimpin oleh Deddy Hartawan Jamin kepada PT Sumalindo Lestari Jaya (SLJ), termasuk
anggota dewan direksi, anggota dewan komisaris, komisaris independen, dan pemilik saham
mayoritas PT SLJ:
a. Dalam jenis kelas apapun, semua saham harus memiliki hak yang sama. Semua investor
harus dapat memperoleh informasi mengenai hak yang terbawa dengan semua jenis dan
kelas saham sebelum mereka membeli. Perubahan manapun dalam hak pengambilan
suara harus mendapat persetujuan dari semua kelas saham yang dipengaruhi secara
negatif.
(Within any series of a class, all shares should carry the same rights. All investors should
be able to obtain information about the rights attached to all series and classes of shares
before they purchase. Any changes in voting rights should be subject to approval by those
classes of shares which are negatively affected. )
Dalam hal ini setiap pemegang saham dalam jenis kelas yang sama memiliki hak
pengambilan suara yang sama (voting rights) dan calon investor dapat mengetahui jenis
dan karakteristik saham perusahaan sebelum melakukan pembelian saham. Peraturan
BAPEPAM –LK VIII.G.7 mewajibkan perusahaan mengungkapkan jenis saham dalam
CALK dan UU PT ps 53 ayat (2) menyatakan setiap saham dalam klasifikasi yang sama
memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Pada kasus ini tidak ada pelanggaran
atas prinsip tersebut.
b. Pemegang saham minoritas harus dilindungi dari aksi penyalahgunaan tanggungjawab
oleh, atau dalam kepentingan, pemegang saham pengendali berlaku secara langsung atau
tidak langsung, dan harus punya cara yang efektif untuk memperbaikinya.
(Minority shareholders should be protected from abusive actions by, or in the interest of,
controlling shareholders acting either directly or indirectly, and should have effective
means of redress. )
Pelanggaran atas prinsip ini yang menjadi inti dari kasus PT Sumalindo, bagaimana
pemilik saham minoritas dirugikan melaui pengambilan keputusan oleh manajemen yang
kurang transparan dan bagaimana praktik good corporate governance internal perusahaan
dikalahkan oleh dominasi pemegang saham mayoritas, dimana:
i. PT Sumalindo menjual saham PT SHJ tanpa RUPS-LB. RUPS LB dilakukan setelah
keputusan diambil, dan sekedar formalitas karena keputusan mereka di override oleh
pemegang saham mayoritas.
ii. Persetujuan pemberian hutang tanpa bunga (Zero Coupon Bond) dari PT Sumalindo
ke entitas anak dilakukan sepihak tanpa melalui RUPS LB terlebih dahulu, baru
diketahu pemilik minoritas melalui surat edaran setelah keputusan diambil.
UU PT pasal 138 memungkinkan pemegang saham (minimum mewakili 10%) untuk
mengajukan pemeriksaan terhadap PT. Hal ini yang kemudian ditempuh oleh pemilik
saham minoritas.

c. Pengambilan suara harus dilakukan oleh kustodian atau calon yang dicalonkan dalam
cara yang disetujui oleh pemilik saham.
(Votes should be cast by custodians or nominees in a manner agreed upon with the
beneficial owner of the shares.)
Dalam hal ini jika investor diwakilkan dalam investasinya misal melalui bank
kustodian/investment bank dan depository account, pemilik saham harus mendapat semua
informasi atau menyerahkan manajemennya ke bank kustodian tersebut.
Dalam kasus ini, tidak ada pelanggaran atas prinsip ini.
d. Hambatan dalam pengambilan suara antar negara harus dieliminasi.
(Impediments to cross border voting should be eliminated.)
Prinsip ini terkait dengan perbedaan kesempatan pengambilan suara yang sama antara
investor asing dan pemilik saham domestik. Waktu pemberitahuan terkadang sangat
singkat, menyebabkan perbedaan kesempatan bagi investor asing. Rantaian pemilikan
saham antar negara oleh investor asing yang terkadang tidak langsung melainkan melalui
beberapa perwakilan, termasuk cadangan (depositories) di sekuritas-sekuritas juga
menjadi faktor kenapa kerangka kerja legal dan regulasi harus mengklarifikasi siapa yang
berhak mengontrol hak pengambilan suara antar negara.
Dikarenakan tidak ada hambatan secara khusus dalam pengambilan suara antar negara,
dalam kasus Sumalindo, tidak ada pelanggaran prinsip ini.

e. Proses dan prosedur untuk rapat umum pemegang saham harus memungkinkan perlakuan
yang setara untuk semua pemegang saham. Prosedur perusahaan tidak seharusnya
membuat pengambilan suara sangat sulit atau mahal.
(Processes and procedures for general shareholder meetings should allow for equitable
treatment of all shareholders. Company procedures should not make it unduly difficult or
expensive to cast votes.)
Ada kecenderungan dari manajemen dan pemilik saham mayoritas untuk menempatkan
berbagai prosedur yang membatasi pemilik saham minoritas dalam mempengaruhi arah
perusahaan (co: voting fee, pelarangan proxy voting (diwakilkan) dan harus dihadiri
pemegang saham secara pribadi, pengiriman material dalam waktu singkat mendekati
rapat, dsb.). Yang menjadi subjek gugatan pemilik saham minoritas adalah adanya
divestasi saham SLJ di anak perusahaan PT Sumalindo Hutani Jaya (SLJ) yang dijual ke
PT Tjiwi Kimia yang dilakukan tanpa RUPS LB. Adapun RUPS baru dilakukan setelah
divestasi dilakukan, hal ini menunjukkan pemilihan waktu RUPS mengabaikan
kepentingan minoritas.
5. Hubungan Case dengan OECD 3C
Sehubungan dengan prinsip OECD 3C yang mengatur Corporate Governance dinyatakan
bahwa anggota Dewan dan manajemen kunci Perseroan diharuskan untuk mengungkapkan
kepada jajaran Dewan dan Pemegang Saham apabila melakukan kegiatan usaha yang bersifat
material terhadap perusahaan baik yang dilakukan secara langsung, tidak langsung ataupun atas
nama pihak ketiga.
Apabila dikaitkan dengan kasus PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, maka terdapat
pelanggaran yang mengabaikan prinsip ini dikarenakan manajemen perusahaan banyak
melakukan keputusan-keputusan strategic perusahaan tanpa pemberitahuan dan persetujuan dari
seluruh pemegang saham yang seharusnya disampaikan pada forum RUPS atau RUPS-LB.
Adapun beberapa kasus yang melanggar prinsip ini adalah sebagai berikut:
 Terjadi penjualan saham atas kepemilikan anak perusahaan PT. Sumalindo Hutani Jaya
kepada PT. Tjiwi Kimia
 Pembelian Zero Coupon Bond (ZCB) PT. Sumalindo Hutani Jaya Tbk oleh direksi dan
dewan komisaris PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk yang tidak disampaikan pada
RUPS/RUPS-LB
 Inbreng aset PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk pada PT Sumalindo Alam Lestari yang tidak
disampaikan kepada pemegang saham minoritas
Kasus-kasus diatas melanggar prinsip OECD 3C karena tidak memberikan informasi atas
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukannya kepada jajaran Dewan dan Pemegang Saham melalui
RUPS, selain itu kasus-kasus diatas juga melanggar UU Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas Bab IV yang mengatur rencana kerja, laporan tahunan dan
penggunaan laba yang dijelaskan dalam pasal 63 dan 64 yang berbunyi
Pasal 63
1. Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan
datang
2. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan
Perseroan untuk tahun buku yang akan datang
Pasal 64
1. Rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 disampaikan kepada Dewan
Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
2. Anggaran dasar dapat menentukan rencana kerja yang disampaikan oleh Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau
RUPS.
3. Dalam hal anggaran dasar menentukan rencana kerja harus mendapat persetujuan RUPS,
rencana kerja tersebut terlebih dahulu harus ditelaah oleh Dewan Komisaris.
BAB IV
Kesimpulan

Dalam prinsip OECD 2 disebutkan bahwa hak-hak dari pemegang saham harus
dilindungi termasuk hak pemegang saham untuk berpartisipasi dan mendapatkan cukup
informasi dalam pengambilan keputusan penting perusahaan. Di dalam kasus PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk jelas bahwa pemegang saham minoritas tidak mendapatkan hak mereka dalam
mendapatkan cukup informasi dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting
perusahaan seperti penjualan saham anak perusahaan dan pembelian Zero Coupon Bond (ZCB).
Dapat disimpulkan bahwa PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk melanggar prinsip 2 OECD
dikarenakan perusahaan tersebut telah melalaikan transparansi dan keterbukaan mengenai
transaksi material seperti pengalihan saham PT Sumalindo Hutani Jaya kepada PT Tjiwi Kimia
dan pemberian hutang kepada OT Sumalindo Hutani Jaya melalui Zero Coupon Bond dimana
seharusnya transaksi-transaksi tersebut seharusnya diketahui dan disetujui melalui RUPS.
Dalam prinsip OECD 3C mengenai Corporate Governance dinyatakan bahwa anggota
Dewan dan manajemen kunci Perseroan diharuskan untuk mengungkapkan kepada jajaran
Dewan dan Pemegang Saham apabila melakukan kegiatan usaha yang bersifat material terhadap
perusahaan baik yang dilakukan secara langsung, tidak langsung ataupun atas nama pihak ketiga.
Dapat disimpulkan bahwa PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk mengabaikan prinsip ini dikarenakan
manajemen perusahaan banyak melakukan keputusan-keputusan strategic perusahaan tanpa
pemberitahuan dan persetujuan dari seluruh pemegang saham yang seharusnya disampaikan pada
forum RUPS atau RUPS-LB

Anda mungkin juga menyukai