Anda di halaman 1dari 4

Nama : Made Risky Wiradana

NIM : 1707522008 (Absen 03)


Matkul : Manajemen Perubahan (C.M)

STRATEGI TURNAROUND GARUDA INDONESIA DAN KASUS BANGKRUTNYA


BANK SUMMA

I. Strategi Corporate Turnaround Garuda Indonesia


Siapa yang tak kenal maskapai satu ini? Sebelum namanya menjadi sepopuler sekarang,
maskapai penerbangan milik pemerintah ini juga pernah mengalami keterpurukan. Bayangkan
saja, Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena memiliki utang yang menumpuk. Pada
tahun 2004, tercatat bahwa maskapai penerbangan ini mengalami kerugian hingga 800 miliar
rupiah. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, bukan? Belum lagi hutang yang berjumlah 868
juta dolar Amerika. Ditambah lagi performa kerja yang kurang baik dengan banyaknya
keterlambatan yang dilakukannya sehingga membuat maskapai ini mendapat reputasi yang buruk
tak hanya di mata pelanggan, tapi juga dunia internasional.
Namun, itu bukanlah akhir dari Garuda Indonesia. Pada tahun 2005, Garuda merekrut
Direktur Utama yang baru, Emirsyah Satar. Di tahun inilah gebrakan-gebrakan mulai dilakukan
oleh Garuda. Langkah pertama yang dilakukannya adalah restrukturisasi. Restrukturisasi
dilakukan secara menyeluruh pada seluruh sektor perusahaan, salah satunya dalam bidang
manajemen. Sebelumnya, sistem manajemennya adalah 1:3,4, yang artinya satu manajemen
membawahi 3,4 orang staf. Setelah restrukturisasi, sistem ini berubah menjadi 1:7, yang mana
satu manajemen memimpin tujuh orang staf. Hal ini bertujuan agar info yang ada di lapangan
bisa tersalurkan secara langsung.
Selain mengubah sistem manajemen, pemangkasan lapisan organisasi juga dilakukan. Hal ini
dilakukan karena lapisan struktur perusahaan dinilai terlalu banyak sehingga menyebabkan
proses komunikasi lambat dan birokrasi yang berbelit-belit. Dengan memangkas beberapa
lapisan organisasi, komunikasi bisa menjadi lebih cepat dan proses birokrasi dapat dilakukan
dengan efisien.
Perlahan tapi Pasti, Restrukturisasi Membuahkan Hasil
Adanya perubahan sistem manajemen sehingga perusahaan dapat melihat secara
langsung apa yang terjadi di lapangan, membuat performa kinerja Garuda Indonesia meningkat.
Hal ini ikut dirasakan oleh para penumpangnya. Garuda Indonesia yang semula sering
mengalami keterlambatan kini sudah tidak lagi. Pada tahun 2007, OTP (On Time Performance)
atau rasio ketepatan waktu penerbangan Garuda berada di bawah angka 70%, namun saat ini
angka OTP sudah berada di atas 90%. Tak heran, peningkatan performa kinerja ini membuat
Garuda Indonesia mendapatkan penghargaan The World’s Most Improved Airlines dari
SkyTrax.
Tak hanya OTP, Garuda juga kembali mendapat kepercayaan para pelanggannya
sehingga lama kelamaan pun pelanggannya juga semakin meningkat. Jumlah pelanggan yang
meningkat diiringi dengan permintaan penerbangan yang tinggi pula, membuat Garuda pun
semakin melebarkan sayapnya hingga ke Amsterdam dan juga menambah jumlah penerbangan
hingga 311 setiap harinya.
Keberhasilan Garuda Indonesia dalam membuktikan pada dunia bahwa ia mampu bangkit
dari keterpurukan hingga berada pada kondisi yang sekarang ini membuatnya dianugerahi
penghargaan Airlines Turnaround of The Year oleh Centre for Asia Pacific.

II. Kasus Bangkrutnya Bank Summa


PT Astra International Tbk merupakan salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia,
yang didirikan sejak tanggal 20 Februari 1957 oleh William Soeryadjaya. Perusahaan ini telah
tercatat di Bursa Efek Jakarta sejak tanggal 4 April 1990. Saat itu William Soeryadjaya sempat
menjadi orang terkaya nomor 2 di Indonesia. Namun kejayaan William Soeryadjaya tidak
berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh kejatuhan Bank Summa yang dimiliki oleh putra
sulungnya, Edward Soeryadjaya, yang berniat "membalap" sang ayah.
Edward mulai dengan mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. tahun 1979 di Port Vila,
Vanuatu, dengan modal 25 juta dollar AS. Setahun kemudian ia membidik HongKong, dan dari
sana Edward melanglang ke Jerman. Tiga tahun kemudian, Edward berpatungan dengan
pengusaha HongKong melebarkan sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa
International Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi Indover Summa Finance, usaha patungan
dengan anak perusahaan Bank Indonesia, Indover). Bisnis Edward maju pesat. Ia memborong
saham sejumlah perusahaan besar, seperti Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank
Summa. Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya), Hotel
Sabang (Jakarta), dan berbagai macam bisnis properti dan keuangan. Edward juga dikenal
"murah hati" karena memodali bisnis teman-temannya.
Bank Summa mengalami musibah karena kreditnya yang sebagian besar disalurkan kepada
grup perusahaan sendiri ( Summa Grup ) ternyata macet, karena proyek-proyek yang dibiayainya
gagal. Summa merugi Rp 591 miliar. Dari Rp 1,5 triliun total kredit yang disalurkannya, Rp 1
triliun di antaranya macet. Pada tahun 1990 pemerintah memberlakukan kebijakan uang ketat
yang mengakibatkan Bank Summa semakin mengalami kesulitan likuiditas. Tidak lama setelah
adanya kebijakan tersebut, dikabarkan Bank Summa benar-benar mengalami krisis keuangan
yang hanya bisa diatasi dengan suntikan dana segar. Tapi Williem Soeryadjaya tidak
melakukannya. Dia mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. tetapi
Bank Summa tetap merana. Pada Juni 1992, Williem mengambil alih 100 persen saham Bank
Summa.
Kesehatan Bank Summa tetap memburuk meskipun beberapa bank telah memberikan
bantuan pinjaman. Hal ini dikarenakan jumlah utang yang terlalu banyak, ditaksir mencapai Rp
1,7 triliun. William pun melakukan beberapa upaya penyelamatan dengan menjaminkan seratus
juta lembar saham Astra Internasional senilai sekitar Rp 1 triliun, meminta jasa Mu’min Ali dari
Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen, meminta bantuan dana dari pemerintah
dan juga menandatangani kontrak penyelamatan dengan 30 pengusaha dari group Prasetya
Mulya. Tetapi semua dana tersebut juga tidak dapat menutupi hutangnya.
Vonis pun jatuh pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi pemerintah
berdasarkan UU Perbankan 1992. Pada saat dilikuidasi, aset Bank Summa hanya tinggal Rp 700
miliar dari jumlah semula Rp 1,9 triliun Akhir dari krisis Bank Summa, William harus rela
melepaskan sebagian besar sahamnya di PT Astra Internasional yang berjumlah 100 juta lembar.
Lalu dibentuklah tim likuidasi oleh BI. Tim itu butuh waktu lebih dari dua tahun untuk
mengembalikan uang nasabah. Tim tersebut menentukan prioritas mana dari kewajiban Summa
yang harus segera diselesaikan. Rupanya, pajak pemerintah menjadi prioritas pertama. Baru
kemudian pesangon karyawan dan para kreditur. Ternyata, kreditur kecil yang punya uang di
Summa sekitar Rp 10 juta, termasuk prioritas paling bawah, padahal jumlah mereka sekitar 9000
orang. Itu pun masih pakai syarat: jika aset Summa terjual hanya 50 persen, maka nasabah kecil
itu hanya akan dibayar 50 persen dari deposito atau tabungannya.
Banyak pihak yang dikabarkan akan membeli aset Summa. Di antaranya penyanyi pop Rinto
Harahap yang "maju" dengan bendera grupnya Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut. Tapi
Rinto belakangan urung membeli Summa. Berbagai pihak yang juga mendekati Summa tak
kunjung membuahkan hasil.
ADari hasil pelacakan TLBS, ditemukan jumlah tagihan Bank Summa sebesar Rp 1,646
triliun dan kewajibannya sebesar Rp 1,455 trilyun. Sebelum dilakukan pencabutan izin, Bank
Summa telah melunasi utangnya kepada 166.378 penabung yang mempunyai simpanan di bawah
Rp 10 juta. Untuk melakukan pembayaran tersebut, TLBS meminta bantuan dana dari
konsorsium 13 bank nasional, sebesar Rp 131 milyar. Kemudian untuk menjamin pengembalian
utang Bank Summa, William Soeryadjaya telah memberikan jaminan pribadi yang didukung 31
aset Grup Summa

Anda mungkin juga menyukai