Anda di halaman 1dari 11

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

“Penentu Budaya”
KELOMPOK 1

Dosen Pengampu : Prof. Dr. I Made Wardana, S.E., M.P.

OLEH :
MADE RISKY WIRADANA (1707522008)
A.A ISTRI SUKMA MAHAYANI (1707522102)
NI PUTU SRI DAMAYANTI (1707522105)

MANAJEMEN S1 REGULER DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugrahNya penulisan paper ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penulisan paper ini
hingga bisa tersusun dengan baik.
Paper ini kami susun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari buku dan
media elektronik dengan harapan orang yang membaca dapat memahami tentang Manajemen
Lintas Budaya.
Akhirnya, kami menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
penerbitan paper ini di masa mendatang.

Denpasar, 12 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
Daftar Gambar iii
Daftar Tabel iv
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II Pembahasan
2.1 Aspek Budaya 2
2.2 Tingkat Budaya 3
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan 17
Sumber Pustaka 18

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada berbagai tingkat budaya dan metode yang berbeda yang digunakan untuk
mengeksplorasi dan mengukur budaya. Fondasi beberapa metode ini diilhami oleh
antropologi budaya yaitu studi tentang kemajuan masyarakat dan budaya manusia. Untuk
penelitian ini, mereka menggunakan data etnografi (deskriptif) dari berbagai masyarakat pra-
industri dan kecil. Pendekatan etnografi mengharuskan pengamatan terus menerus terhadap
kelompok sosial tertentu untuk memahami budaya kelompok ini dari dalam. Pendekatan
tersebut dapat menjelaskan norma dan nilai-nilai dan dapat memberikan pemahaman tentang
perilaku kelompok.

Dalam artikelnya, 'Membuat etnografi organisasi' (2012), Watson berpendapat bahwa


etnografi lebih dari metode penelitian. Dia melihatnya lebih sebagai genre ilmu sosial
daripada sebagai metode ilmu sosial. Sudut pandang ini memberikan para peneliti yang
mempelajari organisasi dengan keuntungan penting karena memungkinkan mereka untuk
mengadopsi metode lain (seperti statistik dan survei) selain pekerjaan pengamatan yang
diperlukan yang melekat pada etnografi.

Untuk membuat etnografi organisasi berhasil, penting untuk diingat bahwa gagasan
'keseluruhan budaya' sangat penting dalam semua pekerjaan etnografi dan bahwa organisasi
adalah elemen masyarakat. Watson (2012) menjelaskan ide ini dengan memberikan contoh
seorang siswa yang memberi tahu tutornya tentang budaya organisasi yang luar biasa yang
dia amati di sebuah hotel di Amerika. Dengan melakukan itu, ia jatuh ke dalam perangkap
dengan melihat hotel yang budayanya ia pelajari sebagai sesuatu yang unik. Tutor
memberikan koreksi dengan menjelaskan bahwa sebagian besar karakteristik budaya yang ia
amati tidak khas untuk hotel lain tetapi dapat dijadikan teladan untuk seluruh sektor hotel.
Oleh karena itu, untuk menghargai sepenuhnya budaya dalam organisasi tertentu , analisis
perlu ditingkatkan, untuk memeriksa sektor di mana organisasi tersebut menjadi bagian dan
negara atau masyarakat di mana ia berada.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam topik ini adalah :
1. Apa saja aspek kebudayaan?
2. Apa saja tingkat kebudayaan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada topik kali ini adalah :
1. Pembaca dapat memahami dan menjelaskan mengenai apsek dari kebudayaan.
2. Pembaca dapat memahami dan menjelaskan mengenai tingkat kebudayaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aliansi Lintas Batas


Pentingnya strategis aliansi telah meningkat dalam perjalanan globalisasi. Aliansi
lintas batas adalah perjanjian kerja sama antara beberapa perusahaan atau lebih dari latar
belakang nasional yang berbeda, yang dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi semua
mitra. Seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1 ini terdiri dari pengaturan ekuitas dan non-
ekuitas.

Gambar 2.1 Pengaturan Ekuitas dan Non Ekuitas


Source: Further developed from M. Kutschker and S. Schmid, Internationales Management, 6th Ed.
(Munich and Vienna: Oldenbourg, 2008), p. 847.

- Aliansi lintas batas non-ekuitas 'adalah kendaraan investasi di mana keuntungan


dan tanggung jawab lainnya diberikan kepada masing-masing pihak sesuai dengan
kontrak. Setiap pihak bekerja sama sebagai badan hukum yang terpisah dan
menanggung kewajibannya sendiri. Contohnya termasuk aliansi teknologi
internasional atau penelitian strategis dan aliansi pengembangan serta perjanjian
kerja sama di berbagai bidang fungsional seperti pemasaran atau produksi.
- Mode Ekuitas melibatkan 'pembelian saham perusahaan asing oleh investor asing
di negara selain miliknya'. Ini termasuk pendirian anak perusahaan, baik melalui
investasi atau akuisisi Greenfield, serta melalui usaha patungan atau merger. Yang

3
terakhir ini biasanya melibatkan strategi kolaboratif jangka panjang, yang
membutuhkan dukungan praktik SDM yang tepat. Mereka mewakili tipikal aliansi
berbasis lintas batas .
Kesetaraan serta aliansi lintas batas non-ekuitas menimbulkan tantangan khusus bagi
manajemen sumber daya manusia internasional. Seringkali, ini penting untuk keberhasilan
operasional internasional . Sebagai Schuler dan Tarique catatan, 'Beberapa masalah SDM
yang sangat penting untuk keberhasilan ekuitas berbasis aliansi internasional atau lintas-
perbatasan juga meningkat di non-ekuitas aliansi lintas-perbatasan, tetapi mereka sering
kurang sentral untuk keberhasilan aliansi '. Oleh karena itu, perbedaan manajemen sumber
daya manusia dalam ekuitas dan aliansi lintas batas non-ekuitas seharusnya terletak pada
perbedaan sejauh mana langkah-langkah SDM spesifik digunakan. Namun, itu harus
menyatakan bahwa ada penelitian deficit sehubungan dengan manajemen sumber daya
manusia di non -equity aliansi lintas-perbatasan dan itu adalah di luar lingkup bab ini untuk
membahas implikasi dari semua mode entri asing secara rinci.

2.2 Tingkat Kebudayaan


Menurut Schein (1999), sebuah budya mulai berkembang dalam sebuah konteks di
mana suatu kelompok telah berbagi pengalaman. Anggota keluarga, misalnya berbagi
kehidupan bersama-sama dan menumbuhkan suatu kebersamaan melalui pengalaman yang
sedang terjadi baik di dalam maupun di luar rumah. Kelompok kecil yang tidak memiliki
hubungan darah juga dapat menumbuhkan kedekatan yang sama melalui berbagi hiburan,
hobi atau pekerjaan; pengalaman yang mereka bagikan mungkin cukup banyak untuk
membentuk suatu budaya.
Dalam konteks bisnis, budaya dapat berkembang pada tingkat-tingkat yang berbeda –
dalam suatu departemen maupun tingkat hierarki yang bervariasi. Suatu perusahaan dapat
mengembangkan budaya nya sendiri, dibuktikan bahwa Schein menganggap hal tersebut
sebagai ‘sufficient shared history’ atau riwayat/sejarah bersama yang cukup.

1) Budaya dan Bangsa


Ketika hal-hal yang berkaitan dengan lintas budaya didiskusikan, maka kalimat
‘budaya’ dan ‘bangsa’ harus dibedakan, sebagaimana dikatakan oleh Tayeb (2003). Jika
suatu budaya didefinisikan sebagai sebuah nilai, sikap, dan makna yang berevolusi,
dipelajari, dan dibagikan, maka hal tersebut berpengaruh dalam suatu organisasi baik pada
tingkat mikro maupun makro.
4
Pada tingkat makro, suatu bangsa, dalam hal institusi hukum dan ekonomi, harus
diperhitungkan oleh organisasi terkait dengan bisnisnya. Pertimbangan tingkat makro ini
tidak hanya sebuah subyek untuk mengubah melalui perubahan politik dalam pemerintahan,
namun juga melalui keinginan pembuat hukum dalam suatu bangsa untuk membagikan
legislasi pada tingkat sosial dan ekonomi kepada bangsa lain sebagai bentuk asosiasi.
Sedangkan pada tingkat mikro, organisasi dipengaruhi oleh elemen kultural yang terkait
dengan hubungan atar pekerja dan perilaku pada pekerja.

2) Budaya Nasional
Tayeb (2003) memberi sebuah daftar mengenai elemen-elemen dan
mempertimbangkan efeknya pada tingkat mikro dan makro yang dimulai dari dua elemen
yang berkontribusi terhadap pembangunan sebuah bangsa dan penciptaan budaya nasional:
- Lingkungan fisik
- Sejarah yang telah dilalui suatu bangsa
Lalu Tayeb mengacu pada institusi yang berkontribusi untuk pembentukan dari sebuah
budaya nasional:
- Keluarga. Unit sosial yang paling mendasar di mana proses akulturasi terjadi.
- Agama. Kepercayaan religious dapat memiliki efek yang signifikan terhadap cara
pandang seseorang.
- Pendidikan. Sistem nilai pendidikan dan kurikulum dapat membantu pembentukan
suatu budaya, khususnya di mana institusi pendidikan tersebut berkembang
dengan baik.
- Media komunikasi massa. Tayeb memberi perhatian khusus terhadap efek dari
komunikasi terhadap perkembangan budaya, di mana media massa telah
membentuk suatu dimensi umum sebagai suatu tempat yang dapat digunakan
untuk bertukar pengalaman oleh kebanyakan orang.
- Perusahaan multinasional. Ini adalah institusi pembentukan budaya yang paling
kuat, di mana produk dan jasa nya dapat mempengaruhi cara hidup seseorang dan
juga dapat memberi dampak pada bagaimana dan di mana mereka bekerja.

3) Budaya Keorganisasian
Edgar Schein (1999) mengacu kepada kekuatan budaya yang dapat menentukan
perilaku secara individual dan kolektif. Dalam hal organisasi, Schein mengingatkan tentang

5
bagaimana elemen kultural mempengaruhi cara penentuan strategi, pembentukan target, dan
bagaimana organisasi beroperasi. Budaya keorganisasian mengarah kepada sebuah
penerimaan, baik secara formal maupun informal, terhadap sebuah norma tentang perilaku
spesifik dari anggota organisasi.

4) Budaya Korporasi
Sebagaimana yang telah diutarakan Meschi dan Riger (1994), jika suatu organisasi
berkembang menjadi konglomerat multinasional, budaya pada kantor pusat perusahaan akan
mempengaruhi anak perusahaan. Dengan cara yang sama, suatu firma terlibat dalam joint
venture dengan perusahaan lain yang berasal dari negara yang berbeda mungkin akan
menemukan kehadiran partner asing mempengaruhi budaya firma tersebut.

5) Budaya Profesional
Schein (1996: 237) berbicara tentang 3 budaya profesional dalam manajemen: (1)
terdapat operator yang secara langsung terlibat dalam produksi barang atau penyediaan jasa,
(2) terdapat insinyur yang mendesain dan memonitor teknologi dibalik produksi barang dan
penyediaan jasa, (3) terdapat para eksekutif atau senior managers yang memberi asumsi
terkait realita sehari-hari mengenai peran dan status.

6) Budaya dan Manajemen


Nancy Adler (2002: 11) memberi definisi tentang pengertian manajemen lintas
budaya yang menjelaskan tentang perilaku anggota organisasi di seluruh dunia dan
menunjukan kepada orang-orang tentang bagaimana bekerja dalam organisasi dengan
karyawan dan klien yang berasal dari budaya yang berbeda. Manajemen lintas budaya
mendeskripsikan perilaku keorganisasian dalam negara dan budaya; membandingkan
perilaku keorganisasian antar negara dan budaya; memahami dan meningkatkan interaksi
antara pekerja, manajer, eksekutif, klien, supplier, dan aliansi partner dari negara dan budaya
di seluruh dunia.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Budaya dapat dipertimbangkan pada tingkat yang bervariasi, di mana yang paling
dalam, menurut Edgar Schein yaitu memiliki sebuah asumsi, pada tingkat ini dapat
ditemukan dalam budaya sebuah organisasi. Bagian ini juga menunjukan bahwa individu
dalam suatu kelompok dapat membentuk sebuah budaya yang dapat menjadi budaya
nasional, keorganisasian, atau profesional. Hal ini menunjukan bahwa manajemen lintas
budaya harus memperhitungkan semua konteks tersebut, tidak hanya dalam organisasi namun
juga dalam hubungan dengan perusahaan lain yang berasal dari negara yang berbeda.

7
DAFTAR PUSTAKA

Roger Price and Marie-Joelle. (2015). Understanding Cross-Cultural Management, 3th


edition: Pearson.

Anda mungkin juga menyukai