Anda di halaman 1dari 22

RINGKASAN MATA KULIAH

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA


“Aspek Persamaan dan Perbedaan Budaya Antar Bangsa Serta Dampaknya Terhadap
Manajemen Bisnis Global”

Dosen Pengampu: Dr. Ni Made Asti Aksari, S. E., M. Bus.

Anggota Kelompok 6:
Cokorda Istri Anindita Partha 1907521149
Ni Putu Ageng Suda Indrayani 1907521158
Anak Agung Putra Ananda Caesar Jagaditha 1907521173
I Kadek Gunawan 1907521262
Putu Suryadika Pramudya 1907521284

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

2.1 Penelitian Terkait Budaya dan Dampaknya Terhadap Manajemen Bisnis


Internasional.........................................................................................................................3

2.2 Hofsted Insight: Compare Countries.......................................................................5

2.3 Globe Study Tentang Perbedaan dan Persamaan Budaya Nasional....................9

2.4 Cultural Risk............................................................................................................12

2.5 Hubungan Budaya Nasional, Budaya Organisasi, dan Nilai Individu...............12

BAB III....................................................................................................................................18

PENUTUP...............................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu tantangan utama dalam melakukan bisnis internasional adalah
untuk menyesuaikan secara efektif terkait perbedaan budaya dimana dalam
melakukan penyesuaian membutuhkan pemahaman dari keragaman budaya, persepsi,
dan nilai. Dalam kenyataanya, budaya sangat berpengaruh terhadap kelancaran
perkembangan dunia bisnis baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini
dikarenakan sesuatu hal baru yang tidak sesuai dengan kebudayaan lokal akan sukar
diterima atau bahkan berkembang dalam suatu negara. Dalam lingkup bisnis
internasional, budaya dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kepercayaan, aturan,
teknik, dan kelembagaan yang mencirikan populasi manusia sehingga terdiri atas
berbagai pola yang dipelajari oleh anggota dari masyarakat tertentu mengenai gaya
hidup yang unik dari suatu kelompok atau orang tertentu. Sedangkan kebudayaan
merupakan sebuah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang
membedakan suatu masyarakat dari yang lainnya.
Adapun nilai-nilai sosial (apa yang masyarakat seharusnya percaya), klaster
ini sangat berbeda dari praktik budaya yang ada. Ia menginginkan tingkat Orientasi
Kinerja dan Orientasi Masa Depan yang jauh lebih tinggi. Ia ingin tetap tinggi
sehubungan dengan Kolektivisme In- Group. Masyarakat di cluster menginginkan
tingkat Power Distance yang jauh lebih rendah, tetapi lebih banyak aturan dan
prosedur untuk mengurangi ketidakpastian peristiwa di masa depan (yaitu, keinginan
Penghindaran Ketidakpastian yang lebih tinggi).
Manajer harus menyadari, bahwa generalisasi dalam profil budaya
hanya akan menghasilkan perkiraan, atau suatu stereotip dari karakter
nasional. Banyak negara terdiri dari beragam subkultur yang konstituennya
hanya sesuai dengan karakter nasional dalam derajat yang berbeda-beda. Di
atas segalanya, manajer yang baik akan memperlakukan orang sebagai
individu, dan mereka secara sadar menghindari bentuk apa pun dari stereotip.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penelitian terkait budaya dan dampaknya terhadap manajemen bisnis
internasional?
2. Bagaimana hofsted insight: compare countries?
3. Bagaimana globe study tentang perbedaan dan persamaan budaya nasional?
4. Bagaimana cultural risk?
5. Bagaimana hubungan budaya nasional, budaya organisasi, dan nilai individu?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penelitian terkait budaya dan dampaknya terhadap manajemen
bisnis internasional
2. Untuk mengetahui hofsted insight: compare countries
3. Untuk mengetahui globe study tentang perbedaan dan persamaan budaya nasional
4. Untuk mengetahui cultural risk
5. Untuk mengetahui hubungan budaya nasional, budaya organisasi, dan nilai
individu

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penelitian Terkait Budaya dan Dampaknya Terhadap Manajemen Bisnis


Internasional
Kajian lintas budaya, menurut wikipedia (2008c), kajian lintas budaya pertamakali
dilakukan oleh abū rayhān bīrūnī yang menulis kajian-kajian antropologis bandingan di
bidang agama, kemasyarakatan, dan kebudayaan di timur tengah, mediterania, dan
khususnya di india. dia menyajikan temuan-temuannya secara objektif dan netral dengan
menggunakan metode perbandingan kebudayaan. kajian lintas budaya yang ekstensif
kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa antropologis, seperti tylor dan
morgan. mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai kebudayaan yang dihimpun
oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti missioner, petualang, atau
pegawai-pegawai kolonial (wikipedia, 2008c). bahan-bahan itu kemudian
diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami ciri-ciri masyarakat manusia.

Pengaruh budaya terhadapcaran perkembangan dunia bisnis baik dalam skala nasional
maupun internasional. Hal ini dikarenakan sesuatu hal baru yang tidak sesuai dengan
kebudayaan lokal akan sukar diterima atau bahkan berkembang dalam suatu negara.
Dalam lingkup bisnis internasional, budaya dapat didefinisikan sebagai keseluruhan
kepercayaan, aturan, teknik, dan kelembagaan yang mencirikan populasi manusia
sehingga terdiri atas berbagai pola yang dipelajari oleh anggota dari masyarakat tertentu
mengenai gaya hidup yang unik dari suatu kelompok atau orang tertentu (Czinkota &
Ronkainen, 2013). Sedangkan kebudayaan merupakan sebuah kumpulan nilai,
kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang membedakan suatu masyarakat dari
yang lainnya.

Berdasarkan pengertian dari budaya tersebut menunjukan bahwa kebudayaan suatu


masyarakat sangat menentukan sejumlah ketentuan yang mengatur bagaimana suatu
perusahaan dapat dijalankan dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, penulis
berpendapat bahwa cara bagi para pelaku bisnis internasional untuk dapat menyesuaikan
diri dengan budaya lain yaitu mempelajari karakteristik dari budaya-budaya tersebut
kemudian melibatkannya dengan bisnis mereka sehingga dapat beradaptasi. Budaya juga
sangat mempengaruhi semua fungsi bisnis misalnya dalam pemasaran karena
keberagaman sikap dan nilai dapat menghambat perusahaan untuk menggunakan bauran

3
pemasaran yang sama disemua pasar. Begitu pula dengan manajemen sumber daya
manusia dan budaya nasional yang merupakan kunci penentu untuk mengevaluasi para
manajer dalam kegiatan produksi dan keuangan. Selain itu, terdapat beberapa unsur dari
kebudayaan suatu masyarakat yang kemudian menentukan bagaimana anggota-
anggotanya berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain yaitu bahasa, agama, values,
elemen material, edukasi, dan institusi sosial (Cateora et al, 2011). Dalam hal ini, penulis
berasumsi bahwa adanya pola perilaku konsumen dalam cakupan lintas budaya ini
menunjukkan bahwa para pelaku bisnis internasional membutuhkan lokasi pemasaran
yang tepat dalam cakupan luas, dibanding hanya sekedar berupaya memahami peran
konsumen dalam pasar tertentu.

Di samping pengaruh budaya pada berbagai bidang perilaku konsumen, pada tingkat
yang lebih luas peran penting kebudayaan akan menjadi lebih nyata dalam upaya
manajemen serta penyusunan kebijakan perdagangan, perlindungan terhadap hak
intelektual, dan menciptakan sumber daya bagi manfaat suatu negara. Dalam hal ini,
kebudayaan akan memengaruhi keputuasan pengambilan kebijakan bagi kepentingan
masyarakat terkait masalah peraturan dalam menjalankan bisnis internasional dengan
harapan dapat melindungi warisan kebudayaan yang berlaku dalam perdagangan
antarnegara. Adanya peran sejarah, kekuatan etnik dan religious minoritas, banyak
perusahaan di suatu negara yang kemudian memperkenalkan kebijakan dan programnya
untuk membantu masyarakat adat utama. Hal tersebut dapat terlihat di Malaysia dimana
kekuatan ekonomi dan posisi minoritas Tionghoa telah memupuk kebijakan ekonomi
afirmatif untuk membantu orang Melayu dengan memberika insentif dermawan guna
meningkatkan peran dan posisi orang Melayu dalam perekonomian nasional (Bhaskaran
& Sukumaran, 2007). Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa adanya nilai, kepercayaan,
perilaku, dan pengaruh historis dapat mendorong pertumbuhan bisnis entitas dengan
budaya dan praktik manajemen yang berbeda

4
2.2 Hofsted Insight: Compare Countries
Antropolog organisasi Geert Hofstede terkenal dengan studi penelitiannya
nilai-nilai sosial yang menunjukkan bahwa budaya dari berbagai negara dapat
dibandingkan dalam lima dimensi. Dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam
konteks global dengan kebudayaan berbeda beda secara spesifik, suatu bisnis harus
dapat memahami kebudayaan negara dimana bisnisnya berjalan agar tidak
mendapatkan feedback buruk, melainkan dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Model Geert Hofstede didasarkan pada studi karyawan IBM di lebih dari lima
puluh negara. Ia mengidentifikasi lima dimensi atau area masalah yang mewakili
perbedaan antara budaya nasional (Hofstede, 1997): power distance, uncertainty
avoidance, individualism/collectivism, masculinity/femininity and long-term
orientation. 5 dimensi kebudayaan Hofstede digunakan secara luas karena aspek-
aspek nya yang dianalisa memberikan informasi penting tentang perbedaan antar
negara serta cara mengelola perbedaan tersebut menjalankan dan memimpin bisnis.
Berikut merupakan penjelasan dan country comparison yang telah kami analisis :

Kami menggunakan Indonesia dan Amerika sebagai negara untuk


diperbandingkan, karena secara luas kedua negara ini memiliki nilai-nilai dan
kebiasaan yang sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat juga dari angka angka yang
ditunjukkan dalam hasil analisis oleh Hofstede. Berikut penjelasan dari angka angka
tersebut:

1. Social Perception: Individualisme vs Kolektifisme


Individualisme (versus kolektivisme) adalah preferensi orang untuk menjadi
seberapa erat dengan masyarakat dimana kepentingan ditempatkan pada diri dan
otonomi. Individualisme diartikan sebagai suatu kultur nasional dimana
seseorang lebih suka bertindak sebagai individu atau melakukan pekerjaan secara

5
perseorangan dibandingkan berkelompok. Sedangkan kolektifisme diartikan
sebagai seseorang yang lebih berorientasi pada suatu kelompok, dimana
kelompok tersebut melihat dirinya sebagai loyalitas dan pada umumnya
seseorang dengan budaya ini akan tidak akan bertindak diluar kebiasaan
kelompoknya.
Struktur kolektivis menempatkan kepentingan unit sosial yang saling
tergantung seperti keluarga, bukan pada diri sendiri. Dalam masyarakat
individualis, karyawan membutuhkan kebebasan untuk bekerja secara mandiri
dan menginginkan pekerjaan yang menantang (yang lebih penting daripada
hubungan pribadi) yang akan membantu mereka mencapai aktualisasi diri.

2. Power Distance
Power distance mendefinisikan bagaimana ketidaksetaraan sosial dirasakan
dan diterima dalam berbagai budaya. Hofstede (1997) menjelaskan bagaimana
dalam budaya yang memiliki jarak kekuasaan tinggi, anak-anak dibesarkan
dengan penekanan besar pada menghormati orang yang lebih tua, yang dibawa
hingga masa dewasa. Dalam perusahaan dan organisasi, hal ini tercermin dalam
kepemimpinan yang lebih terpusat. Karyawan lebih memilih gaya kepemimpinan
otokratis dimana bawahan diharapkan diberi tahu apa yang harus dilakukan dan
ada kesenjangan upah yang lebar dalam struktur hierarkis. Di sisi lain, dalam
negara yang memiliki jarak kekuasaan yang rendah ketidaksetaraan tidak
diinginkan. Pembicaraan dengan orang lebih tua menjadi lebih casual dan dalam
organisasi, hal ini tercermin dari karyawan lebih suka dikonsultasikan berkaitan
dengan hal hal pengambilan keputusan dan dengan demikian lebih memilih
pemimpin yang demokratis.
 High Power Distance, dimana jarak kekuatannya sangat tinggi atau
jauh perbedaannya. Antara pemimpin dan yang dipimpin tidak ada keeratan
atau keakraban sama sekali, dan biasanya bawahan / yang dipimpin akan
menunjukan rasa hormat yang sangat tinggi kepada atasan / pempimpinnya.
 Low Power Distance, dimana jarak kekuatan antara pimpinan dengan yang
dipimpin rendah, karena adanya distribusi kekuasaan yang lebih merata.

6
3. Uncertainity Avoidance
Merupakan tingkatan dimana individu dalam suatu negara lebih memilih
situasi terstuktur dibandingkan tidak terstruktur.
 Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan,
menghindari resiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga ritual.
 Pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki
toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, mereka cenderung lebih
bisa menerima resiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur
organisasi yang flat / datar , dan memilki toleransi terhadap ambiguitas.
Sehingga masyarakat luar akan lebih mudah untuk menjalin hubungan.

4. Masculinity vs Femininity
Menurut Hofstede, masculinity merepresentasikan budaya dengan peran jenis
kelamin yang berbeda, dimana lelaki lebih berfokus kepada kesuksesan,
persaingan dan penghargaan, sedangkan wanita yang lebih berfokus pada nilai-
nilai kelembutan seperti kualitas hidup dan kesopanan. Femininity
merepresentasikan budaya dimana peran jenis kelamin saling tumpang tindih.
 Pada masyarakat maskulin, menganggap pria harus lebih berambisi, suka
bersaing, dan berani menyatakan pendapatnya, dan cenderung berusaha
mencapai keberhasilan material dan sudut pandang maskulinitas adalah
masyarakat yang lebih menggambarkan sifat kelaki-lakian.
 Dalam masyarakat feminin, kaum pria diharapkan untuk lebih
memperhatikan kualitas kehidupan dibandingkan dengan keberhasilan
materalitas. Masyarakat femininitas lebih menggambarkan sifat kewanitaan.
Kebudayaan ini sangat seimbang antara jenis kelamin dan menerima pola
asuh antara perempuan dan laki- laki dan lebih fokus terhadap kualitas hidup.
5. Time: Long Term Orientation vs Short Term Orientation
Hofstede menafsirkan dimensi ini sebagai tentang “society’s search for
virtue” daripada kebenaran. Dimensi menilai rasa kesegeraan dalam budaya;
artinya, apakah gratifikasi harus segera atau ditunda, dan juga cara
menyelesaikan masalah. Dimensi ini menggambarkan bagaimana setiap

7
masyarakat harus memelihara beberapa hubungan dengan masa lalunya sendiri
ssambil menghadapi tantangan masa kini dan dan masa depan dan masyarakat
memprioritaskan dua tujuan eksistensial ini secara berbeda. Orientasi pada
dimensi ini dibagi menjadi 2, yaitu :
 Long term: Kebajikan dan kewajiban lebih ditekankan, masyarakat lebih
cenderung bertanya apa dan bagaimana dibandingkan mengapa, memiliki
kesopanan yang tinggi. Orientasi jangka panjang menunjukkan fokus pada
masa depan dan melibatkan penundaan kesuksesan atau kepuasan jangka
pendek untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Orientasi jangka
panjang menekankan ketekunan, dan pertumbuhan jangka panjang. Mereka
juga memecahkan permasalahan, atau memandang kehidupan dengan
pandangan yang pragmatis / realistis.
 Short term: masyarakat dengan kebudayaan orientasi jangka pendek
lebih menumbuhkan nilai-nilai tentang menyelamatkan reputasi dan harga
diri, serta pemenuhan kewajiban sosial, sambil melihat perubahan
masyarakat dengan kecurigaan. Orientasi jangka pendek menunjukkan fokus
pada waktu dekat, melibatkan penyampaian kesuksesan atau kepuasan
jangka pendek, dan menempatkan penekanan yang lebih kuat pada saat ini
daripada masa depan. Orientasi jangka pendek menekankan hasil yang cepat
dan menghormati tradisi.

Skor tinggi Indonesia sebesar 62 menunjukkan bahwa Indonesia


memiliki budaya pragmatis. Dalam masyarakat dengan orientasi pragmatis,
orang percaya bahwa kebenaran sangat bergantung pada situasi, konteks, dan
waktu. Mereka menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan tradisi dengan
mudah dengan kondisi yang berubah, kecenderungan yang kuat untuk menabung
dan berinvestasi, hemat, dan ketekunan dalam mencapai hasil.
Amerika Serikat mendapat skor normatif pada dimensi kelima dengan
skor rendah yaitu 26. Orang Amerika cenderung menganalisis informasi baru
untuk memeriksa apakah itu benar. Jadi, budaya tidak membuat kebanyakan
orang Amerika pragmatis, tetapi ini tidak boleh dikacaukan dengan fakta bahwa
orang Amerika sangat praktis, tercermin dari mentalitas "bisa-lakukan" yang
disebutkan di atas. Polarisasi yang disebutkan di atas, dapat dikatakan, diperkuat

8
oleh fakta bahwa banyak orang Amerika memiliki gagasan yang sangat kuat
tentang apa yang "baik" dan "jahat". Ini mungkin menyangkut isu-isu seperti
aborsi, penggunaan obat-obatan, euthanasia, senjata atau ukuran dan hak-hak
pemerintah versus Negara dan versus warga negara.
6. Indulgent or Restrained:
Dimensi ini didefinisikan sebagai sejauh mana orang mencoba
mengendalikan keinginan dan impuls mereka, berdasarkan cara mereka
dibesarkan. Kecenderungan ke arah kontrol yang relatif lemah atas dorongan
mereka disebut "Indulgence", sedangkan kontrol yang relatif kuat atas dorongan
mereka disebut "Restraint". Budaya dapat digambarkan sebagai Pemanjaan atau
Pengekangan.
Rendahnya skor 38 pada dimensi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
budaya Restraint. Masyarakat dengan skor rendah dalam dimensi ini memiliki
kecenderungan untuk bersikap sinis dan pesimis. Juga, berbeda dengan
masyarakat Indulgent, masyarakat Restraint tidak terlalu menekankan waktu
senggang dan mengontrol pemuasan keinginan mereka. Orang-orang dengan
orientasi ini memiliki persepsi bahwa tindakan mereka dibatasi oleh norma-
norma sosial dan merasa bahwa memanjakan diri sendiri agak salah.
Amerika Serikat mendapat skor sebagai masyarakat Indulgent (68) pada
dimensi keenam. Hal ini, dalam kombinasi dengan skor normatif, dicerminkan
oleh sikap dan perilaku yang kontradiktif berikut ini:
Work hard and play hard. Amerika telah mengobarkan perang melawan
narkoba dan masih sangat sibuk melakukannya, namun kecanduan narkoba di
Amerika Serikat lebih tinggi daripada di banyak negara kaya lainnya. Mayoritas
masyarakat sopan namun, ada beberapa yang terkenal tampaknya tidak

2.3 Globe Study Tentang Perbedaan dan Persamaan Budaya Nasional


Klaster GLOBE Asia Selatan terdiri dari India, Indonesia, Iran, Malaysia, Filipina,
dan Thailand. Masyarakat yang tergabung dalam kelompok ini memiliki profil praktik
budaya yang sangat berbeda, yang mencerminkan skor praktik budaya yang tinggi pada
dimensi Kolektivisme in-Group, jarak kekuasaan, dan Orientasi Manusiawi. Skor
kolektivisme In- Group yang tinggi menunjukkan bahwa mereka sangat komunal dan
berorientasi pada keluarga dengan bangga terhadap keluarga dan organisasi mereka.
High Power Distance menunjukkan bahwa kekuasaan tidak diharapkan untuk
9
didistribusikan secara merata di antara warga negara, dan masyarakat menerima dan
mendukung otoritas, dan ketidaksetaraan sosial. Orientasi Manusiawi yang Tinggi
mencerminkan dorongan dan penghargaan bagi individu yang adil, murah hati, dan
peduli kepada orang lain. Cluster ini ditandai oleh skor yang relatif rendah pada
Egalitarianisme Gender. Jadi kluster ini, secara umum, sangat berorientasi keluarga dan
kelompok, manusiawi, didominasi laki-laki, dan hierarkis. Dimensi budaya masyarakat
lainnya termasuk Orientasi Kinerja, Orientasi Masa Depan, Penghindaran
Ketidakpastian, dan Kolektivisme Institusional dinilai dalam kisaran menengah.
Ketegasan juga di kisaran menengah tetapi sedikit lebih rendah dari kelompok lain.

Adapun nilai-nilai sosial (apa yang masyarakat seharusnya percaya), klaster ini
sangat berbeda dari praktik budaya yang ada. Ia menginginkan tingkat Orientasi
Kinerja dan Orientasi Masa Depan yang jauh lebih tinggi. Ia ingin tetap tinggi
sehubungan dengan Kolektivisme In- Group. Masyarakat di cluster menginginkan
tingkat Power Distance yang jauh lebih rendah, tetapi lebih banyak aturan dan prosedur
untuk mengurangi ketidakpastian peristiwa di masa depan (yaitu, keinginan
Penghindaran Ketidakpastian yang lebih tinggi). Mirip dengan banyak kluster lain
dengan tingkat tinggi Kolektivisme Dalam-Kelompok, mereka ingin mempertahankan
tingkat Kolektivisme Dalam-Grup yang sama tinggi, dan di samping meningkatkan
tingkat Kolektivisme Institusional (mendorong dan memberi penghargaan distribusi
sumber daya kolektif). Dalam membandingkan praktik dan nilai-nilai sosial, secara
keseluruhan, masyarakat dalam kelompok ini lebih suka bersikap lebih tegas, dan
berorientasi pada 1 masa depan dan kinerja. Mereka juga menginginkan tingkat
diferensiasi kekuasaan yang lebih rendah, yang berarti bahwa kekuasaan harus
didistribusikan secara lebih merata, bukannya terkonsentrasi di tingkat yang lebih
tinggi di masyarakat. Selain itu, masyarakat ini menginginkan tingkat norma dan
praktik birokrasi yang lebih besar untuk menghindari ketidakpastian dalam peristiwa di
masa depan, dan juga menginginkan tingkat dominasi laki- laki dan perbedaan peran
gender yang lebih rendah.

Di kluster Asia Selatan, dimensi kepemimpinan dipandang sebagai yang paling


berkontribusi terhadap kepemimpinan yang luar biasa termasuk Kepemimpinan
Karismatik / Berbasis Nilai dan Berorientasi Tim. Ini berarti bahwa mereka
menginginkan para pemimpin yang visioner dan inspirasional, memiliki tingkat
10
integritas yang tinggi, dan bersedia untuk berkorban secara pribadi. Mereka juga harus
dapat terlibat dalam membangun tim yang sukses dengan menggunakan keterampilan
administratif dan interpersonal mereka untuk membuat kelompok kerja yang kohesif.
Singkatnya, mereka percaya bahwa pemimpin yang berorientasi kinerja dan
membangun tim adalah yang paling efektif. Sementara Kepemimpinan Partisipatif
dipandang positif, itu adalah di antara kelompok skor terendah untuk dimensi
kepemimpinan ini. Kepemimpinan yang berorientasi manusiawi juga dipandang positif,
dan pada kenyataannya adalah kelompok skor tertinggi untuk dimensi kepemimpinan
ini. Kepemimpinan yang Melindungi Diri dipandang tidak memiliki dampak pada
kepemimpinan yang luar biasa, tetapi sebenarnya adalah yang tertinggi dari semua
kelompok GLOBE pada dimensi kepemimpinan ini sebagian besar kelompok lainnya
percaya bahwa kepemimpinan tersebut menghambat kepemimpinan yang luar biasa.
Karakteristik ini konsisten dengan orientasi kelompok dan keluarga yang menonjol dari
cluster dan jarak daya yang tinggi. Secara keseluruhan, profil pemimpin Asia Selatan
yang luar biasa adalah seseorang yang memiliki atribut kepemimpinan yang karismatik,
berorientasi pada tim, dan berorientasi pada manusiawi. Pemimpin seperti itu juga akan
relatif tinggi pada perilaku perlindungan diri.

11
2.4 Cultural Risk
Globalisasi telah melampaui kemampuan banyak organisasi untuk mengelola
pergeseran budaya yang menyertainya. Fokusnya adalah mengatasi hambatan hukum,
politik, teknologi, dan ekonomi, sementara hambatan budaya sering kali tidak diakui atau
diabaikan. Ketidaktahuan akan perbedaan budaya dapat mengakibatkan pangsa pasar
yang lemah, pengembalian investasi yang rendah atau negatif, peluang yang hilang, dan
kerusakan reputasi, serta tantangan hukum, kerugian produktivitas, kegagalan ekspatriat,
dan pemutusan kontrak, usaha patungan, dan kemitraan yang prematur. Kesalahpahaman,
ketegangan, dan bias yang disebabkan oleh perbedaan budaya bahkan dapat
menyebabkan kegagalan total. Risiko budaya utama yang dihadapi bisnis global meliputi:
1. Gagal Mengadaptasi Model Bisnis Global ke Pasar Lokal
Sikap dan perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh budaya. Ketika sebuah
perusahaan pindah ke pasar baru, model bisnis harus dimodifikasi untuk
mencerminkan preferensi, kebiasaan, dan kebiasaan lokal. Misalnya, perubahan harus
dilakukan pada penawaran produk dan layanan, penetapan harga, dan pemasaran.
Kecuali budaya lokal mendorong model bisnis, bisnis asing memiliki risiko
kegagalan yang tinggi. Biaya yang terkait dengan kegagalan di pasar luar negeri
dapat menjadi signifikan: rata-rata, pengecer internasional menanggung kerugian
tujuh tahun sebelum mereka menutup atau menjual operasinya ke pesaing lokal.
Glokalisasi mengacu pada antarmuka globalisasi dan lokalisasi. Sementara
globalisasi melibatkan proses, produk, dan layanan terstandarisasi di seluruh dunia,
lokalisasi melibatkan proses dan penawaran produk yang disesuaikan untuk
memenuhi pasar lokal tertentu. Hibrida standardisasi dan adaptasi adalah glokalisasi,
yang melibatkan integrasi fitur lokal dan ide, produk, atau proses global. Glokalisasi
mengakui bahwa sinergi ekonomi dibatasi oleh sistem budaya yang mendarah daging
dan tahan terhadap perubahan.

12
2. Gagal Mengidentifikasi Perbedaan Regional dan Subkultur
Hambatan budaya mungkin sama relevannya secara intranasional maupun
internasional. Di pasar negara berkembang, terdapat variasi regional yang signifikan
dalam preferensi konsumen dan kondisi pasar, namun perbedaan di dalam negara
sering diabaikan. Empat perlima perusahaan multinasional melaporkan bahwa
pengambilan keputusan lepas mereka terjadi di tingkat negara daripada tingkat kota.
Subkultur tidak terbatas pada variasi regional atau etnis. Misalnya, pertimbangkan
profil konsumen pria dan wanita yang berbeda di Amerika Serikat. Meskipun
perempuan menyumbang 88 persen dari pembelian eceran, kampanye pemasaran
sering mengabaikan perbedaan dalam perilaku dan pemikiran konsumen laki-laki dan
perempuan. Selain itu, kebiasaan dan preferensi konsumen wanita bervariasi antar
generasi, etnis, dan kelompok pekerjaan. Perusahaan yang gagal mengenali
keragaman budaya pasar mereka berisiko kehilangan segmen konsumen yang
penting.
3. Gagal Memahami Praktik Bisnis Lokal
Hambatan budaya tidak hanya terjadi pada antarmuka pelanggan.
Keberhasilan bisnis internasional juga memerlukan pemahaman mendalam tentang
kebiasaan bisnis lokal. Tanpa apresiasi penuh tentang bagaimana bisnis dilakukan di
pasar luar negeri termasuk pengaruh ekonomi, politik, peraturan, dan budaya
pendatang baru dapat dengan cepat menemukan diri mereka tertinggal di belakang
para pemangku kepentingan.
4. Gagal Mengadaptasi Praktik Manajemen Lintas Budaya
Tidak ada teori organisasi yang universal, namun asumsi budaya yang
mendasari praktik manajemen seringkali tidak diakui. Ide-ide dipindahkan ke
lingkungan budaya lain tanpa mempertimbangkan variasi budaya. Tetapi ketika
praktik-praktik lintas budaya diterjemahkan tanpa penyesuaian untuk perbedaan
budaya, mereka bisa gagal dan bahkan bisa menyebabkan kerugian.
5. Gagal Mengidentifikasi Peluang Baru

13
Hambatan budaya dapat mengakibatkan hilangnya peluang. Ada contoh
perusahaan Amerika Utara atau Eropa yang sudah mapan yang mengabaikan potensi
pasar berkembang tertentu, gagal membangun kehadiran pasar awal dan membuat
mereka tidak dapat mengejar perusahaan asing atau pesaing lokal lainnya.
Perusahaan lain telah menarik diri dari pasar negara berkembang sebelum waktunya,
merusak hubungan dan meninggalkan warisan komitmen yang lemah dalam
prosesnya.

6. Gagal Memahami Masalah Hukum dan Etika Lokal


Perusahaan global menghadapi jaringan kompleks masalah hukum dan etika.
Pada 2012, Hermès kalah dalam kasus merek dagang di China setelah pertempuran
lima belas tahun dengan perusahaan lokal Foshan. Pada tahun 1995, Foshan telah
mendaftarkan merek dagang berkarakter Cina dengan pengucapan yang mirip tetapi
bentuk tulisan yang sedikit berbeda dari nama Hermès dalam bahasa Cina. Jika hal
ini terjadi, perusahaan asing harus mencari cara alternatif untuk memupuk
kepercayaan.
7. Gagal Menyesuaikan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan Pasar Lokal
Ketidaktahuan budaya dapat mengancam kemampuan perusahaan untuk
menarik, mempertahankan, dan memanfaatkan kumpulan bakat globalnya. Ketika
perusahaan asing mempekerjakan staf lokal, kebijakan sumber daya manusia perlu
disesuaikan untuk mencerminkan profil budaya karyawan lokal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi karyawan, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional
bervariasi antar budaya. Selain itu, resolusi konflik dan memberi dan menerima
umpan balik sangat berbeda antar budaya, dengan implikasi yang signifikan untuk
penilaian kinerja.
8. Manajemen Keragaman yang Tidak Efektif
Penelitian menunjukkan bahwa keragaman adalah pedang bermata dua. Tim
yang beragam dapat meningkatkan atau mengurangi kinerja. Sisi positifnya, integrasi
yang berhasil dari beragam perspektif mendorong inovasi dan kreativitas, tempat
kerja yang inklusif menarik dan memberi energi pada talenta global teratas, tenaga
kerja yang beragam dapat lebih memahami dan merespons kebutuhan beragam
pelanggan, dan keragaman karyawan dapat meningkatkan akses ke pemasok dan
pemasok baru. pemangku kepentingan lainnya.

14
Tetapi kecuali dikelola dengan hati-hati, kelompok kerja yang beragam
mungkin mengalami konflik yang lebih besar dan kurang percaya dan kohesi
daripada tim yang homogen. Perusahaan perlu mengelola konflik budaya, bias, dan
diskriminasi secara efektif. Mereka yang tidak mengatasi ketegangan internal
tersebut akan gagal memanfaatkan keuntungan dari angkatan kerja yang beragam dan
mungkin menghadapi tuntutan diskriminasi. Isu keragaman bervariasi dari satu
negara ke negara lain dan seringkali lebih kompleks di luar Amerika Serikat.

9. Konflik Pemangku Kepentingan


Keragaman meningkatkan kompleksitas pertukaran kita. Ini meningkatkan
potensi hambatan bahasa dan komunikasi lainnya dan meningkatkan risiko
ambiguitas, konflik nilai, dan perbedaan penalaran dan pengambilan keputusan.
Selain itu, stereotip dan bentuk bias lainnya dapat mengancam hubungan baik dan
menghambat pertukaran informasi dan ide.
10. Kegagalan Tugas
Penelitian ekspatriat menunjukkan tingkat kegagalan antara 15 dan 25 persen,
dan bahkan hingga 70 persen di beberapa daerah. Diperkirakan total biaya langsung
dari penempatan ekspatriat selama empat tahun mungkin mencapai USD2 juta.
Selain itu, kegagalan ekspatriat dapat menyebabkan kerusakan hubungan atau
reputasi di negara tuan rumah. Kebanyakan kegagalan ekspatriat bukan karena
ketidakmampuan teknis atau profesional. Faktor penyebab utama melibatkan
kesulitan dengan adaptasi budaya seperti kejutan budaya, penyesuaian pasangan,
hambatan komunikasi, konflik interpersonal, perubahan gaya hidup, praktik bisnis
lokal, dan isolasi.

15
2.5 Hubungan Budaya Nasional, Budaya Organisasi, dan Nilai Individu
Budaya Nasional
Budaya nasional adalah serangkaian himpunan norma sosial, perilaku, kepercayaan,
adat istiadat, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh populasi negara yang berdaulat yang
senantisa merujuk pada karakteristik khusus seperti bahasa, agama, identitas etnis dan ras,
sejarah, dan tradisi budaya. Manajer harus menyadari, bahwa generalisasi dalam profil
budaya hanya akan menghasilkan perkiraan, atau suatu stereotip dari karakter nasional.
Banyak negara terdiri dari beragam subkultur yang konstituennya hanya sesuai dengan
karakter nasional dalam derajat yang berbeda-beda. Di atas segalanya, manajer yang baik
akan memperlakukan orang sebagai individu, dan mereka secara sadar menghindari
bentuk apa pun dari stereotip.

Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu karakteristik yang terdapat pada suatu organisasi
dan dijadikan sebagai tuntunan organisasi atau perusahaan sehingga mampu
membedakannya dengan organisasi lain. Dibandingkan dengan budaya masyarakat, yang
sering dianut secara luas dalam suatu wilayah atau bangsa, organisasi budaya nasional
sangat bervariasi dari satu organisasi, perusahaan, lembaga, atau kelompok ke yang lain.
Budaya organisasi mewakili harapan, norma, dan tujuan yang dimiliki bersama oleh
anggota kelompok itu. Penelitian menunjukkan bahwa budaya masyarakat cenderung
lebih kuat daripada budaya organisasi, sehingga karyawan yang bekerja dengan atau
untuk perusahaan asing tidak mudah terjerumus ke dalam pekerjaan baru budaya
organisasi.

Nilai Individu
Nilai individu mengacu pada apa yang penting bagi seorang individu. Nilai adalah
perasaan penting yang stabil yang muncul berdasarkan pengaruh seseorang, seperti
pengalaman hidup, interaksi, dan hubungan. Mereka dibentuk di awal kehidupan dan
menjadi semakin stabil atau permanen sepanjang hidup.

16
17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Budaya sangat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan dunia bisnis
baik dalam skala nasional maupun internasional. Kita ambil contoh apabila dalam
suatu kelompok yang terdiri dari berbagai macam sudut pandang terjadi suatu
perselisihan, maka disinilah manajemen lintas budaya ini akan digunakan bagi suatu
bisnis. Antropolog organisasi Geert Hofstede terkenal dengan studi
penelitiannya nilai-nilai sosial yang menunjukkan bahwa budaya dari berbagai
negara dapat dibandingkan dalam lima dimensi yang terdiri dari power
distance, uncertainty avoidance, individualism/collectivism,
masculinity/femininity and long-term orientation.
Di samping pengaruh budaya pada berbagai bidang perilaku konsumen, pada
tingkat yang lebih luas peran penting kebudayaan akan menjadi lebih nyata dalam
upaya manajemen serta penyusunan kebijakan perdagangan, perlindungan terhadap
hak intelektual, dan menciptakan sumber daya bagi manfaat suatu negara. Dalam hal
ini, kebudayaan akan memengaruhi keputuasan pengambilan kebijakan bagi
kepentingan masyarakat terkait masalah peraturan dalam menjalankan bisnis
internasional dengan harapan dapat melindungi warisan kebudayaan yang berlaku
dalam perdagangan antarnegara.

18
DAFTAR PUSTAKA

Cateora, Philip., Gilly, Mary., Graham, John. 2011. "Culture, Management Style, and
Business Systems", dalam International Marketing. New York: McGraw-Hill.

Deresky, Helen. 2017. International Management: Managing Across Borders and Cultures,
Text and Cases, Global edition, 9th edition. England: Pearson Education Limited.

19

Anda mungkin juga menyukai