Anda di halaman 1dari 17

AKUNTANSI DAN BUDAYA

TUGAS MATA KULIAH SEMINAR AKUNTANSI


DISUSUN OLEH :
NAMA : AYU PUTRI UTAMI
NIM : 4514013012

NAMA : AYANG ARIASA


NIM : 4514013058

PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
02/2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah S.W.T yang telah


memberikan limpahan rahmat dan karunia yang tak terhingga sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul Akuntansi dan Budaya.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki karya tulis ini.

Akhir kata kami berharap semoga karya tulis ini ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, 19 Februari 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................i
Kata pengantar. ..............................................................................................ii
Bab 1 ( Pendahuluan )
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
Bab 2 (Pembahasan)
2.1 Dimensi-Dimensi Sosial Budaya..............................................................3
2.2 Nilai-Nilai Sosial Akuntansi ...................................................................11
2.3 Nilai-Nilai Akuntansi dan Praktikum Akuntansi ....................................12
Bab 3 (Penutup)
3.1 Kesimpulan.............................................................................................14
Daftar Pustaka...............................................................................................15

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan akuntansi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
ekonomi, sosial, dan politik. Perubahan lingkungan ekonomi seperti
perubahan model kepemilikan perusahaan, tingkat industrialisasi,
pertumbuhan ekonomi, hingga aspek politik dan hukum dalam suatu
masyarakat akan sangat mempengaruhi perkembangan akuntansi di
masyarakat tersebut (Noravesh, et al.,2007). Juga munculnya bursa saham
yang menyebabkan kepemilikan perusahaan melibatkan banyak orang
sehingga semakin banyak pihak yang berkepentingan dalam perkembangan
akuntansi yang lebih baik (Sudarwan, 1994). Selain pengaruh lingkungan
ekonomi, perkembangan akuntansi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dan aspek perilaku dari penggunanya. Karena pengguna akuntansi dapat
membentuk dan dibentuk oleh lingkungan, akuntansi dapat dilihat sebagai
realitas yang dibentuk secara sosial dan subyek dari tekanan politik, ekonomi,
dan sosial (Chariri, 2009).
Dalam beberapa tahun belakangan, ketertarikan untuk mempelajari
akuntansi dari sisi keperilakuan dan sosial semakin meningkat. Penelitian
mengenai keperilakuan dalam akuntansi telah memperkaya disiplin akuntansi
itu sendiri dan memperlihatkan bahwa akuntansi tidak hanya masalah teknis
semata, tetapi melihat akuntansi lebih luas dari pertimbangan psikologis yang
mempengaruhi persiapan laporan akuntansi hingga pertimbangan peran
sosiopolitik akuntansi dalam organisasi dan masyarakat. Berdasarkan
penelitian ini, evolusi dalam akuntansi dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang berbeda, dimana budaya adalah faktor sosial yang paling penting
(Noravesh, et al. 2007). Namun, penelitian akuntansi di Indonesia masih
didominasi oleh masalah teknis dan cenderung mengabaikan nilai-nilai budaya
yang melekat di Indonesia (Chariri, 2009). Budaya adalah suatu sistem, karena
budaya adalah suatu paket perilaku yang terjadi terus menerus dan tidak
memerlukan sistem lain untuk terus berfungsi (Redfield, 1956). Budaya

1
mencerminkan norma, nilai, dan perilaku masyarakat yang menganut budaya
tersebut. Selain itu, budaya juga didefinisikan sebagai “way of life of society”
(Siegel dan Marconi, 1989). Akuntansi sebagai ilmu dan perangkat yang
bertujuan untuk memudahkan manusia tentu saja harus tunduk terhadap
“bagaimana masyarakat menjalani hidupnya”, karena kalau tidak, maka
akuntansi tidak akan berguna bagi masyarakat penggunanya. Masalahnya
adalah, tiap masyarakat di dunia mempunyai cara pandang yang berbeda
terhadap bagaimana mereka harus menjalani hidupnya. Karena itulah budaya
sebagai aspek sosial sangat mempengaruhi perkembangan akuntansi, dimana
akuntansi itu sendiri adalah bagian dari ilmu sosial. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai akuntansi dan budaya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dimensi-dimensi Sosial Budaya ?
2. Bagaimana nilai-nilai sosial akuntansi?
3. Bagaimana nilai-nilai akuntansi dan praktik akuntansi ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dimensi-dimensi sosial budaya
2. Mengetahui nilai-nilai sosial akuntansi dan pengaruhnya
3. Mengetahui nilai-nilai akuntansi dan praktik akuntansinya

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 DIMENSI-DIMENSI SOSIAL AKUNTANSI
A. Dimensi Budaya Hofstede
Dimensi sosial budaya merupakan sesuatu yang melekat pada
kebudayaan yang diadopsi secara turun temurun oleh penerusnya dan hal
ini sangat berkaitan erat dengan nilai adat istiadat. Pada dasarnya dimensi
kebudayaan sangat sulit diubah, hal ini membutuhkan proses yang

2
berkepanjangan, karena berkaitan dengan pola pikir masyarakat dan
kebiasaan yang mereka anggap benar.
Tendensi orang untuk membentuk masyarakat berdasarkan pada
norma yang diterima secara umum yang berarti budaya merupakan faktor
yang menarik orang untuk membentuk masyarakat atau bangsa. Hofstede
(2010) adalah seorang sosiolog yang pada tahun 1967 sampai 1973 telah
berhasil melakukan penelitian dengan mengumpulkan data dari 50 negara
yang berbeda dalam perusahaan swasta International Bussiness Machine
(IBM). Penelitian ini mendapatkan jawaban kurang lebih dari 100.000
kuesioner. Hofstede (2001) mendefinisikan budaya sebagai berikut: “The
collective programming of the mind that distinguishes the members of one
group or category of people from another.” Pernyataan di atas dapat
dipahami bahwa budaya merupakan suatu pemrograman kolektif dari
pikiran yang membedakan anggota suatu kelompok atau kategori orang,
dari yang lain. Hofstede menganalisis budaya dari beberapa bangsa dan
mengelompokkannya ke dalam beberapa dimensi. Dimensi budaya
menurut Hofstede (2001) adalah: “Dimension of culture is The comparison
of cultures presupposes that there is something to be compared – that each
culture is not so unique that any parallel with another culture is
meaningless.” Pengertian di atas dapat dipahami bahwa perbandingan
budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan –
bahwa setiap budaya sebenarnya tidaklah begitu unik, bahwa setiap
budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang
begitu berarti. Berikut ini adalah enam dimensi budaya yang dibangun
oleh Hofstede:
1. Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda terhadap
masalah dasar dari ketidaksetaraan manusia;
Hofstede mendefinisikan Power Distance sebagai berikut: The
power distance between a boss B and a subordinate S in a hierarchy is the
difference between the extent to which B can determine the behavior of S
and the extent to which S can determine the behavior of B (Hofstede,
2001).
Power Distance atau jarak kekuasaan adalah sejauh mana anggota
dari suatu organisasi atau lembaga yang berada dalam posisi yang kurang

3
kuat menerima dan berharap kekuasaan didistribusikan secara tidak
merata. Dimensi budaya yang mendukung jarak kekuasaan rendah (Small
Power Distance) mengharapkan dan menerima hubungan kekuasaan secara
lebih konsultatif atau demokratis. Orang berhubungan satu sama lain
terlepas dari posisi formalitas mereka. Bawahan mersaa lebih nyaman
serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan.
Di negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power
distance) cenderung menggunakan hubungan kekuasaan yang lebih
otokratis dan paternalistik. Bawahan mengakui kekuatan orang lain hanya
berdasarkan dimana mereka berada dalam struktur formal atau posisi
hirarki tertentu. Dengan demikian, indeks jarak kekuasaan didefinisikan
oleh Hofstede (2001) bukan mencerminkan perbedaan obyektif dalam
distribusi daya, melainkan cara orang memandang perbedaan-perbedaan
kekuasaan.
2. Uncertainty Avoidance, terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan
sosial menghadapi masa depan yang tidak diketahui;
Dimensi ‘uncertainty avoidance’ dijelaskan oleh Hofstede (2001)
sebagai berikut Uncertainty about the future is a basic fact of human life
with which we try to cope throuhj the domains of technology, law, and
religion. In organizationas these take the form of technology, rules, and
rituals. Uncertainty avoidance should not be confused with risk
avoidance (Hofstede, 2001). Uncertainty Avoidance adalah bentuk
toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini
menggambarkan sejauh mana anggota organisasi atau lembaga berusaha
untuk mengatasi perasaan cemas dan mengurangi ketidakpastian yang
mereka hadapi. Pemahaman ini menjelaskan bahwa uncertainty
avoidance bukan berarti penghindaran risiko. Orang-orang yang memiliki
dimensi budaya penghindaran ketidakpastian tinggi (high uncertainty
avoidance) cenderung lebih emosional. Mereka mencoba untuk
meminimalkan terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa.
Saat terjadi perubahan mereka menjalaninya dengan hati-hati, langkah
demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan hukum serta peraturan
yang berlaku. Sebaliknya, dimensi budaya penghindaran ketidakpastian

4
rendah (low uncertainty avoidance) menerima dan merasa nyaman dalam
situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan yang kerap kali mengalami
perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa aturan dalam
aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung lebih
pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
3. Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi dari individu ke
dalam kelompok-kelompok utama;

Hofstede (2001) menjelaskan dimensi individualism sebagai sisi


yang berlawanan dari collectivism sebagai berikut: It describes the
relationship between the individual and the collectivity that prevails in a
given society. It is reflected in the way people live together-for example, in
nuclear famiies, or tribes – and it has many implications for values and
behavior (Hofstede, 2001). Ciri organisasi atau lembaga Individualism
dengan Collectivism, adalah sejauh mana individu diintegrasikan ke dalam
organisasi atau lembaga tersebut. Dalam masyarakat yang individualistik
(individualism), tekanan atau stres diletakkan dalam permasalahan pribadi,
serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan untuk membela
diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga mereka diharapkan untuk
memilih afiliasi sendiri. Sebaliknya dalam masyarakat kolektifis
(collectivism), individu bertindak terutama sebagai anggota kelompok
seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi tercipta di dalam kelompok
mereka (kelompok di sini tidak mengacu kepada politik atau negara).
Orang-orang memiliki keluarga besar, yang dijadikan sebagai
perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak diragukan.

4. Masculinity versus Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran


emosi antara wanita dan laki-laki
Hofstede menjelaskan masculinity dan feminimity sebagai berikut:
The dominant gender role patterns in the vast majority of both traditional
and modern societies. (I will use ‘sex’ when referring to biological
functions and ‘gender’ when referring to social functions) (Hofstede,
2001). Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam
masyarakat, atau distribusi peran emosional antara gender yang berbeda.

5
Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity) terkandung nilai daya saing,
ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan. Dimensi feminin
(feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap hubungan dan
kualitas hidup. Dalam dimensi maskulin, perbedaan antara peran gender
nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel dibandingkan dengan dimensi
feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama,
menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
Penggunaan terminologi feminin dan maskulin yang mengacu
terhadap perbedaan gender yang jelas tersirat melahirkan kontroversial.
Sehingga beberapa peneliti yang menggunakan perspektif Hofstede (2011)
mengganti terminologi tersebut, misalnya “Kuantitas Hidup” dengan
“Kualitas Hidup”.
5. Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari
fokus untuk usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu
Dimensi ini dikembangkan oleh Hostede bersama Michael Harris
Bond di Hongkong (Hofstede, 2001). Dimensi ini sangat dipengaruhi oleh
ajaran Confucian. Dimensi ini akan membingungkan orang yang hidup di
wilayah Barat, karena merasa hal ini tidak diperlukan. Empat elemen
ajaran yang mempengaruhi terbentuknya dimeni ini adalah:
 Stabilitas sosial berdasarkan atas ketidaksetaraan hubungan antara
orang. Sebagai contoh junior memberikan penghormatan dan
kepatuhan kepada senior, dan senior memberikan perlindungan
kepada junior.
 Keluarga adalah bentuk dasar dari seluruh organisasi sosial.
Budaya Cina memiliki keyakinan bahwa kehilangan martabat
keluarga sama saja kehilangan satu mata, hidung, dan mulut.
Menunjukkan penghormatan kepada orang disebut “memberi
wajah” dalam budaya mereka.
 Perilaku berbudi luhur kepada orang lain mengandung makna tidak
memperlakukan orang lain seperti dirimu tidak ingin diperlakukan
seperti itu oleh orang lain.
 Berbuat baik adalah salah satu tugas hidup dengan cara menambah
pengetahuan, keterampilan, bekerja keras, tidak boros, sabar, dan
memelihara.

6
Dimensi ini diistilahkan kemudian sebagai “Konghucu
Dinamisme” (Hofstede, 2011). Masyarakat yang berorientasi jangka
panjang (long term orientation) lebih mementingkan masa depan. Mereka
mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, termasuk
ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi. Masyarakat yang memiliki
dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term orientation), nilai
dipromosikan terkait dengan masa lalu dan sekarang, termasuk kestabilan,
menghormati tradisi, menjaga selalu penampilan di muka umum, dan
memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.
6. Indulgence versus Restraint, terkait kepada gratifikasi dibandingkan
kendali dari kebutuhan dasar manusia untuk menikmati hidup
Michael Minkov seorang ahli bahasa dan sosiolog dari Bulgaria
pada tahun 2007, bersama dengan Geert Hofstede dan Geert Jan Hofstede
(2010) mengajukan tiga dimensi budaya yang baru yaitu Exclusionism
versus Universalism, Indulgence versus Restraint, Monumentalism versus
Flexumility. Kemudian Hofstede melihat korelasi yang kuat antara
Exclusionism versus Universalism dengan dimensi
Collectivism/Individualism; dan Monumentalism versus Flexumility juga
berkorelasi kuat dengan Short Term/Long Term Orientation. Sehingga
dimensi baru yang ditetapkan oleh Hofstede sebagai dimensi budaya
terbaru adalah dimensi Indulgence versus Restraint.
Kesenangan (indulgence) mengarah kepada lingkungan sosial yang
mengijinkan gratifikasi sebagai nafsu manusiawi yang alamiah terkait
dengan menikmati hidup. Pengekangan (restraint) mengarah kepada
lingkungan sosial yang mengontrol gratifikasi dari kebutuhan dan
peraturan-peraturan dengan cara norma sosial yang tegas.

B. Dimensi budaya menurut Global Leadership and Organizational Behavioral


Effectiveness (GLOBE)
Program penelitian Globe adalah sebuah penyelidikan lintas kultural
mengenai kepemimpinan dan kultur nasional di 62 negara yang terus-menerus
dilakukan, mulai tahun 1993. Tim GLOBE mengidentifikasikan sembilan
dimensi dalam kultur nasional yang saling berbeda. Dimensi budaya Globe
adalah sebagai berikut:

7
1. Ketegasan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat mendorong
individu untuk bersifat tegar, konfrontatif, dan kompetitif dibandingkan
rendah hati dan lembut.
2. Orientasi masa depan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat
mendorong dan menghargai perilaku yang berorientasi pada masa
depan, seperti perencanaan, investasi masa depan, dan penundaan
kepuasan.
3. Perbedaan gender. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat
memperbesar perbedaan peran gender.
4. Penghindaran ketidakpastian. Kepercayaan meayarakat terhadap norma
dan prosedur sosial untuk mengurangi ketidakmampuan dalam
memprediksi kejadiandi masa depan.
5. Jarak kekuasaan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat dapat
menerima kekuasaan dibagi secara tidak adil.
6. Individualisme/kolektivisme. Tingkatan sampai mana individu didorong
oleh suatu situasi-situasi sosial untuk bergabung dalam kelompok-
kelompok suatu organisasi dan masyarakat.
7. Kolektivitas dalam kelompok. Dimensi ini mencakup hal luas dari
bagaimana anggota suatu institusi sosial merasa bangga atas
keanggotaannya dalam kelompk kecil, seperti keluarga, teman-teman
dekat, dan perusahaan tempatnya bekerja.
8. Orientasi kinerja. Hal ini merujuk pada tingkatan sampai mana suatu
masyarakat mendorong dan menghargai anggotanya atas peningkatan
prestasi dan keunggulan.
9. Orientasi kemanusiaan. Tingkatan sampai mana suatu masyarakat
mendorong dan menghargai individu untuk bersikap adil, altruistis
(mendahulukan kepentingan individu lain), murah hati, perhatian, dan
baik terhadap individu lain.

Dengan melihat dimensi nilai budaya GLOBE, dapat ditarik kesimpulan


bahwa GLOBE melengkapi dimensi nilai budaya Hofstede, dengan banyaknya
dimensi yang mempunyai kemiripan dengan dimensi nilai budaya Hofstede
(2005). Penelitian GLOBE menunjukkan bahwa kelima dimensi nilai budaya
Hofstede masih valid, walaupun GLOBE menambahkan beberapa dimensi lain
tetapi masih tidak keluar dari dimensi nilai budaya Hofstede.

8
C. Dimensi budayaTrompenaars

Peneliti Belanda, Fons Tompenaars meneliti lebih dari 15.000 orang di 28


negara selama 10 tahun. Tompenaars menjelaskan lima dimensi bagaimana
masyarakat berlaku dengan sesama, seperti pada dimensi budaya Hofstede (2005).
Selain itu Tompenaars juga meneliti sikap masyarakat, baik terhadap waktu atau
lingkungan (Hodgetts, 2006).

1. Universalisme versus Partikularisme


Universalisme adalah kepercayaan bahwa suatu praktik dapat
diaplikasikan di seluruh dunia atanpa adanya modifikasi. Sedangkan
partikularisme adalah anggapan bahwa situasi dan kondisi menentukan
bagaimana ide atau praktik diterapkan dan sesuatu tidak dapat dilakukan
secara persis sama di semua tempat. Budaya dengan universalisme tinggi
lebih berfokus pada aturan formal daripada pada hubungan informal.
Hukum diterapkan secara kaku dan sama bagisetiap orang. Sedangkan
budaya dengan partikularisme yang tinggi lebih berfokus pada hubungan
informal dan kepercayaan daripada aturan formal.
2. Individualisme versus komunitarianisme.

Menurut Tompenaars, individualisme adalah mengacu pada bagaimana


manusia memperlakukan dirinya sebagai individu, sedangkan
komunitarianisme mengacu pada bagaimana manusia memperlakukan dirinya
sebagai anggota kelompok.

3. Netral versus emosional.

Budaya netral adalah budaya dimana emosi ditahan. Masyarakat dalam


budaya ini mencoba untuk tidak memperlihatkan perasaanya, seperti di
negara Jepang dan Inggris. Budaya emosional adalah budaya dimana emosi
diekspresikan secara terbuka dan alamiah. Masyarakat di budaya yang
emosional lebih cenderung ekspresif dalam menunjukkan emosi mereka,
seperti perasaan senang, sedih, dan sebagainya.

4. Spesifik versus difusi.

9
Budaya spesifik adalah budaya dimana individu mempunyai ruang publik
yang besar untuk berbagi dengan sesama, dan ruang publik yang kecil yang
sangat mereka jaga dan hanya dibagi dengan teman dekat dan kolega. Dalam
budaya spesifik, masyarakat cenderung lebih terbuka, dan ada batas yang kuat
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Budaya difusi adalah budaya dimana
ruang publik dan ruang pribadi berukuran sama dan individu menjaga ruang
publiknya dengan hati-hati, karena memasuki ruang publik sama bernilainya
dengan memasuki ruang pribadi. Orang dalam budaya difusi, cenderung lebih
berbasa basi dan tertutup, dan pekerjaan dan kehidupan pribadinya berkait
erat.

5. Pencapaian versus askripsi.


Budaya pencapaian adalah budaya dimana orang ditentukan oleh
status sosialnya dan seberapa baik mereka menjalankan fungsinya. Budaya
pencapaian memberikan status tinggi bagi yang berprestasi tinggi, atau
dengan kata lain, status sosial seseorang ditentukan oleh prestasi yang
ditorehkanya. Sedangkan budaya askripsi adalah budaya dimana status
ditentukan oleh siapa atau apa orang tersebut. Budaya askripsi menentukan
status sosial seseorang berdasarkan umur, gender, keturunan, atau
hubungan sosial. Budaya askripsi dapat juga ditemukan dalam masyarakat
yang masih feodal.
6. Sikap terhadap waktu.
Dalam bersikap terhadap waktu, terdapat dua pendekatan, yaitu
sequential, dan synchronous. Dalam budaya dimana pendekatanya
sequential, orang cenderung untuk melakukan hanya satu kegiatan dalam
satu waktu, menepati janji dengan ketat, dan menunjukkan kecenderungan
untuk mengikuti rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak
menoleh ke yang lain. Dalam budaya dimana pendekatan synchronous
adalah umum, orang cenderung melakukan lebih dari satu aktivitas dalam
satu waktu, janji diperkirakan dan mungkin berubah sewaktu-waktu.
7. Sikap terhadap lingkungan.
Dalam bersikap terhadap lingkungan, ada dua jenis masyarakat,
yaitu pendapat bahwa mereka bisa merubah lingkungan, atau justru
lingkungan yang merubah mereka.

10
2.2 NILAI NILAI SOSIAL AKUNTANSI

Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau


keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara
pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan” (Robbins dan Judge, 2008).
Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu
mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan
intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir
dari kehidupan adalah penting. Sifat intensitas menunjukkan betapa pentingnya
hal tersebut. Ketika menggolongkan nilai seorang individu menurut intensitasnya,
kita mendapatkan sistem nilai orang tersebut. Sistem ini diidentifikasikan oleh
kepentingan relatif yang kita tentukan untuk nilai seperti kebebasan, kesenangan,
harga diri, kejujuran, kepatuhan, dan persamaan.

Pengertian Nilai Secara umum – Nilai (value) ialah suatu prinsip, standar,
atau kualitas yang dianggap berharga atau diinginkan oleh orang yang
memegangnya. Yang artinya, nilai itu tidak hanya diharapkan, tetapi juga
dapat diusahakan sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang
lain. Nilai adalah suatu kumpulan sikap dan juga perasaan yang bisa diwujudkan
melalui perilaku sosial yang mempunyai nilai sosial tersebut.

Nilai sosial adalah suatu kualitas perilaku, pikiran, dan karakter yang
dianggap masyarakat baik dan benar, hasil yang diinginkan, dan layak ditiru oleh
setiap orang. Nilai sosial adalah sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh
masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang
penting.

Menurut Robbins dan Judge (2008), nilai bersifat tetap, relatif stabil dan
berlangsung lama. Bagian signifikan dari nilai yang kita junjung telah terbentuk
sejak kita lahir, untuk menentukan apakah perilaku-perilaku yang kita lakukan
adalah pantas atau tidak.

Nilai sosial akuntansi sangat relevan dengan profesional atau otoritas


hukum untuk sistem akuntansi serta penegakannya untuk menjadi profesionalisme
dan keseragaman. Keduanya menitikberatkan pada peraturan dan tingkat

11
penegakan hukum atau kesesuaian. Nilai akuntansi juga sangat relevan pada
pengukuran dan pengungkapan informasi secara konservatisme dan secara
kerahasiaan. Oleh karena itu, negara-negara dapat dikelompokan sebagai
optimisme dan transparansi dan kelompok Konservatisme dan kerahasiaan.
klasifikasi pengelompokan negara Ini dengan wilayah budaya dapat digunakan
sebagai dasar untuk menilai lebih lanjut hubungan antara budaya dan sistem
akuntansi. Klasifikasi ini sangat relevan untuk memahami karakteristik sistem
otoritas dan penegakan hukum, dan karakteristik pengukuran dan pengungkapan.

2.3 NILAI AKUNTANSI DAN PRAKTIK AKUNTANSI

Nilai akuntansi adalah nilai-nilai yang digunakan oleh akuntan dalam


melakukan praktek akuntansi. Gray (1988) mengidentifikasi empat nilai akuntansi

sebagai berikut:

1. Kendali menurut profesionalitas versus menurut undang-undang


Nilai ini merefleksikan preferensi penggunaan penilaian profesional dan
pembentukan regulasi yang berdasarkan pertimbangan profesional atau
sebaliknya, menggunakan penilaian atau regulasi berdasarkan undang-undang.
Nilai ini merupakan dimensi nilai akuntansi yang signifikan karena akuntan
diharapkan berperilaku independen dan menggunakan penilaian
profesionalnya, dan nilai ini kurang lebihvaliduntuk tiap negara.
2. Konservatisme versus optimisme.
Nilai ini merefleksikan preferensi untuk melakukan pendekatan yang hati-
hati untuk hal yang tidak pasti di masa depan, atau melakukan pendekatan yang
lebih optimis dan beresiko. Konservatisme atau prinsip kehati-hatian dalam
pengukuran aset dan pelaporan laba dipandang sebagai perilaku fundamental
akuntan di seluruh dunia(Hendriksen dan Van Breda, 1989).
3. Ketertutupan versus transparansi
Nilai ini merefleksikan preferensi untuk mengungkapkan informasi hanya
kepada pihak yang dekat dengan manajemen dan investor, atau

12
mengungkapkan informasi lebih transparan, terbuka, dan akuntabel.
Perusahaan cenderung mengungkapkan lebih sedikit kepada pihak luar, sebagai
hasil dari dunia yang assymetrical information (Hendriksen dan Van Breda,
1989). Ketertupan dalam akuntansi tampaknya berhubungan erat dengan
konservatisme karena kedua nilai menerapkan pendekatan hati-hati pada
pelaporan keuangan perusahaan secara umum.
4. Keseragaman versus fleksibilitas.
Nilai ini merefleksikan preferensi untuk menerapkan praktik akuntansi
yang seragam dan konsisten untuk semua perusahaan atau menerapkan praktik
yang fleksibel tergantung pada keadaan yang dihadapi tiap perusahaan. Nilai
ini merupakan nilai akuntansi yang penting karena perilaku mengenai
keseragaman, konsistensi dan komparabilitas merupakan karakter kualitatif
dari suatu laporan keuangan agar dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan (Hendriksen dan van Breda, 1989). Praktik akuntansi yang seragam
selanjutnya akan lebih konsisten, dan akan lebih mudah untuk dibandingkan
antar periode dan antar perusahaan yang lain.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangn akuntansi dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya yang sangat berpengaruh adalah budaya. Pengaruh budaya
terhadap sistem akuntansi merupakan isu yang banyak dibicarakan
oleh akademisi dan praktisi tentang budaya mempengaruhi akuntansi
atau sebaliknya. Banyak para ahli menawarkan kerangka teori
hubungan budaya dan akuntansi seperti Hofstede. Beberapa penelitian
telah mulai menaruh perhatian pada pengaruh interaksi antara budaya,
politik, dan ekonomi nasional dengan proses perubahan praktik
akuntansi di satu negara. Berbagai penelitian tersebut berusaha
mengungkap hubungan antara budaya nasional dan budaya organisasi,
dengan pengungkapan akuntansi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Choi, Frederick D.S., and Gerhard D. Mueller. 1992. International Accounting.

4th ed. Prentice Hall: Englewood Cliffs, New Jersey.

Radebaugh, Lee H., dan Sidney J. Gray, 2002. International Accounting and

Multinational Enterprises. John Wiley & Sons, Inc: New York.

https://jenifirjani.wordpress.com/2012/06/10/sosial-akuntansi/

http://dedysuarjaya.blogspot.co.id/2010/09/pola-budaya-dan-perkembangan-

akuntansi.html

14

Anda mungkin juga menyukai