Anda di halaman 1dari 14

EKONOMI KELEMBAGAAN EKI (EKI416)

PARADIGMA EKONOMI KELEMBAGAAN

DOSEN PENGAMPU: Diah Pradnyadewi T, S.E.,M.Si

Disusun Oleh:
Ni Nyoman Bella Ari Dewi (2107511124)
Ni Kadek Gita Mahardani (2107511132)
Made Gita Saraswati (2107511133)
Asima Christina Pangaribuan ( 2107511170)
Zahrah Batrisyia Rawosi ( 2107511180)
I Wayan Agus Pratama ( 2107511186)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan
nikmat, rahmat-Nya sehingga kami diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan
paper yang berjudul Paradigma Ekonomi Kelembagaan.
Adanya paper ini disusun agar memenuhi kelengkapan tugas mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan. Dengan tersusunnya paper ini adalah berkat bantuan dari berbagai pihak
sehingga kami dapat menyelesaikan dengan tepat waktu. Maka, dalam kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu untuk
penyusunan paper ini.
Dengan disusunnya paper ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada berbagai
pihak yang membaca dan membutuhkannya. Kami sangat menyadari bahwa paper ini masih
jauh dari kata kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang dari
pembaca untuk perbaikan paper ini untuk masa yang akan datang. Semoga dari adanya paper
ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Jimbaran, 11 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Paradigma...........................................................................................................2
2.2 Perilaku Teknologis dan Ideologis.......................................................................................2
2.3 Realitas dan Evolusi.............................................................................................................4
2.4 Metode Kualitatif.................................................................................................................6
2.5 Non Prediktif : Nilai Guna dan Labilitas.............................................................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi,
yakni dengan aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lainnya sebagai satu kesatuan
analisis. Teori ekonomi kelembagaan sejajar asasnya dengan sifat dari ilmu sosial lainya. Ada
dua dimensi yang harus dipahami secara kritis yakni: Pertama, jika berkaitan dengan
(persoalan) negara, ilmu sosial tidak hanya mempunyai daya penjelas, tetapi juga berpotensi
besar legitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila bersinggungan dengan urusan masyarakat,
maka ilmu sosial berbicara tentang ilmu sosial instrumental dan ilmu sosial kritis. Ilmu sosial
instrumental bisa dimaknai sebagai disiplin-disiplin ilmu sosial yang bertujuan akhir pada
tindakan, yaitu pada dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu sosial kritis memiliki tujuan
akhir pada emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam, dengan memerdekakan
kesadaran dari keadaan yang tak reflektif.
Maka perlu untuk diketahui pada kelembagaan perlu untuk mengetahui perilaku dan
ideologis, revolusi dan evolusi, metode kuantitatif, dan non prediktif. Berdasarkan latar
belakang diatas, maka penulis menyusun paper yang fokus membahas paradigma yang
melatari berdirinya aliran ekonomi kelembagaan.

1.2 Rumusan Masalah.


1.2.1 Apa yang Dimaksud dengan Paradigma?
1.2.2. Bagaimana Perilaku Teknologis dan Ideologis?
1.2.3. Bagaimana Realitas dan Evolusi?
1.2.4. Bagaimana Metode Kualitatif: Partikularitas dan Subjektivitas?
1.2.5. Bagaimana Non Presiktif : Nilai Guna dan Labilitas Data?

1.3 Tujuan Penulisan.


1.3.1 Mengetahui Apa Itu Paradigma.
1.3.2. Mengetahui Perilaku Teknologis dan Ideologis.
1.3.3. Mengetahui Realitas dan Evolusi.
1.3.4. Mengetahui Metode Kualitatif: Partikularitas dan Subjektivitas.
1.3.5. Mengetahui Non Presiktif : Nilai Guna dan Data Labillitas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Paradigma


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma berarti model dalam suatu teori,
atau juga bisa berarti kerangka berpikir. Menurut Thomas Kuhn pengertian paradigma adalah
landasan berpikir ataupun konsep dasar yang digunakan - dianut sebagai model atau pun pola
yang dimaksud para ilmuwan dalam usahanya dengan mengandalkan studi-studi keilmuan
yang dilakukannya. Menurut Guba pengertian paradigma adalah sekumpulan keyakinan dasar
yang membimbing tindakan manusia. Menurut R. J. Ritzer paradigma adalah pandangan
mendasar para ilmuan mengenai apa yang menjadi pokok permasalahan yang seharusnya
dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan tertentu.

2.2 Perilaku Teknologis dan Ideologis


Menurut (Yustika, 2012) pendekatan yang digunakan ekonomi kelembagaan adalah
multidisipliner. Maka, terdapat aspek yang perlu diperhatikan seperti aspek sosial, hukum,
politik, budaya, dan lainnya sebagai satu kesatuan analisis. Teori ekonomi kelembagaan sejajar
asasnya dengan ilmu sosial lain. Sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memiliki dua
dimensi, yaitu ketika berkaitan dengan (persoalan) negara maka ilmu sosial tidak hanya
memiliki fungsi sebagai daya penjelas tetapi juga melegitimasi dan juga mendelegitimasi dan
yang kedua ketika berurusan dengan rakyat maka ilmu sosial membahas ilmu sosial
instrumental dan ilmu sosial kritis.
Menurut Miller, analisis ilmu ekonomi dibagi menjadi empat cakupan, yaitu:
1. Alokasi sumber daya
2. Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga
3. Distribusi pendapatan,
4. Struktur kekuasaan.
Pendekatan klasik/neoklasik cenderung menggunakan tiga instrumen yang pertama
untuk menguliti setiap persoalan ekonomi, sebaliknya pendekatan kelembagaan lebih
menekankan pada bagian yang terakhir dalam menganalisis fenomena ekonomi. Menurut
Veblen sendiri kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal yang
bereproduksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan masing-masing generasi individu
berikutnya. Maka dari itu, peran kelembagaan sendiri adalah menjadi stimulus dan petunjuk
terhadap perilaku individu. Namun, keinginan individu (individual preferences) bukan faktor

2
fundamental dari decision making, sehingga tidak memiliki teori. Dengan demikian, analisis
yang digunakan bukan hanya individu subjeknya tapi banyak orang.
Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model pola (teori-teori), sementara ahli
neoklasik berusaha menyusun model-model prediktif (teori-teori). Model prediktif
menjelaskan perilaku manusia dengan menyatakan secara cermat di dalam konteks
kelembagaan dan budaya. Sedangkan, ekonomi klasik memprediksi dengan pengambilan
keputusan secara logis dari asumsi dasar yang telah dibuat. Bukti prediktif harus memiliki
validitas empiris dan akurat dalam pengambilan keputusannya.
Ide inti dari paham kelembagaan adalah mengenai kelembagaan, kebiasaan, aturan,
dan perkembangannya. Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner,
dan nonpredikatif. Ahli ekonomi kelembagaan pada umumnya berfokus pada konflik daripada
keharmonisan, pada pemborosan daripada efisiensi, dan pada ketidakpastian dibandingkan
pengetahuan yang sempurna. Intinya, pusat kepentingan dari kelembagaan adalah kepada
eksistensi dari penyimpangan kekuasaan dan hak khusus atau free village daripada anggapan
tentang perilaku individu.
Aliran Veblen (Veblenian) membedakan antara perilaku teknologis dan kelembagaan
sebagai titik awal untuk menerangkan kontribusi teoritis dari aliran kelembagaan. Veblen
membedakan antara dua jenis pola perilaku dan bentuk-bentuk pikiran yang ada di dalam
berbagai tingkatan di semua kebudayaan. Pikiran dan tindakan teknologis atau instrumental
meliputi penjelasan dari sebab ke akibat. Tindakan ini adalah tindakan yang bukan bersifat
kekerasan atau paksaan dan menjadi pokok dari verifikasi empiris tentang kemampuannya
untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, perilaku kelembagaan dan seremonial
dibengkokkan dengan pertimbangan-pertimbangan peringkat dan status. Perilaku ini dilakukan
dengan tekanan sosial dan diverifikasi melalui kewenangan yang ada.
Perilaku adalah akar tindakan manusia dalam struktur kelembagaan. Berbeda dengan
keinginan individu yang tidak dapat dipercaya karena subjektif dan introspektif. Ahli
kelembagaan memandang individu secara terbatas mengarah pada transaksi hukum dan
kesempatan. Pada prosesnya, terdapat konflik kepentingan yang terjadi akibat kelangkaan dan
harus dinegosiasikan oleh individu-individu untuk mencapai tujuannya. Akhirnya terjadi
konflik kepentingan yang terjadi akibat kelangkaan yang harus dinegosiasikan oleh individu
individu yang berusaha mencapai tujuan. Individu akan menggunakan kekuatan apapun yang
mereka miliki untuk dapat mencapai tujuan, yang dipengaruhi oleh harapan tentang masa
depan. Dalam posisi ini, kemungkinan transaksi bisa terjadi secara setara. Hasil dari tawar
menawar tersebut adalah kompromi yang seringkali kurang tepat dan tidak pasti. Basis

3
kompromi adalah kekuatan dikendalikan di dalam batas batas yang bisa diterima oleh undang
undang dan adat, yang dikembangkan dengan dasar kasus per kasus bila peraturan tidak lagi
berfungsi dengan memuaskan. Hasil dari semua transaksi tersebut tentu saja tidak pasti dan
masih bersifat sementara, yaitu fungsi dari metode prosedur umum dari berbagai pemikiran
tentang masa depan dan kekuasaan relatif. Sistem ini selalu berubah dan tidak pernah mencapai
keseimbangan yang berasal dari luar. Para ahli kelembagaan menganggap pasar tidak dilihat
dari mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi.
Namun para ahli kelembagaan melihat pasar sebagai mekanisme yang bias dari banyak hal.
Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan sehingga pasar dapat
dikontrol.
Selanjutnya ahli kelembagaan memandang individu secara terbatas dan mengarah pada
transaksi hukum dan kesepakatan dan tidak memandang disiplin ilmu pengetahuan pilihan
yang bersifat mekanis. Keinginan yang ada diatur dengan berbagai macam cara: dengan hukum
dan kebiasaan, dengan kesenjangan dan ketinggalan informasi, dengan kekerasan atau paksaan
dari yang kuat kepada yang lemah, dan dengan kemampuan mereka untuk mengakses
kekuasaan pasar sehingga bisa mencampuri dan manipulasi pasar. Kakak kepemilikan akan
memberikan hak penggunaan dan kekuasaan di dalam proses pertukaran, yang semakin
meningkat dengan adanya proses industrialisasi dan transaksi transaksi diantara kelompok
yang berkompetisi. Pada titik ini, hak atasan untuk mengarahkan dan mengontrol bawahan nya
semakin kuat, inilah yang kemudian menimbulkan kompleksitas hirarki hubungan antar
individu atau kelompok didalam masyarakat.

2.3 Realitas dan Evolusi


Ekonomi di dalam dunia nyata merupakan proses yang kompleks, tidak terisolasi, dan
dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sebenarnya masih terdapat perbedaan yang cukup
signifikan antara realitas ekonomi dengan model-model ekonomi yang hingga saat ini banyak
digunakan untuk mewakili proses ekonomi secara teoritis. Sebabnya proses perekonomian
tidaklah berhenti stagnan, karena pastilah akan berkembang berevolusi sesuai dengan realitas
aktivitas perekonomian yang ada di kehidupan ini. Disinilah ekonomi kelembagaan menjadi
ilmu yang sangat penting dalam melakukan analisis terhadap proses ekonomi yang terus
berubah-ubah, karena cara pandang ekonomi kelembagaan bersifat holistik, sistematis dan
evolusioner. Sehingga, realitas sosial tidak hanya dipandang sebagai seperangkat relasi yang
spesifik, melainkan adalah sebuah proses perubahan yang inheren, atau kemudian dapat disebut
sebagai sistem ekonomi.

4
Ekonomi kelembagaan sebagai suatu upaya untuk menganalisis fenomena ekonomi
dengan pendekatan multidisipliner menunjukkan bahwa proses ekonomi tidak bisa
berlangsung tanpa adanya perubahan terus-menerus dengan mengubah lingkungan secara
kumulatif, dimana dalam pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan kemampuan
untuk memahami dinamika realitas sosial dan objek yang dikaji. Dalam perkembangannya
aliran kelembagaan (institutionalism) bersifat holistik (menyeluruh) karena memfokuskan pada
pola hubungan diantara bagian bagian keseluruhan. Hal ini juga sekaligus merupakan tindakan
yang evolusioner karena perubahan-perubahan dalam pola hubungan dilihat sebagai esensi dari
realitas sosial. Realitas sosial dilihat lebih dari sekedar seperangkat relasi-relasi yang spesifik,
dimana realitas sosial dipahami sebagai proses perubahan yang inheren dalam kelembagaan
sosial, yang kemudian disebut sebagai sistem ekonomi. Dimana proses perubahan merupakan
produk dari tindakan manusia, tetapi tindakan yang dibentuk dan terbatas oleh masyarakat
tersebut hanya terjadi dalam konteks dimana tindakan tersebut berlangsung.
Filsafat kontemporer tentang ilmu pengetahuan telah digunakan untuk memahami
metodologi ahli kelembagaan dan bagaimana kelembagaan ini berbeda dari ekonomi
konvensional. Dalam perspektif ini, tugas utama ilmuwan modern adalah memahami,
menginterpretasi, dan menjelaskan kenyataan yang ada disekitarnya, Robert Heilbroner
mengklasifikasi data ekonomi ke dalam dua kategori yang berbeda. Pertama, data berhubungan
dengan ‘the physical nature of production process’, sedangkan yang kedua, data yang
berhubungan dengan ‘the behavioral response to economic stimuli’. Di lain pihak, seperti yang
dijelaskan oleh Wilber dan Harrison, pada sebagian besar tingkatan analisis ekonomi
kelembagaan dapat ditandai dengan adanya cara pandang yang holistic, sistematis, dan
evolusioner.
Pendekatan kelembagaan lebih berkonsentrasi dalam menangkap dinamika realitas
sosial atas objek yang dikaji. Realitas sosial dilihat lebih dari sekedar seperangkat relasi-relasi
yang spesifik, dimana proses perubahannya inheren dalam kelembagaan sosial, kemudian
disebut sebagai sistem ekonomi. Proses perubahan tersebut sendiri adalah produk dari tindakan
manusia. Aliran kelembagaan bersifat menyeluruh karena berkonsentrasi pada pola hubungan
antara bagian-bagian keseluruhan. Perilaku manusia non rasional dalam pembuatan keputusan
ekonomi. Tindakan individu atau kelompok pun dipengaruhi faktor rasionalitas dan norma.
Aturan-aturan dibuat dengan harapan dapat memandu individu untuk bertindak rasional. Akan
tetapi, bisa jadi aturan-aturan mengikuti tindakan rasional individu. Terkadang, tindakan
rasional menghalangi norma sosial ataupun terjadi sebaliknya. Ekonomi kelembagaan juga
substansinya adalah ekonomi perbandingan/komparatif yang terdapat kritik antara lain

5
fokusnya pada perbedaan kedalaman tetapi mengabaikan perbedaan jenisnya, mengabaikan
potensi interaksi, dan juga kerap kali terjebak pada parsialitas.
Pada tingkat yang lebih konkret, ekonomi kelembagaan memberi apresiasi terhadap
sentralisasi kekuasaan dan konflik dalam proses ekonomi. Dengan dasar ilmiah, ekonomi
kelembagaan meletakkan aspek sosial, budaya, hukum, politik, dan lain-lain sebagai satu
kesatuan unit analisis yang tidak dapat dipisahkan.

2.4 Metode Kualitatif: Partikularitas dan Subjektivitas


Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut
pendekatan epistemologinya. Jika metode kualitatif bersandar pada pendekatan interpretative,
maka metode kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistic. Apabila pendekatan
interpretative dikaitkan dengan pelaku penelitian, maka fokusnya adalah persoalan
subjektivitas. Namun, jika pendekatan interpretatif dihubungkan dengan objek penelitian maka
fokusnya adalah masalah partikularitas. Partikularitas disini bisa dimaknai sebagai
heterogenitas karakteristik sosial dalam masyarakat. Artinya, setiap fenomena sosial selalu
spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu. Tentu saja keyakinan ini bertentangan dengan
premis universalitas dalam penelitian kualitatif, yang menganggap peristiwa/kejadian sosial
bergerak secara paralel meskipun dengan latar sosial yang berlainan.
Universalitas dalam penelitian kualitatif terangkum dalam sebuah keyakinan bahwa
tindakan atau perilaku individu/kelompok berlaku sama dalam setting sosial yang sejenis pula
(transferability). Pada titik ini, penelitian kualitatif tidak terlalu bersemangat untuk
memproyeksikan suatu tindakan dalam jangka panjang, tetapi lebih tertarik untuk mencari
penjelasan mengapa individu/kelompok melakukan sesuatu dalam latar belakang sosial
tertentu. Sebaliknya, jika penelitian kualitatif gagap dalam menjelaskan suatu fenomena, maka
hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan ilmiah untuk disampaikan kepada masyarakat.
Dengan bahasa lain, penelitian kualitatif itu telah gagal menjalankan fungsinya, yakni
memberikan daya penjelas. Penelitian kualitatif selalu berupaya memberikan penjelasan atas
temuan yang diberikan, tanpa berpretensi meramalkan kejadian di masa depan. Sementara,
penjelasan dalam penelitian kualitatif selalu bersinggungan dengan latar sosial tertentu
(partikular) dan tidak berlaku untuk segala latar belakang sosial (universal). Lewat premis
partikularitas tersebut, sebenarnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal:
1. Keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan

6
2. Penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan ‘keterbatasannya’.
Tentu saja ‘keterbatasan’ yang diumumkan itu berpotensi memunculkan tuduhan
bahwa penelitian kualitatif memiliki kelemahan dibandingkan penelitian kuantitatif
Setiap penelitian kualitatif bisa langsung menunjuk satu daerah, komunitas, kelompok,
keluarga, bahkan individu sebagai sampel penelitian. Prosedur ini terjadi karena penelitian
kualitatif tidak berorientasi kepada hasil yang memiliki daya prediksi, melainkan
memfokuskan kepada proses penggambaran yang berujung kepada penjelasan. Hal ini jelas
berbeda dengan penelitian kuantitatif yang serba ketat dalam pemilihan dan penentuan jumlah
sampel. Penelitian kuantitatif menganggap sampel mewakili gambaran populasi, sehingga
‘jumlah’ sangat mempengaruhi layak tidaknya sampel tersebut menjadi representasi populasi.
Selanjutnya dalam tradisi akademik, nilai keilmiahan biasanya diukur dengan
pendekatan ‘nomotetik’ dan pendekatan ‘idiosinkratik’. Jika dua pendekatan tersebut
diterjemahkan ke dalam dua metode penelitian, yakni penelitian kuantitatif dan kualitatif, maka
pendekatan nomotetik berpilin dan penelitian kuantitatif dan pendekatan idiosinkratik
bersenyawa dengan penelitian kualitatif. Idiosinkratik dan kualitatif tersebut bersenyawa dalam
sebuah premis yang bernama : subjektivitas.
Menurut Wallerstein (1997:139), subjektivitas tersebut bisa didefinisikan sebagai penyusupan
prasikap (biases) ke dalam diri sang peneliti dalam pengumpulan dan interpretasi data.
Singkatnya, selama proses penelitian seorang peneliti dianggap telah membawa nilai-nilai
tertentu yang kemudian digunakan untuk memaknai data/fakta yang diperoleh.
Lalu, Apakah yang disebut dengan objektivitas itu? Secara definitif dengan mudah
konsep itu diterangkan, misalnya, dengan menyatakan bahwa objektivitas dapat dipandang
sebagai hasil belajar manusia, yang merepresentasikan tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang
mungkin ada. Dengan dasar itu, ilmu ekonomi (sebagai bagian dari ilmu sosial) yang
memandang dirinya sebagai ‘science’ itu beranggapan dapat menyajikan suatu penilaian yang
obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta. Pada titik ini, objektivitas sesungguhnya tidak
bersinggungan dengan benar (rasional) atau salah (irrasional), melainkan ditentukan semata-
mata oleh dominasi suatu mazhab atau paham dalam ilmu pengetahuan tersebut. Jadi, hal yang
dianggap paling obyektif sekalipun sebenarnya tetaplah subyektif. Oleh karena itu, sejak awal
penelitian kualitatif tidak mengklaim bahwa penjelasan yang diberikannya adalah objektif,
tetapi subyektif. Namun, subjektivitas dalam penelitian kualitatif tidak berarti di dalamnya tak
mengindahkan panduan-panduan ilmiah yang dipersyaratkan. Pertimbangannya, masing-
masing metode dari penelitian kuantitatif dan kualitatif tetaplah tersembunyi subjektivitas
dalam berbagai rupa. Hanya saja, penelitian kuantitatif dianggap lebih objektif karena

7
keberhasilannya untuk dapat mengukur (measurable) dan membandingkan (comparable) atas
data-data yang dimiliki. Pada Akhirnya, subjektivitas yang melekat dalam penelitian kualitatif
tidak harus dianggap sebagai kelemahan atas pertimbangan ketidakmungkinan bagi peneliti
mengambil jarak dengan latar belakang sosial dan ideologis yang disandangnya.
Selama proses penelitian seorang peneliti dianggap telah membawa nilai-nilai tertentu
yang kemudian digunakan untuk memaknai data/fakta yang diperoleh. Ilmu ekonomi yang
memandang dirinya sebagai ‘science’ beranggapan dapat menyajikan suatu penilaian yang
obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta. Penelitian kuantitatif dianggap lebih objektif
karena keberhasilannya untuk dapat mengukur dan membandingkan atas data-data yang
dimiliki.

2.5 Nonpredikatif : Nilai Guna dan Labilitas


Penelitian kualitatif dan kuantitatif memiliki perbedaan dalam memperkirakan
kemungkinan peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Penelitian kuantitatif
biasanya berakhir pada memperkirakan kemungkinan peristiwa tersebut akan terjadi. Misalnya
bagaimana kemiskinan dapat berkurang, setelah adanya subsidi pendidikan, Kaplan membuat
pernyataan yang kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu "if you can measure it, that ain't".
Pernyataan ini diterjemahkan sebagai upaya perlawanan terhadap pendekatan kuantitatif, yang
percaya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai penemuan apabila bisa diukur.ini mengisyaratkan
bahwa, penelitian kualitatif lebih banyak merujuk kepada pemaknaan, konsep, definisi,
karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atau sesuatu. Sebaliknya, penelitian kuantitatif
berkonsentrasi untuk menghitung dan mengukur sesuatu. Penelitian kualitatif percaya bahwa
data-data dalam ilmu sosial (khususnya ekonomi) tidak stabil. Seperti pendapat Heilbroner
yang membagi data ekonomi dalam dua kategori:
1. Data yang berkaitan dengan sifat fisik dari proses produksi
2. Data yang berhubungan dengan respons perilaku atas rangsangan atau kebijakan
ekonomi. Tetapi tidak dengan penelitian kualitatif yang mana tidak berminat untuk
memperkirakan kejadian di masa depan karena dua alasan berikut:
● Pertama pada tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus tahu mengenai
kejadian di masa depan, ini dimaksudkan agar hanya untuk memahami perilaku sosial yang
tengah terjadi sehingga peneliti dapat menemukan kebijakan yang lebih baik untuk masa
depan.

8
● Kedua pada tataran pragmatis nilai guna suatu penelitian bukan terletak pada
kemampuannya untuk membuat prediksi, melain kesanggupannya untuk memberikan
pemahaman-pemahaman baru melalui analisis yang mendalam.
Pada akhirnya, sifat nonpredikatif menjadi ukuran sampai sejauh mana penelitian
kualitatif sanggup untuk memfungsikan dirinya sehingga jika penelitian kualitatif ini gagal
memberikan gambaran atas peristiwa sosial yang menjadi objek penelitian, maka eksistensi
nya boleh dikatakan runtuh. Sebaliknya penelitian kuantitatif tidak dapat membuat sebuah
ramalan maka penelitian tersebut dapat dikatakan gagal. Namun tidak lantas penelitian
kuantitatif dikatakan salah jika digunakan dalam analisis ekonomi kelembagaan. Misalnya,
ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan bisa dilacak dari seberapa besar biaya transaksi
(transaction cost) yang muncul. Semakin besar biaya transaksi yang muncul dari proses
pertukaran, berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisien.
Secara subjektif, seseorang tidak dapat melepaskan diri dari apa yang diketahuinya,
sehingga bahkan jika ia mencari kebenaran, ia lebih cenderung meragukan keberadaan realitas
objektif. Oleh karena itu, ketidakpastian ini telah menjadi ukuran fungsi penelitian kualitatif.
Data dari ilmu-ilmu sosial, yaitu (sifat fisik proses produksi) dan respons terhadap kebijakan
(perilaku dalam menghadapi stimulus ekonomi), dianggap tidak stabil. Meski data respons
terhadap kebijakan ini relatif stabil, namun juga rentan berubah. Ekonomi institusional
berfokus pada struktur kekuasaan. Metode yang digunakan juga dimaksudkan untuk
memberikan jalan keluar. Metode kuantitatif dalam ekonomi kelembagaan dapat diukur dengan
biaya transaksi. Untuk beberapa tujuan, metode kuantitatif juga berguna untuk ekonomi
institusional.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peran kelembagaan sendiri adalah menjadi stimulus dan petunjuk terhadap perilaku
individu. Namun, keinginan individu (individual preferences) bukan faktor fundamental dari
decision making, sehingga tidak memiliki teori. Dengan demikian, analisis yang digunakan
bukan hanya individu subjeknya tapi banyak orang. Di lain pihak, seperti yang dijelaskan oleh
Wilber dan Harrison, pada sebagian besar tingkatan analisis ekonomi kelembagaan dapat
ditandai dengan adanya cara pandang yang holistic, sistematis, dan evolusioner. Pendekatan
kelembagaan lebih berkonsentrasi dalam menangkap dinamika realitas sosial atas objek yang
dikaji. Realitas sosial dilihat lebih dari sekedar seperangkat relasi-relasi yang spesifik, dimana
proses perubahannya inheren dalam kelembagaan sosial, kemudian disebut sebagai sistem
ekonomi.
Dalam kelembagaan adanya metode kualitatif dan kuantitatif dalam pendekatan ilmu
sosial. konstruksi penelitian kuantitatif terdiri dari general, objektif, dan terukur. Sedangkan,
pendekatan kualitatif terdiri tiga premis yaitu partikular, subyektif, dan nonpredikatif. Metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut pendekatan
epistemologinya. Penelitian kualitatif percaya bahwa data-data dalam ilmu sosial (khususnya
ekonomi) tidak stabil. Seperti pendapat Heilbroner yang membagi data ekonomi dalam dua
kategori yakni data yang berkaitan dengan sifat fisik dari proses produksi dan data yang
berhubungan dengan respons perilaku atas rangsangan atau kebijakan ekonomi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, A.E. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.Penerbit


Erlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai