Dosen Pengampu:
Oleh :
Kelompok I
UNIERSITAS UDAYANA
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan paper ini dengan tepat waktu. Adapun topik dari paper
Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Kelembagaan yang telah memberikan tugas
terhadap kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam pembuatan paper ini.
Kami tentu menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami menantikan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, agar kami dapat menambah
wawasan mengenai penulisan paper yang lebih baik di masa yang akan datang. Harapan kami,
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Para ilmuan sosial yang memiliki latar belakang yang beragam mendefinisikan
kelembagaan secara beragam menurut sudut pamndang keilmuwannya. Douglas C. North
seorang sejarahwan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batas-batas
yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan
interaksi politik, social dan ekonomi (North, 1990). Sedangkan menurut Schotter (1981),
kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua
anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang.
Studi tentang Ekonomi Kelembagaan akhir-akhir ini begitu banyak memperoleh tempat
dikalangan pemikir ekonomi dan sosiologi. Perkembangan studi Ekonomi Kelembagaan yang
demikian dinamis memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep kelembagaan itu
sendiri. Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economic) adalah cabang ilmu ekonomi yang
mempelajari pengaruh dan peran institusi formal dan informal terhadap kinerja ekonomi, baik
pada tataran makro maupun tataran mikro. Ekonomi Kelembagaan membahas masalah
ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan kehidupan social serta hubungannya dengan
kepemilikan seseorang atau property right. Ekonomi Kelembagaan di Indonesia telah
mengalami penyimpangan dari pengertian normative. Kini Pembangunan ekonomi
berkelanjutan tidak lagi mementingkan korelasi keharmonisan antar aspek social, ekonomi, dan
lingkungan.
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan klalsik atau neoklasik lebih banyak memakai tiga instrument yang pertama
untuk menguliti setiap persoalan ekonomi, sebaliknya pendekatan kelembagaan lebih
menekankan kepada piranti yang terakhir untuk menganalisi fenomena ekonomi. Dalam
sejarah ahli kelembagaan (institutionalists) mempunyai kepedulian terhadap evolusi struktur
kekuasaan dan aturan main, proses penciptaan dan penyelesaian konflik terhadap aktivitas
ekonomi yang tejadi. Sebaliknya, ahli ekonomi klasik mendeskripsikan kasus khusus
pertukaran (exchange) dalam sebuah dunia yang telah dirumuskan karakteristik asumsinya
yang mungkin tidak ada hubungannya dengan dunia ini. Namun akibat dominasi pandangan
neoklasik dalam memformulasikan kebijakan ekonomi sehingga penyelesaian persoalan
ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh tiga instrument diatas. Dari itu membuat pemikiran
ekonomi kehilangan elan keragaman untuk menguliti setiap masalah secara lebih jernih.
3
asumsi tersebut. Dalam ekonomi neoklasik, prediksi adalah pengambilan Keputusan secara
logis dari postulat atau asumsi mendasar yang telah dibuat. Selanjutnya bukti prediktif harus
memiliki validitas empiris atau akurat didalam pengambilan Keputusan tersebut. Dengan
demikian sifat dari bukti prediktif adalah mudah untuk memahami dan hanya membutuhkan
sedikit penjelasan (little elaboration). Tetapi prediksi bukan sebuah ramalan katena
prediksisecara logis diperoleh dari asumsi. Suatu ramalan selalu merujuk pada masa mendatang
sedanfkan predksi sering merujuk pada masa lalu.
1) Kelembagaan (institutions)
2) Kebiasaan (habits
3) Aturan (rules)
4) Perkembangannya (evolution)
4
penjelasannya dari otoritas, seperti lelaziman (custom), hukum, politik, agama, dan
moralitas. Lewat frasel lain perbedaan antara teknologi sisi, dan pada sisi lain
kecondongan yang sangat ganas dan eksploitatif pada diri individu.
Oleh sebab itu dengan penjelasan tersebut setiap analis kelembagaan agar untuk
berhati-hati dalam merumuskan perilaku. Menurut Dugger 1998 aliran perilaku
(behaviorism) mendasrkan pada akar Tindakan manusia didalam struktur kelembagaan
(norma-norma, pekerjaan, peraturan, pemanfaatan dan keinginan). Behaviorisme
memahami keinginan individu, bila harus digunakan dalam analisis, sebagai suatu
keinginan yang muncul dari kelembagaan budaya individu tersebut lahir.
5
oleh undang-undang dan adat, yang dikembangkan dengan dasar kasus per kasus (bila
peraturan tidak lagi berfungsi dengan memuaskan). Hasil dari semua transaksi tersebut
tentu saja tidak pasti dan masih bersifat sementara, yaitu suatu fungsi dari metode
prosedur umum dari berbagai pemikiran tentang masa depan dan kekuasaan relatif
(relative power). Sistem ini selalu berubah dan tidak pernah mencapai keseimbangan
yang berasal dari luar. Dengan demikian, oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat
sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan
kesederajatan distribusi. Namun, para ahli kelembagaan melihat pasar sebagai
mekanisme yang bias dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi
dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol.
Perilaku manusia nonrasional dalam pembuatan keputusan ekonomi. Tindakan individu atau
kelompok pun dipengaruhi faktor rasionalitas dan norma. Aturan-aturan dibuat dengan harapan
dapat memandu individu untuk bertindak rasional. Akan tetapi, bisa jadi aturan-aturan
mengikuti tindakan rasional individu. Terkadang, tindakan rasional menghalangi norma sosial
ataupun terjadi sebaliknya. Ekonomi kelembagaan juga substansinya adalah ekonomi
perbandingan/komparatif yang terdapat kritik antara lain fokusnya pada perbedaan kedalaman
6
tetapi mengapaikan perbedaan jenisnya, mengabaikan potensi interaksi, dan juga kerap kali
terjebak pada parsialitas.
7
2.3 Metode Kualitatif : Partikularitas dan Subjektivitas
Memahami individu atau masyarakat bukan sekadar soal 'subyek', tetapi juga 'metode'.
Metode itulah yang kemudian akan mengantar setiap ekonomi kepada sebuah kebenaran.
“Kebenaran” inilah yang akan diuji dalam dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yakni metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Konstruksi penelitian kuantitatif berdiri di atas tiga premis
yaitu: general, obyektif, dan terukur (prediktif). Melalui keyakinan itu, pendekatan kuantitatif
percaya bahwa fenomena sosial itu berlaku secara universal, baik peneliti maupun obyek
penelitian tidak dibebani dengan nilai-nilai, dan setiap tindakan individu merupakan turunan
(derivasi) dari perilaku kumpulan individu. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
penelitian kuantitatif telah membuktikan bahwa generalisasi, obyektivikasi, dan keterukuran
telah banyak membantu untuk memahami fenomena sosial yang rumit. Namun, pandangan lain
juga berbicara dengan lantang, bahwa fenomena sosial harus dimengerti sebaliknya: partikular,
subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang menjadi dasar dari konstruksi penelitian
kualitatif, yang sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan.
Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut
pendekatan epistemologinya. Jika metode kualitatif bersandar pada pendekatan interpretif,
maka metode kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik. Apabila pendekatan
interpretif dikaitkan dengan pelaku penelitian, maka fokusnya adalah persoalan subyektivitas.
Namun, jika pendekatan interpretif dihubungkan dengan obyek penelitian, maka fokusnya
adalah masalah partikularitas. Partikularitas di sini bisa dimaknai sebagai heterogenitas
karakterisik sosial dalam masyarakat. Tentu saja keyakinan ini bertentangan dengan premis
universalitas dalam penelitian kuantitatif, yang menganggap peristiwa/kejadian sosial bergerak
secara paralel meskipun dengan latar sosial yang berlainan. Ketegangan ini terus dipelihara
sampai kini sehingga belum ada titik temu di antara kedua metode tersebut.
8
dalam menjelaskan suatu fenomena, maka hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan
ilmiah untuk disampaikan kepada masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian kualitatif selalu berupaya memberikan
penjelasan atas temuan yang diberikan, dan cenderung tidak meramalkan kejadian di masa
depan. Sementara, penjelasan dalam penelitian kualitatif selalu bersinggungan dengan latar
sosial tertentu dan tidak berlaku untuk segala latar belakang sosial (universal). Dengan begitu,
penjelasan yang diberikan dalam penelitian kualitatif selalu bersifat partikular: hanya
mengungkapkan fenomena yang terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Lewat premis
vipartikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (i)
keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (ii) penelitian kualitatif secara rendah
hati telah memproklamasikan keterbatasannya'. Tentu saja keterbatasan' yang diumumkan itu
berpotensi memunculkan tuduhan bahwa penelitian kualitatif memiliki kelemahan
dibandingkan penelitian kuantitatif. Namun, tentu realitasnya tidaklah seperti itu, karena pada
dasarnya setiap pendekatan penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif, masing-masing
mempunyai kelemahan dan kelebihan yang diakibatkan oleh perbedaan metode maupun
orientasi yang diinginkan.
Pada akhirnya, setiap penelitian harus berurusan dengan representasi, yakni pilihan dan
jumlah sampel yang dipakai. Dalam konteks sifat partikularitas yang melekat dalam dirinya,
penelitian kualitatif tidak berbicara mengenai 'jumlah' yang menyuarakan 'representasi. Setiap
penelitian kualitatif bisa langsung menunjuk satu daerah, komunitas, kelompok, keluarga,
bahkan individu; sebagai sampel penelitian. Satu individu tersebut langsung merepesentasikan
dirinya sendiri, tanpa harus memiliki pretensi untuk mewakili individu yang lain. Hal ini jelas
lain dengan penelitian kuantitatif yang serba ketat dalam pemilihan dan penentuan jumlah
sampel. Penelitian kuantitatif menganggap jumlah sampel yang diambil diandaikan bisa
mewakili keseluruhan populasi dan dengan modal itulah sebuah generalisasi bisa diambil dan
prediksi dapat dilakukan.
9
Obyektivitas dapat dipandang sebagai hasil belajar manusia, yang merepresentasikan
tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang mungkin ada (Wallerstein, 1997:142). Dengan dasar
itu, ilmu ekonomi (sebagai bagian dari ilmu sosial) beranggapan dapat menyajikan suatu
penilaian yang obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta. Padahal, di balik itu, ilmu
ekonomi yang berpretensi 'bebas nilai' itu sebenarnya menyembunyikan dalam dirinya suatu
filsafat moral tertentu sebagai dasar teori (Rahardjo, 1988:xvi). Jika pemikiran ini diterima,
maka sebetulnya obyektivitas yang dimaksud adalah penilaian berdasarkan pengetahuan yang
keberadaannya telah diterima secara umum.
Hal yang dianggap paling obyektif sekalipun sebenarnya tetaplah subyektif. Oleh karena
itulah, sejak awal penelitian kualitatif tidak mengklaim bahwa penjelasan yang diberikannya
adalah obyektif, tetapi subyektif. Namun, subyektivitas dalam penelitian kualitatif tidak berarti
di dalamnya tak mengindahkan panduan-panduan ilmiah yang dipersyaratkan. Lebih dari itu,
penelitian kualitatif juga mengurangi semaksimal mungkin intervensi peneliti terhadap
ungkapan yang dituturkan oleh responden penelitian. Pada saat menuliskan hasil wawancara,
misalnya, peneliti diminta untuk menuliskan bentuk asli dari tuturan yang diungkapkan
responden, walaupun struktur dan kosakata responden tersebut tidak bagus. Dengan menyalin
tuturan asli tersebut diharapkan pembaca memiliki ruang tersendiri untuk memberikan
interpretasi, tanpa harus setuju dengan tafsiran peneliti. Melalui prosedur semacam itulah,
subyektivikasi penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar-pagar akademik sehingga bisa
menjaga nilai keilmiahannya. Dengan cara pandang itu, sebetulnya dikotomi obyektivikasi dan
subyektivikasi dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif harus segera diakhiri.
Pertimbangannya, masing-masing metode dari penelitian kuantitatif dan kualitatif tetaplah
tersembunyi subyektivitas dalam berbagai rupa. Hanya saja, penelitian kuantitatif dianggap
lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur dan membandingkan atas data-
data yang dimiliki.
10
Terdapat dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak berniat untuk meramalkan
kejadian di masa depan yaitu, (1) tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus
tahu kejadian di masa depan karena penelitiannya dimaksudkan untuk memahami perilaku
sosial yang tengah terjadi dan (2) tataran pragmatis nilai gunanya dalam menyodorkan
pemahaman-pemahaman baru melalui analisis mendalam. Menurut kaum subyektif, manusia
tidak dapat menghindari diri dari apa yang ia ketahui sehingga meski mereka mencari
kebenaran, mereka lebih meragukan adanya realitas obyektif. Oleh karena itu, sifat
nonprediktif ini menjadi ukuran fungsi dari penelitian kualitatif. Data-data ilmu sosial yaitu
(proses produksi the physical nature of production process) dan respon atas kebijakan (the
behavioral to economic stimuli), dianggap tidak stabil. Walaupun data mengenaisikap respon
atas kebijakan ini lebih stabil tetapi rentan terhadap perubahan. Ekonomi kelembagaan
berfokus pada struktur kekuasaan. Pendekatan yang digunakan pun bertujuan memberikan
jalan keluar. Pendekatan kuantitatif dalam ekonomi kelembagaan dapat diukur dengan biaya
transaksi. Untuk tujuan tertentu,
Sekian dekade lampau, Kaplan (1964:206) membuat pernyataan yang kemudian menjadi
sangat terkenal, yakni if you can measure it, that ain't if Pernyataan itu mungkin oleh sebagian
orang akan diterjemahkan sebagai upaya perlawanan terhadap pendekatan kuantitatif, yang
percaya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai penemuan apabila bisa diukur, Tetapi, pernyataan
11
itu juga dapat diterjemahkan secara lebih moderat, bahwa pengukuran bukan merupakan isu
sentral dari sebuah penelitian, Justru, dalam tradisi penelitian kualitatif, isu utamanya adalah
apa, bagaimana, kapan, dan di mana atas suatu fenomena, jadi berbicara tentang esensi dan
lingkungan/atmosfer (ambience). Dengan begitu, penelitian kualitatif lebih banyak merujuk
kepada pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas
sesuatu. Sebaliknya, penelitian kuantitatif berkonsentrasi untuk menghitung dan mengukur
sesuatu (Berg, 2004:2-3). Dengan karakter tersebut, bisa dipahami apabila fokus dari metode
kualitatif bukan untuk meramal sesuatu, tetapi menjelaskan secara utuh proses di balik
fenomena tersebut. Sementara itu, konsentrasi metode penelitian kuantitatif memang untuk
memprediksi dengan dasar hitungan dan pengukuran yang telah dilakukan. Pada titik inilah
target antara penelitian kualitatif dan kuantitatif berlainan, di mana yang pertama memberikan
penjelasan dan yang kedua menyodorkan ramalan.
Di luar argumentasi itu, sifat penelitian kualitatif yang fokus kepada penjelasan harus
dipahami sebagai konsekuensi atas pilihan metode subyektif untuk mengenali fakta, seperti
yang telah di ulas di atas. Seperti diketahui, pendekatan subyektif mengasumsikan bahwa
pengetahuan tidak mempunyai sifat obyektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpertif.
Lebih khusus lagi, sebagaimana dikatakan Jalbert (dalam Mulyana, 2003:33), realitas sosial
dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial yang bersifat komunikatif, Seperti ditegaskan Pace
12
dan Faules, studi mengenai persepsi mendukung sifat yang sangat aktif dan selektif dari proses
ini. Hal ini dengan sendirinya menimbulkan keraguan mengenai apakah manusia akan
menemukan sesuatu yang "obyektif Persoalannya, menurut kaum subyektivis, manusia tidak
dapat sepenuhnya memisahkan diri dari apa yang diketahuinya. Jadi, meskipun mereka mencari
kebenaran, mereka lebih meragukan bahwa terdapat realitas obyektif. Dengan dasar metode
subyektif inilah sebuah pengukuran menjadi 'mustahil dilakukan, sebab di dalam pengukuran
implisit terdapat obyektivitas, atau setidaknya di dalam pengukuran terdapat sebuah kestabilan.
Dengan asumsi stabilitas itulah sebuah peramalan dilakukan oleh penelitian kuantitatif.
Oleh karena itu, sifat nonprediktif itu dengan sendirinya menjadi ukuran sampai sejauh
mana penelitian kualitatif sanggup untuk memfungsikan dirinya Jika penelitian kualitatif tidak
mampu memberikan gambaran bagi masyarakat (atau pemerintah) tentang efek dari suatu
kebijakan, maka keberadaannya masih bisa dimaklumi. Namun, apabila penelitian kualitatif
gagal memberikan makna atau kesadaran atas peristiwa sosial yang menjadi obyek penelitian,
maka eksistensinya boleh dikatakan telah runtuh. Hal ini jelas berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang kekuatannya justru terletak pada daya ramal, walaupun hanya dengan
mengandalkan fakta-fakta/data-data yang amat sederhana. Bahkan, bila data atau fakta yang
terdapat dalam obyek penelitian teramat banyak, atau sebagian tidak bisa dikuantifikasi, maka
penelitian kuantitatif membolehkan sebagian data-data tersebut dibuang agar sebuah ramalan
dapat diambil. Melalui kesadaran inilah bisa dipahami bila keberadaan penelitian kuantitatif
akan dilecehkan bila di dalam dirinya tidak mampu memproduksi ramalan, karena akhimya
yang tersisa tinggallah onggokan data-data yang tidak memiliki bunyi apapun.
Selebihnya, penelitian kualitatif percaya bahwa data-data dalam ilmu sosial (khususnya
ekonomi) tidaklah stabil. Seperti yang telah ditulis di muka, Heilbroner (dalam Wilber dan
Harrison, 1988:101) membagi data ekonomi dalam dua ketegori: (i) data yang berkaitan dengan
sifat fisik dari proses produksi (the physical nature of production process); dan (ii) data yang
berhubungan dengan respons perilaku atas rangsangan kebijakan ekonomi (the behavioral
respons to economic stimuli). Meskipun jenis data yang terakhir ini relatif lebih stabil. karena
munculnya watak, tradisi, dan kepercayaan di dalam masyarakat, tetap saja dalam jangka
panjang data-data tersebut akan mengalami perubahan (evolusi). Konsekuensinya, dengan
instabilitas data tersebut sebuah generalisasi menjadi tidak mungkin diambil sehingga prediksi
pun sangat sulit untuk dilakukan. Bila proposisi ini diteruskan, maka sebuah ramalan dengan
mengandalkan data yang labil ibarat orang hanyut yang berpegangan pada pohon yang tidak
13
mempunyai akar. Dengan keyakinan inilah penelitian kualitatif tetap teguh dengan premis yang
diusungnya hingga kini: bahwa yang terpenting bukanlah ramalan melainkan penjelasan.
Sungguh pun begitu, tidak lantas penelitian kuantitatif "haram" digunakan dalam analisis
ekonomi kelembagaan. Sampai pada batas tertentu, ukuran ukuran yang mungkin
dikuantifikasi tetap bermanfaat untuk dipakai sehagai analisis ekonomi kelembagaan.
Misalnya, ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan, salah satunya, bisa dilacak dari
seberapa besar biaya transaksi (transaction costx) yang muncul. Semakin besar biaya transaksi
yang muncul dari proses pertukaran, berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisien.
Untuk tiba pada kesimpulan efisien atau inefisien itulah sering kali-dibutuhkan pengukuran
(angka). Sesulit dan seabstrak apa pun variabel atau pengkuran yang dilakukan, hal itu tetap
bermanfaat bagi penemuan gambaran tentang efisiensi suatu kelembagaan. Oleh karena
kesadaran itulah, akhir-akhir ini banyak ahli ekonomi kelembagaan (terutama yang
menggunakan alat analisis biaya transaksi) yang berupaya untuk mengkuantifikasi analisisnya
untuk menunjukkan kinerja suatu kelembagaan. Jadi, dengan penggambaran yang utuh ini
diharapkan tidak ada dikotomi yang berlebihan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif
dalam ekonomi kelembagaan. Sebab, untuk tujuan tertentu, harus diakui penelitian kuantitatif
bisa mendonorkan faedah yang besar bagi pengembangan analisis ekonomi kelembagaan.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
15
DAFTAR PUSTAKA.
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Jakarta. Erlangga.
Barusman, Y. S., Waskito, B., Gultom, I. A., & Puspa, A. K. (2017). Manajemen Strategi Studi
Kasus Bersama Tambak Udang Rakyat. Bandar Lampung: Universitas Bandar
Lampung.
16