Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA EKONOMI KELEMBAGAAN

Dosen Pengampu:

Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si.

Oleh :

Kelompok I

Wila Delvia (01/2207511066)

Diana Leko (02/2207511067)

Fitri Adelia Pinem (03/2207511068)

Hulman Stevanus Simatupang (04/2207511069)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBAGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIERSITAS UDAYANA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan paper ini dengan tepat waktu. Adapun topik dari paper

yang kami susun adalah “Paradigma Ekonomi Kelembagaan”.

Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Kelembagaan yang telah memberikan tugas
terhadap kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam pembuatan paper ini.

Kami tentu menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami menantikan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, agar kami dapat menambah
wawasan mengenai penulisan paper yang lebih baik di masa yang akan datang. Harapan kami,

semoga paper ini bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 09 Maret 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
2.1 Kelembagaan Perilaku Teknologi dan Idiologis ............................................................................... 3
2.2 Realitas dan Evolusi .......................................................................................................................... 6
2.3 Metode Kualitatif : Partikularitas dan Subjektivitas ......................................................................... 8
2.4 Nonprediktif: Nilai Guna dan Liabilitas Data ................................................................................. 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 15
3.1 Simpulan ......................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Para ilmuan sosial yang memiliki latar belakang yang beragam mendefinisikan
kelembagaan secara beragam menurut sudut pamndang keilmuwannya. Douglas C. North
seorang sejarahwan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batas-batas
yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan
interaksi politik, social dan ekonomi (North, 1990). Sedangkan menurut Schotter (1981),
kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua
anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang.

Studi tentang Ekonomi Kelembagaan akhir-akhir ini begitu banyak memperoleh tempat
dikalangan pemikir ekonomi dan sosiologi. Perkembangan studi Ekonomi Kelembagaan yang
demikian dinamis memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep kelembagaan itu
sendiri. Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economic) adalah cabang ilmu ekonomi yang
mempelajari pengaruh dan peran institusi formal dan informal terhadap kinerja ekonomi, baik
pada tataran makro maupun tataran mikro. Ekonomi Kelembagaan membahas masalah
ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan kehidupan social serta hubungannya dengan
kepemilikan seseorang atau property right. Ekonomi Kelembagaan di Indonesia telah
mengalami penyimpangan dari pengertian normative. Kini Pembangunan ekonomi
berkelanjutan tidak lagi mementingkan korelasi keharmonisan antar aspek social, ekonomi, dan
lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa perilaku teknologis dan idiologis ?


2) Apa itu realitas dan evolusi ?
3) Apa itu metode kualitatif : partikularitas dan subjektivitas ?
4) Apa itu nonprediktif: nilai guna dan liabilitas data ?

1
1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui perilaku teknologis dan idiologis.


2) Untuk mengetahui realitas dan evolusi.
3) Untuk mengetahui metode kualitatif : partikularitas dan subjektivitas.
4) Untuk mengetahui nonprediktif: nilai guna dan liabilitas data.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelembagaan Perilaku Teknologi dan Idiologis


Analisis ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan menurut Miller 1988 yakni:

1. Alokasi Sumber Daya (resource allocation)


2. Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi dan harga (levels of
growth employment income, production and prices)
3. Distribusi pendapatan (income distribution)
4. Struktur kekuasaan (the structure of power)

Pendekatan klalsik atau neoklasik lebih banyak memakai tiga instrument yang pertama
untuk menguliti setiap persoalan ekonomi, sebaliknya pendekatan kelembagaan lebih
menekankan kepada piranti yang terakhir untuk menganalisi fenomena ekonomi. Dalam
sejarah ahli kelembagaan (institutionalists) mempunyai kepedulian terhadap evolusi struktur
kekuasaan dan aturan main, proses penciptaan dan penyelesaian konflik terhadap aktivitas
ekonomi yang tejadi. Sebaliknya, ahli ekonomi klasik mendeskripsikan kasus khusus
pertukaran (exchange) dalam sebuah dunia yang telah dirumuskan karakteristik asumsinya
yang mungkin tidak ada hubungannya dengan dunia ini. Namun akibat dominasi pandangan
neoklasik dalam memformulasikan kebijakan ekonomi sehingga penyelesaian persoalan
ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh tiga instrument diatas. Dari itu membuat pemikiran
ekonomi kehilangan elan keragaman untuk menguliti setiap masalah secara lebih jernih.

Menurut Veblen, kelembagaan adalah Kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal


sebagai subyek dari perubahan dramatis yang direproduksi secara kurang sempurna melalui
kebiasaan pada masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian kelembagaan
berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu.

Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model (patter model) berupa teori-teori,


sementara ahli neoklasik berusaha menyusun model-model prediktif berupa teori-teori. Model-
model pola menjelasan perilaku manusia (human behavior) dengan menempatkannya secara
cermat didalam konteks kelembagaan dan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku
manusia dengan menyatakan asumsi-asumsi dan menarik keismpulan implikasi (prediksi) dari

3
asumsi tersebut. Dalam ekonomi neoklasik, prediksi adalah pengambilan Keputusan secara
logis dari postulat atau asumsi mendasar yang telah dibuat. Selanjutnya bukti prediktif harus
memiliki validitas empiris atau akurat didalam pengambilan Keputusan tersebut. Dengan
demikian sifat dari bukti prediktif adalah mudah untuk memahami dan hanya membutuhkan
sedikit penjelasan (little elaboration). Tetapi prediksi bukan sebuah ramalan katena
prediksisecara logis diperoleh dari asumsi. Suatu ramalan selalu merujuk pada masa mendatang
sedanfkan predksi sering merujuk pada masa lalu.

Ide inti dari paham kelembagaan (institutionalism) yaiyu

1) Kelembagaan (institutions)
2) Kebiasaan (habits
3) Aturan (rules)
4) Perkembangannya (evolution)

Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektifa, interdispliner dan nonprediktif.


Ahli ekonomi kelembagaan pada umumnya focus kepada konflik daripada keharmonisan, pada
pemborosan dibanding efisiensi dan pada ketidakpastian dibandingkan pengetahuan yang
sempurna. Sehingga Pusat kepentingan kelembangaan adalah kepada eksitensi dari
penyimpangan kekuasaan dan hak khusus daripada anggapan tentang perilaku individu yang
atomistik.

➢ Aliran Veblen (Veblenian) membedakan antara perilaku teknologis dan


kelembagaan sebagai titik awal untuk menerangkan kontribusi teoritis dari aliran
kelembagaan.
Veblen membedakan antara dua jenis pola perilaku dan bentuk-bentuk pikiran
yang ada didalam berbagai tingkatan di semua kebudayaan. Pikiran dan tindakan
teknologis atau instrumental meliputi penjelasan dari sebab ke akibat. Tindakan ini
adalah tindakan yang bukan bersifat kekerasan atau paksaan dan menjadi pokok dari
verifikasi empiris tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya,
perilaku kelembagaan dan seremonial dibengkokkan dengan pertimbangan-
pertimbangan peringkat dan status. Perilaku ini dilakukan dengan tekanan sosial dan
diverifikasi melalui kewenangan yang ada. Aktivitas yang bersifat instrumental, yakni
upaya untuk menghentikan pemahaman keilmuan atau keilmiahan, merupakan
kekuatan dinamis dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya,kelembagaan adalah
kebiasaan mapan yang umum dari sistem status di masyarakat dan menemukan

4
penjelasannya dari otoritas, seperti lelaziman (custom), hukum, politik, agama, dan
moralitas. Lewat frasel lain perbedaan antara teknologi sisi, dan pada sisi lain
kecondongan yang sangat ganas dan eksploitatif pada diri individu.

Oleh sebab itu dengan penjelasan tersebut setiap analis kelembagaan agar untuk
berhati-hati dalam merumuskan perilaku. Menurut Dugger 1998 aliran perilaku
(behaviorism) mendasrkan pada akar Tindakan manusia didalam struktur kelembagaan
(norma-norma, pekerjaan, peraturan, pemanfaatan dan keinginan). Behaviorisme
memahami keinginan individu, bila harus digunakan dalam analisis, sebagai suatu
keinginan yang muncul dari kelembagaan budaya individu tersebut lahir.

Selanjutnya, ahli kelembagaan memandang individu secara terbatas dan


mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan (convention). Mereka tidak
memandang disiplin ilmunya sebagai ilmu pengetahuan pilihan yang bersifat mekanis
(mechanistic 'science of choice’). Keinginan dan seleksi diatur dan dikendalikan banyak
cara dengan hukum dan kebiasaan, dengan kesenjangan dan ketinggalan informasi,
dengan kekerasan/paksaan (coercion) dari yang kuat kepada yang lemah, dan dengan
kemampuan mereka untuk mengakses kekuasaan pasar sehingga bisa mencampuri dan
memanipulasi pasar. Dalam hal ini, Commons mendeskripsikan kepemilikan pribadi
bukan sebagai kondisi 'alamiah' (natural condition), tetapi lebih sebagai perkembangan
di luar kondisi-kondisi historis dan menjadi subyek dari kontrol manusia. Pemapanan
hak-hak kepemilikan akan memberikan hak penggunaan dan kekuasaan di dalam proses
pertukaran, yang semakin meningkat dengan tingginya proses industrialiasi dan
transaksi-transaksi di antara kelompok ngontrol berkompetisi. Pada titik ini, hak atasan
untuk mengarahkan dan mengontrol bawahannya semakin dimapankan (Miller,
1988:52). Inilah yang menimbulkan kompleksitas hierarkis hubungan antar individua
tau kelompok dalam masyarakat.

Akhirnya konflik kepentingan yang terjadi harus dinegosiasikan untuk berusaha


mencapai tujuan. Individu akan menggunakan kekuatan apapun yang mereka miliki
untuk dapat mencapai tujuannya, yang dalam beberapa hal dipengaruhi oleh harapan
tentang masa depan . Dalam posisi ini, kemungkinan transaksi bisa terjadi secara setara
(equal). Hasil dari tawar-menawar tersebut adalah kompromi yang sering kali kurang
tepat dan tidak pasti ketimbang solusi yang unik, bisa dikalkulasi, dan otomatis. Basis
kompromi adalah kekuatan yang dikendalikan di dalam batas-batas yang bisa diterima

5
oleh undang-undang dan adat, yang dikembangkan dengan dasar kasus per kasus (bila
peraturan tidak lagi berfungsi dengan memuaskan). Hasil dari semua transaksi tersebut
tentu saja tidak pasti dan masih bersifat sementara, yaitu suatu fungsi dari metode
prosedur umum dari berbagai pemikiran tentang masa depan dan kekuasaan relatif
(relative power). Sistem ini selalu berubah dan tidak pernah mencapai keseimbangan
yang berasal dari luar. Dengan demikian, oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat
sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan
kesederajatan distribusi. Namun, para ahli kelembagaan melihat pasar sebagai
mekanisme yang bias dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi
dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol.

2.2 Realitas dan Evolusi


Untuk melihat bahwa ilmu pengetahuan modern dapat dibedakan dari sisi persoalan
subjeknya dan bukan dalam metodenya. Mazhab formal berisi positivisme logis dan
rasionalisme sehingga ekonomi konvensional masuk pada kategori ini. Sebaliknya, aliran
holistik mengungkap keyakinan perubahan subjek dan juga metode sehingga ekonomi
kelembagaan, ekonomi politik radikal masuk pada kategori ini. Terdapat dua kategori data
ekonomi yang berbeda yaitu data dengan hubungan the physical nature of production
process dan data dengan hubungan the behavioral to economic stimuli.

Pendekatan kelembagaan lebih berkonsentrasi dalam menangkap dinamika realitas


sosial atas objek yang dikaji. Realitas sosial dilihat lebih dari sekedar seperangkat relasi-relasi
yang spesifik, dimana proses perubahannya inheren dalam kelembagaan sosial, kemudian
disebut sebagai sistem ekonmi. Proses perubahan tersebut sendiri adalah produk dari tindakan
manusia. Aliran kelembagaan bersifat menyeluruh karena berkonsentrasi pada pola hubungan
antara bagian-bagian keseluruhan.

Perilaku manusia nonrasional dalam pembuatan keputusan ekonomi. Tindakan individu atau
kelompok pun dipengaruhi faktor rasionalitas dan norma. Aturan-aturan dibuat dengan harapan
dapat memandu individu untuk bertindak rasional. Akan tetapi, bisa jadi aturan-aturan
mengikuti tindakan rasional individu. Terkadang, tindakan rasional menghalangi norma sosial
ataupun terjadi sebaliknya. Ekonomi kelembagaan juga substansinya adalah ekonomi
perbandingan/komparatif yang terdapat kritik antara lain fokusnya pada perbedaan kedalaman

6
tetapi mengapaikan perbedaan jenisnya, mengabaikan potensi interaksi, dan juga kerap kali
terjebak pada parsialitas.

• Metode Kualitatif : Partikularitas dan Subyektivitas


Terdapat metode kualitatif dan kuantitatif dalam pendekatan ilmu sosial.
konstruksi penelitian kuantitatif terdiri dari general, objektif, dan terukur. Sedangkan,
pendekatan kualitatif terdiri tiga premis yaitu partikular, subyektif, dan nonprediktif.
Premis-premis dan konstruksi penelitian tersebut menjadi metode analisis ekonomi
kelembagaaan. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada
dan mempelajari solusi dari masalah tersebut sehingga dapat ditangani lebih baik di
masa yang mendatang. Data pada penelitian kualitatif harus dijaga seasli mungkin
dengan tujuan menghindari adanya argumen bias. Sedangkan, Penelitian kuantitatif
bertujuan meramalkan masalah setelah data-data dianalisis. Oleh sebab itu, penelitian
kuantitatif memperbolehkan mengabaikan suatu data agar hasil ramalan ini bisa
didapat. Pendekatan kuantitatif juga dianggap lebih subyektif karena keberhasilannya
dalam kapasitasnya untuk mengukur (measurable).
• Nonprediktif : Nilai Guna dan Liabilitas Data
Terdapat dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak berniat untuk
meramalkan kejadian di masa depan yaitu, (1) tingkat filosofis watak sebuah penelitian
sosial tidak harus tahu kejadian di masa depan karena penelitiannya dimaksudkan untuk
memahami perilaku sosial yang tengah terjadi dan (2) tataran pragmatis nilai gunanya
dalam menyodorkan pemahaman-pemahaman baru melalui analisis mendalam.
Menurut kaum subyektif, manusia tidak dapat menghindari diri dari apa yang ia ketahui
sehingga meski mereka mencari kebenaran, mereka lebih meragukan adanya realitas
obyektif. Oleh karena itu, sifat nonprediktif ini menjadi ukuran fungsi dari penelitian
kualitatif. Data-data ilmu sosial yaitu (proses produksi the physical nature of production
process) dan respon atas kebijakan (the behavioral to economic stimuli), dianggap tidak
stabil. Walaupun data mengenai sikap respon atas kebijakan ini lebih stabil tetapi rentan
terhadap perubahan. Ekonomi kelembagaan berfokus pada struktur kekuasaan.
Pendekatan yang digunakan pun bertujuan memberikan jalan keluar. Pendekatan
kuantitatif dalam ekonomi kelembagaan dapat diukur dengan biaya transaksi. Untuk
tujuan tertentu, pendekatan kuantitatif pun berguna bagi ekonomi kelembagaan.

7
2.3 Metode Kualitatif : Partikularitas dan Subjektivitas
Memahami individu atau masyarakat bukan sekadar soal 'subyek', tetapi juga 'metode'.
Metode itulah yang kemudian akan mengantar setiap ekonomi kepada sebuah kebenaran.
“Kebenaran” inilah yang akan diuji dalam dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yakni metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Konstruksi penelitian kuantitatif berdiri di atas tiga premis
yaitu: general, obyektif, dan terukur (prediktif). Melalui keyakinan itu, pendekatan kuantitatif
percaya bahwa fenomena sosial itu berlaku secara universal, baik peneliti maupun obyek
penelitian tidak dibebani dengan nilai-nilai, dan setiap tindakan individu merupakan turunan
(derivasi) dari perilaku kumpulan individu. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
penelitian kuantitatif telah membuktikan bahwa generalisasi, obyektivikasi, dan keterukuran
telah banyak membantu untuk memahami fenomena sosial yang rumit. Namun, pandangan lain
juga berbicara dengan lantang, bahwa fenomena sosial harus dimengerti sebaliknya: partikular,
subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang menjadi dasar dari konstruksi penelitian
kualitatif, yang sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan.

Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut
pendekatan epistemologinya. Jika metode kualitatif bersandar pada pendekatan interpretif,
maka metode kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik. Apabila pendekatan
interpretif dikaitkan dengan pelaku penelitian, maka fokusnya adalah persoalan subyektivitas.
Namun, jika pendekatan interpretif dihubungkan dengan obyek penelitian, maka fokusnya
adalah masalah partikularitas. Partikularitas di sini bisa dimaknai sebagai heterogenitas
karakterisik sosial dalam masyarakat. Tentu saja keyakinan ini bertentangan dengan premis
universalitas dalam penelitian kuantitatif, yang menganggap peristiwa/kejadian sosial bergerak
secara paralel meskipun dengan latar sosial yang berlainan. Ketegangan ini terus dipelihara
sampai kini sehingga belum ada titik temu di antara kedua metode tersebut.

Universalitas dalam penelitian kualitatif terangkum dalam sebuah keyakinan bahwa


tindakan atau perilaku individu/kelompok berlaku sama dalam setting sosial yang sejenis pula
(transferability). Dengan kata lain, apabila struktur sosialnya berbeda, maka yang berlaku
adalah asas partikularitas. Pada titik ini, penelitian kualitatif tidak terlalu bersemangat untuk
memproyeksikan suatu tindakan dalam jangka panjang, tetapi lebih tertarik untuk mencari
penjelasan mengapa individu/kelompok melakukan sesuatu dalam latar belakang sosial
tertentu. Penjelasan-penjelasan itulah yang menjadi menu utama penelitian kualitatif sehingga
keberadaannya tetap eksis dan bernilai ilmiah. Sebaliknya, jika penelitian kualitatif gagap

8
dalam menjelaskan suatu fenomena, maka hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan
ilmiah untuk disampaikan kepada masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian kualitatif selalu berupaya memberikan
penjelasan atas temuan yang diberikan, dan cenderung tidak meramalkan kejadian di masa
depan. Sementara, penjelasan dalam penelitian kualitatif selalu bersinggungan dengan latar
sosial tertentu dan tidak berlaku untuk segala latar belakang sosial (universal). Dengan begitu,
penjelasan yang diberikan dalam penelitian kualitatif selalu bersifat partikular: hanya
mengungkapkan fenomena yang terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Lewat premis
vipartikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (i)
keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (ii) penelitian kualitatif secara rendah
hati telah memproklamasikan keterbatasannya'. Tentu saja keterbatasan' yang diumumkan itu
berpotensi memunculkan tuduhan bahwa penelitian kualitatif memiliki kelemahan
dibandingkan penelitian kuantitatif. Namun, tentu realitasnya tidaklah seperti itu, karena pada
dasarnya setiap pendekatan penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif, masing-masing
mempunyai kelemahan dan kelebihan yang diakibatkan oleh perbedaan metode maupun
orientasi yang diinginkan.

Pada akhirnya, setiap penelitian harus berurusan dengan representasi, yakni pilihan dan
jumlah sampel yang dipakai. Dalam konteks sifat partikularitas yang melekat dalam dirinya,
penelitian kualitatif tidak berbicara mengenai 'jumlah' yang menyuarakan 'representasi. Setiap
penelitian kualitatif bisa langsung menunjuk satu daerah, komunitas, kelompok, keluarga,
bahkan individu; sebagai sampel penelitian. Satu individu tersebut langsung merepesentasikan
dirinya sendiri, tanpa harus memiliki pretensi untuk mewakili individu yang lain. Hal ini jelas
lain dengan penelitian kuantitatif yang serba ketat dalam pemilihan dan penentuan jumlah
sampel. Penelitian kuantitatif menganggap jumlah sampel yang diambil diandaikan bisa
mewakili keseluruhan populasi dan dengan modal itulah sebuah generalisasi bisa diambil dan
prediksi dapat dilakukan.

Menurut Wallerstein (1997:139), subyektivitas bisa didefinisikan sebagai penyusupan


prasikap (biases) ke dalam diri sang peneliti dalam pengumpulan dan interpretasi data.
Singkatnya, selama proses penelitian seorang peneliti dianggap telah membawa nilai-nilai
tertentu (seperti ideologi, agama, budaya, tradisi, dan lain-lain) yang kemudian digunakan
untuk memaknai data/fakta yang diperoleh. Tentu saja dalam pendekatan nomotetik hal ini
dianggap sebagai penyimpangan dan oleh karena itu bisa mengurangi keabsahan data.

9
Obyektivitas dapat dipandang sebagai hasil belajar manusia, yang merepresentasikan
tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang mungkin ada (Wallerstein, 1997:142). Dengan dasar
itu, ilmu ekonomi (sebagai bagian dari ilmu sosial) beranggapan dapat menyajikan suatu
penilaian yang obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta. Padahal, di balik itu, ilmu
ekonomi yang berpretensi 'bebas nilai' itu sebenarnya menyembunyikan dalam dirinya suatu
filsafat moral tertentu sebagai dasar teori (Rahardjo, 1988:xvi). Jika pemikiran ini diterima,
maka sebetulnya obyektivitas yang dimaksud adalah penilaian berdasarkan pengetahuan yang
keberadaannya telah diterima secara umum.

Hal yang dianggap paling obyektif sekalipun sebenarnya tetaplah subyektif. Oleh karena
itulah, sejak awal penelitian kualitatif tidak mengklaim bahwa penjelasan yang diberikannya
adalah obyektif, tetapi subyektif. Namun, subyektivitas dalam penelitian kualitatif tidak berarti
di dalamnya tak mengindahkan panduan-panduan ilmiah yang dipersyaratkan. Lebih dari itu,
penelitian kualitatif juga mengurangi semaksimal mungkin intervensi peneliti terhadap
ungkapan yang dituturkan oleh responden penelitian. Pada saat menuliskan hasil wawancara,
misalnya, peneliti diminta untuk menuliskan bentuk asli dari tuturan yang diungkapkan
responden, walaupun struktur dan kosakata responden tersebut tidak bagus. Dengan menyalin
tuturan asli tersebut diharapkan pembaca memiliki ruang tersendiri untuk memberikan
interpretasi, tanpa harus setuju dengan tafsiran peneliti. Melalui prosedur semacam itulah,
subyektivikasi penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar-pagar akademik sehingga bisa
menjaga nilai keilmiahannya. Dengan cara pandang itu, sebetulnya dikotomi obyektivikasi dan
subyektivikasi dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif harus segera diakhiri.
Pertimbangannya, masing-masing metode dari penelitian kuantitatif dan kualitatif tetaplah
tersembunyi subyektivitas dalam berbagai rupa. Hanya saja, penelitian kuantitatif dianggap
lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur dan membandingkan atas data-
data yang dimiliki.

2.4 Nonprediktif: Nilai Guna dan Liabilitas Data


Penelitian subjektif dan objektif dapat dibedakan dengan mudah dengan sifat
prediktif/non prediktif dalam hal ini penelitian harus bersifat netral dan tidak ada keberpihakan
pada siapapun, dan pada akhirnya akan diketahui dengan ciri bahwa penelitin kualitatif
menggunakan sifat non prediktif dalam menginterpretasikan suatu persoalan, sebaliknya dalam
penelitian kuantitatif menggunakan sifat prediksi dalam mencari hasil hipotesa.

10
Terdapat dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak berniat untuk meramalkan
kejadian di masa depan yaitu, (1) tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus
tahu kejadian di masa depan karena penelitiannya dimaksudkan untuk memahami perilaku
sosial yang tengah terjadi dan (2) tataran pragmatis nilai gunanya dalam menyodorkan
pemahaman-pemahaman baru melalui analisis mendalam. Menurut kaum subyektif, manusia
tidak dapat menghindari diri dari apa yang ia ketahui sehingga meski mereka mencari
kebenaran, mereka lebih meragukan adanya realitas obyektif. Oleh karena itu, sifat
nonprediktif ini menjadi ukuran fungsi dari penelitian kualitatif. Data-data ilmu sosial yaitu
(proses produksi the physical nature of production process) dan respon atas kebijakan (the
behavioral to economic stimuli), dianggap tidak stabil. Walaupun data mengenaisikap respon
atas kebijakan ini lebih stabil tetapi rentan terhadap perubahan. Ekonomi kelembagaan
berfokus pada struktur kekuasaan. Pendekatan yang digunakan pun bertujuan memberikan
jalan keluar. Pendekatan kuantitatif dalam ekonomi kelembagaan dapat diukur dengan biaya
transaksi. Untuk tujuan tertentu,

Membedakan penelitian kuantitatif dan kualitatif berdasarkan karakter universal/


partikular dan obyektif/subyektif memang agak rumit. Namun, apabila membandingkannya
berdasarkan sifat prediktif/nonprediktif, rasanya lebih gampang. Setelah melalui uji analisis
yang sifatnya universal (berlaku untuk segala situasi sosial) dan obyektif (melalui keterukuran
yang akurat), penelitian kuantitatif biasanya berujung kepada peramalan tentang kemungkinan
peristiwa- peristiwa yang bakal terjadi akibat adanya pemantik yang diberikan. Misalnya,
peneliti bisa memperkirakan berapa jumlah orang miskin yang akan berkurang apabila subsidi
pendidikan dan kesehatan diberikan kepada masyarakat. Atau berupa tingkat inflasi yang akan
terjadi bila bank sentral meningkatkan suku bunga deposito kredit. Sebaliknya, penelitian
kualitatif tidak tertarik untuk menyodorkan daya ramal tersebut, tetapi justru berkonsentrasi
untuk menyajikan karakter sebuah masalah atau fenomena. Sebagai contoh, peneliti lebih
tertarik untuk meminta pendapat kaum miskin tentang relevansi subsidi untuk peningkatan
kesejahteraan mereka. Atau, kemiskinan yang dijalani oleh masyarakat tersebutdisebabkan
oleh faktor apa saja. Dengan model ini, peneliti lebih tergerak untuk memberikan informasi
ketimbang menyediakan prediksi.

Sekian dekade lampau, Kaplan (1964:206) membuat pernyataan yang kemudian menjadi
sangat terkenal, yakni if you can measure it, that ain't if Pernyataan itu mungkin oleh sebagian
orang akan diterjemahkan sebagai upaya perlawanan terhadap pendekatan kuantitatif, yang
percaya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai penemuan apabila bisa diukur, Tetapi, pernyataan

11
itu juga dapat diterjemahkan secara lebih moderat, bahwa pengukuran bukan merupakan isu
sentral dari sebuah penelitian, Justru, dalam tradisi penelitian kualitatif, isu utamanya adalah
apa, bagaimana, kapan, dan di mana atas suatu fenomena, jadi berbicara tentang esensi dan
lingkungan/atmosfer (ambience). Dengan begitu, penelitian kualitatif lebih banyak merujuk
kepada pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas
sesuatu. Sebaliknya, penelitian kuantitatif berkonsentrasi untuk menghitung dan mengukur
sesuatu (Berg, 2004:2-3). Dengan karakter tersebut, bisa dipahami apabila fokus dari metode
kualitatif bukan untuk meramal sesuatu, tetapi menjelaskan secara utuh proses di balik
fenomena tersebut. Sementara itu, konsentrasi metode penelitian kuantitatif memang untuk
memprediksi dengan dasar hitungan dan pengukuran yang telah dilakukan. Pada titik inilah
target antara penelitian kualitatif dan kuantitatif berlainan, di mana yang pertama memberikan
penjelasan dan yang kedua menyodorkan ramalan.

Pertanyaannya ialah, mengapa penelitian kualitatif tidak berminat untuk meramalkan


kejadian di masa depan? Bukankah tanpa daya ramal sebuah penelitian tidak ada gunanya?
Secara substantif ada dua level keterangan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, pada
tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus tahu tentang kejadian di masa depan,
seberapa pun besarnya peluang untuk melakukan itu. Dalam cara pandang ini, pengerjaan
penelitian dimaksudkan cuma untuk memahami perilaku sosial yang tengah terjadi. Jika
karakter sosial itu sudah ditemukan atau dimengerti, maka tugas penelitian sosial sebenarnya
sudah usai. Pada titik inilah fungsi penelitian kualitatif terkuak, yakni menyediakan ruang bagi
peneliti (juga pengambil kebijakan) untuk melakukan refleksi sehingga dapat menciptakan
kebijakan yang lebih baik di masa depan. Kedua, pada tataran pragmatis nilai guna sebuah
penelitian bukan terletak pada kemampuannya untuk memprediksi, melainkan
kesanggupannya untuk menyodorkan pemahaman pemahaman baru melalui analisis yang
mendalam, (ilmiah). Dengan pijakan inilah penelitian kualitatif terus berupaya untak
menemukan dasar persoalan dari obyek penelitian, taupa harus dibebani dengan ambisi-ambisi
yang sifatnya proyektif

Di luar argumentasi itu, sifat penelitian kualitatif yang fokus kepada penjelasan harus
dipahami sebagai konsekuensi atas pilihan metode subyektif untuk mengenali fakta, seperti
yang telah di ulas di atas. Seperti diketahui, pendekatan subyektif mengasumsikan bahwa
pengetahuan tidak mempunyai sifat obyektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpertif.
Lebih khusus lagi, sebagaimana dikatakan Jalbert (dalam Mulyana, 2003:33), realitas sosial
dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial yang bersifat komunikatif, Seperti ditegaskan Pace

12
dan Faules, studi mengenai persepsi mendukung sifat yang sangat aktif dan selektif dari proses
ini. Hal ini dengan sendirinya menimbulkan keraguan mengenai apakah manusia akan
menemukan sesuatu yang "obyektif Persoalannya, menurut kaum subyektivis, manusia tidak
dapat sepenuhnya memisahkan diri dari apa yang diketahuinya. Jadi, meskipun mereka mencari
kebenaran, mereka lebih meragukan bahwa terdapat realitas obyektif. Dengan dasar metode
subyektif inilah sebuah pengukuran menjadi 'mustahil dilakukan, sebab di dalam pengukuran
implisit terdapat obyektivitas, atau setidaknya di dalam pengukuran terdapat sebuah kestabilan.
Dengan asumsi stabilitas itulah sebuah peramalan dilakukan oleh penelitian kuantitatif.

Oleh karena itu, sifat nonprediktif itu dengan sendirinya menjadi ukuran sampai sejauh
mana penelitian kualitatif sanggup untuk memfungsikan dirinya Jika penelitian kualitatif tidak
mampu memberikan gambaran bagi masyarakat (atau pemerintah) tentang efek dari suatu
kebijakan, maka keberadaannya masih bisa dimaklumi. Namun, apabila penelitian kualitatif
gagal memberikan makna atau kesadaran atas peristiwa sosial yang menjadi obyek penelitian,
maka eksistensinya boleh dikatakan telah runtuh. Hal ini jelas berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang kekuatannya justru terletak pada daya ramal, walaupun hanya dengan
mengandalkan fakta-fakta/data-data yang amat sederhana. Bahkan, bila data atau fakta yang
terdapat dalam obyek penelitian teramat banyak, atau sebagian tidak bisa dikuantifikasi, maka
penelitian kuantitatif membolehkan sebagian data-data tersebut dibuang agar sebuah ramalan
dapat diambil. Melalui kesadaran inilah bisa dipahami bila keberadaan penelitian kuantitatif
akan dilecehkan bila di dalam dirinya tidak mampu memproduksi ramalan, karena akhimya
yang tersisa tinggallah onggokan data-data yang tidak memiliki bunyi apapun.

Selebihnya, penelitian kualitatif percaya bahwa data-data dalam ilmu sosial (khususnya
ekonomi) tidaklah stabil. Seperti yang telah ditulis di muka, Heilbroner (dalam Wilber dan
Harrison, 1988:101) membagi data ekonomi dalam dua ketegori: (i) data yang berkaitan dengan
sifat fisik dari proses produksi (the physical nature of production process); dan (ii) data yang
berhubungan dengan respons perilaku atas rangsangan kebijakan ekonomi (the behavioral
respons to economic stimuli). Meskipun jenis data yang terakhir ini relatif lebih stabil. karena
munculnya watak, tradisi, dan kepercayaan di dalam masyarakat, tetap saja dalam jangka
panjang data-data tersebut akan mengalami perubahan (evolusi). Konsekuensinya, dengan
instabilitas data tersebut sebuah generalisasi menjadi tidak mungkin diambil sehingga prediksi
pun sangat sulit untuk dilakukan. Bila proposisi ini diteruskan, maka sebuah ramalan dengan
mengandalkan data yang labil ibarat orang hanyut yang berpegangan pada pohon yang tidak

13
mempunyai akar. Dengan keyakinan inilah penelitian kualitatif tetap teguh dengan premis yang
diusungnya hingga kini: bahwa yang terpenting bukanlah ramalan melainkan penjelasan.

Sampai di sini hubungan antara pendekatan ekonomi kelembagaan dengan metode


penelitian kualitatif lebih mudah untuk dipetakan. Ekonomi kelembagaan dalam analisisnya
sangat mementingkan kepada struktur kekuasaan (ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan
lain-lain) yang hidup dalam masyarakat, yang seterusnya hal itu memengaruhi
individu/kelompok untuk mengambil keputusan pertukaran/transaksi. Nisbah ekonomi atas
proses pertukaran tersebut sangat tergantung dari seberapa simetris struktur kekuasaan
antarpelaku ekonomi. Jika struktur kekuasaan asimetris, maka pembagian nisbah ekonomi
dipastikan menjadi sangat timpang, demikian sebaliknya. Di sisi lain, penelitian kualitatif
peduli dengan seluruh aspek yang melekat dalam fenomena sosial. Struktur sosial dipahami
sebagai keadaan yang kompleks sehingga membutuhkan penjelasan dan interpretasi yang
mendalam. Analisis seperti itu hanya akan diperoleh bila metode penelitian yang digunakan
berorientasi kepada pengenalan situasi interaksi sosial, dan bukan sekadar mengetahui aspek
teknis-ekonomis dari sebuah persoalan. Pada titik ini, pendekatan ekonomi kelembagaan
memberikan jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks,
sedangkan penelitian kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab-
akibat dari proses sosial tersebut.

Sungguh pun begitu, tidak lantas penelitian kuantitatif "haram" digunakan dalam analisis
ekonomi kelembagaan. Sampai pada batas tertentu, ukuran ukuran yang mungkin
dikuantifikasi tetap bermanfaat untuk dipakai sehagai analisis ekonomi kelembagaan.
Misalnya, ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan, salah satunya, bisa dilacak dari
seberapa besar biaya transaksi (transaction costx) yang muncul. Semakin besar biaya transaksi
yang muncul dari proses pertukaran, berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisien.
Untuk tiba pada kesimpulan efisien atau inefisien itulah sering kali-dibutuhkan pengukuran
(angka). Sesulit dan seabstrak apa pun variabel atau pengkuran yang dilakukan, hal itu tetap
bermanfaat bagi penemuan gambaran tentang efisiensi suatu kelembagaan. Oleh karena
kesadaran itulah, akhir-akhir ini banyak ahli ekonomi kelembagaan (terutama yang
menggunakan alat analisis biaya transaksi) yang berupaya untuk mengkuantifikasi analisisnya
untuk menunjukkan kinerja suatu kelembagaan. Jadi, dengan penggambaran yang utuh ini
diharapkan tidak ada dikotomi yang berlebihan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif
dalam ekonomi kelembagaan. Sebab, untuk tujuan tertentu, harus diakui penelitian kuantitatif
bisa mendonorkan faedah yang besar bagi pengembangan analisis ekonomi kelembagaan.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) adalah cabang ilmu ekonomi yang


mempelajari pengaruh dan peran institusi formal dan informal terhadap kinerja ekonomi, baik
pada tataran makro maupun tataran mikro. Ekonomi Kelembagaan membahas masalah
ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan kehidupan sosial serta hubungannya dengan
kepemilikan seseorang atau property right. Pendekatan yang digunakan ekonomi kelembagaan
adalah multidisipliner. Maka, terdapat aspek yang perlu diperhatikan seperti aspek sosial,
hukum, politik, budaya, dan lainnya sebagai satu kesatuan analisis. Teori ekonomi
kelembagaan sejajar asasnya dengan ilmu sosial lain. Sejak awal harus disadari bahwa ilmu
sosial memiliki dua dimensi, yaitu ketika berkaitan dengan (persoalan) negara maka ilmu sosial
tidak hanya memiliki fungsi sebagai daya penjelas tetapi juga melegitimasi dan yang kedua
ketika berurusan dengan rakyat maka ilmu sosial membahas ilmu sosial instrumental dan ilmu
sosial kritis.

15
DAFTAR PUSTAKA.

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Jakarta. Erlangga.

Barusman, Y. S., Waskito, B., Gultom, I. A., & Puspa, A. K. (2017). Manajemen Strategi Studi
Kasus Bersama Tambak Udang Rakyat. Bandar Lampung: Universitas Bandar
Lampung.

Faiz, M. (2017). IDENTIFIKASI PERILAKU TEKNOLOGIS-IDEOLOGIS PADA PILIHAN


BEKERJA SEBAGAI WIRAUSAHAWAN (Studi Pada Mahasiswa dan Alumni
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB
Universitas Brawijaya Vol 5, No 2, 3-10.

16

Anda mungkin juga menyukai