Anda di halaman 1dari 21

EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI 416 A3)

“TEORI KONTRAK DAN TINDAKAN KOLEKTIF”

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Dra. Ida Ayu Nyoman Saskara, M.Si.

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Gusti Made Teguh Aryavata (2107511041)


2. Clara Elisabeth Jahja Saputra (2107511048)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia dan
rahmat-Nya, tugas makalah dengan judul “Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif” dapat
selesai dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Kelembagaan dengan dosen pengampu Prof. Dr. Dra.
Ida Ayu Nyoman Saskara, M.Si.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Ayu Nyoman
Saskara, M.Si. selaku dosen pada mata kuliah Ekonomi Kelembagaan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, guna
untuk menyempurnakan makalah dimasa yang akan datang. Kami berharap semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Denpasar, 30 Maret 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris..........................................................................3
2.2 Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal........................................................ 7
2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders.....................................................................11
2.4 Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif............................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah adanya ketidaksetaraan
antara pelaku ekonomi. Ketidaksetaraan ini dapat terjadi pada posisi tawar dan informasi
yang tidak seimbang (informasi asimetris). Akibatnya, kegiatan ekonomi yang dilakukan
dapat memberikan keuntungan bagi satu atau beberapa pihak namun merugikan pihak lain.
Tentunya, hal ini tidak ideal karena ada pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, perlu
dicari mekanisme dan aturan main (kelembagaan) yang bertujuan untuk menciptakan
kesetaraan antara pelaku ekonomi, baik dari sisi posisi tawar maupun informasi. Dalam hal
ini, teori kontrak (termasuk informasi asimetris) dan tindakan kolektif (collective action)
memainkan peran penting dalam membantu merancang aturan main tersebut.
Teori kontrak muncul karena adanya interaksi dalam kehidupan sosial masyarakat,
agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, termasuk dalam lingkungan. Untuk
itu, agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersusun baik
secara tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan-kesepakatan yang saling
melindungi kepentingan masing-masing (Nor Hadi, 2011). Social contract dibangun dan
dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap
masyarakat (society). Di sini, perusahaan atau organisasi memiliki kewajiban pada
masyarakat untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Interaksi perusahaan dengan
masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat, sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimate.
Tindakan ekonomi kolektif merujuk pada isu-isu kelompok kepentingan yang dibahas
oleh Olson (2002). Menurut Yustika (2013) dalam konteks ekonomi kelembagaan
menyatakan bahwa individu akan mengambil tindakan kolektif jika manfaat yang diperoleh
lebih besar daripada jika mereka tidak bergabung dalam tindakan kolektif tersebut. Tindakan
kolektif yang saling menguntungkan terlihat dari interaksi antar individu dalam mengambil
tindakan yang menghasilkan keuntungan bersama. Tujuan masing-masing individu untuk
bekerja sama adalah mencapai tujuan ekonomi yang sama, yang pada akhirnya akan
memajukan partisipasi dalam tindakan kolektif.
Dalam lingkup institusional yang sangat luas, kelembagaan dapat diklasifikasikan
menjadi dua kategori. Pertama, jika berkaitan dengan proses, kelembagaan merujuk pada
upaya untuk merancang pola interaksi antar pelaku ekonomi agar dapat melakukan transaksi.

1
Kedua, jika berkaitan dengan tujuan, kelembagaan berfokus pada menciptakan efisiensi
ekonomi melalui struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar pelaku. Ekonomi
Kelembagaan Baru (EKB) dapat dibagi menjadi dua mazhab utama, yaitu aliran biaya
transaksi dan aliran tindakan kolektif. Aliran biaya transaksi mencerminkan sifat individu
dari pelaku ekonomi kecil dan kegiatan pemasaran pedagang. Sedangkan aliran tindakan
kolektif mencoba untuk mengeksplorasi situasi di mana pelaku ekonomi akan sukses jika
mereka melakukan kerjasama baik dalam domain ekonomi maupun politik. (Yustika, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu teori kontrak dan informasi asimetris?
2. Apa yang dimaksud dengan mekanisme penegakan dan instrumen ekstralegal?
3. Apa itu teori tindakan kolektif dan free-riders?
4. Apa yang dimaksud dengan pilihan rasional dan tindakan komunikatif?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Teori Kontrak dan Informasi Asimetris.
2. Untuk mengetahui Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal.
3. Untuk mengetahui Teori Tindakan Kolektif dan Free-Rider.
4. Untuk mengetahui bagaimana Perilaku Rasional dan Tindakan Komunikatif

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dalam penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat bagi mahasiswa, melalui penulisan paper ini dapat menambah
wawasan dan mengkaji kembali mengenai teori kontrak dan tindakan kolektif
dalam segi akademik.
2. Manfaat bagi masyarakat/ khalayak umum, melalui penulisan paper ini dapat
menambah wawasan mengenai teori kontrak dan tindakan kolektif yang
nantinya masyarakat dapat lebih kritis menentukan perilaku yang bermanfaat
untuk khalayak umum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris


Pada pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics/TCE) adapun
unit analisis yang dijadikan dasar adalah kontrak (contract) atau transaksi tunggal antara dua
pihak yang terlibat dalam hubungan ekonomi. Kontrak ini merujuk pada kesepakatan dimana
satu pihak melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi untuk pihak lain, dengan
konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran yang diharapkan.
Pembuatan kontrak dilakukan dengan cara yang berbeda, tergantung pada tingkat
pengamatan, waktu, dan tingkat timbal balik. Pelaku kontrak tersebut memiliki derajat
insentif kesukarelaan alami yang berbeda dalam menyetujui isi kontrak tersebut. Dalam TCE,
diasumsikan bahwa lembaga hukum (legal institution) sebagai agen penegakan kontrak dari
luar (external contract-enforcement agency) yang mengatur kontrak ada untuk menegakkan
kontrak. Namun, kinerja lembaga hukum dapat terhambat akibat adanya kesulitan
memverifikasi pelaku kontrak baik yang buruk maupun yang bagus. Dengan kata lain, TCE
mengasumsikan bahwa kontrak dapat ditegakkan (dipaksakan) dalam koridor lembaga
hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang cukup (Dixit, 1996:48).
Menurut Richter (dalam Birner, 1999:48), konsep kontrak dalam NIE (New
Institutional Economics) sebenarnya lebih dari sekadar konsep hukum tentang kontrak. Lebih
tepatnya, konsep ini mengacu pada hak kepemilikan (property rights) yang memiliki cakupan
yang lebih luas. Setiap pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang
diatur oleh kontrak. Dalam teori standar (neoklasik), kontrak dianggap lengkap dan dapat
dibuat serta ditegakkan tanpa biaya (costlessly). Namun, pada kenyataannya, membuat dan
menegakkan kontrak yang lengkap sangatlah sulit dan bahkan mustahil karena adanya biaya
transaksi. Oleh karena itu, untuk membuat kontrak yang menyeluruh (comprehensive
contract), suatu alternatif yang mungkin adalah memodelkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan informasi yang terbatas, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk
membuat kontrak yang lengkap. Dalam prakteknya, kontrak dapat dibuat dengan hanya
mencakup hal-hal yang dapat diamati oleh masing-masing pihak. Jika terjadi sesuatu yang
melanggar kontrak, maka masalah tersebut dapat diselesaikan oleh pihak ketiga seperti
pengadilan. [Bickenbach, et. al., 1993:3-4].
Menurut Klein (1980:356-358), dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak lengkap
karena terdapat dua alasan. Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) yang membuka

3
peluang yang cukup besar terjadinya contingencies yang berdampak pada munculnya biaya
identifikasi untuk merespons terhadap ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus
(particular contractual performance) memerlukan biaya yang cukup besar, seperti contoh
dalam menentukan jumlah energi yang dibutuhkan untuk tugas yang rumit. Pelanggaran
kontrak seringkali mempersulit penegakan kontrak dan pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga (pengadilan). Oleh karena itu, kesepakatan kontrak aktual biasanya mengandung
kombinasi eksplisit dan implisit dalam mekanisme penegakan. Beberapa elemen kinerja
dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga. Selain itu, biaya kontrak dan
ketidaklengkapan kontrak eksplisit, memerlukan 'biaya sewa semu' (quasi rent) yang bisa
digunakan oleh perusahaan untuk investasi.
Penyebab terjadinya ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh
informasi yang tidak seimbang antara pelaku transaksi, yang disebut dengan istilah informasi
asimetris (asymmetric information). Secara teknis, kondisi ini terjadi ketika terdapat
ketidaksetaraan dalam informasi maupun pengetahuan seperti mengenai perbedaan harga,
kualitas, atau aspek lain dari barang atau jasa yang diperjualbelikan antara pembeli dan
penjual. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap untuk mengurangi dampak
dari informasi asimetris tersebut. Setiap kegiatan transaksi memiliki jenis informasi asimetris
yang berbeda, sehingga dibutuhkan jenis kontrak yang berbeda pula sebagai instrumen
kompensasi untuk mengeliminasi dampak dari informasi asimetris tersebut. Semakin besar
kemungkinan terjadinya informasi asimetris, semakin besar juga usaha yang diperlukan untuk
mendesain kontrak secara lebih komprehensif.
Melalui karya monumentalnya, "The Market of Lemons: Quality Uncertainty and the
Market Mechanism" (1970), George A. Akerlof, yang dianggap sebagai pionir teori informasi
asimetris, berpendapat bahwa informasi asimetris di antara pelaku transaksi dapat diatasi
dengan menggunakan kelembagaan pasar perantara (intermediary market institutions), yang
disebut juga sebagai kelembagaan penghalang (counteracting institutions). Salah satu contoh
kelembagaan penghalang yang efektif adalah jaminan atau garansi yang memberikan
kepastian kepada pembeli tentang kualitas barang. Garansi memungkinkan pembeli untuk
memperoleh informasi yang sama dengan penjual seputar barang. Selain garansi, adanya
merek (brand- names), kongsi (chains), dan waralaba (franchise) juga dapat berfungsi
sebagai mekanisme jaminan bagi pembeli, setidaknya dalam hal kualitas produk. Namun,
semua kelembagaan tersebut harus dimasukkan dalam kontrak yang jelas agar memiliki
kepastian khususnya dari aspek legalitas.

4
Salah satu contoh kasus informasi asimetris adalah praktik di pasar kerja yang
ditemukan oleh Michael Spence dalam risalahnya yang berjudul "Job Market Signaling" pada
tahun 1973. Menurut Spence, keputusan majikan untuk mempekerjakan seseorang
merupakan investasi yang diambil di bawah ketidakpastian. Majikan tidak bisa tahu dengan
pasti kemampuan produktif seorang pekerja sebelum mereka dipekerjakan. Bahkan setelah
dilatih, kemampuan produktif pekerja juga tidak selalu mudah diketahui. Spence menyatakan
bahwa karena individu membutuhkan waktu untuk mempelajari sesuatu yang baru, maka
mempekerjakan seseorang merupakan keputusan investasi. Namun, karena kemampuan
produktivitasnya tidak diketahui secara pasti, maka keputusan investasi tersebut berada di
bawah ketidakpastian. Menurut Spence, kasus seperti ini mirip dengan keputusan investasi
dalam permainan undian (lottery). Kemungkinan keberhasilan dalam mengambil keputusan
tergantung pada pengalaman sebelumnya dalam pasar kerja, tanda-tanda (signal) yang
diberikan oleh pelamar kerja mengenai kemampuannya, dan karakteristik individu yang
melekat. Jika karakteristik individu yang melekat tidak bisa diubah, seperti ras dan jenis
kelamin, maka sinyal merupakan karakteristik yang dapat dimanipulasi. Contoh dari sinyal
tersebut adalah pendidikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi biaya penandaan
(signaling costs), terutama untuk menentukan upah. Biaya penandaan adalah biaya total dari
perubahan sinyal, termasuk biaya uang, waktu, dan fisik. Menurut Spence, biaya penandaan
harus berkorelasi negatif dengan kapabilitas produktif seseorang.
Menurut Furubotn dan Richter (2000:147), dalam kegiatan ekonomi modern, kontrak
dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu teori kontrak agen (agency- contract theory), teori
kesepakatan otomatis (self-enforcing agreements theory), dan teori kontrak-relasional
(relational-contract theory). Pertama, pada teori kontrak agensi melibatkan setidaknya dua
pelaku, yaitu prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melaksanakan
pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Dimana prinsipal memfasilitasi seperti
dengan memberikan wewenang kepada agen agar dapat membuat keputusan. Informasi
dalam posisi ini dianggap asimetris karena: (i) tindakan agen tidak dapat diamati secara
langsung oleh prinsipal atau (ii) agen memiliki informasi yang tidak diketahui oleh prinsipal.
Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi
(hidden action) dan pada kasus yang kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi
(hidden information).
Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikan kesepakatan dapat ditegakkan
secara hukum, maka dalam teori kesepakatan otomatis dianggap tidak semua hubungan atau
pertukaran dapat ditegakkan secara hukum (Furubotn dan Richter, 2000:156-157). Hal ini

5
menunjukkan bahwa sistem hukum tidak selalu sempurna atau informasi yang relevan tidak
dapat diverifikasi oleh pengadilan. Karena itu, cara yang dapat dilakukan untuk menjaga
hubungan bisnis dalam jangka panjang adalah dengan membuat atau menemukan kontrak
dengan kesepakatan yang dapat ditegakkan secara otomatis (self-enforcing agreements). Jenis
kontrak ini didesain untuk memastikan bahwa keuntungan dari pelaku berbuat curang
(defaulting) selalu lebih rendah daripada keuntungan yang didapatkan dengan mematuhi
kontrak yang telah disepakati. Dalam hal ini, tidak ada pihak ketiga yang terlibat. Model
seperti ini juga disinonimkan dengan istilah 'kontrak implisit' (implicit contract), meskipun
yang terakhir ini sebetulnya didesain untuk membedakan dengan istilah 'teori kontrak
formal." Kontrak implisit lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang
pembagian risiko (risk sharing).
Ketiga, kontrak relasional merupakan sebuah kesepakatan yang tidak dapat
memperhitungkan semua ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan pada
kesepakatan di masa lalu, saat ini, dan harapan mengenai hubungan di masa depan antara
para pelaku yang terlibat dalam kontrak. Oleh karena itu, kontrak relasional bersifat implisit,
informal, dan tidak mengikat. Pentingnya penegakan otomatis (self-enforcement) dalam
kontrak relasional sangatlah besar. Pada kenyataannya, sebagian besar transaksi yang
menggunakan kontrak relasional terikat dalam suatu struktur hubungan transaksi yang sangat
longgar. Kontrak relasional memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi
modern. Jika terjadi perselisihan dalam hubungan kontrak tersebut, biasanya diselesaikan
melalui kerja sama, pemaksaan (coercion), komunikasi, serta strategi dan bukan melalui
pengadilan. Jadi, kontrak relasional biasa digunakan dalam situasi dimana ada
ketergantungan bilateral antara pelaku transaksi karena adanya transaksi investasi yang
spesifik (transaction-specific investment).
Masalah penting lain yang terkait dengan perbedaan kesepakatan kontrak adalah
bagaimana kontrak itu dibuat dalam situasi yang sama di sektor dan lingkungan kelembagaan
(institutional environment) yang serupa. Mènard (2000: 236) menggunakan studi ekstensif
berdasarkan data primer (kuesioner) pada 21.000 responden yang dikunjungi oleh
pewawancara di industri unggas (poultry) dan menemukan tiga bentuk kesepakatan kontrak
yang telah terbukti, yaitu kontrak harga tetap (fixed-price contracts), kontrak jual beli
(buy-and-sell contracts), dan kontrak lepas (putting-out type), dengan tipe terakhir yang
banyak dipilih. Ketiga jenis kontrak tersebut sering dijalankan di negara maju dan
berkembang, sehingga mudah ditemukan di mana saja. Seiring perkembangan kegiatan

6
ekonomi memungkinkan munculnya jenis kontrak baru, namun jenis kontrak yang ada akan
tetap bertahan dalam jangka panjang.
Kegiatan di sektor pertanian memiliki berbagai jenis kontrak yang beragam. Salah
satunya adalah kontrak pertanian (contract farming) yang diartikan sebagai bentuk integrasi
vertikal dalam rantai komoditas pertanian, dimana perusahaan memiliki kendali yang lebih
besar dalam proses produksi seperti kuantitas, kualitas, karakteristik, dan waktu suatu barang
diproduksi (Prowse, 2012:9). Di sektor pertanian terdapat tiga jenis kontrak yaitu: kontrak
sewa tetap (fixed-rent contract) berbentuk sewa per hektar yang dinyatakan dalam uang
maupun tanaman, kontrak bagi hasil (share contract), dan kontrak upah (wage contract)
(Cheung, 1969:66-67). Ketiga jenis kontrak tersebut memiliki daya tahan yang berbeda-beda
karena dinamika alamiah untuk selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan, jalur
ketergantungan (path dependency), yang menciptakan pola sosial, dapat mempromosikan
kesepakatan kontrak yang kurang efisien untuk tetap bertahan (Ménard, 2000:236).
Sementara itu, di India, ada sekurangnya lima jenis kontrak pertanian yang berbeda
(Patv, 2005:140). Pertama, model tersentralisasi (centralized model); dimana pelaku ekonomi
besar membeli barang dari banyak petani kecil. Kedua, model perkebunan inti (nucleus estate
model); dimana sponsor juga mengelola perkebunan inti atau pusat. Ketiga, model multiparti
(multipartite model); yang melibatkan berbagai organisasi, termasuk badan hukum. Model ini
bisa berkembang dari model sentralisasi atau inti perkebunan dengan membentuk koperasi
atau terlibat dalam lembaga keuangan. Keempat, model informal (informal model); yang
digunakan oleh wirausaha muda atau usaha kecil dengan kontrak produksi informal berbasis
musiman dan memerlukan dukungan dari pemerintah, seperti riset dan penyuluhan. Kelima,
model perantara (intermediary model); dimana melibatkan sponsor dalam sub-kontrak petani
dengan perantara. Risiko dari model ini adalah sponsor bisa kehilangan kontrol produksi dan
kualitas (juga harga) yang diterima petani.

2.2 Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal


Berdasarkan tinjauan berbagai studi tentang kontrak, terdapat empat faktor yang dapat
disimpulkan menjadi perbedaan jenis kontrak (Ménard, 2000:236). Pertama, jangka waktu
(duration) kontrak. Mayoritas studi empiris menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak
terkait erat dengan atribut dan transaksi yang juga mencerminkan tingkat komitmen (signal
commitment) dari para mitra. Kedua, derajat kelengkapan kontrak (degree of completeness)
yang mencakup harga, kualitas, aturan keterlambatan, dan penalti. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan spesifikasi aset dan

7
menurun bersamaan dengan ketidakpastian. Ketiga, kontrak seringkali terkait dengan insentif.
Adapun beberapa jenis mekanisme insentif seperti; sistem tingkat yang tetap (piece-rate
systems), upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset
yang dibayarkan kepada pemilik, dan sewa yang dibagi di antara mitra yang bergabung dalam
proyek. Keempat, prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Meskipun
kontrak dibuat untuk saling menguntungkan, kontrak juga memiliki risiko kerugian akibat
perilaku oportunis, yang dapat disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap atau situasi
pelaksanaan yang berbeda dari situasi saat negosiasi, atau bisa karena keduanya.
Pada aspek penegakan, dalam masyarakat dimana institusi penegakan hukum tidak
berfungsi dengan baik, individu dan perusahaan cenderung menghindari membuat
kesepakatan yang kompleks, yaitu transaksi yang tidak secara otomatis (non-self- enforcing
transactions) [Clague, et. al., 1997:69]. Ada dua jenis penegakan hukum yang ada dalam
masyarakat, yaitu aturan formal dan informal. Aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh
organisasi resmi seperti negara dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tindakan
kolektif (collective action) melalui pihak ketiga (third party sanction), sementara norma
(aturan) informal muncul dari akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan
sosial (social relationship). Norma (norms) adalah aturan-aturan yang secara eksplisit
maupun implisit bertujuan mengatur perilaku yang melekat pada kepentingan dan keinginan
masing-masing anggota kelompok (close-knit group) atau komunitas (Nee, 1998:86-87).
Derajat efektivitas aturan dalam mengelola perilaku sangat bergantung pada tingkat
penegakan. Penegakan dapat dipengaruhi oleh daya tekan dari negara atau norma dalam
masyarakat, dimana tekanan dan norma ini bisa saling menggantikan. Sedangkan Barzel
(2000:214) berargumentasi bahwa penggunaan kekerasan (violence) untuk melakukan
penegakan bisa berbeda- beda dalam tiga aspek berikut: kekerasan seringkali lebih murah,
kekerasan dilakukan untuk mencegah penyitaan (threaten confiscation), dan kekerasan
bertujuan untuk memperkuat pertukaran kontrak itu sendiri.
Banyak situasi dimana individu-individu berinteraksi hanya sekali tanpa berencana
untuk berhubungan lebih lanjut atau dalam suatu hubungan jangka panjang (long-term basis).
Dalam keadaan dimana tidak ada pihak ketiga yang terlibat, hampir semua interaksi hanya
terjadi untuk satu kali (one-time interaction) dimaksudkan untuk menangkap (capture) atau
memindahkan (transfer). Jika hak ekonomi untuk mentransfer aset tidak terdefinisikan
dengan jelas, maka biaya untuk menyelesaikan perselisihan akan sangat tinggi. Sebagai
aturan, dimana satu individu biasanya mengharapkan keuntungan atau minimal kerugian,
sehingga nilai material untuk bergabung dalam interaksi dapat menjadi negatif karena adanya

8
biaya yang terlibat. Oleh karena itu, kedua belah pihak cenderung memilih untuk menjalin
hubungan jangka panjang yang memerlukan investasi dalam bentuk reputasi dan
mengeluarkan biaya untuk mempertahankan hubungan tersebut. Namun, interaksi jangka
panjang langsung (direct long-term interactions) tidak selalu cukup untuk mengakomodasi
semua proyek yang dinilai. Dalam situasi seperti ini, pelaku bisa mendapatkan bantuan dari
pihak ketiga untuk memperkuat kesepakatan yang telah dibuat. Pihak ketiga akan berfungsi
untuk menjaga prinsip-prinsip ini jika nilai proyek menjadi negatif bagi salah satu pihak atau
yang lain selama masa perjanjian. Pernyataan ini juga berlaku untuk badan penanggung
jawab pelaksanaan penegakan dan perlindungan dari seluruh hak kepemilikan formal (Khan,
1995:72).
Inti dari tipologi pembagian dengan pelaku lain adalah bermufakat dalam
menyelesaikan masalah penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak
menghubungkan antara pelaku dan mitra berdasarkan asas saling menguntungkan, tetapi
kontrak juga memiliki risiko praktek oportunisme. Menyebabkan terdapat godaan bagi satu
atau lebih pelaku untuk bersikap menyimpang (Crawford et. al., 1978). Oleh karena itu,
penting untuk mengatur hak-hak secara tepat dan menentukan prosedur penegakan yang
efektif agar kesepakatan dapat berhasil terjadi (seperti yang dikutip oleh Ménard, 2000:240).
Fokus utama adalah mencari kesepakatan optimal, yaitu dengan merancang kontrak
sedemikian rupa sehingga para pelaku memiliki insentif yang cukup untuk mematuhi
kesepakatan tersebut. Kontrak semacam ini seharusnya dapat memaksakan sendiri, yang
berarti implementasinya bergantung pada mekanisme otomatis (built-in mechanism) yang
sudah terintegrasi dalam kontrak. Dalam model ini, kelembagaan tidak menjadi masalah.
Namun, adanya tanda-tanda kegagalan kontrak dapat dilihat dari kebutuhan untuk
menggunakan kekuatan eksternal, yang berarti kontrak tersebut telah didesain dengan buruk
(Ménard, 2000:238).
Seperti yang dijelaskan oleh Menard (2000:248), hal ini mengarah pada pemahaman
tentang batas "penataan publik" (public ordering). Penataan publik dapat didefinisikan
sebagai pengaturan yang melebihi aturan main untuk wilayah pengaturan privat. Penataan
publik juga mencakup seperangkat mekanisme yang secara eksplisit dirancang untuk
menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Oleh karena itu, diharapkan penataan publik
ini akan bertemu dengan penataan sektor swasta (privat). Topik utama yang dapat
dijadwalkan untuk penelitian adalah melakukan analisis dan pemahaman tentang perubahan
keseimbangan antara prosedur privat dan publik. Pengadilan (court) dan kelembagaan terkait
(administrasi kehakiman, polisi, dan penjara) adalah mekanisme yang melekat dalam

9
penataan privat untuk mencapai penegakan publik. Peran pengadilan dalam menegakkan
publik atas kontrak berkaitan dengan isu hak kepemilikan, terutama sejak kesepakatan
kontrak dimasukkan ke dalam pemindahan hak pemanfaatan. Namun, menurut North
(1990a:59), penegakan di negara-negara dunia ketiga seringkali tidak pasti, yang disebabkan
bukan hanya oleh ambiguitas doktrin legal (pengukuran biaya), tetapi juga oleh
ketidakpastian dalam menghargai perilaku agen/pelaku.
Pada kenyataannya, menerapkan mekanisme penegakan hukum tidaklah selalu mudah
dan seringkali sangat rumit. Terutama dalam kasus ketika rasionalitas terikat/terbatas
(bounded rationality) terjadi, yang dapat menyebabkan ketidaklengkapan dalam kelembagaan
terjadi. Sehingga, masalahnya bukan hanya sebatas merancang aturan perilaku kelembagaan
(institution's behavioral rules), tetapi juga tentang bagaimana aturan tersebut ditegakkan.
Masalahnya dalam situasi aturan yang tidak lengkap, penegakan legal sangatlah terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan instrumen tambahan seperti jaminan ekstralegal (extralegal
guarantee) dalam bentuk penyanderaan (hostages), agunan (collateral), strategi balas
dendam (tit-for-tat strategies), reputasi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa
jaminan "privat" dibutuhkan untuk menghadapi perilaku menyimpang dan membangun
hubungan yang taat asas. Oleh karena itu, setiap perancang kelembagaan harus
mempertimbangkan situasi aturan main yang tidak lengkap agar dapat mencegah
perilaku-perilaku menyimpang (Furubotn dan Richter, 2000:19).
Pada umumnya, seorang perancang kelembagaan yang rasional akan merancang
strategi atau perilaku "non-kerja sama" (noncooperative) sebagai bagian dari partisipan saat
melakukan proses tawar-menawar. Dalam hal ini, perancang harus membuat kesepakatan
jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-ante guarantee) untuk menghadapi perilaku
oportunistik yang mungkin muncul setelah kontrak disepakati (noncooperative behavior).
Namun, hal ini dapat menimbulkan biaya transaksi yang cukup besar. Oleh karena itu, biaya
transaksi yang muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furubotn dan
Richter, 2000:20). Masalah semacam ini sebenarnya merupakan hal yang umum dalam
bidang ekonomi, terutama dalam lingkungan dimana otoritas hukum formal tidak bekerja
dengan baik. Kegiatan ekonomi bisnis sehari-hari selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa
seperti itu sehingga penting untuk melakukan antisipasi terhadap masalah ini. Secara
kategoris, upaya semacam itu disebut sebagai "kontrak dalam kontrak", dimana kontrak
pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang ingin dilakukan dan kontrak
kedua untuk mengatasi masalah penegakan akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak.

10
2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders
Teori tindakan kolektif (collective action) pertama kali diformulasikan oleh Mancur
Olson (1971), terutama, pada masalah kelompok kepentingan (interest groups). Manfaat dari
teori ini adalah untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider) dan merangkai solusi
bersama (cooperative solutions) bagi pengelolaan sumber daya bersama (common resources)
atau penyediaan barang-barang publik (public good). Faktor penentu dari keberhasilan
tindakan kolektif yang disebutkan adalah ukuran (sice), homogenitas (homogeneity), dan
tujuan kelompok (purpose of the group). Persoalan pemanfaatan sumber daya publik dapat
diselesaikan di masa lalu dilakukan dengan cara menegakkan hak kepemilikan (property
rights) oleh Hardin yang dikenal dengan istilah “tragedy of the commons”. Di sisi lain,
kesepakatan kelembagaan lokal (local institutional arrangements) dapat dilakukan jika
dilihat dari tradisi dan konvensi sosial.
Berdasarkan tiga determinan diatas akan menentukan apakah tindakan kolektif dapat
bekerja secara optimum. Hipotesisnya yaitu semakin besar ukuran suatu kelompok
kepentingan, maka semakin sulit bagi kelompok tersebut untuk menegosiasikan tindakan
kolektif antara anggota kelompok. Artinya, kelompok dengan ukuran kecil diharapkan
bekerja lebih efektif. Selanjutnya, keragaman kepentingan anggota kelompok juga akan
menentukan keberhasilan tindakan kolektif. Jika kepentingan kelompok sangat beragam
maka capaian kesepakatan bersama akan sangat sulit karena anggota membawa
kepentingannya sendiri-sendiri, demikian sebaliknya. Terakhir, tujuan kelompok harus dibuat
dengan pertimbangan kepentingan semua anggota. Tujuan yang sangat lebar menyebabkan
tindakan bersama menjadi lemah.
Dalam konteks yang lebih luas, teori tradisional perilaku kelompok (group behavior)
berasumsi bahwa private group dan asosiasi-asosiasi tawar menawar untuk tindakan kolektif
menganut prinsip yang berbeda dari operasi relasi antar perusahaan di pasar atau antar
pembayar pajak dan negara (Olson, 2001:16). Prinsip berbeda dengan pembayar pajak dan
negara yang berjalan berdasarkan regulasi undang-undang sehingga tidak ada tawar-menawar
pada posisi tersebut. Posisi kuat yang dimiliki negara berbanding terbalik dengan serikat
pekerja (labor unions), misalnya terdapat mufakat di antara anggotanya untuk menentukan
kepentingan mana yang dibawa kepada pemilik perusahaan/modal. Tindakan kolektif antar
pekerja memiliki posisi yang lebih kuat dibanding pembayar pajak, karena merupakan
komunitas yang terus mendesakkan kepentingannya agar tawar-menawar terjadi sesuai
dengan tuntutannya. Organisasi lain yang serupa adalah organisasi petani, kartel, partai
politik dan sebagainya.

11
Salah satu titik kritis dari tindakan kolektif adalah adanya kemungkinan sebagian
kecil anggota mengeksploitasi anggota yang besar. Maka dari itu, lebih baik bila kepentingan
suatu kelompok bersifat homogen. Olson menyimpulkan bahwa keberhasilan tindakan
kolektif dijamin jika kelompok kepentingan tersebut memperoleh keuntungan melebihi biaya
produksi keseluruhan (the entire production cost). Dari beberapa tindakan kolektif yang
dilakukan, terdapat beberapa situasi yang membutuhkan tindakan kolektif agar dapat
menyelesaikan persoalan menurut Heckathorn antara lain :
1. Sistem untuk mengelola sumber daya bersama (common-pool resources), seperti
perikanan, sumber daya air yang dikelola melalui sistem irigasi, atau padang rumput
(Ostrom, 1990).
2. Sistem untuk mengontrol perilaku (controlling behavior), misalnya norma sosial
melarang eksploitasi atau perilaku merusak (Ullmann-Margalit,1977).
3. Perubahan-perubahan sosial semacam revolusi (Taylor, 1988; Lindenberg, 1989) atau
perubahan perlahan dalam kebijakan publik.
Situasi tersebut merupakan sebuah syarat agar kegiatan pemanfaatan sumber daya dilakukan
secara efektif dan efisien dengan adanya tindakan kolektif.
Deskripsi di atas sekurangnya menyumbangkan tiga karakteristik esensial yang perlu
dijabarkan dengan jelas. Pertama, barang atau jasa yang diproduksi bersamaan, jika tidak
maka tindakan kolektif tidak dibutuhkan. Kedua, produksi memberikan laba kepada semua
anggota kelompok, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang gagal berkontribusi
dalam aktivitas produksi. Ketiga, produksi dalam barang-barang publik menyertakan biaya.
Hanya dengan keberadaan ketiga kondisi tersebut anggota kelompok pasti akan bertemu
free-riders, yaitu individu yang tidak ada biaya dari tindakan kolektif namun menerima
manfaat. Dalam posisi ini tindakan kolektif dapat menjadi baik alasan munculnya maupun
solusi penyelesaian free-riders. Sisi pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan
free-riders menggalang kekuatan yang berujung kepada tindakan kolektif, misalnya
melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan dalam proposisi yang
kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang lengkap (tidak matang) besar pula
peluangnya untuk menciptakan free-riders baru, misalnya ketidakjelasan aturan main tentang
hukuman dan insentif.
Menurut Olson (1965), masing-masing dari tiga mekanisme fundamental ini dapat
mempercepat proses tindakan kolektif. Pertama, produksi secara sukarela (voluntary
production) hanya dapat dilaksanakan oleh small groups atau kelompok yang dominan
produsen besar. Namun, Oliver et. al. (1985) berargumen dalam lingkungan tertentu

12
peningkatan ukuran suatu kelompok memfasilitasi tindakan kolektif lewat peningkatan
kemungkinan massa kritis (critical mass) dari para pelaku yang bergabung untuk
menanggung beban ongkos produksi dari barang-barang publik. Kedua, interaksi strategis
(misalnya kerja sama kondisional yang menyatakan “jika kamu bergabung, maka saya juga
akan masuk”) mungkin akan menciptakan kerja sama cuma dalam kelompok sedang
(medium-sized groups). Tetapi, Axelrod (1984) menunjukkan bahwa interaksi strategis dapat
memfasilitasi kerja sama dalam kelompok manapun karena mekanisme pergaulan dan
reputasi (associated). Ketiga, adanya asumsi bahwa adanya syarat otoritas sentral bagi
insentif selektif atau selective incentives (seperti hukuman bagi free-riders atau penghargaan
pada pihak yang bekerja sama). Intinya, terdapat antisipasi jika ada masalah free-riders pada
level lebih lanjut yang muncul karena insentif selektif yaitu barang publik, dimana pelaku
yang gagal dibebani biaya dari insentif yang diterima mungkin juga tidak mendapatkan
benefit.

2.4 Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif


Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan
kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam
Yustika, 2013:90]. Terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional (Miller, 1992) yang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Pendekatan kuat (strong approach), melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri
menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Dalam pendekatan kuat terdapat
tiga solusi internal yaitu: perlunya solusi internal yang kuat terhadap problem
penunggang bebas, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang
orang untuk berpartisipasi, dan memunculkan kerjasama kondisional yang saling
menguntungkan.
2. Pendekatan lemah (weak approach), menempatkan halangan sosial dan kelembagaan
sebagai suatu kerangka yang pasti ada karena tindakan kolektif tersebut dan solusi
eksternal yang menekankan kepada desentralisasi komunitas ketimbang otoritas
sentral.

13
Terdapat enam strategi yang ditawarkan yang tertuang dalam tabel berikut ini:

Penjelasan:
1. Kerjasama penuh termasuk kontribusi terhadap produksi barang- barang
publik dan memberikan penalti terhadap pihak yang tidak melakukan
kontribusi. Individu yang memilih strategi ini akan maksimalisasi kontribusi
individual dan kolektif terhadap produksi barang-barang publik.
2. Kerjasama hipokritikal terjadi ketika pelaku penunggang bebas, yakni yang
gagal berkontribusi terhadap barang publik, berupaya mendesak pihak lain
untuk berkontribusi.
3. Kerjasama privat berkontribusi terhadap barang publik tetapi tidak berusaha
mencegah pihak lain menjadi penunggang bebas.
4. Kegagalan penuh menolak berkontribusi dan mengizinkan pihak yang lain
bertindak seperti yang mereka lakukan.
5. Posisi lunak berkontribusi terhadap barang publik namun dengan membela
hak pihak lain untuk menolak berkontribusi.
6. Oposisi penuh menolak untuk berkontribusi dan melawan norma yang
memaksakan pelaksanaan atau aturan.
Konfigurasi tindakan kolektif juga dapat dilihat dari kacamata komunikasi, setidaknya
dengan merujuk teori tindakan komunikasi (theory of communication action) yang
diformulasikan oleh Habermas.

14
Di dalam teori tersebut terdapat dua kawasan dalam masyarakat yang terpisah tetapi
saling tergantung, yaitu sistem dan dunia nyata. Sistem merupakan kawasan produksi dan
reproduksi material yang seluruh tindakan ditujukan untuk mencapai keberhasilan melalui
tindakan strategis dan instrumental. Strategis artinya apabila aksi tersebut mengikuti
aturan-aturan pilihan rasional dan bertujuan memengaruhi keputusan pihak lain yang rasional
(rational opponent). Sedangkan instrumental terjadi ketika aksi itu mengikuti aturan-aturan
teknis dan campur tangan dalam lingkungan. Di sisi lain, dunia nyata (lifeworld) perwujudan
ruang simbolik atas itikad yang dibagi secara kolektif dengan tradisi, budaya dan struktur
normatif yang direproduksi dan ditransformasikan lewat proses interpretif yang terus berjalan
atas tindakan komunikatif. Di sini, tindakan komunikatif menekankan interaksi di antara dua
pihak atau lebih untuk mencari kesepahaman situasi bersama (shared situation).
Secara garis besar, tindakan kolektif diasumsikan bersumber dari dua pendekatan.
Pertama, keuntungan dari bekerja dalam suatu kelompok akan menggiring ke dalam situasi
yang tidak terhindarkan untuk menciptakan kelompok-kelompok. Kedua, perilaku
maksimalisasi individu dalam jangka pendek akan menuntun individu melakukan kerjasama
atau tindakan kolektif.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan materi diatas, adapun 4 poin kesimpulan
yang dapat penulis rangkum adalah sebagai berikut.
1. Teori kontrak merupakan kesepakatan suatu pelaku untuk melakukan tindakan yang
memiliki nilai ekonomi kepada pihak lainnya dengan adanya konsekuensi tindakan
balasan. Kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan yaitu ketidakpastian dan
kinerja kontrak khusus. Munculnya faktor ketidakpastian didapat dari informasi
asimetris yang tidak lain merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi yang
dialami oleh pelaku-pelaku transaksi.
2. Mekanisme penegakkan didukung karena adanya kontrak yang memiliki risiko
kerugian akibat perilaku oportunis, yang dapat disebabkan oleh kontrak yang tidak
lengkap atau situasi pelaksanaan yang berbeda dari situasi saat negosiasi. Ada dua
jenis penegakan hukum yang ada dalam masyarakat, yaitu aturan formal dan informal.
Sedangkan instrumen ekstralegal merupakan perilaku non-kerjasama sebagai bagian
dari partisipan saat melakukan proses tawar-menawar yang dibutuhkan untuk
menghadapi perilaku menyimpang dan membangun hubungan yang taat asas.
3. Teori tindakan kolektif menjelaskan situasi di mana kelompok-kelompok ekonomi
berusaha untuk mencapai tujuan bersama, seperti mengembangkan sebuah industri
baru atau mengatasi masalah sosial yang terkait dengan kegiatan ekonomi sehingga
terdapat individu-individu dalam kelompok yang bekerja sama dan saling mendukung
untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal itu tindakan kolektif menghadapi
tantangan dari fenomena free-riders yaitu individu atau kelompok yang mendapatkan
manfaat dari tindakan kolektif tanpa memberikan kontribusi yang cukup dalam upaya
tersebut. Free-riders dapat memperlambat atau bahkan menghentikan tindakan
kolektif karena merasa manfaat yang diperoleh sudah cukup dan tidak merasa perlu
memberikan kontribusi
4. Terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional yaitu pendekatan kuat dan
pendekatan lemah. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri, namun pendekatan lemah
menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti
ada. Dalam pencapaian pemahaman terdapat tindakan komunikatif yang menekankan

16
kepada interaksi di antara dua pihak atau lebih untuk mencari kesepahaman mengenai
situasi bersama.

3.2 Saran
Adapun saran dalam penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1. Saran bagi mahasiswa, diharapkan dengan penulisan paper ini, mahasiswa dapat
menyempurnakan kembali isi dan substansi dari paper ini secara akademik sehingga
dapat menambah wawasan pembaca dalam paper ini.
2. Saran bagi masyarakat/ khalayak umum, melalui penulisan paper ini masyarakat
diharapkan dapat memahami secara teori kontrak dan tindakan kolektif sehingga
dapat memberikan kritik dan sarannya dengan wawasan yang dimiliki terhadap situasi
yang mempengaruhi Indonesia saat ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Jakarta. Erlangga.

18

Anda mungkin juga menyukai