Anda di halaman 1dari 30

EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI 416 B3)

EKONOMI KELEMBAGAAN DAN SISTEM EKONOMI

Dosen Pengampu: Dr. Ni Nyoman Reni Suasih, S.IP., M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Helena Intan Juwita (2107511033/06)

I Gusti Ayu Agung Bintang Setya Maharani (2107511036/07)

I Gusti Ayu Putri Okayuni (2107511037/08)

I Komang Aditya Pratama (2107511039/09)

Putu Eka Dewi Lestari (2107511042/10)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan paper ini. Atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Ekonomi
Kelembagaan dan Sistem Ekonomi” tepat waktu.

Tujuan paper ini ditulis dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah
Ekonomi Kelembagaan. Selain itu, paper ini bertujuan untuk menambah wawasan
pembaca mengenai kelembagaan kapitalisme dan sosialisme, ekonomi
kelembagaan dan demokrasi, perubahan kelembagaan dan pembangunan
ekonomi, serta tempat negara dalam kelembagaan dan sistem ekonomi.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ni


Nyoman Reni Suasih, S.IP., M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan yang telah memberikan tugas ini. Kami juga ucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyelesaian paper ini. Kami juga sadar bahwa tugas ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami
terima demi kesempurnaan paper ini.

Jimbaran, 27 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ......... .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
2.1 Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme ................................. 3
2.2 Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi ...................................... 10
2.3 Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi ............... 15
2.4 Masih Adakah Tempat Untuk Negara? ....................................... 20
BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 23
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 25
3.2 Saran ............................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekonomi kelembagaan dan sistem ekonomi adalah dua konsep yang saling
berkaitan dan penting dalam memahami bagaimana ekonomi suatu negara atau
masyarakat beroperasi. Ekonomi kelembagaan melibatkan analisis tentang peran
lembaga dan aturan-aturan yang ada dalam membentuk kerangka ekonomi suatu
negara, sementara sistem ekonomi mengacu pada cara sumber daya dikelola,
diproduksi, dan didistribusikan dalam masyarakat pada suatu negara.

Dalam ekonomi kelembagaan, institusi ekonomi memainkan peran sentral


dalam membentuk perilaku ekonomi individu dan organisasi, serta dalam
menentukan hasil ekonomi secara keseluruhan. Institusi tersebut mencakup
peraturan hukum, kebijakan publik, lembaga politik, norma sosial, dan praktik
ekonomi yang menjadi kerangka kerja bagi interaksi ekonomi. Institusi ini
mengatur aturan permainan ekonomi, mempengaruhi keputusan dan motivasi
individu, dan membentuk sistem ekonomi yang beroperasi dalam masyarakat.

Sistem ekonomi adalah hasil dari interaksi kompleks antara lembaga-


lembaga tersebut. Sistem ekonomi dapat bervariasi, mulai dari ekonomi pasar
yang didasarkan pada mekanisme pasar dan kebebasan individu dalam mengambil
keputusan ekonomi, hingga ekonomi terencana yang melibatkan campur tangan
pemerintah yang lebih besar dalam mengatur alokasi sumber daya dan distribusi
pendapatan. Selain itu, terdapat juga sistem ekonomi campuran yang
menggabungkan elemen pasar dan campur tangan pemerintah dalam berbagai
tingkatan.

Pemahaman tentang ekonomi kelembagaan dan sistem ekonomi


memungkinkan kita untuk menganalisis efisiensi, keadilan, dan pertumbuhan
ekonomi dalam konteks yang lebih luas. Melalui prmbahasan ini, kita dapat
memahami bagaimana lembaga ekonomi mempengaruhi kinerja ekonomi suatu

1
negara, mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan, dan merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih efektif.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan paper ini, yakni.

1. Apakah yang dimaksud dengan kelembagaan kapitalisme dan


sosialisme serta bagaimana ciri dari kedua kelembagaan tersebut?

2. Bagaimanakah hubungan keterkaitan ekonomi kelembagaan dan


demokrasi ?

3. Bagaimanakah perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi?

4. Apakah masih ada tempat untuk negara dalam ekonomi kelembagaan?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan paper ini, yakni.

1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan


kelembagaan kapitalisme dan sosialisme serta bagaimana ciri dari
kedua kelembagaan tersebut.

2. Untuk mengetahui dan memahami hubungan keterkaitan ekonomi


kelembagaan dan demokrasi.

3. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perubahan kelembagaan


dan pembangunan ekonomi.

4. Untuk mengetahui dan memahami masih adakah tempat untuk negara


dalam ekonomi kelembagaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme

Kapitalisme dianggap sebagai penemuan luar biasa dalam sejarah umat


manusia. Bahkan kapitalisme industrial (industrial capitalism) dipandang sebagai
transformasi terbesar yang pernah ada di dunia ini (Mathews, 2011: 868). Sistem
ekonomi kapitalis (kapitalisme) sendiri tegak oleh beberapa pilar dasar yang
melatarinya. Setidaknya, wajah kapitalisme bisa dilukis dalam empat sketsa
berikut.

1. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakan dan dikoordinasi


oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal).
Jika harga dianggap melebihi biaya produksi dan margin laba, maka
hal itu merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk ke
pasar untuk menambah persediaan (supply) barang/jasa sehingga
dapat menurunkan harga; demikian sebaliknya.

2. Setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak


kepemililkan (property rights) sebagai dasar melakukan transaksi
(exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak akan
pernah bisa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Oleh karena
itu, salah satu fungsi terpenting dari kapitalisme adalah menawarkan
dan melindungi hak kepemilikan swasta (privale property rights).

3. Kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni


pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land).
Pemilik modal memperoleh pendapatan dari laba (profit), tenaga kerja
dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa (rent).

4. Tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar
pasar (entry and exit barriers). Pelaku ekonomi yang melihat peluang
profit bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pelaku

3
ekonomi yang gagal (rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi
yang menghambatnya.

Dengan empat pilar tersebut, ekonomi kelembagaan yang dikembangkan


negara kapitalis diarahkan agar dapat menjalankan prinsip itu. penguatan pasar
scbagai instrumen untuk mengoordinasi kegiatan ekonomi, misalnya aturan
mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan Negara/pemerintah dari aktivitas
ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakan sektor swasta lewat pasar,
sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Bahkan, akibat peran
pasar yang dominan, kapitalisme sendiri sering disinonimkan sebagai ekonomi
pasar (marker economic) [Grassby, 1999:3]. Dalam posisi seperti ini, peran negara
tidak lebih sebagai fasilitator kegiatan ekonomi. Atau, lebih spesifik lagi, negara
diperlukan kehadirannya apabila terjadi kegagalan pasar (market failure), baik
karena ekstemalitas maupun keperluan munculnya barang publik. Menurnt cara
pandang aliran neoklasik, apabila eksternalitas dan barang publik eksis, maka
negara bisa hadir melalui regulasi yang dibuat (Caporaso dan Levine, 1992:92-
93), Misalnya, dalam kasus eksternalitas, negara diperkenankan memberikan
penalti atas korporasi yang menghasikan polusi (negative exiernaliry). Sedangkan
dalam kasus public good, negara bisa masuk untuk memperkuat fungsi pasar,
seperti pembuatan sarana transportasi, listrik, dan telekomunikasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip private property right merupakan


dasar terpenting dari kapitalisme. Bahkan, ekonomi kapitalis sangat tergantung
dari kelembagaan yang memapankan dan menjamin hak kepemilikan secara
eksklusif yang bisa digunakan melakukan pertukaran secara sukarela berdasarikan
kontrak. Seterusnya, hak kepemilikan privat banya dapat berfungsi dengan efektif
apabila individu yang tidak memiliki otorisasi dapat dikeluarkan (excluded) dari
pemanfaatan property right tersebut sehingga tidak dapat memetik keuntungan
ataupun biaya yang melekat pada pemiliknya (Kasper dan Streit, 98:173). Dengan
keyakinan itu, kelembagaan ekonomi kapitalisme didesain agar bisa menjamin
dan memberikan hak kepemilikan kepada masyarakat (private). Dari perspektif
ini, tidak dibenarkan adanya kelembagaan ekonomi yang menghambat hak
seseorang untuk mendapatkan hak kepemilikan. jadi, maka risikonya sulit bagi

4
individu tersebut melakukan transaksisecara sukarela. Dalam jangka panjang,
praktik yang menghambat hak kepemilikan privat akan mengganggu kegiatan
ekonomi secara keseluruhan sehingga pertumbuhan ekonomi. Argumentasi inilah
yang menjadi factor penting yang mempercepat negara-negara kapitalis dalam
mengakumulasi dan menggerakkan kegiatan ekonomi.

Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis Di Indonesia

Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah


sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan
adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor
ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka
negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi
lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme. Dengan
menggunakan tolok ukur diatas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman
kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di
Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan
Orde Baru.

Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi


pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan
Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjauhi ideologi sosialis. Dengan
membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal
asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA (Penanaman Modal Asing) dan
hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja
sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter- Government Group
on Indonesia (IGGi) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk
Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia
dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah
semikapitalisme (Tambunan, 1998). Memasuki periode akhir 1980-an dan awal
1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik
kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada

5
sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah 'dipaksakan' kepada
negara kita.

Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik


libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor
swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal
dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan
pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam
maupun hutang luar negeri. Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak
kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di
Indonesia, yang selanjutnya dikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewamai percaturan ekonomi
Indonesia saat itu. Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya
berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai
dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-
sendi perekonomian Indonesia. Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi,
ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola
sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah
ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah pemisahan kegiatan ekonomi


dalam tiga pelaku, yakni pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan.
meskipun relasi antara ketiga pelaku ini dianggap sangat tidak adil oleh ekonom
kiri (marxian economists), namun faktanya pembagian kerja itu telah
mendonorkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kompetisi yang tinggi di Negara
negara kapitalis. Pada level makro, pemisahan pemilik faktor produksi menjadi
alasan munculnya segregasi hubungan ekonomi yang efisien melalui spesialisasi.
Pemilik modal menyiapkan sepenuhnya kebutuhan material (alat produksi)
sehingga proses produksi bisa berlangsung, tenaga kerja memberikan
kemampuan/ketrampilan maksimal agar diperoleh output yang bermutu, dan
pemilik lahan memberikan jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akibat
penekanannya terhadap aspek produksi tersebut (dan bukan konsumsi), Karl Marx
mendefinisikan kapitalisme scbagai cara produksi (mode of production) (Grassby,

6
1999:3). Pada level mikro, pemisahan pelaku ekonomi secara otomatis
menyebabkan berjalan mekanisme check and balances. Dalam praktiknya, di
tingkat korporasi, pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan mempunyai
otoritas masing-masing (seberapa pun terbatasnya) untuk menjalin kerjasama
maupun pengawasan. Inilah yang menjadi dasar tenaga kerja diperbolehkan
membuat serikat kerja sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingannya,
khususnya berhadapan dengan pemilik modal.

Akhirnya, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi kapitalis memberi


tempat yang leluasa bagi setiap pelaku ekonomi untiuk masuk dan keluar pasar
melalui sistem insentif. Setiap adanya regulasi yang merintangi pelaku ekonomi
masuk dan keluar pasar, di situlah akan terjadi inefisiensi ekonomi. Inefisiensi itu
dengan mudah dikenali dari harga yang terbentuk di pasar. Jika harga terialu
tinggi dari yang seharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal ini
menjadi sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila
prosedur masuk ini dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss).
Sebaliknya, jika harga sangat rendah dari yang seharusnya, maka ini juga pertanda
bagi sebagian aktor ekonomi untuk keluar dari pasar agar jumlah produk
berkurang. Bila mekanisme keluar ini dihambat, maka akan banyak sekali peluku
ekonomi yang mengalami kerugian (producers loss). Melalui skenario tersebut.
ekonomi kelembagaan sistem kapitalis didesain agar cukup terdapat ruang bagi
pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam perekonomian. Secara operasional
prinsip ini tentu saja didukung dengan kemauan pemerintah untuk seminimal
mungkin memproduksi regulasi yang justru berpotensi membawa efek negatif
bagi free entry and exit barriers, misalnya lewat UU perijinan yang berlebihan.

Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut dianggap olch Karl Manx


eksploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapan dengan
pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-
pranata faktor produksi selalu terlambat ketimbang percepatan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produki tersebut
adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal,tanah dan
tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih

7
banyak menguntungkan pemilik tenaga kerja, sementara pada jaman feodal
keuntungan itu banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada jaman kapitalis saat ini
pemegang polis atas profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang
mengemuka adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan
atas kegiatan ckonomi selalu tidak bisa jatuh proporsional kepada masing-masing
pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi
tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14)
berkesimpulan bahwa perkembangan intrastruktur (inovasi teknologi/produksi)
selalu tidak dikuti dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), dan itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.

Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-


faktor produksi (means of production) di bawah kontrol negara. Keputusan
produksi dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis tetapi
berdasarkan perencanaan terpusat (central plan). Perencanaan tersebut meliputi
target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan perangkat yang dibutuhkan
untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Negara dalam mendesain dan
ngimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh kebutuhan negara (the
entire society) berdasarkan sumber daya yang dimiliki berbasiskan tindakan
kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan dilihat sebagai perangkat
pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa mengeliminasi
ketidakpastian yang inhenren dalam sistem pasar (Jatlee, 1998:120-121). Dengan
keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba
negara. Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan
memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu
sendiri. Akibat tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap
dipandang sebagai anti nilai-nilai kewirausahaan (Fritsch dan Rusakova,2012:6).

Lepas dari hal tersebut, sekedar sebagai kasus, di Kuba misalnya setelah
masa revolusi pemerintahan Fidel Castro mengubah struktur kepemilikan secara
mendasar dengan mengubah hak kepemilikan privat menjadi hak kepemilikan
negara. Dengan modus ini, pemerintah Kuba berharap bisa mengoyak
kelembagaan ekonomi yang sebelumnya telah menimbulkan ketimpangan

8
pendapatan. Kebijakan itu dilanjutkan dengau adanya reformasi agraris (agrarian
reform), yang dilakukan pertama kali peda (tanggal 17 Mei 1959 melalui UU
Refomasi (Reform Law). Setelah itu, pada 1963 muncul legislasi reformnasi lahan
yang kedua dengan menghapuskan petani skala menengah dan besar. Dengan
distribusi lahan ini, pemerintah Kuba berkeyakinan dapat memutus dari praktik
kapitalisme, yakni dengan jalan menyerang fondasi paling dasar dari pekonomian
Kuba yang membuatnya terjebak dalam jaringan kapitalisme internasional
(Ruffin, 1990:119). Meskipun saat ini bukan tergolong Negara yang kaya
setidaknya berdasarkan peringkat pendapatan per kapita, tetapi dari sisi
pemerataan pendapatan pemerintah Kuba saat ini telah berhasil memperbaikinya
diibandingkan masa pra-revolusi dulu. Deskripsi tersebut setidaknya
membuktikan kuattnya pengaruh pilar serba-negara dan target pemerataan dalam
sistem ekonomi sosialis.

Hal penting lainnya, argumen sistem ekonomi sosialis didasarkan kepada


adanya nilai-nilai lain (other values) yang pantas dipertimbangkan, selai
pertumbuhan/profit. Contohnya, karena kepemilikan produktif sektor swasta
dikontrol oleh negara, diandaikan tidak ada eksploitasi terhadap pekerja oleb
pemilik modal maupun konsentrasi laba di tangan sedikit pelaku ekonomi (small
elie). Implikasinya, distribusi pendapatan dalam-sistem ekonomi kapitalis lebih
merata dibandingkan sistem ekonomi kapitalis, karena yang terakhir ini laba yang
diperoleh sebagian besar dipegang oleh pemilik modal. Lebih dari itu, dalam
sistem ekonomi sosialis penyediaan kebutuhan dasar (provision of basic needs)
secara struktural lebih feasible karena produksi dikerjakan tidak semata-mata
untuk tujuan laba (private profit). Dengan begitu, melalui skema tersebut, model
pembangunan di bawah sistem ekonomi sosialis lebih stabil, rasional, berdasarkan
prioritas dan kebutuhan nasional, lebih adil, dan tidak boros (wastefiul) ketimbang
sistem ekonomi kapitalis (Jaffee, 1998:121). Faktanya, sebagian dari skenario itu
memang terjadi di negara-negara yang selama ini mengusung sosialisme sebagai
sistem ekonominya, seperti negara-negara Eropa Timur sebelum dekade 1990-an
dan Kuba.

9
Tentu saja, dengan pilar tersebut, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi
sosialis lebih simpel daripada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi kelembagamn
sistem ekonomi sosialis hanya didasarkan pada dua prinsip berikut:

1. Pertama, negara menyiapkan selunh regulasi yang diperlukan untuk


menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses
perencanaan, operasionalisasi, pengawasan sampai ke evaluasi. Pada
level ini fungsi negara merancang sistem kepemilikan, proses
transaksi, dan pembagian keuntungan berbasiskan instrumen negara.
Jadi, dalam kasus hak kepemilikan Negara bukan cuma mengontrol,
tetapi juga menguasai hak kepemilikan (state property rights). Dengan
prosedur inilah negara berharap target pemerataan pendapatan bisa
dicapai.

2. Kedua, pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan pelaku


ekonomi lainnya (institutional arrangemenis), tetapi setiap pelaku
ekonomi membuat kontrak dengan negara sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan (institutional environment). Dengan model seperti ini,
diandaikan tidak ada eksploitasi antarpelaku ekonomi (misalnya antara
pemilik modal dan pekerja), seperti dalam sistem ekonomi kapitalis.
Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan antarpelaku ekonomi juga
tidak akan terjadi.

2.2 Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi

Demokrasi adalah salah satu sistem politik yang diharapkan bisa


memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi, beberapa variabel
penting dalam demokrasi, seperti hak kepemilikan dan kebebasan memilih tempat
tinggal, juga dimiliki oleh sistem politik lainnya. Sebaliknya, kelebihan yang
dimiliki oleh sistem politik lainnya, seperti kecepatan dalam pengambilan
keputusan, tidak dimiliki oleh sistem politik demokratis. Dari sisi ini, demokrasi
sesungguhnya hanya bisa menggaransi dua hal penting, yakni hak-hak politik
(political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan
jaminan secara langsung bagi pertumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak

10
berpartisipasi memaknai proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak
menyatakan ekspresi, mengorganisasi, dan melakukan demonstrasi, dan hak
memperoleh otonomi dalam hal kebebasan beragama, pendidikan, perjalanan, dan
hak personal lainnya (Gastil; dalam Clague et al., 1997:96). Tentu saja pemaknaan
demokrasi seperti ini masih dalam lingkup prosedural, karena semua hal tersebut
bisa diperoleh lewat cara yang tidak substansial.

Seymor Martin Lipset yang pertama mengerjakan studi dengan


memberikan postulat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi
terbukanya peluang demokratisasi pada masa yang akan datang (Collier, 1979:19).
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi sulit bagi diciptakannya pemerintahan dan
masyarakat yang demokratis. Argumentasi dari kesimpulan ini memang cukup
jelas, bahwa hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat bisa
meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahterannya secara signifikan sehingga
memungkinkan mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam lapangan politik
dengan tingkat tanggung jawab yang mencukupi. Pandangan ini mengemuka
cukup lama dan diyakini sebagai "kebenaran" sehingga beberapa negara secara
konsisten mencoba menerapkan teori ini. Tetapi, dalam perkembangannya, tesis
Lipset tersebut tidak sepenuhnya mendapat pembenaran empirik karena
ditemukannya dua hal berikut. Pertama, ternyata ada beberapa negara yang tidak
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang berarti, bahkan bisa dikatakan miskin,
justru tingkat partisipasi efektif (demokrasi, dalam arti luas) masyarakat dalam
politik sangat bagus, misalnya India. Kedua, sebaliknya negara-negara dengan
tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dengan rentang waktu perolehan yang
cukup lama dalam realitasnya tidak segera menampakkan perkembangan ke arah
demokrasi dalam lapangan politik. Bahkan dalam banyak hal, seringkali
implementasi sistem pemerintahan otoriter dijadikan legitimasi bagi perolehan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Termasuk klasifikasi ini adalah negara- negara
sosialis dan Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Kegagalan bangunan tesis di atas memunculkan keinginan mengerjakan


studi yang lebih baru untuk mereposisikan bagaimana sesungguhnya relasi antara
pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Setidaknya penelitian terbaru yang

11
dilakukan oleh Tavarez, Wacziarg dan Barro membantu menjelaskan bagaimana
hubungan itu berlangsung dan berdinamika. Tavares dan Wacziarg menemukan
bahwa demokrasi bisa mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
akses kepada pendidikan, rendahnya ketimpangan pendapatan per kapita, dan
rendahnya konsumsi pemerintah. Jadi efek demokrasi terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah secara tidak langsung. Kemudian studi Barro menjelaskan bahwa
peningkatan hak-hak politik pada tahap awal cenderung meningkatkan investasi
dan pertumbuhan ekonomi ketika kekuatan pemerintah sebagai faktor penentu.
Tetapi di negara-negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu,
peningkatan demokrasi akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi
karena ada tekanan melakukan redistribusi pendapatan (Barro, 1996:15-22).

Secara spesifik, Barro menunjukkan bahwa posisi awal GDP per kapita,
pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup,
fertilitas, konsumsi pemerintah, nilai tukar, inflasi, indeks aturan hukum dan
indeks demokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Khusus mengenai aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai
seberapa jauh kualitas birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah
membatalkan kontrak, risiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta
(asing atau dalam negeri), dan pemeliharaan umum aturan hukum digerakkan
untuk mengelola kehidupan bernegara. Setiap tindakan pemerintah yang
cenderung menjauhi aturan dan kepastian hukum, membuat respons pertumbuhan
ekonomi akan memburuk, demikian sebaliknya. Studi yang mirip juga telah
dikerjakan oleh Kunio (2000:119-120), yang mewartakan bahwa negara-negara
yang memiliki kelembagaan yang lebih sempurna, misalnya adanya jaminan hak
kepemilikan dan intervensi pemerintah yang tepat, mempunyai kualitas
pembangunan ekonomi yang lebih baik. Hasilnya, studi yang dikerjakan oleh
Thomas et. al. (2001:156) menunjukkan bahwa negara yang indeks demokrasinya
tinggi berkorelasi dengan pendapatan per kapita dan pengeluaran sosial yang juga
tinggi.

Sistem politik otoriter yang tidak memberikan tempat bagi kelompok sipil
menyalurkan aspirasi politik dan kebebasan privat lainnya. Dalam sistem politik

12
ini negara melakukan kontrol menyeluruh terhadap seluruh aspek kehidupan,
sehingga sering kali batas antara negara dan hukum menjadi sangat tipis. Sistem
politik otoriter mengasumsikan negara bisa melakukan semua hal yang menjadi
kebutuhan konstituennya, termasuk kesanggupannya memaksakan semua hal yang
menjadi cita-citanya. Dalam beberapa kasus negara-negara yang menggunakan
sistem politik ini sebagai instrumen untuk mengelola masyarakatnya, terlihat
betapa negara (dan organisasi penopangnya: birokrasi) sangat percaya diri dalam
hal mengoleksi informasi, merumuskan kebijakan, dan mengimplementasikan
program tanpa melalui kelembagaan lain yang hidup dalam masyarakat. Pada sisi
ini, kelebihan dari sistem ini adalah efektivitasnya dalam setiap pengambilan
keputusan, sedang di sisi lainnya persoalan yang selalu muncul adalah
ketidakakuratan kebijakan yang dibuat karena sering kali menggunakan informasi
yang kabur.

Beberapa negara yang menganut pemerintahan otoriter ini juga


menunjukkan kinerja yang cukup baik, khususnya dalam mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Negara-negara Asia Timur yang selama dekade 1980-an
memeroleh pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, sebagian besar
pemerintahannya dikelola secara otoriter (termasuk di dalamnya adalah Indonesia,
Singapura, Thailand, dan Korea Selatan). Bukan itu saja, sentralisasi kewenangan
(yang merupakan salah satu ciri penting dari pemerintahan otoriter) diperlukan -
setidaknya dalam jangka pendek- untuk mengawal reformasi ekonomi (Haggard
dan Kaufman, 1995:10). Sebabnya jelas, proses reformasi ekonomi pasti akan
mengubah tatanan ekonomi secara fundamental sehingga pasti akan terdapat
pihak-pihak yang dirugikan (losers) maupun diuntungkan (winners) dari proses
tersebut. Pada titik inilah sentralisasi kewenangan diperlukan agar tidak terdapat
peluang bagi pihak-pihak yang ingin membatalkan proses reformasi ekonomi
tersebut.

Persoalan sistem politik ini menjadi relevan apabila dikaitkan dengan


persoalan kelembagaan. Dalam negara otokrasi dan pada saat yang bersamaan
permintaan terhadap barang dan jasa masih sederhana, rezim otoriter secara
otomatis dapat berfungsi sebagai kelembagaan yang mengelola aturan main,

13
memberikan insentif bagi yang mentaati peraturan dan menghukum pelanggar
aturan main tersebut. Kasus ini menjelaskan fenomena Indonesia di bawah
Soeharto dan Korea Selatan di bawah Park Chung Hee. Kedua negara dapat
tumbuh secara impresif karena kedua rezim otoriter berusaha memerkuat domain
kekuasaan dengan berupaya memperbesar output nasional. Sebagian output ini
kemudian dibagikan kepada pendukungnya untuk melanggengkan kekuasaan.
Penjelasan ini sebagian dapat digunakan untuk menerangkan mengapa di beberapa
negara yang otoriter seperti China, Indonesia, dan Korea Selatan berhasil
menurunkan tingkat kemiskinan secara impresif (Varsney; dalam Ikhsan,
2000:35).

Tetapi sejalan dengan kemajuan tingkat kesejahteraan, permintaan


masyarakat pun bertambah besar dan kian kompleks. Transaksi antarpelaku
ekonomi pun makin rumit dan kemampuan rezim otoriter untuk mengatur supaya
kelembagaan dapat bekerja menjadi semakin melemah. Arus informasi pun makin
sukar dikendalikan dan potensi sumber-sumber imperfect information dalam
bentuk moral hazard dan adverse selection makin menguat seiring dengan
banyaknya kelompok kepentingan yang muncul. Biaya transaksi yang meningkat
dan daya saing yang menurun kemudian akan menyebabkan perekonomian makin
rentan terhadap guncangan dari dalam maupun dari luar (Ikhsan, 2000:35). Pada
kondisi seperti inilah biasanya terjadi ketiadaan aturan main atau kevakuman
kelembagaan pada pemerintahan otoriter. Kekuatan yang oleh pemerintah tidak
sebanding dengan laju perkembangan struktur ekonomi dimiliki dan politik
masyarakat. Penataan pemerintahan baru diperlukan untuk kembali bisa
menegakkan kelembagaan, di mana setiap pelanggar mendapatkan imbalan
hukuman (punishment) dan setiap pelaku yang mentaati peraturan bisa survive
dalam kegiatan (ekonomi) di masyarakat.

Penegakan kelembagaan ini hanya mungkin apabila organisasi


pemerintahan yang dikembangkan sanggup menyerap seluruh kompleksitas dan
dinamika masyarakat. Sebab kegagalan menjalankan kelembagaan pada sistem
otoriter terjadi bukan saja akibat negara tidak mampu memaksakan peraturan yang
telah tersedia, melainkan juga ketidaksanggupan negara dalam menciptakan

14
perubahan kelembagaan karena tidak adaptif dengan dinamika persoalan yang
berkembang. Pada titik ini organisasi negara yang paling rasional bisa
diimplementasikan adalah sistem demokrasi. Seperti yang telah dipresentasikan di
muka, sistem politik demokrasi sekurangnya memberikan tempat bagi hak-hak
politik dan kebebasan sipil untuk "memperjualbelikan" kepentingan dalam pasar
politik (political market) yang sehat dan terbuka. Dari perspektif ini, demokrasi
tidak memberikan garansi apapun bagi pencapaian kinerja pembangunan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi), melainkan menyodorkan instrumen yang memungkinkan
seluruh dinamika masyarakat bisa diserap sehingga akan muncul kelembagaan
(formal maupun informal) yang representatif bagi perkembangan kegiatan
ekonomi itu sendiri.

2.3 Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi

Kajian yang menguliti hubungan antara kelembagaan dan pembangunan


ekonomi memang belum banyak dilakukan oleh para ahli. Tetapi dari sedikit
penelitian tersebut terdapat sebuah fakta berikut. Negara-negara yang telah
dikelompokkan berdasarkan ketersediaan aturan main hak kepemilikan, investasi
modal manusia (human capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan
hubungan yangkuat antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi.
Negara-negara tersebut dibagi dalam lima kategori: (i) Negara-negara Asia Timur,
yakni Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand;
(ii) Negara- negara yang tergabung dalam OECD, yakni Mesir, Irlandia, Jepang,
Portigal, panyol, dan Turki yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 2.900
pada tahun 1960; (iii) Negara-negara Sub Sahara Afrika;(iv) Negara-negara
amerika latin; dan (v) Negara-negara kaya non-OECD, seperti Argentina, Saudia
arabia thailand, Urguay,dan Venezuela yang memiliki GDP per kapita lebih dari
US$ 2.900 pada 1960. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pendapatan per
kapita awal yang tinggi (initial per capita income) tidak memberikan jaminan bagi
kinerja perekonomian yang bagus dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-
negara yang pendapatan awal per kapitanya tidak terlalu tinggi,tetapi memiliki
keunggulan dalam menjamin hak kepemilikan, menegakkan system kontrak, dan

15
administrasi publik yang efisien, justru menghasilkan kinerja perekonomian yang
menonjol (Clague, et. al., 1997:74-75).

Contoh mikro tentang pentingnya kelembagaan dalam pembangunan


ekonomi tersebut bisa dianalisis sebagai berikut. Transaksi ekonomi (pertukaran
/jual beli) masyarakat di negara-negara yang kelembagaannya kuat, cederung akan
lebih banyak menggunakan cek, transfer antarbank, maupun surat-surat berharga
Iainnya dibandingkan dengain menggunakan uang tunai. Mereka bisa melakukan
itu karena percaya bahwa pemakaian instrumen tersebut tidak akan menimblkan
persoalan, misalnya klaim uangnya ditolak. Kalaupun akan muncul permasalahan
pasti terdapat aturan yang memungkinkan semua pelaku transaksi tidak akan
dinugikan, misalnya karena adanya penipuan. Tetapi, sebaliknya, dalam sebuah
negara yang sistem perbankannya rapuh, sangat sulit bagi setiap individu untuk
memakai instrumen itu untuk melakukan transaki karena adanya ketidakpastian
(risiko). Mereka lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat transaksi.
Tentu saja model ini akan menimbulkan inefisiensi jika transaksi berjumlah besar
dan jaraknya saling berjauhan, sehingga dampaknya bisa mengerem percepatan
kegiatan ekonomi (Yustika, 2002:275).

Sedangkan kasus makro bisa diambilkan dari hubungan antar hak


kepemilikan dan investasi. Negara-negara yang jaminan hak kepemilikannya
lemah cenderung akan ditinggal oleh investor, baik domestik maupun asing.
investor asing takut melakukan ekspansi modal karena sewaktu perusahaannya
bisa dinasionalisasi, sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi
karena khawatir kontraknya dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa
tersebut akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif
bagi orang untuk mengerjakan investasi (Todaro, 1997:70-73). Dari sini bisa
dipahami mengapa setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal
Asing) di sebuah negara selalu diterangkan secara detail mengenai jaminan hak
kepemilikan agar investor asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan
dan perusahaanya. Tanpa jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor
takut untuk membuat keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian
(uncertainty), suatu variabel yang penting dalam kegiatan ekonomi.

16
Fakta dan kasus-kasus di atas cukup meyakinkan untuk mengambil
kesimpulan bahwa antara pembangunan ekonomi dan kelembagaan memiliki
keeratan hubungan yang sangat tinggi, mengingat kinerja perekonomian sebuah
negara dipengaruhi oleh kebijakan dan kelembagaan. Tetapi yang juga harus
diperhatikan, kelembagaan harus selalu mengalami perkembangan dan perubahan
karena kegiatan ekonomi semakin kompleks. Perubahan kelembagaan diperlukan
mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan
sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja
ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan
formal, tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka Panjang (diehl,
1998:51). Juga, dalam konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan
alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap
pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada
negara yang sedang melakukan proses transisi ekonomi, biasanya terdapat
variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.
pada level makro ekonomi, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah,
yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan anggaran defisit, stabilisasi nilai tukar
mata uan, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro isu yang dibahas
adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal, penciptaan
sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilika mempromosikan kompetisi
(Yeager, 1999:80).

Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa
diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari
serba negara (state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction).
Negara - negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara,biasanya
pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah
menjadi agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit
anggaran yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan
perdagangan lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro
harga cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim
pasar sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap

17
hak kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan
negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya
sangat tidak efisien.

Akhirnya, pertanyaan kritis yang layak diajukan sesuai dengan kondisi


negara berkembang: Apakah keberadaan kelembagaan tidak malah memposisikan
pelaku ekonomi lemah (petani tunatanah, buruh, debitor) semakin terjepit
berhadapan dengan pelaku ekonomi yang telah mapan (tuan tanah, pengusaha,
dan kreditor)? Kasus sharecropping pada sektor pertanian, misalnya, selama ini
selalu menempatkan penggarap tanah (tenant) memeroleh bagian yang tidak adil
dibandingkan dengan pemilik tanah (landlords). Jika dalam kondisi demikian
keberadaan kelembagaan harus ditegakkan, bukankah petani penggarap justru
akan lebih dieksploitasi? Kasus lainnya, bagaimana jika dalam sebuah hubungan
pinjam-meminjam antarnegara (negara maju dan miskin), karena masalah moral
hazard, sebagian dari utang tidak digunakan sesuai dengan rencana yang dibikin,
tetapi banyak yang dimanipulasi dan dikorupsi oleh pemegang kekuasaan,
sehingga suatu negara terancam bangkrut. Apakah dalam situasi semacam itu
kelembagaan yang sudah disepakati harus dipaksakan sehingga negara tersebut
tetap wajib membayar utangnya?. Jika praktiknya seperti itu, bukankah
kelembagaan dan pembangunan ekonomi hanya akan memihak kaum yang kaya
dan kuat.

Tentu saja tidak mudah dan sederhana untuk menjawab persoalan tersebut.
sungguh pun begitu, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk
meredam kekhawatiran tersebut. Pertama, kelembagaan akan menempatkan
semua pihak berada dalam posisi yang sepadan akibat adanya rule of law yang
mengatur. Pelaku ekonomi yang tidak memiliki modal besar dan koneksi politik
dijamin bisa melakukan investasi tanpa harus mengeluarkan biaya siluman.
sebaliknya, usahawan besar tidak lantas bisa memuluskan investasinya hanya
karena mempunyai koneksi politik karena praktik semacam itu dibatasi oleh
peraturan yang tidak mengijinkan. Jadi, prosedur yang fair dan transparan akan
membuat semua pihak diposisikan secara sejajar. Kedua, inefisiensi kelembagaan
dalam wujud tiadanya jaminan hak kepemilikan, korupsi, penyalahgunaan

18
infrastruktur publik, dan kebijakan yang mendistorsi pasar justru akan lebih
merugikan kelompok masyarakat yang lemah dan miskin. Kasus monopoli,
misalnya, bisa terjadi akibat adanya sistem regulasi dan proteksi yang tidak ramah
terhadap penguatan kelembagaan. Contoh lainnya, kebijakan subsidi harga produk
pertanian dalam banyak hal justru menguntungkan penduduk perkotaan (the have)
dan merugikan kelompok petani (the poor) pada umumnya. Hal ini bisa
berlangsung karena adanya kelompok kepentingan (interest group) yang memiliki
akses terhadap kekuasaan, dan hal ini cuma mungkin terjadi akibat tiadanya
(penegakan) kelembagaan yang mengaturnya.

Di luar itu, sifat kelembagaan tidaklah statis, tetapi dinamis (berganti


sesuai dengan perubahan konfigurasi pelaku ekonomi). Dalam pengertian ini,
kelembagaan yang sudah tidak relevan (dalam pengertian tidak efisien atau
merugikan sebagian pelaku ekonomi yang terlibat) secara otomatis akan berubah
karena desakan partisipan yang terlibat di dalamnya maupun adanya penetrasi dari
otoritas luar (external authority). Atau, secara teoretis perubahan kelembagaan
bisa terjadi karena dua hal: permintaan dari konstituen (demand of constituents)
dan penawaran dari otoritas tertentu (supply of institutions), misalnya perubahan
UU oleh pemerintah (Challen, 2000:113). Dalam kasus yang pertama (demand of
constituents), misalnya, serikat pekerja bisa menekan pemilik modal (pemegang
saham perusahaan) untuk menaikkan tingkat upah atau fasilitas kesehatan sebagai
imbal balik dari kenaikan produktivitas/keuntungan perusahaan. Sementara untuk
kasus yang kedua (supply of institutions), pemerintah berupaya terus memperbaiki
tingkat kesejahteraan pekerja melalui penciptaan UU upah minimum. Setiap ahun
standar upah minimum dinaikkan oleh pemerintah untuk mengimbangi tingkat
inflasi yang terjadi dalam perekonomian. Perusahaan, sebagai entitas yang
menjadi obyek dari kebijakan pemerintah tersebut, terpaksa juga harus
menyesuaikan sistem pengupahan kepada pekerja berdasarkan kebijakan (UU)
tersebut. Melalui skenario inilah perubaban kelembagaan (insitutional change)
akan terjadi untuk menjaga agar tindakan dan kegiatan ekonomi terus berjalan.

19
2.4 Masih Adakah Tempat Untuk Negara?

Dalam perguliran pemikiran ekonomi, secara konservatif terdapat


beberapa argumentasi yang muncul berkenaan pentingnya peran negara untuk
melindungi setiap pelaku ekonomi. Mazhab neoklasik, misalnya, mengijinkan
peran negara dalam perekonomian jika terdapat kasus eksternalitas dan barang-
barang publik (public goods). Dalam kasus, misalnya, operasi sebuah perusahaan
menimbulkan pencemaran air sehingga merugikan pihak ketiga, di sini peran
negara dituntut untuk membuat regulasi agar perusahaan tersebut ditindak atau
masyarakat diberi ganti rugi. Peran regulatif tersebut bertujuan menyelamatkan
sebagian rakyat dari tindakan tidak etis yang dilakukan oleh sebagian penduduk
lainnya. Sedangkan paham Keynesian berpandangan bahwa fungsi negara
diperlukan untuk mencegah terjadinya resesi akibat rendahnya agregat permintaan
(underconsumption).

Dengan begitu, di samping memiliki fungsi rasional, negara juga wajib


mengemban peran etis (etika) untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan
penduduk yang menjadi bagian dari eksistensinya. Maksud etika di sini bukan
sekadar suatu pemikiran sistematis tentang moral, melainkan lebih dari itu adanya
suatu pemahaman yang selalu menanyakan secara kritis dan mendasar terhadap
segala hal, atau keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia (negara) seharusnya
menjalankan kehidupannya. Program-program rasional dari pembangunan pada
ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara: apakah
memang program yang bersangkutan mengajak seluruh konstituen mengalami
mobilitas bersama? Jika setiap pergerakan rakyat cuma mengajak segelintir pelaku
ekonomi, maka peran etis negara wajib menghentikan program pembangunan
tersebut. Cara pandang ini tentu saja tidak berseberangan dengan upaya
modernisasi, tetapi hanya memastikan bahwa proses menuju kemajuan harus
berlandaskan kepada cita-cita filsafat politik yang sudah dirumuskan. Tetapi yang
sering dilupakan, apakah proses pembangunan tersebut benar-benar telah didalami
dan dipandu dengan nilai-nilai dasar negera sehingga pengerjaanya tidak
mencederai sekelompok masyarakat tertentu. dari sisnilah unsur etika bisa masuk

20
dan sangat berperan penting dalam menghitung setiap nisbah pebangunan yang
dilaksanakan.

Peran etis semacam itu menjadi relevan ketika proses liberalisasi ekonomi
tidak bisa dibendung. setidaknya ada dua implikasi penting dari liberalisasi bisa
dijelaskan sebagi berikut.

1. Efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam


memengaruhi seluruh lekuk kehidupan kiranya mudah untuk
dibuktikan. Di negara berkembang pengaruh dari korporasi besar
(konglomerasi) dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian
besar, khususnya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga
menentukan hidup matinya kepentingan rakyat banyak. Dampaknya
adalah, pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten
dari usaha ekonomi tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat
kehilangan ruang untuk melakukan interaksi sosial. Dengan begitu,
matinya pelaku ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik
merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.
2. Liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk "membeli
kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan
pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung
dipenggal di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan
mengurang profit mereka. Kebijakan redistributif semacam pajak
progresif dan penalti utang sangat rawan dari gangguan usaha berskala
besar tersebut, bukan cuma di negara berkembang tetapi juga di negara
maju. Di Indonesia tahun 2002, penalti utang yang hendak diberlakukan
kepada para konglomerat hampir rontok jika tidak ada tekanan publik
yang keras. Efek dari upaya penjegalan ini tentu saja akan mengurangi
subsidi sosial pada masyarakat, misalnya untuk pangan, pendidikan,
kesehatan, dan perumahan. Ini merupakan konsekuensi paling serius
dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan berkuasa tanpa ada regulasi
yang sanggup mengawalnya.

21
Dengan implikasi tersebut, tentunya peran negara tidak dapat
dicegah lagi. Dalam konteks ini fungsi negara bukan hanya sekedar
menghindar atas terjadinya resesi ekonomi atau pun mengatasi praktik
ekonomi yang merugikan kepentingan pihak lain (peran konservatif),
melainkan melindungi kepentingan rakyat yang tersisih sebagai cermin
komitmen sosialnya. Pada titik ini, minimal peran negara yaitu membatasi
pengaruh ekspansi korporasi besar yang merugikan kepentingan publik
dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang bisa mengerangkeng
keserakahan modal. Modal dan pasar saling berkaitan, merupakan dua
modal ekonomi yang tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa masukan
regulasi sehingga mampu menerkam seluruh pelaku ekonomi. Selain itu,
negara juga harus dapat melindungi dan menjamin tiap warga negara
berhak mendapatkan jaminan hidup dari sistem jaminan sosial (social
security system) yang matang. Upaya kuratif ini menyatakan bahwa negara
bertanggung jawab terhadap proses distribusi atas hasil pembangunan,
walaupun betapa baiknya sebuah regulasi telah dibuat negara.

Negara-negara menempatkan aspek keadilan sosial sebagai ujung


dari proses pembangunan dan bukan semata kemakmuran ekonomi.
Negara-negara ini dipastikan membungkus kebijakan publik yang hendak
diambil melalui serangkaian penilaian etis maupun rasional. Negara
kesejahteraan mempunyai instrumen ekonomi berskala ganda untuk
menopang setiap implikasi negatif dari pilihan suatu kebijakan. Misalnya,
secara umum memberikan penekanan kepada pasar untuk memandu
kegiatan ekonomi masyarakat, tetapi dengan memberi pajak progresif agar
keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pasar tidak sampai mengganggu
keseimbangan sosial (Freeman, 1989: 138).
Pajak memiliki dua kaki:
1. Sebagai pengerut kelompok ekonomi yang kuat agar tidak
menjulang terlalu tinggi dan
2. Sebagai pemuai kelompok ekonomi yang lemah agar tidak
terpuruk

22
Lewat simulasi ini negara hadir memerankan fungsi etisnya lewat
perencanaan kebijakan ekonomi yang mengandaikan kesejahteraan sosial
sebagai nilai dasar yang harus dipenuhi.

Sedangkan dalam perspektif ekonomi kelembagaan, peran negara


difokuskan untuk membentuk kerangka kelembagaan (institutional framework)
yang dapat mengatur kegiatan ekonomi, hak kepemilikan (property rights),
penegakan dan eksekusi hukum menghasilkan biaya transaksi. Dengan begitu, jika
peran negara dalam kegiatan ekonomi bisa dibagi dalam empat klasifikasi, yakni
stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi kegagalan pasar, redistribusi pendapatan,
dan mengarahkan proses penyatuan kegiatan ekonomi (catching up process);
maka peran yang terakhir merupakan wilayah yang menjadi konsentrasi peran
negara dalam perspektif ekonomi kelembagaan. Maksudnya, peran negara lebih
diarahkan untuk mendesain kegiatan ekonomi secara lebih efisien berdasarkan
kesetaraan informasi dan posisi tawar antara faktornya.

Tentu saja ada banyak variasi derajat intervensi negara untuk mengatur
kegiatan perekonomian tersebut. Bagan di atas memperlihatkan 4 alternatif dari
model intervensi pemerintah/negara, dari mulai yang paling minimal (minimal
intervention) sampai paling maksimal (maximal intervention). Dari beberapa
kasus negara-negara yang mengadopsi derajat intervensi tersebut, memang jarang
negara (berkembang) yang mengambil model ekstrem (min/min atau max/max);
kebanyakan negara mengambil model antara posisi tinggi/tinggi (intervensi
ekstensif dengan tekanan pasar dikombinasikan dengan intervensi birokrasi) dan
posisi rendah-rendah (intervensi selektif dengan sistem pasar bebas berpasangan

23
dengan campur tangan minimal dalam sistem hak kepemilikan privat). Negara-
negara yang menggunakan model intervensi tinggi/tinggi adalah Amerika Latin
dan Timur Tengah, seperti Mesir, Afrika, dan Asia Selatan, sedangkan model
intervensi rendah-rendah diadopsi oleh negara di wilayah Asia Tenggara.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ekonomi kelembagaan dan sistem ekonomi adalah dua konsep yang saling
berkaitan dan penting dalam memahami bagaimana ekonomi suatu negara atau
masyarakat beroperasi. Sistem ekonomi adalah hasil dari interaksi kompleks
antara lembaga-lembaga tersebut. kapitalisme industrial (industrial capitalism)
dipandang sebagai transformasi terbesar yang pernah ada di dunia ini. Terdapat
empat pilar dalam kapitalisme yaitu;
1. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakan dan dikoordinasi oleh
pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal).
2. Setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan
(property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange).
3. Kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni
pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land).
4. Tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar
(entry and exit barriers).

Berdasarkan kritik atas kelembagaan kapitalisme tersebut, sistem ekonomi


sosialis meletakkan faktor-faktor produksi (means of production) di bawah
kontrol negara. Keputusan produksi dan investasi tidak dilakukan melalui pasar
dan para kapitalis tetapi berdasarkan perencanaan terpusat (central plan).
Perencanaan tersebut meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan
perangkat yang dibutuhkan untuk bisa mencapai tujuan tersebut.

Pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per capita income) tidak
memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus dalam jangka
panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per kapitanya tidak
terlalu tinggi,tetapi memiliki keunggulan dalam menjamin hak kepemilikan,
menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang efisien, justru
menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol

Ada dua implikasi penting dari liberalisasi sebagai berikut.

25
1. Efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam mempengaruhi
seluruh lekuk kehidupan kiranya mudah untuk dibuktikan. Di negara
berkembang pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi) dan
perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga menentukan hidup matinya
kepentingan rakyat banyak. Dampaknya adalah, pelaku-pelaku ekonomi
kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan
mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang untuk melakukan
interaksi sosial. Dengan begitu, matinya pelaku ekonomi kecil dan
penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari
liberalisasi.
2. Liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk "membeli
kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan
pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung
dipenggal di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan
mengurang profit mereka.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam paper ini, yakni:
1. Bagi Mahasiswa, diharapkan dapat menjadikan penulisan ini sebagai
referensi dan dapat menyempurnakan isi dari materi penulisan ini dalam
bidang akademik.
2. Bagi Khalayak Umum, diharapkan dapat mengetahui dan mengerti
ekonomi kelembagaan dan sistem ekonomi kelembagaan sehingga dapat
mengimplementasikannya di dalam kehidupan ekonomi sehari-hari.

26
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, A. E. (2013). Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.


Malang: Erlangga.

Mudiarta, Ketut. (2016). Perspektif dan Peran Sosiologi Ekonomi Dalam


Pembangunan. Jurnal Agro Ekonomi.

27

Anda mungkin juga menyukai