Anda di halaman 1dari 33

EKONOMI KELEMBAGAAN

EKONOMI KELEMBAGAAN DAN SISTEM EKONOMI

Kelompok XI

Nama Anggota :

Ni Made Eva Krismiyanti (1607511032)

Hartati Dewi (1607511041)

Ni Nyoman Rai Yuliana (1607511118)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM REGULER

UNIVERSITAS UDAYANA

2018
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... 1

Kata Pengantar .................................................................................................... 2

BAB I (PENDAHULUAN)

Latar belakang ........................................................................................................ 3

Rumusan Masalah .................................................................................................. 3

Tujuan Penulisan .................................................................................................... 3

BAB II (PEMBAHASAN)

Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme ............................................................ 4

Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi .................................................................10

Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi .......................................... 17

Masihkan Ada Tempat Untuk Negara ? ................................................................. 22

BAB III (PENUTUP)

Kesimpulan ............................................................................................................ 30

Daftar Rujukan .................................................................................................... 32

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah-Nya
sehingga resume ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa penulis juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi terciptanya paper yang
berjudul Ekonomi Kelembagaan dan Sistem Ekonomi.

Tugas ini dibuat sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana.
Terselesaikannya tugas ini tidak terlepas dari beberapa kendala yang penulis hadapi
seperti kurangnya buku pegangan dan waktu untuk membuat tugas ini.
Terselesaikannya tugas ini juga tidak terlepas dari bantuan, dorongan, serta peran
dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini. Terlepas dari
semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari para pembaca.

Akhir kata harapan penulis semoga paper ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca semoga paper ini dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Denpasar, 5 November 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teori ekonomi kelembagaan berjalan diatas realitas sosial yang


sesungguhnya, sesuatu yang diabaikan dalam pendekatan ekonomi klasik maupun
neoklasik. Oleh karena itu, ekonomi kelembagaan memasuki aspek-aspek sosial,
politik, hukum, dan budaya menjadi semacam satu kesatuan unit analisis. Dengan
dasar ini, formulasi ekonomi kelembagaan haruslah berbeda-beda apabila
diberlakukan dalam struktur atau sistem ekonomi, sosial, budaya atau hukum yang
berlainan. Perbedaan tersebut bukan akibat dari ketidakjelasan konsep dari ekonomi
kelembagaan itu sendiri, melainkan merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa
kegiatan ekonomi berada di atas realitas sosial. Oleh karena itu, pada bab ini akan
dipelajari secara mendalam implikasi dari sistem ekonomi dan politik terhadap
formulasi konsep ekonomi kelembagaan. Secara sederhana sistem kapitalis dan
sosialis dipilih sebagai studi kasus sistem ekonomi serta sistem politik otoriter dan
demokratis sebagai studi kasus sistem politik. Selain itu, akan terlihat intervensi
negara dalam kegiatan ini dilihat melalui perspektif ekonomi kelembagaan

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana kelembagaan kapitalisme dan sosialisme?
1.2.2 Bagaimana ekonomi kelembagaan dan demokrasi?
1.2.3 Bagaimana perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi?
1.2.4 Apakah masih ada tempat untuk negara?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui kelembagaan kapitalisme dan sosialisme.
1.3.2 Untuk mengetahui ekonomi kelembagaan dan demokrasi.
1.3.3 Untuk mengetahui perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi.
1.3.4 Untuk mengetahui masih adakah tempat untuk Negara.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme

Kapitalisme dianggap sebagai penemuan luar biasa dalam sejarah umat


manusia. Bahkan kapitalisme industrial (industrial capitalism) dipandang sebagai
transformasi terbesar yang pernah ada di dunia ini (Mathews, 2011:868). Sistem
ekonomi kapitalis (kapitalisme) ditegakkan oleh beberapa pilar dasar yang
melatarinya. Setidaknya, wajah kapitalisme bisa dilukis dalam empat sketsa, yaitu
sebagai berikut.

• Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi


oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal). Jika harga
dianggap melebihi biaya produksi dan margin laba, maka hal itu merupakan
sinyal bagi pelaku ckonomi lain untuk masuk ke pasar untuk menambah
persediaan (supply) barang/jasa schingga dapat menurunkan harga; demikian
sebaliknya.

• Kedua, setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan


(property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya
hak kepemilikan, individu tidak akan pernah bisa mengeksekusi kegiatan
ekonomi (transaksi). Oleh karena itu, salah satu fungsi terpenting dari
kapitalisme adalah menawarkan dan melindungi hak kepemilikan swasta
(private property rights).

• Ketiga, kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni
pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik
modal memeroleh pendapatan dari laba (profit), tenaga kerja dari upah (wage),
dan pemilik lahan dari sewa (rent).

• Keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar
pasar (free entry and exit barriers). Pelaku ekonomi yang melihat peluang profit

4
bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pełaku ekonomi yang gagal
(rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang menghambatnya.

Dengan empat pilar tersebut, ekonomi kelembagaan yang dikembangkan di


negara-negara kapitalis diarahkan agar dapat menjalankan prinsip itu. Dalam hal
penguatan pasar sebagai instrumen untuk mengoordinasi kegiatan ekonomi,
misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan negara/pemerintah
dari akivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh sektor swasta
lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Bahkan,
akibat peran pasar yang dominan, kapitalisme sendiri sering disinonimkan sebagai
ekonomi pasar (market economic) [Grassby, 1999:3]. Dalam posisi seperti ini, peran
negara tidak lebih sebagai fasilitator kegiatan ekonomi. Atau, lebih spesifik lagi,
negara diperlukan kehadirannya apabila terjadi kegagalan pasar (market failure),
baik karena eksternalitas maupun keperluan munculnya barang publik. Menurut cara
pandang aliran neoklasik, apabila eksternalitas dan barang publik eksis, maka negara
bisa hadir melalui regulasi yang dibuat (Caporaso dan Levine, 1992:92-93).
Misalnya, dalam kasus eksternalitas, negara diperkenankan memberikan penalti atas
korporasi yang menghasilkan polusi (negativee externality). Sedangkan dalam kasus
public good, negara bisa masuk untuk memperkuat fungsi pasar, seperti pembuatan
sarana transportasi, listrik, dan telekomunikasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip private property right merupakan


dasar terpenting dari kapitalisme. Bahkan, ekonomi kapitalis sangat tergantung dari
kelembagaan yang memapankan dan menjamin hak kepemilikan privat secara
eksklusif yang bisa digunakan melakukan pertukaran secara sukarela berdasarkan
kontrak. Seterusnya, hak kepemilikan privat hanya dapat berfungsi dengan efektif
apabila individu yang tidak memiliki otorisasi dapat dikeluarkan (excluded) dari
pemanfaatan property right tersebut sehingga tidak dapat memetik keuntungan
ataupun biaya yang melekat pada pemiliknya (Kasper dan Streit, 1998:173). Dengan
keyakinan itu, kelembagaan ekonomi kapitalisme didesain agar bisa menjamin dan
memberikan hak kepemilikan kepada masyarakat (private). Dari perspektif ini, tidak
dibenarkan adanya kelembagaan ekonomi yang menghambat hak seseorang untuk

5
mendapatkan hak kepemilikan. Jika ini terjadi, maka risikonya sulit bagi individu
tersebut melakukan transaksi secara sukarela. Dalam jangka panjang, praktik yang
menghambat hak kepemilikan privat akan mengganggu kegiatan ekonomi secara
keseluruhan sehingga disinsentif bagi pertumbuhan ekonomi. Argumentasi inilah
yang menjadi faktor penting yang mempercepat negara-negara kapitalis dalam
mengakumulasi kapital dan menggerakkan kegiatan ekonomi.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah pemisahan kegiatan ekonomi


dalam tiga pelaku, yakni pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan. Meskipun
relasi antara ketiga pelaku ini dianggap sangat tidak adil oleh ekonom kiri (marxian
economists), namun faktanya pembagian kerja itu telah mendonorkan pertumbuhan
ekonomi dan tingkat kompetisi yang tinggi di Negara-negara kapitalis. Pada level
makro, pemisahan pemilik faktor produksi tersebut menjadi alasan munculnya
segregasi hubungan ekonomi yang efisien melalui spesialísasi. Pemilik modal
menyiapkan sepenuhnya kebutuhan material (alat produksi) sehingga proses
produksi bisa berlangsung, tenaga kerja memberikan kemampuan/ketrampilan
maksimal agar diperoleh output yang bermutu, dan pemilik lahan memberikan
jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akibat penekanannya terhadap aspek
produksi tersebut (dan bukan konsumsi), Karl Marx mendefinisikan kapitalisme
sebagai cara produksi (mode of production) [Grassby, 1999:3]. Pada level mikro,
pemisahan pelaku ekonomi secara otomatis menyebabkan berjalan mekanisme
check and balances. Dalam praktiknya, di tingkat korporasi, pemilik modal, tenaga
kerja, dan pemilik lahan mempunyai otoritas masing-masing (seberapa pun
terbatasnya) untuk menjalin kerjasama maupun pengawasan. Inilah yang menjadi
dasar tenaga kerja diperbolehkan membuat serikat kerja sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingannya, khususnya berhadapan dengan pemilik modal.

Akhinya, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi kapitalis memberi tempat


yang leluasa bagi setiap pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar melalui
sistem insentif. Setiap adanya regulasi yang merintangi pelaku ekonomi masuk dan
keluar pasar, di situlah akan terjadi inefisiensi ekonomi. Inefisiensi itu dengan
mudah dikenali dari harga yang terbentuk di pasar. Jika harga terlalu tinggi dari yang

6
scharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal inı menjadi sinyal
bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila prosedur masuk ini
dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss). Sebaliknya, jika harga
sangat rendah dari yang seharusnya, maka ini juga pertanda bagi sebagian aktor
ekonomi untuk keluar dari pasar agar jumlah produk berkurang. Bila mekanisme
keluar ini dihambat, maka akan banyak sekali pelaku ekonomi yang mengalami
kerugian (producers loss). Melalui skenario tersebut, ekonomi kelembagaan sistem
kapitalis didesain agar cukup terdapat ruang bagi pelaku ekonomi untuk
berpartisipasi dalam perekonomian. Secara operasional, prinsip ini tentu saja
didukung dengan kemauan pemerintah untuk seminimal mungkin memproduksi
regulasi yang justru berpotensi membawa efek negatif bagi free entry and exit
barriers, misalnya lewat UU perijinan yang berlebihan.

Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut dianggap oleh Karl Marx sangat


eksploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapan dengan
pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-
pranata faktor produksi selalu terlambat ketimbang percepatan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut
adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan
tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih
banyak menguntungkan pemilik tenaga kerja (budak/slave), sementara pada jaman
feodal keuntungan itu banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada jaman kapitalis
saat ini pemegang polis atas profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang
mengemuka adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan atas
kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-masing
pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi tidak
mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14) berkesimpulan
bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi) selalu tidak diikuti
dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), dan itu berlangsung terus
sepanjang usia peradaban ini.

7
Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-
faktor produksi (means of production) di bawah kontrol Negara. Keputusan produksi
dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi
berdasarkan perencanaan terpusat (central plan). Perencanaan tersebut isinya
meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan perangkat yang
dibutuhkan untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Negara dalam mendesain dan
mengimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh kebutuhan warga
negara (the entire society) berdasarkan sumber daya yang dimiliki berbasiskan
tindakan kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan dilihat sebagai
perangkat pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa mengeliminasi
ketidakpastian yang inhenren dalam sistem pasar (Jaffee, 1998:120-121). Dengan
keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba
negara. Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi
kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat
tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap dipandang sebagai
anti nilai-nilai kewirausahaan (Fritsch dan Rusakova, 2012:6).

Lepas dari hal tersebut, sekadar sebagai kasus, di Kuba-misalnya-setelah


masa revolusi pemerintahan Fidel Castro mengubah struktur kepemilikan secara
mendasar dengan mengubah hak kepemilikan privat menjadi hak kepemilikan
negara. Dengan modus ini, pemerintah Kuba berharap bisa mengoyak kelembagaan
ekonomi yang sebelumnya telah menimbulkan ketimpangan pendapatan. Kebijakan
itu dilanjutkan dengan adanya reforması agraria (agrarian reform), yang dilakukan
pertama kali pada tanggal 17 Mei 1959 melalui UU Refomasi (Reform Law). Setelah
itu, pada 1963 muncul legislasi reformasi lahan yang kedua dengan menghapuskan
petani skala menengah dan besar. Dengan distribusı lahan ini, pemerintah Kuba
berkeyakinan dapat memutus dari praktik kapitalisme, yakni dengan jalan
menyerang fondasi paling dasar dari perekonomian. Kuba yang membuatnya
terjebak dalam jaringan kapitalisme internasional (Ruffin, 1990:119). Meskipun saat
ini bukan tergolong negara yang kaya, setidaknya berdasarkan peringkat pendapatan
per kapita, tetapi dari sisi pemerataan pendapatan pemerintah Kuba saat ini telah
berhasil memperbaikinya dibandingkan masa pra-revolusi dulu. Deskripsi tersebut

8
setidaknya membuktikan kuatnya pengaruh pilar serba-negara dan target
pemerataan dalam sistem ekonomi sosialis.

Hal penting lainnya, argumen sistem ekonomi sosialis didasarkan kepada


adanya nilai-nilai lain (other values) yang pantas dipertimbangkan, selain aspek
pertumbuhan/profit. Contohnya, karena kepemilikan produktif sektor swasta
dikontrol oleh negara, diandaikan tidak ada eksploitasi terhadap pekerja oleh pemilik
modal maupun konsentrasi laba di tangan sedikit pelaku ekonomi (small elite).
Implikasinya, dalam sistem ekonomi sosialis penyediaan kebutuhan dasar (provision
of basic needs) secara struktural lebih feasible karena produksi dikerjakan tidak
semata-mata untuk tujuan laba (private profit). Dengan begitu, melalui skema
tersebut, model pembangunan di bawah sistem ekonomi sosialis lebih stabil,
rasional, berdasarkan prioritas dan kebutuhan nasional, lebih adil, dan tidak boros
(wasteful) ketimbang sistem ekonomi kapitalis (Jaffee, 1998:121). Faktanya,
sebagian dari skenario itu memang terjadi di negara-negara yang selama ini
mengusung sosialisme sebagai sistem ekonominya, seperti negara-negara Eropa
Timur sebelum dekade 1990-an dan Kuba.

Tentu saja, dengan pilar terscbut, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi


sosialis lebih simpel daripada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi kelembagaan
sistem ekonomi sosialis hanya didasarkan pada dua prinsip berikut.

 Pertama, negara menyiapkan seluruh regulasi yang diperlukan untuk


menggerakkarn kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses
perencanaan, operasionalisasi, pengawasan, sampai ke evaluasi. Pada level
ini fungsi negara merancang sistem kepemilikan, proses transaksi, dan
pembagian keuntungan berbasiskan instrumen negara. Jadi, dalam kasus hak
kepemilikan, negara bukan cuma mengontrol, tetapi juga menguasai hak
kepemilikan (state property rights). Dengan prosedur inilah negara berharap
target pemerataan pendapatan bisa dicapai.
 Kedua, pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi
lainnya (institutional arrangements), tetapi setiap pelaku ekonomi membuat

9
kontrak dengan negara sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
(institutional environment). Dengan model seperti ini, diandaikan tidak
eksploitasi antarpelaku ekonomi (misalnya antara pemilik modal dan
pekerja), seperti dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada level ini pula,
ketimpangan pendapatan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi.

2.2 Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi

Kajian tentang hubungan sistem politik dengan kinerja perekonomian sudah


banyak dilakukan oleh para ahli dengan hasil yang berbeda-beda. Pendeknya, tidak
ada satu pun sistem politik yang lebih superior dibandingkan dengan sistem politik
lainnya jika ukuran kebaikannya dinilai dari prestasi kinerja perekonomian. Studi
yang dilakukan oleh Burkhart dan Lewis-Beck (1994), Helliwell (1994), dan Barro
(1996), misalnya, memperlihatkan keeratan yang rendah antara sistem politik
demokratis dengan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh
Balla (1994) menampakkan hubungan yang positif antara hak-hak politik (political
rights) dengan pertumbuhan ekonomi (Clague et, al., 1997:96). Studi lain menyebut
kapitalisme memiliki kedekatan korelasi dengan kebebasan politik (demokrasi),
sehingga kapitalisme dianggap merupakan kondisi yang penting (necessary
condition) untuk menuju kebebasan politik (Pryor, 2010:91-92). Temuan-temuan
tersebut tentu saja makin memperumit skenario yang diinginkan oleh para ahli untuk
mencoba menjabarkan secara memuaskan tentang hubungan kedua variabel
tersebut. Dalam banyak kasus perbedaan hasil itu lebih banyak disebabkan oleh
keragaman variabel yang dipakai dalam penelitian.
Demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan bisa memberikan
pengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi, dalam perkembangannya tidak mesti
menunjukkan gejala yang menggembirakan. Pasalnya, beberapa variabel penting
dalam demokrasi, seperti hak kepemilikan dan kebebasan memilih tempat tinggal,
juga dimiliki oleh sistem politik lainnya (baca: otokrasi/otoriter). Sebaliknya,
kelebihan yang dimiliki oleh sistem politik lainnya, seperti kecepatan dalam
pengambilan keputusan, justru absen dalam sistem politik demokratis. Dari sisi ini,
demokrasi sesungguhnya hanya bisa menggaransi dua hal penting, yakni hak-hak

10
politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan
jaminan secara langsung bagi pertumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak
berpartisipasi memaknai proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak
menyatakan ekspresi, mengorganisasi, dan melakukan demonstrasi, dan hak
memeroleh otonomi dalam hal kebebasan beragama, pendidikan, perjalanan, dan
hak personal lainnya (Gastil; dalam Clague et. al., 1997:96). Tentu saja pemaknaan
demokrasi seperti ini masih dalam lingkup prosedural, karena semua hal tersebut
bisa diperoleh lewat cara yang tidak substansial.

Adalah Seymor Martin Lipset yang pertama mengerjakan studi dengan


memberikan postulat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi
terbukanya peluang demokratisasi pada masa yang akan datang (Collier, 1979:19)
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi sulit bagi diciptakannya pemerintahan dan
masyarakat yang demokratis. Argumentasi dari kesimpulan ini memang cukup jelas,
bahwa hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat bisa
meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahterannya secara signifikan sehingga
memungkinkan mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam lapangan politik
dengan tingkat tanggung jawab yang mencukupi. Pandangan ini mengemuka cukup
lama dan diyakini sebagai “kebenaran” sehingga beberapa negara secara konsisten
mencoba menerapkan teori ini. Tetapi, dalam perkembangannya, tesis Lipset
tersebut tidak sepenuhnya mendapat pembenaran empirik karena ditemukannya dua
hal berikut. Pertama, ternyata ada beberapa negara yang tidak menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang berarti, bahkan bisa dikatakan miskin, justru tingkat
partisipasi efektif (demokrasi, dalam arti luas) masyarakat dalam politik sangat
bagus, misalnya India. Kedua, sebaliknya negara-negara dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi dengan rentang waktu perolehan yang cukup lama
dalam realitasnya tidak segera menampakkan perkembangan ke arah demokrasi
dalam lapangan politik. Bahkan dalam banyak hal, seringkali implementasi sistem
pemerintahan otoriter dijadikan legitimasi bagi perolehan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Termasuk klasifikasi ini adalah negara-negara sosialis dan Asia
Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.

11
Kegagalan bangunan tesis di atas memunculkan keinginan mengerjakan
studi yang lebih baru untuk mereposisikan bagaimana sesungguhnya relasi antara
pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Setidaknya penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Tavarez, Wacziarg dan Barro membantu menjelaskan bagaimana hubungan itu
berlangsung dan berdinamika. Tavares dan Wacziarg menemukan bahwa demokrasi
bisa mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatarn akses kepada
pendidikan, rendahnya ketimpangan pendapatan per kapita, dan rendahnya
konsumsi pemerintah. Jadi, efek demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
secara tidak langsung. Kemudian studi Barro menjelaskan bahwa peningkatan hak-
hak politik pada tahap awal cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan
ekonomi ketika kekuatan pemerintah sebagai faktor penentu. Tetapi di negara-
negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu, peningkatan demokrasi
akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi karena ada tekanan
melakukan redistribusi pendapatan (Barro, 1996:15-22).

Secara spesifik, Barro menunjukkan bahwa posisi awal GDP per kapita,
pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup, fertilitas,
konsumsi pemerintah, nilai tukar, inflasi, indeks aturan hukum dan indeks demokrasi
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus mengenai
aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh kualitas
birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah membatalkan kontrak,
risiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau dalam negeri),
dan pemeliharaan umum aturan hukum digerakkan untuk mengelola kehidupan
bernegara. Setiap tindakan pemerintah yang cenderung menjauhi aturan dan
kepastian hukum, membuat respons pertumbuhan ekonomi akan memburuk,
demikian sebaliknya. Studi yang mirip juga telah dikerjakan oleh Kunio (2000:119-
120), yang mewartakan bahwa negara-negara yang memiliki kelembagaan yang
lebih sempurna, misalnya adanya jaminan hak kepemilikan dan intervensi
pemerintah yang tepat, mempunyai kualitas pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Hasilnya, studi yang dikerjakan oleh Thomas et. al. (2001:156) menunjukkan bahwa
negara yang indeks demokrasinya tinggi berkorelasi dengan pendapatan per kapita
dan pengeluaran sosial yang juga tinggi (lihat Tabel 2.1).

12
Tabel 2.1 Pengelompokan Negara Menurut Keterbukaan Finansial

Kategori Terbuka Cukup Cukup Tertutup


Terbuka Tertutup
Indeks demokrasia 0,81 0,71 0,63 0,48

Kebebasan sipilb 2,28 3,30 3,38 4,55


PDB per kapita, 1990-97 13.147 3.051 2.317 1.557
Pengeluaran sosial 22,30 23,50 12,50 6,70
(% PDB)c
Pengeluaran pemerintah 26,00 19,90 23,40 27,70
total (persentase PDB)d
Konsumsi pemerintah 16,10 17,90 15,50 14,70
secara umum
(persentase PDB)e
Jumlah negara 46 10 34 11

Catatan : Tabel di atas menampilkan rata-rata kelompok yang dihitung untuk


negara dengan data. Definisi variable :

a. Rentang dari 0 (terendah) sampai 1 (tertinggi), yang dihitung atas dasar indeks
hak politik dan kebebasan sipil.

b. Sebuah ukuran untuk penghormatan terhadap dan perlindungan atas hak-hak


keagamaan, etnik, ekonomi, bahasa, dan hak-hak lain warga negara dari suatu
negara, termasuk hak jender dan hak keluarga, kebebasan pribadi, dan
kebebasan atas pers, keyakinan, dan berserikat.

c. Jumlah kesehatan, pendidikan, dan keamanan dan kesejahteraan sosial; ratarata


1991-97.

d. Rata-rata dari akun pemerintah pusat dan anggaran ditambah dengan


pemerintah provinsi dan negara bagian, 1990-97.

13
e. Semua belanja sekarang untuk membeli barang dan jasa oleh semua tingkatan
pemerintah, tidak termasuk sebagian besar perusahaan milik pemerintah, 1990-
97.

Sumber : Thomas et. al., 2001:156 dalam Yustika, Ahmad Erani.,2013,

Di seberang lainnya adalah sistem politik otoriter yang tidak memberikan


tempat bagi kelompok sipil menyalurkan aspirasi politik dan kebebasan privat
lainnya. Dalam sistem politik ini negara melakukan kontrol menyeluruh terhadap
seluruh aspek kehidupan, sehingga sering kali batas antara negara dan hukum
menjadi sangat tipis. Sistem politik otoriter mengasumsikan negara bisa melakukan
semua hal yang menjadi kebutuhan konstituennya, termasuk kesanggupannya
memaksakan semua hal yang menjadi cita-citanya. Dalam beberapa kasus negara-
negara yang menggunakan sistem politik ini sebagai instrumen untuk mengelola
masyarakatnya, terlihat beberapa negara (dan organisasi penopangnya: birokrasi)
sangat percaya diri dalam hal mengoleksi informasi, merumuskan kebijakan, dan
mengimplementasikan program tanpa melalui kelembagaan lain yang hidup dalam
masyarakat. Pada sisi ini, kelebihan dari sistem ini adalah efektivitasnya dalam
setiap pengambilan keputusan, sedangkan di sisi lainnya persoalan yang selalu
muncul adalah ketidakakuratan kebijakan yang dibuat karena sering kali
menggunakan informasi yang kabur.

Beberapa negara yang menganut pemerintahan otoriter ini juga menunjukkan


kinerja yang cukup baik, khususnya dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Negara-negara Asia Timur yang selama dekade 1980-an memperoleh
pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, sebagian besar pemerintahannya
dikelola secara otoriter (termasuk di dalamnya adalah Indonesia, Singapura,
Thailand, dan Korea Selatan). Bukan itu saja, sentralisasi kewenangan (yang
merupakan salah satu ciri penting dari pemerintahan otoriter) diperlukan –
setidaknya dalam jangka pendek – untuk mengawal reformasi ekonomi (Haggard
dan Kaufman, 1995:10). Sebabnya jelas, proses reformasi ekonomi pasti akan
mengubah tatanan ekonomi secara fundamental sehingga pasti akan terdapat pihak-

14
pihak yang dirugikan (losers) maupun diuntungkan (winners) dari proses tersebut.
Pada titik inilah sentralisasi kewenangan diperlukan agar tidak terdapat peluang bagi
pihak-pihak yang ingin membatalkan proses reformasi ekonomi tersebut.

Persoalan sistem politik ini menjadi relevan apabila dikaitkan dengan


persoalan kelembagaan. Dalam negara otokrasi dan pada saat yang bersamaan
permintaan terhadap barang dan jasa masih sederhana, rezim otoriter secara otomatis
dapat berfungsi sebagai kelembagaan yang mengelola aturan main, memberikan
insentif bagi yang mentaati peraturan dan menghukum pelanggar aturan main
tersebut. Kasus ini menjelaskan fenomena Indonesia di bawah Soeharto dan Korea
Selatan di bawah Park Chung Hee. Kedua negara dapat tumbuh secara impresif
karena kedua rezim otoriter berusaha memperkuat domain kekuasaan dengan
berupaya memperbesar output nasional. Sebagian output ini kemudian dibagikan
kepada pendukungnya untuk melanggengkan kekuasaan. Penjelasan ini dapat
digunakan untuk menerangkan mengapa di beberapa negara yang otoriter seperti
China, Indonesia, dan Korea Selatan berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara
impresif (Varsney; dalam Ikhsan, 2000:35).
Tetapi sejalan dengan kemajuan tingkat kesejahteraan, permintaan
masyarakatpun bertambah besar dan kian kompleks. Transaksi antar pelaku
ekonomi pun makin rumit dan kemampuan rezim otoriter untuk mengatur supaya
kelembagaan dapat bekerja semakin melemah. Arus informasi pun makin sukar
dikendalikan dan potensi sumber-sumber imperfect information dalam bentuk moral
hazard dan adverse selection makin menguat seiring dengan banyaknya kelompok
kepentingan yang muncul. Biaya transaksi yang meningkat dan daya saing yang
menurun kemudian akan menyebabkan perekonomian makin rentan terhadap
guncangan dari dalam maupun dari luar (Ikhsan, 2000:35). Pada kondisi seperti
inilah biasanya terjadi ketiadaan aturan main atau kevakuman kelembagaan pada
pemerintahan otoriter. Kekuatan yang dimiliki pemerintah tidak sebanding dengan
laju perkembangan struktur ekonomi dan politik masyarakat. Penataan pemerintah
baru diperlukan untuk kembali bisa menegakkan kelembagaan, di mana setiap
pelanggar mendapatkan imbalan hukuman (punishment) dan setiap pelaku yang
mentaati peraturan bisa survive dalam kegiatan (ekonomi) di masyarakat.

15
Penegakan kelembagaan ini hanya mungkin apabila organisasi pemerintahan
yang dikembangkan sanggup menyerap seluruh kompleksitas dan dinamika
masyarakat. Sebab kegagalan menjalankan kelembagaan pada sistem otoriter terjadi
bukan saja akibat negara tidak mampu memaksakan peraturan yang telah tersedia,
melainkan juga ketidaksanggupan negara dalam menciptakan perubahan
kelembagaan karena tidak adaptif dengan dinamika persoalan yang berkembang.
Pada titik ini organisasi negara yang paling rasional bisa diimplementasikan adalah
sistem demokrasi. Sistem politik demokrasi sekurangnya memberikan tempat bagi
hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk

“memperjualbelikan” kepentingan dalam pasar politik (political market) yang sehat


dan terbuka. Dari perspektif ini, demokrasi tidak memberikan garansi apapun bagi
pencapaian kinerja pembangunan ekonomi (pertumbuhan ekonomi), melainkan
menyodorkan instrumen yang memungkinkan seluruh dinamika masyarakat bisa
diserap sehingga akan muncul kelembagaan (formal maupun informal) yang
representatif bagi perkembangan kegiatan ekonomi itu sendiri.

2.3 Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi

Kajian yang menguliti hubungan antara kelembagaan dan pembangunan


ekonomi memang belum banyak dilakukan oleh para ahli. Tetapi dari sedikit
penelitian tersebut terdapat sebuah fakta berikut. Negara-negara yang telah
dikelompokkan berdasarkan ketersediaan aturan hak kepemilikan, investasi modal
manusia (human capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan hubungan
yang kuat antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Negara-
negara tersebut dibagi dalam lima kategori, yaitu sebagai berikut.

(i) Negara-negara Asia Timur, yakni Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Thailand;

(ii) Negara-negara yang tergabung dalam OECD, yakni Mesir, Irlandia, Jepang,
Portugal, Spanyol, dan Turki yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$
2.900 pada tahun 1960;

16
(iii) Negara-negara Sub Sahara Afrika;
(iv) Negara-negara Amerika Latin; dan
(v) Negara-negara kaya non-OECD, seperti Argentina, Saudi Arabia, Thailand,
Uruguay, dan Venezuela yang memiliki GDP per kapita lebih dari US$ 2.900
pada 1960.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang
tinggi (initial per capita income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja
perekonomian yang bagus dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang
pendapatan awal per kapitanya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki keunggulan
dalam menjamin hak kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi
publik yang efisien, justru menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol
(Clague, et. al., 1997:74-75).

Contoh mikro tentang pentingnya kelembagaan dalam pembangunan


ekonomi tersebut bisa dianalisis sebagai berikut. Transaksi ekonomi (pertukaran/jual
beli) masyarakat di negara-negara yang kelembagaannya kuat, cenderung akan lebih
banyak menggunakan cek, transfer antarbank, maupun surat-surat berharga lainnya
dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. Mereka bisa melakukan itu karena
percaya bahwa pemakaian instrumen tersebut tidak akan menimbulkan persoalan,
misalnya klaim uangnya ditolak. Kalaupun akan muncul permasalahan pasti akan
terdapat aturan yang memungkinkan semua pelaku transaksi tidak akan dirugikan,
misalnya karena adanya penipuan. Tetapi, sebaliknya, dalam sebuah negara yang
sistem perbankannya rapuh, sangat sulit bagi setiap individu untuk memakai
instrumen itu untuk melakukan transaksi karena adanya ketidakpastian (risiko).
Mereka lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat transaksi. Tentu saja
model ini akan menimbulkan inefisiensi jika transaksi berjumlah besar dan jaraknya
saling berjauhan, sehingga dampaknya bisa mengerem percepatan kegiatan ekonomi
(Yustika, 2002:275).

Sedangkan kasus makro bisa diambilkan dari hubungan antara hak


kepemilikan dan investasi. Negara-negara yang jaminan hak kepemilikannya lemah

17
cenderung akan ditinggal oleh investor, baik domestik maupun asing. Investor asing
takut melakukan ekspansi modal karena sewaktu-waktu perusahaannya bisa
dinasionalisasi, sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi karena
khawatir kontraknya dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa tersebut akan
menghambat laju pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif bagi orang untuk
mengerjakan investasi (Todaro, 1997:70-73). Dari sini bisa dipahami mengapa
setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal Asing) di sebuah negara
selalu diterangkan secara detail mengenai jaminan hak kepemilikan agar investor
asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan dan perusahaanya. Tanpa
jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor takut untuk membuat
keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian (uncertainty), suatu variabel
yang penting dalam kegiatan ekonomi.

Fakta dan kasus-kasus di atas cukup meyakinkan untuk mengambil


kesimpulan bahwa antara pembangunan ekonomi dan kelembagaan memiliki
keeratan hubungan yang sangat tinggi. Mengingat kinerja perekonomian sebuah
negara dipengaruhi oleh kebijakan dan kelembagaan. Tetapi yang juga harus
diperhatikan, kelembagaan harus selalu mengalami perkembangan dan perubahan
karena kegiatan ekonomi semakin kompleks. Perubahan kelembagaan diperlukan
mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan
sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja
ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan
informal, tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl,
1998:51). Juga, dalam konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan alat
ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil
kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang
sedang melakukan proses transisi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan
mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro
ekonomi, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah, yakni kontrol
terhadap inflasi, pengurangan anggaran defisit, stabilisasi nilai tukar mata uang,
intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro isu yang dibahas adalah

18
liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal, penciptaan sistem hukum
untuk menegakkan hak kepemilikan, mempromosikan kompetisi (Yeager, 1999:80).

Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa
diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari
serba negara (state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction).
Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara, biasanya
pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi
agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang
besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih
ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro harga cenderung
dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat
monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-
negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya sangat
tidak efisien.

Akhimya, pertanyaan kritis yang layak diajukan sesuai dengan kondisi


negara berkembang: Apakah keberadaan kelembagaan tidak malah memposisikan
pelaku ekonomi lemah (petani, tuan tanah, buruh, debitor) semakin terjepit
berhadapan dengan pelaku ekonomi yang telah mapan (tuan tanah, pengusaha, dan
kreditor)? Kasus sharecropping pada sektor pertanian, misalnya, selama ini selalu
menempatkan penggarap tanah (tenant) memeroleh bagian yang tidak adil
dibandingkan dengan pemilik tanah (landlords). Jika dalam kondisi demikian
keberadaan kelembagaan harus ditegakkan, bukankah petani penggarap justru akan
lebih dieksploitasi? Kasus lainnya, bagaimana jika dalam sebuah hubungan pinjam-
meminjam antarnegara (negara maju dan miskin), karena masalah moral hazard,
sebagian dari utang tidak digunakan sesuai dengan rencana yang dibikin, tetapi
banyak yang dimanipulasi dan dikorupsi oleh pemegang kekuasaan, schingga suatu
negara terancam bangkrut. Apakah dalam situasi semacam itu kelembagaan yang
sudah disepakati harus dipaksakan sehingga negara tersebut tetap wajib membayar

19
utangnya?. Jika praktiknya seperti itu, bukankah kelembagaan dan pembangunan
ekonomi hanya akan memihak kaum yang kaya dan kuat?

Tentu saja tidak mudah dan sederhana untuk menjawab persoalan tersebut.
Sungguh pun begitu, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk meredam
kekhawatiran tersebut. Pertama, kelembagaan akan menempatkan semua pihak
berada dalam posisi yang sepadan akibat adanya rule of law yang mengatur. Pelaku
ekonomi yang tidak memiliki modal besar dan koneksi politik dijamin bisa
melakukan investasi tanpa harus mengeluarkan biaya siluman. Sebaliknya,
usahawan besar tidak lantas bisa memuluskan investasinya hanya karena
mempunyai koneksi politik karena praktik semacam itu dibatasi oleh peraturan yang
tidak mengijinkan. Jadi, prosedur yang fair dan transparan akan membuat semua
pihak diposisikan secara sejajar. Kedua, inefisiensi kelembagaan dalam wujud
tiadanya jaminan hak kepemilikan, korupsi, penyalahgunaan infrastruktur publik,
dan kebijakan yang mendistorsi pasar justru akan lebih merugikan kelompok
masyarakat yang lemah dan miskin. Kasus monopoli, misalnya, bisa terjadi akibat
adanya sistem regulasi dan proteksi yang tidak ramah terhadap penguatan
kelembagaan, Contoh lainnya, kebijakan subsidi harga produk pertanian dalam
banyak hal justru menguntungkan penduduk perkotaan (the have) dan merugikan
kelompok petani (the poor) pada umumnya. Hal ini bisa berlangsung karena adanya
kelompok kepentingan (interest group) yang memiliki akses terhadap kekuasaan,
dan hal ini cuma mungkin terjadi akibat tiadanya (penegakan) kelembagaan yang
mengaturya.

Di luar itu, sifat kelembagaan tidaklah statis, tetapi dinamis (berganti sesuai
dengan perubahan konfigurasi pelaku ekonomi). Dalam pengertian ini, kelembagaan
yang sudah tidak relevan (dalam pengertian tidak efisien atau merugikan sebagian
pelaku ekonomi yang terlibat) secara otomatis akan berubah karena desakan
partisipan yang terlibat di dalamnya maupun adanya penetrasi dari toritas luar
(external authority). Atau, secara teoretis perubahan kelembagaan bisa terjadi
karena dua hal: permintaan dari konstituen (demand of constituents) dan penawaran
dari otoritas tertentu (supply of institutions), misalnya perubahan UU oleh

20
pemerintah (Challen, 2000:113). Dalam kasus yang pertama (demand of
constituents), misalnya, serikat pekerja bisa menekan pemilik modal (pemegang
saham perusahaan) untuk menaikkan tingkat upah atau fasilitas kesehatan sebagai
imbal balik dari kenaikan produktivitas/keuntungan perusahaan. Sementara untuk
kasus yang kedua (supply of institutions), pemerintah berupaya terus memperbaiki
tingkat kesejahteraan pekerja melalui penciptaan UU upah minimum. Setiap tahun
standar upah minimum dinaikkan oleh pemerintah untuk mengimbangi tingkat
inflasi yang terjadi dalam perekonomian. Perusahaan, sebagai entitas yang menjadi
obyek dari kebijakan pemerintah tersebut, terpaksa juga harus menyesuaikan sistem
pengupahan kepada pekerja berdasarkan kebijakan (UU) tersebut. Melalui skenario
inilah perubahan kelembagaan (insitutional change) akan terjadi untuk menjaga agar
tindakan dan kegiatan ekonomi terus berjalan.

2.4 Masih Adakah Tempat untuk Negara?

Dalam perguliran pemikiran ekonomi, secara konservatif terdapat beberapa


argumentasi yang muncul berkenaan pentingnya peran negara untuk melindungi
setiap pelaku ekonomi, Mazhab neoklasik, misalnya, mengijinkan peran negara
dalam perekonomian jika terdapat kasus ekstemalitas (externality) dan barang-
barang publik (public goods). Dalam kasus, misalnya, operasi sebuah perusahaan
menimbulkan pencemaran air sehingga merugikan pihak ketiga, di sini peran negara
dituntut untuk membuat regulasi agar perusahaan tersebut ditindak atau masyarakat
diberi ganti rugi (Caporaso dan Levine, 1992:91). Dengan mudah bisa dijelaskan,
bahwa peran regulatif tersebut bertujuan menyelamatkan sebagian rakyat dari
tindakan tidak etis yang dilakukan oleh sebagian penduduk lainnya. Sedangkan
paham Keynesian berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah
terjadinya resesi ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan
(underconsumption). Bagi Keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya
resesi secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan
tersebut bersifat sistematis (Caporaso dan Levine, 1992:100). Paham ini dengan
terang memberikan ilustrasi, bahwa negara dalam momen-momen tertentu harus

21
bertindak untuk menjaga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, yang
dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan masyarakat secara
sukarela.

Dengan begitu, di samping memiliki fungsi rasional, negara juga wajib


mengemban peran etis (etika) untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan
penduduk yang menjadi bagian dari eksistensinya. Maksud etika di sini bukan
sekadar suatu pemikiran sistematis tentang moral, melainkan lebih dari itu adanya
suatu pemahaman yang selalu menanyakan secara kritis dan mendasar terhadap
segala hal, atau keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia (negara) seharusnya menjalankan
kehidupannya (misinya) [Suseno, 1993:6]. Dari kacamata ini, tidak dibenarkan
sebuah upaya apapun dikerjakan dengan jalan menenggelamkan individu
(komunitas) yang satu di atas hura-hura individu (komunitas) yang lain.
Program-program rasional dari pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan
dengan pertanggungjawaban etis negara: apakah memang program yang
bersangkutan mengajak seluruh konstituen mengalami mobilitas bersama? Jika
setiap pergerakan rakyat cuma mengajak segelintir pelaku ekonomi, maka peran etis
negara wajib menghentikan program pembangunan tersebut. Cara pandang ini tentu
saja tidak berseberangan dengan upaya modernisasi, tetapi hanya memastikan
bahwa proses menuju kemajuan harus berlandaskan kepada cita-cita filsafat politik
yang sudah dirumuskan. Fakta yang tidak bisa ditolak, setiap kebijakan
pembangunan pasti dianggap merupakan proses menuju kemajuan dan kemakmuran
bersama. Tetapi yang sering dialpakan, apakah proses pembangunan tersebut benar-
benar telah didalami dan dipandu dengan nilai-nilai dasar negara sehingga
pengerjaannya tidak mencederai sekelompok masyarakat tertentu. Hal inilah yang
menjadikan pertanyaan-pertanyaan etis wajib terus dikumandangkan demi menjaga
kemaslahatan bersama. Dari sinilah unsur etika bisa masuk dan sangat berperanan
penting dalam menghitung setiap nisbah pembangunan yang dilaksanakan.

Peran etis semacam itu menjadi relevan ketika proses liberalisasi ekonomi
tidak bisa dibendung dan tiba-tiba telah hinggap di depan hidung. Pasar, yang

22
diandaikan secara perkasa dapat mengatur sirkulasi kemakmuran bersama, telah
dipilih sebagai instrumen satu-satunya untuk menggerakkan kegiatan ekonomi,
tanpa negara diperbolehkan ikut campur. Padahal, dalam realitasnya, pasar tidak
akan pernah berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur fisik,
sosial, mental, pendidikan, dan organisasi: yang semua itu baru terwujud bila negara
terlibat di dalamnya (Thurow, 1996:276). Walaupun realitas ini menggelikan, tetapi
senyatanya sudah menjadi “kebenaran” yang kekuatannya sulit untuk disanggah.
Pertanyaannya adalah, apakah fungsi etis negara dengan demikian telah punah?
Jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya sangat rumit karena tidak adanya
kepastian dalam hukum-hukum liberalisasi itu sendiri. Namun, setidaknya ada dua
asumsi yang diakui keakuratannya mengenai proses liberalisasi, yakni menguatnya
peran modal/pelaku ekonomi swasta (korporasi, agen bisnis) dalam mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan lainnya; dan pasar akan menjadi instrumen tunggal yang
mengatur bekerjanya aktivitas ekonomi, yang antara lain ditandai dengan
diharamkannya intervensi langsung negara dalam perekonomian seperti subsidi, tata
niaga, monopoli, lisensi, sampai segala bentuk proteksi lainnya. Dengan
karakteristik liberalisasi yang seperti itu, konsekuensikonsekuensi yang muncul
barangkali bisa diperkirakan dan sekaligus dapat memposisikan di mana seharusnya
negara tampil.

Setidaknya dua implikasi penting dari liberalisasi bisa dijelaskan sebagai


berikut (Yustika, 2003:133-134). Pertama, efek dari penguatan pelaku ekonomi
berskala besar dalam memengaruhi seluruh lekuk kehidupan kiranya mudah untuk
dibuktikan. Di negara berkembang pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi)
dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam
memengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga menentukan hidup matinya
kepentingan rakyat banyak. Hal itu bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi
tersebut ke wilayah-wilayah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik,
misalnya persawahan maupun fasilitas umum. Dampaknya adalah, pelaku-pelaku
ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan
mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang melakukan interaksi sosial.
Drama ini bisa bertambah getir bila disodorkan fakta bahwa semakin lama

23
komunitas yang terpinggirkan tersebut berbaris semakin panjang, sehingga membuat
wajah sebuah bangsa kehilangan elan etisnya. Dengan begitu, matinya pelaku
ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling
mengenaskan dari liberalisasi.

Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk


membeli kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan
pemerintah yang bertendensi pada perbaikan aspek distribusi, langsung dipenggal di
tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan mengurangi profit mereka.
Kebijakan redistributif semacam pajak progresif dan penalti utang sangat rawan dari
gangguan usaha berskala besar tersebut, bukan cuma di negara berkembang tetapi
juga di negara maju. Di Jerman, pada 1999 Menteri Keuangan gagal menaikkan
pajak korporasi besar karena tekanan pemilik modal, demikian pula di Indonesia
pada 2002 penalti utang yang hendak diberlakukan kepada para konglomerat hampir
rontok jika tidak ada tekanan publik yang keras. Efek dari upaya penjegalan ini tentu
saja akan mengurangi subsidi sosial pada masyarakat, misalnya untuk pangan,
pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Ini merupakan konsekuensi paling serius
dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup
mengawalnya. Modal bisa menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan hukum
yang dimilikinya sendiri, yakni kekuatan yang besar akar memakan daya yang lebih
kecil.

Dengan implikasi yang mengerikan itu, tentu saja peran negara tidak bisa
dicegah lagi. Dalam konteks ini fungsi negara tidak lagi sekedar menghindari
terjadinya resesi ekonomi atau pun mengatasi praktik ekonomi yang merugikan
kepentingan pihak lain (peran konservatif), melainkan melindungi kepentingan
rakyat yang tersisih sebagai cermin komitmen sosialnya. Pada titik ini, secara
minimal peran negara adalah membatasi pengaruh ekspansi korporasi besar yang
merugikan kepentingan publik dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang bisa
mengerangkeng keserakahan modal. Modal dan pasar, dua karib yang bersahabat
akrab, adalah dua modal ekonomi yang tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa asupan
regulasi sehingga mampu menerkam ke seluruh penjuru pelaku ekonomi. Lebih dari

24
itu, negara juga harus melindungi dan menjamin bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan hidup melalui sistem jaminan sosial (social security system)
yang matang. Upaya kuratif ini merupakan wajah lain dari misi etis negara, bahwa
negara bertanggung jawab terhadap proses distribusi atas hasil pembangunan,
walaupun betapa baiknya sebuah regulasi telah dibikin olch negara. Pendeknya,
negara secara etis harus hadir untuk melayani kaumnya yang takluk karena dipaksa
bertarung dengan kekuatan pasar yang buas.

Argumentasi di atas semakin relevan dipahami oleh negara-negara yang


sejak awal menempatkan aspek keadilan sosial sebagai ujung dari proses
pembangunan, dan bukan semata kemakmuran ekonomi. Negara-negara tersebut
dipastikan membungkus kebijakan publik yang hendak diambil melalui serangkaian
penilaian etis maupun rasional. Negara kesejahteraan memaklumatkan instrumen
ekonomi berskala ganda untuk menopang setiap implikasi negatif dari pilihan suatu
kebijakan. Pemeluk negara kesejahteraan, misalnya, secara umum memberi
penekanan kepada pasar untuk memandu kegiatan ekonomi masyarakat, tetapi
sambil memberi pagar pajak progresif agar keuntungan ekonomi yang diperolch dari
pasar tidak sampai mengganggu keseimbangan sosial (Freeman, 1989:138) Dengan
demikian, dalam pengertian ini pajak memiliki dua kaki: sebagai pengerut kelompok
ekonomi yang kuat agar tidak menjulang terlalu tinggi dan sebagai pemuai
kelompok ekonomi lemah agar tidak terpuruk dalam lembah yang teramat dalam.
Lewat simulasi semacam inilah negara hadir memerankan fungsi ctisnya lewat
perencanaan kebijakan ekonomi yang mengandaikan kesejahteraan sosial sebagai
nilai dasar yang harus dipenuhi.

25
Bagan 2.1 Derajat Intervensi Negara dalam Perekonomian
Intervensi Melalui Instrumen Kelembagaan A3

Minimal Tinggi
Minimal Mekanisme harga Hak Mekanisme Harga yang Tinggi
kepemilikan privat Terdistorsi Sistem
birokrasi yang kompeten

Rendah Proteksi yang selektif Hak Aturan perencanaan Maksimal


kepemilikan privat terpusat Kepemilikan
negara yang maksimal

Rendah Maksimal
Sumber: Handoussa, 1998:137

Sedangkan dalam perspektif ekonomi kelembagaan, peran negara


difokuskan untuk membentuk kerangka kelembagaan (institutional framework)
yang dapat mengatur kegiatan ekonomi, hak kepemilikan (property rights),
penegakan, dan eksekusi hukum yang menghasilkan biaya transaksi (Handoussa,
1998:138), Dengan begitu, jika peran negara dalam kegiatan ekonomi bisa dibagi
dalam empat klasifikasi, yakni stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi kegagalan
pasar, redistribusi pendapatan, dan mengarahkan proses penyatuan kegiatan
ekonomi (‘catching up’ process); maka peran yang terakhir merupakan wilayah yan
menjadi konsentrasi peran negara dalam perspektif ekonomi kelembagaan
(Handoussa, 1998:137). Maksudnya, peran negara lebih diarahkan untul mendesain
kegiatan ekonomi secara lebih efisien berdasarkan kesetaraan informasi dan posisi
tawar antaraktomya. Sedangkan tiga peran negara yang paling awal menjadi fokus
dari pendekatan ekonomi klasik/neoklasik dan Keynesian. Tentu saja ada banyak
variasi derajat intervensi negara untuk mengatur kegiatan perekonomian tersebut.
Bagan 2.1 memperlihatkan 4 altenatif dan model intervensi pemerintah/negara, dari
mulai yang paling minimal (minimal intervention) sampai paling maksimal

26
(maximal intervention). Dari beberapa kasus negara-negara yang mengadopsi
derajat intervensi tersebut, memang jarang negara (berkembang) yang mengambil
model ekstrem (min/min atau max/max); kcbanyakan negara mengambil model
antara posisi tinggi/tinggi (intervensi ekstensif dengan tekanan pasar
dikombinasikan dengan intervensi birokrasì) dan posisi rendah-rendah (intervensi
selektif dengan sistem pasar bebas berpasangan dengan campur tangan minimal
dalam sistem hak kepemilikan privat). Negara-negara yang menggunakan model
intervensi tinggi/tinggi adalah Amerika Latin dan Timur Tengah (seperti Mesir),
Afrika, dan Asia Selatan; sedangkam model intervensi rendah-rendah diadopsi oleh
negara di wilayah Asia Tenggara (Handoussa, 1998:136-137).

27
Tabel 2.2 Tujuan dan Instrumen Intervensi Pemerintah

Tujuan Perangkat Insentif Perangkat Kelembagaan


Stabilitas
- Kesempatan kerja penuh Kebijakan perpajakan Administrasi pajak dan pabean
- Stabilitas harga Kebijakan Pengeluaran Kontrol perdagangan dan
- Keseimangan anggaran Kebijakan moneter distribusi
- Keseimbangan eksternal Kebijakan nilai tukar UU Perbankan dan kredit
Pengawasa nilai tukar

Regulasi
- Mendorong kompetisi Legislasi Anti-trust
- Regulasi monopoli Administrasi harga Proteksi hak kepemilikan Aturan
- Proteksi konsumen Level tarif masuk dan keluar, lisensi
investasi
- Proteksi tenaga kerja Hambatan non-tarif UU perlindungan konsumen
UU tenaga kerja
Barang Publik
- Pertahanan dan keamanan Ongkos tidak langsung Monopoli pemerintahan
- Pengawasan populasi Ongkos tidak langsung Monopoli pemerintahan
- Proteksi Lingkungan Ongkos tidak langsung Kontrol populasi dan
- Struktur legal (hukum) Ongkos tidak langsung pewilayahan
- Pendidikan dan penelitian Subsidi (free vouchers) Pengadilan Independen
- Pelayanan kesehatan Dukungan selektif Campuran pemerintah/swasta
- Integrasi sektor informal Insentif Selektif Campuran pemerintah/swasta
- Pembangunan Regional Campuran pemerintah/NGO
Campuran pemerintah/NGO
Monopoli Alamiah
- Penyediaan infrastruktur dan - Monopoli pemerintah
perangkatnya
Redistribusi
- Transfer kepada kaum Pajak dan subsidi Jaminan kesempatan kerja
miskin dan rentan Jaminan Sosial Kontrak sosial
- Kebutuhan dasar
Perencanaan
- Informasi dan peramalan Informasi dan diseminasi Perencanaan indikatif/terpusat
- Kebijakan industrial Proteksi selektif Lisensi investasi
Organisasi

28
- Merespons global oligopoli Otonomi, transparansi, Diskriminasi dalam oligopoli
dan memperkuat akuisisi dan akuntabilitas nasional (pemerintah/swasta),
ilmu pengetahuan oligopilo nasional pembangunan kelembagaan
untuk mempromosikan
informasi, pendidikan, dan
teknologi
Sumber: Handoussa, 1998: 139
Lebih detail lagi, intervensi negara tidak hanya berurusan kepada model
intervensi, tetapi juga (dalam tradisi ekonomi kelembagaan) pilihan perangkat
kelembagaan untuk bisa mencapai tujuan dari intervensi. Seperti bisa dibaca dalam
Tabel 2.2, jenis-jenis perangkat kelembagaan (aturan main) bagi negara untuk
melakukan intervensi sangat banyak, tergantung dari tujuan yang diinginkan. Dalam
tabel tersebut ditunjukkan bahwa setidaknya termuat 7 tujuan intervensi, yakni
stabilisasi, regulasi, barang publik, monopoli alamiah, redistribusi, perencanaan,
dan organisasi. Dari keseluruhan tujuan intervensi tersebut terdapat ragam
kelembagaan yang bisa diproduksi pemerintah agar bisa mencapai tujuan yang
dimaksud, misalnya melalui instrumen perpajakan, kontrol perdagangan, monopoli
negara, kontrak sosial, jaminan sosial, lisensi investasi, pengawasan polusi, dan
pembangunan kelembagaan untuk memperkuat pendidikan dan teknologi. Dengan
ruang lingkup instrumen kelembagaan yang demikian luas, berarti sekaligus
mengonfirmasi bahwa peran negara dalam kegiatan ekonomi masih cukup lebar,
khususnya apabila dilihat dari perspektif ekonomi kelembagaan. Bahkan, intervensi
tersebut tidak lantas lenyap dengan adanya liberalisasi, alih-alih justru semakin
intensif demi melindungi kepentingan pelaku ekonomi domestik.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) ditegakkan oleh beberapa pilar dasar
yang melatarinya. Dalam sistem perekonomian kapitalisme penguatan pasar
digunakan sebagai instrumen untuk mengoordinasi kegiatan ekonomi,
misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan
negara/pemerintah dari akivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi
digerakkan oleh sektor swasta lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan
preferensi setiap individu. Bahkan, akibat peran pasar yang dominan,
kapitalisme sendiri sering disinonimkan sebagai ekonomi pasar. Dalam
posisi seperti ini, peran negara tidak lebih sebagai fasilitator kegiatan
ekonomi. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis faktor-faktor produksi
(means of production) berada di bawah kontrol Negara. Dengan keyakinan
itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba negara.
Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi
kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri.
Akibat tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialıs kerap
dipandang sebagai anti nilai-nilai kewirausahaan.

2. Demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan bisa memberikan


pengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi, dalam perkembangannya tidak
mesti menunjukkan gejala yang menggembirakan. Dalam sistem politik ini
negara melakukan kontrol menyeluruh terhadap seluruh aspek kehidupan,
sehingga sering kali batas antara negara dan hukum menjadi sangat tipis.
Persoalan sistem politik ini menjadi relevan apabila dikaitkan dengan
persoalan kelembagaan. Penegakan kelembagaan ini hanya mungkin apabila
organisasi pemerintahan yang dikembangkan sanggup menyerap seluruh
kompleksitas dan dinamika masyarakat. Sebab kegagalan menjalankan
kelembagaan pada sistem otoriter terjadi bukan saja akibat negara tidak
mampu memaksakan peraturan yang telah tersedia, melainkan juga

30
ketidaksanggupan negara dalam menciptakan perubahan kelembagaan
karena tidak adaptif dengan dinamika persoalan yang berkembang.

3. Terdapat negara-negara yang telah dikelompokkan berdasarkan


ketersediaan aturan hak kepemilikan, investasi modal manusia (human
capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan hubungan yang kuat
antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Negaranegana
tersebut dibagi dalam lima kategori, yaitu Asia Timur, OECD, Sub Sahara
Afrika, Amerika Latin, dan non-OECD. Hasil penelitian ini memperlihatkan
bahwa pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per capita income)
tidak memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus dalam
jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per
kapitanya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki keunggulan dalam menjamin
hak kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang
efisien, justru menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol.

4. Intervensi negara tidak hanya berurusan kepada model intervensi, tetapi juga
(dalam tradisi ekonomi kelembagaan) pilihan perangkat kelembagaan untuk
bisa mencapai tujuan dari intervensi. Dari keseluruhan tujuan intervensi
tersebut terdapat ragam kelembagaa yang bisa diproduksi pemerintah agar
bisa mencapai tujuan yang dimaksud, misalnya melalui instrumen
perpajakan, kontrol perdagangan, monopoli negara, kontrak sosial, jaminan
sosial, lisensi investasi, pengawasan polusi, dan pembangunan kelembagaan
untuk memperkuat pendidikan dan teknologi. Dengan ruang lingkup
instrumen kelembagaan yang demikian luas, berarti sekaligus
mengonfirmasi bahwa peran negara dalam kegiatan ekonomi masih cukup
lebar, khususnya apabila dilihat dari perspektif ekonomi kelembagaan.

31
DAFTAR RUJUKAN

Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan


Kebijakan. Penerbit Erlangga: Jakarta.

32

Anda mungkin juga menyukai