Kelompok XI
Nama Anggota :
PROGRAM REGULER
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
BAB II (PEMBAHASAN)
Kesimpulan ............................................................................................................ 30
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah-Nya
sehingga resume ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa penulis juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi terciptanya paper yang
berjudul Ekonomi Kelembagaan dan Sistem Ekonomi.
Tugas ini dibuat sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana.
Terselesaikannya tugas ini tidak terlepas dari beberapa kendala yang penulis hadapi
seperti kurangnya buku pegangan dan waktu untuk membuat tugas ini.
Terselesaikannya tugas ini juga tidak terlepas dari bantuan, dorongan, serta peran
dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini. Terlepas dari
semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari para pembaca.
Akhir kata harapan penulis semoga paper ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca semoga paper ini dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
• Ketiga, kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni
pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik
modal memeroleh pendapatan dari laba (profit), tenaga kerja dari upah (wage),
dan pemilik lahan dari sewa (rent).
• Keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar
pasar (free entry and exit barriers). Pelaku ekonomi yang melihat peluang profit
4
bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pełaku ekonomi yang gagal
(rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang menghambatnya.
5
mendapatkan hak kepemilikan. Jika ini terjadi, maka risikonya sulit bagi individu
tersebut melakukan transaksi secara sukarela. Dalam jangka panjang, praktik yang
menghambat hak kepemilikan privat akan mengganggu kegiatan ekonomi secara
keseluruhan sehingga disinsentif bagi pertumbuhan ekonomi. Argumentasi inilah
yang menjadi faktor penting yang mempercepat negara-negara kapitalis dalam
mengakumulasi kapital dan menggerakkan kegiatan ekonomi.
6
scharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal inı menjadi sinyal
bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila prosedur masuk ini
dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss). Sebaliknya, jika harga
sangat rendah dari yang seharusnya, maka ini juga pertanda bagi sebagian aktor
ekonomi untuk keluar dari pasar agar jumlah produk berkurang. Bila mekanisme
keluar ini dihambat, maka akan banyak sekali pelaku ekonomi yang mengalami
kerugian (producers loss). Melalui skenario tersebut, ekonomi kelembagaan sistem
kapitalis didesain agar cukup terdapat ruang bagi pelaku ekonomi untuk
berpartisipasi dalam perekonomian. Secara operasional, prinsip ini tentu saja
didukung dengan kemauan pemerintah untuk seminimal mungkin memproduksi
regulasi yang justru berpotensi membawa efek negatif bagi free entry and exit
barriers, misalnya lewat UU perijinan yang berlebihan.
7
Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-
faktor produksi (means of production) di bawah kontrol Negara. Keputusan produksi
dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi
berdasarkan perencanaan terpusat (central plan). Perencanaan tersebut isinya
meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan perangkat yang
dibutuhkan untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Negara dalam mendesain dan
mengimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh kebutuhan warga
negara (the entire society) berdasarkan sumber daya yang dimiliki berbasiskan
tindakan kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan dilihat sebagai
perangkat pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa mengeliminasi
ketidakpastian yang inhenren dalam sistem pasar (Jaffee, 1998:120-121). Dengan
keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba
negara. Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi
kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat
tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap dipandang sebagai
anti nilai-nilai kewirausahaan (Fritsch dan Rusakova, 2012:6).
8
setidaknya membuktikan kuatnya pengaruh pilar serba-negara dan target
pemerataan dalam sistem ekonomi sosialis.
9
kontrak dengan negara sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
(institutional environment). Dengan model seperti ini, diandaikan tidak
eksploitasi antarpelaku ekonomi (misalnya antara pemilik modal dan
pekerja), seperti dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada level ini pula,
ketimpangan pendapatan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi.
10
politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan
jaminan secara langsung bagi pertumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak
berpartisipasi memaknai proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak
menyatakan ekspresi, mengorganisasi, dan melakukan demonstrasi, dan hak
memeroleh otonomi dalam hal kebebasan beragama, pendidikan, perjalanan, dan
hak personal lainnya (Gastil; dalam Clague et. al., 1997:96). Tentu saja pemaknaan
demokrasi seperti ini masih dalam lingkup prosedural, karena semua hal tersebut
bisa diperoleh lewat cara yang tidak substansial.
11
Kegagalan bangunan tesis di atas memunculkan keinginan mengerjakan
studi yang lebih baru untuk mereposisikan bagaimana sesungguhnya relasi antara
pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Setidaknya penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Tavarez, Wacziarg dan Barro membantu menjelaskan bagaimana hubungan itu
berlangsung dan berdinamika. Tavares dan Wacziarg menemukan bahwa demokrasi
bisa mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatarn akses kepada
pendidikan, rendahnya ketimpangan pendapatan per kapita, dan rendahnya
konsumsi pemerintah. Jadi, efek demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
secara tidak langsung. Kemudian studi Barro menjelaskan bahwa peningkatan hak-
hak politik pada tahap awal cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan
ekonomi ketika kekuatan pemerintah sebagai faktor penentu. Tetapi di negara-
negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu, peningkatan demokrasi
akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi karena ada tekanan
melakukan redistribusi pendapatan (Barro, 1996:15-22).
Secara spesifik, Barro menunjukkan bahwa posisi awal GDP per kapita,
pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup, fertilitas,
konsumsi pemerintah, nilai tukar, inflasi, indeks aturan hukum dan indeks demokrasi
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus mengenai
aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh kualitas
birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah membatalkan kontrak,
risiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau dalam negeri),
dan pemeliharaan umum aturan hukum digerakkan untuk mengelola kehidupan
bernegara. Setiap tindakan pemerintah yang cenderung menjauhi aturan dan
kepastian hukum, membuat respons pertumbuhan ekonomi akan memburuk,
demikian sebaliknya. Studi yang mirip juga telah dikerjakan oleh Kunio (2000:119-
120), yang mewartakan bahwa negara-negara yang memiliki kelembagaan yang
lebih sempurna, misalnya adanya jaminan hak kepemilikan dan intervensi
pemerintah yang tepat, mempunyai kualitas pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Hasilnya, studi yang dikerjakan oleh Thomas et. al. (2001:156) menunjukkan bahwa
negara yang indeks demokrasinya tinggi berkorelasi dengan pendapatan per kapita
dan pengeluaran sosial yang juga tinggi (lihat Tabel 2.1).
12
Tabel 2.1 Pengelompokan Negara Menurut Keterbukaan Finansial
a. Rentang dari 0 (terendah) sampai 1 (tertinggi), yang dihitung atas dasar indeks
hak politik dan kebebasan sipil.
13
e. Semua belanja sekarang untuk membeli barang dan jasa oleh semua tingkatan
pemerintah, tidak termasuk sebagian besar perusahaan milik pemerintah, 1990-
97.
14
pihak yang dirugikan (losers) maupun diuntungkan (winners) dari proses tersebut.
Pada titik inilah sentralisasi kewenangan diperlukan agar tidak terdapat peluang bagi
pihak-pihak yang ingin membatalkan proses reformasi ekonomi tersebut.
15
Penegakan kelembagaan ini hanya mungkin apabila organisasi pemerintahan
yang dikembangkan sanggup menyerap seluruh kompleksitas dan dinamika
masyarakat. Sebab kegagalan menjalankan kelembagaan pada sistem otoriter terjadi
bukan saja akibat negara tidak mampu memaksakan peraturan yang telah tersedia,
melainkan juga ketidaksanggupan negara dalam menciptakan perubahan
kelembagaan karena tidak adaptif dengan dinamika persoalan yang berkembang.
Pada titik ini organisasi negara yang paling rasional bisa diimplementasikan adalah
sistem demokrasi. Sistem politik demokrasi sekurangnya memberikan tempat bagi
hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk
(i) Negara-negara Asia Timur, yakni Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Thailand;
(ii) Negara-negara yang tergabung dalam OECD, yakni Mesir, Irlandia, Jepang,
Portugal, Spanyol, dan Turki yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$
2.900 pada tahun 1960;
16
(iii) Negara-negara Sub Sahara Afrika;
(iv) Negara-negara Amerika Latin; dan
(v) Negara-negara kaya non-OECD, seperti Argentina, Saudi Arabia, Thailand,
Uruguay, dan Venezuela yang memiliki GDP per kapita lebih dari US$ 2.900
pada 1960.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang
tinggi (initial per capita income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja
perekonomian yang bagus dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang
pendapatan awal per kapitanya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki keunggulan
dalam menjamin hak kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi
publik yang efisien, justru menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol
(Clague, et. al., 1997:74-75).
17
cenderung akan ditinggal oleh investor, baik domestik maupun asing. Investor asing
takut melakukan ekspansi modal karena sewaktu-waktu perusahaannya bisa
dinasionalisasi, sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi karena
khawatir kontraknya dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa tersebut akan
menghambat laju pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif bagi orang untuk
mengerjakan investasi (Todaro, 1997:70-73). Dari sini bisa dipahami mengapa
setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal Asing) di sebuah negara
selalu diterangkan secara detail mengenai jaminan hak kepemilikan agar investor
asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan dan perusahaanya. Tanpa
jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor takut untuk membuat
keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian (uncertainty), suatu variabel
yang penting dalam kegiatan ekonomi.
18
liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal, penciptaan sistem hukum
untuk menegakkan hak kepemilikan, mempromosikan kompetisi (Yeager, 1999:80).
Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa
diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari
serba negara (state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction).
Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara, biasanya
pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi
agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang
besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih
ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro harga cenderung
dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat
monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-
negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya sangat
tidak efisien.
19
utangnya?. Jika praktiknya seperti itu, bukankah kelembagaan dan pembangunan
ekonomi hanya akan memihak kaum yang kaya dan kuat?
Tentu saja tidak mudah dan sederhana untuk menjawab persoalan tersebut.
Sungguh pun begitu, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk meredam
kekhawatiran tersebut. Pertama, kelembagaan akan menempatkan semua pihak
berada dalam posisi yang sepadan akibat adanya rule of law yang mengatur. Pelaku
ekonomi yang tidak memiliki modal besar dan koneksi politik dijamin bisa
melakukan investasi tanpa harus mengeluarkan biaya siluman. Sebaliknya,
usahawan besar tidak lantas bisa memuluskan investasinya hanya karena
mempunyai koneksi politik karena praktik semacam itu dibatasi oleh peraturan yang
tidak mengijinkan. Jadi, prosedur yang fair dan transparan akan membuat semua
pihak diposisikan secara sejajar. Kedua, inefisiensi kelembagaan dalam wujud
tiadanya jaminan hak kepemilikan, korupsi, penyalahgunaan infrastruktur publik,
dan kebijakan yang mendistorsi pasar justru akan lebih merugikan kelompok
masyarakat yang lemah dan miskin. Kasus monopoli, misalnya, bisa terjadi akibat
adanya sistem regulasi dan proteksi yang tidak ramah terhadap penguatan
kelembagaan, Contoh lainnya, kebijakan subsidi harga produk pertanian dalam
banyak hal justru menguntungkan penduduk perkotaan (the have) dan merugikan
kelompok petani (the poor) pada umumnya. Hal ini bisa berlangsung karena adanya
kelompok kepentingan (interest group) yang memiliki akses terhadap kekuasaan,
dan hal ini cuma mungkin terjadi akibat tiadanya (penegakan) kelembagaan yang
mengaturya.
Di luar itu, sifat kelembagaan tidaklah statis, tetapi dinamis (berganti sesuai
dengan perubahan konfigurasi pelaku ekonomi). Dalam pengertian ini, kelembagaan
yang sudah tidak relevan (dalam pengertian tidak efisien atau merugikan sebagian
pelaku ekonomi yang terlibat) secara otomatis akan berubah karena desakan
partisipan yang terlibat di dalamnya maupun adanya penetrasi dari toritas luar
(external authority). Atau, secara teoretis perubahan kelembagaan bisa terjadi
karena dua hal: permintaan dari konstituen (demand of constituents) dan penawaran
dari otoritas tertentu (supply of institutions), misalnya perubahan UU oleh
20
pemerintah (Challen, 2000:113). Dalam kasus yang pertama (demand of
constituents), misalnya, serikat pekerja bisa menekan pemilik modal (pemegang
saham perusahaan) untuk menaikkan tingkat upah atau fasilitas kesehatan sebagai
imbal balik dari kenaikan produktivitas/keuntungan perusahaan. Sementara untuk
kasus yang kedua (supply of institutions), pemerintah berupaya terus memperbaiki
tingkat kesejahteraan pekerja melalui penciptaan UU upah minimum. Setiap tahun
standar upah minimum dinaikkan oleh pemerintah untuk mengimbangi tingkat
inflasi yang terjadi dalam perekonomian. Perusahaan, sebagai entitas yang menjadi
obyek dari kebijakan pemerintah tersebut, terpaksa juga harus menyesuaikan sistem
pengupahan kepada pekerja berdasarkan kebijakan (UU) tersebut. Melalui skenario
inilah perubahan kelembagaan (insitutional change) akan terjadi untuk menjaga agar
tindakan dan kegiatan ekonomi terus berjalan.
21
bertindak untuk menjaga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, yang
dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan masyarakat secara
sukarela.
Peran etis semacam itu menjadi relevan ketika proses liberalisasi ekonomi
tidak bisa dibendung dan tiba-tiba telah hinggap di depan hidung. Pasar, yang
22
diandaikan secara perkasa dapat mengatur sirkulasi kemakmuran bersama, telah
dipilih sebagai instrumen satu-satunya untuk menggerakkan kegiatan ekonomi,
tanpa negara diperbolehkan ikut campur. Padahal, dalam realitasnya, pasar tidak
akan pernah berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur fisik,
sosial, mental, pendidikan, dan organisasi: yang semua itu baru terwujud bila negara
terlibat di dalamnya (Thurow, 1996:276). Walaupun realitas ini menggelikan, tetapi
senyatanya sudah menjadi “kebenaran” yang kekuatannya sulit untuk disanggah.
Pertanyaannya adalah, apakah fungsi etis negara dengan demikian telah punah?
Jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya sangat rumit karena tidak adanya
kepastian dalam hukum-hukum liberalisasi itu sendiri. Namun, setidaknya ada dua
asumsi yang diakui keakuratannya mengenai proses liberalisasi, yakni menguatnya
peran modal/pelaku ekonomi swasta (korporasi, agen bisnis) dalam mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan lainnya; dan pasar akan menjadi instrumen tunggal yang
mengatur bekerjanya aktivitas ekonomi, yang antara lain ditandai dengan
diharamkannya intervensi langsung negara dalam perekonomian seperti subsidi, tata
niaga, monopoli, lisensi, sampai segala bentuk proteksi lainnya. Dengan
karakteristik liberalisasi yang seperti itu, konsekuensikonsekuensi yang muncul
barangkali bisa diperkirakan dan sekaligus dapat memposisikan di mana seharusnya
negara tampil.
23
komunitas yang terpinggirkan tersebut berbaris semakin panjang, sehingga membuat
wajah sebuah bangsa kehilangan elan etisnya. Dengan begitu, matinya pelaku
ekonomi kecil dan penyempitan ruang publik merupakan tragedi paling
mengenaskan dari liberalisasi.
Dengan implikasi yang mengerikan itu, tentu saja peran negara tidak bisa
dicegah lagi. Dalam konteks ini fungsi negara tidak lagi sekedar menghindari
terjadinya resesi ekonomi atau pun mengatasi praktik ekonomi yang merugikan
kepentingan pihak lain (peran konservatif), melainkan melindungi kepentingan
rakyat yang tersisih sebagai cermin komitmen sosialnya. Pada titik ini, secara
minimal peran negara adalah membatasi pengaruh ekspansi korporasi besar yang
merugikan kepentingan publik dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang bisa
mengerangkeng keserakahan modal. Modal dan pasar, dua karib yang bersahabat
akrab, adalah dua modal ekonomi yang tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa asupan
regulasi sehingga mampu menerkam ke seluruh penjuru pelaku ekonomi. Lebih dari
24
itu, negara juga harus melindungi dan menjamin bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan hidup melalui sistem jaminan sosial (social security system)
yang matang. Upaya kuratif ini merupakan wajah lain dari misi etis negara, bahwa
negara bertanggung jawab terhadap proses distribusi atas hasil pembangunan,
walaupun betapa baiknya sebuah regulasi telah dibikin olch negara. Pendeknya,
negara secara etis harus hadir untuk melayani kaumnya yang takluk karena dipaksa
bertarung dengan kekuatan pasar yang buas.
25
Bagan 2.1 Derajat Intervensi Negara dalam Perekonomian
Intervensi Melalui Instrumen Kelembagaan A3
Minimal Tinggi
Minimal Mekanisme harga Hak Mekanisme Harga yang Tinggi
kepemilikan privat Terdistorsi Sistem
birokrasi yang kompeten
Rendah Maksimal
Sumber: Handoussa, 1998:137
26
(maximal intervention). Dari beberapa kasus negara-negara yang mengadopsi
derajat intervensi tersebut, memang jarang negara (berkembang) yang mengambil
model ekstrem (min/min atau max/max); kcbanyakan negara mengambil model
antara posisi tinggi/tinggi (intervensi ekstensif dengan tekanan pasar
dikombinasikan dengan intervensi birokrasì) dan posisi rendah-rendah (intervensi
selektif dengan sistem pasar bebas berpasangan dengan campur tangan minimal
dalam sistem hak kepemilikan privat). Negara-negara yang menggunakan model
intervensi tinggi/tinggi adalah Amerika Latin dan Timur Tengah (seperti Mesir),
Afrika, dan Asia Selatan; sedangkam model intervensi rendah-rendah diadopsi oleh
negara di wilayah Asia Tenggara (Handoussa, 1998:136-137).
27
Tabel 2.2 Tujuan dan Instrumen Intervensi Pemerintah
Regulasi
- Mendorong kompetisi Legislasi Anti-trust
- Regulasi monopoli Administrasi harga Proteksi hak kepemilikan Aturan
- Proteksi konsumen Level tarif masuk dan keluar, lisensi
investasi
- Proteksi tenaga kerja Hambatan non-tarif UU perlindungan konsumen
UU tenaga kerja
Barang Publik
- Pertahanan dan keamanan Ongkos tidak langsung Monopoli pemerintahan
- Pengawasan populasi Ongkos tidak langsung Monopoli pemerintahan
- Proteksi Lingkungan Ongkos tidak langsung Kontrol populasi dan
- Struktur legal (hukum) Ongkos tidak langsung pewilayahan
- Pendidikan dan penelitian Subsidi (free vouchers) Pengadilan Independen
- Pelayanan kesehatan Dukungan selektif Campuran pemerintah/swasta
- Integrasi sektor informal Insentif Selektif Campuran pemerintah/swasta
- Pembangunan Regional Campuran pemerintah/NGO
Campuran pemerintah/NGO
Monopoli Alamiah
- Penyediaan infrastruktur dan - Monopoli pemerintah
perangkatnya
Redistribusi
- Transfer kepada kaum Pajak dan subsidi Jaminan kesempatan kerja
miskin dan rentan Jaminan Sosial Kontrak sosial
- Kebutuhan dasar
Perencanaan
- Informasi dan peramalan Informasi dan diseminasi Perencanaan indikatif/terpusat
- Kebijakan industrial Proteksi selektif Lisensi investasi
Organisasi
28
- Merespons global oligopoli Otonomi, transparansi, Diskriminasi dalam oligopoli
dan memperkuat akuisisi dan akuntabilitas nasional (pemerintah/swasta),
ilmu pengetahuan oligopilo nasional pembangunan kelembagaan
untuk mempromosikan
informasi, pendidikan, dan
teknologi
Sumber: Handoussa, 1998: 139
Lebih detail lagi, intervensi negara tidak hanya berurusan kepada model
intervensi, tetapi juga (dalam tradisi ekonomi kelembagaan) pilihan perangkat
kelembagaan untuk bisa mencapai tujuan dari intervensi. Seperti bisa dibaca dalam
Tabel 2.2, jenis-jenis perangkat kelembagaan (aturan main) bagi negara untuk
melakukan intervensi sangat banyak, tergantung dari tujuan yang diinginkan. Dalam
tabel tersebut ditunjukkan bahwa setidaknya termuat 7 tujuan intervensi, yakni
stabilisasi, regulasi, barang publik, monopoli alamiah, redistribusi, perencanaan,
dan organisasi. Dari keseluruhan tujuan intervensi tersebut terdapat ragam
kelembagaan yang bisa diproduksi pemerintah agar bisa mencapai tujuan yang
dimaksud, misalnya melalui instrumen perpajakan, kontrol perdagangan, monopoli
negara, kontrak sosial, jaminan sosial, lisensi investasi, pengawasan polusi, dan
pembangunan kelembagaan untuk memperkuat pendidikan dan teknologi. Dengan
ruang lingkup instrumen kelembagaan yang demikian luas, berarti sekaligus
mengonfirmasi bahwa peran negara dalam kegiatan ekonomi masih cukup lebar,
khususnya apabila dilihat dari perspektif ekonomi kelembagaan. Bahkan, intervensi
tersebut tidak lantas lenyap dengan adanya liberalisasi, alih-alih justru semakin
intensif demi melindungi kepentingan pelaku ekonomi domestik.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) ditegakkan oleh beberapa pilar dasar
yang melatarinya. Dalam sistem perekonomian kapitalisme penguatan pasar
digunakan sebagai instrumen untuk mengoordinasi kegiatan ekonomi,
misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan
negara/pemerintah dari akivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi
digerakkan oleh sektor swasta lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan
preferensi setiap individu. Bahkan, akibat peran pasar yang dominan,
kapitalisme sendiri sering disinonimkan sebagai ekonomi pasar. Dalam
posisi seperti ini, peran negara tidak lebih sebagai fasilitator kegiatan
ekonomi. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis faktor-faktor produksi
(means of production) berada di bawah kontrol Negara. Dengan keyakinan
itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba negara.
Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi
kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri.
Akibat tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialıs kerap
dipandang sebagai anti nilai-nilai kewirausahaan.
30
ketidaksanggupan negara dalam menciptakan perubahan kelembagaan
karena tidak adaptif dengan dinamika persoalan yang berkembang.
4. Intervensi negara tidak hanya berurusan kepada model intervensi, tetapi juga
(dalam tradisi ekonomi kelembagaan) pilihan perangkat kelembagaan untuk
bisa mencapai tujuan dari intervensi. Dari keseluruhan tujuan intervensi
tersebut terdapat ragam kelembagaa yang bisa diproduksi pemerintah agar
bisa mencapai tujuan yang dimaksud, misalnya melalui instrumen
perpajakan, kontrol perdagangan, monopoli negara, kontrak sosial, jaminan
sosial, lisensi investasi, pengawasan polusi, dan pembangunan kelembagaan
untuk memperkuat pendidikan dan teknologi. Dengan ruang lingkup
instrumen kelembagaan yang demikian luas, berarti sekaligus
mengonfirmasi bahwa peran negara dalam kegiatan ekonomi masih cukup
lebar, khususnya apabila dilihat dari perspektif ekonomi kelembagaan.
31
DAFTAR RUJUKAN
32