Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah
memberikan anugrahnya kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini. Tugas ini
bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas pada mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan. Kami harapkan Makalah ini dapat memberikan manfaat pada
pembaca dalam proses kegiatan belajar mengajar maupun dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, tentu sangat diperlukan kajian
dan analisa yang lebih mendalam terkait dengan isi makalah ini. Kajian ini
penting dilaksanakan, agar kopetensi yang dimiliki mahasiswa benar-benar
memberikan bekal sesuai dengan tuntutan zaman.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 01 Oktober 2019


Penyusun,

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 1


DAFTAR ISI .................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 3
1.1 Latar belakang ................................................................................ 3
1.2 Tujuan ............................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris ......................................... 4
2.2 Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal ........................ 9
2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free Rider ....................................... 13
2.4 Pilihan Rasional dan Tindakan Kolektif ........................................ 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Problem serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah ketiadaan
kesetaraan antar pelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam
posisi daya tawar (bargaining position) maupun informasi asimetris (information
asymmetric). Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada
salah satu/beberapa pihak yang memeroleh keuntungan di atas beban (kerugian)
pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas
yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh
karenaitu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main (kelembagaan) yang
bertujuan membangun kesetaraan antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar
maupun kelengkapan informasi. Pada titik inilah keberadaan teori kontrak
(termasuk information asymmetric) dan tindakan kolektif (collective action)
sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut.

1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Teori Kontrak dan
Informasi Asimetris
1.2.2 Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Mekanisme Penegakan
dan Instrumen Ekstralegal
1.2.3 Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Teori Tindakan
Kolektif dan Free Rider
1.2.4 Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Pilihan Rasional dan
Tindakan Komunikatif

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris


Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction costs
econmics/TCE), basis dari unit analisis adalah 'kontrak' (contract) atau transaksi
tunggal antara dua pihak (parties) yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak
secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan
yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi
adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan untuk
membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat
pengamatan yang berbeda, pada titik waktu yang tidak samadan juga berdasarkan
derajat timbal balik yang berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu sendiri
mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-
pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang
berbeda untuk menyetujui isi atas kontrak yang dibikin. Dalam TCE, badan
penegakan kontrak dari luar (external contract-enforcement agency), yang biasa
disebut lembaga hukum (legal institution) yang mengatur kontrak, diasumsikan
eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami hambatan- hambatan akibat
kesulitan memverifikasi, baik yang buruk maupun yang bagus, pelaku-pelaku
yang terikat dalam sebuah kontrak. Dengan kata lain, TCE mengasumsikan bahwa
kontrak dapat ditegakkan (dipaksakan) dalam koridor lembaga hukum yang eksis
dan ketersediaan informasi yang cukup (Dixit, 1996:48).
Konsep kontrak dalam NIE (New Insitutional Economics), menurut
Richter, sebetulnya adalah konsep mengenai hak kepemilikan (property rights),
yang dalam banyak hal lebih luas dibandingkan konsep hukum tentang kontrak.
Asumsi dasarnya, masing-masing jenis dari pertukaran hak kepemilikan dapat
dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Birner, 1999:48).
Dalam teori standar (neoklasik), kontrak biasanya diasumsikan dalam kondisi
lengkap (complete contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan tanpa biaya
(costlessly). Dalam realitasnya, untuk membuat dan menegakkan kontrak yang

4
komplet sangatlah sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) karena adanya biaya
transaksi. Secara umum tidaklah mungkin untuk menghitung seluruh potensi
ketidakpastian dalam membuat kontrak. Salah satu jalan yang mungkin hanyalah
memodelkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan informasi yang terbatas,
untuk kemudian menjadikan hal itu sebagai bahan untuk membuat kontrak yang
menyeluruh (compahensivecontract). Mungkin saja suatu kontrak dibuat dengan
syarat hanya mencakup hal-hal yang bisa diamati oleh masing-masing pelaku
(parties), sehingga jika terjadi sesuatu pihak ketiga (seperti pengadilan)
[Bickenbach, et. al., 1993 :3-4]. (misalnya penyimpangan atau penipuan) bisa
diselesaikan oleh Dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua
alasan (Klein, 1980:356-358).
Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya
peluang yang cukup besar bagi munculnya contingencies, sehingga hal itu
berimplikasi kepada munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi
dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua,
kinerja kontrak khusus (particula, contractual performance), misalnya
menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan
yang rumit (complextask), mungkin membutuhkan biaya yang banyak untuk
melakukan pengukuran. Oleh karena itu, adanya pelanggaran kontrak sering kali
menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti sebagai dasar
keputusan. Hampir seluruh kesepakatan kontrak yang aktual berisi kombinasi
eksplisit dan implisit dari mekanisme penegakan. Beberapa elemen dari kinerja
dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga. Sebagai tambahan, biaya kontrak,
yang mengandaikan adanya ketidaklengkapan dari kontrak yang eksplisit,
membutuhkan kehadiran ‘biayasewasemu’(quasi rent)yang bisa digunakan bagi
perusahaan/korporasi untuk melakukan investasi.
Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas
adanya informasi asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi.
Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi di mana
adanyaketidaksetaraanpengetahuan (unequalknowledge) yang dialami oleh
pelaku-pelaku (parties) untuk melakukan transaksi di pasar. Sebagai contoh,

5
pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama atau jasa yang
ketidaksetaraan informasi atau tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang
barang hendak diperjualbelikan (McConnel dan Brue, 2005:572). Di sinilah
dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris
tadi dapat dikurangi atau direduksi. Tentu saja, jenis informasi asimetris untuk
tiap-tiap kegiatan transaksi berbeda antara satu dengan yang lain sehingga
dibutuhkan jenis kontrak yang berlainan pula. Dengan begitu, kontrak di sini bisa
pula dimaknai sebagai instrumen kompensasi yang didesain untuk mengeliminasi
dampak dari informasi asimetris. Semakin besar kemungkinan terjadinya
informasi asimetris, maka kian besar pula usaha yang mesti dikerjakan untuk
mendesain kontrak secara lebih komplet.
George A. Akerlof's, yang dianggap sebagai pioner teori informasi
asimetris, lewat karya monumentalnya, yakni The Marketof "Lemons":
QualityUncertaintyandtheMarketMechanism (1970), berpendapat bahwa
informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku transaksi dapat direduksi melalui
kelem- bagaan pasar perantara (intermediary market institutions), yang sering
disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting institutions). Contoh
yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan dimaksud adalah jaminan/garansi
(guarantees) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu untuk
memeroleh informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuan yang dimiliki
oleh penjual. Di luar garansi, instrumen kelembagaan lain adalah merek (brand-
names), kongsi (chains), dan waralaba (franchise) sebagai kanisme jaminan bagi
pembeli, setidaknya menyangkut kualitas produk (Auronen, 2003:9). Instumen-
instrumen tersebut secara lebih lanjut harus dimasukkan dalam kontrak sehingga
memiliki kepastian, khususnya dari aspek legal.
Kasus informasi asimetris lain yang bisa diajukan adalah praktik di pasar
kerja yang diformulasikan oleh Michael Spence lewat risalahnya yang berjudul
"Job Market Signaling" (1973)." Menurutnya, keputusan majikan untuk
mempekerjakan seseorang merupakaan keputusan investasi di bawah kondisi
ketidakpastian. Pemilik perusahaan/manajer (employer) tentu tidak yakin
sepenuhnya tentang kemampuan produktif seseorang (employee) sebelum dia

6
menggajinya. Bahkan, kemampuan produktif itu juga tidak serta merta dapat
diketahui apabila pekerja tersebut telah dilatih. Spence berargumentasi, karena
individu butuh waktu untuk mempelajari sesuatu yang baru, maka menggaji
seseorang merupakan sebuah keputusan investasi, dan karena kapabilitasnya tidak
diketahui secara berada di bawah ketidakpastian. Menurutnya, kasus seperti itu
analog dengan keputusan investasi dalam permainan undian (lottery).
Kemungkinan keberhasilan dalam mengambil keputusan ditentukan oleh
pengalaman terdahulu dalam pasar kerja (job market), tanda/sinyal (signals) yang
diberikan oleh pelamar kerja tentang kemampuannya, dan karakter yang melekat
(indices) dari seseorang. Jika ciri individu yang melekat tidak mungkin ditutupi,
seperti ras dan jenis kelamin, maka sinyal merupakan karakteristik individu yang
dapat dimanipulasi. Contoh dari sinyal tersebut, misalnya, adalah pendidikan. Di
sinilah perlunya melakukan optimasi biaya penandaan (signaling costs),
khususnya untuk kepentingan penentuan upah. Biaya penandaan merupakan total
biaya dari perubahan sinyal, termasuk ongkos uang, waktu, dan fisik. Bagi
Spence, seharusnya biaya penandaan tersebut berkorelasi negatif dengan
kapabilitas produktif seseorang (Apronen, 2003:11).
Kembali kepada soal kontrak, dalam kegiatan ekonomi modern tipe
kontrak setidaknya bisa dipilah dalam tiga jenis, yakni teori kontrak agen (agency-
contract theory), teori kesepakatan otomatis (self-enforcing agreements theory),
dan teori kontrak-relasional (relational-contract theory) [Furubotn dan Richter,
2000: 147]. Pertama, dalam teori agensi diandaikan setidaknya terdapat dua
pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal (principal) dan agen (agent). Prinsipal
adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau
layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi
bagi keberhasilan sebuah aktivitas yang telah didelegasikan kepada pihak agen,
misalnya otoritas untuk mengambil keputusan. Dalam posisi ini, informasi
(setelah kontrak dilakukan) diandaikan asimetris karena: (i) tindakan agen tidak
dapat diamati secara langsungoleh principal; atau(ii) pihak agen membuat
beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal (dalam kasus share-
cropping, misalnya, agen tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi

7
prinsipal tidak mengetahuinya). Pada kasus ini, sangat mahal bagi prinsipal untuk
mengawasi tindakan agen secara mendapatkan pengetahuan lengkap dari
informasi yang diperoleh agen. Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa
disebut dengan tindakan tersembunyi (hidden action) dan pada kasus yang kedua
biasa disebut dengan informasi tersembunyi (hidden information).
Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikan kesepakatan bisa
ditegakkan secara hukum (legally), maka dalam teori kesepakatan otomatis
diandaikan tidak seluruh hubungan (Furubotndan Richter, 2000:156-157). Di sini
dinyatakan bahwa sistem hukum sangat mungkin tidak sempurna atau informasi
yang relevan tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan. Oleh karena itu, salah satu
bagi relasi bisnis dalam jangka panjang adalah membuat atau menemukan sebuah
kontrak yang berisi kesepakatan yang dapat ditegakkan (self-enforcing
agreements). Kontrak semacam ini didesain untuk memastikan bahwa keuntungan
dari berbuat curang (defaulting) selalu lebih rendah dari laba yang didapatkan
dengan mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jadi, di sini tidak ada pihak
ketiga yang melakukan intervensi. Model seperti ini juga disinonimkan dengan
istilah 'kontrak implisit' (implicit contract), meskipun yang terakhir ini sebetulnya
didesain untuk membedakan dengan istilah teori kontrak formal. Kontrak implisit
lebih banyak mencakup perilaku ketimbang pembagian risiko (risk sharing).
Ketiga, kontrak relasional dapat dipahami sebagai kontrak yang tidak bisa
menghitung seluruh ketidakpastian di masa kesepakatan di masa depan di antara
1974; dalam Furubotn dan Richter, 2000:158). Oleh karena itu, kontrak dalam
pengertian ini mengacu kepada derajat yang bersifat implisit (implicit), informal
(informal), dan tanpa ikatan (nonbinding). Di sini, penegakan otomatis (self-
enforcement) memegang peranan yang sangat penting. Secara aktual, sebetulnya
sebagian besar transaksi yang menggunakar kontrak relasional ini kurang lebih
melekat dalam sebuah struktur hubungan transaksi yang sangat longgar. Transaksi
sendiri secara umum usaha yang sedang berjalan dan dalam jangka panjang.
Model semacam ini memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi
modern. Jika terjadi persoalan dalam hubungan kontrak tersebut, biasanya tidak
diselesaikan lewat pengadilan tetapi dicapai melalui keseimbangan kerjasama dan

8
pemaksaan (coercion), serta komunikasi dan strategi. Jadi, kontrak relasional
biasa diapli- kasikan dalam situasi di mana terdapat ketergantungan dua pihak
(bilateral dependence) pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi
yang spesifik (transaction-specific investment).
Isu penting lain yang berkenaan dengan perbedaan kesepakatan-
kesepakatan kontrak adalah bagaimana kontrak itu dibuat dalam situasi sektor
yang sama dan lingkungan kelembagaan (institutional environment) yang sejenis.
Dengan memakai studi ekstensif berdasarkan data primer (kuesioner) atas 21.000
responden yang dilakukan oleh para pewawancara yang mengunjungi industri
unggas (poultry), Mènard (2000:236) menunjukkan adanya tiga bentuk kese-
pakatan kontrak yang telah teruji lama, yakni kontrak harga tetap (fixed- price
contracts), kontrak jual beli (buy-and-sell contracts), dan kontrak lepas (putting-
out type); dengan tipe terakhir yang banyak dipilih. Sedangkan dalam sektor
pertanian, setidaknya juga terdapat tiga bentuk kontrak: kontrak sewa tetap/fixed-
rent contract (sewa per hektar yang dinyatakan dalam uang maupun tanaman),
kontrak bagi hasil (share contract), dan kontrak upah (wage contract) [Cheung,
1969:66-67]. Salah satu penjelasan yang mungkin bisa menerangkan daya tahan
tiga sistem kontrak di atas adalah karena dinamika alamiah (dynamic nature)
untuk selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan, jalur
ketergantungan (path dependency), yang menciptakan pola sosial perilaku, bisa
saja mempromosikan daya tahan (survival) sebuah kesepakatan kontrak yang
kurang efisien (Mènard, 2000:236).

2.2 Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal


Dari review terhadap beragam studi tentang kontrak yang telah dilakukan
terhadap empat aspek yang dapat disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis
kontrak (Menard, 200:236). Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak.
Hampir semua studi empiris yang dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu
konrtak sangat berhubungan atribut dari transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu
sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal commitment) dari para mitra.
Kedua, derajat kelangkaan (degree of completenees), yang mencakup variabel-

9
variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penaltri. Beberapa studi
menunjukkan bahwa derajat kelangkaan kontrak meningkat seiring dengan
spesifikasi aset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastian. Ketiga, kontrak
biasanya bersinggungan dengan insetif. Di sini hanya terdapat sedikit jenis
ekanisme sensitif. Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap
(piece-rate system), upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja,
pengambilan aset yang dibayarkan kepada pemilik, dan sewa yang dibagi di
antara mitra yang tergabung dalam proyek. Keempat, prosedur penegakan
(enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak berhubungan mitra untuk tujuan
yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang
bersamaan kontrak juga menyimpan resiko kerugian (disadvantage) melalui sikap
oportunis (opportunism): entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap
maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda dengan situasi pada saat negosiasi,
atau bisa karena keduanya
Berkaitan dengan aspek penegakan, dalam masyarakat yang kelembagaan
penegakannya tidak berjalan dengan baik individu-individu dan perusahaan-
perusahaan cenderung menghindari untuk membuat kesepakatan-kesepakatan
yang kompleks, yakni transaksi yang menegakkannya tidak secara otomatis (non-
self-enforcing transactions) [Clague, et. Al., 1997:69]. Setidaknya terdapat dua
tipe penegakan yang eksis dalam masyarakat, yakni aturan formal dan informal.
Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh organisasi kolektif (collectibe
action) melalui pihak ketiga (third party sanction). Sementara itu, norma (aturan)
informal muncul akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan
sosial (social relationship). Norma (norm) sendiri adalah aturan-aturan ekplisit
atau implisit untuk mengatur perilaku yang melekat pada kepentingan dan
keinginan masing-masing anggota kelompok (closeknit group) atau komunitas
(Nee, 1998:86-87). Derajat aturan-aturan yang mencoba untuk mengelola perilaku
sangat tergantumg dan penegakan tersebut. Sedangkan penegakan sendiri
dipengaruhi oleh daya tekan (coercive power) dari Negara atau norma-norma
dalam masyarakat. Penekanan (coercion) dan norma itu bisa saling menggantikan
(substitutes) [Stone, et.al, 1996:92]. Sedangkan Barzel (200:214) beragumentai

10
bahwa penggunaan kekerasan (violence) untuk melaksanakan penegakan bisa
berbeda-beda dalam tiga aspek berikut: kekerasan sering kali lebih murah,
kekerasan dilakukan untuk mencegah penyitaan (threaten confiscation), dan
kekerasan bertujuan untuk memperkuat pertukaran kontrak itu sendiri.
Dalam banyak kasus, individu-individu mungkin berinteraksi untuk satu
kali kesepakatan, tanpa pretensi untuk berkelanjutan lagi, atau berdasarkan
hubungan jangka panjang (long-term basis). Dalam keadaan ketiadaan pihak
ketiga, hamper seluruh interaksi yang hanya untuk satu kali (one-time interaction)
bermaksud untuk menangkap (capture) atau memindahkan (transfer). Apabila
hak-hak ekonomi untuk memindahkan asset tidak terdefinisi dengan baik, maka
resolusi untuk untuk menyelesaikan sengketa pasti akan banyak menghabiskan
biaya (resource cost). Sebagai aturan, satu individu berharap mendapatkan
keuntungan atau kerugian (lose), dan karena biaya terlibat di dalamnya, maka nilai
material untuk bergabung dalam interaksi menjadi negatif. Oleh karena itu, kedua
pelaku (direct long-term interation) tidaklah memadai untuk mengakomodasi
semua proyek-proyek yang dinilai. Dalam kasus seperti ini, para pelaku
mendapatkan keuntungan dari bantuan pihak ketiga memfungsikan prinsip-prinsip
tersebut ketika nilai dari proyek menjadi negatif kepada pihak yang satu atau yang
lain selama usia perjanjian tersebut (Barzel, 200:212-213). Pernyataan ini juga
berlaku untuk badan penanggung jawab pelaksanaan penegakan dan perlindungan
dari seluruh hak kepemilikan formal (Khan, 1995:72).
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah
bermufakat dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of
enforcement). Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dengan mitra lainnya
karena adanya asas saling menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak
juga berisiko melalui praktik oportunisme. Hasilnya terdapat godaan bagi satu
atau lebih pelaku bersikap menyimpang (Crawford et. Al., 1978). Hal ini
membuat tugas untuk mengatur hak-hak menjadi isu utama, dengan peosedur
penegakan menjadi kunci untuk menentukan berhasil atau tidaknya sebuah
kesepakatan (seperti dikutip oleh Menard, 2000:240). Isu yang utama adalah
mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga

11
pelaku (agents) memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak
yang dimufakati. Kontrak semacam itu semestinya harus dapat memaksakan
sendiri (self-enforcing), dalam arti implementasinya tergantung pada mekanisme
otomatis (built-in mechanism). Dalam model ini, kelembagaan tidaklah menjadi
masalah. Pada kondisi, tanda-tanda kegagalan kontak bisa dilihat dari
kebutuhannya untuk menggunakan kekuatan eksternal, dengan kata lain kontrak
telah didesain dengan buruk (Menard, 2000:238).
Seperti yang telah (Menard, 2000:248) kemukakan, hal itu membawa
kepada pengertian batas ‘penataan publik’ (public ordering). Penataan publik bisa
didefinisikan melampaui aturan main ubtuk wilayah penataan privat. Penataan
publik juga mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit
didesain untuk menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya,
diharapkan penataan publik tersebut bertemu dengan penataan sektir swasta
(privat). Topik utama yang dapat diagendakan untuk peneliti adalah melakukan
analisis pemahaman atas perubahan keseimbangan antara prosedur privat dan
publik. Pengadilan (court) dan kelembagaan yang terkait (administrasi
kehakiman, polisi, dan penjara) merupakan mekanisme yang melekat dalam
penataan privat menuju kepada penegakan publik. Peran dari pengadilan dalam
penegakan publik atas kontrak adalah berhubungan dengan isu hak-hak
kepemilikan, tepatnya sejak kesepakan kontrak dimasukan kedalam pemindahan
hak-hak pemanfaatan. Tetapi, menurut North (1990a:59), penegakan di Negara
dunia ketiga sering kali tidak pasti yang disebabkan bukan hanya karena
ambiguitas doktrin legal (pengukuran biaya), namun juga ketidakpastian dalam
menghargai perilaku agen/pelaku.
Dalam realitasnya, tentu mekanisme penegakan tersebut tidak selalu
mudah dilakukan, bahkan kerap kali sangat rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di
mana rasionalitas terikat/terbatas (bounded rationality) eksis sehingga
ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka problemnya bukan sekadar
mendesain sebuah aturan-aturan perilaku itu ditegakkan. Masalahnya, dalam
kasus aturan main yang tidak komplet, suatu penegakan legal sangat terbatas
penggunaannya. Dalam kasus semacam ini dibutuhkan suatu instrument tambahan

12
semacam jaminan ekstralegal (extralegal guarantee), seperti penyanderaan
(hostages), aguanan (collateral), strategi balas dendam (tit-for-tat strategies),
reputasi (reputation), dan lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa jaminan
“privat” untuk menghadapi perilaku menyimpang diperlukan untuk membangun
suatu hubungan yang taat asas. Oleh karena itu, setiap desainer kelembaaan harus
memperhatikan situasi aturan main yang tidak lengkap tersebut agar perilaku-
perilaku menyimpang bisa dicegah (Furubotn dan Richter, 2000:19).
Secara umum, desainer kelembagaan yang rasional akan merencanakan
suatu strategi atau perilaku “non-kerjasama” (noncooperative) sebagai bagian dari
partisipan pada saat proses tawar-menawar (bargaining process). Singkatnya,
desainer harus menyusun kesepakatan jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-
ante guantee) untuk menghadapi perilaku oportunistik setelah kontrak disepakati
(noncooperative bahevior). Tentu saja dalam kasus semacam ini akan muncul
biaya transaksi yang mungkin cukup besar. Dengan begitu, biaya transaksi yang
muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furubont dan Richter,
2000:20). Kejadian semacam ini sebetulnya merupakan problem ekonomi yang
biasa saja, khususnya dalam suatu lingkungan di mana otoritas hukum formal
tidak bekerja dengan baik. Kegiatan-kegiatan ekonimi/bisnis sehari-hari selalu
diselimuti dengan berbagai peristiwa seperti sehingga keperluan melakukan
antisipasi melakukan terhadap persoalan ini menjadi keniscayaan. Secara kategori,
upaya semacam ini bisa disebut sebagai “kontrak dalam kontrak”, di mana
kontrak yang pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang ingin
dilakukan dan kontrak yang kedua dimaksudkan untuk mengatasi problem
penegakan akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak.

2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free-Rider


Teori tindakan kolektif (collective action) pertama kali diformulasikan
oleh Mansur Olson (1971), khususnya saat mengupas masalah kelompok-
kelompok kepentingan (interest groups). Teori ini sangat berguna untuk
mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider) dan mendesain jalan keluar
bersama (coorperative solution) bagi pengelolaan sumber daya bersama (common

13
resources) atau penyediaan barang-barang publik (public goods). Menurut Olson,
determinan penting bagi keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran
(size), homogenitas (homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of group).
Teori ini sudah mapan dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang
bersinggungan dengan manajemen sumber daya bersama, seperti air, perikanan,
tanah, hutan, dan lain-lain. Di masa lalu solusi atas persoalan tersebut, yang
dikenal dengan istilah “tragedy of the commons” (yang disusun oleh Hardin),
dilakukan dengan cara memformulasikan dan menegakkan hak kepemilikan
(property rights). Tapi, dalam beberapa studi yang baru, kesepakatan
kelembagaan likal (local institutional arrangements), misalnya tradisi dan
konvensi sosial, dapat dipakai pula untuk mengatasi persoalan pengelolaan
sumber daya secara efisien (Kherallah dan Kirsten, 2001:10-11).
Mengacu pada postulat Olson di atas, maka suatu tindakan kolektif akan
bekerja secara optimum tergantung dari ketiga determinan tersebut. Secara
hipotetik, semakin besar ukuran suatu kelompok kepentingan (interest group),
maka kian sulit bagi kelompok tersebut untuk menegosiasikan kepentingan di
antara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya, kelompok yang
dibangun dengan ukuran kecil (small group) dimungkinkan bekerja lebih efektif.
Selanjutnya, keragaman kepentingan anggota kelompok juga sangat menentukan
keberhasilan tindakan kolektif. Semakin beragam kepentingan anggota kelompok,
maka kian rumit memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing
anggota membawa kepentingannya sendiri-sendiri, demikian sebaliknya. Jadi, di
sini homogenitas kepentingan diandaikan akan lebih memudahkan kerja suatu
kelompok. Terakhir, tujuan kelompok harus dibuat secara fokus dengan
memertimbangkan kepentingan semua anggota. Tujuan kelompok yang luas, di
samping kabur juga berpotensi memecah kesatuan antaranggota sehingga
dukungan terhadap tindakan bersama menjadi lemah. Tentu saja keadaan tersebut
harus dihindari dalam sebuah organisasi/kelompok.
Dalam konteks yang lebih luas, teori tradisional perilaku kelompok (group
behavior) secara implisit berasumsi bahwa kelompok-kelompok swasta (private
group) dan asosiasi-asosiasi (association) beroperasi menurut prinsip-prinsip yang

14
berbeda sepenuhnya dari operasi relasi antarperusahaan di pasar atau antara
pembayar pajak dan Negara (Olson, 2001:16). Pembayar pajak dan Negara,
misalnya, hubungan tersebut berjalan berdasarkan regulasi yang sudah
diundangkan sehingga, tidak ada tawar menawar pada posisi tersebut. Negara
memiliki posisi yang kuat dan pembayar pajak hanya sebagai objek yang wajib
tunduk terhadap aturan. Sebaliknya, serikat kerja (labor unions), misalnya, harus
melakukan mufakat di antara anggotanya untuk menentukan kepentingan mana
yang akan dibawa ke meja perundingan (dengan pemilik perusahaan/modal). Di
sini tindakan kolektif antarpekerja (yang tergabung dalam sekirat kerja) memiliki
makna yang lebih besar ketimbang pembayar pajak, karena mereka merupakan
“komunitas dinamis” yang terus mendesakkan kepentingannya agar suatu regulasi
bisa berubah sesuai dengan tuntutannya. Hal yang sama juga terjadi pada
organisasi petani, kartel, partai politik, dan lain sebagainya.
Salah satu titik kritis dari tindakan kolektif adalah adanya kemungkinan
pihak yang kecil (small) akan mengeksploitasi pelaku yang besar (great), seperti
yang disinyalir oleh Olson (2002:29). Kelihatannya ini aneh, tapi sebetulnya hal
semacam itu biasa terjadi, khususnya dalam akivitas politik, sehingga sampai
muncul istilah “tirani minoritas”. Jika ini yang terjadi, maka memang lebih baik
bila kepentingan suatu kelompok bersifat homogen. Olson kemudian
menyimpulkan sebuah postulat penting lainnya bahwa keberhasilan tindakan
kolektif dijamin jika kelompok kepentingan tersebut mempunyai keuntungan
melebihi biaya produksi keseluruhan (the intire production cost).
Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi
yang membutuhkan tindakan kolektif untuk dapat menyelesaikan persoalan
(Heckathorn, 1993:330-331). Pertama, sistem untuk mengelola sumber daya
bersama (common-pool resources), seperti perikanan, sumber daya air yang
dikelola melalui sistem irigasi, atau padang rumput. Kedua, sistem untuk
mengontrol perilaku (controlling behavior), misalnya norma-norma sosial
melarang eksploitasi atau perilaku merusak (predatory behavior). Ketiga,
perubahan-perubahan sosial semacam revolusi atau perubahan perlahan (modest
changes) dalam kebijakan publik. Ketiga situasi tersebut mempersyaratkan

15
adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan sumber daya dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Bahkan, lebih dari itu, tindakan bersama menjadi
krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik dan kemungkinan
dieksploitasinya salah satu/beberapa pihak dalam kegiatan tersebut. Ini semua
menjadi argumentasi penting perlunya kehadiran tindakan kolektif dalam
pemecahan masalah kegiatan ekonomi.
Terdapat tiga karakteristik esensial yang perlu dipetakan dengan jelas.
Pertama, barang atau jasa yang diproduksi bersama, jika tidak maka tindakan
kolektif tidak dibutuhkan. Kedua, produksi memberikan laba kepada semua
anggota kelompok, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang gagal
berkontribusi dalam aktivitas produksi. Ketiga, produksi dalam barang-barang
publik menyertakan biaya. Ketika ketiga kondisi tersebut eksis, maka anggota
kelompok pasti akan bertemu dengan problem penunggang bebas (free-rider
problem), yakni mereka yang tidak memperoleh beban (biaya) dari tindakan
kolektif tapi masih menerima benefitnya. Pergumulan dari peristiwa semacam
inilah yang membuat para ekonom dan ilmuan sosial berkonsentrasi memecahkan
dilemma dengan kegiatan ekonomi yang rumit itu. Padahal, fakta yang tidak
mungkin disanggah, setiap aktivitas ekonomi selalu berpotensi menyumbangkan
penunggang bebas sehingga suatu tindakan kolektif dibutuhkan untuk
mengatasinya.
Konsentrasi terhadap Free-riders tersebut merupakan pangkal dari
persoalan yang menyelimuti sebuah kelompok (kepentingan). Dalam posisi ini,
tindakan kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah free-
riders, tapi dapat pula tindakan kolektif sebagai sumber munculnya penunggang
bebas. Dalam proporsi yang pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan
free-rider menggalang kekuatan yang berujung kepada tindakan kolektif,
misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan,
dalam proporsi kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang lengkap
(tidak matang) besar pula peluangnya untuk menciptakan free-rider baru,
misalnya ketidakjelasan aturan main tentang hukuman dan insentif. Tanpa
merujuk kepada contoh kegiatan ekonomi yang eksklusif, kedua kemungkinan

16
tentang scenario free-rider itu sangat besar terjadi sehingga desain tindakan
kolektif memang mesti dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan
banyak aspek, seperti ukuran, homogenitas, dan tujuan kelompok.
Berikutnya, menurut Olson (1965), masing-masing dari tiga mekanisme
fundamental ini dapat mempercepat proses tindakan kolektif. Pertama, Olson
berargumentasi bahwa produksi secara sukarela (voluntary production) akan dapat
dilaksanakan hanya dalam kelompok-kelompok kecil (small groups) atau
kelompok yang didominasi oleh produsen besar (misalnya kelompok
“khusus”/”privileged” groups). Kedua, Olson berpendapat bahwa interaksi
strategis/strategic interaction (misalnya kerjasaam kondisional yang menyatakan
“jika kamu bergabung, maka saya juga akan masuk”) mungkin akan menelurkan
kerjasama cuma dalam kelompok sedang (medium-size groups). Ketiga, Olson
berasumsi bahwa insentif selektif/selective incentives (seperti hukuman bagi free-
rider atau penghargaan terhadap pihak yang mau bekerja sama)
mempersyarakatkan adanya otoritas sentral (central authority). Intinya, Olson
mengantisipasi munculnya masalah penunggang bebas pada level lebih lanjut
(second order) yang muncul karena insentif selektif juga merupakan barang
publik, di mana pelaku yang gagal dibebani biaya dari insentif yang diterima
mungkin juga tidak mendapatkan benefit dari pemanfaatan insentif tersebut.
Secara tersirat, deskripsi di muka menjelaskan dengan rinci bahwa
tindakan kolektif bergerak di antara realitas munculnya kepentingan (suatu
kelompok dan ekstistensi penunggang bebas yang ingin memperoleh manfaat
tanpa terkena bebas (biaya). Pada titik itulah tindakan kolektif berjalan dengan
tingkat akselerasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kecepatan dan besaran
tindakan kolektif tersebut didorong oleh banyak faktor dan konfigurasi
kepentingan yang berada disekelilingnya. Dari sudut pandang efisiensi, tidak
mesti tindakan kolektif itu paralel dengan keuntungan karena keberhasilannya
sangat ditentukan oleh desain tindakan kolektif yang dilakukan dan kemampuan
untuk merawatnya. Di sinilah kemudian penunggang bebas itu bermula, ia bisa
sebagai sebab munculnya tindakan kolektif, tapi juga dapat tindakan kolektif yang
memunculkan penunggang bebas. Tentunya, tindakan kolektif yang terencana

17
bukan merupakan sumber munculnya penunggang bebas, tapi justru untuk
mengatasi free-rider.

2.4 Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif


Cakrawala teori tindakan kolektif menjadi kian luas apabila fokus kajian
diarahkan kepada motif di balik tindakan kolektif dilakukan. Tindakan kolektif,
yang dalam banyak hal dirujuk ke dalam kegiatan memilih (voting behavior),
perilaku protes (protest behavior), formasi negara (state formation), pertumbuhan
organisasi (the growth of organizations), bahkan altruisme (altruism), dianggap
sebagai hilir teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori yang terakhir ini
diimpor dari teori ekonomi (economics) dengan asumsi-asumsi bahwa individu
cenderung untuk mementingkan diri sendiri (self-interest) demi memenuhi hasrat
keuntungan. Dalam pengertian ini, tindakan kolektif akan diambil oleh individu
apabila upaya tersebut akan memberikan laba yang lebih besar ketimbang bila ia
tidak bergabung dalam tindakan kolektif. Sebaliknya, jika dalam tindakan kolektif
tersebut potensi munculnya free-riders sangat besar, maka ia akan mengundurkan
diri karena pihak penunggang bebas akan menggerogoti keuntungan (kolektif)
dari tindakan kolektif. Jadi, teori pilihan rasional memberikan landasan yang
kukuh bagi eksistensi tindakan kolektif, setidaknya dari kacamata ekonomi
klasik/neoklasik.
Tetapi, wajah dari teori pilihan rasional sendiri tidaklah tunggal, di mana
setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pen-
dekatan kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) (Miller,
1992:24]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab
munculnya analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan
halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given
framework) karena aktor-aktor rasional berupaya memaksimalisasikankeuntungan
atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati deskripsi tersebut, secara
sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial dan kelembagaan sama sama
eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam pendekatan kuat

18
diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya
tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan
kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antarindividu yang berupaya
memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar
untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan
rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya
tindakan rasional, maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa
direkomendasikan (Miller, 1992:25). Pertama, perlunya solusi internal yang kuat
(dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan dan preferensi) terhadap
problem penunggang bebas. DeNardo (1985) mengidentifikasi dua kemungkinan:
(i) individu terlalu percaya (overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka
dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan
berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan
untuk bertemu dengan Orang-orang membuat kegunaan partisipasi berdampak
positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action). Kedua,
mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk
berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak
perlu membahas masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk,
cukup disediakan kopi ataupun makanan yang membuat para demonstran mau
terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor (1987) dan Elster (1989)
berpendapat tentang perlunya memunculkan "kerjasama kondisional yang saling
menguntungkan" (mutual conditional cooperation). Postulat ini mengemuka
berdasarkan teori "prisoner's dilemma" yang sudah cukup mapan.
Sementara itu, jika pendekatan lemah yang disepakati sebagai cara
menganalisis kompetisi rasional individu, maka sekurangnya terdapat dua solusi
eksternal yang dirujuk. Pertama, otoritas sentral (misalnya negara atau serikat
kerja) menyediakan insentif selektif yang member penghargaan kepada mereka
yang berpartisipan dalam tindakan kolektif dan/atau menghukum mereka yang
menolak bergabung dalam tindakan kolektif tersebut (Olson, 1965; Elster, 1989).
Sesungguhnya pun begitu, solusi ini dapat dikategorikan mekanisme pilihan non-

19
rasional mengingat mensyaratkan adanya penciptaan otoritas sentral. Kedua,
solusi eksternal yang menekankan kepada desentralisasi komunitas ketimbang
otoritas sentral. Taylor (1982, 1987, 1988) berargumentasi bahwa kerjasama
merupakan kondisional dan secara absolute diturunkan dari perilaku rasional
individu yang cenderung mementingkan diri sendiri (rasional self-interest).
Dengan begitu, tindakan kolektif akan berhasil jika hubungan antara komunitas
dicirikan oleh sifat komunitas (community). Karakteristik komunitas tersebut tidak
lain melihat persoalan sosial dan kelembagaan sebagai masalah umum yang
memerluka pemecahan bersama.
Tabel 2.1 : Enam Strategi Fungsi Pilihan Kontribusi dan Pilihan Pengawasan
Pilihan Pilihan Pengawasan Interpersonal
Kontribusi (Level Kedua)
Terhadap Tanpa
Pengawas lunak Pengawasan
Barang Publik Pengawasan
(Kerjasama) Oposisional
(Level Pertama) (Kegagalan
Kontribusi
Kerja penuh Kerja privat Oposisi lunak
(kerjasama)
Tidak Kontribusi
Kerja hipokritikan Kegagalan penuh Oposisi penuh
(Kegagalan)
Sumber: Heckathorn, 1993:332
Kembali kepada masalah yang sudah dibahas pada bagian awal, ketika
tindakan kolektif diorganisasikan melalui insentif selektif, maka setiap aktor
membuat pilihan level pertama (first level) berkontribusi untuk memproduksi
barang publik dan pilihan level kedua (second level) memengaruhi aktor-aktor
lain (Heckathorn, 19993;331-332). Pilihan level pertama diasumsikan menjadi
dua dikotomi: aktor-aktor memilih berkontribusi terhadap produksi barang publik
atau mereka memilih menjadi penunggang bebas. Sedangkan pada level kedua
diasumsikan ke dalam tiga kelompok: aktor mengusahakan tidak mengawasi (no
control) pihak lain, mengupayakan “pengawasan lunak” (compliant control)
untuk meningkatkan kontribusi produksi barang-barang publik, atau
mengusahakan “pengawasan oposisional” (oppositional control)untuk

20
melemahkan pengawasan yang lunak (compliant control). Dari konfigurasi dua
level pilihan tersebut, setidaknya terbentang enam strategi yang dapat dipilih oleh
masing-masing aktor untuk menyelenggarakan tindakan koletif, yakni kerjasama
penuh (full cooperation), kegagalan penuh (full defection), oposisi lunak
(compliant opposition), dan oposisi penuh (full opposition) [lihat tabel 2.1]
Secara lebih detail, keenam strategi tersebut bisa dijabarkan sebagi
berikut: Kerjasama penuh termasuk kontribusi terhadap produksi barang-barang
publik dan memberikan penalti terhadap pihak yang tidak melakukan kontribusi.
Sehingga, individu yang memilih strategi ini akan memaksimisasi kontribusi
individu dan kolektif terhadap produksi barang-barang publik. Sedangkan
kerjasama hipokritikal terjadi ketika pelaku penunggang bebas, yakni yang gagal
berkontribusi terhadap barang publik berupa mendesak pihak lain untuk
berkontribusi. Selanjutnya, pelaku yang memilih kerjasamaprivat berkontribusi
terhadap barang publik tetapi tidak berusaha mencegah pihak lain menjadi
penunggang bebas.sementara itu, pelaku yang memiliki kegagalan penuh menolak
berkontribusi dan mengizinkan pihak yang lain bertindak seperti yang mereka
lakukan. Kemudian, aktor yang memilih oposisi lunak berkontribusi terhadap
barang publik namun dengan mebela hak pihak lain untuk menolak berkontribusi.
Akhirnya, pelaku yang memilih oposisi penuh menolak berkontribusi dan
melawan norma yang memaksakan pelaksanaa/aturan (comlience).
Tabel 2.2: Tipe-tipe Tindakan Berdasarkan Konsep Habermas (1984)

Orientasi Tindakan Orientasi Pencapaian


Orientasi Keberhasilan
Situasi Tindakan Pemahaman (Lifeword)
(System)
Non-sosial Tindakan instrumental -
Sosial Tindakan strategis Tindakan komunikatif
Sumber: Miller, 1992:27
Konfgurasi tindakan kolektif juga dapat dilihat dari kacamata komunikasi,
setidaknya dengan merujuk teori tindakan komunikasi (theory of communication
action) yang diformulasikan oleh Habermas. Di dalam teori tindakan komunikasi
tersebut, Habermas (1984; dalam Miller, 1992:26) mengidentifikasi dua kawasan

21
dalam masyarakat yang terpisah (separate) tetapi saling tergantung
(interdependent), yaitu sistem (system) dan dunia nyata (lifeworld). “Sistem”
adalah kawasan produksi dan reproduksi material yang seluruh tindakan ditujukan
untuk menggapai keberhasilan, baik tindakan strategi maupun instrumental
(Tabel 2.2). Suatu tindakan yang dikategorikan strategi apabila tindakan tersebut
mengikuti aturan-aturan pihal rasional dan bertujuan memengaruhi keputusan
pihak lain yang rasional (rational oppoment). Sedangkan tindakan instrumental
terjadi ketika tindakan tidak mengikuti aturan-aturan teknis dan campur tangan
(intervenes) dalam lingkungan dan peristiwa-peristiwa material (material
circumstance and evants).
Sementara itu, “dunia nyata” merupakan perwujudan (form) ruang
simbolik antar latar belakang kemauan/itikad yang dibagi secara kolektif dengan
tradisi budaya-budaya, integrasi budaya, dan struktur normatif (nilai-nilai dan
kelembagaan) yang direproduksi dan ditransformasi lewat proses interpretif yang
terus berjalan atas tindakan komunikatif. Di sini, tindakan komunikatif ditekankan
kepada interaksi di antara dua pihak atau lebih untuk mencari kesepahaman
mengenai situasi bersama (shared situation). Secara lebih tegas, focus Habermas
mengenai konsep tindakan komunikatif dan perbedaannya dengan logika
rasionalitas komunikatif selanjutnya merepresentasi atau pergeseran dari filosofi
individualistik dan kepentingan sendiri (self-interested), dimana teori pilihan
resional berasal, menuju filosofi kosensus pengetahuan dan muasal
kolektif/kerjasama dari tindakan manusia. Pemahaman seperti ini secara utuh
harus dimengerti untuk mengidentifikasi kompleksitas suatu tindakan kolektif.
Terlepas dari penjelasan yang cukup rumit di atas, secara garis besar
selama ini tindakan kolektif diasumsikan bersumber dari dua pendekatan.
Pertama, keuntungan dari bekerja dalam suatu kelompok akan menggiring ke
dalam situasi yang tidak terhindarkan untuk menciptakan kelompok-kelompok.
Kedua, perilaku maksimisasi individu dalam jangka pendek (short-term self-
maximising) akan menuntun individu melakukan kerjasama atau tindakan kolektif
(Yustika:124). Tetapi, menurut Lyon (2003:324), kedua asumsi tersebut gagal
untuk menjelaskan eksistensi atau kemunduran tindakan kolektif. Menurutnya,

22
berdasarkan studi yang dilakukan pada suatu komunitas petani kecil (small-scale
farmers) di Ghana (di wilayah Central and Brong Ahafo), faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap berkelanjutan kelompok (tindakan kolektif) adalah sistem
insentif yang bagus (good incentive), pengurangan resiko penipuan (reduced risk
of cheating), manajemen yang sederhana dan lentur/fleksibel (simple flexible
management), adanya kepercayaan (trust), kepemimpinan (leadership), serta
penegakan dan kemampuan untuk menghukum (enforcement and ability to
punish). Faktor-faktor ini yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dari
(keberlanjutan) tindakan kolektif.
Begitulah, tindakan kolektif telah menjadi bagian penting dari upaya
sekumpulan individu untuk mengatasi problem ekonomi, khususnya munculnya
penunggang bebas dan posisi daya tawar yang rendah. Dalam kasus di sektor
pertanian, banyak contoh yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa
tindakan kolektif merupakan salah satu jalan yang bisa diambil untuk mengatasi
posisi tawar yang rendah (lower bargaining potition). Misalnya kerjasama di
antara petani untuk negosiasi harga dengan pedagang (traders) akan meningkat
posisi tawar petani dalam mengontrol penentuan harga. Di luar itu, kerjasama juga
akan mengurangi ongkos waktu dan pemasaran. Dengan begitu, kelompok petani
tersebut berpotensi mengatasi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan dan
aliran uang ke perekonomian pedesaan, membuka jaringan dan kesempatan di luar
komunitas, peningkatan kesempatan kerja di desa, dan mengurangi migrasi ke
wilayah perkotaan. Tetapi, upaya semacam ini tidak berarti berjalan tanpa
rintangan, karena dalam beberapa kasus terjadi praktik dimana wakil/
representasidari kelompok tersebut bermain mata dengan pedagang, dengan jalan
menjual harga komoditas lebih rendah dan dia memperoleh komisi/uang suap
(pay-off) dari pedagang (Lyon,2003:325). Oleh karena itu, aspek kepercayaan dan
kepemimpinan sangat penting dalam menjaga kesinambungan suatu tindakan
kolektif.

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction
costseconmics/TCE), basis dari unit analisis adalah 'kontrak' (contract)
atau transaksi tunggal antara dua pihak (parties) yang melakukan
hubungan ekonomi. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan
satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi
kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan balasan
(reciprocalaction) atau pembayaran. Dalam kenyataannya, kontrak selalu
tidak lengkap karena adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan
terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya contingencies,
sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk mengetahui
dan mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan
ketidakpastian tersebut.Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat
ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris (asymmetric
information) dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris
tidak lain merupakan kondisi di mana adanya ketidak setaraan
pengetahuan (unequalknowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku
(parties) untuk melakukan transaksi di pasar.

3.1.2 Dari review terhadap beragam studi tentang kontrak yang telah dilakukan
terhadap empat aspek yang dapat disimpulkan menjadi faktor perbedaan
jenis kontrak (Menard, 200:236). Pertama, jangka waktu (duration) dari
kontrak. Kedua, derajat kelangkaan (degree of completenees), Ketiga,
kontrak biasanya bersinggungan dengan insetif. Keempat, prosedur
penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Berkaitan dengan
aspek penegakan, dalam masyarakat yang kelembagaan penegakannya
tidak berjalan dengan baik individu-individu dan perusahaan-perusahaan
cenderung menghindari untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang
kompleks, yakni transaksi yang menegakkannya tidak secara otomatis

24
(non-self-enforcing transactions) [Clague, et. Al., 1997:69]. Setidaknya
terdapat dua tipe penegakan yang eksis dalam masyarakat, yakni aturan
formal dan informal. Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh
organisasi kolektif (collective action) melalui pihak ketiga (third
partysanction). Sementara itu, norma (aturan) informal muncul akibat
adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan sosial (social
relationship).

3.1.3 Tindakan kolektif bergerak di antara realitas munculnya kepentingan. Pada


titik itulah tindakan kolektif berjalan dengan tingkat akselerasi sesuai
dengan kebutuhan di lapangan. Kecepatan dan besaran tindakan kolektif
tersebut didorong oleh banyak faktor dan konfigurasi kepentingan yang
berada disekelilingnya. Dari sudut pandang efisiensi, tidak mesti tindakan
kolektif itu paralel dengan keuntungan karena keberhasilannya sangat
ditentukan oleh desain tindakan kolektif yang dilakukan dan kemampuan
untuk merawatnya. Di sinilah kemudian free-rider itu bermula, ia bisa
sebagai sebab munculnya tindakan kolektif, tapi juga dapat tindakan
kolektif yang memunculkan free-rider. Tentunya, tindakan kolektif yang
terencana bukan merupakan sumber munculnya free-rider, tapi justru
untuk mengatasi free-rider.

3.1.4 Tindakan kolektif, yang dalam banyak hal dirujuk ke dalam kegiatan
memilih (voting behavior), perilaku protes (protest behavior), formasi
negara (stateformation), pertumbuhan organisasi (the growth of
organizations), bahkan altruisme (altruism), dianggap sebagai hilir teori
pilihan rasional (rational choice theory). Dalam pengertian ini, tindakan
kolektif akan diambil oleh individu apabila upaya tersebut akan
memberikan laba yang lebih besar ketimbang bila ia tidak bergabung
dalam tindakan kolektif. Sebaliknya, jika dalam tindakan kolektif tersebut
potensi munculnya free-rider sangat besar, maka ia akan mengundurkan
diri karena pihak penunggang bebas akan menggerogoti keuntungan

25
(kolektif) dari tindakan kolektif. Jadi, teori pilihan rasional memberikan
landasan yang kukuh bagi eksistensi tindakan kolektif, setidaknya dari
kacamata ekonomi klasik/neoklasik.

26
DAFTAR PUSTAKA
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & Strategi. Malang:
Bayumedia Publishing

27

Anda mungkin juga menyukai