Kelompok 6
Nama Kelompok :
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dua negara yang paling menonjol dan paling banyak disebut oleh para ekonom
dan pakar globalisasi adalah dua negara Asia yang sebelumnya memiliki jumlah
penduduk miskin terbesar, India dan Cina. Kebetulan, dua negara itu adalah pusat-
pusat budaya, agama, dan ilmu pengetahuan di masa lampau. Seandainya mereka
tampil menjadi pusat ekonomi, politik, dan budaya baru pasca Amerika maka
keduanya memang telah memiliki akar pijakan budaya yang kuat untuk itu. India dan
Cina berjaya terutama berkat liberalisasi pasar, ketepatan pilihan industrialisasi, dan
kepemimpinan yang baik.
membuat iri, sementara mereka menguatkan ikatan ekonomi mereka satu sama
lain. Namun pembangunan semacam itu tidak menguntungkan semua orang, termasuk
negara-negara disekitarnya. Beberapa proyek industrialisasi dan pembangunan
mengakibatkan adanya penggusuran dan pelanggaran HAM, jutaan rakyat yang paling
tidak diuntungkan tetap miskin karena keuntungan pembangunan hanya dinikmati
secara tidak proporsional oleh mereka yang memiliki pendidikan, rumah dan
keterampilan yang lebih baik. Globalisasi masih terus membuat dampak besar di
kawasan Asia dan Pasifik. Khususnya Cina dan India mencatat tingkat pertumbuhan
ekonomi yang membuat iri, sementara mereka menguatkan ikatan ekonomi mereka
satu sama lain. Namun pembangunan semacam itu tidak menguntungkan semua
orang, termasuk negara-negara disekitarnya. Beberapa proyek industrialisasi dan
pembangunan mengakibatkan adanya penggusuran dan pelanggaran HAM, jutaan
2
rakyat yang paling tidak diuntungkan tetap miskin karena keuntungan pembangunan
hanya dinikmati secara tidak proporsional oleh mereka yang memiliki pendidikan,
rumah dan keterampilan yang lebih baik.
Negara Cina dan India kini telah diakui oleh banyak pihak sebagai pemain
kunci dalam era globalisasi yang secara tidak langsung merubah wajah baru Asia.
Kedua negara tersebut diprediksi akan mengambil alih posisi utama sebagai dua
negara dengan perekonomian terkuat di masa mendatang. Bangkitnya Cindia
merupakan suatu fenomenal menggembirakan, namun mencemaskan bagi negara-
negara di dunia. Dalam waktu yang bersamaan, keberhasilan mereka dalam mengelola
kebijakan negara dengan karakternya masing-masing, telah terbukti mengangkat
ratusan juta rakyatnya dari garis kemiskinan. Meskipun masih diselimuti berbagai
persoalan mendasar di dalam negerinya, Cindia tetap mampu menari elok di
panggung internasional. Maka dari itu kami mengambil tema Perekonomian
Indonesia Di Masa Yang Akan Datang , karena penting untuk kita sebagai mahasiswa
mengetahui dan memperluas pengetahuan mengenai Perekonomian di Masa yang
akan datang.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusun paper ini untuk mengetahui:
1. Wawasan/perspektif Global Perekonomian Indonesia
2. Perekonomian Indonesia di masa datang berdasarkan pola perubahan struktur
ekonomi yang terjadi
3. Perekonomian Indonesia di masa datang
4. Analisa mengenai perekonomian Indonesia dalam wawasan global
5. Analisa mengenai perubahan struktur Ekonomi Indonesia
6. Analisa mengenai perekonomian Indonesia di masa yang akan datang
3
BAB II
4
Chenery, meminjam istilah Kuznets, mengatakan bahwa perubahan
struktur ekonomi, secara umum disebut sebagai transformasi struktur yang
diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain
dalam komposisi aggregate demand(AD)I, eksport-import (X-M). Aggregate
Supply(AS) yang merupakan produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi
seperti tenaga kerja dan modal guna mendukung proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Tambunan, 2001).
Ada teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan
struktur ekonomi, yakni Arthur Lewis tentang teori migrasi dan Hollis
Chenery tentang teori transformasi structural. Teori Lewis pada dasarnya
membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan
perkotaan. Didalamnya Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu
negara pada terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan
yang di dominasi oleh sektor pertanian dan sektor modern di perkotaan dengan
sektor industri sebagai sektor utama. Karena perekonomiannya masih bersifat
tradisional atau subsisten, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka yang
terjadi kelebihan supply tenaga kerja. Over supply tenaga kerja ini ditandai
dengan produk marginalnya yang nilainya nol dan tingkat upah yang rendah.
Kerangka pemikiran Chenery pada dasarnya sama seperti model Lewis. Teori
Chenery, dikenal teori pattern of development, dimana dalam teori ini
memfokuskan pada pertumbuhan struktur dalam tahapan proses perubahan
ekonomi di negara yang sedang berkembang, yang mengalami transformsi dari
pertanian tradisional (subsisten)ke sektor industri sebagai mesin utama
pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitiannya Chenery dan Syrquin (1975)
mengidentifikasi bahwa dengan peningkatan perubahan pendapatan
masyarakat per kapita membawa perubahan kearah konsumeristik, dari
penekanan pada makanan dan kebutuhan pokok lainnya ke arah barang-barang
manufaktur dan jasa.
Perubahan struktur ekonomi berbarengan dengan pertumbuhan PDB
yang merupakan total pertumbuhan nilai tambah dari semua sektor ekonomi.
Secara umum dalam proses pembangunan terjadi transformasi ekonomi,
dimana PDB dari sektor industri meningkat dan sektor pertanian mengalami
penurunan (Tambunan, 2003).
5
Chenery dalam Tabunan (2003), proses transformasi struktural akan
mencapai tarafnya yang paling cepat bila pergeseran pola permintaan domestic
ke arah output industri manufaktur diperkuat oleh perubahan yang serupa
dalam komposisi perdagangan luar negeri atau ekspor sebagaimana yang
terjadi di kelompok negara-negara industri baru (New Industrialized
Countries? NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong.
2.2.2 Sruktur Perekonomian Indonesia
Selain teori migrasi yang dikemukakan oleh Lewis dan teori
transformasi struktural yang dikemukakan oleh Chenery, struktur
perekonomian suatu negara menurut Dumairy (1996) dapat dilihat dari
berbagai sudut tinjauan. Setidak-tidaknya struktur perekonomian dapat dilihat
dari 4 (empat) sudut tinjauan makro-sektoral, tinjauan keruangan, tinjauan
penyelenggaraan kenegaraan, dan tinjauan birokrasi.
Tinjauan major-sektoral dan keruangan merupakan tinjauan ekonomi
murni, sedangkan tinjauan penyelenggaraan kenegaraan dan tinjauan birokrasi
dalam pengambilan keputusan merupakan tinjauan politik. Ke-empat sudut
tinjauan mengenai struktur ekonomi tersebut akan dibahas satu per satu dan
dikaitkan dengan struktur perekonomian Indonesia.
6
Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan
Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan masalah ini
mendorong inflasi pangan yang semakin fluktuatif. Ketersediaan pangan
terhambat oleh keterbatasan produksi, distribusi, dan keterjangkauan
harga.
Sedangkan hambatan pasca-produksi, menurut sumber BI, terkait
dengan minimnya ketersediaan gudang penyimpanan dan pengering.
Petani juga harus menghadapi rantai pasok yang panjang, serta dominasi
pelaku pasar dalam pembentukan harga.
Alih fungsi lahan menjadi ancaman lain kontribusi pangan. Lebih dari
setengah jumlah petani di Indonesia hanya memiliki lahan di bawah 1
hektare. ia mengatakan pengalihan teknologi pangan modern sulit
dilakukan dengan aset lahan yang terbatas. Sementara itu, sawah yang
beririgasi hanya 50 ribu hektare.
7
produksi padi sampai 506 ribu ton per tahun," katanya. Ika meminta
Kementerian Agraria membatasi alih fungsi lahan per tahun.
Menteri Pertanian menjamin stok beras 1,9 juta ton cukup untuk
memenuhi kebutuhan 8 bulan ke depan. mereka mengklaim jumlah
tersebut lebih banyak dibanding tahun sebelumnya, yang hanya 1 juta ton.
kementrian pertanian meminta Bulog menyerap sekaligus menjadi
penyeimbang harga hingga di tingkat konsumen
8
Tabel 2.1 Tingkat Urbanisasi
9
peningkatan penggunaan smartphone di Tanah Air juga membuat
penerapan ekonomi digital menjadi semakin kuat dan cepat. “Jumlah
smartphone yang beredar sekarang lebih dari 130 juta unit. Sisanya
perangkat 3G yang tengah bermigrasi ke 4G. Kalau sudah 4G semua,
jumlahnya bisa mencapai 230 juta unit. Setiap tahun penjualannya sekitar
60 juta unit,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dalam pengembangan ekonomi digital yang berbasis
industri atau nilai tambah, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan
langkah-langkah dalam menghadapi era Industry 4.0. pemerintah pun terus
mengajak agar para pelaku industri nasional segera menangkap peluang
dalam pengembangan teknologi digital terkini seperti artificial
intelligent, robotic, dan 3D printing. Tujuannya untuk lebih efisien dan
meningkatkan produktivitas. Sejumlah manufaktur besar yang telah siap
memasuki era Industry 4.0, di antaranya industri semen, petrokimia,
otomotif, serta makanan dan minuman.
Menurut Menperin, daya saing manufaktur dan potensi ekonomi digital
yang ada di Indonesia harus diimbangi dengan inovasi teknologi. Hal ini
perlu dibutuhkan pusat-pusat inovasi industri untuk menunjang
peningkatan SDM, kemajuan teknologi dan penumbuhan wirausaha baru.
Salah satu bentuk nyata adalah pembangunan Nongsa Digital Park (NDP)
di Batam. Kawasan ini akan menjadi basis sejumlah pelaku industri kreatif
di bidang digital seperti pengembangan startup, web, aplikasi, program-
program digital, film dan animasi.
Sedangkan, yang berbasis platform e-commerce, pemerintah mulai
memfasilitasi dalam proses logistik, kemudahan impor tujuan ekspor, dan
pembiayaan. Pemerintahantengah melakukan harmonisasi regulasi,
termasuk perpajakan, cukai, payment gateway, sehingga bisa membuat
produk lokal bisa beredar di pasar ASEAN.
10
Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, dapat
dikaitkan bahwa struktur perekonomian Indonesia selama era
pembangunan jangka panjang tahap pertama adalah sentralistis. Dalam
struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan keputusannya lebih banyak
ditetapkan oleh pemrintah pusat atau kalangan atas pemerintahan.
Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan dibawah, beserta
masyarakkkat dan mereka yang tidak memiliki akses ke pemrintahan
pusat, cenderungnya mereka hanya menjadi pelaksana saja, dan dalam
pembuatan perencanaan hanya sekedar sebagai pendengar. Struktur
birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis ini terpelihara rapi
selama pemerintahan orde baru, hal ini disebabkan oleh budaya atau kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik. Walaupun Indonesia sudah
merdeka stengah abad dan menuju era globalisasi namun budaya ini masih
sulit untuk ditngalkan, dan bahkan cenderung dipertahankan. Struktur
perekonomian yang etatis dan sentralistis berkaitan erat. Pemerintah Pusat
menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup mampu untuk
diserahi tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Argumentasi
yang sering dijadikan legitimasi adalah karena sebagai negara sedang
berkembang yang barau mulai melakukan proses pembangunan. Sehingga
dalam kondisi yang demikian diperlukan peran sekaligus dukungan
pemerintah sebagai agen pembangunan, sehingga menjadikannya etatis,
dan sekaligus dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Namun demikian sejak
awal pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJP II) struktur
perekonomian yang etatis dan sentralistis tersebut secara
berangsurmulaiberkurangkadarnya.
Keinginan untuk melakukan desentralisasi dan demokratisasi ekonomi
makin besar. Perubahan rezim pemerintahan dari orde baru ke rezim
pemerintahan era reformasi telah membawa angin segar bagi pemerintahan
di daerah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Hal ini seiring
dengan mulai diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan telah diubah
menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka
terjadi perubahan struktur perekonomian yang etatis menjadi egaliter, yang
tadinya sentralistis menjadi desentralistis.
11
2.3 Perekonomian Indonesia di masa datang
Sistem Negara dan Pemerintahan. Pada masa pemerintah Sukarno Indonesia
merupakan negara kesatuan, kemudian berubah menjadi negara federasi, setelah itu
kembali lagi ke negara kesatuan sampai sekarang setelah melewati pemerintahan
Suharto, Habibie, Abdulrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri, dan terakhjr Susilo
Bambang Yudoyono. Namun pada masa reformasi dari tahun 1998 muncul kembali
wacana untuk mengubah sistem negara kesatuan menjadi negara federal.
Pada masa pemerintahan Sukarno Indonesia memakai sistem pemerintahan
demokratis dengan multipartai. Pada saat itu muncul pendapat bahwa demokrasi Barat
tidak cocok untuk bangsa Indonesia sehingga terjadi perubahan menjadi demokrasi
terpimpin atau demokrasi Pancasila; dan dari demokrasi parlementer ke demokrasi
presidensial. Pada masa itu selalu terjadi pertikaian di dalam negeri, DI-TII, di Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, Permesta di Sumatera Barat dan peperangan melawan
Belanda, Inggris, Malaysia dan terakhir perebutan Irian Jaya. Pada masa
pemerintahan Suharto partai disederhanakan menjadi tiga dan sistem pemerintahan
adalah diktator militer. Sistem pemerintahan dengan tiga partai dan diktator militer ini
runtuh pada waktu krisis moneter yang dibarengi dengan jatuhnya Suharto dan
muncul gerakan reformasi di bidang politik dan ekonomi. Indonesia kembali ke
sistem banyak partai, malah jumlah partai jauh lebih banyak dibandingkan pada masa
pemerintahan Sukarno. Kembali menggunakan sistem demokrasi dan dilaksanakan
pemilihan umum langsung. Pengalaman pahit pada masa Sukarno dengan sistem
demokrasi yang mengakibatkan pergantian Menteri berkali-kali tampaknya ada gejala
untuk muncul kembali pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dengan
munculnya isu pada awal 2010 akan ada pergantian kabinet, padahal pemerintahan
baru berjalan 100 hari. Hal yang mirip dengan keadaan di mana Indonesia menganut
demokrasi parlementer di tahun 1950an di nama kabinet jatuh bangun, ada kabinet
yang hanya berumur tiga bulan.
Sulit menghubungkan antara bentuk negara kesatuan atau federasi dengan
tujuan pembangunan ekonomi. Namun rupanya dalam waktu 10-20 tahun mendatang
Indonesia masih tetap menganut sistem negara kesatuan. Yang perlu di sini
diperhatikan adalah pengalaman seperti diuraikan pada materi sebelumnya mengenai
Otonomi Daerah, bahwa kewenangan yang tersentralisasi mengakibatkan
pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa, Indonesia Bagian Barat, dan
Indonesia Bagian Timur. Pemberian otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab
12
mungkin akan lebih memeratakan pembangunan antar propinsi dan antar pulau, dan
usaha ke arah otonomi keuangan daerah yang makin luas akan meredakan kemauan
beberapa pemerintah daerah untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang muncul
sebagai isu pada masa reformasi.
Banyak ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang sistem pemerintahan
yang demokratis mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari
pada sistem pemerintahan yang diktator, dan sistem perekonomian sosialis atau
komunis mempunyai tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih baik dari
pada sistem pemerintahan yang kapitalis. Selanjutnya mere berpendapat bahwa yang
Iebih penting adalah stabilitas politik dalam satu rejim. Dari pengalaman sejak
Indonesia merdeka rupanya tidak terbukti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi
pemerintahan yang demokratis (masa presiden Sukarno dan masa setelah Suharto)
lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan diktator militer
pemerintahan Suharto (lihat data pada Bab 2). Mungkin memerlukan waktu yang
lebih lama untuk membuktikan pendapat para ahli tersebut. Namun rupanya terbukti
bahwa stabilitas dalam satu sistem memegang peran penting, yakni tingkat
pertumbuhan ekonomi dalam pemerintahan diktator militer yang stabil (masa
Suharto) tinggi dibandingkan dengan sistem demokrasi dengan stabilitas politik yang
goyah (kurang).
Mengenai beda distribusi pendapatan pada berbagai sistem pemerintahan,
Indonesia hanya mengalami sistem sosialis dalam kurun waktu yang pendek, pada
masa akhir pemerintahan Sukarno, barangkali tidak sampai 5 tahun, sedangkan masa
dengan perekonomian pasar dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, masa
pemerintah Suharto dan sesudahnya sampai sekarang (lebih dari 40 tahun). Distribusi
pendapatan sejak Suharto sampai sekarang, sebagaimana ditunjukkan pada Bab 2
dengan rasio Gini, rasio Kuznets ataupun IPM selalu menunjukkan tingkat
ketimpangan yang sedang (menengah). Mungkin dapat diduga bahwa tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan pada masa Indonesia dengan sistem ekonomi
sosialis ala Indonesia lebih jelek dari pada perekonomian dengan sistem bukan
sosialis. Iadi dari sudut sistem negara dan pemerintahan, tampaknya perekonomian
Indonesia di masa datang akan tetap berada di bawah naungan NKRI dengan sistem
pemerintah yang demokratis dan sistem ekonomi yang bukan sosialis melainkan
condong ke pasar bebas dengan peranan pemerintah yang cukup besar dalam bidang
13
ekonomi Imtuk meningkatkan laju pertumbuhan dan mempertahankan ketimpangan
distribusi pendapatan setidak-tidaknya pada tingkat yang sedang.
Politik, Ekonomi, dan Hukum. Perjuangan merebut kemerdekaan tidak saja
ketika kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945 tetapi telah mulai lama
sebelumnya dan seleeai lama setelah itu. Sebelum dan setelah proklamasi Indonesia
selalu menghadapi gejolak politik dalam dan luar negeri yang tidak aman, maksudnya
selalu diwarnai oleh peperangan. Wacana pembenar pada masa itu adalah bahwa
politik menjadi komando dari setiap kebijakan pemerintah. Dalam kancah politik
tidak ada masalah benar salah, yang ada adalah siapa mendapat apa. Dapat
dibayangkan bagaimana akibatnya terhadap kesejahteraan masyarakat kalau politik
adalah komando dari setiap kebijaksanaan. Salah satunya adalah korupsi. Korupsi
sesungguhnya telah banyak dipraktekkan pada masa pemerintahan Sukarno, dan
usaha untuk memberantas korupsi pun waktu itu telah banyak, namun usaha tersebut
macet. Ucapan bung Kamo pada waktu itu adalah ”kalau kita mencari tikus jangan
sampai membakar rumahnya”. Ucapan tersebut memacetkan usaha pemberantasan
korupsi kalau korupsi itu menyangkut pejabat tinggi dalam pemerintahan.
Korupsi merupakan salah satu penolakan dari hal yang benar. Namun,
mungkin karena Indonesia merebut kemerdekaannya, bukan dengan jalan damai,
seolah-olah masyarakat Indonesia menolak semua hal-hal yang benar di masa
penjajahan. Sampaisampai tepat waktu pun seolah-olah ditolak. Pada waktu itu timbul
istilah jam karet, jam yang tidak menunjukkan waktu yang tepat. Seorang pegawai
(negeri) yang tepat waktu masuk dan waktu pulangnya dikatakan sebagai pegawai
Belanda, yang tidak kaman waktu masuk dan waktu pulangnya disebut sebagai
pegawai republik.
Kita dapat membayangkan akibatnya terhadap kesejahteraan masyarakat,
kalau politik sebagai komando tindakan pemerintah dan tindakan masyarakat. Hanya
segelintir orang yang mengalami keuntungan dari keadaan tersebut, sebagian besar
masyarakat miskin dan miskin sekali. Dalam kancah internasional, Indonesia
dikatakan sebagai ”a Nation of coolies dan coolie among Nations (negara yang terdiri
dari kuli, dan negara kuli di antara bangsa-bangsa)”Pemerintahan Sukarno diakhiri
dengan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang, antara lain, menuntut ekonomi
”Yes”, politik ”No". Kemudian pada pemerintahan Suharto, ekonomi sebagai
komando setiap kebijaksanaan pemerintah. Ekonomi sebagai komando juga akan
menghasilkan pemerintahan dan masyarakat yang korup. Korupsi malah merata di
14
seluruh negeri, dan sulit membedakan mana perbuatan yang korup dan mana yang
tidak korup. Korupsi sudah dianggap sebagai kebudayaan. Istilah yang terkenal adalah
KKN (kroni, korupsi dan nepotisme). Di bidang ekonomi, karena ekonomi sebagai
komando, terlihat adanya kemajuan dalam arti pertumbuhan, malah sepanjang
pemerintahan Suharto pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi, rata-rata 7-8 persen per
tahun.
Pemerintah Suharto juga jatuh melalui demonstrasi mahasiswa dan masyarakat
yang menuntut, antara lain, pemberantasan korupsi (pemerintahan yang bersih) dan
penegakan hukum. Kebijaksanaan pemerintah dan tindakan masyarakatyang
dikomandoi oleh ekonomi selama pemerintahan Suharto (32 tahun) menimbulkan
berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi oleh oknum pemerintah dan swasta
yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan istilah ekonomi biaya tinggi, penuh
dengan pungutan yang tidak perlu. Masalah korupsi dan ekonomi biaya tinggi bukan
tidak djusahakan untuk dihapus, namun belum selesai. Di masa datang, masalah
korupsi, masalah ekonomi biaya tinggi, dan masalah penegakan hukum rupanya tidak
bisa ditolerir, kalau Indonesia menghadapi persaingan bebas dalam bidang ekonomi
yang dijanjikan oleh proses globalisasi ekonomi.
Kemajuan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi. Pengalaman
pembangunan ekonomi pada masa Orde Barn, dengan tingkat Pertumbuhan yang
tinggi, mungkin perlu ditiru di masa mendatang. Kalau demikian halnya, maka
pembangunan ekonomi di samping menggunakan sumber daya dalam negeri juga
menggunakan sumber daya dari luar negeri. PMDN dan PMA terns digalakkan,
swasta asing dibiarkan bersaing dan joint venture didorong berkembang di bumi
Pertiwi ini. Pinjaman dalam dan luar negeri mungkin diperlukan untuk menambah
modal dalam negeri. Penerimaan yang demikian ini rupanya tidak bisa dibendung lagi
karena globalisasi tidak hanya terjadi di aektor barang tetapi juga di sektor jasa dan
penanaman modal (investasi ), dan bahkan di sektor pertanian.
Todaro dan Smith (2003 h.115) mengatakan bahwa Inggris menggandakan
output per orang dalam 60 tahun pertama sejak revolusi industrinya, Amerika Serikat
melakukan hal yang sama dalam waktu 45 tahun, Korea Selatan berhasil melakukan
hal yang serupa hanya dalam 11 tahun sejak 1966 sampai 1977. Sejarah pertumbuhan
ekonomi juga menunjukkan bahwa semakin terlambat satu negara memulai
pertumbuhan ekonomi modemnya, maka waktu yang diperlukan untuk
menggandakan output per orang juga makin singkat. Untuk Indonesia, kalau dihitung
15
mulai sekarang (tahun 2010), barangkali tidak sampai memerlukan waktu 5 tahun
untuk menggandakan output per orang. Caranya adalah (i) loncat jauh dalam bidang
transfer teknologi, yang maksudnya langsung memakai teknologi produksi yang
paling mutakhir, dart (ii) memanfaatkan kesediaan modal dan tenaga ahli yang
berlimpah yang dimiliki oleh negara maju.
Subsidi dan Program Sosial. Kalau pemerintah Indonesia termasuk dalam
”kelompok Cairns” dalam putaran Uruguay yang menolak menandatangani
kesepakatan kecuali ada kemajuan di bidang pertanian (maksudnya pengurangan
subsidi di bidang pertanian oleh negara maju, lihat Seksi 12.3), maka tidaklah
konsisten kalau Indonesia sendiri menerapkan praktek subsidi pupuk di bidang
pertanian dan di bidang lain seperti minyak bumi dan listrik.
Dasar dari perekonomian Indonesia di masa datang yang dirumuskan dalam
bab ini adalah perdagangan intemasional yang bebas tanpa hambatan seperti pada
prinsip-prinsip yang diterapkan pada GATT. Sistem ekonomi yang djanutnya adalah
Sistem pasar berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran dengan intervensi
yang minimum oleh pemerintah. Dalam hal subsidi, harga dari barang yang
diperdagangkan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Misalnya subsidi bensin, atau subsidi pupuk, sering kali mengakibatkan
benSin dan pupuk hilang dari pasar dan timbul pasar gelap. Di samping itu, yang
menerima subsidi seperti ini kebanyakan golongan kaya, bukan golongan yang
semestinya dibantu oleh pemerintah. Selama harga tidak ditentukan oleh pasar, maka
hal tersebut tidak sesuai dengan sistem pasar. Ini termasuk, misalnya, harga Sembako
murah. Harga Sembako dalam hal ini ditentukan oleh pemerintah, dan oleh karenanya
tidak sesuai dengan sistem. Lagi pula, pengalaman mengenai penjualan Sembako
murah menunjukkan tidak sedikit pembeli yang mengendarai kendaraan roda dua atau
roda empat, malah dengan plat merah, yang tidak sesuai dengan tujuan pengadaan
Sembako murah tersebut. Oleh karena itu ditolak oleh sistem perekonomian pasar.
Namun apabila pemerintah mengintervensi pasar, seperti misalnya pada pasar
beras melalui Bulog, atau pasar devisa melalui cadangan devisa, maka hal ini masih
sesuai dengan dasar logika dari sistem pasar, karena harga masih tetap ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi
kepada mereka yang betul-betul memerlukannya, asalkan tidak dengan cara
menentukan harga. Jadi biarkan harga barang ditentukan oleh permintaan dan
penawaran, harga bisa distabilkan oleh intervensi pemerintah, dan kalau harga masih
16
terlalu tinggi bagi kelompok miskin, maka mereka bisa dibantu oleh pemerintah.
Misalnya jangan menjual Sembako murah, tetapi Sembako atas kekuatan pasar, atau
kalau toh disebut Sembako mahal, maka yang tidak mampu dibantu oleh pemerintah.
Semua pembeli tetap meatbayar harga barang dimaksud sesuai dengan harga yang
ditentukan oleh permintaan dan penawaran.
Pada prinsipnya sistem ekonomi yang disarankan oleh globalisasi adalah
penggunaan semua sumber daya masyarakat seefisien mungkin untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan diimbangi oleh program sosial yang masif
untuk mengejar distribusi pendapatan yang tidak terlalu timpang.
17
ekonomi diprakirakan meningkat dalam kisaran 5,5%- 6,1% pada 2024. Defisit
transaksi berjalan juga terus menurun hingga di bawah 2% dari PDB, serta inflasi
yang makin rendah.
Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia, Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), serta otoritas lain akan semakin solid guna memperkuat prospek
perekonomian Indonesia tersebut. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter dan fiskal
diarahkan pada upaya menjaga stabilitas makroekonomi, dengan tetap memanfaatkan
ruang yang tersedia untuk memberikan stimulus pada perekonomian. Upaya
memberikan stimulus perekonomian juga ditempuh kebijakan pendalaman pasar
keuangan, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, serta kebijakan
ekonomi dan keuangan syariah. Sinergi kebijakan juga ditempuh untuk konsisten
melanjutkan reformasi struktural sehingga dapat memperkokoh ketahanan ekonomi
dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, berimbang, dan
inklusif.
2.4.1 Tantangan 2018 Tidak Ringan
Dinamika perekonomian Indonesia 2018 banyak dipengaruhi tiga
ketidakpastian global. Ketidakpastian pertama berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi global yang dalam tren melambat. Pertumbuhan ekonomi dunia yang
melambat terutama terlihat pada semester II 2018. Secara keseluruhan,
ekonomi dunia 2018 tumbuh 3,7%, menurun dibandingkan dengan capaian
tahun sebelumnya sebesar 3,8%. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat
dipengaruhi pertumbuhan kawasan Eropa dan Jepang seiring dengan
permintaan eksternal yang berkurang dan permintaan domestik yang lemah.
Pertumbuhan negara berkembang juga menurun dipengaruhi pertumbuhan
Tiongkok dan Amerika Latin , meskipun pertumbuhan ekonomi India dan
Timur Tengah meningkat. Perekonomian dunia yang melambat berdampak
pada penurunan pertumbuhan volume perdagangan dan harga komoditas
dunia. Pertumbuhan volume perdagangan dunia melambat sejak semester II,
sehingga secara keseluruhan tahun 2018 tercatat 3,7%, lebih rendah dari 4,7%
pada 2017. Harga komoditas, termasuk harga komoditas ekspor utama
Indonesia seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet, juga dalam tren
menurun, dengan penurunan yang dalam terjadi pada semester II 2018. Secara
keseluruhan, pertumbuhan komposit harga ekspor Indonesia turun dari 21,7%
pada 2017 menjadi terkontraksi 2,8% pada 2018.
18
Ketidakpastian global kedua bersumber dari kenaikan suku bunga
kebijakan moneter AS, Federal Funds RateFFR, yang lebih cepat dan lebih
tinggi. Kenaikan FFR tidak terlepas dari upaya bank sentral AS (the Fed)
untuk memitigasi risiko kenaikan inflasi ke depan sejalan dengan kenaikan
aktivitas ekonomi AS yang melebihi pertumbuhan ekonomi potensialnya. The
Fed pada 2018 telah menaikkan FFR sebanyak empat kali sebesar 100 basis
points (bps), lebih besar dari respons kenaikan 2017 sebanyak 3 kali sebesar
75 bps, sekali pada 2016 sebesar 25 bps, dan sekali pada 2015 sebesar 25 bps.
Dengan perkembangan ini, FFR pada akhir 2018 tercatat pada kisaran 2,25%-
2,50%.
Ketidakpastian terakhir dipengaruhi kondisi pasar keuangan global
yang bergejolak, yang meningkatkan premi risiko investasi ke negara
berkembang. Kondisi pasar keuangan global ini dipengaruhi meningkatnya
tensi hubungan perdagangan antara AS dengan beberapa negara mitra
dagangnya, antara lain Tiongkok, Kanada, Meksiko, dan kawasan Eropa. Di
samping itu, krisis ekonomi yang terjadi di Argentina dan Turki mendorong
kenaikan sentimen negatif pada negara berkembang. Ketidakpastian pasar
keuangan global juga dipengaruhi risiko geopolitik, antara lain, perundingan
Brexit antara Inggris dan Uni Eropa yang berlanjut, serta permasalahan
ekonomi di Italia.
Perkembangan global yang kurang menguntungkan tidak dapat
dihindari dan memberikan tantangan pada sektor eksternal Indonesia, baik dari
jalur perdagangan maupun jalur finansial (Diagram 1). Dari jalur perdagangan,
ketidakpastian global memengaruhi kinerja ekspor Indonesia, khususnya mulai
semester II 2018. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai, termasuk
akibat penurunan pertumbuhan ekonomi mitra dagang utama seperti
Tiongkok, telah menurunkan permintaan terhadap barang ekspor Indonesia.
Kinerja ekspor juga makin lemah karena pada saat bersamaan terms of trade
Indonesia juga menurun akibat penurunan harga komoditas ekspor Indonesia.
19
Beberapa perkembangan menunjukkan kinerja ekspor Indonesia
menurun pada semester II 2018. Pertumbuhan nilai ekspor nonmigas pada
triwulan III dan IV 2018 masing-masing tercatat 8,9% (yoy) dan kontraksi
1,9% (yoy), lebih rendah dari kinerja pertumbuhan pada semester I 2018 yang
rata-rata sebesar 9,6% (yoy). Berdasarkan negara tujuan, penurunan ekspor
nonmigas terlihat pada kontraksi ekspor nonmigas pada triwulan IV 2018 ke
beberapa mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan Filipina.
Sementara itu, berdasarkan komoditas ekspor, penurunan ekspor nonmigas,
terutama pada produk primer pada triwulan IV 2018, seperti crude palm oil
(CPO) dan karet olahan. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan nilai
beberapa ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan CPO pada 2018
tercatat 17,1% dan kontraksi 10,7%, menurun dari pertumbuhan tahun
sebelumnya sebesar 40,6% dan 28,9%.
20
terjadi di semua komponen, dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi terjadi
pada komponen impor barang modal (29,3%), diikuti dengan barang konsumsi
(26,8%) dan bahan baku (18,6%). Peningkatan impor bahan baku terutama
dalam bentuk bahan baku yang digunakan industri untuk mendukung aktivitas
produksi baik untuk konsumsi domestik maupun berorientasi ekspor.
Sementara itu, impor migas pada tiga triwulan pertama 2018 juga tercatat
tinggi yakni 21,9 miliar dolar AS, meningkat 35,0% dibandingkan dengan
capaian tahun sebelumnya. Perkembangan ini dipengaruhi permintaan
domestik yang tetap kuat dan tren kenaikan harga minyak dunia.
Ekspor yang menurun pada semester II 2018 dan impor yang tinggi
sampai dengan triwulan III 2018 memberikan tantangan pada upaya
pengendalian defisit transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi berjalan
melebar pada triwulan II dan III 2018, masing-masing mencapai 3,0% dan
3,3% dari PDB. Faktor lain yang memengaruhi defisit transaksi berjalan yang
melebar adalah kenaikan pembayaran jasa transportasi barang (freight) sejalan
dengan impor barang yang meningkat. Defisit jasa transportasi pada tiga
triwulan pertama 2018 meningkat dari 4,7 miliar dolar AS pada 2017 menjadi
6,4 miliar dolar AS pada 2018. Peningkatan tersebut disebabkan oleh
pembayaran jasa freight yang naik sejalan dengan aktivitas impor yang
meningkat.
21
serta berdampak pada meningkatnya tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. NPI
pada triwulan II dan III 2018 mencatat defisit cukup besar yakni masing-
masing 4,31 miliar dolar AS dan 4,39 miliar dolar AS, dengan kontribusi
terbesar bersumber dari penurunan aliran masuk modal asing. Sejalan dengan
dinamika NPI tersebut, nilai tukar Rupiah mengalami tekanan pada triwulan II
dan III 2018. Secara rata-rata, Rupiah pada triwulan II dan III 2018 masing-
masing mencatat depresiasi 2,7% dan 4,5%, sehingga ditutup pada level
Rp14.902 per dolar AS pada akhir September 2018.
Penurunan aliran masuk modal asing pada triwulan II dan III 2018 juga
mempengaruhi kondisi likuiditas domestik. Meskipun tetap dalam level yang
aman, penurunan aliran masuk modal asing berkontribusi pada penurunan
pertumbuhan likuiditas perekonomian, M1 dan M2 masing-masing tumbuh
menjadi 8,2% dan 6,7% pada September 2018, dari semula 12,4% dan 8,3%
pada akhir 2017. Pertumbuhan M2 yang melambat dipengaruhi oleh
penurunan pertumbuhan uang kuasi yang pada September 2018 tercatat 6,3%,
menurun dari akhir 2017 sebesar 6,9%. Sejalan dengan kondisi ini, posisi
penempatan bank pada instrumen operasi moneter Bank Indonesia juga
menurun, dari semula 471,2 triliun Rupiah pada akhir 2017 menjadi 302,0
triliun Rupiah pada September 2018. Meskipun menurun, posisi penempatan
bank pada instrumen operasi moneter Bank Indonesia tetap mencerminkan
level kecukupan likuiditas yang memadai.
22
ditandai dengan permodalan yang tinggi, kredit yang meningkat, dan risiko
kredit yang terjaga rendah.
23
dan bila memungkinkan juga memfasilitasi pembiayaan ekonomi. Upaya ini
ditempuh baik melalui operasi moneter maupun asesmen yang berkelanjutan
terhadap kecukupan likuiditas di pasar uang dan perekonomian. Bank
Indonesia akan bersinergi dengan OJK untuk memastikan kecukupan
likuiditas hingga tingkat perbankan.
Bank Indonesia juga akan meningkatkan akselerasi pendalaman pasar
keuangan guna mendukung pembiayaan ekonomi secara lebih luas dan
stabilitas di pasar uang. Sejalan dengan upaya menjaga stabilitas, Bank
Indonesia akan terus mendorong kenaikan volume transaksi dan penggunaan
instrumen spot, swap, dan DNDF guna meningkatkan likuiditas, efisiensi, dan
market conduct dalam penentuan nilai tukar Rupiah sesuai mekanisme pasar di
pasar valas. Sementara di pasar uang, volume transaksi dan penggunaan
instrumen repo dan IRS terus dikembangkan untuk meningkatkan likuiditas,
efisiensi dan market conduct di pasar uang antar bank dalam pembentukan
kurva imbal hasil di berbagai tenor.
Pendalaman pasar keuangan juga akan diperkuat melalui penerbitan
regulasi market operator serta pengembangan infrastruktur electronic trading
platform (ETP), trade repository, dan pendirian central counterparty (CCP)
untuk transaksi derivatif. Selain itu, Bank Indonesia juga akan berpartisipasi
aktif dalam pengembangan berbagai instrumen pembiayaan untuk
pembangunan infrastruktur. Untuk memperkuat efektivitas kebijakan ini,
koordinasi kebijakan akan dilanjutkan antara lain melalui FK-PPPK antara
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK.
2.4.3 Perekonomian Global
Perekonomian global 2018 ditandai ketidakpastian yang meningkat
dipicu tiga perkembangan yang kurang menguntungkan. Pertama,
pertumbuhan ekonomi dunia melambat dari 3,8% pada 2017 menjadi 3,7%
pada 2018. Pertumbuhan ekonomi yang melambat kemudian menurunkan
pertumbuhan volume perdagangan dunia dan harga komoditas global. Kedua,
suku bunga Federal Funds Rate (FFR) naik lebih cepat dan lebih tinggi dari
respons tahun sebelumnya, sehingga memicu risiko pembalikan aliran modal
dari negara berkembang. Ketiga, ketidakpastian pasar keuangan global
meningkat dipicu beberapa faktor seperti peningkatan ketegangan
perdagangan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan negara lain, risiko
24
geopolitik seperti perundingan Brexit dan krisis di beberapa negara
berkembang seperti Argentina dan Turki. Ketiga faktor ini kemudian
mendorong investor global menarik dananya dan mengancam stabilitas
eksternal negara berkembang. Mata uang berbagai negara melemah tajam
terhadap dolar AS dan menimbulkan kerentanan instabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan.
Ketidakpastian ekonomi global mendorong beragam respons dari
berbagai negara dengan mengoptimalkan interaksi kebijakan moneter dan
fiskal. Di negara maju, sebagian negara maju non-AS mengambil kebijakan
moneter bias longgar untuk menjaga momentum pertumbuhan. Sementara itu,
konsolidasi fiskal negara maju berlangsung perlahan, kecuali AS yang
melakukan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Di negara berkembang,
tantangan terbesar dalam kebijakan ekonomi adalah dalam mengoptimalkan
bauran kebijakan moneter dan fiskal untuk merespons peningkatan risiko
eksternal. Sebagian besar negara berkembang menempuh kebijakan moneter
ketat sebagai respons terhadap pengetatan kebijakan moneter global yang
memicu arus modal keluar. Di sisi lain, kebijakan fiskal terus diseimbangkan
untuk menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga sustainabilitas fiskal.
Reformasi struktural di berbagai negara juga dilanjutkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Reformasi struktural ditujukan
untuk mendorong produktivitas, memperbaiki permasalahan sektor tenaga
kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi potensial yang terbatas akibat
penuaan populasi. Kerja sama internasional juga diperkuat baik yang bersifat
bilateral, regional, maupun multilateral. Kerjasama internasional ditujukan
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, berimbang, dan
berkesinambungan, dengan tetap menjaga resiliensi perekonomian.
2.4.4 Perekonomian Global Melambat
Pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 melambat dengan
pertumbuhan antarnegara yang tidak merata. Ekonomi dunia tercatat tumbuh
sebesar 3,7% pada 2018, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada
2017 sebesar 3,8% (Tabel 2.2). Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia
terutama mulai terlihat pada semester II 2018. Secara keseluruhan, kinerja
perekonomian 2018 tercatat terlebih rendah dari perkiraan di awal tahun.
25
Perlambatan ekonomi dunia juga dibarengi komposisi pertumbuhan
ekonomi yang tidak merata. Pertumbuhan ekonomi AS meningkat cukup
tinggi didorong stimulus fiskal dalam skala besar. Sementara itu, pertumbuhan
negara maju lainnya, misalnya Jepang dan kawasan Eropa, melambat karena
dukungan permintaan eksternal yang berkurang dan permintaan domestik yang
lemah. Sejalan dengan itu, pertumbuhan negara berkembang juga melambat
terutama dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan yang terjadi di Tiongkok
dan Amerika Latin. Hanya sedikit negara di negara berkembang, seperti di
India, yang mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.
26
2.4.6 Respons Kebijakan Global Beragam
Respons kebijakan yang ditempuh berbagai negara secara umum
diarahkan untuk menjaga kesinambungan pemulihan ekonomi, di tengah
meningkatnya tekanan eksternal. Arah kebijakan ditempuh dengan strategi
yang berbeda antarnegara dengan menyesuaikan kondisi dan tantangan yang
dihadapi masing-masing negara.
2.4.7 Kerja Sama Internasional Diperkuat
Kerja sama internasional turut memegang peranan penting dalam
menyikapi kondisi perekonomian global yang diwarnai ketidakpastian tinggi.
Penguatan kerja sama internasional 2018 diarahkan untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, berimbang, dan inklusif.
Kerja sama internasional juga bertujuan menjaga resiliensi di tengah berbagai
tantangan dan ketidakpastian global yang mengemuka. Kerjasama yang
ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi antara lain dengan
mengupayakan pembiayaan infrastruktur, serta memastikan agar inovasi
teknologi memberikan manfaat optimal. Kerja sama internasional untuk
memperkuat resiliensi di sektor keuangan antara lain dengan penguatan jaring
pengaman keuangan di tataran internasional maupun kawasan.
Kerja Sama Mendorong Pertumbuhan Ekonomi. Fora kerja sama
internasional menekankan pentingnya upaya menjaga momentum pemulihan
ekonomi global. Forum G20 maupun IMF berupaya mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, berimbang, dan inklusif
(strong, sustainable, balanced, and inclusive growth/SSBIG) untuk mengatasi
pelemahan ekonomi global. Forum G20 menyepakati komitmen mengenai
tindak lanjut dari negara anggota untuk mencapai SSBIG dengan
menggunakan kebijakan moneter, fiskal, dan struktural baik secara individu
maupun kolektif. Selain itu, negara maju ditekankan untuk mengedepankan
komunikasi kebijakan yang jelas untuk menghindari dampak negatif kebijakan
ekonomi bagi negara berkembang. IMF, dalam forum pertemuan tahunan
2018 di Nusa Dua Bali, menekankan akan melanjutkan kebijakan dan
reformasi struktural untuk mempertahankan ekspansi ekonomi, memitigasi
risiko, membangun ruang kebijakan, serta meningkatkan resiliensi dan
prospek pertumbuhan jangka menengah. Salah satu upaya untuk menjaga
momentum pemulihan ekonomi global melalui pertumbuhan yang
27
berkesinambungan dan inklusif adalah meningkatkan peran aktif sektor swasta
dalam pembiayaan infrastruktur. Kebutuhan pembiayaan infrastrukur sangat
tinggi, di tengah keterbatasan fiskal dan kapasitas pembiayaan oleh
multilateral development banks (MDBs). Kerja sama internasional juga
memfokuskan kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kerja Sama Meningkatkan Resiliensi. Dinamika perekonomian global
dengan ketidakpastian yang tinggi meningkatkan urgensi penguatan resiliensi
pada tataran kerja sama multilateral, regional, dan bilateral. Fora kerja sama
multilateral berupaya memperkuat sistem moneter internasional, jaring
pengaman keuangan internasional (JPKI), dan mengimplementasikan agenda
reformasi sistem keuangan. Kerja sama internasional diarahkan untuk
meningkatkan resiliensi perekonomian termasuk pada sektor keuangan. Salah
satu langkah yang ditempuh IMF untuk memitigasi risiko di sektor keuangan
adalah memperkuat sistem moneter internasional (international monetary
system/IMS). Upaya meningkatkan resiliensi juga ditempuh melalui kerja
sama penggunaan mata uang lokal (local currency settlement atau LCS) dalam
transaksi perdagangan bilateral. Kerja sama tersebut bertujuan untuk
mengurangi dominasi penggunaan mata uang tertentu dalam perdagangan,
sehingga dapat mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Kerja sama LCS telah
dilakukan dengan PBoC, Bank of Korea, dan Reserve Bank of Australia. Kerja
sama LCS yang melibatkan perbankan di masing-masing negara juga telah
dilakukan dengan Bank of Thailand dan Bank Negara Malaysia.
28
misalnya terjadi pada sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah. Jika salah satu
sektor ekonomi mengalami perubahan baik itu positif ataupun negatif, maka hal
tersebut akan dapat mengakibatkan perubahan pula pada sektor ekonomi lainnya.
Transformasi struktural ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang
berupa adanya peningkatan kinerja perekonomian pada suatu wilayah serta adanya
pembangunan perekonomian yang dilakukan oleh pemerintah di suatu daerah,
dimana sifat dari pembangunan tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan
(Jhingan,2002:56).
Pada Proses pembangunan perekonomian di suatu daerah, sektor pertanian
memiliki perubahan internal di sektor pertanian maupun perubahan eksternal yang
berhubungan dengan sektor-sektor ekonomi yang lainnya pada suatu daerah.
Perubahan eksternal merupakan penurunan peran sektor pertanian dalam
kontribusinya terhadap PDRB di suatu daerah atau PDB dalam suatu wilayah
nasional, maupun dilihat dari penurunannya dalam penyerapan tenaga kerja dari
sektor tersebut (Wiwekananda, 2016).
29
15-64 tahun, dimana usia tersbut disebut usia produktif (Indonesia-invesment,
2017).
Besarnya angka usia produktif ini dapat dikatakan sebagai bonus
demografi. Secara sederhana bonus demografi dapat diartikan sebagai peluang
(window of oppurtunity) yang dinikmati suatu negara akibat dari besarnya
proporsi penduduk produktif. Bonus demografi juga mendorong pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan perkapita. Struktur penduduk yang didominasi usia
produktif berpotensi meningkatkan tabungan dan meminimalkan konsumsi.
Berdasarkan data Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah lebih 85 juta
penduduk Indonesia menggunakan jaringan internet. Disinilah Indonesia
mempunyai peluang dalam e-commerce dan pengembang ekonomi digital
(Detiknews, 3/2/2018).
Pembagai inovasi berbasis ekonomi digital telah lahir dan terus
berkembang diantaranya Go-Jek, Buka Lapak, Tokopedia dan lainnya
berbagai start up yang terus tumbuh dan berkembang mengatasi masalah yang
ada di masyarakat secara digital. Teknologi digital akan menciptakan 3,7 juta
pekerjaan baru dalam 7 tahun mendatang dan mayoritas bergerak pada sektor
jasa. Tantangannya adalah peningkatan keahlian diri (skill) yang harus
ditingkatkan dengan cara yang tepat pula dan kemauan untuk melakukan
inovasi secara berkelanjutan (suistanable).
Industri kreatif kini telah menjelma menjadi kekuatan baru menjadi
sektor gemilang dalam penopang perekonomian Indonesia. Pelaku usaha ini
mengerti cara memahami dengan selalu inovatif dan adaptif terhadap
permintaan minat, perubahan selesara pasar. Sehingga mampu menciptakan
peluang kerja secara massal ditengah ancaman putus hubungan kerja secara
massal pula.
2.6.2. Sintesis Revolusi Industri 4.0 Dengan Revolusi Mental
Besarnya jumlah penduduk walau dengan struktur proporsi usia
produktif juga dapat menjadi ancaman manakala kualitas penduduknya masih
relatif rendah sehingga berdampak pada pasar tenaga kerja di Indonesia di
tengah perubahan orientasi memenangkan pasar dan sikap budaya instan.
Indonesia bisa melakukan lompatan sebagai penonton menjadi pemain dalam
revolusi industri manakala pembangunan manusia dilakukan melalui revolusi
mental. Pengalaman adalah guru terbaik (experience is the best teacher),
30
demikian perkataan bijak. Belajar dari pengalaman negara-negara maju
dengan memajukan pendidikan karakter bangsa, maka bangsa tersebut akan
maju pula dalam ilmu pengetahuannya, budaya dan teknologi.
Kunci keberhasilan memasuki revolusi industri 4.0 adalah revolusi mental
demi perbaikan karakter bangsa. Revolusi mental adalah gerakan bersama
menyadarkan diri betapa pentingnya meningkatkan kompetensi diri melalui
pendidikan dan meningkatkan potensi diri melalui pelatihan. Pendidikan dan
pelatihan terhadap setiap disiplin ilmu menjadi dapat mengantarkan bangsa
Indonesia sukses memasuki era strategis.
Menaikan derajat kompetensi diri dan potensi diri secara linear akan
meningkatkan pula kesejahteraan. Sintesa dari revolusi industri 4.0 dan
revousi mental pada akhirnya dapat ditarik benang merah bahwa revolusi
industri 4.0 akan melahirkan masyarakat sejahtera dalam pembangunan,
sedangkan revolusi mental melahirkan manusia yang berkualitas dan unggul.
Jalan kemaslahatan revolusi industri 4.0 dapat dilakukan dengan mengambil
sikap teguh mengukuhkan revolusi mental dengan peran sebagai berikut:
a. Peran Directing
Pentingnya redefinsi bahwa kepentingan revolusi industri adalah
sebagai kepentingan mempermudah keinginan (wants) manusia dalam
memenuhi kebutuhannya (needs). Sehingga makna tesebut dapat
digerakkan oleh aturan dan petunjuk pelaksanaan (rule driven) dan dapat
menyentuh permasalahan masyarakat yang bervariasi pada tingkat akar
rumput (grass root). Hadirnya industriaslisi bukan memarginalisasi
manusia sebagai pengggerak kegiatan produksi, tapi justru
mengedepankan peran manusia sebagai subyek yang mampu memberikan
jalan kemudahan / keterjangkaun dari hasil industri tersebut.
b. Peran Transferring
Perubahan sistem masyarakat menjadi masyarakat terbuka serta
berubahnya tatanan dunia baru menuju era globalisasi menyebabkan
berubahnya paradigma pembangunan pada negara. Terjadi pergeseran
fungsi birokrasi (reinventing the government) dimana pemerintah yang
tadinya menjadi pelaku utama pembangunan (provider) berubah fungsinya
menjadi fasilitator pembangunan (enabler) atau yang disebut dengan
pemerintahan katalis. Perubahan ini merupakan transfer peluang dalam
31
menumbuhkan inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pembangunan dengan pemberdayaan komunitas (community
development) adalah sebuah alternatif pembangunan yang merubah proses
pembangunan yang sentralistik menjadi partisipatif. Melalui pendekatan
ini pengelolaan sumber daya produktif tidak dirancang dan dikelola secara
terpusat melainkan oleh warga setempat sesuai dengan masalah,
kebutuhan, dan kondisi daerahnya. Prinsip dasarnya adalah kontrol atas
suatu tindakan harus dipegang oleh mereka yang akan menanggung akibat
tindakan tersebut. Pemberdayaan komunitas lebih berorientasi jangka
panjang dan menekankan segi proses dari pada tercapainya target output
yang sifatnya sementara. Hal tersebut tidak mungkin tercapai dengan
menggunakan ‘blue print’ yang sudah jadi tetapi merupakan sebuah ‘social
learning process’ yang berkelanjutan. Peran transfering ini bertujuan untuk
menstimulasi nalar (cognitive compentencies).
c. Peran Transforming
Pelaksanaan peran transformasi didasarkan pada asumsi bahwa setiap
revolusi diasumsikan mempunyai muatan nilai positif yang bermanfaat
bagi kehidupan bersama baik pada konteks pemeritahan (goverment) atau
masyarakat (civil society). Revolusi industtri yang bertransformsi pada tata
nilai kehandalan hidup akan membawa pada perilaku peduli terhadap
lingkungan fisik dan sosial. Revolusi ini akan disambut sebagai kemajuan
dan kemauan untuk berdayasaing. Pada konteks revolusi mental adalah
pembangunan karakter sikap sebagai modal untuk membangun dan
memajukan bangsa. Peran transforming ini bertujuan untuk menstimulasi
perasaan (affective compentencies).
d. Peran Transcending
Peran ini dapat terwujud manakala terdapat keyaninan terhadap
kebenaran hakiki. Pada konteks ini kebenaran hakiki terhadap suatu
realitas tidak bersifat absolut, tapi ditujukan untuk membentuk suatau
pemahaman aksiologis yakni mempertimbangkan sistem tata nilai
perkembangan ilmu pengetahuan dan religius. Fase revolusi industri 4.0
apabila tidak disandarkan pada konteks ke-Tuhan-an justru akan
menjadikan nilainya bersifat robotik dan mekanik, dimana kemanfaatan
bagi sesama akan nihil. Memberi nilai transendental pada nilai perubahan
32
akan mampu membawa kemanfaatan secara seksama untuk keadaban
dunia.
33
Grafik 2 Prakiraan Inflasi Triwulanan
34
Grafik 4. Prakiraan PDB Tahun 2018 dan 2019
35
Grafik 6. Prakiraan Nilai Tukar Tahun 2018 dan 2019
36
Grafik 9 Prakirana Nilai Tukar Grafik 10 Prakiraan Pertumbuhan
Rupiah Triwulan III-2018 Ekonomi 2018
38
BAB III
3.1 Kesimpulan
Perekonomian Indonesia di masa datang rupanya tidak bisa lain dari
perekonomian dunia bebas di bawah naungan NKRI dengan sistem pemerintah yang
demokratis. Sistem perekonomian yang demikian ini mengejar efisiensi penggunaan
sumber daya produksi untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang maksimum. Untuk
hal ini korupsi dan faktor-faktor yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi harus
disingkirkan. Di lain pihak, pencapaian distribusi pendapatan nasional yang tidak
terlalu timpang dikejar bukan dengan subsidi harga melainkan melalui program sosial.
Subsidi harga tidak akan memperbaiki distribusi pendapatan, malah mungkin
memperburuk dan oleh karenanya sistem ini menolak subsidi harga dan membenarkan
bantuan pemerintah kepada yang membutuhkannya. Dengan kata lain sistem ini
menolak Sembako murah tetapi membenarkan Sembako mahal dengan bantuan
kepada yang tidak mampu. Pengejaran efisiensi penggunaan semua sumber faktor
produksi memerlukan banyak modal baik dalam negeri maupun luar negeri, dan
teknologi yang tinggi. Namun sandungan di masa lalu, misalnya manajemen hutang
pemerintah dan swasta dalam dan luar negeri yang kurang terkendali di masa lalu
harus lebih diperhatikan, keseimbangan sektor moneter agar mendorong kegiatan
sektor riil, tingkat kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit kepada
pengusaha harus ditingkatkan, dan sebagainya kebijaksanaan sektor riil untuk
mengejar pertumbuhan yang tinggi. Di pihak lain, program sosial harus bersifat masif,
terutama penanggulangan fakir miskin, penciptaan kesempatan kerja, perhatian
terhadap kesehatan, pendidikan dan sebagainya seperti yang dibicarakan pada Bab 4,
5 dan 6 untuk menanggulangi pengangguran, kemiskinan, dan masalah pangan
nasional.
Sebenarnya sistem yang demikian ini telah berjalan untuk beberapa lama,
hanya saja di sana sini perlu lebih ditekankan. Misalnya, pemberian status otonomi
khusus atau istimewa kepada Nangro Aceh Darusalam dan Papua Barat dapat
menangkal kemauan untuk memisahkan diri dari NKRI, dan barangkali pemberian
sumber-sumber dana yang lebih besar di masa datang akan mengurangi kesenjangan
39
pendapatan antar daerah dan memperkokoh NKRI. Penghapusan subsidi harga pada
bensin sudah pemah disetujui oleh DPR RI namun pelaksanaannya yang belum
selesai. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukuni telah menjadi komitmen dari
pemerintah sekarang.
Akhirnya apakah nama dari sistem ekonomi yang dianut Indonesia di masa
mandatang ini. Kalau kita teliti sesungguhnya keadaan perekonomian Indonesia pada
masa akhir pemerintahan Suharto hampir sama dengan yang digambarkan di atas,
namun beberapa ahli ekonomi menyebutnya sistem ekonomi Pancasila. Para ekonom
lebih menekankan pada sistem yang ideal yang harus diterapkan oleh Indonesia,
sedangkan kenyataannya tidak demikian. Dengan mengikuti jalan pikir yang demikian
itu, kita bisa memberi nama apa saja. Seperti memberi nama kepada bayi yang baru
lahir, entah dia akan menjadi seorang jenderal, seorang Obama, seorang profesor, atau
seorang perampok, atau seorang pengedar ganja, namanya tetap merupakan impian
orang tuanya seperti nama tokoh pewayangan dan tokoh lain idaman orang tuanya,
seperti halnya pemberian nama Ekonomi Pancasila yang lebih merupakan impian dari
beberapa ahli ekonomi dibandingkan merefleksikan keadaan perekonomian pada saat
itu. Iadi kita bisa menyebutnya sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, Sistem Ekonomi
Kerakyatan. Namun kalau kita ingin lebih realistik, Sistem Ekonomi Campuran,
Sistem Ekonomi Jalan Tengah seperti yang dikatakan oleh SBY pada waktu debat
calon presiden yang lalu, atau sebut saja SB Y-nomics mungkin lebih merefleksikan
keadaan, ekonomi pasar di mana pemerintah mempunyai peran cukup besar dalam
perekonomian.
3.2 Saran
Perekonomian di Indonesia sebaiknya lebih dimanfaatkan lebih baik lagi
dengan perkembangan zaman saat ini, mengingat sekarang perkembangan teknologi
sangat pesat. Perekonomia di Indonesia juga harus dikelola dengan baik dan tidak
disalah guanakan.
40
DAFTAR PUSTAKA
41