Anda di halaman 1dari 38

EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI416)

TEORI KONTRAK DAN TINDAKAN


KOLEKTIF
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE.,MP.

Oleh:
Kelompok 3

1. Ida Ayu Made Asdhi Wulandari (2007511053)


2. Yustina Medy Rosila Christy (2007511056)
3. Aliya Nabila Nisriina (2007511181)
4. Belicia Esperanza Constantine Manuella Da Costa Soares (2007511210)
5. Kadek Helia Rayani (2007511272)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunianya
yang memberikan kesehatan dan kesempatan bagi kami sehingga dapat menyelesaikan paper
ini dengan tepat waktu. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.
Prof. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP. selaku dosen pengajar mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan dan telah memberikan arahan dalam penyelesaian paper ini. Paper ini disusun
dengan harapan memberikan wawasan dan pengetahuan dalam pembelajaran “Teori Kontrak
dan Tindakan Kolektif”.
Dengan membaca paper ini kami berharap kiranya para pembaca memiliki rasa ingin tahu
yang lebih tinggi terhadap Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif melalui sumber lain yang
tersedia baik di internet maupun sumber lainnya.
Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan juga kritik yang membangun agar nanti
paper ini bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kami berharap paper ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membaca. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Denpasar, 29 September 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris...........................................................................3
2.2 Mekanisme Penegakkan dan Instrumen Ekstralegal........................................................8
2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free-riders.......................................................................10
2.4 Perilaku Rasional dan Tindakan Komunikatif...............................................................14
2.5 Studi Kasus (Tindakan Kolektif Masyarakat Bali Terhadap Tindakan Reklamasi
Teluk Benoa)........................................................................................................................16
BAB III.....................................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................21
3.2 Saran...............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

ii
1.1 Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan tentang kelembagaan baru (new institutionalist) atau disebut New Institutional
Economics (NIE) menjelaskan tentang sekumpulan pemikiran yang mencoba menerangkan,
politik, sejarah, ekonomi dan kelembagaan sosial seperti pemerintah,hukum, pasar,
perusahaan (firm) konvensi sosial, keluarga dll dalam bingkai neoclassical economic
theory.Teori ini merupakan buah perenungan Chicago School yang terus berupaya agar teori
ekonomi klasik bisa menerangkan wilayah masyarakat manusia (area of human society)
dengan segala karakteristiknya yang selama ini diabaikan dalam membangun ekonomi
masyarakat atau negara. Adapun NIE berkembang pesat dan mulai diperhitungkan sebagai
teori ekonomi alternatif setelah Ronald Coase menemukan konsep biaya transaksi
(transaction cost). Setelah itu muncul teori kontrak dan tindakan kolektif.
Problem serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah kutiadaan kesetaraan
antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwuind dalam posisi daya tawar
(bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric). Implikasinya,
dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang
memeroleh keuntungan di atas beban (kerugian) pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi
semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak
yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main
(kelembagaan) yang bertujuan membangun kesetaraan antarpelaku ekonomi, baik dari sisi
daya tawar maupun kelengkapan infomasi. Pada titik inilah keberadaan teori kontrak
(temasuk information asymmetric) dan tindakan kolektif (collective action) sangat besar
peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut. Oleh karena itu, pada paper ini
akan dikupas tentang dua teori tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam
sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan permasalahan pada
paper ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan teori kontrak dan informasi asimetris?
1.2.2 Bagaimana mekanisme penegak dan instrumen ekstralegal?
1.2.3 Bagaimana teori tindakan kolektif dan free riders?

1
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan pilihan rasional dan tindakan komunikatif?

2
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat, maka tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan
paper ini yaitu
1.3.1 Untuk mengetahui teori kontrak dan informasi asimetris
1.3.2 Untuk mengetahui mekanisme penegakan dan instrumen ekstralegal
1.3.2 Untuk mengetahui teori tindakan kolektif dan Free-Rider
1.3.4 Untuk mengetahui pilihan rasional dan tindakan komunikatif

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics/TCE), basis dari
unit analisis adalah 'kontrak' (contract) atau transaksi tunggal antara dua pihak (parties) yang
melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu
pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya
dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan
untuk membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan
yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik
yang berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap
kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat
insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk menyetujui isi atas kontrak yang dibuat.
Dalam TCE, agen penegakan kontrak dari luar (external contract-enforcement agency), yang
biasa disebut lembaga hukum (legal institution) yang mengatur kontrak, diasumsikan eksis,
meskipun kadangkala kinerjanya mengalami hambatan-hambatan akibat kesulitan
memverifikasi, baik yang buruk maupun yang bagus, pelaka-pelaku yang terikat dalam
sebuah kontrak, Dengan kata lain, TC mengasumsikan bahwa kontrak dapat ditegakkan
(dipaksakan) dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang
cukup.

Konsep kontrak dalam NIB (New Institutional Economics), menurut Richter sebetulnya
adalah konsep mengenai hak kepemilikan (property rights), yang dalam banyak hat lebih luas
dibandingkan konsep hukum tentang kontrak. Asumsi dasarnya, masing-masing jenis dari
pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak
tersebut. Dalam teori standar (neoklasik), kontrak biasanya diasumsikan dalam kondisi
lengkap (complete contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan tanpa biaya (costlessly). Dalam
realitasnya, untuk membuat dan menegakkan kontrak yang komplit sangatlah sulit (untuk
tidak mengatakan mustahil) karena adanya biaya transaksi. Secara umum tidaklah mungkin
untuk menghitung seluruh potensi ketidakpastian dalam membuat kontrak. Salah satu jalan
yang mungkin hanyalah mencoba memodelkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
informasi yang terbatas, untuk kemudian menjadikan hal itu sebagai bahan untuk membuat
kontrak yang menyeluruh (comprehensive contract). Mungkin saja suatu kontrak dibuat
dengan syarat hanya mencakup hal-hal yang bisa diamati oleh masing-masing pelaku ,
sehingga jika terjadi sesuatu (misalnya
4
penyimpangan atau penipuan) bisa diselesaikan oleh pihak ketiga contohnya seperti
pengadilan.
Dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan. Pertama, adanya
ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi
munculnya contingencies, sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk
mengetahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan
ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus (particular contractual performance),
misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan
yang rumit (complex task), mungkin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan
pengukuran. Oleh karena itu, adanya pelanggaran kontrak sering kali menyulitkan pihak
ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti sebagai dasar keputusan. Hampir seluruh
kesepakatan kontrak yang aktual berisi kombinasi eksplisit dan implisit dari mekanisme
penegakan. Beberapa elemen dari kinerja dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga.
Sebagai tambahan, biaya kontrak, yang mengandaikan adanya ketidaklengkapan dari kontrak
yang eksplisit, membutuhkan kehadiran "biaya sewa semu” (quasi rent) yang bisa digunakan
bag perusahaan/korporasi untuk melakukan investasi.
Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi
asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi
asimetris tidak lain merupakan kondisi di mana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan
(unequal knowledge) yang dialami oleh pelaku- pelaku (parties) untuk melakukan transaksi
di pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang
harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang barang atau jasa yang hendak diperjual belikan. Di
sinilah dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris tadi
dapat dikurangi atau direduksi. Tentu saja, jenis informasi asimetris untuk tiap-tiap kegiatan
transaksi berbeda antara satu dan yang lain sehingga dibutuhkan jenis kontrak yang berlainan
pula. Dengan begitu, kontrak di sint bisa pula dimaknai sebagai instrumen kompensasi yang
didesain untuk mengeliminasi dampak dari informasi asimetris, Semakin besar kemungkinan
terjadinya informasi asimetris, kian besar pula usaha yang mesti dikerjakan untuk mendesain
kontrak secara lebih komplit.
George A. Akerlof's, yang dianggap sebagai pionir teori informasi asimetris, lewat karya
monumentalnya, yakni The Market of "Lemons": Quality Uncertainty and the Market
Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku
transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market
institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting

5
institutions).

6
Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan dimaksud adalah jaminan/garansi
(guarantees) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu untuk memperoleh
informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuan yang dimiliki oleh penjual. Di luar
garansi, instrumen kelembagaan lain adalah merek (brand- names), kongsi (chains), dan
waralaba (franchise) sebagai mekanisme jaminan bagi pembeli, setidaknya menyangkut
kualitas produk. Instrumen-instrumen tersebut secara lebih lanjut harus dimasukkan dalam
kontrak sehingga memiliki kepastian, khususnya dari aspek legal.
Kasus informasi asimetris lain yang bisa diajukan adalah praktik di pasar kerja yang
diformulasikan oleh Michael Spence lewat risalahnya yang berjudul "Job Market Signaling"
(1973)." Menurutnya, keputusan majikan untuk mempekerjakan seseorang merupakan
keputusan investasi dibawah kondisi ketidakpastian. Pemilik perusahaan/manajer (employer)
tentu tidak yakin sepenuhnya tentang kemampuan produktif seseorang (employee) sebelum
dia menggajinya. Bahkan, kemampuan produktif itu juga tidak serta merta dapat diketahui
apabila pekerja tersebut telah dilatih. Spence berargumentasi, karena individu butuh waktu
mempelajari sesuatu yang baru, maka menggaji seseorang merupakan sebuah keputusan
investasi, dan karena kapabilitasnya tidak diketahui secara pasti, maka keputusan investasi
tersebut berada di bawah ketidakpastian. Menurutnya, kasus seperti itu analog dengan
keputusan investasi dalam permainan undian (lottery). Kemungkinan keberhasilan dalam
mengambil keputusan ditentukan oleh pengalaman terdahulu dalam pasar kerja (job market),
tanda/sinyal (signals) yang diberikan oleh pelamar kerja tentang kemampuannya, dan
karakter yang melekat (indices) dari seseorang. Jika ciri individu yang melekat tidak mungkin
ditutupi, seperti ras dan jenis kelamin, maka sinyal merupakan karakteristik individu yang
dapat dimanipulasi. Contoh dari sinyal tersebut, misalnya, adalah pendidikan. Di sinilah
perlunya melakukan optimasi biaya penandaan (signaling costs), khususnya untuk
kepentingan penentuan upah. Biaya penandaan merupakan total biaya dari perubahan sinyal,
termasuk ongkos uang, waktu, dan fisik. Bagi Spence, seharusnya biaya penandaan tersebut
berkorelasi negatif dengan kapabilitas produktif seseorang.
Kembali kepada soal kontrak, dalam kegiatan ekonomi modern tipe kontrak setidaknya
bisa dipilih dalam tiga jenis, yakni teori kontrak agen (agency contract theory), teori
kesepakatan otomatis (self-enforcing agreements theory), dan teori kontrak-relasional
(relational-contract theory). Pertama, dalam teori agensi diandaikan setidaknya terdapat dua
pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal (principal) dan agen (agent). Prinsipal adalah
pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang
diinginkan oleh prinsipal. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah

7
aktivitas yang telah

8
didelegasikan kepada pihak agen, misalnya otoritas untuk mengambil keputusan. Dalam
posisi ini, informasi (setelah kontrak dilakukan) diandaikan asimetris karena: (i) tindakan
agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; atau (ii) pihak agen membuat
beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal (dalam kasus sharecropping,
misalnya, agen tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi prinsipal tidak
mengetahuinya). Pada kasus ini, sangat mahal bagi prinsipal mengawasi tindakan agen secara
langsung atau mendapatkan pengetahuan lengkap dari informasi yang diperoleh agen.
Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi
(hidden action) dan pada kasus yang kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi
(hidden information).
Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikan kesepakatan bisa ditegakkan secara
hukum (legally), maka dalam tori kesepakatan otomatis diandaikan tidak seluruh hubungan
atau pertukaran bisa ditegakkan secara hukum. Di sini dinyatakan bahwa sistem hukum sangat
mungkin tidak sempurna atau informasi yang relevan tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan.
Oleh karena itu, salah satu kemungkinan bagi relasi bisnis dalam jangka panjang adalah
membuat atau menemukan sebuah kontrak yang berisi kesepakatan yang dapat ditegakkan
secara otomatis (self-enforcing agreements). Kontrak semacam ini didesain untuk memastikan
bahwa keuntungan dari berbuat curang (defaulting) selalu lebih rendah dari laba yang
didapatkan dengan mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jadi, di sini tidak ada pihak
ketiga yang melakukan intervensi. Model seperti ini juga disinonimkan dengan istilah
'kontrak implisit' (implicit contract), meskipun yang terakhir ini sebetulnya didesain untuk
membedakan dengan istilah 'teori kontrak formal." Kontrak implisit lebih banyak mencakup
norma-norma perilaku ketimbang pembagian risiko (risk sharing).
Ketiga, kontrak relasional dapat dipahami sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung
seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa silam,
saat ini, dan ekspektasi terhadap hubungan di masa depan di antara pelaku-pelaku yang
terlibat dalam kontrak (Macneil, 1974; dalam Furubotn dan Richter, 2000:158). Oleh karena
itu, kontrak dalam pengertian ini mengacu kepada derajat yang bersifat implisit (implicit),
informal (informa), dan tapa ikatan (non binding). Di sini, penegakan otomatis (self-
enforcement) memegang peranan yang sangat penting. Secara aktual, sebetulnya sebagian
besar transaksi yang menggunakan kontrak relasional ini kurang lebih melekat dalam sebuah
struktur hubungan transaksi yang sangat longgar. Transaksi sendiri secara umum merupakan
bagian dari asosiasi usaha yang sedang perjalan dan dalam jangka panjang. Model semacam
ini memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi modern. Jika terjadi persoalan

9
dalam hubungan kontrak tersebut, biasanya tidak diselesaikan lewat pengadilan tetapi dicapai

1
melalui keseimbangan kerja sama dan pemaksaan (coercion), serta komunikasi dan strategi.
Jadi, kontrak relasional biasa diaplikasikan dalam situasi di mana terdapat ketergantungan du
pihak (bilateral dependence) pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang
spesifik (transaction-specific investment).

Isu penting lain yang berkaitan dengan perbedaan kesepakatan-kesepakatan kontrak


adalah bagaimana kontrak itu dibuat dalam situasi di sektor yang sama dan lingkungan
kelembagaan (institutional environment) yang sejenis, Dengan memakai studi ekstensif
berdasarkan data primer (kuesioner) atas 21.000 responden yang dilakukan oleh para
pewawancara yang mengunjungi industri unggas (poultry), Mènard (2000:236) menunjukkan
adanya tiga bentuk kesepakatan kontrak yang telah teruji lama, yakni kontrak harga tetap
(fixed- price contracts), kontrak jual beli (buy-and-sell contracts), dan kontrak lepas (putting-
out type); dengan tipe terakhir yang banyak dipilih. Seluruh jenis kontrak itu merupakan
praktik yang lazim dijalankan, baik di negara maju maupun berkembang, sehingga mudah
untuk dijumpai di mana pun. Dalam jangka panjang jenis-jenis kontrak tersebut tampaknya
akan tetap bertahan, meskipun dimungkinkan munculnya jenis kontrak baru siring
perkembangan kegiatan ekonomi, kegiatan di sektor pertanian sendiri juga sarat dengan
berbagai jenis kontrak. Kontrak pertanian (contract farming) kerap didefinisikan sebagai
bentuk integrasi vertikal di dalam rantai komoditas pertanian, seperti perusahaan yang
memiliki kontrol lebih besar dalam proses produksi, di samping kuantitas,kualitas,
karakteristik, dan waktu suatu barang diproduksi.
Di sektor pertanian setidaknya terdapat tiga bentuk kontrak: kontrak sewa tetap/fixed-rent
contract (sewa per hektar yang dinyatakan dalam uang maupun tanaman), kontrak bagi hasil
(share contract), dan kontrak upah (wage contract). Salah satu penjelasan yang mungkin bisa
menerangkan daya tahan tiga sistem kontrak di atas adalah karena dinamika alamiah
(dynamic nature) untuk selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan, jalur
ketergantungan (path dependency), yang menciptakan pola sosial perilaku, bisa saja
mempromosikan daya tahan (survival) sebuah kesepakatan kontrak yang kurang efisien.
Sementara itu, di India terdapat sekurangnya lima model kontrak pertanian, yakni model
tersentralisasi (centralized model) sponsor atau pelaku ekonomi bear membeli barang dari
banyak petani-petani kecil model perkebunan inti (nucleus estate mode): ini variasi dari
model tersentralisasi di mana sponsor juga mengelola perkebunan inti/pusat, model
multipartai (multipartite model) memasukkan beragam organisasi, termasuk badan yang
memiliki status hukum (statutory bodies). Model ini bisa berkembang dari model sentralisasi
atau model inti perkebunan; misalnya lewat organisasi petani ke koperasi atau keterlibatan
1
dalam lembaga

1
keuangan; (iv) model informal (informal model): dicirikan oleh wirausaha muda atau usaha
kecil. Pelaku ini menggunakan kontrak produksi informal, biasanya dengan basis musiman.
Kontrak in umumnya memerlukan dukungan dari pemerintah, seperti riset dan penyuluhan;
dan (v) model perantara (intermediary model): melibatkan sponsor dalam sub-kontrak petani
dengan perantara (intermediaries). Di sini terdapat risiko pihak sponsor kehilangan kontrol
produksi dan kualitas (juga harga) yang diterima petani

2.2 Mekanisme Penegakkan dan Instrumen Ekstralegal


Dari review terhadap berbagai studi tentang kontrak yang telah dilakukan, terdapat empat
aspek yang bisa disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis kontrak (Ménard, 2000:236).
 Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak. Hampir semua studi empiris yang
dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan
atribut dari transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu sekaligus juga menggambarkan
komitmen (signal commitment) dari para mitra.
 Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang mencakup variabel-
variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalti. Beberapa studi
menunjukkan bahwa derajat kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan
spesifikasi aset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastian.
 Ketiga, kontrak biasanya bersinggungan dengan insentif. Di sini hanya terdapat
sedikit jenis mekanisme insentif. Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat
yang tetap (piece-rate systems), upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada
pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan kepada pemilik, dan sewa yang dibagi di
antara mitra yang bergabung dalam proyek.
 Keempat, prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak
berhubungan dengan mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual
advantage), tetapi pada tempo yang bersamaan kontrak juga menyimpan risiko
kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis (opportunism): entah disebabkan
oleh kontrak yang tidak lengkap maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda dengan
situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya.
Berkaitan dengan aspek penegakan, dalam masyarakat yang kelembagaan penegakannya
tidak berjalan dengan baik, individu-individu dan perusahaan- perusahaan cenderung
menghindari membuat kesepakatan-kesepakatan yang kompleks, yakni transaksi yang
penggunaannya tidak secara otomatis (non-self- enforcing transactions). Instrumen
ekstralegal adalah suatu instrumen tambahan yang bersifat legal sebagai pelengkap

1
mekanisme penegakan

1
kontrak. Setidaknya terdapat dua tipe penegakan yang ada dalam masyarakat, yakni aturan
formal dan informal. Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh organisasi resmi,
seperti negara dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tindakan kolektif (collective
action)
melalui pihak ketiga (third party sanction). Sementara itu, norma (aturan) informal muncul
akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan sosial (social relationship).
Norma sendiri adalah aturan-aturan, eksplisit atau implisit untuk mengatur perilaku yang
melekat pada kepentingan dan keinginan masing-masing anggota kelompok (close-knit
group) atau komunitas (Nee, 1998-86-87). Penegakan sendiri dipengaruhi oleh daya tekan
(coercive power) dari negara atau norma-norma dalam masyarakat. Penekanan (coercion) dan
norma itu bisa saling menggantikan (substitute) [Stone, et al, 1996:92). Sedangkan Barzel
(2000:214) berargumentasi bahwa penggunaan kekerasan (violence) untuk melakukan
penegakan bisa berbeda- beda dalam tiga aspek berikut: kekerasan seringkali lebih murah,
kekerasan dilakukan untuk mencegah penyitaan (threaten confiscation), dan kekerasan
bertujuan untuk memperkuat pertukaran kontrak itu sendiri.
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat dalam
persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak menghubungkan
antara satu pelaku dan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan, tetapi pada
saat yang sama kontrak juga berisiko melalui praktek oportunisme. Hasilnya, terdapat godaan
bagi satu atau lebih pelaku untuk bersikap menyimpang (Crawford et al., 1978). Hal ini
membuat tugas untuk mengatur hak-hak menjadi isu utama, dengan prosedur penegakan
menjadi kunci menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kesepakatan (seperti dikutip oleh
Menard, 2000.240). Isu yang utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak
didesain sebegitu rupa sehingga pelaku (agents) memiliki insentif yang memadai untuk
mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati. Kontrak semacam ini semestinya harus dapat
memaksakan sendiri (self-enforcing), dalam arti implementasinya tergantung kepada
mekanisme otomatis (built-in mechanism).
Seperti yang telah Ménard (2000;248) kemukakan, hal itu membawa kepada pengertian
batas "penataan publik' (public ordering). Penataan publik bisa didefinisikan melampaui
aturan main untuk wilayah penataan privat. Penataan publik juga mengimplementasikan
seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk menegakkan kontrak dan
menopang transaksi. Pengadilan (court) dan kelembagaan yang terkait (administrasi
kehakiman, polisi, dan penjara) merupakan mekanisme yang melekat dalam penataan privat
menuju kepada penegakan publik. Peran dari pengadilan dalam penegakan publik atas

1
kontrak adalah berhubungan dengan isu hak-hak kepemilikan, tepatnya sejak kesepakatan
kontrak dimasukkan ke dalam pemindahan

1
hak-hak pemanfaatan. Tetapi, menurut North (1990a:59), penegakan di negara dunia
seringkali tidak pasti yang disebabkan bukan hanya karena ambiguitas doktrin legal
(pengukuran biaya), namun juga ketidakpastian dalam menghargai perilaku agen/pelaku.
Dalam realitasnya, tentu mekanisme penegakan tersebut tidak selalu mudah dilakukan,
bahkan kerap kali sangat rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di mana rasionalitas terikat/terbatas
(bounded rationality) eksis sehingga ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka problemnya
bukan sekadar mendesain sebuah aturan-aturan perilaku kelembagaan (institution's behavioral
rules) tetapi juga bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan. Masalahnya, dalam kasus aturan
main yang tidak komplit, suatu penegakan legal sangat terbatas penggunaannya. Dalam kasus
semacam ini dibutuhkan suatu instrumen tambahan semacam jaminan ekstralegal (extralegal
guarantee), seperti penyanderaan (hostages), agunan (collateral), strategi balas dendam (tit-
for-tat strategies), reputasi (reputation), dan lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa
jaminan "privat" menghadapi perilaku menyimpang diperlukan untuk membangun suatu
hubungan yang taat asas. Oleh karena itu, setiap desainer kelembagaan harus memperhatikan
situasi aturan main yang tidak lengkap tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa
dicegah (Furubotn dan Richter, 2000:19).
Secara umum, desainer kelembagaan yang rasional akan merencanakan suatu strategi atau
perilaku "non-kerjasama" (non cooperative) sebagai bagian dari partisipan pada saat proses
tawar-menawar (bargaining process). Singkatnya, desainer harus menyusun kesepakatan
jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-ante guarantee) untuk menghadapi perilaku
oportunistik setelah kontrak disepakati (non cooperative behavior). Tentu saja dalam kasus
semacam ini akan muncul biaya transaksi yang mungkin cukup besar. Dengan begitu, biaya
transaksi yang muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furubotn dan
Richter, 2000:20). Kejadian semacam ini sebetulnya merupakan problem ekonomi yang biasa
saja, khususnya dalam suatu lingkungan dimana otoritas hukum formal tidak bekerja dengan
baik. Kegiatan-kegiatan ekonomi/ bisnis sehari-hari selalu diselimuti dengan berbagai
peristiwa seperti itu sehingga keperluan melakukan antisipasi terhadap persoalan ini menjadi
keniscayaan. Secara kategoris, upaya semacam ini bisa disebut sebagai "kontrak dalam
kontrak", di mana kontrak yang pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang
ingin dilakukan dan kontrak yang kedua dimaksudkan untuk mengatasi problem penegakan
akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak

2.3 Teori Tindakan Kolektif dan Free-riders


Teori tindakan kolektif (collective action) pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson

1
(1971), khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups). Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider)
dan mendesain jalan keluar bersama (cooperative solutions) bagi pengelolaan sumber daya
bersama (common resources) atau penyediaan barang-barang publik (public goods). Menurut
Olson, determinan penting bagi keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran (size),
homogenitas (homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group). Teori ini sudah
mapan dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang bersinggungan dengan manajemen
sumber daya bersama, seperti air, perikanan, tanah, hutan, dan lain-lain. Di masa lalu, solusi
atas persoalan tersebut, yang dikenal dengan istilah "tragedy of the commons" (yang disusun
oleh Hardin), dilakukan dengan cara memformulasikan dan menegakkan hak kepemilikan
(property rights). Tapi, dalam beberapa studi yang baru, kesepakatan kelembagaan lokal
(local institutional arrangements), misalnya tradisi dan konvensi sosial, dapat dipakai pula
untuk mengatasi persoalan pengelolaan sumber daya secara efisien (Kherallah dan Kirsten,
2001:10- 11).
Mengacu kepada postulat Olson di atas, maka suatu tindakan 'kolektif akan bekerja secara
optimum tergantung dari ketiga determinan tersebut. Secara hipotetik, semakin besar ukuran
suatu kelompok kepentingan (interest group), maka kian sulit bagi kelompok tersebut untuk
menegosiasikan kepentingan di antara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya,
kelompok yang dibangun dengan ukuran yang kecil (small group) dimungkinkan bekerja
lebih efektif. Selanjutnya, keragaman kepentingan anggota kelompok juga sangat
menentukan keberhasilan tindakan kolektif. Semakin beragam kepentingan anggota
kelompok; maka kian rumit memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing
anggota membawa kepentingannya sendiri-sendiri, demikian sebaliknya, Jadi, di sini
homogenitas kepentingan diandaikan akan lebih memudahkan kerja 'suatu kelompok.'
Terakhir, tujuan kelompok harus dibuat secara fokus dengan memertimbangkan kepentingan
semua anggota. Tujuan kelompok yang luas, di samping kabur juga berpotensi memecah
kesatuan antar anggota sehingga dukungan terhadap tindakan bersama menjadi lemah. Tentu
saja keadaan tersebut harus dihindari dalam sebuah organisasi/kelompok.
Dalam konteks yang lebih luas, teori tradisional perilaku kelompok (group behavior)
secara implisit berasumsi bahwa kelompok-kelompok swasta (private groups) dan asosiasi-
asosiasi (associations) beroperasi menurut prinsip-prinsip yang berbeda sepenuhnya dari
operasi relasi antar perusahaan di pasar atau antara pembayar pajak dan negara (Olson,
2001:16). Hubungan di antara, misalnya, membayar pajak dan negara berjalan berdasarkan
regulasi yang sudah diundangkan sehingga tidak ada tawar-menawar pada posisi tersebut.

1
Negara memiliki posisi

1
yang kuat dan pembayar pajak hanya sebagai objek yang wajib tunduk terhadap aturan.
Sebaliknya, serikat pekerja (labor unions), misalnya, harus melakukan mufakat di antara
anggotanya untuk menentukan kepentingan mana yang akan dibawa ke meja perundingan
(dengan pemilik perusahaan/modal). Disini tindakan kolektif antar pekerja (yang tergabung
dalam serikat pekerja) memiliki makna yang lebih besar ketimbang pembayar pajak, karena
mereka merupakan "komunitas dinamis" yang terus mendesakkan kepentingannya agar suatu
regulasi bisa berubah sesuai dengan tuntutannya. Hal yang sama juga terjadi pada organisasi
petani, kartel, partai politik, dan lain sebagainya.
Salah satu titik kritis dari tindakan kolektif adalah adanya kemungkinan pihak yang kecil
(small) akan mengeksploitasi pelaku yang besar (great), seperti yang disinyalir oleh Olson
(2001:29). Kelihatannya ini aneh, tapi sebetulnya hal semacam itu biasa terjadi, khususnya
dalam aktivitas politik, sehingga sampai muncul istilah "tirani minoritas." Jika ini yang
terjadi, maka memang lebih baik bila kepentingan suatu kelompok bersifat homogen.
Sungguh pun begitu, organisasi kartel seperti yang dialami oleh OPEC (organisasi produsen
minyak dunia) yang heterogen menunjukkan bahwa produsen minyak besar (misalnya Arab
Saudi) justru mau menanggung ongkos untuk membatasi output (Heckathorn, 1993:329).
Jelasnya, Arab Saudi bersedia mensubsidi OPEC dengan jalan mengurangi produksi lebih
rendah dari jatah kuotanya sebagai kompénsasi kelebihan produksi yang dilakukan oleh
anggota lain (yang tergabung dalam OPEC). Olson kemudian menyimpulkan sebuah postulat
penting lainnya bahwa keberhasilan tindakan kolektif dijamin jika kelompok kepentingan
tersebut memperoleh keuntungan melebihi biaya produksi keseluruhan (the entire production
cost).
Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi yang
membutuhkan tindakan kolektif agar dapat menyelesaikan persoalan (Heckathorn, 1993:330-
331). Pertama, sistem untuk mengelola sumber daya bersama (common-pool resources),
seperti perikanan, sumber daya air yang
Dikelola melalui sistem irigasi, atau padang rumput (Ostrom, 1990). Kedua, sistem untuk
mengontrol perilaku (controlling behavior), milatnya norma. norma sosial melarang
eksploitasi atau perilaku merusak (predatory behavior) [Ullmann-Margalit, 1977). Ketiga,
perubahan-perubahan sosial semacam revolugy (Taylor, 1988; Lindenberg, 1989) atau
perubahan perlahan (modest changes) dalam kebijakan publik (Opp, 1989). Ketiga situasi
tersebut mempersyaratkan adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan sumber daya
dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan, lebih dari itu, tindakan bersama menjadi krusial
sebagai instrumen mencegah konflik dan kemungkinan dieksploitasinya salah satu/beberapa

2
pihak dalam kegiatan tersebut. Ini semua menjadi argumentasi penting perlunya kehadiran

2
tindakan kolektif dalam pemecahan masalah kegiatan ekonomi.
Deskripsi di atas sekurangnya menyumbangkan tiga karakteristik esensial yang perlu
dipetakan dengan jelas. Pertama, barang atau jasa yang diproduksi bersama, jika tidak maka
tindakan kolektif tidak dibutuhkan. Kedua, produksi memberikan laba kepada semua anggota
kelompok, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang gagal berkontribusi dalam
aktivitas produksi. Ketiga, produksi dalam barang-barang publik menyertakan biaya. Ketika
ketiga kondisi tersebut eksis, maka anggota kelompok pasti akan bertemu dengan problem
penunggang bebas (free-riders problem), yakni mereka yang tidak memperoleh beban (biaya)
dari tindakan kolektif tapi masih menerima benefitnya. Pergumulan dari peristiwa-peristiwa
semacam inilah yang membuat para ekonom dan ilmuwan sosial berkonsentrasi memecahkan
dilema dalam kegiatan ekonomi yang rumit itu. Padahal, fakta yang tidak mungkin
disanggah, setiap aktivitas ekonomi selalu berpotensi menyumbangkan penunggang bebas
sehingga suatu tindakan kolektif dibutuhkan untuk mengatasinya.
Konsentrasi terhadap free-riders tersebut merupakan pangkal dari persoalan yang
menyelimuti sebuah kelompok (kepentingan). Dalam posisi ini, tindakan kolektif bisa
menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah free-riders, tapi dapat pula tindakan
kolektif sebagai sumber munculnya penunggang bebas. Dalam proposisi yang pertama,
mereka yang dirugikan dari keberadaan free-riders menggalang kekuatan yang berujung
kepada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut.
Sedangkan dalam proposisi yang kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang
lengkap (tidak matang) besar pula peluangnya untuk menciptakan free-riders bar, misalnya
ketidakjelasan aturan main tentang hukuman dan insentif. Tamp» merujuk kepada contoh
kegiatan ekonomi yang spesifik, kedua kemungkinan skenario tentang free-riders itu sangat
besar terjadi sehingga desain tindakan kolektif memang mesti dilakukan secara hati-hati
dengan mempertimbangkan banyak aspek, seperti ukuran, homogenitas, dan tujuan
kelompok.
Berikutnya, menurut Olson (1965), masing-masing dari tiga mekanisme fundamental in
dapat mempercepat proses tindakan kolektif. Pertama, Olson berargumentasi bahwa produksi
secara sukarela (voluntary production) akan dapat dilaksanakan hanya dalam kelompok-
kelompok kecil (small groups) atau kelompok yang didominasi oleh produsen besar
(misalnya kelompok "khusus/ privileged" groups). Namun, Oliver et. al. (1985) menunjukkan
bahwa dalam suatu lingkungan tertentu peningkatan ukuran suatu kelompok dapat
memfasilitasi tindakan kolektif lewat peningkatan kemungkinan massa kritis (critical mass)
dari para pelaku yang bergabung untuk menanggung beban ongkos produksi dari barang-

2
barang publik. Kedua, Olson berpendapat bahwa interaksi strategis/ strategic interaction
(misalnya kerja sama

2
kondisional yang menyatakan "jika kamu bergabung, maka saya juga akan masuk") mungkin
akan menelurkan kerja sama cuma dalam kelompok sedang (medium-size groups). Tetapi
Axelrod (1984) menunjukkan bahwa interaksi strategis dapat memfasilitasi kerja sama dalam
kelompok manapun karena efek dari reputasi dan mekanisme pergaulan (associated). Ketiga,
Olson berasumsi bahwa insentif selektif/selective incentives (seperti hukuman bagi free-
riders atau penghargaan terhadap pihak yang mau bekerja sama) mempersyaratkan adanya
otoritas sentral (central authority). Intinya, Olson mengantisipasi munculnya masalah
penunggang bebas pada level lebih lanjut (second order) yang muncul karena insentif selektif
juga merupakan barang publik, di mana pelaku yang gagal dibebani biaya dari insentif yang
diterima mungkin juga tidak mendapatkan benefit dari pemanfaatan insentif tersebut.
Secara tersirat, deskripsi di muka menjelaskan dengan rinci bahwa tindakan kolektif
bergerak di antara realitas munculnya kepentingan (suatu kelompok) dan eksistensi
penunggang bebas yang ingin memperoleh manfaat tapa terkena beban (biaya). Pada titik
itulah tindakan kolektif berjalan dengan tingkat akselerasi sesuai dengan kebutuhan di
lapangan. Kecepatan dan besaran tindakan kolektif tersebut didorong oleh banyak faktor dan
konfigurasi kepentingan yang berada di sekelilingnya. Dari sudut pandang efisiensi, tidak
mesti tindakan kolektif itu paralel dengan keuntungan karena keberhasilannya sangat
ditentukan oleh desain tindakan kolektif yang dilakukan dan kemampuan untuk merawatnya.
Di sinilah kemudian penunggang bebas itu bermula: ia bisa sebagai sebab munculnya
tindakan kolektif, tapi juga dapat tindakan kolektif yang memunculkan penunggang bebas.
Tentunya, tindakan kolektif yang terencana bukan merupakan sumber munculnya
penunggang bebas, tapi justru untuk mengatasinya

2.4 Perilaku Rasional dan Tindakan Komunikatif


Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat
(strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) (Miller, 1992;24 dalam Yustika,
2013;90). Terdapat dua pendekatan dalam teori rasional (Miller, 1992) yang dijabarkan
sebagai berikut:
 Pendekatan kuat (strong approach), melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk dari tindakan rasional dan tingkatan rasional itu sendiri, menjadi sebab
munculnya analisis pilihan rasional. Dalam pendekatan kuat terdapat tiga solusi
internal yaitu: perlunya solusi internal yang kuat terhadap problem penunggang bebas,
mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk
berpartisipasi, dan memunculkan kerjasama kondisional yang saling menguntungkan.

2
 Pendekatan lemah (weak approach), penempatan halangan sosial dan kelembagaan
sebagai suatu kerangka yang masih ada karena aktor-aktor rasional berupaya
memaksimalkan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dalam pendekatan lemah
terdapat dua solusi eksternal yaitu: otoritas sentral menyediakan intensif selektif yang
memberi penghargaan kepada mereka yang berpartisipasi dalam tindakan kolektif
dan/atau menghukum mereka yang menolak bergabung dalam tindakan kolektif
tersebut dan solusi eksternal yang menekankan kepada desentralisasi komunitas
ketimbang otoritas sentral.
Terdapat enam strategi yang ditawarkan yang tertuang dalam tabel berikut ini :
Tabel 1 Enam Strategi Fungsi Pilihan Kontribusi dan Pilihan Pengawasan

Pilihan Pilihan Pengawasan Interpersonal (level kedua)


Kontribusi
Terhadap Barang
Publik (level Pengawasan Tanpa Pengawasan
pertama) Lunak Pengawasan Opsional
(Kerjasama) (Kegagalan)
Kontribusi Kerjasama penuh Kerjasama privet Oposisi lunak
(Kerjasama)
Tidak Kontribusi Kejasama Kegagalan penuh Oposisi penuh
(Kegagalan) hipokretikal

Penjabaran:
 Kerjasama penuh termasuk kontribusi terhadap produksi barang-barang publik dan
memberikan penalti terhadap pihak yang tidak melakukan kontribusi. Individu yang
memilih strategi ini akan memaksimalkan kontribusi individual dan kolektif terhadap
produksi barang-barang publik.
 Kerjasama hipokritikal terjadi ketika pelaku penunggang bebas, yakni yang gagal
berkontribusi terhadap barang publik, berupaya mendesak pihak lain untuk
berkontribusi.
 Kerjasama privat berkontribusi terhadap barang publik tetapi tidak berusaha
mencegah pihak lain menjadi penunggang bebas.
 Kegagalan penuh menolak berkontribusi dan mengizinkan pihak yang lain bertindak
seperti yang mereka lakukan.
 Posisi lunak berkontribusi terhadap barang publik namun dengan membela pihak lain
untuk menolak berkontribusi
 Oposisi penuh menolak untuk berkontribusi dan melawan norma yang memaksakan

2
pelaksanaan/aturan.

Selain itu, konfigurasi tindakan kolektif dapat diformulasikan menurut habermas (1984)
sebagai berikut:
Tabel 2 Tipe Tipe Tindakan Berdasarkan Konsep Habernas (1984)
Orientasi Tindakan Situasi Orientasi Keberasilan Orientasi Pemahaman
Tindakan (system) (lifeword)
Non-sosial Tindakan Istrumental -
Sosial Tindakan Strategis Tindakan Komunikatif

Penjabaran:
 Tindakan strategis apabila mengikuti aturan-aturan pilihan rasional dan bertujuan
mempengaruhi keputusan pihak lain yang rasional.
 Tindakan instrumental terjadi ketika aksi itu mengikuti aturan-aturan teknis dan
campur tangan dalam lingkungan dan peristiwa-peristiwa material.
 Tindakan komunikatif ditekankan kepada interaksi diantara dua pihak atau lebih
untuk mencari kesepahaman mengenai situasi bersama.
Secara garis besar, tindakan kolektif diasumsikan bersumber dari dua pendekatan.
Pertama, keuntungan dari bekerja dalam suatu kelompok akan menggiring ke dalam situasi
yang tidak terhindarkan untuk menciptakan kelompok-kelompok. Kedua, perilaku
maksimalisasi individu dalam jangka pendek akan menuntun individu melakukan kerjasama
atau tindakan kolektif

2.5 Studi Kasus (Tindakan Kolektif Masyarakat Bali Terhadap Tindakan Reklamasi
Teluk Benoa)
 Latar Belakang
Kasus tolak reklamasi di Bali telah menjadi perdebatan panjang sejak tahun
2013. Berawal dari Surat Keputusan bernomor: 2138/02-C/HK/2012 yang
memberikan izin memanfaatan dan pengembangan bagi PT Tirta Wahana Bali
Internasional (PT TWBI) untuk pengelolaam Teluk Benoa seluas 838 ha. Adapun
rencana pelaksanaan reklamasi meliputi beberapa wilayah yang menjadi batasnya,
yaitu pada bagian utara berbatasan dengan Pelabuhan Laut Benoa, sedangkan pada
bagian timurnya berbatasan dengan Desa Tanjung Benoa dan Desa Tengkulung, pada
bagian selatan berbatasan dengan Desa Bualu, pada bagian baratnya berbatasan

2
dengan Desa Jimbaran serta Pulau Pudut yang menjadi salah satu kawasan suci
masyarakat Bali.

2
Selain Pulau Pudut, ada beberapa titik kawasan yang dianggap suci juga masuk
dalam rencana tindakan reklamasi PT TWBI sehingga kegiatan reklamasi ini
menemui banyak masalah.
Kemunculan SK 2138 tentang reklamasi menjadi polemik yang tidak
berkesudahan. Hal ini disebabkan karena pembuatannya tidak menyertakan aspirasi
masyarakat terutama yang beraktivitas di Teluk Benoa. Teluk Benoa tidak semata-
mata menjadi tujuan kegiatan ekonomi, namun juga kegiatan adat dan keagamaan.
Dalam pembuatan surat keputusan tersebut anggota masyarakat, seperti nelayan, desa
adat-desa adat, dan pemerhati lingkungan seharusnya disertakan. Nyatanya mereka
tidak dilibatkan sepenuhnya. Tidak hanya itu, kegiatan reklamasi yang melakukan
pengelolaan terhadap perairan Teluk Benoa yang notabene itu merupakan sumber
daya bersama (common resources) yang tidak bisa hanya dimanfaatkan oleh satu
pihak saja. Menanggapi hal tersebut, masyarakat melalukan tindakan kolektif melalui
aksi protes dan demo.

 Pembahasan
Respon Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Benoa Melalui Tindakan
Kolektif
Perilaku kolektif merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang,
bukan tindakan individu sematamata. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan
(crowd) dan gerakan sosial (civil society). Tindakan kolektif, yang dalam banyak hal
dirujuk ke dalam kegiatan semacam perilaku memilih, perilaku protes, formasi
negara, pertumbuhan organisasi, bahkan altruisme, dianggap sebagai hilir teori
pilihan rasional. Teori tindakan kolektif ini sangat berguna untuk mengatasi masalah
penunggang bebas (free-rider) dan mendesain jalan keluar bersama (cooperative
solutions) bagi pengelolaan sumber daya bersama (common resources) atau
penyediaan barang-barang publik (public goods). Teori juga dapat dimanfaatkan
untuk menyelesaikan persoalan yang bersinggungan dengan manajemen sumber daya
bersama, seperti air, perikanan, tanah, hutan, dan lain-lain.
Rangsangan yang memicu terjadinya perilaku kolektif bisa bersifat benda,
peristiwa maupun ide. Salah satu contoh dari tindakan kolektif yang terjadi di
masyarakat adalah aksi demo yang dilakukan oleh Masyarakat Bali khususnya Bali
Selatan yang menolak proyek reklamasi dengan menciptakan pulau-pulau baru di

2
kawasan Teluk Benoa. Dalam kasus Demo Reklamasi Teluk Benoa, tujuan pendemo
dibuat secara fokus dengan mempertimbangkan tujuannya yaitu mengurangi dampak
bencana alam dan dampak iklim global, serta menangani kerusakan pantai pesisir.
Aksi-aksi dalam kasus menolak reklamasi Teluk Benoa yang mulai dilakukan
sejak tanggal 13 Juli 2013 oleh komunitas masyarakat sipil dan musisi yang
tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) dan sejumlah
elemen/ adat masyarakat Bali adalah termasuk aksi yang merupakan tindakan
kolektif dalam ekonomi kelembagaan. Hal ini menjelaskan bahwa tindakan kolektif
bergerak di antara realitas munculnya kepentingan (suatu) kelompok dan ekstistensi
penunggang bebas yang ingin memperoleh manfaat. Pada titik itulah tindakan
kolektif berjalan dengan tingkat akselerasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Aksi tindakan kolektif desa-desa adat dalam arena gerakan Bali Tolak Reklamasi
terjadi kurang lebih tujuh tahun semenjak mulai munculnya kontroversi reklamasi
Teluk Benoa di pertengahan tahun 2012.
Identitas kolektif dari tindakan kolektif yang dilakukan sebagai warga desa
adat Bali telah berperan penting dalam memperkuat dan menjaga konsistensi gerakan
menolak reklamasi Teluk Benoa. Untuk pertama kali dalam sejarah desa adat di Bali,
identitas kolektif warga dari gabungan desa adat ini telah masuk dalam arena gerakan
sosial. kasus ini menemukan bahwa identitas kolektif warga desa adat di Bali dalam
menentang reklamasi Teluk Benoa terjadi melalui proses konstruksi di kalangan
pelaku gerakan baik dalam dimensi laten (aktivitas keseharian) mereka maupun
dimensi visible melalui aksi-aksi kolektif. Konstruksi identitas kolektif warga adat
tersebut melibat unsur kognisi, afeksi atau emosi, serta relasi sosial baik di internal
kelompok gerakan, maupun dengan pihak eksternal.

Dampak Tindakan Kolektif Terhadap Reklamasi Teluk Benoa


Kasus tolak reklamasi di Bali telah menjadi perdebatan panjang sejak tahun
2013. Berawal dari Surat Keputusan bernomor: 2138/02-C/HK/2012 yang
memberikan izin memanfaatan dan pengembangan bagi PT Tirta Wahana Bali
Internasional (PT TWBI) untuk pengelolaam Teluk Benoa seluas 838 ha. Adapun
rencana pelaksanaan reklamasi meliputi beberapa wilayah yang menjadi batasnya,
yaitu pada bagian utara berbatasan dengan Pelabuhan Laut Benoa, sedangkan pada
bagian timurnya berbatasan dengan Desa Tanjung Benoa dan Desa Tengkulung, pada
bagian selatan berbatasan dengan Desa Bualu, pada bagian baratnya berbatasan

2
dengan Desa Jimbaran serta Pulau Pudut yang menjadi salah satu kawasan suci
masyarakat Bali. Selain Pulau Pudut, ada beberapa titik kawasan yang dianggap suci
juga masuk dalam rencana tindakan reklamasi PT TWBI sehingga kegiatan reklamasi
ini menemui banyak masalah.
Di tengah banyaknya gejolak dan penolakan masyarakat Bali terhadap SK
2138, akhirnya Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika mencabut SK 2138/02-
C/HK/2012 yang berisi pemberian hak kepada PT. Tirta Wahana Bali Internasional
untuk melakukan pemanfaatan Dan pengembangan Teluk Benoa l. SK ini dicabut
dengan dikeluarkannya SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin
Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah
Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Namun ternyata, Penerbitan SK Nomor
1727/01- BH/2013 tersebut, hanyalah sekadar revisi dari SK yang pertama dan tetap
dalam pemberian Hak kepada PT TWBI untuk melakukan kegiatan reklamasi berupa
kegiatan studi kelayakan di Teluk Benoa Bali.
Penolakan semakin masif setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51
Tahun 2014 yang menggantikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat menolak
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 karena Perpres ini
menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan budi daya yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan, padahal sebelumnya dalam Perpres 45 Tahun 2011, Teluk Benoa
adalah kawasan konservasi yang tidak boleh dibangun dan merubah bentuk
kawasan perairan. Bahkan Perpres No. 51 tersebut mengizinkan pelaksanaan
reklamasi hingga seluas 700 hektar yang mana hal tersebut hampir mencakup
sebagian besar wilayah Teluk Benoa. Lahirnya Perpres No. 51 Tahun 2014 ini
semakin menegaskan restu pemerintah untuk kaum kapitalis dan kapitalisme yang
masuk di berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali.
Sejak dikelurkannya Perpres No.51 Tahun 2014 yang menyatakan perubahan
status Teluk Benoa dari status konservasi kemudian menjadi zona penyangga atau
dapat disebut sebagai kawasan yang dapat dikomersialisasi hal tersebut menimbulkan
polemik di Teluk Benoa antara pihak yang mendukung dan menolak reklamasi
terjadi. Dimana hingga terdapat 39 desa adat di Bali yang menolak reklamasi Teluk
Benoa. Salah satu kegiatan menolak reklamasi Teluk Benoa yang dilaksanakan
adalah kegiatan demo dan protes dari massa yang tergabung dalam Forum Rakyat
Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) . Massa yang beranggotakan ribuan orang

3
tersebut berharap

3
pemerintah provinsi dan daerah di Bali menolak rekomendasi AMDAL untuk
menghindari konflik yang lebih besar.
Setelah menjadi perdepatan yang panjang, akhirnya Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti menetapkan status Perairan Teluk Benoa, Kabupaten
Badung, Bali, sebagai Kawasan Konservasi Maritim menindaklanjuti usulan dari
Gubernur Bali Wayan Koster. Penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi
Maritim tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor
46/KEPMEN-KP/2019 tentang KKM Teluk Benoa di Perairan Provinsi Bali
tertanggal 4 Oktober 2019. Dengan demikian kebijakan tersebut sekaligus
membatalkan proyek reklamasi Teluk Benoa.

3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan paper yang telah dibuat, adapun yang dapat disimpulkan yaitu:
1. Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan
tindakan yang memiliki ekonomi kepada pihak lain dengan konsekuensi adanya
tindakan balasan atau pembayaran. TCE mengasumsikan bahwa kontrak dapat
ditegakkan dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang
cukup. Sedangkan Informasi asimetris terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi
memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya.
Umumnya, pihak penjual yang memiliki informasi lebih banyak dibandingkan
pembeli, kondisi sebaliknya juga bisa terjadi.
2. Terdapat empat aspek yang bisa disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis kontrak
(Ménard, 2000:236) yaitu jangka waktu (duration) dari kontrak, derajat kelengkapan
(degree of completeness), yang mencakup variabel-variabel harga, kualitas, aturan
keterlambatan (delay), dan penalti, kontrak biasanya bersinggungan dengan insentif,
prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku.
3. Teori tindakan kolektif pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson (1971),
khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok kepentingan. Tori ini sangat
berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider) dan mendesain jalan
keluar bersama bagi pengelolaan sumber daya bersama atau penyediaan barang-
barang publik.
4. Teori pilihan rasional atau teori tindakan rasional adalah kerangka pemikiran untuk
memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi. Terdapat dua
pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat (strong approach) dan
pendekatan lemah (weak approach) (Miller, 1992;24 dalam Yustika, 2013;90). Dan
Secara garis besar, tindakan kolektif diasumsikan bersumber dari dua pendekatan.
Pertama, keuntungan dari bekerja dalam suatu kelompok akan menggiring ke dalam
situasi yang tidak terhindarkan untuk menciptakan kelompok-kelompok. Kedua,
perilaku maksimalisasi individu dalam jangka pendek akan menuntun individu
melakukan kerjasama atau tindakan kolektif

3
3.2 Saran
Meskipun kelompok kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan paper ini,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami dan sumber yang kami dapatkan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus menghasilkan paper dan karya tulis
yang bermanfaat bagi banyak oran

3
DAFTAR PUSTAKA

CNN Indonesia. (2019, Oktober 19). Menteri Susi Batalkan Reklamasi Teluk Benoa.
Retrieved Maret 24, 2023, from CNNIndonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191010195346-20-438543/menteri-susi-
batalkan-reklamasi-teluk-benoa

Ni Wayan Rainy Priadarsini S., P. R. (2018, Oktober 2). Gerakan Tolak Proyek Reklamasi
Teluk Benoa sebagai Penguatan Identitas Kultural Masyarakat Bali. Jurnal Kajian
Bali, 08, 159-176. Retrieved Maret 24, 2023

Putu Suryadana, P. A. (n.d.). Perilaku Kolektif Masyarakat Adat dalam Terbentuknya


Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa Tahun 2016. Retrieved
Maret 24, 2023

Yustika, A. E., & Novietha, I. S. (2013). Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai