Anda di halaman 1dari 10

EKONOMI KELEMBAGAAN

Paradigma Ekonomi Kelembagaan

Oleh:

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis


Universitas Udayana
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Pada kesempatan ini akan coba dipaparkan secara detail paradigma yang melatari
berdirinya aliran ekonomi kelembagaan. Hal penting yang harus diingat, teori ekonomi
kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi,
yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu
kesatuan analisis. Jadi, pada aras ini, teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi
dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memiliki 2 dimensi yang
harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan (persoalan) negara, ilmu sosial
tidak hanya memiliki daya penjelas atau kapasitas interpretatif, tetapi juga berpotensi
melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila bersinggungan dengan (urusan) masyarakat,
maka ilmu sosial tidak berbicara tentang legitimasi dan delegitimasi, melainkan tentang ilmu-
ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu sosial kritis. Ilmu-ilmu sosial sosial instrumental bisa
dimaknai sebagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang bertujuan akhir pada tindakan, yaitu pada
dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu sosial kritis memiliki tujuan akhir pada
emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam, dengan memerdekakan
kesadaran dari keadaannya yang tidak reflektif (Kleden, 1997:27-28). Dengan pijakan ini,
setidaknya ilmu sosial mengusung satu pesan penting: tidak ada kebenaran tunggal.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 PERILAKU TEKNOLOGIS DAN IDEOLOGIS


Analisis ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan:
Alokasi sumberdaya
Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan produksi dan harga.
Distribusi pendapatan.
Struktur kekuasaan.
Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal yang
direprodiksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada masing-masing generasi
individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk
terhadap perilaku individu.

Para ahli kelembagaan berpendapat bahwa rentang alternative manusia ditentukan


melalui struktur kelembagaan atau konteks dimana mereka lahir, yakni ruang untuk memulai
analisis dengan melihat struktur kelembagaan.
Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model pola yang menjelaskan perilaku
manusiadengan menempatkannya secara cermat dalam konteks kelembagaandan budaya.
Model prediktif menjelaskan perilaku manusia dengan menyatakan secara cermat asumsi-
asumsi dan menarik kesimpulan implikasi dari asumsi tersebut.dalam ekonomi
Neoklasik,prediksi adalah pengambilan keputusan secara logis dari postulat atau asumsi
mendasaryang telah dibuat. Jika prediksi secara logis diperoleh dari sebuah ‘asumsi’ , maka
ramalan biasanya secara statistic berasal dari model yang strukturnya berusaha menangkap
hubungan ekonomi secara nyata.

Ide inti dari paham kelembagaan adalah mengenai kelembagaan, kebiasaan, aturan
dan perkembangannya. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai
perilaku manusia, kelembagaan dan perkembangan sifat dari proses ekonomi menuju ide-ide
dan teori-teori khusus yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesifik. Ekonomi
kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner dan nonprediktif. Jdi dalam hal ini
dunia nyata dianggap merupakan pertarungan kepentingan yang hasilnya sulit untuk dapat
digeneralisasi.

Aliran Veblen membedakan antara perilaku teknologis dan kelembagaan sebagai titik
awal untuk menerangkan kontribusi teoritis dari aliran kelembagaan. Pikiran dan tindakan
teknologis atau instrumental meliputi penjelasan dari sebab ke akibat. Tindakan ini adalah
tindakan yang bukan bersifat kekerasan/paksaan dan menjadi pokok dari verifikasi empiris
tentang kemampuanya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, perilaku kelembagaan
dan seremonial dibengkokkan dengan pertimbangan-pertimbangan peringkat dan status.
Perilaku ini dilakukan dengan tekanan social dan diservikasi melalui kewenangan yang ada.
Aktivitas yang bersifat instrymental yakni upaya untuk menghentikan pemahaman
keilmuan/keilmiahan, merupakan kekuatan dinamis dalam pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, kelembagaan adalah kebiasaan umum dari system status di masyarakat, seperti
kelaziman, hokum, politik, agama, dan moralitas.

Setiap analisis kelembagaan diminta untuk hati-hati dalam merumuskan ‘perilaku’.


Perilaku yang mendasar pada akar tindakan manusia dalam struktur kelembagaan (norma,
pekerjaan, peraturan-peraturan, pemanfaatan, dan keinginan) ketimbang ketimbang keinginan
individual yang banyak dianggap tidak asli atau tidak bisa dipercaya karena sifat subjektif
dan introspektifnya. Behaviorisme memahami keinginan individu , bila harus digunakan
dalam analisis, sebagai suatu keinginan yang muncul dari kelembagaan budaya dimana
individu tersebut lahir. Jadi individu tidak bersiri sendiri, tetapi beralas dari struktur social.
Individu secara terbatas mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan. Dalam hal ini,
Commons mendeskripsikan kepemilikan pribadi bukan sebagai kondisi ‘alamiah’ (‘natural
condition’) tetapi lebih sebagai perkembangan diluar kondisi-kondisi historis dan menjadi
subjek dari control manusia. Pemapanan hak-hak kepemilikan akan memberikan hak
penggunaan dan kekuasaan didalam proses pertukaran, yang semakin meningkat dengan kian
kencangnya proses industrialiasasi dan transaksi-transaksi diantara kelompok-kelompok yang
berkompetisi.

Dengan demikian oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat sebagai mekanisme yang
netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Namun, para ahli
kelembagaan meliahat pasar sebagai mekanisme yang bias dari banyak hal. Dalam hal ini,
pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya
mengontrol, tetapi juga dikontrol.

II.2 REALITAS DAN EVOLUSI

Filsafat kontemporer tentang ilmu pengetahuan telah digunakan untuk memahami


metodologi ahli kelembagaan dan bagaimana kelembagaan ini berbeda dari ekonomi
konvensional. Tentu saja, dalam perspektif ini,tugas utama ekonom modern adalah untuk
memahami, menginterprestasikan, dan menjelaskan kenyataan yang ada di sekitarnya, Tetapi,
tujuan utama ini seringkali memunculkan pertayaan, bagaimana proses penjelasan tersebut
telah menjadi sumber kontroversi yang besar. Pada intinya adalah isu bahwa ilmu
pengetahuan modern dibedakan hanya pada sisi persoalan subjek(subject matter), bukan
dalam metode. Mazhab formal(formalism), yang meliputi positivisme logis dan rasionalisme,
termasuk dalam kubu yang mempunyai pandangan seperti itu,sehingga sebagian besar
ekonomi konvensional masuk kedalam kategori ini. Sebaliknya, aliran Holistik(Holisme),
termasuk model-model pola dan cerita, mengungkapkan keyakinan bahwa perubahan subjek
juga sekaligus memerlukan perubahan metode. Ekonomi kelembagaan, ekonomi politik
radikal,dan marxisme masuk ke dalam kategori ini(Wilber dan Harrison,1988:96). Dengan
kategorisasi ini, metode dalam tradisi ekonomi kelembagaan merupakan hal yang sama
pentingnya dengan subjek itu sendiri. Bahkan,seringkali, subjek merupakan satu kesatuan
dengan metode itu sendiri.

Selanjutnya, subjek dan metode tersebut juga berkaitan dengan data. Robert Heilbroner
menyatakan bahwa bentuk data ekonomi tertentu adalah tidak stabil. Dia mengklasifikasikan
data ekonomi kedalam dua kategori berbeda, pertama, data berhubungan dengan ‘the physical
nature of the production process’, sedangkan yang kedua, data yang berhubungan dengan ‘the
behavioral response to economic stimuli’. Heilbroner kemudian menyatakan bahwa meskipun
data prilaku cenderung menunjukkan tingkat stabilitas jangka panjang yang tinggi karena
pengaruh ‘kebiasaan,adapt,tradisi,dan pemanfaatan masyarakat’,data teknis seperti fungsi
produksi jangka panjang adalah sangat tidak stabil dan tidak mungkin untuk memprediksi
dengan tingkat keakuratan yang memadai. Konsekuensinya, ketidakstabilan data ekonomi
tersebut membuat generalisasi menjadi sangat problematis dan membatasi kemampuan para
ahli ekonomi untuk memprediksi dengan baik (Wilber dan Harrison,1988:101). Oleh karena
itu, prediksi dalam pendekatan ekonomi kelembagaan menempati prioritas buntut, karena
yang dipentingkan adalah kemampuannya menangkap dinamika realitas social dan objek
yang dikaji.
Di lain pihak, seperti yang ditunjukkan oleh Wilber dan Harrison (1988:105), pada sebagian
besar tingkatan analisis ekonomi kelembagaan dapat ditandai dengan adanya cara pandang
yang holistic,sistematis dan evolusioner. Realitas social dilihat lebih dari sekedar seperangkat
relasi-relasi yang spesifik, dimana relitas social dipahami sebagai proses perubahan yang
inheren dalam kelembagaan social, yang kemudian disebut sebagai system ekonomi. Dalam
pengertian ini, proses perubahan social tidaklah murni mekanis. Proses perubahan merupakan
produk dari tindakan manusia, tetapi tindakan yang dibentuk dan terbatas oleh masyarakat
tersebut hanya terjadi dalam konteks dimana tindakan tersebut berlangsung. Dengan
demikian, aliran kelembagaan(institutionalism) bersifat holistic(menyeluruh) karena
memfokuskan pada pola hubungan diantara bagian-bagian keseluruhan. Hal ini juga
sekaligus merupakan tindakan yang evolusioner karena perubahan-perubahan didalam pola
hubungan dilihat sebagai esensi dari relitas social. Pada tingkat yang lebih kongkrit, ekonomi
kelembagaan memberi apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan dan konflik dalam proses
ekonomi. Dengan dasar inilah, ekonomi kelembagaan meletakkan aspek
social,budaya,hukum,politik dan lain-lain ebagai satu kesatuan unit analisis yang tidak dapat
dipisahkan.

Pandangan ini tidak berarti untuk menjustifikasi adanya perbedaan yang luas antara
realitas ekonomi dan model-model ekonomi yang sekarang digunakan untuk memawakili
proses ekonomi secara teoritis. Sebabnya sederhana, proses ekonomi tidak pernah terisolasi.
Proses ekonomi tidak bisa berlangsung tanpa adanya perubahan terus-menerus dengan
mengubah lingkungan secara kumulatif, dan sebaliknya tidak dipengaruhi oleh perubahan
tersebut. Ringkasnya, proses ekonomi dapat dipahami dan harus disajikan dengan tujuan
anlitis sebagai system yang terbuka secara radikal, dimana energi perubahan dan hal-hal yang
terkait dengan lingkungan dalam bidang perubahan kualitatif terjadi, baik berkenaan dengan
lingkungan dan proses itu sendiri.singkatnya proses sosio-ekonomi bergerak dengan arah
yang pasti dan tujuan itu perlu ditetapkan(Kapp,1988a:80-82). Bila proses ekonomi tersebut
dibatasi sekedar sebagai pertukaran motif laba antar pelakunya, maka anlisis ekonomi akan
kehilangan kesempatan untuk memperoleh penjelasan motif-motif non-ekonomi yang
seringkali menjadi basis dari pertukaran ekonomi itu sendiri.

Pada level motivasi. Ekonomi kelembagaan telah mengenal pentingnya prilaku


manusia ‘nonrasioanal’ (nonrational human behavior) dalam pembuatan keputusan ekonomi.
Prilaku haus kepada kekuasaan dan petualangan, rasa kemerdekaan, sifat mementingkan
orang lain, keingintahuan,adat dan kebiasaan semuanya bisa menjadi motivasi yang kuat dari
prilaku ekonomi individu. Lewat pijakan inilah ahli kelembagaan sangat kritis terhadap
asumsi ekonomi neoklasik. Sifat-sifat institutionalisme, yaitu holistic, sistematik, evolutif,
yang dikombinasikan dengan apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan, konflik, dan
pengenalan pentingnya prilaku manusia nonrasional; telah membedakan aliran ekonomi
kelembagaan dengan ekonomi konvensional. Pada titik ini model-model formal dianggap
tidak dapat menangani rentang variabilitas, spesifisitas kelembagaan, dan non-generalisasi
prilaku individu(Wilber dan Harrison, 1988:106). Keluhan inilah yang menjadi titik pijak
pendekatan ekonomi kelembagaan untuk mengembangkan sebuah pandangan baru, yang
menyakini bahwa individu atau kelompok bergerak tidak hanya dengan motif tunggal: laba
(ekonomi). Sebaliknya, individu atau kelompok merupakan entitas yang memiliki
multiekspektasi dan hal itu menjadi dasar bagi mereka untuk mengambil keputusan.
Semuanya itu kemudian dirangkum oleh Rutherford (1994:52), yang mempercayai bahwa
tindakan individu/kelompok dipengaruhi oleh kedua factor tersebut, yakni rasionalitas dan
norma (nonrational). Dalam pendekatan NIE, aturan-aturan (rules) yang dibuat diharapkan
bisa membantu individu untuk bertindak secara rasional. Namun, sebaliknya bisa pula aturan-
aturan tersebut mengikuti tindakan-tindakan yang rasional yang dilakukan individu. Dalam
posisi seperti ini, terdapat jalur untuk membuat kompromi. Alternatifnya, sebagian dari
aturan main tersebut tidak harus bisa dijelaskan secara rasional, sehingga tindakan individu
dapat dilihat dari kemungkinan tersebut: rasional dan non-rasional. Pada titik ini, masalah
yang muncul bukan pada pemilihan satu model terhadap model lain, melainkan memahami
bagaimana rasionalitas dan aturan tersebut bisa saling berhubungan: apakah masing-masing
berjalan sendiri ataukah dikombinasikan. Meminjam istilah Elster (dalm Rutherford,1994:52)
pencapaian tersebut dalam banyak hal merupakan hasil kompromi diantara dua hal diatas:
kadang-kadang tindakan rasional menghalangi norma social, dan seringkali pula norma social
merintangi keputusan rasional. Tetapi apapun hasilnya, memang tidaklah mungkin
merangkum sekian banyak kemungkinan motif yang saling berpilin-pindan dari setiap
individu atau kelompok hanya dengan variabel tunggal, yang dalam hal ini disebut sebagai
tindakan rasional (motif ekonomi).

Miyrdal (dalam Kapp, 1998b:75-78) dan yang lain telah menunjukkan dimensi dan
kompleksitas yang beanr tentang, misalnya, masalah kemiskinan/keterbelakangan dalam
hubungannya dengan kelembagaan, negara lunak (soft state), isu mendasar mengenai
hubungan antara manusia dan lahan yang meliputi hubungan penguasaan lahan, relasi antara
sumberdaya dan populasi, kemampuan baca tulis, tingkat dan substansi pendidikan rendah,
kesehatan dan gizi yang buruk, pengetahuan teknis yang kurang ilmiah, sikap tradisional,
system nilai, kelas, system pergaulan dan kasta, dan efek dominasi atau masalah lingkungan
dengan dampak dramatisnya terhadap masalah perdagangan. Myrdal melihat kondisi-kondisi
tersebut sebagai kondisi yang relevan untuk analisis dan interpretasi proses terjadinya
keterbelakangan, yaitu produktivitas(output/pekerja; pendapatan/populasi); kondisi produksi
(teknik,skala,intensitas modal, penghematan dan investasi,ongkos social, pemanfaatan
pekerja, dan pekerjaan); tingkat kehidupan (gizi,perumahan,kebersihan,perhatian kesehatan,
pendidikan dan pelatihan, kemampuan baca tulis, dan distribusi pendapatan); sikap terhadap
produksi, pekerja dan kehidupan (disiplin,ketepatan waktu, prasangka, apatis,tinjauan
dunia,agama, tidak adanya control kelahiran, dan sebagainya); kelembagaan (hubungan
manusia dengan tanah, kondisi pekerjaan, struktur pasar, kelas, system pergaulan dan kasta,
struktur nasional dan pemerintah local, administrasi dan sebagainya), kebijakan dan legislasi
(kurangnya penyelenggaraan hokum, perpajakan, mobilisasi nyata dan surplus
potensial).Tidak perlu dikatakan, bahwa semua ini tidak mewakili daftar factor-faktor dan
kondisi relevan yang lengkap, namun harus dipahami bahwa daftar tersebut dapat
dikelompokkan dengan cara berbeda tergantung pada masalah dan daerah yang harus
diselidiki.

Ahli kelembagaan telah menemukan konsep yang menyeluruh untuk


mempertimbangkan tentang kekuasaan, konflik, distribusi, hubungan social, kelembagaan
dan proses non pasar, dan yang lain daripada model-model formal. Namun demikian tetap
terdapat beberapa keterbatasan menyangkut pendekatan holisme ini (Wilber dan Harrison,
1988:117-118). Pertama, karena kurangnya ketepatan (lack of precision), penggunaan konsep
holistic harus dimonitor secara terus-menerus dengan referensi dari observasi, kasus-kasus,
dan contoh-contoh. Holisme yang dipisahkan dari basis empirisnya mudah akan menjadi
rentan dan spekulasi menjadi tidak terkontrol, sehingga ahli kelembagaan tidak boleh keluar
dari sifat ini. Kedua, bahwa ketidaktepatan dan generalisasi konsep holistic menyebabkan
verifikasi definitive hipotesis tidak mungkin dilakukan. Samuelson menyatakan “ pendekatan
holistic merupakan hal yang tidak mudah diterapkan dalam konsep ekonomi karena; 1)
spesifikasi; 2) dipisahkan dari masyarakat lain; dan 3) dibuat untuk tujuan analitis yang bisa
dikelola, dimana hal ini tentu berbeda dengan tujuan yang dibuat untuk tujuan pengujian”.
Akibatnya, ahli kelembagaan yang menggunakan teori-teori holistic harus menyediakan
ruang bahwa teori-teori ini selalu bersifat sementara dan menjadi subjek untuk perubahan.
Sekilas, pendekatan umum yang dijelaskan diatas tampak cukup jelas, tidak perlu menambah
yang baru. Namun, demi pemahaman yang lebih rinci, beberapa poin dapat dibuat untuk
menanggapi penegasan ini (Hudgson, 1998:173). Pertama, terdapat derajat pemberian
penekanan pada factor-faktor kelembagaan dan budaya yang tidak ditemukan dalam teori
ekonomi. Kedua, analisis kelembagaan bersifat interdisipliner, khususnya dalam mengenali
tinjauan politik,sosiologi,psikologi,dan ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, tidak ada sumber-sumber
untuk penyususunan model agen/pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan.
Keempat, teknik matematis dan statistic dianggap sebagai pelayanan teori ekonomi
ketimbang esensi dari teori ekonomi sendiri. Kelima, analisis tersebut tidak dimulai dengan
membangun model-model matematis, namun diawali dengan gaya fakta dan dugaan teoritis
mengenai mekanisme sebab-akibat. Keenam, pemanfaatan harus dibuat dari bahan empiris
historis dan komparatif mengenai kelembagaan sosioekonomi. Pernyataan-pernyataan
tersebut merupakan basis metodologis yang menjadi kerangka analisis pendekatan ilmu
kelembagaan. Dengan dasar metodologis tersebut, perspektif ekonomi kelembagaan
menyakini bahwa struktur dan prilaku masyarakat harus mendapatkan ruang yang lebar
dalam setiap anlisis ekonomi.
II.3 METODE KUALITATIF: PARTIKULARITAS dan SUBYEKTIVITAS

Memahami individu atau masyarakat tidak hanya soal ”subyek” tetapi juga ”metode”.
Metode itulah yang akan membawa kepada ”kebenaran” dan kebenaran inilah yang hendak
giuji dalam dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yaitu metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif.

Metode penelitian kuantitatif ini terdiri dari tiga permis : general, obyektif, dan
prediktif (terukur). Pendekatan ini percaya bahwa fenomena sosial berlaku secara universal
dan setiap tindakan-tindakan individu merupakan turunan (derivasi) dari perilaku kumpulan
individu. Sebaliknya, penelitian kualitatif dimengerti dengan tiga premis yang berlawanan
dengan kuantitatif, yaitu : partikular, subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang
menjadi dasar dari konstruksi penelitian kualitatif, yang sekaligus menjadi metode analisis
ekonomi kelembagaan.

Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan


menurut pendekatan epistemologinya. Metode kualitatif bersandar pada pendekatan
interpretatif sedangkan metode kuantitatif bersandar pada pendekatan positivistik (Meetoo
dan Temple, 2003:5).

Apabila pendekatan interpretatif dikaitkan dengan peneliti maka fokusnya adalah


persoalan subyektifitas. Jika pendekatan interpretatif dihubungkan dengan obyek penelitian
maka fokusnya adalah masalah partikularitas. Asas partikularitas berlalu apabila struktur
sosialnya berbeda. Apabila penelitian kualitatif ”gagap” dalam menjelaskan suatu fenomena,
maka hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan ilmiah untuk disampaikan kepada
masyarakat dengan kata lain telah gagal menjalankan fungsinya.
Hubungan partikularitas dengan kapasitas penjelas : Penelitian kualitatif selalu berupaya
untuk menjelaskan temuan yang diberikan tanpa meramalkan kejadian dimasa depan. Dan
penjelasan dalam penelitian kualitatif selalu bersinggungan dengan latar sosial tertentu
(partikular) dan tidak berlaku untuk segala latar belakang sosial (universal).
Setiap penelitian harus berurusan dengan representasi, yakni pilihan dan jumlah sampel yang
dipakai. Pada penelitian kualitatif tidak berbicara mengenai jumlah namun langsung
menunjuk pada penggunaan satu daerah, komunitas, kellompok, dan lain-lain sebagai sampel
penelitian. Hal tersebut berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menganggap sampel
mewakili gambaran populasi, sehingga ”jumlah” sangat mempengaruhi layak tidaknya
sampel tersebut menjadi representasi populasi.

Dalam akademik, nilai keilmiahan biasanya diukur dengan pendekatan ”nomotetik”


(hukum obyektifitas dan universal) dan pendekatan ”idiosinkratik” (tidak ada kebenaran
tunggal) [Irwan, 1997:xxiii]. Dalam pendekatan idiosinkratik, selama proses penelitian
seorang peneliti dinggap telah membawa nilai-nilai tertentu (seperti ideologi, agama, budaya,
tradisis, dan lain-lain) yang kemudian digunakan untuk memaknai data atau fakta yang
diperoleh.

Apakah yang disebut dengan obyektifitas? : Obyektifitas dapat di pandang sebagai


hasil belajar manusia, yang mempresentasikan tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang
mungkin ada (Wallerstein, 1997:142). Dengan dasar itu, ilmu ekonomi beranggapan dapat
menyajikan suatu penilaian yang obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta.
Penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur
(measureable) dan membandingkan (comparable) atas data-data yang dimilik
II.4 NONPREDIKTIF: NILAI GUNA DAN LIABILITAS DATA

Membedakan Penelitian kuantitatif dan kualitatif berdasarkan sifat prediktif dan non
prediktif bahwa penelitian kuantitatif biasanya berujung pada peramalan tentang
kemungkinan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi akibat adanya pemantik yang diberikan.
Misalnya peneliti bisa memperkirakan berapa jumlah orang miskin yang berkurang apabila
subsidi pendidikan dan kesehatan diberikan kepada masyarakat. Sebaliknya, penelitian
kualitatif tidak tertarik untuk menyodorkan daya ramal tersebut, tetapi justru berkonsentrasi
untuk menyajikan karakter sebuah masalah atau fenomena. Sebagai contoh, peneliti lebih
tertarik untuk meminta pemdapat kaum miskin tentang relevansi subsidi untuk peningkatan
kesejahteraan merek. Dengan model ini peneliti lebih tergerak untuk memberikan informasi
dari pada prediksi.

Penelitian kualitatif lebih banyak merujuk kepada pemaknaan konsep, definisi, karakt
eristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. sebaliknya, penelitian kantitatif
berkonsentrasi untuk mnghitung dan mngukur sesuatu berg (dalam erani). penelitian
kualitatif dan kuantitatif berlainan dimana yang pertama memberikan penjelasan dan yang
kedua menyodorkan ramalan.

Ada dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak berminat meramalkan kejadian di
masa depan yang pertama pada tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus
tahu tentang kejadian dimasa depan, seberapa besarnya peluang untuk melakukan itu. yang
kedua pada tatanan pragmatis nilai guna sebuah penelitian bukan terletak pada
kemampuannya untuk memprediksi, melainkan kesanggupannya untuk mnyodorkan
pemahaman-pemahaman baru melalui analisis yang mendalam (ilmiah).
Sifat penelitian yang fokus kepada penjelasan harus dipahami sebagai atas pilihan metode
subyektif untuk mngenali fakta seperti diketahui pendekatan subyektif mengasumsikan
bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat subyektif dan sifat yang tetap melainkan bersifat
interpretif. Lebih khusus lagi dikatakan Jalbert (mulyana dalam erani ) realitas sosial
dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial yang bersifat komunikatif dengan dasar metode
sunyektif inilah sebuah pengukuran menjadi “mustahil” dilakuakan, sebab didalam
pengukuran implisit terdapat obyektifitas atau setidaknya didalam pengukuran terdapat
sebuah kestabilan.

Sifat non prediktif itu dengan sendirinya menjadi ukuran sampai sejauh mana
penelitian kualitatif sanggup untuk memfungsikan dirinya. jika penelitian kualitatif tidak
mampu memberikan gambaran bagi masyarakat (pemerintah) tentang efek suatu kebijakan
maka keberadaannya masih bisa dimaklumi. namun apabila penelitian kualitatif gagal
memberikan makna atau kesadaran atas peristiwa sosial yang menjadi obyek penelitian maka
eksistensinya boleh diakatakan telah runtuh. hal ini jelas berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang kekuatnnya justru terletak pada daya ramal, walaupun dengan hanya
mengandalkan fakta-fakta atau data-data yang sangat sederhana. Bahkan, bila data atau fakta
yang terdapat dalam obyek penelitian teramat banyak atau sebagian tidak bisa dikuantifikasi
maka penelitian kuantitatif membolehkan data tersebut dibuang agar sebuah ramalan dapat
diambil.
Heilbroner (Wilber dan Harrison dalam erani) membagi data ekonomi dalam dua katergori :
Data yang berkaitan dengan sifat fisik dari proses produksi (The physical nature natural off
production process)

Data yang berhubungan dengan respon perilaku atas kebjakan ekonomi (The
behavioral respons to economic stimuli), meskipun jenis data yang terkahir ini lebih stabil
karena munculnya watak, tradisi dan kepercayaan didalam masyarakat tetap saja dala jangka
panjang data-data tersebut akan mengalami perubahan (evolusi). Dengan keyakinan inilah
penelitian kualitatif tetap teguh dengan premis yang di usungnya hingga kini bahwa yang
terpenting bukanlah ramalan melainkan penjelasan.
Hubungan antara pendekatan ekonomi kelembagaan dengan pendekatan kualitatif lebih
mudah dipetakan, pendekatan ekonomi kelembagaan memberikan jalan keluar bagaimana
cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks sedangkan penelitian kualitatif
mnyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akiabat dari proses social
tersebut.

Meskipun begitu penelitian kuantitatif tidak haram digunakan dalam analisis ekonomi
kelembagaan. sampai batas tertentu ukuran-ukuran yang mungkin dikuantifikasi tetap
bermanfaat sebagai analisis ekonomi kelembagaan. misalnya, ukuran efisiensi dalam
ekonomi kelembagaan bisa dilacak dari biaya transaksi yang muncul. semakin besar biaya
transaksi yang muncul dari pertykaran berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisian,
untuk tiba pada kesimpulan efisien atau inefisien itulah seringkali dibutuhkan pengukuran
(angaka).
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Ahmad Erani Yustika,Ekonomi Kelembagaan; definisi,teori,dan strategi. Edisi Kedua,


Malang: Banyumedia Publishing, 2008

Anda mungkin juga menyukai