Disusun oleh :
Kondisi ekonomi global tahun 2007-2008 diawali dengan Krisi keuangan Amerika Serikat
yang dipicu oleh kolapsnya subprime mortgage pada agustus 2007. Tingkat suku bunga yang
rendah mendorong pertumbuhan kredit dan akumulasi resiko yang berlebihan. Krisis keuangan
global yang berawal dari Amerika Serikat memaksa banyak negara maju mengeluarkan biaya
besar untuk mengatasi krisis tersebut. Biaya pemulihan yang begitu besar, membuat bank sentral
Bersama pemerintah membuat Langkah-langkah untuk mencegah krisis (preventive measures).
Dengan melakukan evaluasi dan memperbaiki kebijakan serta peraturan yang ada dalam sistem
keuangan untuk membentuk sisitem keuangan yang kredibel dan lebih berdaya tahan. Termasuk
dalam penyempurnaan kebijakan mikroprudensial dan pengembangan kebijakan makroprudensial.
Kebijakan stabilitas harga ternyata tidak cukup untuk mewujudkan stabilitas makroekonomi dan
mencegah terjadinya krisis keuangan. Sementara itu, kebijakan mikroprudensial yang diterapkan
pada institusi keuangan hanya memfokuskan pada upaya untuk menjaga kelangsungan usaha dan
Kesehatan individual institusi keuangan. Kebijakan makroprudensial tidak dapat merespon potensi
interconnectedness antar intitusi keuangan yang menimbulkan akumulasi resiko sistemik dan
instabilitas di sistem keuangan.
Stabilitas sistem keuangan adalah kondisi dimana sisitem keuangan yang berfungsi efektif dan
efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negri dan luar negri.
Terdapat 5 aspek yang perlu ditekankan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan
mencegah Krisis. Pertama yaitu Kesehatan individual Lembaga keuangan sangat penting tapi tidak
cukup mencegah terjadinya resiko sistematik. Oleh karean itu, keterkaitan makro-finansial dari
sistem keuangan dengan aktivitas perekonomian akan lebih besar dampaknya pada pencapian
stabilitas sistem keuangan dibandingkan dengan Kesehatan individual Lembaga keuangan.
Kedua sejarah menunjukan empat jenis faktor dengan makro-finasial yang menyebabkan krisis
yaitu asset bubbles, credit boom, akumulasi hutang secara berlebihan dan capital outflow secara
tiba-tiba. Hal ini menyebakan prosiklikalitas keuangan, yaitu terjadinya akselerasi pada
pertumbuhan ekonomi selama terjadinya ekspansi ekonomi. Apabila fenomena prosiklikalitas
tidak dikelola dengan baik akan mempercepat terjadinya boom-bust yang dapat berujun pada
krisis.
Keempat, krisis dapat dipicu dari kegagalan suatu Lembaga keuangan. Kelima, puncak dari
krisis secara luas terjadi pada saat interkoneksi dan jejaring keuangan terjadi bersamaan dengan
perilaku breding behavior dan information contagion.
Otoritas pengawas perbankan dan jasa keuangan bertanggung jawab atas Kesehatan individual
Lembaga keuangan melalui pengaturan dan pengawasan kebijakan mikroprudensial. Bank sentral
bertanggung jawab dalam pengaturan dan pengawasan kebijakan makroprudensial untuk
memitigasi resiko sistemik dari sistem keuangan, dan sebagai lender of the last resort. Lemabaga
asuransi deposito berperan penting dalam mengatasi resiko penyebaran informasi dari bank run
untuk pelindungan para deposan. Pemerintah, melalui kementrian keuangan, perlu pemimpin
koordinasi stabilitas keuangan ditingkat nasional untuk mencegah agar tidak menimbulkan krisis
perekonomian.
Prosiklikalitas adalah perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian tumbuh lebih
cepat Ketika ekspansi memperlemah perekonomian Ketika siklus kontraksi. Perilaku
prosiklikalitas pada sistem keuangan mningkatkan ketidakstabilan makroekonomi dengan
menciptakan kondisi output yang fluktuatif. Perilaku prosiklikalitas sector keuangan secara
inheran dapat muncul beberapa faktor sepeerti informasi asimetris dan siklus perilaku terhadap
resiko.
Adanya informasi asimetris ini mendorong adanya financial accelerator yaitu suatu kondisi
dimana perekonomian mengalami kontraksi disertai menurunnya nilai kolateral, yang
mengakibatkan perusahaan berkualitas baik dengan proyek menguntungkan akan sulit
mendapatkan kredit. Sebaliknya Ketika nilai koleteral naik, maka perusahaan Kembali
mendapatkan akses bank dan menambah stimulus pada perekonomian. Prisiklikalitas bukan hanya
hasil interaksi antara siklus ekonomi/bisnis (business cycle) dan siklus keuangan (financial cycle).
Namun juga dipengaruhi oleh siklus perilaku terhadap resiko. Yaitu perilaku yang ditandai oleh
optimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi membaik dan pesimisme yang berlebihan ketika
siklus ekonomi memburuk. siklus bisnis ditandai dengan ekspansi ketika perekonomian
mengalami fase pertumbuhan dan kontraksi ketika Perekonomian mengalami fase
Pelemahan. siklus keuangan ditandai oleh perilaku perbankan yang lebih ekspansif tercermin dari
peningkatan leverage yang sejalan dengan fase ekspansi Pada siklus bisnis.
sebaliknya, perilaku perbankan menjadi lebih konservatif ditandai dengan deleveraging yang
sejalan dengan fase kontraksi Pada siklus bisnis interaksi antara siklus bisnis dan siklus keuangan
Ditentukan oleh siklus perilaku agen ekonomi terhadap risiko (risk taking cycle) Yang juga
dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perekonomian ke depan persepsi risiko, regulasi, dan
insentif. perubahan perilaku terhadap resiko ini menjelaskan hal yang melatarbelakangi perubahan
perilaku investor yang berasal dari sangat optimis ketika resiko rendah menjadi sangat pesimis
dengan menghindari resiko. perubahan terhadap pengambilan risiko ini mendasari perubahan yang
terjadi secara tiba-tiba dari aktivitas di sistem keuangan dan aktivitas perekonomian.
Keberlangsungan prosiklikalitas juga bisa terjadi sejalan dengan karakteristik regulasi di sektor
keuangan yang bersifat prosiklikal misalnya, Aturan permodalan dan pencadangan risiko yang
menetapkan persyaratan yang lebih lunak kepada perbankan dalam situasi ekonomi yang membaik
atau dalam fase ekspansif. Selain itu, Standar akuntansi juga turut memicu prosiklikal Itas.
5.3 Tinjauan konseptual kebijakan makroprudensial
5.3.1 konsep dan karakteristik kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang berbeda dari kebijakan lainnya, karena
memiliki karakteristik yang unik yang membedakan kebijakan ini dengan kebijakan lainnya
karakteristik tersebut antara lain:
1. Memiliki tujuan utama mitigasi risiko sistemik
2. memiliki ruang lingkup sistem keuangan secara keseluruhan
3. an memiliki piranti Prudential atau piranti moneter
4. memiliki interaksi dengan kebijakan lainnya
5. mencakup dimensi cross section dan time series
5.3.2 instrumen kebijakan makroprudensial
Instrumen kebijakan makroprudensial telah diterapkan oleh bank sentral dalam artian lebih luas.
beberapa instrumen yang sebelumnya lebih dikenal sebagai instrumen moneter juga digunakan
untuk mencegah risiko sistemik dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam siklus kegiatan
ekonomi, khususnya untuk sektor-sektor ekonomi tertentu. instrumen kebijakan tersebut juga tidak
hanya difokuskan untuk menangani Resiko yang terjadi pada individual bank. oleh karena itu, tu
instrumen tersebut dapat dikategorikan sebagai instrumen kebijakan makroprudensial.
Berbagai jenis instrumen kebijakan makroprudensial dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan
perumusan kebijakan, kan kategori kebijakan yang akan dirumuskan, dan pendekatan penggunaan
instrumen.
D. Rule vs Direction.
Untuk mencapai tujuan terkait selain tujuan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan beserta
instrumen kebijakan yang dapat digunakan salah satu Aspek penting yang lain yang
dirumuskan dalam kerangka kerja kebijakan makroprudensial adalah respons kebijakan.
Kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam sistem keuangan mencakup kebijakan
mikroprudensial dan kebijakan makroprudensial. pada dasarnya kedua kebijakan tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain secara umum, kebijakan
makroprudensial berfokus untuk melakukan pemantauan dalam menjaga kestabilitasan sistem
keuangan secara keseluruhan guna menghindari terjadinya risiko sistemik. sementara itu,
kebijakan mikroprudensial lebih menekankan kepada pemantauan dalam menjaga stabilitas
institusi keuangan secara individu untuk mempertahankan kesehatan dan pertahanan individu
lembaga keuangan. Dalam implementasinya, bauran antara kebijakan mungkin terjadi.
dalam hal transmisi kebijakan, kebijakan makroprudensial relatif memiliki transmisi secara
langsung daripada kebijakan moneter. transmisi kebijakan moneter relatif lebih kompleks serta
membutuhkan waktu yang lebih lama hingga dampaknya dirasakan oleh agen ekonomi, sedangkan
kebijakan makroprudensial memiliki target yang jelas serta memiliki dampak implementasi yang
cepat dirasakan oleh institusi keuangan.
Sejak tahun 2003 Bank Indonesia mulai berperan aktif dalam mendorong terciptanya
stabilitas sistem keuangan di Indonesia, antara lain melalui penyusunan blueprint stabilitas sistem
keuangan Indonesia.
Peranbank Indonesia dalam menjalankan fungsi makroprudensial secara eksplisit terdapat dalam
undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan( OJK).
Tugas pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan perbankan mikroprudensial yang
meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatianDan pemeriksaan bank dialihkan dari Bank
Indonesia ke OJK. sementara itu, Bank Indonesia tetap Bank Indonesia tetap memiliki tugas
Pengaturan perbankan terkait aspek makroprudensial.
Dalam kapasitasnya sebagai otoritas makroprudensial Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang termasuk kategori systemically
important bank Sesuai Kewenangan bank Indonesia di bidang makroprudensial.
Mandat kebijakan makroprudensial Tercantum dalam UU OJK nomor 21 Tahun 2011 tentang
OJK khususnya pada pasal 7 dan pasal 40. secara terperinci pasal-pasal tersebut mengatur hal-hal
sebagai berikut.
1. Penjelasan pasal 7
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian dan
pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi
tugas dan wewenang OJK Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial, yakni
pengaturan dan pengawasan selain yang diatur dalam pasal ini merupakan tugas dan wewenang
Bank Indonesia. dalam rangka pengaturan dan pengawasan makroprudensial, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral kepada perbankan.
2. Pasal 40
untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya Bank Indonesia memerlukan pemeriksaan
khusus terhadap bank tertentu kepada OJK.
3. Penjelasan pasal 40
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. namun saat Bank
Indonesia melaksanakan fungs,i tugas dan wewenang membutuhkan informasi melalui kegiatan
pemeriksaan Bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank
tertentu yang masuk systemicallyi important bank sesuai dengan Kewenangan bank Indonesia di
bidang makroprudensial.
Mandat Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan makroprudensial juga dijelaskan pada
ketentuan perundang-undangan sebagai berikut yaitu undang-undang nomor 9 tahun 2016 tanggal
15 April 2016 tentang pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, peraturan Bank
Indonesia No 16/11/PBI/2014 tanggal 1 juli 2014 Tentang pengawasan dan pengaturan
makroprudensial.
dapat disimpulkan bahwa wewenang Bank Indonesia mencakup pengawasan makroprudensial dan
pengaturan makroprudensial.
a. Memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan.
b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, resiko likuiditas,
risiko nilai tukar dan risiko suku bunga serta resiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko
sistemik
c. membatasi konsentrasi exposure memperkuat ketahanan infrastruktur
d. keuanganmeningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan
secara garis besar pengawasan makroprudensial dilakukan dengan kegiatan pengawasan sistem
keuangan, dan pemeriksaan terhadap bank yang memiliki common exposure yang berpotensi
memberikan dampak sistemik.
Dalam melaksanakan kebijakan makroprudensial bank Indonesia perlu memiliki kerangka yang
jelas, tepat serta transparan. kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman dalam Bank
Indonesia dalam menjalankan kewenangan serta mencapai kestabilan sistem keuangan.
penetapan kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia terdapat pada peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimana
hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan fungsi dan tugas bank
Indonesia di bidang makroprudensial dalam rangka:
1. mencegah dan mengurangi risiko sistemik
2. intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas
3. meningkatkan efisiensi sistem keuangan, akses keuangan dan UMKM.
1. Resiko Sistemik dan Pencegahannya
Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular pada
sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha. ,
keterkaitan antar institusi dan pasar keuangan an-nasr tak kecenderungan perilaku yang berlebihan
dari perilaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian.
a. Sumber potensi resiko (origin)
1. Endogenous. Mencerminkan potensi Resiko yang berasal dari dalam sistem keuangan.
misalnya indikator kinerja institusi keuangan.
2. Exogenus. Mencerminkan potensi Resiko yang berasal dari luar sistem keuangan tetapi
secara langsung maupun tidak langsung berpotensi untuk mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan. misalnya variabel makroekonomi, indikator kinerja sektor riil.
Bank indonesia setidaknya telah mengeluarkan 4 ketentuan yang merupakan instrumen kebijakan
makroprudensial yang mengacu kepada peraturan bank indonesia ( PBI ) No.16/11/PBI/2014
tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial yakni sebagai berikut:
LTV merupakn instrumen kebijakan makroprudensial yang bersifat credit-related dan bertujuan
untuk meredam resiko sistematik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang sampai
40% serta tingkat kegagaln nasabah kredit kendaraan bermotor untuk memenuhi kewajiban yang
pada saat itu mencapai hampir 10% dari sudut pandang makroprudensial.
Sesuai SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 september 2013, bank indonesia melakukan desain
ulang atas kebijakan tsbmelalui surat edaran mengenai penerapan manajemen resiko pada bank
yang melakukan kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi
beragun properti , atau pembiayaan kendaraan bermotor penyesuaia dilakukan untuk lebih
meningkatkan aspek kehati-hatian bank dalam penyaluran kredit properti.
Pada tahun 2018 guna menyesuaikan kondisi perekonomian di indonesia dan mematangkan
kebijakan instrumen makroprudensial, bank indonesia kembali menyempurnakan ketentuan LTV
dengan menerbitkan peraturan bank indonesia No. 20/8/PBI/2018. Pada ketentuan ini , besaran
ratio LTV untuk kepemilikan rumah pertama diserahkan kepada bank. Artinya, bank dapat
memberlakukan rasio LTV 0% jika memang memiliki keyakinan kepada nasabah KPR Yang akan
membeli Rumah Untuk pertama kalinya dan managemen resiko bank mendukung hal tersebut.
RIM merupakan pengembangan dari kebijakan makroprudensial sebelumnya yaitu loan to funding
ratio (LFR). Berdasarkan PBI no 20/04/PBI/2018 menyatakan bahwa RIM adalah rasio hasil
perbandingan antara kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga korporasi
dalam rupiah dan valuta asing yang memiliki persyaratan tertentu yang dimiliki bank atau DPK
dalam betuk Giro, tabungan, dan simpanan berjangka.
Parameter dalam pemenuhan giro RIM atau Giro RIM syariah adalah sebagai berikut :
PLM sebagai aspek penguatan aspek pada sisi likuiditas berdasarkan peraturan bank indonesia No
20/04/PBI/2014 tentang RIM dan PLM, PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah
yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang besarnya ditetapkan BI sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam rupiah.
a. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta
bersaing secara nasional maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk
menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang
berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan Bank sesuai dengan standar
internasional yang berlaku yaitu Basel III.
Perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal dalam rangka peningkatan kualitas
permodalan yang diatur dalam ketentuan ini antara lain: a. Komponen modal inti (Tier 1) yang
terdiri atas: 1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi
dalam bentuk saham biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran
dividen/imbal hasil. 2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen
modal inovatif yang berupa saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak
memiliki jangka waktu, pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak
memiliki fitur step up. b. Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat
subordinasi, memiliki jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step
up.
3. Berapa modal inti dan modal inti utama minimum yang harus dipenuhi oleh Bank?
Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam) persen dari ATMR
dan modal inti utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima)
persen dari ATMR baik secara individual maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Bank
wajib memenuhi rasio modal inti minimum dan modal inti utama minimum paling lambat tanggal
1 Januari 2014.
a. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)
apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
b. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengantisipasi kerugian
apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu
stabilitas sistem keuangan.
c. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) adalah tambahan
modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan
kemampuan Bank dalam menyerap kerugian.
5. Berapa besarnya tambahan modal sebagai penyangga (buffer) yang wajib dibentuk oleh
Bank? Besarnya tambahan modal yang wajib dibentuk oleh Bank adalah sebagai berikut:
a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank
yang tergolong dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya
secara bertahap;
b. Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma
lima persen) dari ATMR bagi seluruh Bank; dan
c. Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5%
(dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.
Kerjasama dan koordinasi antar otoritas sistem keuangan dilakukan baik secara bilateral maupun
trilateral, dalam rangka melakukan harmonisasi kebijakan, pertukaran data dan/atau informasi,
serta kepentingan koordinasi lainnya. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal
65 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. Selain penempatan ADK Ex-officio, kerja
sama dan koordinasi antar otoritas tersebut dilakukan mulai dari level pimpinan lembaga hingga
level teknis. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama dan
berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan , Otoritas Jasa Keuangan , dan Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang akan disampaikan lebih detil pada
Protokol Manajemen Krisis.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepakat meningkatkan
kerjasama dan koordinasi dalam mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas kedua lembaga.
Peningkatan koordinasi dan kerjasama antara LPS dan OJK ini ditandai dengan penandatanganan
perpanjangan Nota Kesepahaman antara Halim Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner LPS; dengan
Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, yang dilakukan pada Rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Senin malam (28/1).
Pembaharuan nota kesepahaman bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja sama dan
koordinasi dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugas OJK dan LPS, serta penyesuaian dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU PPKSK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan.
1. Peningkatan koordinasi antara OJK dan LPS, antara lain dalam rangka:
d. Penanganan atau penyelesaian bank dengan status "Tbk" dan penerbitan surat
berharga
2. Penanganan Bank Sistemik yang diserahkan oleh KSSK kepada LPS berdasarkan UU LPS dan
UU PPKSK
3. LPS dapat melakukan due diligence, baik Bank Sistemik atau Bank Selain Bank Sistemik yang
berstatus Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), dengan syarat dan kondisi tertentu
5. Percepatan jangka waktu penyampaian informasi antara OJK dan LPS terkait Bank Sistemik
dan Bank Selain Bank Sistemik, baik dalam status BDPI dan Bank Dalam Pengawasan Khusus
(BDPK)
6. Pemberian dukungan OJK kepada LPS dalam pelaksanaan Program Restrukturisasi Perbankan
A. Kesimpulan Bank
Merupakan suatu badan usaha di bidang keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, bank melakukan berbagai kegiatan dalam
bidang keuangan salah satunya adalah pemberian fasilitas kredit. Selain sebagai sumber
pendapatan bank, kredit juga berfungsi untuk membantu masyarakat untuk membiayai entah
proyek, modal kerja, ataupun barang konsumtif. Dalam perjanjian kredit, tiap pihak yaitu bank dan
nasabah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kredit akan bermasalah jika nasabah
tidak bisa membayar kewajibannya tepat waktu. Jika terdapat banyak kredit macet maka hal
tersebut akan menghambat kinerja bank bahkan sampai bangkrut. Bank yang bermasalah tersebut
memiliki dampak yang besar juga terhadap keuangan negara seperti jatuhnya mata uang negara
seperti krisis moneter yang terjadi di Negara Indonesia pada tanggal 1998. Agar dapat menjalankan
prinsip kehati-hatian dalam perkreditan dengan baik, setiap bank di Indonesia diatur dan diawasi
oleh Bank Indonesia sesuai dengan pasal 8 huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia. Setiap bank di Indonesia wajib menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip
kehati-hatian yang telah di tetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Prinsip kehati-hatian bank tidak hanya berdasarkan analisis nasabah dengan cara 5C dan 4P, tetapi
juga sebagaimana bank patuh terhadap KPB sesuai dengan diatur dalam SK Direktur Bank
Indonesia nomor 27/162/KEP,/DIR., 31 Maret 1995 tentang PPKPB. Selain menjalankan KPB
dengan benar, bank juga harus mencantumkan pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses
perkreditan dimana pejabat tersebut harus memiliki integritas, kemampuan, dan tanggung jawab
yang tinggi. Pemberian fasilitas kredit kepada nasabah selalu memiliki risiko yang kadang tidak
bisa diprediksikan. Ketika terjadi kredit macet, diatur beberapa kebijakan dalam penyelamatan
kredit macet sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993
yaitu Rescheduling, Reconditioning, dan Restructuring. Selain dengan cara diatas, bank juga dapat
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kredit bermasalah sesuai dalam
pasal 7 huruf c Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penanganan kredit
bermasalah dapat dilakukan melalui beberapa institusi yaitu BUPLN dan proses litigasi di
pengadilan . Penyelesaian melalui proses litigasi yaitu dengan cara eksekusi jaminan yang telah
diperjanjikan sebelumnya di perjanjian kredit. Tetapi kadangkala proses litigasi ini memakan
waktu yang lama sehingga membutuhkan bantuan dari Lembaga Paksa Badan sesuai yang diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.
Tetapi jika kredit bermasalah disebabkan oleh pejabat yang terlibat dalam kegiatan perkreditan
tidak menjalankan prinsip kehati-hatian, terdapat sanksi yang telah diatur dalam pasal 46 – 52
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.