Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

STABILITAS KEUANGAN DAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL


Resume guna memenuhi tugas kelompok matakuliah kebanksentralan
Dosen pengampu:

Disusun oleh :

1. DINDU FUJI AZARI - B1011211196


2. NAUFAL ARDIKO - B1011211197
3. FANTIKA AZZAHRA – B1011211203
4. WEBI HERIS PRATAMA – B1011211204
5. RACHMAT DHANI PRAMUDYA – B1011211206

PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021/2022
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL

Kondisi ekonomi global tahun 2007-2008 diawali dengan Krisi keuangan Amerika Serikat
yang dipicu oleh kolapsnya subprime mortgage pada agustus 2007. Tingkat suku bunga yang
rendah mendorong pertumbuhan kredit dan akumulasi resiko yang berlebihan. Krisis keuangan
global yang berawal dari Amerika Serikat memaksa banyak negara maju mengeluarkan biaya
besar untuk mengatasi krisis tersebut. Biaya pemulihan yang begitu besar, membuat bank sentral
Bersama pemerintah membuat Langkah-langkah untuk mencegah krisis (preventive measures).
Dengan melakukan evaluasi dan memperbaiki kebijakan serta peraturan yang ada dalam sistem
keuangan untuk membentuk sisitem keuangan yang kredibel dan lebih berdaya tahan. Termasuk
dalam penyempurnaan kebijakan mikroprudensial dan pengembangan kebijakan makroprudensial.

Kebijakan stabilitas harga ternyata tidak cukup untuk mewujudkan stabilitas makroekonomi dan
mencegah terjadinya krisis keuangan. Sementara itu, kebijakan mikroprudensial yang diterapkan
pada institusi keuangan hanya memfokuskan pada upaya untuk menjaga kelangsungan usaha dan
Kesehatan individual institusi keuangan. Kebijakan makroprudensial tidak dapat merespon potensi
interconnectedness antar intitusi keuangan yang menimbulkan akumulasi resiko sistemik dan
instabilitas di sistem keuangan.

5.2 Konsep Stabilitas Sistem Keuangan

5.2.2 Definisi Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas sistem keuangan adalah kondisi dimana sisitem keuangan yang berfungsi efektif dan
efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negri dan luar negri.

Terdapat 5 aspek yang perlu ditekankan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan
mencegah Krisis. Pertama yaitu Kesehatan individual Lembaga keuangan sangat penting tapi tidak
cukup mencegah terjadinya resiko sistematik. Oleh karean itu, keterkaitan makro-finansial dari
sistem keuangan dengan aktivitas perekonomian akan lebih besar dampaknya pada pencapian
stabilitas sistem keuangan dibandingkan dengan Kesehatan individual Lembaga keuangan.
Kedua sejarah menunjukan empat jenis faktor dengan makro-finasial yang menyebabkan krisis
yaitu asset bubbles, credit boom, akumulasi hutang secara berlebihan dan capital outflow secara
tiba-tiba. Hal ini menyebakan prosiklikalitas keuangan, yaitu terjadinya akselerasi pada
pertumbuhan ekonomi selama terjadinya ekspansi ekonomi. Apabila fenomena prosiklikalitas
tidak dikelola dengan baik akan mempercepat terjadinya boom-bust yang dapat berujun pada
krisis.

Ketiga, kebijakan yang digunakan untuk mengendalikan guncangan perekonomian domestic


dan kemampuan mengantisipasi dari luar negri sangat penting untuk mendukung stabilitas sistem
keuangan.

Keempat, krisis dapat dipicu dari kegagalan suatu Lembaga keuangan. Kelima, puncak dari
krisis secara luas terjadi pada saat interkoneksi dan jejaring keuangan terjadi bersamaan dengan
perilaku breding behavior dan information contagion.

Otoritas pengawas perbankan dan jasa keuangan bertanggung jawab atas Kesehatan individual
Lembaga keuangan melalui pengaturan dan pengawasan kebijakan mikroprudensial. Bank sentral
bertanggung jawab dalam pengaturan dan pengawasan kebijakan makroprudensial untuk
memitigasi resiko sistemik dari sistem keuangan, dan sebagai lender of the last resort. Lemabaga
asuransi deposito berperan penting dalam mengatasi resiko penyebaran informasi dari bank run
untuk pelindungan para deposan. Pemerintah, melalui kementrian keuangan, perlu pemimpin
koordinasi stabilitas keuangan ditingkat nasional untuk mencegah agar tidak menimbulkan krisis
perekonomian.

5.2.2 Prosiklikalitas Perilaku Sektor keuangan

Prosiklikalitas adalah perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian tumbuh lebih
cepat Ketika ekspansi memperlemah perekonomian Ketika siklus kontraksi. Perilaku
prosiklikalitas pada sistem keuangan mningkatkan ketidakstabilan makroekonomi dengan
menciptakan kondisi output yang fluktuatif. Perilaku prosiklikalitas sector keuangan secara
inheran dapat muncul beberapa faktor sepeerti informasi asimetris dan siklus perilaku terhadap
resiko.
Adanya informasi asimetris ini mendorong adanya financial accelerator yaitu suatu kondisi
dimana perekonomian mengalami kontraksi disertai menurunnya nilai kolateral, yang
mengakibatkan perusahaan berkualitas baik dengan proyek menguntungkan akan sulit
mendapatkan kredit. Sebaliknya Ketika nilai koleteral naik, maka perusahaan Kembali
mendapatkan akses bank dan menambah stimulus pada perekonomian. Prisiklikalitas bukan hanya
hasil interaksi antara siklus ekonomi/bisnis (business cycle) dan siklus keuangan (financial cycle).
Namun juga dipengaruhi oleh siklus perilaku terhadap resiko. Yaitu perilaku yang ditandai oleh
optimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi membaik dan pesimisme yang berlebihan ketika
siklus ekonomi memburuk. siklus bisnis ditandai dengan ekspansi ketika perekonomian
mengalami fase pertumbuhan dan kontraksi ketika Perekonomian mengalami fase
Pelemahan. siklus keuangan ditandai oleh perilaku perbankan yang lebih ekspansif tercermin dari
peningkatan leverage yang sejalan dengan fase ekspansi Pada siklus bisnis.
sebaliknya, perilaku perbankan menjadi lebih konservatif ditandai dengan deleveraging yang
sejalan dengan fase kontraksi Pada siklus bisnis interaksi antara siklus bisnis dan siklus keuangan
Ditentukan oleh siklus perilaku agen ekonomi terhadap risiko (risk taking cycle) Yang juga
dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perekonomian ke depan persepsi risiko, regulasi, dan
insentif. perubahan perilaku terhadap resiko ini menjelaskan hal yang melatarbelakangi perubahan
perilaku investor yang berasal dari sangat optimis ketika resiko rendah menjadi sangat pesimis
dengan menghindari resiko. perubahan terhadap pengambilan risiko ini mendasari perubahan yang
terjadi secara tiba-tiba dari aktivitas di sistem keuangan dan aktivitas perekonomian.
Keberlangsungan prosiklikalitas juga bisa terjadi sejalan dengan karakteristik regulasi di sektor
keuangan yang bersifat prosiklikal misalnya, Aturan permodalan dan pencadangan risiko yang
menetapkan persyaratan yang lebih lunak kepada perbankan dalam situasi ekonomi yang membaik
atau dalam fase ekspansif. Selain itu, Standar akuntansi juga turut memicu prosiklikal Itas.
5.3 Tinjauan konseptual kebijakan makroprudensial
5.3.1 konsep dan karakteristik kebijakan makroprudensial

IMF menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang


menggunakan instrumen yang berpegang pada prinsip kehati-hatian sebagai instrumen utamanya
untuk membatasi risiko sistemik atau risiko sistem keuangan secara luas. sementara itu Borio
Mendefinisikan pendekatan makroprudensial berdasarkan tujuannya, adalah untuk membatasi
risiko pada sistem keuangan guna mengurangi potensi penyebaran dampak negatif( cost) pada
perekonomian. di sisi lain kebijakan mikroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko pada
Individual institusi keuangan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap makro ekonomi dengan
demikian ruang lingkup pendekatan makroprudensial adalah sistem keuangan secara keseluruhan,
sementara mikroprudensial hanya fokus pada institusi keuangan secara Individual. risiko sistemik
didefinisikan sebagai potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan menular (contagion)
Pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran. kompleksitas
usaha, Keterkaitan antar institusi atau pasar keuangan serta kecenderungan perilaku yang
berlebihan dari perilaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian.

Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang berbeda dari kebijakan lainnya, karena
memiliki karakteristik yang unik yang membedakan kebijakan ini dengan kebijakan lainnya
karakteristik tersebut antara lain:
1. Memiliki tujuan utama mitigasi risiko sistemik
2. memiliki ruang lingkup sistem keuangan secara keseluruhan
3. an memiliki piranti Prudential atau piranti moneter
4. memiliki interaksi dengan kebijakan lainnya
5. mencakup dimensi cross section dan time series
5.3.2 instrumen kebijakan makroprudensial

Instrumen kebijakan makroprudensial telah diterapkan oleh bank sentral dalam artian lebih luas.
beberapa instrumen yang sebelumnya lebih dikenal sebagai instrumen moneter juga digunakan
untuk mencegah risiko sistemik dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam siklus kegiatan
ekonomi, khususnya untuk sektor-sektor ekonomi tertentu. instrumen kebijakan tersebut juga tidak
hanya difokuskan untuk menangani Resiko yang terjadi pada individual bank. oleh karena itu, tu
instrumen tersebut dapat dikategorikan sebagai instrumen kebijakan makroprudensial.
Berbagai jenis instrumen kebijakan makroprudensial dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan
perumusan kebijakan, kan kategori kebijakan yang akan dirumuskan, dan pendekatan penggunaan
instrumen.

1. Tujuan perumusan kebijakan


berdasarkan tujuannya, lim at al, mengklasifikasikan instrumen kebijakan makroprudensial
menjadi 3 yakni credit-related, liquidity-related, dan capital-related.Secara berturut-turut
instrumen kebijakan tersebut merupakan instrumen dengan sasaran untuk memitigasi risiko
sistemik dengan menggunakan besaran kredit, likuiditas dan permodalan. Adapun risiko yang
dikendalikan bisa saja mencakup lebih dari satu resiko.

2. kategori kebijakan yang akan dirumuskan


instrumen kebijakan makroprudensial dapat dikategorikan dalam dua jenis yakni instrumen
kebijakan yang dikembangkan khusus untuk memitigasi risiko sistemik dan instrumen kebijakan
yang dikalibrasi berulang. instrumen makroprudensial yang dapat dikembangkan untuk
melaksanakan mitigasi risiko hanya bersifat relevan pada saat instrumen tersebut
diimplementasikan, kemudian dapat ditarik kembali pada saat risiko telah berhasil dikendalikan.

3. Pendekatan penggunaan instrumen


A. Single vs multiple
Simbol instrumen biasanya digunakan apabila sumber resiko telah jelas teridentifikasi.
sementara penggunaan multiple instrumen, meskipun menimbulkan biaya yang lebih tinggi,
akan meningkatkan efektivitas kebijakan untuk mengatasi suatu risiko dari berbagai sisi.
B. Broad-based vs Target
Broad Based instrument biasanya digunakan apabila resiko bersifat umum dengan data
yang terbatas, sementara targeted instrumen digunakan apabila resiko teridentifikasi
dengan jelas.

C. Fixed vs Time varying


Time varying instrument dalam makroprudensial digunakan untuk mengatasi
permasalahan yang berkaitan dengan siklus. instrumen ini bersifat fleksibel agar secara
otomatis dapat menyesuaikan dengan siklus yang terjadi tanpa mengubah formula
kebijakan. sementara itu fixed instrumen Apabila diperlukan dapat diformulasikan ulang
atau dikalibrasi disesuaikan dengan perkembangan.

D. Rule vs Direction.
Untuk mencapai tujuan terkait selain tujuan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan beserta
instrumen kebijakan yang dapat digunakan salah satu Aspek penting yang lain yang
dirumuskan dalam kerangka kerja kebijakan makroprudensial adalah respons kebijakan.

E. Koordinasi dengan otoritas lain


Implementasi kebijakan makroprudensial dapat berupa bauran kebijakan dengan kebijakan
lain dari otoritas yang berbeda seperti kebijakan mikroprudensial dan kebijakan fiskal.

5.3.3 Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Lain

Kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam sistem keuangan mencakup kebijakan
mikroprudensial dan kebijakan makroprudensial. pada dasarnya kedua kebijakan tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain secara umum, kebijakan
makroprudensial berfokus untuk melakukan pemantauan dalam menjaga kestabilitasan sistem
keuangan secara keseluruhan guna menghindari terjadinya risiko sistemik. sementara itu,
kebijakan mikroprudensial lebih menekankan kepada pemantauan dalam menjaga stabilitas
institusi keuangan secara individu untuk mempertahankan kesehatan dan pertahanan individu
lembaga keuangan. Dalam implementasinya, bauran antara kebijakan mungkin terjadi.

Kebijakan makroprudensial memiliki kesamaan dengan kebijakan makro ekonomi ( moneter,


fiskal dan sektor riil) dalam hal mencakup dimensi waktu. sementara itu dari sisi dimensi cross
section, kebijakan makroprudensial lebih mampu menjangkau target yang berbeda-beda
dibandingkan dengan kebijakan moneter yang selalu berlaku Across the board. Hal ini disebabkan
karena dimensi cross section juga merupakan cakupan dalam rancangan kebijakan
makroprudensial.

dalam hal transmisi kebijakan, kebijakan makroprudensial relatif memiliki transmisi secara
langsung daripada kebijakan moneter. transmisi kebijakan moneter relatif lebih kompleks serta
membutuhkan waktu yang lebih lama hingga dampaknya dirasakan oleh agen ekonomi, sedangkan
kebijakan makroprudensial memiliki target yang jelas serta memiliki dampak implementasi yang
cepat dirasakan oleh institusi keuangan.

5.4.1 Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Sejak tahun 2003 Bank Indonesia mulai berperan aktif dalam mendorong terciptanya
stabilitas sistem keuangan di Indonesia, antara lain melalui penyusunan blueprint stabilitas sistem
keuangan Indonesia.

5.4.1 Mandat dan kerangka kebijakan makroprudensial

Peranbank Indonesia dalam menjalankan fungsi makroprudensial secara eksplisit terdapat dalam
undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan( OJK).
Tugas pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan perbankan mikroprudensial yang
meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatianDan pemeriksaan bank dialihkan dari Bank
Indonesia ke OJK. sementara itu, Bank Indonesia tetap Bank Indonesia tetap memiliki tugas
Pengaturan perbankan terkait aspek makroprudensial.
Dalam kapasitasnya sebagai otoritas makroprudensial Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang termasuk kategori systemically
important bank Sesuai Kewenangan bank Indonesia di bidang makroprudensial.
Mandat kebijakan makroprudensial Tercantum dalam UU OJK nomor 21 Tahun 2011 tentang
OJK khususnya pada pasal 7 dan pasal 40. secara terperinci pasal-pasal tersebut mengatur hal-hal
sebagai berikut.
1. Penjelasan pasal 7
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian dan
pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi
tugas dan wewenang OJK Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial, yakni
pengaturan dan pengawasan selain yang diatur dalam pasal ini merupakan tugas dan wewenang
Bank Indonesia. dalam rangka pengaturan dan pengawasan makroprudensial, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral kepada perbankan.

2. Pasal 40
untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya Bank Indonesia memerlukan pemeriksaan
khusus terhadap bank tertentu kepada OJK.

3. Penjelasan pasal 40
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. namun saat Bank
Indonesia melaksanakan fungs,i tugas dan wewenang membutuhkan informasi melalui kegiatan
pemeriksaan Bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank
tertentu yang masuk systemicallyi important bank sesuai dengan Kewenangan bank Indonesia di
bidang makroprudensial.

Mandat Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan makroprudensial juga dijelaskan pada
ketentuan perundang-undangan sebagai berikut yaitu undang-undang nomor 9 tahun 2016 tanggal
15 April 2016 tentang pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, peraturan Bank
Indonesia No 16/11/PBI/2014 tanggal 1 juli 2014 Tentang pengawasan dan pengaturan
makroprudensial.
dapat disimpulkan bahwa wewenang Bank Indonesia mencakup pengawasan makroprudensial dan
pengaturan makroprudensial.
a. Memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan.
b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, resiko likuiditas,
risiko nilai tukar dan risiko suku bunga serta resiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko
sistemik
c. membatasi konsentrasi exposure memperkuat ketahanan infrastruktur
d. keuanganmeningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan

Cakupan kegiatan utama dalam pengaturan makroprudensial sebagaimana tersebut diatas


termasuk kegiatan seperti :
a. fora internasional
b. sistem informasi makroprudensial
c. Sistem keuangan syariah

secara garis besar pengawasan makroprudensial dilakukan dengan kegiatan pengawasan sistem
keuangan, dan pemeriksaan terhadap bank yang memiliki common exposure yang berpotensi
memberikan dampak sistemik.
Dalam melaksanakan kebijakan makroprudensial bank Indonesia perlu memiliki kerangka yang
jelas, tepat serta transparan. kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman dalam Bank
Indonesia dalam menjalankan kewenangan serta mencapai kestabilan sistem keuangan.
penetapan kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia terdapat pada peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimana
hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan fungsi dan tugas bank
Indonesia di bidang makroprudensial dalam rangka:
1. mencegah dan mengurangi risiko sistemik
2. intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas
3. meningkatkan efisiensi sistem keuangan, akses keuangan dan UMKM.
1. Resiko Sistemik dan Pencegahannya
Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular pada
sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha. ,
keterkaitan antar institusi dan pasar keuangan an-nasr tak kecenderungan perilaku yang berlebihan
dari perilaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian.
a. Sumber potensi resiko (origin)
1. Endogenous. Mencerminkan potensi Resiko yang berasal dari dalam sistem keuangan.
misalnya indikator kinerja institusi keuangan.
2. Exogenus. Mencerminkan potensi Resiko yang berasal dari luar sistem keuangan tetapi
secara langsung maupun tidak langsung berpotensi untuk mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan. misalnya variabel makroekonomi, indikator kinerja sektor riil.

b. .faktor pemicu (trigger)


1. .systematic. Potensi risiko yang bersumber dari kegagalan secara sistem namun resiko ini
tidak selalu berdampak sistemik
2. idionsyncratic . Potensi Resiko yang bersumber dari kegagalan secara spesifik pada
institusi keuangan tertentu atau sektor tertentu.

c. periode pembentukan (build- up periode)


1. sbort-run .Potensi risiko yang terjadi dalam fase yang pendek misalnya tekanan nilai tukar
2. Long-run. potensi risiko yang terjadi dalam fase yang panjang misalnya suku bunga
rendah dalam waktu yang lama

d. dampak yang ditimbulkan


1. Temporary. Perilaku atau kejadian yang berpotensi meningkatkan risiko dan mengganggu
stabilitas sistem keuangan nya hanya dalam jangka pendek misal permasalahan likuiditas
pada D-SIB.
2. Stuctural. Perilaku atau kejadian yang berpotensi meningkatkan resiko dan mengganggu
stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang misalnya krisis ekonomi.
2. Intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan yang minimal dapat mendukung terciptanya
intermediasi yang seimbang dan berkualitas. intermediasi yang seimbang dan berkualitas adalah
intermediasi yang sesuai dengan kapasitas perekonomian sedangkan sistem keuangan adalah suatu
kondisi dengan indikator peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku yang berlebihan dan
perilaku pada sistem keuangan.

3. Efisiensi dan Sistem Keuangan


Suatu sistem keuangan yang efisien dan kokoh adalah sistem keuangan yang mampu memobilisasi
dan mengalokasikan sumber daya yang terbatas kepada aktivitas yang memberikan tingkat
pengembalian yang optimal dan mampu berkontribusi secara penuh dalam pertumbuhan ekonomi
suatu negara secara sehat berkelanjutan dan seimbang.
peningkatan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dilakukan melalui peningkatan
transparasi, perluasan jangkauan perbankan pada semua lapisan masyarakat dan peningkatan
persaingan yang sehat sehingga dapat menurunkan biaya intermediasi dan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Instrumen kebijakan makroprudensial

Bank indonesia setidaknya telah mengeluarkan 4 ketentuan yang merupakan instrumen kebijakan
makroprudensial yang mengacu kepada peraturan bank indonesia ( PBI ) No.16/11/PBI/2014
tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial yakni sebagai berikut:

1. Instrumen untuk memperkuat permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan,


countercylical capital buffer ( CCB ). CCB diterapkan untuk mengurangi build up resiko
sistematik akibat prilaku procylicality.
2. Instrumen untuk mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan resiko kredit, yakni
loan to value (LTV ) dan rasio intermediasi makroprudensial ( RIM ). LTV diterapkan
untuk mengurangi build up resiko sistematik dari peningkatan harga aset dan
terkonsentrasinya kredit pada sektor tertentu. RIM ditunjukkan untuk mengurangi build up
resiko sistemik melalui pengendalian fungsi intermediasi perbankkan sesuai dengan
kapasitas dan target perrtumbuhan ekonomi serta menjaga likuiditas perbankan .
3. Instrumen untuk mengendalikan resiko likuiditas denga mencegah pemupukan resiko
likuiditas dan menambah cadangan likuidtas saat kondisi ekonomi up lurn, yakni
penyangga likuiditas makroprudensial ( PLM ).
4. Instrumen untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan yakni
minimum rasio kredit UMKM. Instrumen in I termasuk credit related, time-varying dan
rule based

Implementasi kebijakan makroprudensial diindonesia secara umum sebagai berikut :

1. Loan to value ratio

LTV merupakn instrumen kebijakan makroprudensial yang bersifat credit-related dan bertujuan
untuk meredam resiko sistematik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang sampai
40% serta tingkat kegagaln nasabah kredit kendaraan bermotor untuk memenuhi kewajiban yang
pada saat itu mencapai hampir 10% dari sudut pandang makroprudensial.

Sesuai SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 september 2013, bank indonesia melakukan desain
ulang atas kebijakan tsbmelalui surat edaran mengenai penerapan manajemen resiko pada bank
yang melakukan kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi
beragun properti , atau pembiayaan kendaraan bermotor penyesuaia dilakukan untuk lebih
meningkatkan aspek kehati-hatian bank dalam penyaluran kredit properti.

Pada tahun 2018 guna menyesuaikan kondisi perekonomian di indonesia dan mematangkan
kebijakan instrumen makroprudensial, bank indonesia kembali menyempurnakan ketentuan LTV
dengan menerbitkan peraturan bank indonesia No. 20/8/PBI/2018. Pada ketentuan ini , besaran
ratio LTV untuk kepemilikan rumah pertama diserahkan kepada bank. Artinya, bank dapat
memberlakukan rasio LTV 0% jika memang memiliki keyakinan kepada nasabah KPR Yang akan
membeli Rumah Untuk pertama kalinya dan managemen resiko bank mendukung hal tersebut.

2. Rasio instrumen makroprudensial

RIM merupakan pengembangan dari kebijakan makroprudensial sebelumnya yaitu loan to funding
ratio (LFR). Berdasarkan PBI no 20/04/PBI/2018 menyatakan bahwa RIM adalah rasio hasil
perbandingan antara kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga korporasi
dalam rupiah dan valuta asing yang memiliki persyaratan tertentu yang dimiliki bank atau DPK
dalam betuk Giro, tabungan, dan simpanan berjangka.

Parameter dalam pemenuhan giro RIM atau Giro RIM syariah adalah sebagai berikut :

A. Batas atas target RIM dan Target RIM syariah sebesar 92 %.


B. Batas bawah target RIM atau RIM syariah adalah 80 %
C. KPMM insentif sebesar 14 %
D. Parameter disinsentif atas sebesar 0,2
E. Parameter disinsentif bawah sebesar 0,1

3. Penyangga likuiditas makroprudensial

PLM sebagai aspek penguatan aspek pada sisi likuiditas berdasarkan peraturan bank indonesia No
20/04/PBI/2014 tentang RIM dan PLM, PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah
yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang besarnya ditetapkan BI sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam rupiah.

1. Apa latar belakang penerbitan Peraturan Bank Indonesia?

a. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta
bersaing secara nasional maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk
menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang
berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan Bank sesuai dengan standar
internasional yang berlaku yaitu Basel III.

b. Peningkatan kualitas permodalan Bank dilakukan melalui penyesuaian komponen dan


persyaratan instrumen modal serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Selanjutnya, Peningkatan
kuantitas permodalan Bank dicapai melalui kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai
penyangga (buffer) berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Bank yang
dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge.
2.Apa saja perubahan persyaratan komponen modal berdasarkan ketentuan ini?

Perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal dalam rangka peningkatan kualitas
permodalan yang diatur dalam ketentuan ini antara lain: a. Komponen modal inti (Tier 1) yang
terdiri atas: 1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi
dalam bentuk saham biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran
dividen/imbal hasil. 2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen
modal inovatif yang berupa saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak
memiliki jangka waktu, pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak
memiliki fitur step up. b. Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat
subordinasi, memiliki jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step
up.

3. Berapa modal inti dan modal inti utama minimum yang harus dipenuhi oleh Bank?

Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam) persen dari ATMR
dan modal inti utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima)
persen dari ATMR baik secara individual maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Bank
wajib memenuhi rasio modal inti minimum dan modal inti utama minimum paling lambat tanggal
1 Januari 2014.

4.Apakah yang dimaksud dengan tambahan modal sebagai penyangga (buffer)?

Tambahan modal sebagai penyangga (buffer) merupakan kewajiban pembentukan tambahan


modal oleh Bank di atas kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang terdiri
atas:

a. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)
apabila terjadi kerugian pada periode krisis.

b. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengantisipasi kerugian
apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu
stabilitas sistem keuangan.

c. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) adalah tambahan
modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan
kemampuan Bank dalam menyerap kerugian.

5. Berapa besarnya tambahan modal sebagai penyangga (buffer) yang wajib dibentuk oleh
Bank? Besarnya tambahan modal yang wajib dibentuk oleh Bank adalah sebagai berikut:

a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank
yang tergolong dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya
secara bertahap;

b. Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma
lima persen) dari ATMR bagi seluruh Bank; dan

c. Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5%
(dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.

Kerjasama dan koordinasi antar otoritas sistem keuangan dilakukan baik secara bilateral maupun
trilateral, dalam rangka melakukan harmonisasi kebijakan, pertukaran data dan/atau informasi,
serta kepentingan koordinasi lainnya. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal
65 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. Selain penempatan ADK Ex-officio, kerja
sama dan koordinasi antar otoritas tersebut dilakukan mulai dari level pimpinan lembaga hingga
level teknis. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama dan
berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan , Otoritas Jasa Keuangan , dan Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang akan disampaikan lebih detil pada
Protokol Manajemen Krisis.

Financial Stability Board


Pada 2014,partisipasi otoritas sektor keuangan Indonesia dalam keanggotaan FSB diperluas
dengan mengikutsertakan peranan Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan . Secara
garis besar, pembahasan topik reformasi sektor keuangan global mencakup 4 agenda utama atau
prioritas yaitu memperkuat ketahanan lembaga keuangan, mengurangi permasalahan lembaga
keuangan yang(too big to fail), memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga
keuangan hingga mencakup market-based finance, serta reformasi pasar Over the Counter
derivatif.
Basel Committee on Banking Supervision
Keanggotaan Indonesia di BCBS diwakili oleh Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial
dan OJK selaku otoritas mikroprudensial sektor keuangan di Indonesia. Forum ini merupakan
standard setting body untuk regulasi prudensial perbankan dengan mandat untuk memperkuat
pengaturan, pengawasan serta praktik perbankan global dalam rangka menjaga stabilitas
keuangan.

FSB Standing Committee on Supervisory and Regulatory Cooperation


Fokus tugas di forum ini terkait dengan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dan
mikoprudensial sektor keuangan.

FSB Regional Consultative Groups Asia


RCG Asia beranggotakan bank sentral, ototritas pengawas, dan kementerian keuangan dari negara
anggota FSB dan Non-anggota FSB.

Peran Pemerintah, OKL, dan LPS

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepakat meningkatkan
kerjasama dan koordinasi dalam mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas kedua lembaga.

OJK merupakan regulator/otoritas yang mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan


dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Sedangkan LPS merupakan regulator/otoritas yang memiliki fungsi menyelenggarakan program
penjaminan simpanan nasabah bank dan melakukan resolusi bank.

Peningkatan koordinasi dan kerjasama antara LPS dan OJK ini ditandai dengan penandatanganan
perpanjangan Nota Kesepahaman antara Halim Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner LPS; dengan
Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, yang dilakukan pada Rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Senin malam (28/1).

Pembaharuan nota kesepahaman bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja sama dan
koordinasi dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugas OJK dan LPS, serta penyesuaian dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU PPKSK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan.

Sejumlah pembaruan dalam nota kesepahaman OJK – LPS adalah:

1. Peningkatan koordinasi antara OJK dan LPS, antara lain dalam rangka:

a. Penanganan Bank Sistemik

b. Penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik

c. Pendirian dan pengakhiran Bank Perantara

d. Penanganan atau penyelesaian bank dengan status "Tbk" dan penerbitan surat

berharga

2. Penanganan Bank Sistemik yang diserahkan oleh KSSK kepada LPS berdasarkan UU LPS dan
UU PPKSK

3. LPS dapat melakukan due diligence, baik Bank Sistemik atau Bank Selain Bank Sistemik yang
berstatus Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), dengan syarat dan kondisi tertentu

4. Meningkatkan cakupan pertukaran data dan informasi dengan lebih komprehensif

5. Percepatan jangka waktu penyampaian informasi antara OJK dan LPS terkait Bank Sistemik
dan Bank Selain Bank Sistemik, baik dalam status BDPI dan Bank Dalam Pengawasan Khusus
(BDPK)

6. Pemberian dukungan OJK kepada LPS dalam pelaksanaan Program Restrukturisasi Perbankan

7. Pembentukan Forum Koordinasi dalam rangka memperlancar pertukaran informasi dan


pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing instansi
CATATAN PENUTUP

A. Kesimpulan Bank

Merupakan suatu badan usaha di bidang keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, bank melakukan berbagai kegiatan dalam
bidang keuangan salah satunya adalah pemberian fasilitas kredit. Selain sebagai sumber
pendapatan bank, kredit juga berfungsi untuk membantu masyarakat untuk membiayai entah
proyek, modal kerja, ataupun barang konsumtif. Dalam perjanjian kredit, tiap pihak yaitu bank dan
nasabah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kredit akan bermasalah jika nasabah
tidak bisa membayar kewajibannya tepat waktu. Jika terdapat banyak kredit macet maka hal
tersebut akan menghambat kinerja bank bahkan sampai bangkrut. Bank yang bermasalah tersebut
memiliki dampak yang besar juga terhadap keuangan negara seperti jatuhnya mata uang negara
seperti krisis moneter yang terjadi di Negara Indonesia pada tanggal 1998. Agar dapat menjalankan
prinsip kehati-hatian dalam perkreditan dengan baik, setiap bank di Indonesia diatur dan diawasi
oleh Bank Indonesia sesuai dengan pasal 8 huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia. Setiap bank di Indonesia wajib menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip
kehati-hatian yang telah di tetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Prinsip kehati-hatian bank tidak hanya berdasarkan analisis nasabah dengan cara 5C dan 4P, tetapi
juga sebagaimana bank patuh terhadap KPB sesuai dengan diatur dalam SK Direktur Bank
Indonesia nomor 27/162/KEP,/DIR., 31 Maret 1995 tentang PPKPB. Selain menjalankan KPB
dengan benar, bank juga harus mencantumkan pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses
perkreditan dimana pejabat tersebut harus memiliki integritas, kemampuan, dan tanggung jawab
yang tinggi. Pemberian fasilitas kredit kepada nasabah selalu memiliki risiko yang kadang tidak
bisa diprediksikan. Ketika terjadi kredit macet, diatur beberapa kebijakan dalam penyelamatan
kredit macet sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993
yaitu Rescheduling, Reconditioning, dan Restructuring. Selain dengan cara diatas, bank juga dapat
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kredit bermasalah sesuai dalam
pasal 7 huruf c Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penanganan kredit
bermasalah dapat dilakukan melalui beberapa institusi yaitu BUPLN dan proses litigasi di
pengadilan . Penyelesaian melalui proses litigasi yaitu dengan cara eksekusi jaminan yang telah
diperjanjikan sebelumnya di perjanjian kredit. Tetapi kadangkala proses litigasi ini memakan
waktu yang lama sehingga membutuhkan bantuan dari Lembaga Paksa Badan sesuai yang diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

Tetapi jika kredit bermasalah disebabkan oleh pejabat yang terlibat dalam kegiatan perkreditan
tidak menjalankan prinsip kehati-hatian, terdapat sanksi yang telah diatur dalam pasal 46 – 52
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Anda mungkin juga menyukai