Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Di Susun

KELOMPOK VII

WAHYUDIN BOBIHU 931419160

AVLIANI MALINTA 931419116

FEBIOLA R. GUBALI 931319117

Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Gorontalo
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada

waktunya. Saya menyadari makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Maka dari itu saya mengaharapkan kritikan dan saran yang membangun dari

pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi

masyarakat pada umumnya dan peneliti pada khususnya.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1Kebijakan Makroprudensial
2.2Pengawasan Mikroprudensial
2.3Pengawasan Makroprudensial
2.4Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya
2.5 Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Makroprudensial merupakan kebijakan yang akhir-akhir ini mendapat sorotan


dari seluruh otoritas moneter di dunia, termasuk Indonesia. Makroprudensial
memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem keuangan suatu negara.
Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan Christine Legarde (Direktur
IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial
Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan akibat kekhawatiran terjadinya
bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easy (QE) dapat diatasi melalui
kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential regulation (MPR) merupakan kata
kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk mengurangi risiko
dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Sedangkan
Bank Indonesia mendefinisikan sebagai kebijakan utama yang ditetapkan dan
dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi
intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses
dan efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan
serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Beberapa
negara di dunia telah menerapkan kebijakan makroprudensial untuk membangun
stabilitas keuangannya, seperti New Zealand.
Untuk memperoleh kebijakan yang efisien adalah dengan melakukan koordinasi
kebijakan (termasuk koordinasi internasional), dan melakukan combine atau
mengkombinasikan berbagai kebijakan guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kematangan strategi dan menejemen risiko juga dibutuhkan guna
memitigasi risiko kepanikan dan sebagainya dalam maze ekonomi. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan mengurai sedemikian rupa mengenai stabilitas sistem
keuangan, peranan lembaga intermediasi dalam menjaga stabilitas ekonomi, serta
menjelaskan mengenai teoritikal regulasi keuangan dan perkembangan atau
dinamika ekonomi dan kebijakan makroprudensial dalam dunia keuangan, baik
domestik maupun global.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana peran pemerintah dalam pengawasan mikroprudensial.
2. Perkembangan makroprudensial dan kebijakannya
3. Bagaimana BI menerapkan 4 langkah strategi operasional kebijakan
makroprudensial

1.3. TUJUAN

1. Untuk mengetahui kebijakan makroprudensial


2. Tau membedakan pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial
3. Untuk mengetahui kebijakan makroprudensial di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan akhir


meminimalkan terjadinya risiko sistemik.

Risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya


kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan
sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu
jalannya perekonomian. Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak
terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari atau dideteksi oleh
berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan. Efek
negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah
gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset. .
Kebijakan makroprudensial adalah sebuah kebijakan yang bertujuan untuk
membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik. Terdapat  3 (tiga) kalimat kunci
untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial  yaitu

Diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan

Diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-


wide perspectives)

Diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik.

Secara sederhana kebijakan makroprudensial "SSKperiode1" merupakan


penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga
keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi. Kebijakan
makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara keseluruhan. Dengan
demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi
keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya,seperti pasar
keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan.
2.2 Pengawasan Microprudensial
Peraturan microprudential tradisional bank didasarkan pada logika. Bank
membiayai dirinya dengan deposito-diasuransikan pemerintah. Sementara deposito
asuransi memiliki efek yang cukup, menciptakan insentif bagi manajer bank untuk
mengambil risiko yang berlebihan,mengetahui bahwa kerugian akan ditanggung
oleh wajib pajak. Tujuan dari peraturan modal adalah untuk memaksa bank untuk
menginternalisasi kerugian, sehingga melindungi asuransi deposito mendanai dan
mengurangi moral hazard. Dengan demikian, jika kerugian probabilitas asuransi
depositoberkurang ke tingkat yang cukup rendah, regulasi microprudential akan
melakukan tugasnya (Samuel G. Hanson, Ani K Kashyap, and Jeremy C. Stein:
2011).
Menurut Core Principles Basel (Dalam Jacek Osinski, Katharine Seal, and
Lex Hoogduin: 2013) untuk Pengawasan Perbankan Efektif (Komite Basel
Pengawasan Perbankan, 2011), “tujuan akhir” pengawasan (yaitu, kebijakan
microprudensial) adalah untuk mempromosikan “keselamatan dan kesehatan bank
dan sistem perbankan”. Secara yuridis, pengawasan perbankan secara eksplesit
bertugas dengan tanggung jawab stabilitas keuangan atau untuk berkontibusi
terhadap stabilitas keuangan yang biasanya dipegang oleh bank sentral. Secara
umum, kebijakan mikroprudensial memeriksa tanggapan dari setiap bank untuk
setiap risiko eksogen dan tidak memasukkan risiko endogen dan keterkaitan
dengan seluruh sistem. (Alan Bollard, Bernard Hodgetts and Mike Hannah: 2011)
Peraturan mikroprudensial atau pengawasan mikroprudensial mengacu pada
perusahaan dengan tingkat pengawasan atau regulasi keuangan oleh regulator
lembaga keuangan, yakni memastikan neraca lembaga individu yang kuat terhadap
guncangan.
Pelajaran penting dari krisis (Amerika Serikat). Tingkat keparahan krisis
bukan karena beberapa perusahaan keuangan non bank yang tertekan karena
peningkatan tingkat gagal bayar (secara keseluruhan). Sebaliknya, krisis
diakibatkan karena kerugian meluas perusahaan keuangan yang timbul dari faktor
risiko umum, dalam hal ini hipotek perumahan (residential mortgages) AS.
Pengetatan pangawasan microprudensial dari satu likngkup yang lebih besar dari
perusahaan keuangan akan mengurangi risiko ketidakstabilan. Tetapi jika pembuat
kebijakan ingin mendapatkan akar penyebab ketidakstabilan tersebut, penekanan
yang lebih besar perlu menempatkan pengawasan makroprudensial di pasar
keuangan (Larry D. Wall: 2014).
2.3 Pengawasan Makroprudensial
Berdasarkan pasal 7 UU OJK, Peraturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan
lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan
wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential,
yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini,
merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan
pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral kepada Perbankan.
Kebijakan makroprudensial, bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko
sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang bagi sektor
perekonomian, serta mengingkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam
rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter
dan stabilitas sistem pembayaran.Pada dasarnya antar kebijakan memiliki benang
merah satu dengan lainnya, dimana tujuan utama adalah mencipatakan stabilitas
sistem keuangan dan petumbuhan ekonomi yang stabil.
2.4 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya
Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem
keuangan suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan
Christine Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central
Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan
akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative
Easy (QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial.Makro-prudential
regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi,
dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan
(Gerard Lyopns: 2011). Berkaca dari pengalaman krisis global seperti krisis
subprime mortgage, bahwa kebijakan moneter belum mampu menekan ataupun
mengangkat perekonomian dari krisis tersebut, sehingga kebijakan
makroprudensial lahir sebagai kebijakan yang melengkapi dari beberapa
kelemahan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas keuangan secara intrinsik terkait
satu sama lain, dan sehingga dikotomi antara kebijakan stabilitas moneter dan
keuangan adalah palsu. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas
keuangan, sedangkan kebijakan makroprudensial untuk mempromosikan stabilitas
keuangan yang berdampak pada kebijakan moneter. Koordinasi kebijakan moneter
dan makroprudensial akan membuat lebih mudah untuk mengejar tiga tujuan yakni
stabilitas harga, stabilitas output, dan stabilitas keuangan (Joon-Ho Hahm, dkk:
2012). Kebijakan makroprudensial tidak hanya sebagai pelengkap atau alternatif
dari kebijakan moneter, namun kedua kebijakan tersebut tetap harus saling
melakukan koordinasi, karena mereka memiliki hubungan intrinsik satu sama lain.
Kebijakan makroprudensial dalam perkembangannya telah dan mulai banyak
di-adope oleh beberapa negara, baik negara maju maupun emerging market.
Amerika Latin (Brazil) dan Korea merupakan potret kecil dari negara-negara yang
menggunakan kebijakan makroprudensial. Juan Ruiz, et al (2014) menyatakan
bahwa negara-negara utama di Amerika Latin seperti Brazil, merupakan negara
yang menggunakan kebijakan makroprudensial dengan tujuan untuk mengelola
risiko makro ekonomi dan finansial seperti nilai tukar dan capital inflow.Kebijakan
makroprudensial kemudian diikuti oleh Argentina, yang juga telah menetapkan dan
menyoroti penggunaan persyaratan cadangan. Argentina juga sedang mengambil
beberapa langkah untuk mengimplementasikan Basel III yang akan memberntuk
kebijakan makroprudensial masa depan, khususnya yang berhubungan dengan
kebutuhan modal.
Fokus dari kebijakan makroprudensial mengenai tiga hal pokok yakni
menjaga sirkulasi arus modal, pengawasan pada kredit macet dan persyaratan
likuiditas. Ketiga fokus pengawasan tersebut juga telah diadopsi di negara-negara
Andean, seperti Boluvia, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Meskipun terdapat
perbedaan yang signifikan antar negara tersebut, wilayah Andean relatif
menunjukkan perkembangan yang baik dalam pelaksanaan peraturan
makroprudensial (Arturo J. Galindo, et al: 2013). Sedangkan In huh, dkk (2013)
menyatakan bahwa peraturan makroprudensial di negaranya (Korea) pada tahun
2000-an tidak berdampak pada investasi obligasi, namun mempengaruhi struktur
liabilitas bank asing. Pengetatan pajak atas investasi asing tidak banyak
berpengaruh kecuali pajak dengan tenor pendek.
Retribusi makroprudensial ditujukan untuk meringankan masalah-masalah
liabilitas luar negeri jangka pendek, yang diklaim sebagai kelemahan ekonomi
Korea selama krisis keuangan global. Masalah makro ekonomi yang cukup
kompleks tidak dapat dikendalikan hanya dengan kebijakan moneter tradisional
ataupun fiskal. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan sebuah stimulus baru yang
dapat di-combine atau disatukan dengan kebijakan yang tersedia. Penguatan dari
berbagai sektor (makro, finansial, dan sistem stabilitas) menjadi main goal dari
keseluruhan kebijakan ekonomi di setiap negara.
Mengapa ketahanan dan stabilitas ekonomi sangat penting, khususnya sistem
yang mengaturnya? Karena, tidak selalu ekspektasi mengenai prospek
perekonomian akan berjalan sesuai dengan harapan. Permasalah terbesar dalam
perekonomian modern adalah kepanikan pasar. Jika, perekonomian mulai terserang
rumor negatif yang meskipun relatif kecil, dampaknya dapat menyebar dengan
cepat dan menyebabkan gejolak yang luar biasa. Sehingga, sistem yang mampu
mengendalikan iklim perekonomian (khususnya mampu mempertahankan
kepercayaan pasar) menjadi sistem yang selalu diandalkan dan terus
dikembangkan.
Dewasa ini, perdagangan dan sistem perekonomian mulai terbuka lebar,
artinya lalu lintas perdagangan baik barang, arus modal, teknologi, maupun culture
akan meciptakan dinamika-dinamika ekonomi yang menuntut adanya kekebalan
atas sistem perekonomian.

2.5 Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia

Penerapan kebijakan makroprudensial oleh BI memiliki tujuan untuk mencegah


dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang
dan berkualitas serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Untuk mendukung pelaksanaan fungsi tersebut, BI menerapkan 4 langkah starategi
operasional kebijakan makroprudensial yang terdiri dari: 

Identifikasi sumber risiko sistemik Selain berdasarkan asesmen internal, BI juga


melakukan survei dan FGD kepada stakeholders untuk dapat menangkap potensi
risiko sistemik dari sudut pandang stakeholders, seperti perbankan, pakar ekonomi,
media, akademisi dan pelaku pasar lainnya. 
Pengawasan makroprudensial BI memiliki wewenang untuk melakukan
pengawasan secara tidak langsung maupun secara langsung pada institusi
keuangan terkait, dengan berkoordinasi dengan OJK. Pengawasan makroprudensial
dilakukan melalui monitoring, stress identification serta risk assessment terhadap
potensi risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya. Berdasarkan proses tersebut,
BI akan mengeluarkan sinyal risiko. Jika asesmen menunjukkan bahwa stabilitas
sistem keuangan terjaga dengan baik, BI akan melakukan proses pengawasan
seperti biasa. Dalam hal risiko menunjukkan peningkatan yang patut diwaspadai,
BI akan megambil respon kebijakan melaui perumusuan kebijakan
makroprudensial. Terakhir, jika sinyal risiko menunjukkan potensi krisis, BI akan
mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis. 

1. Respons kebijakan melalui desain dan implementasi instrumen kebijakan


makroprudensial Instrumen kebijakan makroprudensial diterapkan untuk
mencegah terjadinya risiko sistemik. Berdasarkan cakupannya, instrumen
dapat diterapkan secara umum (misalnya Countercyclical Buffer) maupun
targeted ke sektor tertentu (Loan to Value Ratio). Sedangkan dari sisi objek,
instrumen dapat ditujukan untuk mengatur permodalan, kredit, likuiditas
maupun intermediasi.
2. Protokol manajemen krisis (PMK) Bila hasil asesmen menunjukkan
peningkatan risiko yang menuju ke krisis, BI akan segera mengaktifkan
PMK. 
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang mengatur tentang sistem
keuangan secara keseluruhan. Sistem keuangan yang dimaksud adalah
sekumpulan dari beberapa institusi maupun beberapa pasar dengan interaksi
yang dilakukan di dalamnya dengan tujuan stabilitas ekonomi. Di dalam
sekumpulan beberapa pasar dan beberapa institusi tersebut terdapat dua
pihak yaitu surplus unit dan defisit unit. Surplus unit merupakan pihak yang
ada di dalam sekumpulan beberapa pasar dan beberapa institusi yang
memiliki kelebihan dana. Sedangkan defisit unit merupakan pihak yang ada
di dalam sekumpulan beberapa pasar dan beberapa institusi yang memiliki
kekurangan dana. Pihak surplus unit bertugas untuk memobilisasi kelebihan
dana yang dimiliki kepada pihak defisit unit, sehingga tidak ada lagi pihak
yang kelebihan dana maupun pihak yang kekurangan dana. Dengan begitu,
akan tercipta stabilitas perekonomian pada sistem keuangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Wall, Lerry D. 2014. Stricter Microprudential Supervision Versusu


Macroprudential Supervision. Federal Reserve Bank of Atlanta.
W. Ramadhan. 2015. Peranan Otoritas Keuangan Sebagai Regulator Kegiatan
Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. Universitas Sumatra Utara.
Yellen, Janet and Christine Legarde. 2014. At the 2014 Michel Camdessus Central
Banking Lecture, International Monetary Fund, Washington, D.C.

Anda mungkin juga menyukai