Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH EKONOMI MONETER

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 12

Diah Nafisa Putri 19080574025

Resa Salsa Pashiera 19080574060

Cindy Maharani 19080574079

Dosen Pengampu :
Drs. Ec. Budiono, M.Si

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah berjudul “Kebijakan Makroprudensial” dengan
baik dan lancar.

Seiring dengan berakhirnya penyusunan makalah ini, sepantasnyalah kami


mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Kami juga menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah


ini. Oleh karena itu kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan atau kekurangan
dalam makalah ini. Selain itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Surabaya, 28 November 2020


Penyusun

Kelompok 12
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Pengertian Kebijakan Makroprudensial..............................................................3
B. Instrumen KebijakanMakroprudensial................................................................3
C. Implementasi Kebijakan Makroprudensial.........................................................4
BAB III PENUTUP ........................................................................................................7
A. Kesimpulan.........................................................................................................7
B. Saran...................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang sempat melanda masih menjadi bayang-bayang ketakutan bagi
sebagian negara karena mengganggu kestabilan perekonomian dibeberapa negara, dimana
perilaku para pelaku ekonomi sangat berpengaruh terhadap mekanisme perekonomian suatu
negara, khususnya dalam kegiatan perdagangan dan pada sektor keuangan. Adanya
ketidakpastian kondisi ekonomi lokal dan global dapat menciptakan moral hazard dan
diperkirakan pelaku ekonomi akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan dan
memperburuk kondisi perekonomian negara. Subprime mortgage merupakan salah satu
bukti empiris yang menggambarkan bahwa kepercayaan dan rasa nasionalisme memegang
kunci penting terhadap keberlangsungan suatu perekonomian. Krisis 2008 yang berawal dari
kebijakan bank sentral Amerika Serikat dalam upaya mendorong konsumsi dan
perekonomian domestik, yakni dengan menurunkan suku bunga acuan. Pada kenyataannya
hal tersebut membuat perbankan di AS terlalu agresif dalam menerima seluruh permohonan
kredit (khususnya kredit perumahan atau KPR), tanpa melihat dan mengukur kemampuan
atau kelayakan dari pemohon KPR. Permasalahan tersebut pada akhirnya bermuara pada
kredit macet, karena The Fed menaikkan suku bunga sedangkan warga AS melakukan
spekulasi dengan menjual rumah kreditnya, sehingga permasalahan tersebut menjalar ke
sektor rill dan menjadi krisis ekonomi.
Makroprudensial merupakan kebijakan yang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari
seluruh otoritas moneter di dunia, termasuk Indonesia. Makroprudensial memiliki peranan
dalam membangun stabilitas sistem keuangan suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur
Federal Reserve) dan Christine Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus
Central Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan
akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easy (QE)
dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential regulation (MPR)
merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk
mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011).
Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan sebagai kebijakan utama yang ditetapkan dan
dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi
intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan
efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan serta
mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Beberapa negara di dunia
telah menerapkan kebijakan makroprudensial untuk membangun stabilitas keuangannya,
seperti New Zealand. Untuk memperoleh kebijakan yang efisien adalah dengan melakukan
koordinasi
kebijakan (termasuk koordinasi internasional), dan melakukan combine atau
mengkombinasikan berbagai kebijakan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kematangan strategi dan menejemen risiko juga dibutuhkan guna memitigasi risiko
kepanikan dan sebagainya dalam maze ekonomi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
mengurai sedemikian rupa mengenai stabilitas sistem keuangan, peranan lembaga
intermediasi dalam menjaga stabilitas ekonomi, serta menjelaskan mengenai teoritikal
regulasi keuangan dan perkembangan atau dinamika ekonomi dan kebijakan
makroprudensial dalam dunia keuangan, baik domestik maupun global.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa itu kebijakan makroprudensial?
2.      Apa saja instrumen kebijakan makroprudensial?
3.      Bagaimana implementasi kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan ?

C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi moneter
2. Untuk memahami pengertian kebijakan makroprudensial
3. Untuk memahami instrumen kebijakan makroprudensial
4. Untuk memahami implementasi kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Makroprudensial


Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk mitigasi risiko sistemik yang
timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk
mengikuti siklus ekonomi (Procylical) sehingga memperbesar risiko sistemik
(Working Group G-20, 2010: 4). Sedangkan menurut Internasional Monetary
Fund (IMF) (2011: 3) bahwa kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang
memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. Kemudian menurut
Galati dan Richhild (2011: 4), kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang
ditujukan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sitemik. Bank of England (2009: 3)
juga mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan
untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran,
intermediasi kredit, dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian.
Dari berbagai pengertian mengenai kebijakan makroprudensial dari beberapa
ahli dan dalam beberapa versi di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
makroprudensial adalah suatu kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Sentral sebagai
lembaga tertinggi keuangan negara untuk meningkatkan perekonomian Indonesia
serta menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga dapat meminimalkan risiko yang
yang dapat terjadi.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan makroprudensial merupakan bagian
kebijakan utama yang diterapkan dan dilaksanankan oleh Bank Indonesia (BI) untuk
mencegah dan mengurangi risiko sitemik. Dimana risiko sistemik ini sendiri yaitu suatu
potensi kerusakan atau terganggunya sistem keuangan negara baik sebagian atau seluruh
akibat adanya faktor-faktor yang menyebabkan ketergangguan tersebut.
Dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang merupakan kumpulan dari
individu, lembaga keuangan dan sistem yang dijalankan lebih menggunakan kebijakan
makroprudensial. Sedangkan kebijakan mikroprudensial lebih mengarah pada analisis
perkembangan individu lembaga keuangan yang ada dalam sistem keuangan. Menurut Borio
(2009) kebijakan makroprudensial akan lebih focus terhadap kebijakan sistem keuangan
secara keseluruhan dan focus pada risiko secara agregat, isalnya terkait dengan perubahan
perilaku intitusi keuangan secara kolektif.
B. Instrumen Kebijakan Makroprudensial
Dalam kebijakan Makroprudensial terdapat beberapa instrumen yang dapat diterapkan dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Antara lain seperti: Loan To Value (LTV), Giro Wajib
Minimum (GWM), Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), Capital Adequency Ratio (CAR), Net
Opening Position (NOP), Posisi Devisa Neto (PDN), Minimum Holding Period (MHP) dan
masih banyak lagi. Instrument-instrumen yang disebutkan ini merupakan instrument yang
memiliki sasaran sendiri-sendiri dalam bidang yang berbeda-beda dari satu dan yang lain.
Instrument-instrumen tersebut walaupun berbeda nama, arti dan sasaran namun masih tetap
memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga kestabilan sistem keuangan yang ada di Indonesia.
C. Implementasi kebijakan makroprudensial
Implementasi Kebijakan Makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Implementasi PDN, Posisi Devisa Neto (PDN) adalah rasio perbandingan selisih
bersih antara aktiva dan pasiva valuta asing setelah memperhitungkan rekening-
rekening administratifnya terhadap modal bank (Kuncoro dan Suhardjo, 2002). Posisi
Devisa Neto merupakan salah satu instrument dari kebijakan makroprudensial yang
telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Tujuan ditetapkannya PDN secara mikro ini
adalah untuk membatasi suatu resiko karena posisi valuta asing yang dilakukan oleh
bank devisa sebagai akibat adanya fluktuasi perubahan kurs. Bank diperbolehkan
mencari keuntungan dari perbedaan harga kurs sebagai akibat adanya fluktuasi kurs
dengan cara mengelola portofolio valuta asing yang dimilikinya. Sedangkan tujuan
secara makro adalah untuk menciptakan suatu kondisi (iklim) perbankan yang sehat
sehingga tercipta suatu stabilitas ekonomi nasional yang baik (Loen dan Ericson,
2008).  Dengan adanya kebijakan penetapan PDN terhadap bank-bank umum yang
ada di Indonesia, diharapkan dapat memperlancar laju perekonomian. Menurut
Kuncoro dan Suhardjono (2002), jenis Posisi Devisa Netto (PDN) dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
1.        Posisi Long          = aktiva valuta asing lebih besar daripada pasiva valuta asing
2.        Posisi Short          = aktiva valuta asing lebih kecil daripada pasiva valuta asing
3.        Posisi Square        = aktiva valuta asing sama dengan pasiva valuta asing, posisi
ini adalah posisi yang paling seimbang dari ketiga posisi tersebut.
Ketiga posisi devisa neto di atas dapat dipilih sesuai dengan tingkat suku bunga yang
ditetapkan pada uang valuta asing dan rupiah. Jika tingkat suku bunga valuta asing
lebih rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga rupiah, sebaiknya kita memili
posisi short karena jika suku bunga rupiah besar maka valuta asing banyak yang
ditukar dalam bentuk rupiah. dimana kita hanya menyimpan sedikit valuta asing dan
menyimpan banyak uang dalam bentuk rupiah. sebaliknya apabila tingkat suku bunga
valuta asing lebih besar daripada tingkat bunga rupiah, maka sebaiknya kita memilih
posisi long yang mana kita menyimpan banyak valuta asing daripada uang rupiah
karena pada keadaan ini kita seharusnya mengkonversikan rupiah dalam  bentuk
valuta asing (valas).
2. Loan To Value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan
oleh bank terhadap nilai angunan pada saat awal pemberian suatu kredit (Surat edaran
Bank Indonesia no 14/10/DPNP). LTV merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia yang bertindak sebagai Bank Sentral di Indonesia untuk mengurangi
pinjaman kredit yang berlebihan di Indonesia, utamanya adanya Kredit Pemilikan
Rumah (KPR). Kebijakan ini berlaku untuk semua bank baik bank umum (komersial)
maupun bank syariah yang ada di Indonesia. LTV memberikan aturan bantuan KPR
kepada masyarakat maksimal sebesar 70%. Penetapan LTV oleh Bank Indonesia tidak
berdasarkan harga rumah yang akan dibeli melainkan berdasarkan ukuran rumah yang
akan dibeli. Tujuan ditetapkannya LTV adalh untuk memperkecil risiko yang dapt
timbul akibat pertumbuhan KPR di Indonesia, yang mana apabila KPR meningkat
dapat menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap asset property dan jika terus
menerus terjadi akan mengakibatkan munculnya risiko bubble.
3. MPH (Month Holding Minimum) adalah kebijakan yang mewajibkan pembeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau saham BI untuk menahan atau menanamkan
sahamya yang dibeli baik dari pasar primer ataupun pasar sekunder selama periode
atau waktu tertentu sesuai dengan periode yang telah disepakati. Tujuan dari
kebijakan ini adalah untuk mengurangi volatilitas atau jarak antara naik dan turunnya
harga saham dalam SBI dan meningkatkann efektivitas pengelolaan kebijakan
moneter dalam Bank Sentral. Harapan dengan adanya kebijakan MHP ini diharapkan
dapat mengurangi dampak negatif yang disebabkan karena aliran modal asing yang
bersifat sementara atau dalam jangka pendek terhadap stabilitas moneter dan stabilitas
system keuanagan.
4. Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio kredit yang diberikan oleh bank
kepada pihak ketiga (kreditur) dalm bentuk rupiah ataupun dalam bentuk valuta asing.
Dalam memberikan pinjaman kredit pada pihak ketiga, harus dilihat dari berbagai
aspek dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Karena jika kredit diberikan secara
mudah tanpa ada aspek yang diteliti, maka ditakutkan uang yang dipinjamkan tersebut
tidak dapat kembali ke bank peminjam. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko
yang dapat ditanggung oleh bank-bank peminjam, Bank Sentral menetapkan
tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dapat dipinjamkan adalah sebesar 78%
sampa batas maksimum sebesar 92% (PBI Nomor 15/7/PBI/2013). Jadi dengan
adanya kebijakan LDR yang ditetapkan oleh Bank Sentral ini bertujuan untuk
membatasi kredit yang diberikan oleh bank-bank umum kepada pihak peminjam agar
apabila terjadi masalah, resiko yang ditanggung bank-bank umum dapat sedikit
dikurangi. Menurut Surat Edaran BI Nomor. 3/30DPNP tanggal 14 Desember
2001 Loan to Deposit Ratio (LDR) dapat diukur dari perbandingan antara seluruh
jumlah kredit yang diberikan kepada pihak ketiga, dimana besarny ajumlah kredit
yang disalurkan kepada masyarakat akan menambah keuntungan suatu bank. Jika
suatu bank memiliki himpunan dana yang banyak tetapi tidak melakukan kredit maka
dapat akan menyebabkan bank tersebut mengalami kerugian karena jika bank tersebut
hanya bertugas menghimpun dana dari masyarakat berarti bank tersebut akan terus
memberikan bunga terhadap tabungan masyarakat, tetapi jika bank tersebut
menyalurkan dana simpanan tersebut dalam bentuk kredit maka bank akan dapat
memperoleh keuntungan dari bunga yang dihasilkan oleh dana pinjaman seseorang.
Apabila tingka Loan to Deposit Ratio (LDR) semakin tinggi, mengartikan bahwa
semakin tinggi pula laba yang akan diperoleh oleh bank. Kepala Eksekutif
Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan bahwa kekuatan
ketahanan suatu bank dipengaruhi oleh besarnya modal suatu bank itu sendiri. Modal
suatu bank juga dapat disebut dengan CAR (Capital Adequecy Ratio).
5. Capital Adequecy Ratio (CAR) merupakan instrument dari kebijakan
makroprudensial dalam mengendalikan stabilitas sistem keuangan. CAR (Capital
Adequecy Ratio) adalah rasio yang membandingkan modal bank dengan aktiva
tertimbang menurut risiko (Taswan, 2010). Menurut Lukman Dendawijaya
(2000:122) CAR (Capital Adequecy Ratio) adalah rasio yang memperlihatkan
seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat
berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank
disamping memperoleh dana dari sumber lain di luar bank, seperti dana dari
masyarakat, pinjama, dan lain-lain. Bank Sentral (BI) sebagai otoritas tertinggi
kebijakan moneter, menetapkan tingkat CAR (Capital Adequecy Ratio) paling rendah
adalah 8% (PBI Nomor 15/12/PBI/2013). Tingkat CAR yang telah ditetapkan oleh BI
ini wajib ditaati oleh seluruh bank umum di Indonesia, dengan tujuan agar bank-bank
umum lebih disiplin dan profesional dalam menaati peraturan serta hal tersebut juga
bertujuan untuk menjaga eksistensi bank agar mampu menangani masalah bank
dengan kecukupan modal. Jika berbicara masalah modal, maka telah disadari bahwa
modal adalah suatu hal yang sangat penting dalam kelangsungan suatu bank. Dengan
adanya modal yang kuat dan besar akan mempengaruhi kekuatan bank itu sendiri.
Modal dapat berguna untuk menutupi kerugian akibat kekiagatn bank yang dapat
memberikan resiko, dengan modal yang besar jumlah kredit yang diberikan kepada
masyarakat juga relative lebih besar. Maka dari itu untuk menjaga kelangsungan suatu
bank agar tetap bisa berjalan, modal sangatlah dibutuhkan.
6.  Non Performing Loan (NPL) merupakan kredit yang bermasalah dalam suatu
bank, dengan adanya NPL ini maka kita dapat mengetahui bahwa terjadi masalah
dalam suatu bank, jika NPL ini tidak segera diatasi dan semakin lama semakin
meningkat maka akan berdampak terhdap bank itu sendiri serta NPL dapat digunakan
untuk mengukur manajemen yang ada dalam suatu bank, jadi NPL ini merupakan
suatu risiko. Kredit bermasalah yang dimaksud disini adalah kredit yang memiliki
kualitas yang kurang lancar, diragukan dan kredit macet. Menurut Surat Edaran BI
No. 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001, NPL diukur dari rasio perbandingan
antara kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. Semakin tinggi rasio
NPL yang ada dalam suatu bank maka berarti semakin buruk kualitas kredit bank
yang mnyebabkan semakin tinggi jumlah kredit yang bermasalah dalam suatu bank.
Oleh karena itu bank harus menanggung kerugian dalam kegiatan operasional
sehingga yang nantinya akan berpengaruh terhadap penurunan keuntungan/ laba
(ROA) yang diperoleh oleh bank (Kasmir, 2004). Sesuai dengan aturan Bank Sentral
(BI) besarnya Non Performing Loan (NPL) yang baik yaitu berkisar di bawah 5%.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Stabilnya sistem keuangan di negara ini tidak dapat terjadi tanpa adanya kebiajakan yang
ditetapkan oleh BankIndonesia yaitu kebijakan makroprudensial. Dengan kebijakan tersebut,
stabilitas sistem keuangan yang ada di Indonesia dapat berjalan dengan baik, walaupun pada
prakteknya, BI harus memutar balikkan cara dalam menjalankan instrument-instrumen
kebijakan makroprudensial agar dapat diterima di masyarakat dan memberikan dampak yang
positif dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini tidak hanya Bank Indonesia saja yang
harus selalu memikirkan bagaimana kebijakan yang telah ia buat dan tetapkan dapat berlaku
dan diterima oleh masyarakat, tetapi kebijakan pemerintah disini juga sangat diperlukan.
Oleh karena itu pemerintah diharapkan juga menetapkan suatu kebijakan sebagai kebijakan
yang dapat mendukung terhadap kebijakan Bank Indonesia (BI). hal ini kembali lagi pada
sistem ekonomi yang ada di negara ini yaitu sistem ekonomi yang demokrasi. Walaupun
memanglah benar bahwa Bank Indonesia merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri,
tetapi tidak salah juga jika pemerintah memberikan suatu dukungan kepada kebijakan BI
yang telah ada. Jika memang kebijakan BI dapat berjalan lancar, dampak positif juga akan
dirasakan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kita sebagai masyarakat juga dapat membantu
BI dalam melaksanakan kebijakan makroprudensial, langkah-langkah kecil yang bisa kita
lakukan harus tetap kita kerjakan. Jangan hanya kita melakukan protes kesana kemari jika
maslah ekonomi terjadi di negara ini. Tetapi akan lebih baik jika kita mematuhi kebijakan
yang ada, yang telah dibuat dan merasakan hasilnya walaupun hasil dari kebijakan tersebut
kadangkala tidak dirasakan secara nyata dalam jangka waktu yang singkat. Dengan adanya
artikel ini diharapkan dapat memberikan pengertian kepada pembaca mengenai kebijakan
makroprudensial untuk menjaga kestabilan sistem keuangan di negara Indonesia tercinta.
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Ika, Seli. 2016. Kebijakan Makroprudensial dalam Stabilitas Sistem Keuangan


http://moneterunej.blogspot.com/2016/06/kebijakan-makroprudensial-dalam_10.html
Diakses pada 28 November 2020 pukul 15.10 WIB

Anda mungkin juga menyukai