KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Disusun oleh:
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Husnurrosyidah, S. Pd., S.Ak., M.E.Sy., Ak.
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Praktikum Keuangan dan Investasi Syariah yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan. Kami
menyadari makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran sangat kami butuhkan agar dapat membangun untuk pembuatan selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................5
C. TUJUAN......................................................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................................................7
A. Konsep Stabilitas Sistem Keuangan............................................................................................7
B. Definisi dan Karakteristik Makroprudensial................................................................................8
C. Instrumen Kebijakan Makroprudensial.....................................................................................11
D. Teori dan Praktik Kebijakan Makroprudensial..........................................................................13
E. Kebijakan Makroprudensial Bank Sentral.................................................................................15
F. Kerangka Kebijakan Makroprudensial di Indonesia.................................................................16
BAB III..................................................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN..........................................................................................................................19
B. SARAN......................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
iv
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Stabilitas Sistem Keuangan
Fenomena krisis yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1997-1998 dan tahun
2008 menimbulkan trauma tersendiri bagi pemerintah dan membutuhkan banyak
waktu dan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi negara. Oleh karena itu
pentingnya menentukan fokus kebijakan ketika sistem keuangan dalam kondisi yang
rentan terhadap krisis. Untuk mencegah krisis terjadi kembali dibutuhkan indikator
stabilitas sistem keuangan yang sesuai dengan kondisi sistem keuangan saat ini. Salah
satu cara untuk mengukur stabilitas sistem keuangan yaitu dengan indikator financial
stress indeks yang merupakan salah satu pendekatan yang bisa mengambarkan
kestabilan di sistem keuangan dilihat dari profil risiko dari subsektor yang ada di
dalam sektor keuangan.1
vi
risk taking behavior, procyclical, interconnectedness, dan contagion/spillover.2
Konsep stabilitas sistem keuangan di Indonesia dalam perspektif kebijakan
makroprudensial didasarkan pada tujuan utama untuk meminimalisir resiko dan
memastikan keberlanjutan sektor keuangan serta mencegah terjadinya krisis keuangan
yang berdampak negatif pada perekonomian.
vii
penurunan daya beli penduduk Amerika Serikat dan peningkatan pengangguran.
Peristiwa mengajarkan kita bahwa kebijakan moneter saja tidak dapat mengatasi krisis
ekonomi yang disebabkan oleh ketidakstabilan sistem keuangan. Krisis yang erjadi
pada tahun 2008 menunjukkan bahwa menjaga stabilitas perekonomian tidak hanya
sekedar menjaga stabilitas harga saja, namun juga perlu menjaga stabilitas sistem
keuangan. Stabilitas sistem keuangan tercermin dari inflasi dan tingkat suku bunga
rendah, stabilitas sistem keuangan merupakan keadaan dimana sistem keuangan
mampu menahan guncangan tanpa mengganggu proses pengalokasian tabungan
untuk investasi dan pemrosesan pembayaran dalam perekonomian.
Biaya penyelamatan yang timbul akibat krisis ini sangatlah tinggi. Misalnya,
ketika Indonesia mengalami krisis mata uang pada tahun 1997-1998, biaya dana
talangan mencapai 51 persen PDB Indonesia. Selain itu, dampak penghematan akibat
krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008 diperkirakan mencapai lebih dari
434% PDB Amerika Serikat. Tingginya biaya penyelamatan krisis semakin
menunjukkan betapa pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan. Sistem keuangan cenderung menciptakan prosiklikalitas. Situasi dimana
pertumbuhan ekonomi meningkat pada fase ekspansi ekonomi dan memburuk pada
fase kontraksi. Ketika perekonomian berada dalam fase ekspansif, bank cenderung
meningkatkan pinjaman untuk memenuhi peningkatan permintaan kredit dan
mengabaikan risiko. Namun, ketika perekonomian berada dalam fase kontraksi, bank
cenderung meningkatkan penyaluran kredit untuk mengurangi penyaluran kredit guna
mengimbangi penurunan permintaan kredit.
viii
buruk hampir dalam satu dekade terakhir yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun
2006 kuartal III sebesar 9,76 persen dan tahun 2009 kuartal III 2009 sebesar 9,62
persen. Selain itu permasalahan fundamental pasar keuangan global juga masih
menjadi faktor melemahnya pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia, seperti stagnasi perekonomian negara-negara Eropa dan kenaikan suku
bunga di Inggris dan Amerika Serikat yang memicu investor global untuk menarik
dananya dari Indonesia.4
ix
Kebijakan makroprudensial memiliki beberapa instrument untuk memitigasi
risiko sistemik. Mengelompokkan instrumen makroprudensial berdasarkan dua
dimensi dari risiko sistemik. Instrumen makroprudensial dibagi dalam dua kategori,
yaitu: instrumen yang secara spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik, dan
instrumen yang tidak secara spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik tetapi
dapat dimodifikasi untuk menjadi bagian dari instrumen makroprudensial. Pada
kolom time dimension instrumen yang ada bersifat dinamis, dapat dinaikkan ketika
perekonomian sedang ekspansif dan diturunkan pada saat perekonomian kontraktif.
Hal tersebut ditujukan untuk mengatasi prosiklikalitas. Cross-sectional dimension
instrumen yang ada lebih ditujukan pada lembaga-lembaga keuangan yang berdampak
sistemik akibat adanya interconnectedness dengan mensyaratkan atau surcharge biaya
tambahan diatas persyaratan minimum kepada lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Secara garis besar instrumen kebijakan makroprudensial dalam time dimension
dibagi menjadi tiga, yaitu instrumen berbasis modal, instrumen berbasis likuiditas,
dan instrumen berbasis aset. Instrumen berbasis modal terdiri dari capital adequacy
ratio, countercyclical capital buffer, dynamic provisions, dan sectoral capital
requirements. Capital adequacy ratio adalah instrumen regulasi modal yang
mewajibkan bank untuk memiliki cadangan modal minimum. Countercyclical capital
buffer adalah instrumen regulasi modal yang mewajibkan bank untuk memiliki
tambahan modal diatas modal minimum. Dynamic provisions mendorong bank untuk
melakukan pencadangan yang bersifat forward looking ketika risiko mulai terjadi.
Sectoral capital requirements adalah persyaratan pencadangan modal tambahan
terhadap eksposur pada sektor-sektor tertentu yang dinilai dapat menimbulkan risiko
sistem keuangan secara keseluruhan, contohnya pada sektor properti. Instrumen
berbasis likuiditas dibagi menjadi dua yaitu countercyclical liquidity requirements
dan margins and haircuts in markets, merupakan aturan mengenai persyaratan
likuiditas agar bank dapat memenuhi kewajiban.
Likuiditasnya terhadap deposan dan terhindar dari risiko gagal bayar.
Instrumen- instrumen yang terdapat dalam countercyclical liquidity requirements
adalah reserve requirements, Loan to Deposit Ratio, LCR, dan NSFR. Basel III
memuat aturan mengenai standar likuiditas yang baik yaitu LCR (Liquid Coverage
Ratio) dan NSFR (Net Stable Funding Ratio). LCR adalah rasio untuk memastikan
bahwa bank memiliki kecukupan aset likuid berkualitas tinggi untuk memenuhi
kebutuhan likuiditasnya dalam 30 hari saat terjadi krisis. Sedangkan NSFR adalah
x
rasio untuk mengukur ketahanan jangka panjang bank yaitu ketersediaan sumber dana
bank yang lebih stabil untuk mendukung kegiatan bisnis secara struktural
berkesinambungan. Margin dan haircut adalah regulasi yang lebih ditujukan di bursa
OTC dengan pengurangan nilai aset berdasarkan risiko yang melekat pada aset
tersebut.
Instrumen berbasis aset dibagi menjadi dua yaitu regulasi LTV (Loan to
Value) dan (Debt To Income). LTV adalah rasio antara nilai kredit yang dapat
diberikan oleh bank terhadap nilai agunan peminjam pada saat awal pemberian kredit.
Rasio ini dipakai dalam kredit perumahan. Sedangkan DTI adalah rasio antara nilai
kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap pendapatan bulanan peminjam. LTV
dan DTI dimaksudkan agar bank tidak terlalu ekspansif dan cenderung mengabaikan
risiko dalam menyalurkan kreditnya sehingga terhindar dari risiko withdrawal risk
dan juga potensi risiko sistemik. Besarnya persentase ini dapat dinaikkan atau
diturunkan tergantung dari fase perekonomian untuk mengatasi prosiklikalitas.6
6
Eric Matheus Tena yoel, “Pengaruh Kebijakan Makroprudensial Terhadap Siklus Kredit: Sebuah Studi Atas
Penggunaan Instrumen CAR Dan GWM Perbankan Indonesia 2006-2013,” Jurnal Bina Ekonomi 20, no. 1
(2016): 81–82.
xi
mempertahankan SSK. Jika suatu lembaga keuangan (individu) bangkrut dan
dianggap tidak berdampak sistemik, maka hal tersebut dianggap sebagai masalah
kekurangan modal (insolvensi) karena kesalahan manajemen dan manajemen
risiko yang buruk, atau lembaga keuangan tersebut tidak mampu bersaing.
Kebangkrutan individu seperti ini merupakan proses alami dari restrukturisasi
sistem perbankan, dan merupakan ujian bagi ketahanan sistem keuangan secara
keseluruhan.
Bank yang dapat dianggap sebagai bank penting secara sistemik (SIB)
dibagi dalam empat kriteria yang meliputi skala, konektivitas, kompleksitas dan
substitusi (BIS, 2012). Sementara itu, bank sistemik menurut UU PSAK April
2016 adalah bank karena besarnya aset, modal, dan liabilitasnya; luasnya
jaringan atau kompleksitas transaksi jasa perbankan; dan keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan kebangkrutan sebagian atau seluruh
bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial,
jika bank tersebut mengalami gangguan atau kebangkrutan. Upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasi keberadaan bank sistemik dalam UU PPKSK adalah
dengan memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio
kecukupan likuiditas, menyusun rencana aksi yang paling sedikit memuat
kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk meningkatkan
modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank.
2. Instrumen
xii
deposit ratio) tergantung perubahan kondisi dan kebutuhan likuiditas,
penambahan instrumen bank yang bersifat sistemik atau statis (seperti: tambahan
modal). Keringanan utang derivatif dan non-inti, dibandingkan dengan risiko
terkait dan struktur pasar sering menggunakan instrumen untuk aspek lintas
sektor seperti likuiditas yang lebih tinggi dan kebutuhan modal untuk risiko
sistemik bank atau tambahan premi asuransi simpanan untuk risiko sistemik.
Urgensi dan penguatan kerangka SSK oleh bank sentral memerlukan adanya
infrastruktur keuangan yang kuat dengan fungsi pemantauan dan pengawasan yang
memadai untuk mendukung integrasi pasar nasional ke dalam sistem keuangan yang
semakin kompleks. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat kerangka hukum atau
kebijakan makroprudensial untuk membatasi risiko jika pasar keuangan mengalami
tekanan yang signifikan dalam jangka waktu yang lama yang kemudian dapat
menyebabkan penurunan output riil perekonomian. Terdapat dua aspek penting dalam
kebijakan makroprudensial, yaitu:
1) Dimensi waktu (time series)
Dimensi waktu merupakan kebijakan makroprudensial yang bertujuan
untuk mengurangi ekses risiko prosiklikal pada sistem keuangan. Kebijakan
makroprudensial harus dirancang dengan baik untuk menghilangkan atau
setidaknya meminimalkan prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana
mendorong lembaga-lembaga keuangan untuk menyiapkan bantalan atau buffer
xiii
yang memadai pada saat perekonomian sedang sehat, yaitu ketika
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan biasanya muncul, dan bagaimana
menggunakan penyangga tersebut ketika perekonomian sedang buruk.
xiv
systemically important bank dan atau bank lainnya sesuai kewenangan di bidang
makroprudensial Bank Indonesia. OJK sebagai lembaga tersendiri wajib
berkoordinasi dengan Bank Indonesia mengenaipembuatan peraturan pengawasan di
bidang perbankan, antara lain dalam penentuan institusi bank yang masuk dalam
katogori systemically important bank. Selain berkoordinasi dengan Bank Indonesia,
OJK juga membantu dalam melakukan himbauan moral (moral suasion) pada
perbankan. Kondisi perekonomian yang stabil tercermin dari kinerja indikator
makroekonomi, sistem pembayaran yang aman dan sehat, lem- baga keuangan yang
sehat serta kerangka pengawasan yang baik. Kerangka pengawasan makroprudensial
yang sehat adalah salah satu faktor penun- jang yang dibutuhkan untuk mencapai
stabilitas sistem keuangan yang baik, sehat dan kuat. Kebijakan makroprudensial
berperan penting dalam mendukung stabilitas sistem keuangan, terutama dalam
mendorong ketahanan dan efisiensi sistem keuangan.
Kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia dilakukan melalui enam
tahapan. Tujuan kerangka kebijakan makroprudensial secara umum adalah untuk
mengidentifikasikan risiko yang ada dalam sistem keuangan yang dapat berpotensi
memiliki dampak sistemik, untuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar
dan media atau channel penyebarannya, serta kapan waktu yang tepat untuk otoritas
dapat bereaksi dengan mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah
penyebaran adanya dampak risiko bagi sistem keuangan, makroekonomi dan sektor
riil. Pelaksanaan enam tahapan tersebut meliputi:
a. Monitoring terhadap kebijakan, indikator, dan atau perilaku dalam sistem
keuangan yang dapat merepresentasikan potensi risiko (sinyal imbalance dan
vulnerabilities)
b. Identifikasi jenis-jenis risiko yang ada pada sistem keuangan, yang berpotensi
menimbulkan dampak sistemik khususnya;
c. Penilaian risiko untuk mengetahui bagaimana suatu risiko menyebar beserta
media atau channel penyebarannya, dan mengukur seberapa besar dampak yang
ditimbulkan;
d. Pemberian sinyal risiko kepada internal (termasuk otoritas sistem keuangan
lainnya) maupun eksternal seperti publik, institusi keuangan dan pelaku pasar.
Tahap pertama sampai ke empat adalah elemen pertama dari kebijakan
makroprudensial, yakni makroprudensial surveillance. Apabila tahap keempat berupa
pemberian sinyal risiko berada pada angka yang rendah dan mendekati threshold,
xv
tahapan dilanjutkan pada elemen kedua untuk mencegah dampak sistemik yang
semakin meluas dan dampak pada varia- bel makroekonomi, yaitu dengan
mengeluarkan instrumen kebijakan makroprudensial yang terdiri atas:
a) Desain dan implementasi kebijakan (tahap kelima), dan
b) Evaluasi efektivitas kebijakan (tahap keenam).
Apabila pemberian sinyal risiko menunjukkan hasil yang kecil di bawah
threshold, maka tahapan dari macroprudensial surviellance dapat dilanjutkan tanpa
perlu dikeluarkannya instrumen kebijakan makroprudensial. Namun, jika sinyal risiko
menunjukkan angka yang tinggi melewati threshold, kondisi tersebut
mengidentifikasikan bahwa Crisis Management Protocols (CMP) perlu diaktifkan.
Hingga tahun 2013 akhir, Bank Indonesia telah mengeluarkan setidaknya empat
ketentuan/pedoman yang merupakan instrumen kebijakan makroprudensial yang
meliputi loan to value (LTV) untuk kredit perumahan dan down payment (DP) untuk
kredit kendaraan bermotor, perhitungan giro wajib minimum rupiah yang berdasarkan
loan deposit ratio (GWM LDR), posisi devisa neto (PDN) serta transparansi suku
bunga dasar kredit (SBDK). Ke depannya, Bank Indonesia mengimplementasikan dua
instrumen kebijakan makroprudensial yang terdiri atas countercyclical capital buffer
(CCB) dan capital surcharge.7
7
Adhitya Wardhono et al., Perilaku Kebijakan Bank Sentral Di Indonesia (Pustaka Abadi, 2019).
xvi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Demikianlah makalah yang telah kami buat, namun dari kami menyadari
bahwa kesalahan masih sering terjadi dalam menyusun makalah ini, untuk itu kami
memohon untuk memberikan masukan atau saran demi kemajuan dan koreksi
makalah yang kami buat agar menjadi lebih baik lagi nantinya.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Ardely, Novrianti Putri, and Syofriza Syofyan. “Efektivitas Kebijakan Makroprudensial Bank
Indonesia.” Media Ekonomi 24, no. 1 (2016): 49–62.
Dewi, Apriliani, and Dewi Mahrani Rangkuty. “Studi Kajian Sektor Moneter Terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia.” Student Research Jurnal 1, no. 4 (2023).
Kusuma, Naufal Putra. “Efektifitas Kebijakan Makroprudensial Dalam Mengatasi Credit
Boom , Asset Bubbles Dan Prosiklikalitas Modal :” Parahyangan Economic
Development Review (PEDR) 1, no. 2 (2022): 104–115.
Tena Yoel, Eric Matheus. “Pengaruh Kebijakan Makroprudensial Terhadap Siklus Kredit:
Sebuah Studi Atas Penggunaan Instrumen CAR Dan GWM Perbankan Indonesia 2006-
2013.” Jurnal Bina Ekonomi 20, no. 1 (2016): 77–96.
Ulfa, Fithri Atika. “Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia Tahun 1996-2016.” Jurnal
Ilmiah (2018): 1–10.
VITRIYAH, Nurul Lailatul, Moh. Adenan MOH ADENAN, and Duwi YUNITASARI.
“Financial Stress Index in Indonesia” (2020): 282.
Wardhono, Adhitya, Yulia Indrawati, Ciplis Gema Qoriah, and M. Abd Nasir. Perilaku
Kebijakan Bank Sentral Di Indonesia. Pustaka Abadi, 2019.
xviii