Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah: Kebanksentralan

Dosen pengampu: Husnurrosyidah, S. Pd., S.Ak., M.E.Sy., Ak.

Disusun oleh:

1. Novia Fitri Azzahra (2150110046)


2. Fitrotul Hidayah (2150110048)
3. A’izzatul Fitriya Rohmah (2150110053)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Investasi Syariah
dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Nasional” tepat pada waktunya. Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Kebanksentralan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Husnurrosyidah, S. Pd., S.Ak., M.E.Sy., Ak.
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Praktikum Keuangan dan Investasi Syariah yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan. Kami
menyadari makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran sangat kami butuhkan agar dapat membangun untuk pembuatan selanjutnya.

Kudus, 7 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................5
C. TUJUAN......................................................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................................................7
A. Konsep Stabilitas Sistem Keuangan............................................................................................7
B. Definisi dan Karakteristik Makroprudensial................................................................................8
C. Instrumen Kebijakan Makroprudensial.....................................................................................11
D. Teori dan Praktik Kebijakan Makroprudensial..........................................................................13
E. Kebijakan Makroprudensial Bank Sentral.................................................................................15
F. Kerangka Kebijakan Makroprudensial di Indonesia.................................................................16
BAB III..................................................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN..........................................................................................................................19
B. SARAN......................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Bank Indonesia menjelaskan bahwa stabilitas sistem keuangan sebagai kondisi


dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana, dan pengelolaan
resiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Selama dua
dekade terakhir, stabilitas sistem keuangan telah menjadi fokus penting dalam agenda
internasional. Hal tersebut dikarenakan sistem keuangan yang stabil membantu
realokasi sumber daya, terutama dalam hal dana, sehingga dana yang berlebihan di
unit yang surplus dapat dimanfaatkan oleh unit yang defisit. Sehingga sistem
keuangan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian nasional dengan
meningkatkan efisiensi penggunaan dana di perekonomian. Oleh karena itu, stabilitas
system keuangan berkaitan dengan stabilitas suatu perekonomian.

Makroprudensial dan mikroprudensial merupakan dua kata yang mengandung


banyak makna dan perbedaan. Makroprudensial merupakan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sedangakn Mikroprudensial
merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua
lembaga tersebut merupakan Lembaga negara yang independent dan hamper memiliki
tugas yang sama yaitu menstabilkan sistem keuangan. Makroprudensial memiliki
suatu sasaran untuk menjaga ketahanan sektor keuangan secara keseluruhan dan
mampu mengatasi sistem keuangan yang diakibatkan adanya krisis yang merugikan
perekonomian. Kebijakan makroprudensial juga memiliki sasaran utama untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan
peningkatan resiko sistematik pada instrument yang ditujukan untuk prosiklikalitas
dan common exposure. Instrumen makroprudensial digunakan untuk memitigasi tiga
kategori resiko sistematik yaitu resiko akibat pertumbuhan kredit yang terlalu kuat,
resiko likuiditas, dan resiko akibat arus modal masuk yang deras. Pendekatan
makroprudensial muncul akibat kegagalan pendekatan mikroprudensial dalam
mengantisipasi krisis keuangan. Pendekatan mikroprudensial menganggap bahwa
apabila pengawasan dilakukan terhadap masing-masing lembaga keuangan, maka
risiko-risiko yang hanya terlihat pada tingkat sistem.

iv
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep stabilitas system keuangan?


2. Bagaimana definisi dan karakteristik kebijakan makroprudensial?
3. Bagaimana instrument kebijakan makroprudensial?
4. Bagaimana teori dan praktek kebijakan makroprudensial?
5. Bagaimana kebijakan makroprudensial bank sentral?
6. Bagaimana kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui konsep stabilitas system keuangan.


2. Untuk mengetahui definisi dan karakteristik kebijakan makroprudensial.
3. Untuk mengetahui instrument kebijakan makroprudensial.
4. Untuk mengetahui teori dan praktek kebijakan makroprudensial.
5. Untuk mengetahui kebijakan makroprudensial bank sentral.
6. Untuk mengetahui kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia.

v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Stabilitas Sistem Keuangan

Bank Indonesia mengemukakan bahwa stabilitas sistem keuangan adalah


sistem keuangan yang stabil yang mampu mengalokasikan sumber dana dan
menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap
kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Menteri keuangan turut menyatakan faktor-
faktor yang dapat mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, yaitu lingkungan
ekonomi makro yang stabil, lembaga keuangan yang dikelola dengan baik,
pengawasan institusi keuangan yang efektif serta memiliki sistem pembayaran yang
aman dan handal.

Fenomena krisis yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1997-1998 dan tahun
2008 menimbulkan trauma tersendiri bagi pemerintah dan membutuhkan banyak
waktu dan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi negara. Oleh karena itu
pentingnya menentukan fokus kebijakan ketika sistem keuangan dalam kondisi yang
rentan terhadap krisis. Untuk mencegah krisis terjadi kembali dibutuhkan indikator
stabilitas sistem keuangan yang sesuai dengan kondisi sistem keuangan saat ini. Salah
satu cara untuk mengukur stabilitas sistem keuangan yaitu dengan indikator financial
stress indeks yang merupakan salah satu pendekatan yang bisa mengambarkan
kestabilan di sistem keuangan dilihat dari profil risiko dari subsektor yang ada di
dalam sektor keuangan.1

Dalam menjalankan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menjalankan


empat strategi yaitu pemantapan regulasi dan standar, peningkatan riset dan
surveillance, peningkatan kondisi dan kerjasama, serta penetapan jaring pengaman
dan penyelesaian krisis. Indikator makroprudensial dilakukan terhadap kondisi sistem
keuangan secara keseluruhan sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan.
Pada perspektif ini, risiko diukur dari spillover dampak dan biaya yang ditimbulkan,
termasuk interaksi dengan makroekonomi. Kesehatan dan kinerja institusi keuangan
tidak lagi menjadi syarat yang diperlukan bagi stabilitas sistem keuangan apabila
kegagalan/risiko pada satu atau beberapa institusi tidak menimbulkan dampak
signifikan pada sistem. Kebijakan makroprudensial perlu dilakukan guna menghindari
1
Nurul Lailatul VITRIYAH, Moh. Adenan MOH ADENAN, and Duwi YUNITASARI, “Financial Stress Index
in Indonesia” (2020): 282.

vi
risk taking behavior, procyclical, interconnectedness, dan contagion/spillover.2
Konsep stabilitas sistem keuangan di Indonesia dalam perspektif kebijakan
makroprudensial didasarkan pada tujuan utama untuk meminimalisir resiko dan
memastikan keberlanjutan sektor keuangan serta mencegah terjadinya krisis keuangan
yang berdampak negatif pada perekonomian.

Stabilitas sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam


perekonomian suatu negara karena merupakan suatu kondisi dimana mekanisme
ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara
baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan
tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik
maka dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Stabilitas sistem
keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang
dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan
dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak yang pada umumnya
merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena aktor struktural maupun
perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (Internasional)
dan internal (domestik). Meningkatnya kecenderungan pengaruh yang bersumber dari
Internasioal (globalisasi sektor finansial) yang didukung oleh perkembangan
teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda
waktu dan batas wilayah. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sistem
keuangan dapat mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak
menguntungkan seperti: Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal
sehingga kebijakan moneter menjadi tidak efektif, fungsi intermediasi tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya. 3

B. Definisi dan Karakteristik Makroprudensial

Krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika Serikat disebabkan oleh peningkatan


jumlah kredit disektor properti yang menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan,
peningkatan suku bunga pinjaman, dan penurunan pertumbuhan produk domestik
bruto (PDB). Amerika Serikat menggunakan instrumen kebijakan moneter untuk
mengatasi krisis ekonomi saat ini, dengan tujuan mengurangi pinjaman berisiko di
sektor properti. Namun, hal ini sebenarnya juga mempunyai dampak lain, antara lain:
2
Fithri Atika Ulfa, “Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia Tahun 1996-2016,” Jurnal Ilmiah (2018): 1–10.
3

vii
penurunan daya beli penduduk Amerika Serikat dan peningkatan pengangguran.
Peristiwa mengajarkan kita bahwa kebijakan moneter saja tidak dapat mengatasi krisis
ekonomi yang disebabkan oleh ketidakstabilan sistem keuangan. Krisis yang erjadi
pada tahun 2008 menunjukkan bahwa menjaga stabilitas perekonomian tidak hanya
sekedar menjaga stabilitas harga saja, namun juga perlu menjaga stabilitas sistem
keuangan. Stabilitas sistem keuangan tercermin dari inflasi dan tingkat suku bunga
rendah, stabilitas sistem keuangan merupakan keadaan dimana sistem keuangan
mampu menahan guncangan tanpa mengganggu proses pengalokasian tabungan
untuk investasi dan pemrosesan pembayaran dalam perekonomian.

Biaya penyelamatan yang timbul akibat krisis ini sangatlah tinggi. Misalnya,
ketika Indonesia mengalami krisis mata uang pada tahun 1997-1998, biaya dana
talangan mencapai 51 persen PDB Indonesia. Selain itu, dampak penghematan akibat
krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008 diperkirakan mencapai lebih dari
434% PDB Amerika Serikat. Tingginya biaya penyelamatan krisis semakin
menunjukkan betapa pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan. Sistem keuangan cenderung menciptakan prosiklikalitas. Situasi dimana
pertumbuhan ekonomi meningkat pada fase ekspansi ekonomi dan memburuk pada
fase kontraksi. Ketika perekonomian berada dalam fase ekspansif, bank cenderung
meningkatkan pinjaman untuk memenuhi peningkatan permintaan kredit dan
mengabaikan risiko. Namun, ketika perekonomian berada dalam fase kontraksi, bank
cenderung meningkatkan penyaluran kredit untuk mengurangi penyaluran kredit guna
mengimbangi penurunan permintaan kredit.

Pasca pemulihan krisis Asia 1997/1998 perilaku prosiklikalitas perbankan


Indonesia semakin meningkat terutama berlangsung sejak September 2009.
Penyaluran kredit di Indonesia dalam 10 tahun terakhir tumbuh cukup berfluktuasi
dengan kisaran antara 10 persen hingga hampir dikisaran 40 persen. Namun, pada
tahun 2014 di kuartal empat yang terlihat dalam gambar 1, kredit perbankan tumbuh
melambat hampir dua kali lipat menjadi 11,65 persen dibandingkan tahun sebelumnya
pada kuartal yang sama yaitu sebesar 21,80 persen sejalan dengan perlambatan
pertumbuhan ekonomi domestik yang hanya tumbuh sebesar 5,03 persen sebagai
salah satu akibat dari melemahnya ekonomi Tiongkok, sehingga menimbulkan
kontraksi dalam pertumbuhan ekspor, khususnya komoditas berbasis sumber daya
alam. Penurunan pertumbuhan kredit tersebut merupakan salah satu yang paling

viii
buruk hampir dalam satu dekade terakhir yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun
2006 kuartal III sebesar 9,76 persen dan tahun 2009 kuartal III 2009 sebesar 9,62
persen. Selain itu permasalahan fundamental pasar keuangan global juga masih
menjadi faktor melemahnya pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia, seperti stagnasi perekonomian negara-negara Eropa dan kenaikan suku
bunga di Inggris dan Amerika Serikat yang memicu investor global untuk menarik
dananya dari Indonesia.4

Dalam rangka untuk menghadapi perilaku prosiklikal tersebut dibutuhkan


kebijakan yang bersifat sebagai countercyclical yang dapat mengerem laju
pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi saat fase ekspansi dan mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi yang rendah atau bahkan negatif saat fase kontraksi. Kebijakan
makroprudensial merupakan kebijakan countercyclical yang bertujuan untuk menjaga
ketahanan sektor keuangan secara keseluruhan sehingga dapat mengatasi risiko
sistemik yang timbul dari kegagalan lembaga dan pasar keuangan serta penyebab
krisis. Istilah kebijakan makroprudensial muncul sejak krisis keuangan global tahun
2008, namun pengenalan perangkat kebijakan makroprudensial telah diterapkan di
berbagai negara untuk mengatasi aspek-aspek spesifik dari risiko sistemik, tanpa
menyebutnya sebagai kebijakan makroprudensial.

Kebijakan makroprudensial mempunyai tujuan antara dan tujuan akhir.


Kebijakan Makroprudensial tujuan antara adalah untuk memantau dan mengevaluasi
sistem keuangan secara keseluruhan, dan tujuan akhir dari kebijakan makroprudensial
adalah untuk mengurangi dampak krisis.

Peran kebijakan makroprudensial dalam memitigasi risiko sistemik:

a) mengurangi kemungkinan munculnya ketidakseimbangan keuangan


b) Membangun mekanisme pertahanan terhadap kemerosotan ekonomi.
c) mengidentifikasi dan mengatasi risiko-risiko umum, konsentrasi risiko,
koneksi dan saling ketergantungan di antara lembaga-lembaga keuangan yang dapat
menyebarkan risiko ke seluruh sistem keuangan5

C. Instrumen Kebijakan Makroprudensial


4
Novrianti Putri Ardely and Syofriza Syofyan, “Efektivitas Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia,” Media
Ekonomi 24, no. 1 (2016): 49–62.
5
Eric Matheus Tena Yoel, “Pengaruh Kebijakan Makroprudensial Terhadap Siklus Kredit,” Bina Ekonomi 20, no.
1 (2016): 77–96.

ix
Kebijakan makroprudensial memiliki beberapa instrument untuk memitigasi
risiko sistemik. Mengelompokkan instrumen makroprudensial berdasarkan dua
dimensi dari risiko sistemik. Instrumen makroprudensial dibagi dalam dua kategori,
yaitu: instrumen yang secara spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik, dan
instrumen yang tidak secara spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik tetapi
dapat dimodifikasi untuk menjadi bagian dari instrumen makroprudensial. Pada
kolom time dimension instrumen yang ada bersifat dinamis, dapat dinaikkan ketika
perekonomian sedang ekspansif dan diturunkan pada saat perekonomian kontraktif.
Hal tersebut ditujukan untuk mengatasi prosiklikalitas. Cross-sectional dimension
instrumen yang ada lebih ditujukan pada lembaga-lembaga keuangan yang berdampak
sistemik akibat adanya interconnectedness dengan mensyaratkan atau surcharge biaya
tambahan diatas persyaratan minimum kepada lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Secara garis besar instrumen kebijakan makroprudensial dalam time dimension
dibagi menjadi tiga, yaitu instrumen berbasis modal, instrumen berbasis likuiditas,
dan instrumen berbasis aset. Instrumen berbasis modal terdiri dari capital adequacy
ratio, countercyclical capital buffer, dynamic provisions, dan sectoral capital
requirements. Capital adequacy ratio adalah instrumen regulasi modal yang
mewajibkan bank untuk memiliki cadangan modal minimum. Countercyclical capital
buffer adalah instrumen regulasi modal yang mewajibkan bank untuk memiliki
tambahan modal diatas modal minimum. Dynamic provisions mendorong bank untuk
melakukan pencadangan yang bersifat forward looking ketika risiko mulai terjadi.
Sectoral capital requirements adalah persyaratan pencadangan modal tambahan
terhadap eksposur pada sektor-sektor tertentu yang dinilai dapat menimbulkan risiko
sistem keuangan secara keseluruhan, contohnya pada sektor properti. Instrumen
berbasis likuiditas dibagi menjadi dua yaitu countercyclical liquidity requirements
dan margins and haircuts in markets, merupakan aturan mengenai persyaratan
likuiditas agar bank dapat memenuhi kewajiban.
Likuiditasnya terhadap deposan dan terhindar dari risiko gagal bayar.
Instrumen- instrumen yang terdapat dalam countercyclical liquidity requirements
adalah reserve requirements, Loan to Deposit Ratio, LCR, dan NSFR. Basel III
memuat aturan mengenai standar likuiditas yang baik yaitu LCR (Liquid Coverage
Ratio) dan NSFR (Net Stable Funding Ratio). LCR adalah rasio untuk memastikan
bahwa bank memiliki kecukupan aset likuid berkualitas tinggi untuk memenuhi
kebutuhan likuiditasnya dalam 30 hari saat terjadi krisis. Sedangkan NSFR adalah

x
rasio untuk mengukur ketahanan jangka panjang bank yaitu ketersediaan sumber dana
bank yang lebih stabil untuk mendukung kegiatan bisnis secara struktural
berkesinambungan. Margin dan haircut adalah regulasi yang lebih ditujukan di bursa
OTC dengan pengurangan nilai aset berdasarkan risiko yang melekat pada aset
tersebut.
Instrumen berbasis aset dibagi menjadi dua yaitu regulasi LTV (Loan to
Value) dan (Debt To Income). LTV adalah rasio antara nilai kredit yang dapat
diberikan oleh bank terhadap nilai agunan peminjam pada saat awal pemberian kredit.
Rasio ini dipakai dalam kredit perumahan. Sedangkan DTI adalah rasio antara nilai
kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap pendapatan bulanan peminjam. LTV
dan DTI dimaksudkan agar bank tidak terlalu ekspansif dan cenderung mengabaikan
risiko dalam menyalurkan kreditnya sehingga terhindar dari risiko withdrawal risk
dan juga potensi risiko sistemik. Besarnya persentase ini dapat dinaikkan atau
diturunkan tergantung dari fase perekonomian untuk mengatasi prosiklikalitas.6

D. Teori dan Praktik Kebijakan Makroprudensial

1. Asas dan Tujuan

Kebijakan makroprudensial berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan


lembaga jasa keuangan yang bersifat makroekonomi dan fokus pada risiko
sistemik untuk mencapai SSK. Tujuan utama kebijakan makroprudensial adalah
meminimalkan risiko yang timbul dari prosiklikalitas keterkaitan keuangan makro
dan akumulasi risiko sistemik yang timbul dari keterkaitan dan jaringan antara
dan dalam lembaga keuangan, pasar serta infrastruktur dan sistem
pembayarannya. Tujuan pertama dari kebijakan makroprudensial adalah untuk
mencegah akumulasi risiko boom dan bust siklus keuangan yang disebabkan
oleh faktor-faktor dalam sistem keuangan dan interaksinya dengan perekonomian
nasional dan internasional (aspek waktu). Tujuan kedua berwawasan makro dan
fokus pada risiko sistemik pada SSK, berbeda dengan tujuan pengaturan dan
pengawasan mikroprudensial untuk menjaga kesehatan barang individual
perbankan dan lembaga keuangan non bank. Seperti disebutkan sebelumnya,
kesehatan masing-masing lembaga keuangan penting namun tidak cukup untuk

6
Eric Matheus Tena yoel, “Pengaruh Kebijakan Makroprudensial Terhadap Siklus Kredit: Sebuah Studi Atas
Penggunaan Instrumen CAR Dan GWM Perbankan Indonesia 2006-2013,” Jurnal Bina Ekonomi 20, no. 1
(2016): 81–82.

xi
mempertahankan SSK. Jika suatu lembaga keuangan (individu) bangkrut dan
dianggap tidak berdampak sistemik, maka hal tersebut dianggap sebagai masalah
kekurangan modal (insolvensi) karena kesalahan manajemen dan manajemen
risiko yang buruk, atau lembaga keuangan tersebut tidak mampu bersaing.
Kebangkrutan individu seperti ini merupakan proses alami dari restrukturisasi
sistem perbankan, dan merupakan ujian bagi ketahanan sistem keuangan secara
keseluruhan.

Bank yang dapat dianggap sebagai bank penting secara sistemik (SIB)
dibagi dalam empat kriteria yang meliputi skala, konektivitas, kompleksitas dan
substitusi (BIS, 2012). Sementara itu, bank sistemik menurut UU PSAK April
2016 adalah bank karena besarnya aset, modal, dan liabilitasnya; luasnya
jaringan atau kompleksitas transaksi jasa perbankan; dan keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan kebangkrutan sebagian atau seluruh
bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial,
jika bank tersebut mengalami gangguan atau kebangkrutan. Upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasi keberadaan bank sistemik dalam UU PPKSK adalah
dengan memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio
kecukupan likuiditas, menyusun rencana aksi yang paling sedikit memuat
kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk meningkatkan
modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank.

2. Instrumen

Instrumen makroprudensial berdasarkan jenis risiko yaitu, risiko eksposur


ledakan kredit/gelembung harga aset, risiko likuiditas/pasar dan risiko
hubungan/struktur pasar, masing-masing dimensi risiko, bersifat fleksibel
sepanjang waktu atau statis antar industri. Risiko pertama umumnya merupakan
instrumen dengan dimensi antar-waktu yang menangani properti pro-siklikal yang
muncul, seperti LTV dan counter-cyclical capital buffer. Counter-cyclical capital
buffer sendiri merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai buffer
(penyangga) terhadap kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau
pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu
stabilitas sistem keuangan. Risiko yang kedua adalah risiko likuiditas/pasar,
instrumen yang dapat digunakan adalah instrumen inter-time seperti LDR (loan to

xii
deposit ratio) tergantung perubahan kondisi dan kebutuhan likuiditas,
penambahan instrumen bank yang bersifat sistemik atau statis (seperti: tambahan
modal). Keringanan utang derivatif dan non-inti, dibandingkan dengan risiko
terkait dan struktur pasar sering menggunakan instrumen untuk aspek lintas
sektor seperti likuiditas yang lebih tinggi dan kebutuhan modal untuk risiko
sistemik bank atau tambahan premi asuransi simpanan untuk risiko sistemik.

Berdasarkan pengamatan di atas, kebijakan makroprudensial dapat


dilonggarkan atau diperketat tergantung pada tingkat risiko yang diperkirakan
terkait dengan prosiklikalitas dan risiko sistemik yang diperkirakan akan muncul
saat ini. Claessens membagi alat kebijakan makroprudensial ke dalam kondisi
ekonomi seperti kontraksi dan ekspansi ekonomi atau untuk memitigasi risiko
epidemi terkait dengan jaringan dan keterkaitan keuangan. Selama periode
ekspansi ekonomi, peningkatan LTV, rasio GWM, dan counter-cyclical buffer
dapat diterapkan. Selama krisis ekonomi, tarif yang berlaku selama ekspansi
ekonomi mungkin akan dilonggarkan. Sesuaikan cadangan, margin, dan diskon.
Instrumen untuk memitigasi epidemi ini adalah penerapan kebijakan
makroprudensial yang lebih ketat bagi bank atau lembaga keuangan sistemik.

E. Kebijakan Makroprudensial Bank Sentral

Urgensi dan penguatan kerangka SSK oleh bank sentral memerlukan adanya
infrastruktur keuangan yang kuat dengan fungsi pemantauan dan pengawasan yang
memadai untuk mendukung integrasi pasar nasional ke dalam sistem keuangan yang
semakin kompleks. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat kerangka hukum atau
kebijakan makroprudensial untuk membatasi risiko jika pasar keuangan mengalami
tekanan yang signifikan dalam jangka waktu yang lama yang kemudian dapat
menyebabkan penurunan output riil perekonomian. Terdapat dua aspek penting dalam
kebijakan makroprudensial, yaitu:
1) Dimensi waktu (time series)
Dimensi waktu merupakan kebijakan makroprudensial yang bertujuan
untuk mengurangi ekses risiko prosiklikal pada sistem keuangan. Kebijakan
makroprudensial harus dirancang dengan baik untuk menghilangkan atau
setidaknya meminimalkan prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana
mendorong lembaga-lembaga keuangan untuk menyiapkan bantalan atau buffer

xiii
yang memadai pada saat perekonomian sedang sehat, yaitu ketika
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan biasanya muncul, dan bagaimana
menggunakan penyangga tersebut ketika perekonomian sedang buruk.

2) Dimensi lintas sektoral (cross-section)


Dimensi lintas sektoral merupakan aspek yang dapat mengalihkan fokus
dari pengaturan kehati-hatian yang berlaku pada lembaga keuangan (individu) ke
pengaturan sistem yang lebih luas atau secara umum. Gejala krisis keuangan
bukan disebabkan oleh permasalahan yang disebabkan oleh masing-masing bank
yang kemudian menjalar ke seluruh sistem keuangan, namun krisis besar terjadi
karena ketidakseimbangan makroekonomi yang dihadapi sebagian besar bank
entitas dalam sistem keuangan. Satu hal yang umum dapat diidentifikasi:
perlunya visi sistem keuangan yang lebih global dan hubungannya dengan
makroekonomi dilihat dari berbagai perspektif.

F. Kerangka Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Indonesia dilanda krisis keuangan tahun 1997/98, yang mengakibatkan biaya


pemulihan yang signifikan, yaitu sekitar 51% PDB. Belajar dari kejadian tersebut,
Bank Indonesia sejak tahun 2003 telah berperan aktif dalam mendorong stabilitas
sistem keuangan di Indonesia. Dalam upaya mencapai stabilitas sistem keuangan,
Bank Indonesia telah menyusun rancangan stabilitas sistem keuangan Indonesia oleh
Satuan Kerja Perbankan Unit Program Khusus. Peran Bank Indonesia dalam
menjalankan fungsi makroprudensial secara jelas tertuang dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
tanggal 22 November 2011. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pengawasan
perbankan atau fungsi mikroprudensial telah berjalan dengan baik didelegasikan di
masa lalu di Bank Indonesia, mulai tahun 2011 berpindah ke OJK. Tugas dan fungsi
yang berpindah tangan tersebut meliputi pengawasan terhadap lembaga keuangan
perbankan, yang meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian dan pemeriksaan
bank. Bank Indonesia yang telah mengalihkan fungsi pengawasan bank masih tetap
memiliki tugas pengaturan perbankan yang berhubungan dengan aspek
makroprudensial.
Bank Indonesia yang melakukan kebijakan makroprudensial dapat melakukan
pemeriksaan secara langsung pada bank tertentu yang masuk dalam kategori

xiv
systemically important bank dan atau bank lainnya sesuai kewenangan di bidang
makroprudensial Bank Indonesia. OJK sebagai lembaga tersendiri wajib
berkoordinasi dengan Bank Indonesia mengenaipembuatan peraturan pengawasan di
bidang perbankan, antara lain dalam penentuan institusi bank yang masuk dalam
katogori systemically important bank. Selain berkoordinasi dengan Bank Indonesia,
OJK juga membantu dalam melakukan himbauan moral (moral suasion) pada
perbankan. Kondisi perekonomian yang stabil tercermin dari kinerja indikator
makroekonomi, sistem pembayaran yang aman dan sehat, lem- baga keuangan yang
sehat serta kerangka pengawasan yang baik. Kerangka pengawasan makroprudensial
yang sehat adalah salah satu faktor penun- jang yang dibutuhkan untuk mencapai
stabilitas sistem keuangan yang baik, sehat dan kuat. Kebijakan makroprudensial
berperan penting dalam mendukung stabilitas sistem keuangan, terutama dalam
mendorong ketahanan dan efisiensi sistem keuangan.
Kerangka kebijakan makroprudensial di Indonesia dilakukan melalui enam
tahapan. Tujuan kerangka kebijakan makroprudensial secara umum adalah untuk
mengidentifikasikan risiko yang ada dalam sistem keuangan yang dapat berpotensi
memiliki dampak sistemik, untuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar
dan media atau channel penyebarannya, serta kapan waktu yang tepat untuk otoritas
dapat bereaksi dengan mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah
penyebaran adanya dampak risiko bagi sistem keuangan, makroekonomi dan sektor
riil. Pelaksanaan enam tahapan tersebut meliputi:
a. Monitoring terhadap kebijakan, indikator, dan atau perilaku dalam sistem
keuangan yang dapat merepresentasikan potensi risiko (sinyal imbalance dan
vulnerabilities)
b. Identifikasi jenis-jenis risiko yang ada pada sistem keuangan, yang berpotensi
menimbulkan dampak sistemik khususnya;
c. Penilaian risiko untuk mengetahui bagaimana suatu risiko menyebar beserta
media atau channel penyebarannya, dan mengukur seberapa besar dampak yang
ditimbulkan;
d. Pemberian sinyal risiko kepada internal (termasuk otoritas sistem keuangan
lainnya) maupun eksternal seperti publik, institusi keuangan dan pelaku pasar.
Tahap pertama sampai ke empat adalah elemen pertama dari kebijakan
makroprudensial, yakni makroprudensial surveillance. Apabila tahap keempat berupa
pemberian sinyal risiko berada pada angka yang rendah dan mendekati threshold,

xv
tahapan dilanjutkan pada elemen kedua untuk mencegah dampak sistemik yang
semakin meluas dan dampak pada varia- bel makroekonomi, yaitu dengan
mengeluarkan instrumen kebijakan makroprudensial yang terdiri atas:
a) Desain dan implementasi kebijakan (tahap kelima), dan
b) Evaluasi efektivitas kebijakan (tahap keenam).
Apabila pemberian sinyal risiko menunjukkan hasil yang kecil di bawah
threshold, maka tahapan dari macroprudensial surviellance dapat dilanjutkan tanpa
perlu dikeluarkannya instrumen kebijakan makroprudensial. Namun, jika sinyal risiko
menunjukkan angka yang tinggi melewati threshold, kondisi tersebut
mengidentifikasikan bahwa Crisis Management Protocols (CMP) perlu diaktifkan.
Hingga tahun 2013 akhir, Bank Indonesia telah mengeluarkan setidaknya empat
ketentuan/pedoman yang merupakan instrumen kebijakan makroprudensial yang
meliputi loan to value (LTV) untuk kredit perumahan dan down payment (DP) untuk
kredit kendaraan bermotor, perhitungan giro wajib minimum rupiah yang berdasarkan
loan deposit ratio (GWM LDR), posisi devisa neto (PDN) serta transparansi suku
bunga dasar kredit (SBDK). Ke depannya, Bank Indonesia mengimplementasikan dua
instrumen kebijakan makroprudensial yang terdiri atas countercyclical capital buffer
(CCB) dan capital surcharge.7

7
Adhitya Wardhono et al., Perilaku Kebijakan Bank Sentral Di Indonesia (Pustaka Abadi, 2019).

xvi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Dalam menjalankan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menjalankan


empat strategi yaitu pemantapan regulasi dan standar, peningkatan riset dan
surveillance, peningkatan kondisi dan kerjasama, serta penetapan jaring pengaman
dan penyelesaian krisis. Menurut International Monetary Fund, kebijakan
makroprudensial merupakan kebijakan yang tujuan utamanya adalah menjaga
stabilitas seluruh sistem keuangan dengan membatasi peningkatan risiko sistemik.
instrumen makroprudensial dibagi dalam dua kategori, yaitu: instrumen yang secara
spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik, dan instrumen yang tidak secara
spesifik ditujukan untuk memitigasi risiko sistemik tetapi dapat dimodifikasi untuk
menjadi bagian dari instrumen makroprudensial.
Terdapat dua aspek penting dalam kebijakan makroprudensial, yaitu: Dimensi
waktu (time series) dan Dimensi lintas sektoral (cross-section). Kerangka kebijakan
makroprudensial di Indonesia dilakukan melalui enam tahapan. Tujuan kerangka
kebijakan makroprudensial secara umum adalah untuk mengidentifikasikan risiko
yang ada dalam sistem keuangan yang dapat berpotensi memiliki dampak sistemik,
untuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar dan media atau channel
penyebarannya, serta kapan waktu yang tepat untuk otoritas dapat bereaksi dengan
mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah penyebaran adanya
dampak risiko bagi sistem keuangan, makroekonomi dan sektor riil.

B. SARAN

Demikianlah makalah yang telah kami buat, namun dari kami menyadari
bahwa kesalahan masih sering terjadi dalam menyusun makalah ini, untuk itu kami
memohon untuk memberikan masukan atau saran demi kemajuan dan koreksi
makalah yang kami buat agar menjadi lebih baik lagi nantinya.

xvii
DAFTAR PUSTAKA
Ardely, Novrianti Putri, and Syofriza Syofyan. “Efektivitas Kebijakan Makroprudensial Bank
Indonesia.” Media Ekonomi 24, no. 1 (2016): 49–62.
Dewi, Apriliani, and Dewi Mahrani Rangkuty. “Studi Kajian Sektor Moneter Terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia.” Student Research Jurnal 1, no. 4 (2023).
Kusuma, Naufal Putra. “Efektifitas Kebijakan Makroprudensial Dalam Mengatasi Credit
Boom , Asset Bubbles Dan Prosiklikalitas Modal :” Parahyangan Economic
Development Review (PEDR) 1, no. 2 (2022): 104–115.
Tena Yoel, Eric Matheus. “Pengaruh Kebijakan Makroprudensial Terhadap Siklus Kredit:
Sebuah Studi Atas Penggunaan Instrumen CAR Dan GWM Perbankan Indonesia 2006-
2013.” Jurnal Bina Ekonomi 20, no. 1 (2016): 77–96.
Ulfa, Fithri Atika. “Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia Tahun 1996-2016.” Jurnal
Ilmiah (2018): 1–10.
VITRIYAH, Nurul Lailatul, Moh. Adenan MOH ADENAN, and Duwi YUNITASARI.
“Financial Stress Index in Indonesia” (2020): 282.
Wardhono, Adhitya, Yulia Indrawati, Ciplis Gema Qoriah, and M. Abd Nasir. Perilaku
Kebijakan Bank Sentral Di Indonesia. Pustaka Abadi, 2019.

xviii

Anda mungkin juga menyukai