Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PRA DAN PASCA

KRISIS 1997-1998

MATA KULIAH : KEBANKSENTRALAN

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Imam Asngari, SE, M.SI

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

BERLIANA RAMALEGIA PUTRI (01031381924127)


DWI RHOMA DONA (01031381924142)
MALVI KENNI CATERINE MENDROfA (01031381924138)
TIARA SUCI (01031381924147)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Kami banyak mengucapkan syukur atas kesehatan fisik yang diberikan, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Kebijakan Moneter di Indonesia Pra
dan Pasca Krisis 1997-1998”. Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas kelompok Mata Kuliah Kebanksentralan dengan Dosen Pengampu Bapak Dr. Imam
Asngari, SE, M.SI. Selain itu, tujuan makalah ini dibuat sebagai penambah wawasan tentang
bagaimana cara mengorganisasikan pembangunan dalam kebijakan pembangunan yang telah
dibuat.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Imam Asngari, SE, M.SI selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Kebanksentralan yang telah membimbing dan memberikan tugas
ini sebagai bahan untuk menambah wawasan dalam bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya dan membantu,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun kurang dan lebih dari makalah ini, kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat
saya apresiasi untuk pengerjaan tugas selanjutnya.

Palembang, 11 Februari 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................5

I.1 Latar Belakang.........................................................................................................................5

I.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................6

I.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................................7

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................9

II.1 Kebijakan Moneter di Indonesia dengah Sasaran Kestabilan Harga......................................9

II.2 Kerangka Dasar Inflation Targetting......................................................................................9

II.3 Penerapan Full-Fledged Inflation Targeting Framework di Indonesia..................................11

II.4 Kerangka Kerja Kebijakan Moneter Full-Fledged Inflation Targetting.................................12

II.5 Proses Perumusan Kebijakan Moneter...................................................................................13

II.6 Respon Kebijakan Moneter....................................................................................................15

II.7 Instrumen-instrumen Operasi Moneter...................................................................................16

II.8 Mekanisme Operasional Pengendalian Moneter....................................................................21

II.9 Koordinasi Kebijakan dengan Pemerintah dan Penerapan Flexible Inflation


Targetting..................................................................................................................................................24

II.10 Penerapan Flexible Inflation Targetting Framework (FTIF) di Indonesia...........................25

II.11 Kerangka Kebijakan Moneter dengan Flexible ITF.............................................................25

II.12 Kerangka Strategis Kebijakan..............................................................................................26

3
II.13 Kerangka Operasional Kebijakan.........................................................................................28

II.14 Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa.......................................................................................30

BAB III PENUTUP..................................................................................................................................39

KESIMPULAN.............................................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................40

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia menimbulkan permasalahan yang


kompleks. Krisis ekonomi telah menyebabkan perekonomian Indonesia yang pada awalnya
bertumbuh pesat tiba-tiba bergejolak. Sehingga menimbulkan terjadinya tingkat inflasi yang
tinggi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 telah membuat beberapa bank
konvensional dilikuidasi karena tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap nasabahnya
akibat dari kebijakan suku bunga yang tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah selama krisis
berlangsung.
Suyatno (2005:153) mendefinisikan bahwa bank merupakan suatu bentuk badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Kinerja keuangan bank merupakan salah satu
aspek dasar untuk penilaian dan pengukuran terhadap kemampuan perbankan dalam
menjalankan fungsinya, yaitu menghimpun serta mengelola dana dari masyarakat. Perbaikan
kondisi kinerja keuangan perbankan nasional membawa perbankan menuju suatu persaingan
yang kompetitif antar bank-bank umum konvensional dari suatu periode ke periode berikutnya.
Salah satu indikator untuk menilai kinerja keuangan bank adalah dengan melihat tingkat
profitabilitasnya serta tingkat efisiensinya. Ukuran profitabilitas yang digunakan adalah Return
on Asset (ROA). ROA memfokuskan pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning
dalam operasi perusahaan. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja keuangan yang semakin
baik, karena tingkat kembalian (return) semakin besar (Husnan, 1992). Return On Asset (ROA)
digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan
dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return On Asset (ROA) merupakan rasio antara
laba setelah pajak terhadap total asset. Dalam Return On Assets (ROA), akan terlihat
kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih dengan membandingkan total aset yang
dimiliki. Sehingga apabila semakin besar ROA suatu bank, maka tingkat keuntungan yang
didapat oleh bank juga semakin besar.
Menurut Hatta (2008), secara empiris pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
dapat dilihat dari krisis tahun 1997-1998 yang mengakibatkan terganggunya sektor riil. Krisis ini

5
diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar rupiah dengan dolar) yang kemudian
merambat kepada semua sektor tanpa terkecuali. Tingkat inflasi ketika itu sebesar 77,60% yang
diikuti pertumbuhan ekonomi minus 13,20%. Adapun terganggunya sektor riil tampak pada
kontraksi produksi pada hampir seluruh sektor perekonomian.

Secara umum menurut Bank Indonesia penyebab inflasi terbagi ke dalam 3 macam yakni;
Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi ini 3 timbul apabila permintaan
agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian. Kedua,
dorongan biaya (cosh-push inflation). Inflasi ini timbul karena adanya depresiasi nilai tukar,
dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi. Ketiga, ekspektasi inflasi. Inflasi ini dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward
looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang
terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional.
Dalam pembentukan suku bunga perbankan, unsur ekspektasi inflasi masih diperhitungkan kecil.
Sedangkan faktor lainnya masih lebih besar, seperti; kondisi likuiditas perbankan, pengelolahan
perbankan yang kurang efisien, dan tersegmentasinya perbankan.
Penggunaan suku bunga kebijakan dari Bank Indonesia (BI Rate) sebagai indikator
ekspektasi inflasi sejalan dengan kebutuhan akan suatu instrumen yang dapat secara efektif
menjelaskan bagaimana pergerakan laju inflasi sebagai tujuan akhir kebijakan moneter. Hasil
penelitian terdahulu menyatakan bahwa suku bunga merupakan channel yang cukup penting bagi
kasus Indonesia. Namun penelitian tersebut lebih menekankan pada nominal suku bunga jangka
pendek tertentu terhadap tingkat inflasi, dan belum mengukur kandungan ekspektasi inflasi di
dalam suku bunga tersebut. Menurut Agustianto (2008) tak bisa dibantah, bahwa bunga (interest)
telah 4 menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian banyak negara dan fakta itu terjadi di
mana-mana. Bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis.
Rasio beban operasional pendapatan operasional (BOPO) menggambarkan tingkat
efisiensi perbankan dalam mengelola kegiatan usahanya. BOPO merupakan perbandingan antara
beban operasional dengan pendapatan operasional. Semakin kecil hasil presentase dari BOPO
maka suatu bank dapat dinyatakan menjalankan kegiatan operasinya secara efisien. Begitu pula

6
sebaliknya, semakin tinggi prosentase BOPO yang dimilki oleh suatu bank mengindikasikan
bahwa bank tersebut tidak efisien dalam menjalankan kegiatan usahanya.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana kebijakan di Indonesia dengan sasaran kestabilan harga ?
2. Apa saja kerangka dasar inflation targeting ?
3. Bagaimana penerapan Full-Fledged Inflation Targeting Framework di Indonesia ?
4. Bagaimana kerangka kerja kebijakan moneter Full-Fledged Inflation Targeting?
5. Mengapa pemilihan sistem nilai tukar dan devisa sangat mempengaruhi efektivitas
kebijakan moneter ?
6. Bagaimana sistem kebijakan nilai tukar yang diterapkan di Indonesia pada September
1986-Januari 1994 ?
7. Bagaimana Kebijakan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Utang Luar Negeri
?
8. Bagaimana penerapan Flexible Inflation Targeting Framework (FITF) di Indonesia ?
9. Bagaimana Kerangka Kebijakan Moneter dengan Flexible ITF ?
10. Bagaimana kerangka strategis kebijakan ?
11. Bagaimana kerangka operasional kebijakan ?
12. Bagaimana kebijakan nilai tukar dan devisa ?
13. Bagaimana proses perumusan kebijakan moneter di bank Indonesia ?
14. Apakah penetapan BI-rate bisa menghasilkan keputusan bagi RDG ?
15. Apakah tujuan dari operasi pasar terbuka ?
16. Apa fungsi dari penetapan BI-rate ?

1.3 Tujuan penelitian


1. Untuk mengetahui kebijakan di Indonesia dengan sasaran kestabilan harga.
2. Untuk mengetahui kerangka dasar inflation targeting.
3. Untuk mengetahui penerapan Full-Fledged Inflation Targeting Framework di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui kerangka kerja kebijakan moneter Full-Fledged Inflation Targeting.
5. Untuk mengetahui pemilihan sistem nilai tukar dan devisa sangat mempengaruhi
efektivitas kebijakan moneter.

7
6. Untuk mengetahui kebijakan nilai tukar yang diterapkan di Indonesia pada September
1986-Januari 1994.
7. Untuk mengetahui Kebijakan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Utang Luar
Negeri.
8. Untuk mengetahui penerapan Flexible Inflation Framework (FITF) di Indonesia.
9. Untuk mengetahui Kerangka Kebijakan Moneter dengan Flexible ITF.
10. Untuk mengetahui Kerangka Strategis Kebijakan.
11. Untuk mengetahui kerangka operasional kebijakan.
12. Untuk mengetahui kebijakan nilai tukar dan devisa.
13. Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia.
14. Untuk mengetahui keputusan apa saja yang di dapat RDG dari penetapan BI-rate.
15. Untuk mengetahui operasi pasar terbuka.
16. Untuk mengetahui fungsi dari penetapan BI-rate.

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan moneter di Indonesia dengan sasaran kestabilan harga

UU nomor 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 3 tahun 2004 dan
UU nomor 6 tahun 2009 telah membawa perubahan mendasar pada Perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia. berdasarkan UU tersebut kebijakan moneter yang ditempuh
bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Sejalan dengan itu,
sebagaimana disebutkan di atas, sejak tahun 2000 hingga pertengahan 2005 bank Indonesia telah
menempuh langkah langkah untuk penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan
suatu kerangka yang dikenal dalam literatur ekonomi dan praktik di bank bank sentral lain
dengan sebutan invation Targeting Lite(ITL). Hal itu antara lain tercermin pada penetapan dan
pengumuman sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, menjelaskan secara
Periodik kepada masyarakat mengenai pelaksanaan kebijakan moneter yang ditempuh, atau
pemberian independensi kepada bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter.

Sejak Juli 2005 bank Indonesia telah secara resmi mengumumkan penerapan full-fledged
inflation Targeting framework(ITF) ‘kerangka kerja kebijakan moneter penargetan inflasi secara
penuh’ sebagai kerangka kebijakan moneter yang digunakan. Dalam kerangka kerja ini, bank
Indonesia menyatakan bahwa pencapaian target inflasi adalah tujuan utama kebijakan moneter
nya. Meskipun telah dirintis sejak tahun 2004, seiring dengan penerapan full-fledged ITF, Bank
Indonesia menegaskan penggantian sasaran operasional kebijakan moneter nya dari sebelumnya
yang menggunakan quantity based appoarch berupa base money (uang primer) (M0) menjadi
price-based approach berupa policy rate (suku bunga kebijakan) yang disebut BI-rate. sebagai
suku bunga kebijakan, BI-rate menjadi acuan bagi pembentukan suku suku bunga lainnya di
dalam perekonomian seperti suku bunga deposito dan kredit perbankan.

2.2 Kerangka dasar Inflation Targeting

9
Inflation Targeting framework merupakan suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang
mempunyai ciri-ciri utama yaitu adanya :

1. Pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang undang bahwa tujuan
akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah serta
2. Pengumuman target inflasi kepada publik. Pengumuman tersebut mengandung arti bahwa
bank sentral memberikan komitmen dan jaminan kepada publik bahwa setiap kebijakan
moneternya selalu mengacu pada pencapaian target tersebut dan bank sentral
mempertanggungjawabkan kebijakannya apabila target tersebut tidak tercapai.

Pokok-pokok kerangka kerja sebagai berikut :

a. Sasaran inflasi

Penetapan sasaran inflasi tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan
perkembangan ekonomi makro negara yang bersangkutan, terutama besarnya kerugian sosial
yang ditimbulkan oleh pengaruh tingginya inflasi terhadap penurunan daya beli masyarakat
(setelah memperhitungkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi) selain itu, penetapan
sasaran inflasi tersebut harus mempertimbangkan pula aktivitas pencapaiannya melalui
pelaksanaan kebijakan moneter bank sentral, termasuk jenis inflasi yang dipergunakan dan
jangka waktu pencapaiannya. Pada umumnya sasaran inflasi ditetapkan untuk jenis inflasi yang
dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan ditetapkan untuk jangka waktu menengah-panjang
yang umumnya lebih dari dua tahun ke depan

b. Kebijakan moneter mengarah ke depan (forward looking)

Dengan inflasi sebagai sasaran akhir, Perumusan kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan untuk jangka waktu beberapa tahun ke depan. dengan
mengingat adanya tenggat waktu dari pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi, kebijakan
moneter yang dilakukan sekarang merupakan langkah yang bersifat antisipatif, bukan reaktif,
atas akan terjadinya tekanan inflasi pada masa yang akan datang dibandingkan dengan inflasi
yang telah ditetapkan. Dengan demikian, rentang waktu mengenai seberapa lama ke depan
sasaran inflasi ini ditetapkan akan tergantung dari lamanya tenggat waktu pengaruh kebijakan

10
moneter tersebut. Yang terpenting adalah menentukan mekanisme forward looking dalam
penetapan arah kebijakan moneter di bank sentral

c. Transparansi

Penerapan inflation Targeting menuntut transparansi atau keterbukaan yang tinggi dari
bank sentral. Salah satu kunci sukses penerapan invation Targeting terletak pada transparansi
bank sentral dalam mengambil dan menjelaskan kebijakan moneter yang ditempuh nya kepada
masyarakat. Transparansi tersebut sekaligus merupakan sarana untuk menunjukkan komitmen
bank sentral dalam memerangi inflasi. Dengan semakin meningkatnya transparansi pelaku
ekonomi akan semakin memahami dan meyakini dasar pertimbangan dan arah kebijakan
moneter yang ditempuh bank sentral dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Apabila
kredibilitas kebijakan moneter dapat diwujudkan, ekspektasi inflasi masyarakat yang terbentuk
akan mengarah dan mengacu pada sasaran inflasi yang diinginkan oleh bank sentral.

d. Akuntabilitas dan Kredibilitas

Pengumuman sasaran inflasi secara explisit kepada publik berarti melekat akuntabilitas
karena pada akhirnya bank sentral harus mempertanggungjawabkan pencapaian sasaran tersebut
kepada publik. Kredibilitas bank sentral dengan demikian akan sangat tergantung pada komitmen
dan kemampuan nya dalam mencapai target inflasi yang ditetapkan. Untuk itu, penerapan
invation Targeting mengharuskan diperkuatnya kompetensi sumber daya manusia dan
dibangunnya disiplin mekanisme pengambilan keputusan di dalam bank sentral. Pada akhirnya
hal itu mengharuskan pengambilan keputusan kebijakan moneter di bank sentral lebih didasarkan
pada kualitas hasil evaluasi dan penyusunan skenario proyeksi ke depan berdasarkan
pengembangan model model ekonomi yang berbasis pada penelitian.

2.3 Penerapan full-fledged Inflation Targeting Framework di Indonesia

Seperti telah dikemukakan di atas, UU No 23 tahun 1999 tentang bank Indonesia,


sebagaimana telah diamandemen dengan UU nomor 3 tahun 2004 dan diamandemen lagi dengan
UU nomor 6 tahun 2009 telah memberikan landasan hukum yang jelas menyangkut kewenangan
dan Independensi bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya di bidang moneter, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Undang-undang Tersebut juga secara implisit

11
mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh bank Indonesia mendasarkan pada kerangka
kerja yang dikenal dengan sebutan inflation Targeting seperti diuraikan di atas. Pertama, adanya
pengaturan dan Pemahaman bahwa tujuan utama kebijakan moneter adalah kestabilan harga.
Kedua, adanya penetapan dan pengumuman sasaran inflasi kepada masyarakat. Ketiga, adanya
pengaturan bahwa sasaran inflasi merupakan sasaran akhir dan sebagai dasar Perumusan dan
pelaksanaan kebijakan moneter. Kempat, adanya pemberian independency kepada bank
Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter nya. Kelima, adanya
kewajiban bagi bank Indonesia untuk menjelaskan pelaksanaan kebijakan moneternya kepada
masyarakat sebagai perwujudan atas transparansi. Ke enam, adanya mekanisme akuntabilitas
bagi bank sentral untuk mempertanggungjawabkan dan nilai kinerjanya dalam pelaksanaan
kebijakan moneter oleh DPR.

Secara ringkas, pokok pokok konsep dasar penerapan full-fledged inflation targeting
dimaksud dapat Disarikan sebagai berikut.

a. Sasaran inflasi

Sejak tahun 2000, bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang
akan dicapai melalui kebijakan moneter nya. Sasaran inflasi ditetapkan untuk jangka menengah-
panjang (3-5 tahun kedepan) yang untuk tahun 2012 ditargetkan sebesar 4.5% +/- 1%. jenis
inflasi yang dipergunakan adalah indeks harga konsumen (IHK), terutama untuk memudahkan
komunikasi dengan pemerintah dan masyarakat.

b. Kebijakan moneter mengarah ke depan

Kebijakan moneter yang ditempuh bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan ke depan. Untuk itu, bank Indonesia telah mengembangkan model model
proyeksi ekonomi, nilai tukar, dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk
memperkuat Perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara forward looking.
Pengambilan keputusan kebijakan moneter dilakukan melalui RDG bulanan, baik pada awal
tahun, setiap Triwulan, bulanan, maupun mingguan sebagaimana telah diuraikan pada bagian
terdahulu.

c. Transparansi

12
Penjelasan secara Periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan oleh bank
Indonesia baik pada setiap awal tahun, Triwulan, bulanan maupun mingguan. Dalam penjelasan
setiap awal tahun dan Triwulanan dikemukakan perkembangan pencapaian inflasi dan
pelaksanaan kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke depan
dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam
RDG.

d. Akuntabilitas

Sesuai dengan UU BI, bank Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan
dan laporan Triwulan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang nya, termasuk kebijakan
moneter kepada DPR. Laporan tersebut di evaluasi oleh DPR dalam rangka penilaian secara
tahunan atas kinerja dewan gubernur dan bank Indonesia. Perubahan dalam undang undang
tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan tugas dan
wewenang bank Indonesia, termasuk dalam hal pelaksanaan kebijakan moneter.

2.4 Kerangka kerja kebijakan moneter full-fledged inflation targeting

Perubahan mendasar dalam penerapan kerangka kebijakan moneter full-fledged inflation


adalah beralihnya penggunaan sasaran operasional quantity based approach(sasaran uang
beredar) menjadi price based approach (sasaran suku bunga) dengan menggunakan sasaran
operasional suku bunga, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai target suku bunga yang
ditetapkan, yaitu BI rate seperti telah dikemukakan sebelumnya, BI rate yang telah ditetapkan
akan dicerminkan oleh pergerakan suku bunga jangka pendek PUAB overnight melalui kerangka
kerja operasional pengendalian moneter.

Pada dasarnya ITF bukanlah suatu rule atau aturan yang bersifat kaku atau mekanis this.
ITF merupakan sebuah kerangka kerja kebijakan moneter yang menggunakan target inflasi yang
dinyatakan secara explisit dan upaya untuk mencapainya dengan instrumen instrumen moneter
yang dipergunakan. Dengan kerangka itu, bank Indonesia secara explisit mengumumkan sasaran
inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah tersebut.

13
Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan
akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional Stance kebijakan moneter dicerminkan
oleh penetapan suku bunga kebijakan atau BI rate yang diharapkan akan mempengaruhi suku
bunga pasar uang, suku bunga deposito, suku bunga kredit perbankan, dan suku bunga lainnya.
Perubahan suku bunga tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi output dan inflasi.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter membutuhkan waktu untuk sampai pada sasaran
akhir. Dengan demikian terdapat jeda waktu antara sebuah kebijakan moneter ditetapkan dan
pengaruhnya pada variabel variabel di sektor riil. Time lag setiap jalur bisa berbeda beda. Jalur
nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena perubahan suku bunga akan segera direspon
dengan perubahan nilai tukar. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh
pada kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat resiko perekonomian
cukup tinggi, terus perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat.
Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki Permodalan,
penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan
menaikkan penyaluran kredit. Di Sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga
belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek
perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi
sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidak nya proses transmisi kebijakan
moneter.

2.5 Proses perumusan kebijakan moneter


Proses perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia dalam kerangka ITF merupakan
suatu proses yang berlangsung dinamis. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, keputusan yang
diambil di dalam RDG didasarkan atas asesmen atas kondisi ekonomi terkini dan prakiraan
kondisi ekonomi ke depan. Seluruh hasil asesmen yang dibahas di dalam RDG disajikan dalam
sebuah bahan RDG. Bahan RDG ini disusun berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif atas
data dan informasi yang diperoleh, termasuk dengan mempertimbangkan hasil survei, riset,
pandangan pihak eksternal, dan model-model proyeksi untuk memprediksi kondisi ekonomi ke
depan, khususnya perkembangan laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar Gambar
3.12 memperlihatkan bagaimana peran model proyeksi digunakan untuk membantu proses
pengambilan keputusan.

14
Untuk mematangkan bahan RDG, termasuk rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang
akan dibahas dan diputuskan di dalam RDG, maka dilakukan pembahasan secara mendalam
dalam berbagai level. Pembahasan awal dilakukan pada tingkat direktorat yang mempersiapkan
bahan RDG tersebut. Selanjutnya, bahan RDG ini didiskusikan dengan anggota Dewan Gubernur

15
yang membawahkan bidang moneter untuk mendapatkan asesmen yang lebih komprehensif atas
kondisi ekonomi dan keuangan terkini dan proyeksi ke depan. Kemudian sebelum dibawa ke
dalam RDG, bahan RDG tersebut dibahas lagi dalam rapat pra-RDG yang merupakan
pembahasan terakhir untuk mematangkan bahan RDG yang akan diputuskan di dalam RDG.
Dengan demikian, kebijakan kebijakan yang diputuskan di dalam RDG sudah merupakan
hasil pembahasan yang saksama berdasarkan asesmen yang komprehensif atas perkembangan
ekonomi dan keuangan terkini dan proyeksi ke depan, keputusan-keputusan yang diambil dalam
RDG dituangkan dalam sebuah press release segera setelah RDC berakhir. Gambar 3.13
memperlihatkan tahapan-tahapan proses penyusunan bahan RDC hingga keputusan
disebarluaskan kepada masyarakat.

2.6 Respon Kebijakan Moneter

Stance kebijakan moneter untuk menentukan tingkat Bl-rate ditetapkan setiap bulannya
melalui keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) berdasarkan analisis perkembangan
perekonomian terakhir dan prakiraan perkembangan perekonomian ke depan. Apabila tidak ada
kebutuhan yang mendesak, penetapan Bl-rate akan berlaku selama satu bulan hingga penetapan
Bl-rate pada RDG bulan berikutnya. Keputusan mengenai tingkat Bl-rate yang ditetapkan telah
memperhitungkan adanya keterlambatan (time lag) kebijakan moneter dalam memengaruhi
inflasi. Dalam hal terdapat kejadian-kejadian di dalam perekonomian yang tidak terantisipasi
sebelumnya, stance kebijakan moneter dapat diubah di muka sebelum berlangsungnya RDC
bulanan selanjutnya, yaitu pada RDG mingguan terdekat.
Penetapan Bl-rate sebagai hasil keputusan RDG dapat berupa naikan, penurunan, atau
tetap dari keputusan RDG sebelumnya. Kenaikan atau penurunan Bl-rate menunjukkan
perubahan stance kebijakan moneter sebagai respon atas terjadinya perubahan dalam dinamika
perekonomian yang menyebabkan ekspektasi inflasi berubah. Perubahan tersebut dinyatakan
dengan menetapkan kenaikan atau penurunan Bl-rate sebesar 25 basis points (bps) atau
kelipatannya. Kenaikan Bl-rate memberikan sinyal bahwa Bank Indonesia merespon adanya
tekanan ekspektasi inflasi ke depan yang lebih tinggi daripada target inflasi, sedangkan
penurunan Bl-rate memberikan sinyal sebaliknya. Oleh karena itu, setiap perubahan Bl-rate
menunjukkan perubahan stance kebijakan moneter untuk melakukan ekspansi atau kontraksi

16
moneter. Setiap keputusan tingkat Bl-rate yang telah ditetapkan diumumkan kepada publik
melalui konferensi pers atau siaran pers (press release) oleh Bank Indonesia yang dilakukan
segera setelah RDG berlangsung.
Dalam kenyataannya, respon yang diberikan oleh bank sentral dengan menetapkan suku
bunga kebijakan dalam kerangka ITF merupakan hasil dan penggunaan model-model ekonomi
yang kompleks, analisis yang mendalam, dan juga judgement dari para pengambil kebijakan.
Tetapi, untuk memberikan gambaran yang sederhana mengenai respon kebijakan moneter
terhadap dinamika perkembangan perekonomian yang terjadi dapat dijelaskan dengan
menggunakan Taylor's type rule sebagai berikut:

r t=ηr ( t−1 )+ α ¿ ; atau dengan α , β >0

dimana: rt=suku bunga nominal jangka pendek pada waktu t, rt-1 suku bunga nominal
e
jangka pendek pada periode t-1, η= parameter suku bunga jangka pendek pada periode 1-1. π
t
= ekspektasi inflasi pada waktu t π∗¿ , target inflasi yang ditetapkan, α parameter inflation gap,
yt = output aktual pada waktu t, y* output potensial, dan β = parameter output gap.
Dengan menggunakan formula sederhana di atas, kita mendapatkan gambaran mengenai
respon suku bunga yang akan diambil oleh para pembuat kebijakan di bank sentral. Misalnya,
berdasarkan hasil asesmen ekspektasi inflasi masyarakat ke depan semakin kuat - dengan
variabel-variabel lain diasumsikan konstan, ceteris paribus- maka selama ekspektasi inflasi
tersebut tidak melebihi target inflasi yang telah ditetapkan, respon bank sentral pada hakikatnya
tidak akan menaikkan atau menurunkan suku bunga. Tetapi, apabila berdasarkan hasil asesmen
ekspektasi inflasi masyarakat telah melampaui target inflasi maka respon bank sentral adalah
menaikkan suku bunga kebijakan.

2.7 Instrumen-instrumen operasi moneter

Dalam melaksanakan kebijakan moneternya, Bank Indonesia diberikan independensi


untuk menetapkan instrumen-instrumen yang digunakan untuk melaksanakan operasi
moneternya yaitu melalui operasi pasar terbuka (OPT) dan standing facilities (SF

17
Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank
sentral, baik di pasar primer maupun pasar sekunder. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
apabila Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang beredar (kontraksi moneter), Bank
Indonesia akan menjual sural surat berharga yang akan berdampak pada pengurangan alat-alat
likuid bank bank dan selanjutnya akan memperkecil kemampuan bank-bank memberikan
pinjaman sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar. Demikian pula sebaliknya, apabila
Bank Indonesia akan menambah jumlah uang beredar (ekspansi moneter), Bank Indonesia akan
membeli surat-surat berharga yang akan berdampak pada peningkatan alat-alat likuid bank-bank
dan selanjutnya akan memperbesar kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga akan
menambah jumlah uang beredar. Tujuan OPT adalah untuk secara konsisten melakukan
penyesuaian likuiditas di PUAB sehingga suku bunga PUAB overnight dari waktu ke waktu
berada di sekitar target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penyesuaian likuiditas di sini
adalah penambahan (injeksi) atau pengurangan (absorpsi) sejumlah tertentu likuiditas
berdasarkan perkiraan terbaik (best estimation) atas perubahan permintaan kebutuhan likuiditasi
perbankan untuk periode tertentu.

18
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter yang terakhir diubah dengan PBI Nomor 15/5/PBI/2013, Bank Indonesia (BI)
melaksanakan kebijakan moneter dalam rangka pengendalian moneter melalui OPT dan SF. Baik
instrumen-instrumen OPT maupun SF dapat berfungsi untuk mengabsorpsi dan menginjeksi
likuiditas pasar uang. Tabel 3.3 memperlihatkan perbandingan karakteristik operasi moneter
melalui OPT dan SF. Pada dasarnya karakteristik yang dimiliki OPT dan SF saling melengkapi
satu sama lain. Misalnya, mekanisme transaksi dalam OPT selalu dilakukan melalui lelang
sementara SF dilakukan melalui mekanisme non-lelang. Selain itu, ketersediaan operasi moneter
melalui OPT tidak harus dilakukan setiap hari, dan bahkan untuk penerbitan SBI dilakukan
melalui lelang satu bulan sekali, sementara operasi moneter melalui SF selalu terbuka setiap hari
kerja dengan window time yang telah ditentukan.
Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. Sesuai dengan
Pasal 5 PBI Nomor 15/5/PBI/2013 kegiatan OPT meliputi penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), transaksi repurchase agreement (repo) dan
reverse reposurat berharga, transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright,
penempatan berjangka (Term Deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah ataupun valuta asing, jual
beli valuta asing terhadap rupiah (FX Swap), dan transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah
maupun di pasar valuta asing. Kegiatan OPT berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Pasal 6
PBI 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah dan terdiri dari penerbitan Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS), jual beli surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah,
dan penyerapan dana tanpa penerbitan surat berharga.

19
Penerbitan SBI, SBIS, dan SDBI adalah penjualan SBI, SBIS, dan SDBI oleh BI di pasar
perdana. Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Sertifikat
Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu
pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Sertifikat Deposito Bank
Indonesia adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antarbank.
Penerbitan SBI, SBIS, dan SDBI merupakan instrumen yang digunakan BI yang ditujukan untuk
absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang.
Transaksi Repurchase Agreement (Transaksi Repo) adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian
kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Transaksi ini merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas
rupiah di pasar uang.

20
Sebaliknya, apabila Bl akan melakukan absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang, Bl akan
melakukan Transaksi Reverse Repo yaitu transaksi pembelian Surat Berharga oleh Peserta OPT
dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT sesuai dengan harga
dan jangka waktu yang disepakati.

Surat berharga yang digunakan dalam Transaksi Repo dan Reverse Repo adalah adalah
SBI, SDBI, SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kedua transaksi tersebut memiliki jangka waktu paling singkat
1 (satu) hari (overnight) dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari, yang
dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu.
Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dari Bl adalah transaksi
pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Transaksi ini dilakukan dalam rangka
absorpsi likuiditas (melalui transaksi penjualan surat berharga) dan/atau injeksi likuiditas
(melalui transaksi pembelian surat berharga). Surat berharga yang dimaksud adalah Surat
Berharga Negara (SBN), yaitu Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Term Deposit (TD) rupiah adalah penempatan dana rupiah milik Pesena OPT secara
berjangka di Bl. Term Deposit rupiah merupakan instrumen ya digunakan BI untuk absorpsi
likuiditas rupiah di pasar uang. Selain term depos rupiah, terdapat pula term deposit valuta asing
(dalam bentuk US Dollar), yait penempatan secara berjangka dana valuta asing milik Peserta
OPT di BI Bak TD rupiah maupun valas memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan

21
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari yang dihitung sejak 1 (satu) hari
setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo. Term deposit merupakan
penambahan instrumen moneter non-securities. Term deposit adalah instrumen pengelolaan
likuiditas oleh Bank Indonesia tanpa underlying surat berharga, tidak dapat dipindahtangankan,
namun dapat dicairkan sebelum jatuh tempo (early redemption) dengan persyaratan tertentu.
Bagi bank-bank, instrumen ini dapat dipergunakan untuk keperluan manajemen likuiditas jangka
pendeknya.
Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap Rupiah melalui
pembelian/ penjualan tunai (spot) dengan penjualan/ pembelian kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Transaksi Swap Beli BI dilakukan ketika Bl akan
melakukan absorpsi likuiditas di pasar sedangkan Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dilakukan
untuk injeksi likuiditas di pasar.
Koridor Suku Bunga (standing facilities) adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending
facility) dari Bank Indonesia kepada bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh
bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. Lending facility dilakukan melalui
mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga dan ditujukan untuk injeksi likuiditas
dalam pasar. Sementara itu, untuk melakukan absorpsi likuiditas, instrumen yang dapat
digunakan adalah deposit facility yaitu penempatan dana rupiah oleh bank secara berjangka di
Bank Indonesia. Penyediaan Standing Facility (SF) merupakan bagian dari kegiatan operasi
moneter yang berfungsi untuk membentuk koridor suku bunga PUAB O/N. Instrumen SF ini
digunakan untuk lebih menjamin agar volatilitas PUAB O/N berada dalam batas yang dapat
ditoleransi. Bank Indonesia menggunakan instrumen ini untuk injeksi dan absorpsi likuiditas
rupiah di pasar uang.

2.8 Mekanisme operasional pengendalian moneter

Untuk mencapai tujuan kebijakan moneter, Bank Indonesia telah mengimplementasikan


suatu kerangka kerja operasional kebijakan moneter melalui pengelolaan suku bunga untuk
mencapai target suku bunga yang ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDC).
Sebagaimana telah disinggung di atas, suku bunga kebijakan tersebut dikenal sebagai Bl-rate.

22
Tujuan penetapan Bl-rate adalah untuk memengaruhi suku bunga jangka panjang dan inflasi
dengan menjadikan Bl-rate sebagai anchor atau jangkar bagi operasi moneter bank sentral. Pada
tataran operasional, Bl-rate dicerminkan oleh pergerakan suku bunga pasar uang antarbank
overnight (PUAB O/N).
PUAB O/N merupakan aktivitas pinjam meminjam uang antara satu bank dengan bank
lainnya. Suku bunga yang terbentuk dalam PUAB merupakan kesepakatan di antara bank-bank
yang melakukan transaksi pinjam meminjam. Aktivitas pinjar neminjam di PUAB dilakukan
secara over the counter (OTC) atau tidak ditransaksikan di lantai bursa tertentu dan dengan
jangka waktu yang berkisar antara satu hari kerja (overnight) hingga satu tahun. Karena PUAB
merupakan sarana bagi bank sebagai tempat pinjam meminjam dana yang dibutuhkan dalam
rangka pengelolaan likuiditasnya, maka Bank Indonesia secara konsisten menjaga dan memenuhi
kebutuhan likuiditas sistem perbankan tersebut melalui pelaksanaan operasi moneter. Dengan
demikian, ekuilibrium suku bunga PUAB yang terbentuk merupakan suku bunga yang stabil dan
adil bagi semua bank.
Operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia merepresentasikan pelaksanaan
kebijakan moneter dengan tujuan untuk pengelolaan likuiditas (liquidity management) PUAB
dan dilaksanakan melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities. OPT merupakan
transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia di pasar uang dengan bank-bank umum dan
lembaga perantara dalam kerangka kerja operasi moneter. Fungsi OPT dalam manajemen
likuiditas adalah untuk melakukan smoothing volatilitas suku bunga PUAB O/N. Artinya,
apabila suku bunga PUAB O/N bergerak terlalu melebar sehingga mendekati batas atas atau
batas bawah koridor suku bunga maka Bank Indonesia mempunyai diskresi kebijakan untuk
mengarahkan suku bunga PUAB O/N kembali mendekati Bl-rate melalui instrumen-instrumen
OPT yang dimiliki. Dengan demikian, Bl-rate sebagai suku bunga kebijakan memiliki
kredibilitas yang tinggi di mata pelaku pasar uang. Instrumen OPT yang digunakan untuk
melakukan smoothing volatilitas suku bunga ini dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama,
instrumen yang digunakan ketika terjadi kelebihan likuiditas di pasar uang sehingga suku bunga
PUAB O/N cenderung bergerak mendekati batas bawah koridor suku bunga adalah penerbitan
SBI, Term Deposit, dan Reverse Repo SBN (surat berharga negara). Kedua, instrumen yang
digunakan ketika terjadi kekurangan likuiditas di pasar uang antarbank sehingga suku bunga
PUAB O/N cenderung bergerak mendekati batas atas koridor suku bunga adalah Repo.

23
Sementara itu, standing facility merupakan fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia
kepada bank-bank umum yang dapat berupa fasilitas pinjaman. (lending facility) dan fasilitas
simpanan (deposit facility) untuk mencapai tujuan operasi moneter. Suku bunga dari kedua
fasilitas ini masing-masing merupakan batas atas dan batas bawah dari koridor suku bunga yang
di dalamnya suku bunga PUAB O/N boleh berfluktuasi. Untuk memberikan gambaran mengenai
bagaimana Bl-rate yang ditetapkan dalam rapat dewan gubernur (RDG) kemudian dicerminkan
dalam pergerakan suku bunga PUAB O/N dapat dilihat dalam Gambar 3.15 berikut ini

Gambar 3.15 memperlihatkan pergerakan suku bunga PUAB o/n yang dapat berfluktuasi
didalam koridor suku bunga yang telah ditetapkan. Lebar koridor suku bunga tersebut ditetapkan
oleh BI berdasarkan situasi kondisi dan perkembangan PUAB. Penetapan lebar koridor suku
bunga yang semakin besar dapat mengartikan bahwa bank sentral menghendaki agar bank bank
lebih mengandalkan pengelolaan likuiditasnya melalui transaksi pinjam meminjam dana dengan
bank-bank lain di pasar uang antarbank. Namun koridor suku bunga yang terlalu lebar justru
dapat mengurangi kredibilitas suku bunga kebijakan (policy rate) yang telah ditetapkan oleh
bank sentral, Bank Indonesia dapat menetapkan batas atas dan batas bawah koridor suku bunga
yang simetris (sama lebarnya) dan tidak simetris (tidak sama lebarnya) dari titik Bl-rate,

24
tergantung dari kondisi likuiditas di PUAB. Dengan adanya batas atas dan batas bawah koridor
yang ditetapkan, bank-bank dapat berinisiatif melakukan pinjaman kepada Bank Indonesia atau
menempatkan kelebihan dananya di Bank Indonesia. Ketika bank mengalami kesulitan likuiditas
untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan sampai akhir hari berhasil memperoleh
pinjaman dari bank-bank lain melalui pasar uang antarbank maka bank tersebut dapat
menggunakan lending facility yang disediakan Bank Indonesia dengan tingkat suku bunga di atas
Bl-rate atau sama dengan tidak Bl-rate. Sebaliknya, ketika bank masih mengalami kelebihan
likuiditas setelah semua kewajiban jangka pendeknya terpenuhi maka pada akhir hari dapat
menempatkan kelebihan dananya pada deposit facility dengan tingkat suku bunga di bawah Bl-
rate. Dengan berjalannya mekanisme transaksi bank dengan hank sentral in suku bunga PUAB
O/N diharapkan akan selalu bergerak di sekitar Bi-rate Dengan demikian, tujuan manajemen
likuiditas bank sentral untuk menjaga kecukupan (sopply likuiditas di pasar uang dalam rangka
menjaga stabilitas suku bunga jangka pendek overnight agar bergerak sedekat mangkin dengan
Brate dapat tercapai.

2.9. koordinasi Kebijakan Dengan Pemerintah dan Penerapan Flexibel Inflation


Targeting

Selama ini kerjasama antara Bank Indonesia dan pemerintah telah berjalan dengan baik
dalam pengendalian inflasi dengan dibentuknya Tim Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat
dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di tingkat daerah. TPI dan TPID pada dasarnya
merupakan bentuk koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah Pusat atau Daerah unutk
mengendalikan inflasi dari sisi penawaran. Perhatian terhadap sumber tekanan inflasi dari sisi
penawaran harus mendapatkan perhatian yang sama dengan tekanan inflasi dari sisi pemerintah
yang selama ini menjadi fokus perhatian Bank Indonesia.
Sebagaimana pengalaman di masa lalu, kondisi tersebut dapat menimbulkan kerugian
pada beban fiskal, tekanan pada stabilitas system keuangan, dan pelaksanaan pengendalian
moneter. Terkait dengan pemikiran tersebut, penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan
pemerintah diarahkan pada tiga area strategis, yaitu :
a. Koordinasi kebijakan dalam rangka pengendalian inflasi

25
Hal ini dengan pertimbangan bahwa selain dari sisi permintaan, sumber tekanan inflasi
juga berasal dari sisi penawaran seperti gangguan produksi, distribusi, dan tata niaga komoditas
inflasi..
b. Koordinasi kebijakan dalam rangka peningkatan respon sisi penawaran
Hal ini dengan pertimbangan bahwa semakin terbatasnya kapasitas ekonomi dan masih
terkendalanya implementasi program infrastruktur pemerintah dapat memperlambat respon sisi
penawaran terhadap peningkatan permintaan. Langkah yang dapat ditempuh adalah penguatan
koordinasi dengan pemerintah untuk mendorong investasi infrastruktur dan peningkatan
kapasitas produsi.
c. Koordinasi kebijakan dalam rangka pengendalian capital flows
Hal ini dengan pertimbangan bahwa derasnya aliran masuk modal asing ke pasar
keuangan Indonesia, khususnya pasar SUN (Surat Utang Negara), dapat memberikan tekanan
padaperkembangan nilai tukar rupiah. Langkah yang dapat dilakukan adalah penguatan
koordinasi dengan Kementrian Keuangan dalam pengelolaan capital inflows ke SUN.
Kerja sama Bank Indonesia dengan pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk
pengelolaan likuiditas domestik. Kerja sama tersebut antara lain dituangkan dalam bentuk
kesepakatan treasury single account ( TSA ), assets-liabilities management (ALM), dan
penguatan pasar surat utang negara (SUN). Dengan kerjasama ini diharapkan likuiditas
perekonomian domestic dapat terjaga dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian.

2.10. Penerapan Flexible Inflation Targeting Framework (FITF) di Indonesia

Setelah lebih dari lima tahun penerapan full-fledged inflation targeting framework, telah
dapat dilihat hasil-hasil positif yang dicapai. Beberapa hal positif yang telah dicapai antara lain
dalam hal penetapan dan pengumuman sasaran inflasi, penataan kerangka kerja kelembagaan dan
operasional, koordinasi kebijakan, dan kualitas analisis dan riset kebijakan.
Ditengah-tengah hasil positif yang dicapai, berbagai tantangan muncul silih berganti
dalam setiap waktu pelaksanaan ITF. Tantangan-tantangan tersebut diawali dengan terjadinya
“mini crisis” pada tahun 2005, yang disusul dengan krisis keuangan global pada tahuan 2008 dan
diikuti dengan derasnya arus modal masuk pasca krisis keuangan global tersebut, dan terakhir
adalah krisis surat utang negara-negara Eropa pada tahun 2010-2011 yang menyebabkan
terjadinya arus modal keluar dari negara-negara emerging market termasuk Indionesia.

26
Krisis keuangan global telah memberikan pelajaran berharga bagii kebijakan moneter.
Oleh karena itu, kebijakan moneter dan nilai tukar menghadapi berbagai tantangan yang
kompleks sehingga instrument yang digunakan untuk mengantisipasi dan mengurangi pengaruh
buruk krisis tersebut tidak lagi dapat menggunakan satu jenis instrument saja, tetapi harus
menggunakan bauran instrument.
Mengingat pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi dan efektivitas kebijakan
moneter untuk memberikan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, bank sentral perlu
memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku sector kuangan secara keseluruhan. Untuk
itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk memperkaya kerangka kebijakan moneter inflation
targeting yang saat ini digunakan dengan memperhitungkan dinamika sector keuangan.

2.11. Kerangka Kebijakan Moneter dengan Flexible ITF

Dalam mencapai tujuan utamanya, baik ITF maupun Flexible ITF secara substantive
adalah sama, yaitu pengendalian inflasi. Perbedaan yang penting adalah terkait dengan
pemaknaan substansi “fleksibilitas”, yaitu fleksibel dalam menempatkan kerangka stabilitas
system keuangan dengan penerapan bauran instrument kebijakan moneter dan makroprudensial ;
fleksibel dalam menempatkan kerangka strategi pengelolaan nilai tukar; serta penguatan
kelembagaan untuk mengoptimalkan peran koordinasi dan komunikasi kebijakan.
Rancangan F-ITF didasarkan atas lima elemen dasar. Pertama, ITF sebagai strategi dasar
kebijakan moneter. Substansi utama dari hal ini adalah bahwa pengendalian inflasi sesuai target
sebagai overriding objective (tujuan utama) kebijakan moneter.
Kedua, integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial dalam mencapai kestabilan
makroekonomi secara keseluruhan. Penguatan ketertarikan antara kerangka stabilitas moneter
dan stabilitas system keuangan dilakukan melalui integrasi kebijakan moneter dengan kebijakan
makroprudensial. Krisis global memberi pelajaran pentingnya peran financial accelerator dalam
kebijakan moneter.
Ketiga, peran kebijakan nilai tukar dan kebijakan arus modal dalam kerangka kebijakan
moneter untuk mencapai kestabilan harga. Penguatan kebijakan nilai tukar dalam rangka
pencapaian stabilitas harga. Penentuan path nilai tukar dilakukan konsisten dengan pencapaian
sasaran inflasi dan stabilitas makro ekonomi.

27
Keempat, penguatan kerangka koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah
untuk mengendalikan harga serta menjaga stabilitas moneter dan system keuangan. Penguatan
kerangka koordinasi menjadi sangat penting mengingat selain dari sisi permintaan, sumber
tekanan inflasi juga berasal dari sisi penawaran dan komoditas strategis.
Kelima, penguatan komunikasi kebijakan moneter dan makroprudensial sebagai bagian
dari instrument kebijakan. Komunikasi kebijakan moneter bukan lagi ditujukan hanya untuk
transparansi dan akuntabilitas, namun lebih sabagai sebuah instrument kebijakan moneter yang
sangat berperan.

2.12. Kerangka Strategis Kebijakan

Dalam kerangka flexible ITF, terdapat beberapa komponen dari kerangka strategis
kebijakan moneter yang digunakan. Pertama, tujuan akhir kebijakan Tujuan akhir kebijakan
moneter adalah mencapai dan menjaga stabilitas harga yang tercermin dari laju inflasi yang
rendah dan stabil. Dalam implementasinya, laju inflasi yang rendah dan stabil ini diwujudkan
dalam bentuk pencapaian target inflasi selama 3 tahun ke depan.
Kedua, indikator kebijakan. Yang dimaksud indikator kebijakan adalah beberapa variabel
yang digunakan sebagai indikator atau rujukan informasi mengenai seberapa jauh tujuan
menjaga stabilitas harga telah tercapai. Indikator variabel terdiri atas ekspektasi inflasi, output
gap, dan indikator stabilitas sistem keuangan yang terdiri atas tiga komponennya yaitu stabilitas
pasar keuangan, industri keuangan yang sehat, kuat dan pruden, dan fungsi intermediasi yang
berjalan dengan efisien sesuai dengan kapasitasnya.
Ketiga, sasaran operasional/mekanisme transmisi. Sasaran operasional adalah beberapa
variabel yang bisa dipengaruhi oleh instrumen kebijakan Bank Indonesia dalam rangka
mengarahkan perkembangan indikator kebijakan. Sasaran operasional ini merupakan
penghubung antara instrumen kebijakan dengan indikator kebijakan, Sasaran operasional ini
secara tidak langsung merepresentasikan keberadaan jalur mekanisme transmisi kebijakan
moneter dalam pencapaian sasaran inflasi. Dengan demikian, yang menjadi sasaran operasional
Bank Indonesia adalah suku bunga pasar, nilai tukar, pertumbuhan dan kualitas kredit bank,
harga aset, dan perilaku risiko di sektor perbankan.
Keempat, instrumen kebijakan. Ada tiga kategori instrumen kebijakan yang dapat
digunakan Bank Indonesia yaitu instrumen moneter, instrumen makroprudensial, dan

28
komunikasi kebijakan moneter. Instrumen kebijakan moneter meliputi suku bunga kebijakan (BI
rate), instrumen untuk pengelolaan likuiditas, seperti OPT dan intervensi valas. Instrumen
makroprudensial terdiri atas instrumen untuk mengendalikan likuiditas, kredit bank, dan arus
masuk modal asing. Komunikasi kebijakan moneter merupakan media yang digunakan Bank
Indonesia untuk menyampaikan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia ke masyarakat.

 Inflasi
Sasaran inflasi Bank Indonesia menggunakan IHK sebagai indikator inflasi yang
berhubungan langsung dengan barang-barang yang dikonsumsi masyarakat. Sasaran inflasi
menggunakan inflasi total (headline inflation) sesuai dengan hasil penghitungan Badan Pusat
Statistik (BPS), bukan inflasi inti (core inflation). Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan
sebagai berikut: 1) Untuk menjaga kredibilitas sasaran inflasi karena masyarakat merasakan
langsung dampak inflasi total, termasuk volatile food dan administered prices 2) Pelaku usaha
dan masyarakat menggunakan inflasi total sebagai nominal anchor (jangkar nominal), bukan
inflasi inti.
Sasaran inflasi memiliki time horizon selama 3 tahun ke depan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan arah (guidance) bagi pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan kegiatan
ekonomi jangka menengah. Dalam menetapkan sasaran inflasi, perlu dirinci atas perkiraan inilasi
inti, volatile food, dan administered prices. Rincian ini diperlukan untuk menjelaskan kepada
masyarakat (dalam rangka akuntabilitas) sejauh mana keberhasilan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi inti. Dengan demikian, kinerja besarnya penurunan output untuk setiap 1
persen penurunan inflasi.
Sasaran inflasi memiliki time horizon selama 3 tahun ke depan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan arah (guidance) bagi pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan kegiatan
ekonomi jangka menengah. Dalam menetapkan sasaran inflasi, perlu dirinci atas perkiraan inflasi
inti, volatile food, dan administered prices. Rincian ini diperlukan untuk menjelaskan kepada
masyarakat (dalam rangka akuntabilitas) sejauh mana keberhasilan Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi inti. Dengan demikian, kinerja pencapaian sasaran inflasi dapat dilihat
berdasarkan pencapaian inflasi inti.

 Indikator Kebijakan: Ekspektasi, Output Gap dan Indikator SSK

29
Sasaran operasional kebijakan moneter adalah menjangkar ekspektasi inflasi jangka
menengah menuju sasaran inflasi jangka menengah. Dengan menjangkar ekspektasi jangka
menengah, maka dinamika tekanan inflasi jangka pendek yang bersifat temporal diyakini tidak
akan memengaruhi dan tidak akan mengubah ekspektasi jangka menengah.
Indikator ekspektasi inflasi masyarakat perlu dirinci minimal menjadi empat kelompok
masyarakat, yaitu ekspektasi konsumen, produsen, pelaku pasar, dan ahli ekonomi. Ekspektasi
konsumen dan produsen diperoleh dari survei bulanan yang dilakukan Bank Indonesia.
Ekspektasi pelaku pasar uang diperoleh dari kurva imbal hasil (yield curve) pasar obligasi jangka
pendek dan jangka panjang. Indikator ekspektasi infrasi masyarakat pe kelompok masyarakat,
yaitu ekspektasi konsumen, produsen, pelaku pasar, dan ahli ekonomi. Ekspektasi konsumen dan
produsen diperoleh dari survei bulanan yang dilakukan Bank Indonesia. Ekspektasi pelaku pasar
uang diperoleh dari kurva imbal hasil (yield curve) pasar obligasi jangka pendek dan jangka
panjang. Semakin tinggi ekspektasi inflasi pelaku pasar tercermin dari slope kurva imbal hasil
yang relatif curam. Ekspektasi inflasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas bank sentral. Bila bank
sentral sangat kredibel, yang dibuktikan dengan keberhasilan mencapai target inflasi, maka
masyarakat akan percaya akan terjangkar pada target inflasi tersebut. Sebaliknya, bila bank
sentral tidak bahwa target inflasi pasti akan tercapai, sehingga ekspektasi inflasi masyarakat.
Output gap merupakan salah satu indikator yang penting yang menggambarkan besarnya
tekanan inflasi dari sisi permintaan. Output gap yang positif berarti ada tekanan permintaan.
Output gap merupakan selisih (kesenjangan) antara PDB aktual dengan PDB potensial.
Mengingat output gap merupakan variabel yang tidak dapat diamati (unobserved variable), maka
Bank Indonesia perlu menyusun metodologi yang robust untuk mengestimasi dan
mempublikasikan output gap tersebut.

2.13. Kerangka Operasional Kebijakan

a. Penguatan Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial

Kompleksitas tantangan mengharuskan semua instrumen dalam bauran kebijakan


moneter dan makroprudensial ditempuh secara seimbang dan terukur. Dalam kaitan ini, respon
bauran kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

30
i. Bank Indonesia akan mengoptimalkan penggunaan instrumen makroprudensial
bersama dengan kebijakan moneter untuk secara counter-cyclical menjaga stabilitas moneter dan
sistem keuangan secarakeseluruhan.
ii. Penggunaan instrumen makroprudensial tersebut lebih bersifat sebagai pendukung
(complement) instrumen kebijakan moneter dalam rangka mencapai stabilitas makro, bukan
sebagai pengganti (substitute).
iii. Keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial
harus diupayakan agar memperkuat satu sama lain. Pemilihan penggunaan instrumen tergantung
pada sumber tekanan apakah dari sektor keuangan atau dari sektor riil atau moneter.
iv. Untuk itu, koordinasi kebijakan sangat diperlukan agar integrasi kebijakan tersebut
dalam mengelola siklus dan meningkatkan ketahanan sistem keuangan secara makro dapat
berjalan dengan baik.

Secara skematik, penggunaan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dilakukan


secara sinergis dalam menjaga path siklus bisnis sesuai dengan potensi perekonomian. Kebijakan
moneter digunakan untuk menjaga stabilitas moneter yang tercermin pada stabilitas harga
dengan instrumen suku bunga, GWM, dan lain-lain, sementara kebijakan makroprudensial
digunakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, terutama menghadapi risiko sistemik
dengan menggunakan instrumen LTV, counter-cyclical capital buffer, dan lain-lain.

b. Penerapan Bauran Instrumen Kebijakan Perlu Memerhatikan Timing dan Magnitude


Mengingat kompleksnya penerapan bauran instrumen kebijakan dalam kerangka flexible
ITF, faktor timing (saat diluncurkannya suatu kebijakan) dan magnitude (besaran yang akan
diterapkan) menjadi sangat penting untuk diperhatikan agar kebijakan tersebut berhasil mencapai
sasaran yang diharapkan. Dalam konteks timing, respon kebijakan perlu diarahkan untuk
mengantisipasi sinyal terkait dengan potensi gangguan pada keseimbangan makroekonomi
kedepan (forward looking) Penerapan kebijakan perlu memperhitungkan siklus ekonomi dan
siklus keuangan. Perlunya penggunaan indikator atau analisis untuk membimbing respon
kebijakan dalam memetakan ketidakseimbangan dan risiko sistemik, yang secara substantif
disusun dalam kerangka kerja sistem peringatan dini (early warning system).
Dalam konteks magnitude, ketidakpastian dari dampak suatu instrumen makroprudensial
memerlukan judgement agar penyesuaian dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, penerapan

31
kebijakan perlu dilakukan dengan magnitude yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Dan
pengambilan keputusan dilakukan secara diskresi terbatas (constrained discretion).

c. Pengelolaan Dinamika Arus Modal dan Nilai Tukar


Semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan perekonomian global serta
derasnya aliran masuk modal asing meningkatkan kompleksitas manajemen makroekonomi,
khususnya kebijakan moneter dan nilai tukar.

2.14. Kebijakan Nilai Tukar Dan Devisa

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan sistem nilai tukar dan sistem devisa
sangat memengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Dalam kondisi suatu negara menerapkan
sistem nilai tukar tetap, apabila terjadi aliran dana luar negeri masuk/keluar, maka hal tersebut
berpengaruh langsung terhadap jumlah uang beredar di dalam negeri dan sebagai akibatnya
berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan moneter dalam memengaruhi kegiatan ekonomi dan
inflasi. Karena itu, sistem nilai tukar tetap biasanya disertai dengan penerapan devisa terkontrol
karena mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri cenderung berkurang sehingga dapat
mendukung pelaksanaan kebijakan moneter yang lebih efektif. Kondisi sebaliknya terjadi untuk
sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas ketika aliran dana luar negeri yang lebih
bebas dapat diabsorpsi melalui pergerakan nilai tukar yang mengambang sesuai mekanisme
pasar sehingga kebijakan moneter dapat lebih independen diarahkan pada pencapaian sasaran
pertumbuhan ekonomi dan inflasi di dalam negeri.

Dalam konteks Indonesia, sistem dan kebijakan nilai tukar dan devisa yang dianut, selain
ditujukan untuk mendukung kesinambungan pelaksanaan pembangunan ekonomi, juga diarahkan
untuk mendukung efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun
1999, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang
telah ditetapkan. UU dimaksud juga memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk
mengelola cadangan devisa serta menerima pinjaman luar negeri dalam rangka pengelolaan
cadangan devisa. Pengaturan lebih lanjut mengenai sistem nilai tukar dan lalu lintas devisa
dimuat dalam UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. UU
ini menegaskan sistem devisa yang dianut di Indonesia adalah sistem devisa bebas, sementara

32
sistem nilai tukar ditetapkan oleh pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Bank
Indonesia.

2.14.1. Kebijakan Nilai Tukar

Dalam sejarah perekonomian Indonesia, sistem nilai tukar tetap, sistem mengambang terkendali,
dan sistem mengambang pernah diterapkan di Indonesia. Sistem nilai tukar tetap dianut pada
periode tahun 1973 hingga Maret 1983.47 Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang
terkendali secara ketat diterapkan pada periode Maret 1983 - September 1986. Dalam periode
ini, pemerintah pernah melakukan beberapa kebijakan devaluasi atas nilai tukar rupiah sebagai
berikut.

(1) Devaluasi November 1978 dari Rp425 per USD menjadi Rp625 per USD,

(2) Devaluasi Maret 1983 dari Rp625 per USD menjadi Rp825 per USD; dan

(3) Devaluasi September 1986 dari Rp1134 per USD menjadi Rp1644 per USD.

Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara lebih fleksibel pernah
diterapkan di Indonesia dari September 1986-Januari 1994 dan dengan mekanisme pita
intervensi dari Januari 1994 - Agustus 1997. Dalam periode ini dilakukan kebijakan nilai tukar
sebagai berikut.

(1) Bank Indonesia setiap hari mengeluarkan nilai tukar (kurs) tengah harian;

(2) Pita intervensi pernah dilakukan pelebaran sebanyak 8 kali, yaitu dari Rp6 (0,25%) menjadi
Rp10 (0,5%) pada September 1992, menjadi Rp20 (1%) pada Januari 1994, menjadi Rp30
(1,5%) pada September 1994, menjadi Rp44 (2%) pada Mei 1995, menjadi Rp66 (3%) pada
Desember 1995, menjadi Rp118 (5%) pada Juni 1996, menjadi Rp192 (8%) pada September
1996, dan menjadi Rp304 (12%) pada Juli 1997;

(3) Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga agar nilai tukar
rupiah bergerak dalam batas-batas pita intervensi yang ditetapkan, dengan cara membeli valuta
asing apabila nilai tukar bergerak mendekati batas bawah dan menjual valuta asing apabila nilai
tukar mendekati batas atas dalam pita intervensi yang telah ditetapkan.

33
Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang diterapkan di Indonesia sejak 14 Agustus
1997 hingga sekarang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sistem ini ditempuh sebagai reaksi
pemerintah dalam menghadapi demikian besarnya gejolak dan cepatnya pelemahan nilai tukar
rupiah pada sekitar Juli - Agustus 1997. Serangan spekulasi terhadap rupiah yang dipicu oleh
dampak menjalar serangan spekulasi terhadap mata uang baht Thailand telah menyebabkan
gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah, yang selanjutnya mendorong investor luar negeri
menarik dananya secara besar-besaran dan pada waktu bersamaan dari Indonesia. Kepanikan
kemudian terjadi di pasar valuta asing karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri
memborong valuta asing untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari risiko
nilai tukar, sementara sebagian para pelaku pasar berspekulasi untuk mencari keuntungan
pribadi. Pada awalnya pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya menstabilkan nilai tukar
rupiah, antara lain dengan intervensi di pasar valuta asing dan beberapa kali memperlebar kisaran
pita intervensi nilai tukar rupiah sesuai sistem nilai tukar mengambang terkendali yang dianut
waktu itu. Akan tetapi, tekanan yang sangat besar dan demikian cepat terhadap pelemahan nilai
tukar rupiah yang disertai dengan penurunan cadangan devisa yang terus berlangsung memaksa
pemerintah mengubah sistem nilai tukar rupiah menjadi sistem mengambang. Apabila sistem
mengambang terkendali tetap dipertahankan, maka cadangan devisa negara yang mulai menipis
dikhawatirkan dapat terkuras habis dan menimbulkan krisis neraca pembayaran yang berat.
Sejumlah negara tetangga, seperti Korea Selatan dan Thailand, juga melakukan hal yang sama
dengan menerapkan sistem nilai tukar mengambang.

Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang tersebut dikukuhkan dengan Undang-


Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Sesuai
dengan undang-undang tersebut, sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah
setelah mempertimbangkan rekomendasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia. Hal ini
mengingat perubahan sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas, tidak saja terhadap kegiatan
di bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga terhadap kegiatan ekonomi riil baik
konsumsi, investasi maupun perdagangan luar negeri. Karena itu, perubahan sistem nilai tukar
harus melalui pemikiran dan penelitian yang matang, mempertimbangkan berbagai aspek baik
ekonomi, politik, maupun sosial. Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu memberikan rekomendasi
mengenai rencana perubahan sistem nilai tukar tersebut, apabila akan dilakukan, terutama karena

34
pengalaman dan pengetahuannya di bidang ini maupun karena pengaruhnya terhadap kebijakan
moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk
melakukan kebijakan nilai tukar sesuai dengan sistem nilai tukar yang ditetapkan pemerintah
tersebut. Secara umum kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dapat berupa:

(1) devaluasi atau revaluasi mata uang rupiah terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar
tetap;

(2) intervensi di pasar valuta asing dalam sistem nilai tukar mengambang; dan

(3) penetapan nilai tukar harian dan lebar kisaran intervensi dalam sistem nilai tukar
mengambang terkendali.

Dengan dianutnya sistem nilai tukar mengambang sejak Agustus 1997, pergerakan nilai
tukar rupiah pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan valuta asing di
pasar. Dalam kaitan ini, kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia berupa intervensi di
pasar valuta asing lebih diarahkan untuk menstabilkan atau menghindari gejolak nilai tukar
rupiah di pasar. Intervensi dimaksud tidak dimaksudkan untuk mencapai atau mengarahkan
pergerakan nilai tukar rupiah pada tingkat atau kisaran tertentu."

2.14.2. Kebijakan Devisa

Dalam sejarah perekonomian Indonesia, beberapa kebijakan mengenai pengaturan devisa


telah dilaksanakan sesuai dengan sistem devisa yang telah diterapkan. Sistem devisa terkontrol
pernah diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 1964. Pada waktu itu, devisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Umum (DU). Sesuai
dengan undang-undang pada waktu itu setiap perolehan devisa baik DHE maupun DU wajib
diserahkan kepada negara, c.q. Bank Indonesia atau bank-bank yang ditunjuk. Demikian pula,
setiap penggunaan devisa baik untuk impor maupun keperluan lainnya harus mendapat izin dari
Bank Indonesia. Dengan kewajiban seperti ini, Bank Indonesia mengadministrasikan pergerakan
devisa yang masuk dan keluar Indonesia sehingga jumlah cadangan devisa, besarnya arus lalu
lintas devisa, dan penggunaannya dapat dipantau dan diperkirakan secara lebih pasti.

35
Sistem devisa semi terkontrol pernah diterapkan di Indonesia berdasarkan Perpu No. 64
Tahun 1970 menggantikan UU No. 32 Tahun 1964. Pada waktu itu, perolehan DHE wajib
diserahkan ke Bank Indonesia dan penggunaan harus mendapat izin dari Bank Indonesia,
sementara untuk DU dapat secara bebas diperoleh dan dipergunakan oleh masyarakat.
Administrasi perolehan dan penggunaan DHE dilakukan oleh Bank Indonesia, sementara lalu
lintas devisa untuk jenis DU mulai tidak dapat diadministrasikan dan dipantau secara baik.
Sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia dengan PP No. 1 Tahun 1982 menggantikan
baik UU No. 32 Tahun 1964 maupun Perpu No. 64 Tahun 1970. Dengan peraturan ini, setiap
penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Ini berlaku baik bagi devisa
dalam bentuk DHE maupun DU. Tidak ada pengaturan mengenai kewajiban bagi penduduk
untuk melaporkan devisa yang diperoleh dan dipergunakannya. Kebebasan sistem devisa
kemudian diartikan juga tidak wajib lapor, meskipun di negara-negara lain kewajiban pelaporan
ini masih diberlakukan. Penerapan PP No. 1 Tahun 1982 tersebut menimbulkan permasalahan.
Dari sisi hukum, timbul kerancuan dalam stratifikasi hukum nasional, karena PP No. 1 Tahun
1982 menganulir pengaturan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 32 Tahun 1964 dan Perpu No. 64
Tahun 1970. Dari sisi kebijakan ekonomi, PP No. 1 Tahun 1982 tidak mengatur adanya
kewajiban pelaporan atau pemantauan lalu lintas devisa. Tidak adanya pengaturan yang tegas
mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa telah menyebabkan monitoring devisa baik
dalam bentuk hutang maupun lalu lintas dana luar negeri jangka pendek tidak dapat secara
efektif dilakukan. Berapa besarnya kewajiban luar negeri Indonesia, khususnya untuk swasta,
tidak dapat diketahui jumlahnya dan juga penggunaannya secara jelas dan rinci. Ini yang
kemudian sebagai salah satu sebab sulitnya penanganan krisis, baik dalam memperkirakan
besarnya kebutuhan devisa untuk pembayaran kewajiban luar negeri maupun dalam menangani
negosiasi penjadwalan kembali dan langkah-langkah penyelesaian hutang luar negeri swasta.
Kedua permasalahan tersebut kemudian diselesaikan pada tanggal 17 Mei 1999 dengan
berlakunya UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Berkenaan dengan sistem devisa, undang-undang menekankan penerapan sistem devisa bebas di
Indonesia, dalam arti bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan
setiap penduduk untuk memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa
yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Lebih lanjut lagi, diatur kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan

36
atas berbagai jenis transaksi devisa yang dilakukan oleh bank dalam rangka penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan devisa di Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 24
Tahun 1999 tersebut, dapat dicegah dampak negatif yang timbul atas penerapan sistem devisa
bebas yang tanpa diikuti dengan kebijakan pemantauan dan penerapan prinsip kehati-hatian
dalam lalu lintas devisa seperti terjadi pada masa sebelumnya. Undang-undang ini sekaligus
menggantikan UU No. 32 Tahun 1964.49

Kebijakan terbaru di bidang devisa yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah mengenai
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Utang Luar Negeri pada September 2011. Penjelasan
mengenai kebijakan terbaru ini dapat dibaca pada Boks 3.

Kerangka kebijakan moneter dengan penerapan target inflasi tersebut perlu ditransmisikan ke
sektor riil melalui sistem keuangan termasuk perbankan. Untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan selain diperlukan stabilitas sistem moneter juga diperlukan
stabilitas sistem keuangan.

Kebijakan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Utang Luar Negeri
Untuk menjaga kestabilan nilai tukar sebagaimana diamanatkan dalam UU BI,
dipandang perlu untuk menjaga kestabilan ketersediaan pasokan valuta asing di pasar
domestik. Ketersediaan valas tersebut sangat dibutuhkan pada saat terjadi pembalikan
modal seketika (sudden capital reversal sebagai akibat dari keluarnya dana asing yang saat
ini banyak ditempatkan pada investasi portofolio di pasar keuangan domestik seperti Surat
Utang Negara dan saham. Dengan adanya kestabilan ketersediaan pasokan valas untuk
memenuhi kebutuhan permintaan valas di pasar domestik diharapkan dapat mendukung
upaya menjaga stabilitas makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar.
Terdapat dua sumber dana yang potensial untuk menambah pasokan valas di
pasar domestik yaitu penarikan devisa hasil ekspor (DHE) dan penarikan devisa
utang luar negeri (DULN). Kedua sumber dana tersebut diharapkan dapat memberikan
jaminan tersedianya pasokan valas yang cukup di pasar dalam jangka panjang. Berdasarkan
perhitungan BI, devisa milik penduduk yang bersumber dari kedua sumber tersebut
diperkirakan mencapai 31,5 miliar dolar AS. Namun, tidak seluruh devisa tersebut masuk

37
ke dalam negeri, sehingga pasar valas domestik secara struktural mengalami kekurangan
pasokan valas. Secara khusus pada saat seperti ini ketika pasokan valas domestik sebagian
besar dipenuhi oleh modal jangka pendek yang berisiko mengalami pembalikan (outflow)
sewaktu-waktu.
Sehubungan dengan hal tersebut, BI mewajibkan agar penerimaan DHE dan
penarikan DULN dilakukan melalui bank devisa. Kewajiban tersebut diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011. Dengan kebijakan ini diharapkan pasokan
valas di pasar domestik menjadi lebih stabil dan berkelanjutan sehingga mendukung
terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat, nilai rupiah yang stabil dan makroekonomi
yang kuat. Selain itu, kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas statistik
ekspor, impor, utang luar negeri, neraca pembayaran (balance of payment) dan monitoring
devisa. Kualitas statistik yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk mendukung baik
kebijakan moneter maupun kebijakan perpajakan dan kepabeanan.
Ketentuan PBI tersebut tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang selama
ini telah berlaku. Meskipun BI mewajibkan, baik eksportir yang menerima DHE dan
debitur utang luar negeri yang menarik DULN melalui bank devisa di Indonesia, tetapi
setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisanya. Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
Ketentuan PBI No. 13/20/PBI/2011 mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2012.
Berdasarkan ketentuan ini, maka semua DHE pada prinsipnya diwajibkan diterima bank
domestik paling lambat 3 bulan setelah tanggal ekspor sesuai di dalam Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB). Selama masa transisi pada tahun 2012, diberikan kelonggaran DHE
paling lambat diterima 6 bulan setelah tanggal PEB. Bagi eksportir yang sudah
memperjanjikan penerimaan DHE tidak melalui bank domestik, diberikan masa transisi 1
tahun hingga 31 Desember 2012. Sementara itu, DULN yang wajib ditarik melalui bank
devisa adalah devisa utang luar negeri yang ditarik secara tunai, berupa non-revolving loan
agreement dan surat-surat berharga utang (debt securities). Penarikan DULN yang berasal
dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya kebijakan ini tidak wajib
dilakukan melalui bank devisa domestik.
Selain itu, BI juga mengeluarkan peraturan terkait pemantauan kegiatan lalu lintas

38
devisa (LLD) bank. Hal itu diatur dalam peraturan mengenai Pemantauan Lalu Lintas
Devisa Bank dalam PBI No. 13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 dan peraturan
mengenai Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri dalam PBI No.
13/22/PBI/2011 tanggal 30 September 2011. Peraturan LLD bank diterbitkan untuk
mendukung PBI DHE dan DULN, sehingga apabila bank melaporkan adanya transaksi
ekspor oleh nasabahnya, bank wajib menyampaikan rincian transaksi ekspor dan
dokumennya kepada Bank Indonesia

Annex 1. Jumlah Uang Beredar


Dalam teori Keynesian disebutkan bahwa permintaan uang tunai dipengaruhi oleh
fungsi uang dan motif seseorang memegang uang. Namun, uang tunai atau uang kartal
hanya merupakan salah satu komponen yang menentukan jumlah uang beredar. Secara
umum, terdapat tiga jenis definisi jumlah uang beredar. Pertama, uang inti atau disebut
juga base money atau uang primer dan biasa dilambangkan dengan MO. Dalam neraca
otoritas moneter, uang primer merupakan kewajiban otoritas moneter kepada masyarakat.
Uang inti terdiri dari uang kartal (kertas dan logam) termasuk yang menjadi kas bank
ditambah dengan giro bank yang ada di bank sentral atau otoritas moneter.
Kedua, uang beredar dalam arti sempit atau disebut juga narrow money dan biasa yang
merupakan dilambangkan dengan M1. Dalam neraca sistem moneter gabungan antara
neraca otoritas moneter dan neraca konsolidasi bank-bank umum - jumlah uang beredar
dalam arti sempit (M1) merupakan uang inti (MO) ditambah dengan giro masyarakat yang
ada di bank-bank umum. Ketiga, uang beredar dalam arti luas disebut juga broad money
atau likuiditas perekonomian dan biasa dilambangkan dengan M2. Dalam neraca sistem
moneter, M2 merupakan M1 ditambah dengan uang kuasi (quasi money), yang terdiri dari
tabungan dan deposito masyarakat yang disimpan di bank-bank umum. Bagan 1
memperlihatkan ilustrasi neraca otoritas moneter dan neraca sistem moneter sederhana.
Sisi aktiva dari neraca otoritas moneter dan sistem moneter secara umum mencakup
aktiva luar negeri bersih (net foreign assets), aktiva dalam negeri bersih (net domestic

39
assets) dan aktiva lainnya bersih (net other items). Perbedaannya hanya pada perincian
rekening-rekening yang ada di dalam masing-masing komponen utama tersebut. Pada
neraca otoritas moneter rekening-rekening yang ada di dalam setiap komponen utama
merupakan cermin dari transaksi yang dilakukan bank sentral atau otoritas moneter.
Sementara itu, pada neraca sistem moneter rekening-rekening yang ada di dalam setiap
komponen utama merupakan cermin dari transaksi gabungan yang dilakukan bank sentral
dan bank-bank umum

Ilustrasi Neraca Otoritas Moneter Dan Sistem Moneter


NERACA OTORISASI MONETER
Aktiva Pasiva
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Uang Primer :
1.Aktiva Luar Negeri Bersih 1.Uang Kartal
2.Aktiva Dalam Negeri Bersih - Di Masyarakat
3.Aktiva Lainnya Bersih - Di Bank Umum/Komersial
2.Saldo Giro
- Milik Bank Umum/Komersial
- Milik Masyarakat
NERACA SISTEM MONETER
Aktiva Pasiva
Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Uang Beredar (M2)/Broad Money
1.Aktiva Luar Negeri Bersih 1.(M1) / Narrow Money
2.Aktiva Dalam Negeri Bersih - Uang Kartal
3.Aktiva Lainnya Bersih - Uang Giral
2.Uang Kuasi
- Simpanan Berjangka
- Tabungan

Meskipun secara umum definisi uang beredar dibedakan ke dalam tiga kategori di atas, di
beberapa negara mungkin saja definisinya dapat dikategorikan lebih dari itu. Biasanya definisi

40
jumlah uang beredar akan semakin luas, misalnya menjadi M3 atau bahkan M4, apabila negara
tersebut memiliki struktur kelembagaan finansial yang semakin dalam (financial deepening).
Artinya, sumber penghimpunan dana dan sumber penyaluran dana tidak lagi didominasi oleh
perbankan, tetapi sudah dapat diimbangi oleh kegiatan usaha dari lembaga keuangan lainnya.
Karena pada dasarnya jumlah uang beredar yang menentukan likuiditas perekonomian suatu
negara ditentukan juga oleh kemampuan masing-masing lembaga keuangan itu dalam
menciptakan uang giral. Semakin besar kemampuan suatu jenis lembaga keuangan dalam
menciptakan uang giral maka semakin besar pengaruhnya terhadap ketersediaan likuiditas
perekonomian. Dengan demikian, peran lembaga keuangan lain di luar perbankan akan semakin
memperluas cakupan definisi jumlah uang beredar.

41
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia menimbulkan permasalahan yang


kompleks. Krisis ekonomi telah menyebabkan perekonomian Indonesia yang pada awalnya
bertumbuh pesat tiba-tiba bergejolak. Sehingga menimbulkan terjadinya tingkat inflasi yang
tinggi. Kinerja keuangan bank merupakan salah satu aspek dasar untuk penilaian dan pengukuran
terhadap kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsinya, yaitu menghimpun serta
mengelola dana dari masyarakat. Perbaikan kondisi kinerja keuangan perbankan nasional
membawa perbankan menuju suatu persaingan yang kompetitif antar bank-bank umum
konvensional dari suatu periode ke periode berikutnya.
Secara umum menurut Bank Indonesia penyebab inflasi terbagi ke dalam 3 macam yakni;
Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi ini 3 timbul apabila permintaan
agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian. Kedua,
dorongan biaya (cosh-push inflation). Inflasi ini timbul karena adanya depresiasi nilai tukar,
dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi. Ketiga, ekspektasi inflasi. Inflasi ini dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward
looking.

42
DAFTAR PUSTAKA

Simorangkir, Iskandar (2014). Pengantar Kebanksentralan Teori dan Praktik di Indonesia.


Jakarta : Rajawali Pres.

43

Anda mungkin juga menyukai