Anda di halaman 1dari 2

M.

Refly Yudha A
18/426645/EK/21976
Manajemen

Refleksi Bedah Film : The True Cost

Film dokumenter berjudul The True Cost ini membahas tentang fashion. Yakni
pakaian yang kita pakai, siapa yang memproduksi pakaian tersebut, dan dampak dari
industri ini terhadap lingkungan secara global. Harga dari pakaian selama satu dekade
terakhir mengalami penurunan, sementara kos dari manusia, sumber daya, lingkungan, dan
komponen-komponen yang terbentuk sebagai kos dari pakaian tersebut semakin meningkat.
The True Cost adalah film dokumenter yang mencoba untuk menjabarkan dibalik industri ini
yang tidak pernah diceritakan dan mengajak kita untuk berpikir, siapa sebenarnya yang
benar-benar membayar harga untuk pakaian kita.

Komponen pembentuk harga jual dari pakaian banyak tidak diketahui oleh
masyarakat. Mereka tidak melihat berapa kos dari material, kos dari pekerja, kos dari mesin
dan sebagainya. Penetapan harga yang murah seharusnya menjadi pertanyaan besar.
Mengapa harga akhir produk tersebut bisa semurah itu? Tentunya ada komponen kos yang
sangat ditekan dan volume produksi yang sangat besar juga akan menekan harga menjadi
lebih murah. Hal tersebut pastinya akan menjadi masalah baru, dengan jumlah produk
sebanyak itu tentunya hanya beberapa persen saja yang akan laku terjual, karena jangka
waktu untuk menjual produk tersebut sangatlah singkat

Beberapa perusahaan yang disoroti yakni perusahaan yang berbasis fast-fashion,


istilah fast-fashion itu sendiri merupakan cycle dari produksi yang biasanya dilakukan secara
cepat dan berkala di tiap musim nya. Banyak dampak negatif dari industri ini antara lain
volume produksi yang sangat banyak dan tempo waktu produksinya sangat cepat, kurang
lebih setiap dua minggu sekali, penggunaan material yang murah dan berkualitas rendah,
manufaktur yang digunakan biasanya berada di negara berkembang yang mana harga
pekerjanya sangat rendah, tidak terlalu concern dengan dampak lingkungan yang
ditimbulkan dari proses produksi, dan masih banyak lagi.

Beberapa dari mereka mengklaim bahwa produk yang mereka tawarkan ramah
lingkungan, namun tidak menjelaskan secara detail mengapa produk yang mereka tawarkan
tidak lebih berpolutan dibanding dengan produk lain. Masalahnya disini adalah tidak ada
patokan atau standar untuk sebuah produk dapat dikatakan sebagai “sustainability product”.
Pada akhirnya campaign yang mereka lakukan sebetulnya hanya sekedar ‘gimmick’ semata
untuk tujuan promosional.

Ironisnya, kita dipaksa untuk terus menerus membeli produk yang mereka tawarkan.
Banyak dari kita yang termakan oleh trik marketing namun terus menerus membelinya,
hanya karena terobsesi dengan influencer yang dikagumi mengenakan produk tersebut atau
dikarenakan orang lain sedang ramai memakainya. Melalui iklan, mereka mencoba untuk
mengadopsi pandangan tertentu bagaimana seharusnya kita melakukan sesuatu
dibandingkan kita melakukan keputusan sendiri.
Hal tersebut tentunya tidak dapat dihindarkan di era digital saat ini, yang mana kita
hidup di budaya konsumerisme. Setiap saat kita akan menjumpai berbagai iklan dan
promosi dari berbagai brand. Lalu, banyak waktu dan tenaga yang tersita untuk mencari dan
menunggu produk keluaran terbaru, dibandingkan untuk melakukan hal yang lebih produktif.

Ketika kita melakukan konsumsi. Terkadang tidak memikirkan efek ketika kita
berbelanja. Padahal, semua yang kita miliki memiliki hubungan dan dampak kedalam
kehidupan sehari-hari. Khususnya pakaian seharusnya barang yang kita miliki untuk jangka
waktu yang lama, namun dikarenakan harganya yang murah, baju dijadikan barang yang
layaknya digunakan untuk sekali pakai saja. Oleh karena itu, penting bagi kita memastikan
apakah kita membeli sesuatu yang benar.

Jangan sampai kita melakukan keputusan yang buruk, seperti membeli baju yang
ternyata tidak cocok dan tidak begitu membutuhkan, hanya dikarenakan perilaku yang
impulsif. Hal tersebut tentunya tidak baik untuk kita. Baju yang dibeli, nantinya akan menjadi
sia-sia dan berujung menjadi sampah. Sehingga dilain waktu apabila melihat barang yang
kita suka, tanyakan pada diri sendiri: “Siapkah kita untuk menjalin hubungan dengan barang
tersebut?”

Anda mungkin juga menyukai