Anda di halaman 1dari 2

M.

Refly Yudha A
18/426645/EK/21976
Manajemen

Snobisme di Kehidupan Sehari Hari

Snobisme yakni cara pandang atau sikap kita terhadap sesuatu secara berlebihan.
Berlebihan yang dimaksud dalam hal tutur kata, perilaku, selera, referensi dan sebagainya.
Hal tersebut kadang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan konstruksi dirinya bahwa
mereka kaya, memiliki intelektualitas, selera yang bagus, ataupun ketenaran. Pada essay kali
ini, saya akan lebih menyoroti fenomena snobisme yang terjadi di sekitar saya, terutama di
lingkungan kampus. Baik dari segi wawasan, referensi, dan selera mahasiswa. Hal ini juga
menjadi bahan introspeksi diri bagi saya, untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Diskusi mengenai berbagai isu terkini maupun hal yang bersangkutan dengan materi
perkuliahan pastinya sering dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini tentunya sangat bagus untuk
membentuk sikap kritis terhadap suatu fenomena dan tentunya akan menambah wawasan
bagi siapa saja yang berdiskusi. Namun, akan menjadi masalah apabila salah seorang di
dalam diskusi menganggap dirinya lebih superior. Seakan argumen yang disampaikan sangat
benar, bahkan terkadang terkesan menyepelekan lawan bicaranya karena referensinya tidak
sebanyak yang ia miliki.

Dalam hal selera musik, sering saya jumpai mahasiswa yang memilih cara ekstrim
terhadap genre musik yang ia gemari. Mereka yang tidak atau belum mendengar musisi yang
kita gemari lantas jadi objek bully, seleranya kita pertanyakan, genre musik yang mereka
dengarkan dibuat seolah tidak relevan. Seperti seseorang yang mendengarkan musik dangdut
dianggap “norak” atau tidak memiliki selera yang bagus. Padahal sebetulnya itu hanya
masalah subjektifitas masing-masing individu saja. Anehnya, kita juga selama ini justru
selalu mengandalkan produk-produk budaya barat untuk menjadi yang terdepan atau terbaru.
Lupa jika apa yang kita miliki punya nilai kebaruan yang setara. Dalam kondisi tersebut,
musisi-musisi akar rumput macam NDX, Didi Kempot, Herman Penceng punya karakter
yang kuat dalam karyanya.

Yang akhir-akhir ini sering dijumpai dan menjadi pembahasan hangat yakni mengenai
open minded. Mereka yang dianggap open minded, yakni mereka yang mengilhami paham
liberal, menjunjung tinggi budaya modern, dan berbagai konstruksi lain yang dibentuk.
Namun kebanyakan dari mereka terkadang juga terlalu berlebihan dalam menyikapi apa yang
ia yakini. Menurut saya hal seperti ini yang dapat menyebabkan krisis identitas di kalangan
anak muda saat ini, karena kebanyakan mereka menelan mentah-mentah hasil dari
globalisasi, dan terkadang menganggap kebudayaan atau hasil pemikiran dari orang-orang
Indonesia tidak sekeren budaya barat.
Dalam hal lain, yang sering saya jumpai yakni dalam kehidupan beragama khususnya
di lingkungan kampus. Terkadang, saya merasa risih apabila teman saya yang lebih sering
beribadah di masjid/musholla kampus sering menegur “tumben sholat” , “wah si A sholat”,
dan sebagainya. Seakan-akan dirinya lebih suci dan justru akan menjadi benih-benih
intoleransi dan menyebabkan seseorang yang hendak beribadah jadi malas dan tidak khusyuk
dalam menjalankan ibadah.

Hal-hal seperti ini akan membentuk stigma atau patokan khusus, bahwa dalam
berkehidupan kita harus seperti yang diyakini oleh mayoritas. Sehingga keberagaman akan
menjadi hilang dan justru akan lahir sebuah keseragaman yang sangat membosankan.
Masalah lain yang juga akan timbul dari sikap snobisme yakni intoleransi, dikarenakan kita
tidak bebas dalam berekspresi, dalam menyampaikan pendapat, dan sebagainya. Seharusnya
apabila referensi dan ilmu yang kita miliki semakin luas, sudah seharusnya kita justru harus
lebih haus akan hal-hal baru, bukan merasa menjadi superior dan mengaggap orang lain tidak
sekeren kita.

Anda mungkin juga menyukai