Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

” STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL”

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


MAKASSAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT. yang atas rahmat-Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari
makalah ini adalah “Manajemen Nilai Tukar dan Aliran Modal Asing”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Kebanksentralan yang telah membimbing kami. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna kami
pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Makassar, September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... 3
A. konsep Stabilitas Sistem Keuangan..........................................................................3
1. Definisi Stabilitas Sistem Keuangan............................................................................... 3
2. Prosiklikalitas Perilaku Sektor Keuangan........................................................................4
B. Tinjauan Konseptual Kebijakan Makroprudensial................................................. 11
1.... Konsep dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial..................................................12
2.... Instrumen Kebijakan Makroprudensial........................................................................ 15
3. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Lain........................................ 17
C. Kebijakan Makroprudensial di Indonesia……………………………………………...
1. Mandat dan Kerangka Kebijakan Makroprudensial………………………………………
2. Instrumen Kebijakan Makroprudensial…………………………………………………...
3. Koordinasi Antar-otoritas dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
indonesia…………
4. peran pemerintah, OJK, dan LPS………………………………………………………...

BAB III PENUTUP..................................................................................................................... 18

iii
A. Pendahuluan
Kondisi ekonomi global tahun 2007-2008 diawali dengan krisiskeuangan di Amerika
Serikat yang dipicu oleh kolapsnya subprime mortgage pada Agustus 2007. Tingkat suku
bunga yang rendah dan hanya berkisar 1 - 1,75% di Amerika Serikat dalam periode 2000 -
2004 mendorong pertumbuhan kredit dan akumulasi risiko yang berlebihan. Berbagai
institusi keuangan berupaya memperoleh keuntungan besar dengan memberikan kredit
perumahan berbunga tinggi bagi kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak layak
menerima kredit (subprime mortgage). Skema pendanaan berisiko tinggi in kemudian
dikemas dalam surat utang yang diterbitkan lembaga keuangan pemberi subprime
mortgage dan dibeli oleh berbagai investor institusi keuangan yang tertarik dengan potensi
tingkat keuntungan yang dapat diperoleh dari surat utang tersebut.
Ketika era suku bunga rendah mulai memudar dan Federal Reserve mulai
menaikkan suku bunga acuan hingga mencapai 5,25% pada Agustus 2007, banyak
subprime mortgage yang mulai bermasalah dan gagal bayar. Pasar properti jatuh dan nilai
pasar surat utang turn drastis. Akibatnya para investor institusi keuangan mengalami
kerugian besar, termasuk investor berskala internasional yang beroperasi di banyak
negara, dan pada akhirnya memunculkan adanya Global Financial Crisis (GFC). Krisis yang
dipicu permasalahan subprime mortgage di sektor keuangan in tak hanya mengakibatkan
penurunan kinerja sektor keuangan, namun juga berdampak pada perekonomian dunia.

B. Konsep stabilitas sistem keuangan


1. definisi stabilitas sistem keuangan
Borio dan Drehmann (2009) menyatakan bahwa "financial instability as a set of
conditions that is sufficient to result in the emergence of financial distress/crises in
response to normal-sized shocks. These shocks could originate either in the real economy
or the financial system itself. Financial stability is then defined as the converse of financial
instability". Sementara itu, Schinasi (2004) memberikan definisi stabilitas sistem keuangan
dalam cakupan yang lebih luas: "a financial system is in a range of stability whenever it is
capable of facilitating (rather than impeding) the performance of an economy, and of
dissipating financial imbalances that arise endogenously or as a result of significant
adverse and unanticipated events".
Definisi stabilitas sistem keuangan yang lebih praktis dapat ditemukan di banyak
bank sentral. European Central Bank (ECB) mendefinisikan stabilitas sistem keuangan
sebagai berikut: "financial stability as a condition in which the financial system -
intermediaries, markets and market infrastructures - can with stand shocks without major
disruption in financial intermediation and in the general supply of financial services". Selain
itu, Undang-Undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU-PPKSK) April 2016 mendefinisikan stabilitas sistem keuangan sebagai
kondisi sistem keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari
gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.
Dari beberapa definisi tersebut, setidaknya terdapat lima aspek penting yang perlu
ditekankan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan mencegah krisis. Pertama,
kesehatan individual lembaga keuangan sangat penting tetapi tidaklah cukup (necessary
but not sufficient) untuk mencegah terjadinya risiko sistemik. Kedua, sejarah menunjukkan
empat jenis faktor terkait dengan makro-finansial yang sering menyebabkan krisis, yaitu:
asset bubbles (baik set finansial maupun properti), credit boom, akumulasi hutang secara
berlebihan, dan capital outflow secara tiba-tiba (sudden-stop) (Reinhart dan Rogoff, 2009;
Claessens dan Kose, 2013). Ketiga, kebijakan yang digunakan untuk mengendalikan
guncangan perekonomian domestik dan kemampuan mengantisipasi guncangan dari luar
negeri sangat penting untuk mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan.
Keempat, krisis dapat dipicu dari kegagalan suatu lembaga keuangan, terjadinya
prosiklikalitas pada ketidakseimbangan makro-fimansial, atau guncangan perekonomian
domestik maupun internasional. Kelima, puncak dari krisis secara luas terjadi pada saat
interkoneksi dan jejaring keuangan terjadi bersamaan dengan perilaku herding behavior
dan information contagion (Acharya dan Yorulmazer, 2003).
2. prosiklikalitas perilaku sektor keuangan
Peran sektor keuangan sangat menentukan stabilitas makrockonomi mengingat
perilakunya yang cenderung menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan. Prosiklikalitas
adalah perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat
ketika ekspansi dan memperlemah perekonomian ketika siklus kontraksi. Perilaku
prosiklikal pada sistem keuangan meningkatkan ketidakstabilan makrockonomi dengan
menciptakan kondisi output yang fluktuatif. Perilaku
prosiklikalitas sektor keuangan secara inheren dapat muncul karena beberapa faktor,
seperti informasi asimetris dan siklus perilaku terhadap risiko. Adanya informasi asimetris
pada pasar keuangan mendorong terjadinya 'financial accelerator', suatu kondisi ketika
perekonomian mengalami kontraksi disertai menurunnya nilai kolateral, yang
mengakibatkan perusahaan berkualitas baik dengan proyek yang menguntungkan pun
akan sulit mendapatkan kredit. Sebaliknya ketika perekonomian membaik dan nilai
kolateral naik, maka perusahaan ini kembali mendapatkan akses ke bank dan ini
menambah stimulus pada perekonomian. Walaupun financial accelerator merupakan
mekanisme utama yang memicu terjadinya prosiklikalitas, Borio and Lowe (2002)
menekankan pentingnya faktor respons pelaku pasar yang tidak proporsional dalam
menilai risiko yang akan memperparah prosiklikalitas.
Oleh sebab itu, prosiklikalitas bukan hanya hasil interaksi antara siklus ekonomi
bisnis (business eyele) dan siklus keuangan (financial yele), namun juga dipengaruhi oleh
siklus perilaku terhadap risiko (risk-taking cycle), yaitu perilaku yang ditandai oleh
optimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi membaik dan pesimisme yang
berlebihan ketika siklus ekonomi memburuk (Nijathaworn, 2009). Siklus bisnis ditandai
dengan ekspansi ketika perekonomian mengalami fase pertumbuhan dan kontraksi ketika
perekonomian mengalami fase pelemahan. Siklus keuangan ditandai oleh perilaku
perbankan yang lebih ekspansif tercermin dari peningkatan leverage yang sejalan dengan
fase ekspansi pada siklus bisnis.

C. Tinjauan Konseptual Kebijakan Makroprudensial


1. konsep dan karateristik kebijakan makroprudensial
Secara umum, belum terdapat definisi kebijakan makroprudensial yang baku. IMF
menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang menggunakan
instrumen yang berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential) sebagai instrumen
utamanya untuk membatasi risiko sistemik atau risiko sistem keuangan secara luas.
Sementara itu, Borio (2015) mendefinisikan pendekatan makroprudensial, berdasarkan
tujuannya, adalah untuk membatasi risiko pada sistem keuangan guna mengurangi
potensi menyebarnya dampak negatif (cost) pada perekonomian. Di sisi lain, kebijakan
mikroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko pada individual institusi keuangan tapa
memperhatikan dampaknya terhadap makroekonomi. Dengan demikian, rang lingkup
pendekatan makroprudensial adalah sistem keuangan secara keseluruhan, sementara
mikroprudensial hanya fokus pada institusi keuangan secara individual.
Beberapa definisi kebijakan makroprudensial yang bersumber dari bank sentral
dan lembaga multilateral dan banyak dijadikan referensi antara lain adalah sebagai berikut:
a. International Monetary Fund (IMF); Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang
memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (IMF, 2011).
b. Bank for International Settlements (BS): Kebijalkan makroprudensia adalah kebijakan
yang ditujukan untuk membatasi risiko dan biaga krisis sistemik (Galati dan Moessner,
2011).
c. Bank of England: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk
memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran,
intermediasi kredit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of
England, 2009).
d. Working Group G-30: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan
untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik
yang timbul akibat keterkaitan antarinstitusi dan kecenderungan institusi keuangan
untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik
(WG G30, 2010).
e. European Central Bank: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan
untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan
memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik,
sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap
pertumbuhan ekonomi (European Systemic Risk Board, 2013).
f. Bank Indonesia: Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungi
intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi Sistem Keuangan,
akses keuangan dan UMKM dalam mendorong terpeliharanya SSK, serta mendukung
stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran (PDG Pengaturan dan
Pengawasan Makroprudensial).

2. Instrumen Kebijakan Makropidensial


Dalam perkembangannya, sejalan dengan perubahan tatanan sektor keuangan,
terutama pascakrisis keuangan global 2008/09, instrumen kebijakan makroprudensial telah
diterapkan oleh bank sentral dalam artian yang lebih luas. Beberapa instrumen yang
sebelumnya lebih dikenal sebagai instrumen moneter (seperti reserve requirements) juga
digunakan untuk mencegah risiko sistemik dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam
siklus kegiatan ekonomi, khususnya untuk sektor-sektor ekonomi tertentu (targeted).
Instrumen kebijakan tersebut juga tidak hanya difokuskan untuk menangani risiko yang
terjadi pada individual bank. Oleh karena itu, instrumen tersebut dapat dikategorikan
sebagai instrumen kebijakan makroprudensial.
Berbagai jenis instrumen kebijakan makroprudensial dapat diklasifikasikan
berdasarkan tujuan perumusan kebijakan, kategori kebijakan yang akan dirumuskan, dan
pendekatan penggunaan instrumen.
a. Tujuan Perumusan Kebijakan
Berdasarkan tujuannya, Lim et al. (2011) mengklasifikasikan instrumen
kebijakan makroprudensial menjadi 3 (tiga), yakni credit-related, liquidity-related,
dan capital-related. Secara bertürut-turut instrumen kebijakan tersebut merupakan
instrumen dengan sasaran untuk memitigasi risiko sistemik dengan menggunakan
besaran kredit, likuiditas, dan permodalan.
b. kategori kebijakan yang akan dirumuskan
Instrumen kebijakan makroprudensial dapat dikategorikan dalam 2 jenis,
yakni instrumen kebijakan yang dikembangkan khusus untuk memitigasi risiko
sistemik, dan instrumen kebijakan yang dikalibrasi berulang (Vinals, 2011).
Instrumen makroprudensial yang dapat dikembangkan untuk melaksanakan
mitigasi risiko hanya bersifat relevan pada sat instrumen tersebut
dimplementasikan, kemudian dapat ditarik kembali pada sat risiko telah berhasil
dikendalikan.
c. pendekatan pengguanaa instrumen
Lim et al. (2011) menjelaskan berbagai pendekatan penggunan instrumen
makroprudensial, antara lain:
1) Single us Multiple
Single instrument biasanya digunakan apabila sumber risiko
telah jelas teridentifkasi. Sementara penggunaan multiple instrument,
meskipun menimbulkan biaya yang lebih tinggi, akan meningkatkan
efektivitas kebijakan untuk mengatasi suatu risiko dari berbagai sisi.
2) Broad-based vs Targeted
Broad-based instrument biasanya digunakan apabila risiko bersifat
umum dengan data yang terbatas, sementara targeted instrument
digunakan apabila risiko teridentifikasi dengan jelas.
3) Fixed us Time varying
Time-varying instrument dalam makroprudensial digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan siklus. Instrumen ini
bersifat Aleksibel agar secara otomatis dapat menyesuaikan dengan siklus
yang terjadi tapa mengubah formula kebijakan (automatic adjustment).
4) Rule us Discretion
Untuk mencapai tujuan terkait, selain tujuan (sasaran) kebijakan
yang telah ditetapkan beserta instrumen kebijakan yang dapat digunakan,
salah satu aspek penting lain yang perlu dirumuskan dalam kerangka kerja
kebijakan makroprudensial adalah respons kebijakan.
5) koordinasi dengan otoritas lain
Implementasi kebijakan makroprudensial dapat berupa bauran
kebijakan dengan kebijakan lain dari otoritas yang berbeda, seperti
kebijakan mikroprudensial dan kebijakan fiskal. Sebagai konsekuensi,
koordinasi dengan otoritas/institusi lain sangat diperlukan.

3. interaksi kebijakan makroprudensial dengan kebijakan lain


Kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam sistem keuangan mencakup
kebijakan mikroprudensial dan kebijakan makroprudensial. Pada dasarnya kedua
kebijakan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung satu sama
lain. Persaud (2009) menggambarkan bahwa perilaku bank dapat menciptakan risiko
sistemik yang pada akhirnya memerlukan kebijakan makroprudensial. Sebagai contoh,
bank secara individual cenderung menjual aset yang dianggap memiliki potensi risiko
tinggi. Secara mikroprudensial, tindakan bank untuk menjual aset tersebut sudah tepat.
Namun, apabila sebagian bear bank cenderung melakukan hal yang sama, penurunan
harga aset yang cepat (fire sale) akan terjadi dan menciptakan kesulitan likuiditas serta
risiko sistemik. Dalam kondisi ini, kebijakan makroprudensial sangat diperlukan untuk
menjaga ketahanan perbankan.

D. Kebijakan Makroprudensial di indonesia


1. Mandat dan kerangka kebijakan Makroprudensial
Peran Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi makroprudensial secara eksplisit
terdapat dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan UU tersebut, tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap lembaga keuangan perbankan mikroprudensial, yang meliputi
kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian, dan pemeriksaan bank, dialihkan dari Bank
Indonesia ke OJK.
Mandat kebijakan makroprudensial tercantum dalam UU OK No.
21 Tahun 2011 tentang JK khususnya pada Pasal 7 dan Pasal 40. Secara
rinci pasal-pasal tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut.
1) Penjelasan Pasal 7
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek
kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
2) pasal 40
Untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya Bank Indonesia
memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu. Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis dahulu kepada OJK.
3) Penjelasan Pasal 40
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang
JK. Namun, saat Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk
systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan BI
di bidang makroprudensial.

2. instrumen kebijakan makroprudensial


Implementasi instrumen kebijakan makroprudensial di Indonesia dilustrasikan
secara umm sebagai berikut.
1) Loan to value ratio
LTV merupakan instrumen kebijakan makroprudensial yang bersifat credit-
related dan bertujuan untuk meredam risiko sistemik yang mungkin timbul akibat
pertumbuhan KPR yang pada saat itu mencapai lebih dari 40%, serta tingkat
kegagalan nasabah Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) untuk memenuhi kewajiban
yang pada saat itu mencapai hampir 10%. Dari sudut pandang makroprudensial,
pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga aset
properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), schingga dapat
meningkatkan risiko kredit bag bank-bank dengan exposure kredit properti yang
besar.

2) rasio intermediasi makroprudensial


Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) merupakan pengembangan dari
kebijakan makroprudensial sebelumnya yaitu loan to funding ratio (LFR).
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/04/ PB/2018 menyatakan
bahwa Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) adalah rasio hasil perbandingan
antara kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga
korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang dimiliki oleh bank terhadap DPK bank dalam bentuk giro, tabungan, dan
simpanan berjangka/ deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana
antarbank, dan surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi
persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh bank untuk memperoleh sumber
pendanaan.

3) Penyangga likuiditas makroprudensial (PLM)


Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PL.M) adalah cadangan likuiditas
minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat
berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari dari PK bank dalam rupiah. Ketentuan
PLM yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah bank wajib menyimpan aset
likuid dengan besaran rasio sebesar 4% dari PK dalam rupiah. Aset likuid yang
diperhitungkan dalam perhitungan PLM adalah surat berharga dalam rupiah yang
dimiliki oleh bank dan dapat digunakan dalam operasi moneter. PLM dihitung
dengan membandingkan jumlah surat berharga yang dimiliki oleh bank pada setiap
akhir hari selama dua periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK bank
dalam rupiah selama dua periode laporan pada empat period laporan sebelumnya.

4) countercyclical buffer (CCB)


Countercyclical buffer (CCB) adalah tambahan modal bank yang
disyaratkan di atas (on-top) persyaratan modal minimum dan merupakan instrumen
makroprudensial yang bersifat time-varying. Instrumen ini ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan perbankan terhadap guncangan negatif dan mengurangi
procyclicality kredit perbankan. CB diaktifkan pada sat ekonomi boom dan kredit
tumbuh tinggi melampaui threshold (indikator yang umum digunakan adalah credit-
to-GDP ratio), yang mana risiko sistemik mulai tumbuh. Selanjutnya hal in akan
dilonggarkan atau dilepas pada kondisi bust. CCB dimplementasikan sebesar 0% -
2,5% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) dalam bentuk common equity
tier (CET1) sebagaimana didefinisikan dalam kerangka Basel III.

3. Koordinasi antar-otoritas dalam menjaga stabilitas sistem keuangan indonesia


Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, diperlukan kerja sama antara
berbagai otoritas yang berwenang. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK menjelaskan
peranan antara otoritas yang bekerja sama dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK). Peran KSSK adalah untuk: (i) melakukan koordinasi pemantauan dan
pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, (ii) penanganan krisis sistem keuangan, dan (ti)
penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam
kondisi normal maupun krisis. Otoritas yang berwenang dalam menjaga sistem keuangan
tersebut adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hubungan kerja antarotoritas
keuangan dan Pemerintah secara keseluruhan tidak terbatas pada penanganan krisis saja.
Dalam mengelola perekonomian negara sehari-hari, hubungan kerja antara otoritas
keuangan dan Pemerintah berlangsung cukup intens. Peran Bank Indonesia dalam
stabilitas sistem keuangan dikaitkan dengan peran Bank Indonesia sebagai otoritas
kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran (infrastruktur sistem
keuangan).

4. peran pemerintah, OJK, dan LPS


Kementerian Keuangan sebagai otoritas kebijakan fiskal memiliki tugas utama
untuk mengelola keuangan negara terutama untuk membiayai pembangunan, termasuk di
dalamnya kebijakan perpajakan dan hutang Pemerintah. Kementerian di bidang ekonomi
lainnya melaksanakan kebijakan makroekonomi yang berpengaruh terhadap
perekonomian di bidang infrastruktur dan sektor riil. Kebijakan pada level sektor ekonomi
ini secara langsung memengaruhi iklim bisnis di Indonesia, yang pada akhirnya
memengaruhi kinerja sektor riil. Namun, Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran
unik di sektor riil melalui kebijakan perpajakan, yang langsung berpengaruh terhadap
korporasi dan rumah tangga.
Sementara itu, peran OJ terletak pada perlindungan konsumen sistem keuangan.
OJK bertugas menerapkan aturan-aturan prudensial yang bertujuan untuk menjaga
keschatan individual institusi keuangan, serta memastikan kode etik pelaku pasar
mendukung iklim investasi yang sehat. Untuk mencapai tujuan itu, OJ melakukan
pengawasan mikroprudensial terhadap semua institusi keuangan untuk memastikan
institusi dapat menjaga kelangsungan usahanya. Kesehatan institusi keuangan merupakan
salah satu faktor penentu stabilitas sistem keuangan.
LPS berperan memberikan jaminan atas simpanan nasabah dalam bank. Untuk itu,
LPS mengumpulkan iuran premi dari bank dan mengelola dana tersebut agar dapat
dipergunakan untuk membayar simpanan nasabah bank yang mengalami kegagalan
berdasarkan aturan penjaminan simpanan yang berlaku. Dalam penanganan bank
bermasalah, LPS juga memiliki peranan penting. Secara khusus, LPS adalah otoritas
resolusi bank, yang bertugas melaksanakan penanganan masalah solvabilitas Bank
Sistemik serta bank lainnya, termasuk jika bank tertentu mengalami kegagalan. Peran LP
membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, karena
adanya garansi pengembalian simpanan jika terjadi kegagalan bank.
KESIMPULAN

Kebijakan makroprudensial mencakup pengaturan dan pengawasan lembaga


keuangan dari perspektif makro, yaitu keterkaitan makro-finansial tersebut, dan berfokus
pada risiko sistemik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sasaran utamanya ada
dua, yaitu mencegah prosiklisitas keuangan (dimensi antarwaktu 'time series) dan
memitigasi risiko sistemik (dimensi cross-section) yang muncul dari keterkaitan makro-
finansial tersebut. Instrumennya dapat mencakup untuk pengendalian prosiklisitas dan
risiko sistemik terkait exposure kredit, valuta asing, likuiditas, dan permodalan. Instrumen
makroprudensial juga dapat disesuaikan dengan jenis risiko, yaitu risiko harga aset, risiko
likuiditas/pasar, dan risiko interkoneksi/struktur pasar, sesuai dengan dimensi risiko, yaitu
apakah secara dinamis antarwaktu atau secara statis antarsektor. Lebih dari itu, kebijakan
makroprudensial dapat diperlonggar dan diperketat sesuai dengan tingkat risiko yang
diantisipasi dari prosiklisitas dan risiko sistemik yang dapat muncul. Bank sentral
merupakan lembaga yang tepat untuk melaksanakan tugas kebijakan makroprudensial
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai