Anda di halaman 1dari 21

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PADA MASA KRISIS

EKONOMI ATAU KRISIS MONETER TAHUN 1998 VS EFEKTIVITAS


KEBIJAKAN MONETER SAAT INI

Dosen Pembimbing :
Drs. Ec. M. Taufiq, MM

Disusun oleh:
Kezia Putri Jesia 22011010052
Anggita Mulia P 22011010147
Forlan Bagus P 22011010214
Sausan Kamila Z 22011010210
Difa Tri Agustina 22011010044

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
2022

1.

1
KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidakakan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semogaterlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah “EKONOMI MAKRO”, yang membahas tentang “EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PADA MASA KRISIS MONETER TAHUN
1998 DAN KEBIJAKAN MONETER YANG TERJADI SAAT INI”. Kami menyadari
bahwa masih terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan dalam makalah ini. Akhir kata,
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan motivasi bagi siapa saja yang
membaca dan memanfaatkannya.

Surabaya, 10 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................3
2.1 Definisi Kebijakan Moneter..........................................................................................3
2.2 Definisi Krisis Moneter..................................................................................................3
2.3 Peranan Kebijakan Moneter Terhadap Perekonomian.............................................3
BAB III......................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
3.1 Efektivitas Kebijakan Moneter di Indonesia Pada Masa Krisis Moneter 1998.......6
3.2 Efektivitas Kebijakan Moneter Saat Ini.....................................................................10
3.3 Efektivitas Kebijakan Moneter di Indonesia Pada Masa Krisis Moneter 1998 vs
Efektivitas Kebijakan Moneter Saat Ini...........................................................................12
BAB IV....................................................................................................................................14
PENUTUP...............................................................................................................................14
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................14
4.2 Saran..............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

3
2. BAB I

3. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Krisis adalah suatu peristiwa yang mengarah pada situasi yang tidak stabil dan berbahaya
yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat. Krisis dianggap
menyebabkan perubahan negatif dalam masalah keamanan, sosial atau lingkungan ketika
krisis terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit atau tanpa peringatan. Krisis juga merupakan
istilah yang berarti “masa pencobaan” atau “peristiwa darurat”. Krisis merupakan suatu masa
sulit yang dialami oleh manusia di suatu keluarga, kelompok masyarakat, bahkan negara.
Keadaan ini membuat semua orang sulit untuk melakukan kebebasan karena memikirkan hal-
hal lain yang lebih penting. Dalam hal ini, krisis yang akan dibahas adalah mengenai krisis
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, yaitu krisis moneter. Krisis moneter mungkin jika
di analogikan mirip seperti krisis keuangan, namun dalam jangkauan yang luas, yaitu
keuangan negara.

Krisis moneter atau juga disebut krisis keuangan adalah situasi di mana harga aset
mengalami penurunan, bisnis dan konsumen tidak dapat membayar utang mereka, dan
lembaga keuangan mengalami kekurangan likuiditas. Krisis keuangan sering disertai dengan
kepanikan di mana investor menjual aset mereka atau menarik uang dari rekening tabungan
mereka karena takut nilainya akan menurun jika mereka tetap berada di lembaga keuangan.
Situasi lain yang dapat disebut krisis moneter termasuk runtuhnya gelembung keuangan
spekulatif, jatuhnya pasar saham, gagal bayar pemerintah, atau krisis mata uang. Krisis
keuangan dapat terbatas pada satu bank atau menyebar ke ekonomi, ekonomi lokal, atau
ekonomi global.

Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai


kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi
pendapatan yang merata. Hal ini bertolak belakang dengan keadaan Indonesia pada tahun
1997/1998 dimana krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar kemudian
berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik
yang berakibat besar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Tingginya laju inflasi pada waktu
itu menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan
rendah. Hal ini sesuai dengan teori Keynes (Alvin, 1964) bahwa jumlah uang menjadi suatu
faktor yang penting dalam menentukan jumlah pengeluaran, perubahan jumlah uang dapat
mempengaruhi tingkat bunga, dan fungsi konsumsi. Jadi, jumlah uang menimbulkan
perubahan dalam permintaan seluruhnya. Di awal pemerintahan, Soeharto berusaha keras
membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Untuk
menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan
kebijakan Soekarno, pendahulunya. Hal ini dilakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, dan mengembalikan ekonomi pasar. Suatu sistem ekonomi
pasar bebas menjadikan setiap orang bebas untuk bertindak melakukan yang terbaik bagi
dirinya di mana sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang ketat,
memungkinkan arus modal mengalir keluar masuk secara bebas. Selain itu, faktor penyebab

4
terjadinya krisis adalah karena lemahnya sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan
sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi
masalah perbankan dalam negeri. Dalam hal ini pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan
tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan, di mana penegakan hukum
terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman kepada
kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran
kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak
bermodal cukup atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti,
ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan
dirinya sebagai pengendali, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya
yang tidak sehat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997/1998 dan saat ini?
2. Bagaimana kondisi perekonomian pada masa krisis ekonomi tahun 1997- 2000 dan
saat ini?
3. Bagaimana kebijakan moneter dalam upaya menghadapi krisis ekonomi tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari makalah yang akan dibahas
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan efektivitas kebijakan moneter di Indonesia
terhadap krisis ekonomi tahun 1998 dan efektivitas kebijakan moneter saat ini

5
4. BAB II

5. TINJAUAN PUSTAKA
1. 2.1 Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi
makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang
yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga
dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan dan kemakmuran masyarakat.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1) Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Merupakan suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar untuk
memercepar recovery
2) Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar yang disebut
juga dengan kebijakan uang ketat ( tight money policy ) untuk menghindari overheating.

2. 2.2 Definisi Krisis Moneter


Krisis moneter adalah krisis keuangan yang dialami atau menerpa suatu negara atau
wilayah. Krisis ini menggambarkan bagaimana kondisi keuangan negara di mana harga aset
mengalami penurunan nilai yang tajam. Harga aset ini mencakup seperti saham, real estat
ataupun minyak yang tiba-tiba kehilangan sejumlah besar nilai nominalnya. Selain itu, krisis
ini juga menggambarkan bagaimana bisnis dan konsumen tidak mampu membayar hutang
mereka hingga lembaga keuangan mengalami kekurangan likuiditas. Krisis moneter juga
dapat diartikan saat satu atau lebih pasar keuangan telah berhenti bekerja atau bahkan
beberapa yang berfungsi secara tidak menentu dan efisien. Meskipun tidak sering terjadi,
krisis moneter dapat terjadi secara tiba-tiba dengan keteraturan yang relatif.

2.3 Peranan Kebijakan Moneter Terhadap Perekonomian

Tugas kebijakan moneter pada umumnya jauh lebih berat dan rumit
jika dibandingkan dengan di negara maju. Ada beberapa faktor menyebabkan hal ini.
Pertama, tugas untuk menciptakan penawaran uang yang cukup sehingga
pertambahannya dapat selalu selaras dengan jalannya pembangunan yang memerlukan
disiplin kuat di kalangan penguasa moneter dan juga di pihak pemerintah. Kekurangan

6
modal, dan terbatasnya pendapatan pemerintah sering kali menimbulkan dorongan
yang sangat kuat bagi pemerintah untuk meminjam secara berlebihan pada bank
Sentral. Jika ini, dilakukan laju pertambahan jumlah uang tunai dan akan menjadi lebih
cepat dari yang diperlukan. Kedua, Bank sentral di negara berkembang harus lebih
teliti dan berhati-hati mengawasi perkembangan penerimaan valuta asing dan
mengawasi kegiatan dalam sektor luar negeri (ekspor dan impor). Kegiatan di
sektor ini sangat mudah menimbulkan inflasi negar tersebut, karena harga mentah
yang diekspor selalu naik turun. Maka, penerimaan dari kegiatan ekspor selalu
mengalami perubahan yang tidak teratur. Adakalanya tingkat kenikan yang besar
sekali, dan ada kalanya sangat merosot, akibat dari naik turunnya pendapatan ekspor
kepada ketabilan ekonomi dan kelancaran pembangunan.

Dengan meningkatkan ketelitian dari kebijakan moneter yang lebih berhati terhadap
pengeluaran uang dalam negeri dan perdagangan luar negeri, ketabilan jumlah uang
beredar akan lebih terarah dan akan menjadi penyeimbang dalam kebijakan yang
dilakukan untuk pengeluaran pemerintah yang dapat disebuut dengan kebijakan fiskal.
Efektifitas kebijakan moneter yang dapat terlihat bagaimana mengembangkan sektor
pedesaan dengan baik untuk menyalurkan ke dalam unit yang membutuhkan. Berkaitan
dengan lembaga ekonomi, terkandung konsep mengenai pasar desa dan
kemudian konsep modern mengenai agropolitan, kota pertanian sebagai pusat
perdagangan dan pelayanan jasa masyarakat pertanian. Lembaga pasar dan agropolitan
ini memfasilitasi proses terbentuknya pasar dan ekonomi pasar. Perdagangan dan jasa
membutuhkan alat pembayaran yaitu uang. Karena itu, perkembangan pasar ikut
menumbuhkan proses monetisasi pedesaan. Di daerah pedesaan, bank akan memiliki
corak tersendiri yang diwarnai oleh perilaku masyarakat pedesaan. Karena itu,
kemudian timbul konsep, mengenai Bank Pedesaan (rural bank) sebagai lembaga
intermediasi untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada
mereka yang membutuhkan.
Untuk negera berkembang, diperlukan suatu kerjasama dengan setiap Bank Umum agar
mampu sebagai Bank yang dapat memberikan pinjaman selaras dengan
kebijakan pemerintah untuk membantu permodalan pada UMKM. Namun prinsip
penggunaan modal yang diberikan kepada UMKM, diperlukan perhatian yang selektif
agar bisa menjadi cara untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi. Terhadap lembaga
asing, juga diperlukan sautu kehati-an dalam melakukan seleksi, agar terjadinya
profesionalisme dalam tindakan yang bersifat kebijakan moneter.

7
6. BAB III
7. PEMBAHASAN
1. 3.1 Efektivitas Kebijakan Moneter di Indonesia Pada Masa Krisis 1998
3.1.1 Penyebab Krisis Moneter Tahun 1998
Krisis moneter adalah krisis keuangan yang dialami atau menerpa suatu negara atau
wilayah. Krisis ini menggambarkan bagaimana kondisi keuangan negara di mana harga aset
mengalami penurunan nilai yang tajam. Harga aset ini mencakup seperti saham, real estat
ataupun minyak yang tiba-tiba kehilangan sejumlah besar nilai nominalnya. Selain itu, krisis
ini juga menggambarkan bagaimana bisnis dan konsumen tidak mampu membayar hutang
mereka hingga lembaga keuangan mengalami kekurangan likuiditas. Krisis moneter juga
dapat diartikan saat satu atau lebih pasar keuangan telah berhenti bekerja atau bahkan
beberapa yang berfungsi secara tidak menentu dan efisien. Meskipun tidak sering terjadi,
krisis moneter dapat terjadi secara tiba-tiba dengan keteraturan yang relatif. Situasi lain yang
dapat disebut krisis moneter termasuk runtuhnya gelembung keuangan spekulatif, jatuhnya
pasar saham, gagal bayar pemerintah, atau krisis mata uang. Krisis keuangan dapat terbatas
pada satu bank atau menyebar ke ekonomi, ekonomi lokal, atau ekonomi global. Di sisi lain,
krisis mata uang yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 berlangsung selama hampir
dua tahun dan berubah menjadi krisis ekonomi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi akibat
meningkatnya penutupan usaha dan bertambahnya jumlah pengangguran. Sebenarnya, krisis
ini tidak semuanya krisis moneter, melainkan juga karena banyaknya masalah yang melanda
negara Indonesia. Beberapa di antaranya karena latar belakang kesulitan ekonomi seperti
krisis valuta asing, musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama,
kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda
banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis keuangan ini terjadi
meskipun pada masa lalu fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dan mendapat tingkat
kepuasan yang tinggi dari Bank Dunia. Namun di balik itu semua, banyak kelemahan
struktural yang membuat kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif, seperti pembatasan
ketat dan jangka panjang pada perdagangan domestik dan monopoli impor.
Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan
ketidakpastian sehingga masuknya dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem
perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge.
Akibat krisis mata uang ini, Bank Indonesia terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS, pada 14 Agustus 1997, menggantikan sistem
mengambang yang dikelola , sehingga dapat mengambang bebas sejak pemerintah
mengadopsi devaluasi Oktober 1978. Dengan begitu, Bank Indonesia tidak lagi mencampuri
urusan pasar valuta asing dalam menaikkan nilai tukar rupiah. Sehingga, nilai tukar
ditentukan semata-mata oleh kekuatan pasar. Penyebab Krisis Moneter 1998 Krisis moneter
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 tentu memiliki penyebab yang membuat negara ini
mengalami peristiwa yang membuat negara menjadi kesusahan dalam hal ekonomi. Berikut
adalah penyebab dari krisis moneter 1998.
1. Nilai Rupiah Menurun Terhadap Dolar Amerika Serikat

8
Terjadinya krisis moneter ini sudah terlihat sejak awal tahun 1997, tepatnya pada
bulan Agustus 1997. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya nilai tukar mata uang Indonesia,
yaitu rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat. Cadangan devisa
negara tidak cukup kuat untuk menahan gempuran terhadap mata uang rupiah yang menurun.
Mata uang rupiah milik Indonesia mengalami penurunan drastis dari rata-rata Rp 2.450 per
dolar AS pada Juni 1997 menjadi Rp 13.513 per dolar AS pada akhir Januari 1998, namun
turun kembali ke kisaran Rp 8.000 pada awal Mei 1999.
2. Akumulasi Yang Besar dari Utang Swasta Luar Negeri
Masalah kedua yang bersumber dari krisis moneter tahun 1998 adalah besarnya utang
luar negeri sektor swasta. Pada Maret 1998, total utang luar negeri mencapai 138 miliar dolar
Amerika Serikat, di mana 72,5 miliar dolar Amerika Serikat di antaranya merupakan utang
swasta. Kabar buruknya, dua pertiga dari utang ini bersifat jangka pendek dan akan jatuh
tempo pada tahun 1998. Tidak berhenti sampai di situ, cadangan devisa pada waktu itu adalah
14,44 miliar dolar Amerika Serikat, sehingga tidak cukup untuk membayar kembali utang
dan juga bunganya. Hal ini kemudian memberikan tekanan berat pada nilai tukar rupiah.
3. Pemerintah Yang Kurang Mampu Menangani Krisis
Ketiga, masalah tata kelola, seperti kemampuan pemerintah untuk mengelola dan
menyelesaikan krisis yang kemudian berubah menjadi krisis kepercayaan dan keengganan
negara untuk melakukan donor dalam memberikan dukungan keuangan secara cepat. Hal ini
juga menyangkut ketidakpastian politik seputar pemilihan umum terakhir dan kesehatan
Presiden Suharto saat itu.
4. Solusi IMF Yang Gagal
Berbagai pihak telah banyak melontarkan kritik terhadap IMF terkait dengan krisis
moneter Asia, yang paling umum di antaranya adalah: (1) Meskipun program IMF terlalu
seragam, masalah yang dihadapi masing-masing negara tidak persis sama; (2) Program IMF
terlalu melanggar kedaulatan negara donor (Fischer, 1998b). Radelet dan Sacks menjelaskan
bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) tidak berhasil.
Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat
bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga
tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar
IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal
Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu
surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Tahun 1998
merupakan salah satu ujian terberat Indonesia. Krisis di bidang moneter dan ekonomi itu
menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban. Dalam situasi sulit tersebut,
Boediono, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Kepala Bappenas, melihat titik cerah untuk keluar dari krisis.
Krisis moneter yang diawali melelehnya nilai tukar rupiah pada pertengahan 1997,
mengakhiri booming industri perbankan di era 1990-an. Satu per satu bank rontok dan jadi
biang kerok krisis ekonomi sangat parah di Tanah Air. Rupiah, seperti mata uang negara Asia
lainnya terjangkit virus yang lebih dulu menggerogoti baht Thailand di awal 1997. Mata uang
Garuda mulai merosot sejak Mei 1997 hingga menembus level Rp 4.650 per dollar AS di
akhir 1997. Padahal, akhir tahun sebelumnya, rupiah masih anteng di kisaran Rp 2.300 per

9
dollar AS. Depresiasi rupiah sontak mengguncang perbankan, karena bank menyimpan
bekas luka di tengah-tengah agresivitasnya.
Pasca penerbitan paket deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank di Tanah
Air tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bank-bank baru bermunculan seiring kemudahan
izin mendirikan bank.

3.1.2 Kondisi Perekonomian Indonesia Tahun 1998


Seperti telah kita ketahui dan rasakan bersama, bangsa Indonesia pada tahun 1998 sedang
mengalami cobaan sangat berat berupa krisis ekonomi yang telah mengganggu berbagai
sendi kestabilan perekonomian nasional. Dampak dari krisis ini telah berpengaruh banyak
pada menurunnya kesejahteraan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sampai dengan
pertengahan tahun 1998 itu, perekonomian Indonesia masih menghadapi berbagai kendala
untuk pulih dari krisis moneter yang muncul sejak pertengahan tahun lalu. Pertumbuhan
ekonomi nasional, yang sampai pertengahan tahun lalu sangat mengesankan dan banyak
mendapat pujian dari berbagai pihak, kini merosot tajam dan bahkan diperkirakan
mengalami pertumbuhan negatif yang cukup besar. Sampai pertengahan tahun ini

10
pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan mengalami kontraksi
sekitar 16%. Di sisi lain, laju inflasi mengalami kenaikan yang sangat cepat sehingga
semakin memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Laju inflasi bulan
September 1998 tercatat sebesar (......%) atau secara year to date selama Januari-
September telah mencapai (......%). Laju inflasi pada tahun ini melonjak sangat besar
dibandingkan dengan inflasi pada tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah
pengangguran juga terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang
mengurangi atau menghentikan kegiatan usahanya.
Dilihat dari sisi permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi diakibatkan oleh
melemahnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan investasi
swasta. Melemahnya konsumsi rumah tangga merupakan cerminan dari menurunnya daya
beli masyarakat akibat dari peningkatan laju inflasi yang disertai dengan menurunnya
pendapatan masyarakat. Sementara itu, menurunnya kegiatan investasi swasta merupakan
dampak dari melemahnya permintaan yang disertai dengan peningkatan biaya produksi dan
kesulitan keuangan yang dihadapi sektor usaha sehubungan dengan merosotnya nilai tukar,
tingginya suku bunga, dan kesulitan mendapatkan kredit perbankan.
Di sisi penawaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama terjadi pada sektor
yang memiliki pangsa besar dalam PDB yaitu sektor industri pengolahan, pertambangan,
bangunan dan perdagangan serta jasa-jasa. Peningkatan biaya impor bahan baku dan
pembayaran hutang yang jatuh tempo akibat tekanan nilai tukar serta ketatnya kredit
perbankan merupakan beberapa kendala yang dihadapi di sisi penawaran. Tingginya laju
inflasi terutama disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah
(imported inflation) dan kelangkaan pasokan (supply shortage) khususnya sembilan bahan
pokok. Kenaikan harga yang cukup tinggi terutama pada kelompok makanan yang
merupakan salah satu penyumbang tingginya angka inflasi. Dapat ditambahkan bahwa
tingginya angka inflasi juga dipacu oleh peningkatan permintaan kebutuhan pokok
sehubungan dengan ketidakpastian pengadaan barang dan jasa.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah masih tetap lemah. Dewasa itu kurs rupiah di pasar
valas berada di sekitar Rp11.000 per dollar, walaupun dalam beberapa hari terakhir ini
cenderung menguat. Gejolak yang berkepanjangan berkaitan dengan merosotnya

11
kepercayaan investor asing yang tercermin dari tingginya tekanan arus modal keluar, baik
dalam rangka pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo maupun kegiatan spekulatif.
Sebagian lain terkait dengan memburuknya kondisi fundamental ekonomi Indonesia,
terutama munculnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional dan
meningkatnya laju inflasi. Untuk memperkuat kembali nilai tukar Rupiah maka Bank
Indonesia menerapkan kebijakan uang ketat melalui peningkatan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Dengan suku bunga SBI yang tinggi, disamping akan menarik
capital inflow dari luar negeri, juga diharapkan akan menyerap Rupiah sehingga
masyarakat tidak berspekulasi dengan membeli USD ataupun memborong barang-barang
secara berlebihan. Akan tetapi, ketidakstabilan situasi sosial dan politik di dalam negeri serta
krisis ekonomi regional Asia dan terus menguatnya USD merupakan faktor utama
yang mengakibatkan nilai tukar Rupiah tetap melemah.
Surplus ini disebabkan oleh peningkatan ekspor nonmigas dan penurunan impor migas dan
nonmigas yang relatif besar, sementara jasa-jasa mengalami perubahan yang relatif kecil.
Peningkatan ekspor nonmigas menunjukkan bahwa kinerja produk ekspor Indonesia masih
cukup baik walaupun dalam situasi krisis. Impor mengalami penurunan akibat dari relatif
mahalnya harga barang impor berkaitan dengan melemahnya nilai tukar Rupiah, di samping
menurunnya berbagai kegiatan investasi dan konsumsi serta kesulitan dalam membuka
letter of credit (L/C). Seiring dengan telah diterimanya bantuan dari lembaga-lembaga
internasional, lalu lintas modal telah menunjukkan surplus sebesar USD 1,1 miliar. Dari sisi
modal swasta, defisit lalu lintas modal swasta semakin menurun disebabkan turunnya
penanaman modal asing dan penerimaan pinjaman luar negeri di luar perbankan, di
samping meningkatnya arus modal swasta keluar dalam bentuk pelunasan surat-surat
berharga domestik yang dimiliki asing dan pembayaran hutang luar negeri, baik perbankan
dan non perbankan.
Perbankan nasional merupakan sektor yang mengalami krisis berat akibat dari gejolak
nilai tukar dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Melemahnya nilai tukar Rupiah telah
menimbulkan kesulitan likuiditas perbankan yang diperberat dengan lemahnya kondisi
internal perbankan nasional, terutama sebagai dampak dari lemahnya manajemen,
konsentrasi kredit yang berlebihan, moral hazard, dan kurang transparannya informasi
keuangan bank. Kondisi perbankan menjadi semakin berat akibat terjadinya penarikan dana

12
pihak ketiga secara besar-besaran oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap ketentuan kehati-
hatian meningkat, kecukupan likuiditas dan permodalan perbankan menurun drastis dan
ketergantungan kepada bantuan likuiditas dari Bank Indonesia naik tajam.
Berbagai perkembangan ini mengakibatkan proses intermediasi perbankan terganggu
sehingga memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian secara
keseluruhan. Guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pada akhir
Januari 1998 pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan jaminan pembayaran tas
kewajiban bank-bank umum nasional kepada deposan dan kreditur dalam dan luar
negeri. Program jaminan ini perlu dilakukan sampai dengan terbentuknya skim asuransi
deposito. Langkah itu diikuti dengan dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) yang bertugas melakukan penyehatan dan merestrukturisasi bank-bank yang
bermasalah.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk memulihkan kembali perekonomian saat itu
masih dihadapkan dengan berbagai kendala yang antara lain yang bersifat non ekonomi
seperti kondisi sosial politik. Seiring adanya keinginan masyarakat untuk melakukan
reformasi di segala bidang setelah pergantian pimpinan nasional, maka negara Indonesia
dihadapkan pada ketidakseimbangan baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Hai
ini berdampak pada sikap pelaku ekonomi yang cenderung 'wait and see' sehingga
memperberat upaya untuk segera memulihkan perekonomian nasional.
3.1.3 Kebijakan Moneter Dalam Upaya Menangani Krisis Ekonomi
Secara rinci langkah-langkah yang ditempuh Bank Indonesia dewasa itu dan dalam masa
mendatang diarahkan kepada tiga hal sebagai berikut.
Pertama, kebijakan moneter diarahkan untuk meredam tingginya laju inflasi dan mencapai
kestabilan nilai tukar Rupiah. Untuk itu, tingkat suku bunga nominal yang tinggi untuk
sementara masih akan dipertahankan. Tingkat suku bunga ini selalu dievaluasi sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan perekonomian yang terjadi. Disadari bahwa
tingginya tingkat suku bunga tersebut belum mampu mendorong apresiasi Rupiah karena
faktor-faktor non-ekonomi di dalam negeri, krisis ekonomi regional, dan terus menguatnya
mata uang dollar. Akan tetapi, menurunkan suku bunga pada saat ini mempunyai risiko
yang besar. Dalam situasi dimana nilai tukar masih melemah dan laju inflasi yang sangat
tinggi (hyper-inflation), penurunan suku bunga akan lebih memperlemah nilai tukar,

13
mendorong penarikan dana dari sektor perbankan, mendorong laju inflasi lebih tinggi lagi,
dan pada gilirannya akan semakin memperburuk situasi perekonomian.
Dalam rangka pengendalian moneter, Bank Indonesia telah menyempurnakan pelaksanaan
Operasi Pasar Terbuka (OPT) agar lebih efektif. Kelemahan yang terjadi sekarang ini
adalah pasar lelang SBI relatif lebih kecil sehingga suku bunga hasil lelang SBIpun kurang
mencerminkan suku bunga pasar; kurang berperannya primary dealer; dan kurang
berkembangnya pasar sekunder SBI se hingga SBI kurang memasyarakat. Kelemahan ini
akan diatasi dengan memperbaiki mekanisme lelang SBI antara lain dengan menghapuskan
primary dealer sehingga mekanisme lelang bersifat langsung; menggunakan sistem target
kuantitas; dan memperluas kesempatan masyarakat untuk memiliki SBI. Dengan
mekanisme ini maka diharapkan volume lelang SBI akan menjadi lebih besar sehingga
suku bunga yang terjadi benar-benar mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang. Langkah
ini juga diharapkan untuk meningkatkan peranan pasar sekunder surat-surat berharga dalam
upaya mendorong pengembangan pasar utang dalam negeri.
Langkah kebijaksanaan moneter juga akan diperkuat dengan strategi dan manajemen utang
luar negeri yang lebih berhati-hati. Melalui kedua upaya tersebut dan dengan terbentuknya
Indonesia Debt Restructuring Agency (INDRA) sebagai hasil dari Kesepakatan Frankfurt,
diharapkan tekanan terhadap Rupiah guna pembayaran utang luar negeri menjadi berkurang
dan kepercayaan luar negeri berangsur-angsur pulih. Sebagaimana diketahui, kesepakatan
tersebut antara lain mencakup penjadwalan kembali utang swasta (corporate debt),
penundaan pembayaran utang perbankan (bank debt), dan penyediaan pembiayaan
perdagangan (trade financing) untuk keperluan impor Indonesia. Dalam hubungan dengan
INDRA, Bank Indonesia terus membantu agar upaya penyelesaian kewajiban luar negeri,
khususnya utang perbankan dan pembiayaan perdagangan, dapat berjalan sesuai dengan yang
telah disepakati. Dengan demikian, aliran modal masuk dari luar negeri, khususnya
yang bersifat investasi langsung, diharapkan dapat normal kembali untuk mendukung
kemantapan neraca pembayaran dan pemulihan perekonomian nasional.
Sementara itu, dalam kaitan dengan utang swasta dalam negeri khususnya utang-utang yang
diberikan oleh perbankan nasional, Pemerintah telah mencanangkan Prakarsa Jakarta
(Jakarta Initiative). Program ini dilaksanakan melalui negosiasi antara perusahaan sebagai
debitur dengan para krediturnya, baik kepada kreditur dalam negeri maupun luar negeri.

14
Pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator dan mendorong agar program ini dapat
berjalan dengan cepat. Dengan melihat cakupan kredit dalam program ini yang meliputi
kredit dalam dan luar negeri, maka diharapkan akan lebih melancarkan kebijakan
penyehatan perbankan dan penerapan skim INDRA.
Kedua, Bank Indonesia akan membantu meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat.
Menyikapi kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang telah demikian beratnya, Bank
Indonesia memutuskan untuk memusatkan perhatian pada sektor-sektor yang paling terkena
dampak negatif dari krisis ekonomi, khususnya para petani produsen pangan dan pengusaha
kecil. Langkah ini diambil karena didorong oleh keyakinan bahwa upaya tersebut dapat
memperbaiki kinerja sisi penawaran yang diharapkan dapat mengurangi tekanan inflasi
yang berasal dari kelangkaan pasokan dan terganggunya distribusi bahan-bahan pokok.
Selain itu, langkah ini juga ditempuh karena didorong oleh kenyataan bahwa sektor
pertanian dan usaha kecil tersebut merupakan sektor yang bersifat padat karya, sehingga
dapat menampung jumlah tenaga kerja yang lebih banyak.
Dalam kaitan ini, Bank Indonesia telah mulai menyempurnakan skim-skim perkreditan
yang sudah ada serta menciptakan skim-skim usaha kecil yang baru. Upaya ini akan disertai
dengan peningkatan penyediaan KLBI dengan suku bunga yang relatif rendah untuk
persediaan dan distribusi pangan, petani, usaha kecil dan koperasi dalam tahun anggaran
1998/99 ini. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dalam membiayai usaha kecil di pedesaan, Bank Indonesia akan memperluas penyediaan
KLBI tersebut dengan memanfaatkan pola keda sama dengan BPR, termasuk BPR atas dasar
prinsip bagi hasil. Berbagai skim ini juga diharapkan dapat mendorong kegiatan
investasi di usaha kecil dan pedesaan.
Ketiga, Bank Indonesia akan mengarahkan kebijakan perbankan pada upaya pemulihan
kepercayaan masyarakat baik domestik maupun internasional terhadap sistem perbankan
nasional. Dalam hubungan ini, untuk menjamin keamanan simpanan masyarakat pada
perbankan, Bank Indonesia tetap mendukung pelaksanaan program penjaminan Pemerintah
atas kewajiban pembayaran bank-bank berbadan hukum Indonesia, termasuk BPR.
Untuk mendukung upaya pemulihan kepercayaan terhadap perbankan tersebut, langkah-
langkah reformasi di bidang perbankan yang lebih menyeluruh terus ditingkatkan dan
dipercepat. Pelaksanaan reformasi perbankan tersebut dilakukan melalui empat program

15
utama, yaitu:
1. Melakukan restrukturisasi dan penyehatan perbankan melalui pembentukan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mendorong merger antarbank
2. Menyempurnakan lebih lanjut pelaksanaan penerapan prinsip kehatihatian dalam
upaya memperbaiki kondisi internal perbankan
3. Memperkuat fungsi pengawasan perbankan khususnya dalam penegakan ketentuan
dan undang-undang yang berlaku
4. Menyempurnakan perangkat hukum yang meliputi RUU Perbankan dan pendirian
lembaga asuransi simpanan.
Sebagai bagian penting dari langkah restrukturisasi dan penyehatan perbankan, pada
tanggal 21 Agustus 1998 secara khusus Pemerintah telah mencanangkan Program
peningkatan modal (rekapitalisasi) bagi bank-bank yang dinilai masih mempunyai prospek
untuk hidup dan terus berkembang. Program peningkatan modal ini didahului dengan
kegiatan due diligence yang melibatkan auditor asing. Potret kondisi keuangan perbankan
secara keseluruhan akan dapat diketahui sampai akhir Oktober 1998. Atas dasar due
diligence tersebut, bank-bank akan dikategorikan dalam tiga kelompok bank berdasarkan
rasio kecukupan modalnya. Secara bertahap Bank Indonesia akan membicarakan hasil
pemeriksaan kepada masing-masing bank untuk diambil kesepakatan langkah-langkah
penyehatan yang diperlukan untuk dituangkan dalam business plan.
Selanjutnya untuk mendukung proses restrukturisasi perbankan terutama dalam mengelola
dan menyelesaikan kredit-kredit bermasalah (non performing loan) serta aset lain yang
timbul dari proses restrukturisasi perbankan yang sedang dilaksanakan oleh BPPN, telah
dibentuk AMU (Asset Management Unit). Lembaga yang merupakan salah satu divisi dari
BPPN ini akan mengelola aset bermasalah dengan cara paling efisien untuk
memaksimalkan nilai pengembaliannya.
Meskipun disadari bahwa hasil positif dari upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan
ini belum dapat dinikmati segera, langkah-langkah tersebut akan terus dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan. Bank Indonesia juga akan secara konsisten menegakkan
ketentuan hukum di bidang perbankan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia telah melaporkan
dugaan adanya tindak pidana dari pemilik atau pengurus bank yang terjadi pada bank-bank
yang telah dilikuidasi kepada pihak Kepolisian untuk penyelesaian lebih lanjut.

16
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari langkah penyelesaian dari bank-bank yang termasuk
dalam Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Take Over (BTO), Pemerintah telah
mensyaratkan pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterima.
bank serta pelanggaran atas Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Dalam upaya peningkatan ekspor, peran perbankan akan lebih dirangsang khususnya dalam
kondisi sekarang ini dimana sebagian kegiatan ekspor-impor mengalami hambatan yang
disebabkan kesulitan membuka L/C khususnya untuk impor. Mengingat kesulitan ini
terletak pada risiko komersial yang dihadapi maka sedang diupayakan penyelesaian
terhadap risiko ini khususnya dengan melibatkan pihak asuransi dan Pemerintah. Untuk ini
Pemerintah telah menandatangani Memorandum of Understanding dengan 21 bank
nasional yang memungkinkan hambatan dalam hal pembukaan L/C impor untuk bahan
baku produk ekspor dapat dihilangkan melalui mekanisme penanggungan risiko komersial
dari pembukaan L/C oleh eksportir nasional. Diharapkan kesepakatan ini akan
menggerakkan kembali sektor riil terutama industri ekspor; memberdayakan eksportir dalam
melancarkan kegiatan usahanya dalam rangka pemulihan dan normalisasi
perekonomian; dan meningkatkan citra perbankan nasional.
Dalam jangka yang lebih panjang, langkah-langkah kebijakan perbankan yang ditempuh
akan tetap diarahkan pada penataan industri perbankan agar mampu berkembang secara
schat, efisien dan handal dalam mendukung perekonomian nasional. Dalam hubungan ini,
di samping upaya-upaya restrukturisasi perbankan yang telah dikemukakan sebelumnya,
Bank Indonesia sedang mengkaji kembali berbagai aspek pengembangan sistem perbankan
nasional. Aspek-aspek tersebut terutama berkaitan dengan struktur industri perbankan,
aspek perijinan, ketentuan kehati-hatian, sistem pengawasan perbankan, serta mekanisme
penanganan bank-bank bermasalah. Upaya untuk meningkatkan transparansi mengenai
kondisi keuangan perbankan juga akan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dan pasar dalam menilai kinerja perbankan.

2. 3.2 Efektivitas Kebijakan Moneter Saat Ini


3.2.1 Penyebab Krisis Moneter Saat Ini
Beberapa penyebab terjadinya kebijakan moneter pada saat ini seperti utang negara yang
berlebihan, kemudian meningkatnya laju inflasi dan juga perkembangan ekonomi yang
mengalami kelambatan. Dan juga berdampak pada beberapa perusahaan yang mengakibatkan
17
terjadinya permasalahan PHK pada beberapa karyawannya dan juga angka kemiskinan pun
ikut turut meningkat karena banyaknya orang yang tidak lagi mempunyai pendapatan.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk
menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku
bunga Deposit Facility  sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending
Facility  sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai
langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan
ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan
inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan
dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global,
di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
3.2.2 Kondisi Perekonomian Saat Ini
Ekonomi Indonesia Q2 tahun 2022 tumbuh impresif di tengah ketidakpastian dan krisis
global. Perekonomian Indonesia tumbuh impresif sebesar 5,44% (YoY) pada Triwulan 2
tahun 2022 dan secara triwulanan, ekonomi nasional tumbuh 3,73% (QoQ). Bahkan PDB
harga konstan jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi yakni sebesar Rp2.924
triliun. Capaian ini menandakan tren pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan
semakin menguat.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers


tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia kuartal II tahun 2022, mengatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih baik dibanding negara lain. Dua engine
pertumbuhan ekonomi dunia yaitu China dan Amerika Serikat sedang dalam situasi stasioner
dan Pemerintah berharap hal tersebut dalam jangka panjang tidak berdampak pada ekonomi
di ASEAN.

Pengeluaran konsumsi dan ekspor menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada
triwulan ini. Kebijakan Pemerintah yang mengijinkan masyarakat untuk melaksanakan mudik
pada Hari Raya Idulfitri di bulan Mei lalu telah mendorong konsumsi masyarakat dengan
sangat kuat dan menghasilkan perputaran ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Sumbangan
pertumbuhan yang siginifikan juga berasal dari kinerja impresif ekspor Indonesia. Selain
karena faktor peningkatan harga komoditas, menguatnya kapasitas output di berbagai sektor
juga turut mendorong peningkatan ekspor Indonesia.

“Konsumsi Rumah Tangga pertumbuhannya 5,51% artinya engine pertumbuhan dari segi


Rumah Tangga yang selama Covid-19 berdampak, ini sudah kembali pada kondisi asal,” ujar
Menko Airlangga.

Secara spasial, pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah masih tumbuh positif. Ketimpangan
ekonomi antar wilayah juga semakin berkurang. Ekonomi luar Jawa, terutama Maluku dan
Papua tumbuh tinggi 13,01%. Bahkan Bali Nusra mulai tumbuh dan mencapai 3,94%.

“Ekonomi di Jawa pulih dan yang menarik tentu Bali Nusra yang biasanya pertumbuhannya
rendah, ini sudah naik di 3,4%. Jadi pembukaan di sektor pariwisata, kebijakan dari
penanganan Covid-19 yang sudah membuka terhadap turis ini sangat membantu di Bali dan
Nusa Tenggara,” jelas Menko Airlangga.

18
Pertumbuhan ekonomi dari sisi demand tercermin juga dari pertumbuhan dari sisi sektoral.
Industri Pengolahan sebagai driver terbesar pertumbuhan masih tumbuh positif sebesar
4,01% (yoy). Selain itu, sektor Transportasi dan Pergudangan serta Akomodasi & Makan
Minum tumbuh tinggi masing-masing 21,27% dan 9,76% didorong oleh pelonggaran syarat
perjalanan dan momen hari raya Idulfitri. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi di seluruh
wilayah masih tumbuh positif dan ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin berkurang.

Pertumbuhan diperkirakan masih akan berlanjut tercermin dari kinerja positif


berbagai leading indicator ekonomi. Indeks kepercayaan konsumen di angka baik yaitu 128,2
dan penjualan ritel terus tumbuh yaitu 15,42. Sementara itu, prospek permintaan yang terus
meningkat menjadi insentif bagi industri untuk meningkatkan produksi, tercermin dari
Purchasing Manager Index (PMI) yang terus tercatat mengalami ekspansi di level yang
semakin kuat.

Di tengah ketidakpastian global, indikator sektor eksternal Indonesia relatif baik dan
terkendali, tercermin dari transaksi berjalan yang masih surplus, neraca perdagangan yang
surplus selama 26 bulan berturut-turut, cadangan devisa tetap tinggi per Juli 2022 untuk
membiayai 6,2 bulan impor, dan rasio utang masih berada pada level yang aman.

“Ekspor yang selalu menjadi andalan kita pada masa pandemi Covid-19. Ekspor ini terus
tumbuh,” kata Menko Airlangga.

Pemulihan dunia usaha juga semakin terlihat dengan pertumbuhan kredit yang terus
meningkat mencapai 10,7% (YoY) per Juni 2022 dengan tingkat NPL terjaga dibawah 3%.
Kredit Modal Kerja meningkat seiring peningkatan utilitas, serta kredit investasi mulai
terakselerasi. Sejalan dengan pertumbuhan kredit, realisasi KUR per Juli mencapai sebesar
Rp209,05 triliun (56,02% dari target tahun 2022 sebesar Rp373,17 triliun) dan diberikan
kepada 4,40 juta debitur. Sedangkan total outstanding per 31 Juli 2022 Rp530 triliun. Dari
segi kesejahteraan, tingkat kemiskinan dan pengangguran juga menurun.

Memperhatikan perkembangan ekonomi sampai dengan Triwulan II tahun 2022 dan prospek
ke depan yang masih kuat, Menko Airlangga menegaskan bahwa Pemerintah optimis target
ekonomi Indonesia secara keseluruhan sebesar 5,2% dapat tercapai. Agar pencapaian target
pertumbuhan ekonomi dapat terwujud, Pemerintah konsisten menjalankan berbagai strategi
dan kebijakan utama untuk mendorong akselerasi pemulihan dan meningkatkan resiliensi
ekonomi.

Strategi dan kebijakan utama tersebut antara lain pelonggaran mobilitas masyarakat dan
mempersiapkan strategi transisi aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat dari era pandemi
menuju era new-normal, mendorong daya beli masyarakat untuk kelompok 40% terbawah
diantaranya melalui program PEN pada klaster perlindungan sosial yang dianggarkan sebesar
Rp63,7 triliun untuk bantuan PKH, BLT Minyak goreng, BLT Desa, BTPKLWN, dan Kartu
Prakerja.

Selain itu Pemerintah juga menyusun langkah-langkah responsif untuk menahan kenaikan
harga pangan dan energi dengan penambahan subsidi, Program Kartu Prakerja juga terus
didorong meningkatkan kompetensi, produktivitas, dan daya saing angkatan kerja.
Pemerintah juga mendorong pengembangan UMKM, diantaranya melalui peningkatan plafon
KUR sebesar Rp373,17 triliun pada tahun 2022 dan mensukseskan program Bangga Buatan
Indonesia (BBI), serta melanjutkan Program Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk

19
pembangunan infrastruktur yang dapat memberikan efek pengganda besar. Berbagai langkah
kebijakan dan reformasi struktural tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
sehingga menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas.

3.2.3. Kebijakan Moneter Dalam Upaya Menangani Krisis Ekonomi


Bank Indonesia terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan
memperkuat pemulihan sebagai berikut: 

1. Memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang
sesuai dengan kenaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tersebut
untuk memitigasi risiko kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi;
2. Memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi
dengan intervensi di pasar valas baik melalui transaksi spot, Domestic Non
Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder;
3. Melakukan pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder untuk memperkuat stabilitas
nilai tukar Rupiah dengan meningkatkan daya tarik imbal hasil investasi portofolio
SBN jangka pendek dan mendorong struktur yield  SBN jangka panjang lebih landai,
dengan pertimbangan tekanan inflasi lebih bersifat jangka pendek dan akan menurun
kembali ke sasarannya dalam jangka menengah panjang;
4. Memperkuat sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga stabilitas harga dan
meningkatkan ketahanan pangan melalui Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi
(TPIP dan TPID), serta akselerasi pelaksanaan gerakan nasional pengendalian inflasi
pangan (GNPIP);
5. Mengimplementasikan kebijakan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan
kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) berlaku 1 September 2022
sebagai berikut (Lampiran 1):
a. Peningkatan besaran insentif kepada sektor prioritas menjadi maksimum 1,5%
dari sebelumnya paling besar 0,5%, dan insentif pencapaian RPIM tetap paling
besar 0,5%;
b. Perluasan cakupan subsektor prioritas dari 38 subsektor prioritas menjadi 46
subsektor prioritas.
6. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan
pendalaman pada suku bunga berdasarkan segmen kredit (Lampiran 2);
7. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung pemulihan ekonomi dan
akselerasi digitalisasi terutama melalui perluasan layanan dan akses QRIS serta BI-
FAST kepada berbagai lapisan masyarakat terutama dalam pemberdayaan UMKM
dan pembelian produk dalam negeri; 

Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama
dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya, fasilitasi penyelenggaraan promosi
investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait, serta
bersama Kementerian Keuangan menyukseskan 6 (enam) agenda prioritas jalur keuangan
Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022. Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan
kebijakan fiskal Pemerintah dan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus
diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta
mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan. 

20
3.

8. BAB IV
9. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Efektifitas Kebijakan Moneter dalam perekonomian nasional untuk kebijakan stabilisasi
ekonomi yang ditempuh selama ini mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem
keuangan serta mendukung proses penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih seimbang. Bank
Indonesia akan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung penguatan struktur
perekonomian domestik. Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan
Pemerintah akan diintensifkan dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan,
agar penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan mendukung kesinambungan pertumbuhan
ekonomi.
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung
hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan
ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja
yang menganggur.
Sementara itu, situasi perekonomian ekonomi Indonesia kembali pulih dari krisis yang
disebabkan oleh pandemi covid-19. Ini merupakan kabar baik di tengah munculnya varian
covid-19 baru dan kondisi perekonomian global yang memburuk. Ekonomi Indonesia dalam
dua kuartal terakhir berhasil tumbuh di atas 5%. Pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi
bisa mencapai 5,44%. Sektor transportasi dan manufaktur menjadi penopang besar dalam
perekonomian. Catatan baik lainnya terlihat pada kondisi sistem keuangan, di mana
perbankan dan pasar modal bergerak positif. meskipun ada sentimen negatif dari global yang
menimbulkan volatilitas.

Nilai tukar rupiah, sempat alami pelemahan hingga level Rp 15.000 per dolar AS. Akan tetapi
kini sudah kembali menguat ke Rp 14.800 per dolar AS. Paling penting menurut Suahasil
adalah pergerakannya stabil.

21

Anda mungkin juga menyukai