Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

“ Kebijakan pemerintah dalam mengontrol laju inflasi dan mengatasi krisis moneter”
Dosen pegampu : Bapak Zulkarnain SE., M.Ak

Disusun oleh :
REZI PARAMITA (2124071)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
2022

Page | 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah bertema ”Kebijakan
pemerintah dalam mengelola inflasi dan mengatasi krisis moneter” sebagai salah satu tugas
individu mata kuliah Perekonomian Indonesia dengan tepat waktu.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapatkan begitu banyak bimbingan dari
berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada siapa saja yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar
mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun
makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang
akan menjadikan makalah ini lebih baik.

Koto Tinggi, 31 Maret 2022

Penulis

Page | 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................5
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Inflasi.......................................................................................5
2. Penyebab Serta Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Mengontrol Inflasi....................5
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Krisis Moneter.........................................................................5
4. Penyebab Dan Pengaruhnya Pada Perekonomian Indonesia...................................................5
5. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Krisis Moneter......................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
2.1 INFLASI ( PEREDARAN NILAI MATA UANG RUPIAH)..............................................6
2.1.2 faktor-faktor umum yang mempengaruhi inflasi...........................................................12
2.2 KEBIJAKAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI INFLASI......13
2.2.1 KEBIJAKAN MONETER............................................................................................13
2.2.2 KEBIJAKAN FISKAL..................................................................................................14
2.3 RESTRUKTURISASI SEKTOR KEUANGAN.................................................................15
2.4 REFORMASI STRUKTURAL DAN DISEKTOR RIIL....................................................15
2.5 JARINGAN KEAMANAN SISTEM KEUANGAN..........................................................16
2.6 LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN...............................................................................17
2.7 KRISIS MONETER.............................................................................................................17
2.7.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya...........................................................18
2.7.2 DAMPAK KRISIS MONETER....................................................................................20
BAB 11..........................................................................................................................................21
PENUTUP.....................................................................................................................................21
KESIMPULAN..............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................22

Page | 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarikuntuk dibahas terutama yang
berkaitan dengan dampaknya yang luasterhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi
domestik yang tinggimenyebabkan tingkat balas jasa yang riil terhadap asset finansial
domesticsemakin rendah ( bahkan seringkali negatif ), sehingga dapat mengganggumobilisasi
dana domestik dan bahkan dapat mengurangi tabungandomestik yang menjadi sumber dana
investasi. Kedua, dapat menyebabkandaya saing barang ekspor berkurang dan dapat
menimbulkan defisit dalamtransaksi berjalan dan sekaligus dapat meningkatkan hutang luar
negeri.Ketiga, inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan denganterjadinya transfer
sumberdaya dari konsumen dan golonganberpenghasilan tetap kepada produsen. Keempat,
inflasi yang tinggi dapatmendorong terjadinya pelarian modal keluar negeri. Kelima, inflasi
yangtinggi akan dapat mennyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal yangdapat
mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacutingkat pertumbuhan ekonomi
tertentu (Hera Susanti et all,1995).Inflasi juga merupakan masalah yang dihadapi setiap
perekonomian. Sampai dimana buruknya masalah ini berbeda di antara
satu waktu ke waktu yang lain, dan berbeda pula dari satu Negara keNegara lain. Tingkat
inflasi yaitu presentasi kenaikan harga – harga dalam suatu tahun tertentu, biasanya digunakan
sebagai ukuran untukmenunjukkan sampai dimana buruknya masalah ekonomi yang
dihadapi.Dalam perekonomian yang pesat berkembang inflasi yang rendah
tingkatannya yang dinamakan inflasi merayap yaitu inflasi yang kurangdari sepuluh persen
setahun. Seringkali inflasi yang lebih serius atau berat,yaitu inflasi yang tingkatnya mencapai
diatas seratus persen setahun. Padawaktu peperangan atau ketidak setabilan politik, inflasi
dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi yang kenaikan tersebut dinamakan hiperinflasi
(Sukirno,2004).
Inflasi merupakan salah satu peristiwa moneter yang sangatpenting dan dijumpai di hampir
semua Negara di dunia. Inflasi adalahkecenderungan dari harga – harga untuk menaik secara
umum dan terusmenerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebutinflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkankenaikan
sebagian besar dari barang – barang lain. (Boediono.1995).
Brodjonegoro (2008) menyatakan bahwa permasalahan pertamayang paling kritis dalam
kebijakan moneter adalah kesulitan pengambilkebijakan dalam mengendalikan laju inflasi.
Dalam pengertian, memanglaju inflasi Indonesia relative rendah, lebih banyak dibawah dua
digit,tetapi selalu membutuhkan kerja ekstra keras. Selain itu, inflasi yangterjadi juga sangat
rentan apabila terjadi gangguan eksternal. Ketika terjadiguncangan (shock) eksternal sedikit,
seperti kenaikan harga pangan, atauenergi, maka secara langsung inflasi menjadi
tidakterkontrol melebihi 10persen.

Page | 4
Lonjakan terhadap inflasi nasional yang tanpa diimbangi denganpendapatan nominal
penduduk akan menyebabkan pendapatan rakyatmerosot baik pendapatan riil maupun
pendapatan perkapita. Inimenjadikan Indonesia kembali masuk golongan Negara miskin, dan
inimenyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat khususnya strata
ekonomi bawah. Karena begitu dahsatnya pengaruh inflasi di Indonesiaterhadap
perekonomian nasional, maka perlu perhatian yang ekstraterhadap inflasi agar krisis ekonomi
tahun 1998 tidak terulang lagi.Bank Indonesia sebagai penentu kebijakan otoritas
monetermempunyai tugas sebagai bank sirkulasi dan bank sentral yaitu mengatur,
menjaga dan memelihara kesetabilan nilai uang rupiah serta mendorongkelancaran produksi
dan pembangunan demi peningkatan taraf hiduprakyat.
Dalam melaksanakan kebijakannya bank sentral dapat melakukansecara langsung maupun
tidak langsung. Jika secara langsung maksudnyabank sentral dan pemerintah secara langsung
campur tangan dalam halperedaran uang. Sementara kebijakan moneter tidak langsung
yaitumelalui pengaruh Bank Sentral terhadap pemberian kredit oleh dunia
perbankkan.Inflasi adalah keadaan yang sangat menakutkan terutama bagiNegara yang sedang
berkembang seperti Indonesia, karena dampak inflasiyang begitu luas terhadap perekonomian.
Oleh karena itu Bank Indonesiasebagai otoritas moneter tidak bisa berperan sendiri dalam
menjaga lajuinflasi agar tetap stabil dan memerlukan peran dan kerjasama dari pihaklain
seperti dari pihak pemerintah, swasta, warga masyarakat dan pihak yang terkaitlainnya,baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk bisa membantu bank sentral dalam menjaga lajuinflasi,maka pihak-pihak tersebut harus
mencermati kembali teori-teoriyang membahas tentang inflasi dan mengetahui faktor-faktor
apa saja yangberpengaruh terhadap inflasi dan seberapa spesifikkah pengaruhnya. Maka dari
beberapa informasi diatas sekaligus untuk memenuhi tugas individu matakuliah
PEREKONOMIAN INDONESIA yang diampu oleh Bapak “Zulkarnain.SE.,M.AK” penulis
mengangkat masalah ini untuk penelitian dalam bentuk makalah berjudul: KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM MENGONTROL LAJU INFLASI DAN MENGATASI
KRISIS MONETER

Page | 5
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Inflasi

2. Penyebab Serta Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Mengontrol Inflasi

3. Apa Yang Dimaksud Dengan Krisis Moneter

4. Penyebab Dan Pengaruhnya Pada Perekonomian Indonesia

5. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Krisis Moneter

Page | 6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 INFLASI ( PEREDARAN NILAI MATA UANG RUPIAH)

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus
menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni
penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-
IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali
bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Pengukuran IHK
Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK
dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:
a) Bahan Makanan.
b) Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
c) Perumahan.
d) Sandang.
e) Kesehatan.
f) Pendidikan dan Olahraga.
g) Transportasi dan Komunikasi.

Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).

- Disagregasi Inflasi
Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga
mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan
disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi
yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:


a) Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor fundamental, seperti:
Interaksi permintaan-penawaran.
Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang.
Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Page | 7
b) Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non-inti
terdiri dari:
Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh
shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau
faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga
komoditas pangan internasional.
Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang
dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti
harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

- Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi
permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya
cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar
negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang
diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab demand pull inflation adalah
tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks
makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output
potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas
perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam
keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau
forward looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang
terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru)
dan penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara
umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga
barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi
supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula
meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mendorong peningkatan permintaan.

- Pentingnya Kestabilan Harga


Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan padapertimbangan
bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan
Page | 8
riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan
akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.Kedua,
inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku
ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi
yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah.
Keempat, pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan SSK (referensi).

- Sasaran Inflasi
Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank
Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Kestabilan nilai
Rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan
jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada
perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai
tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus
dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,
tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil
yang optimal dan berkesinambungan dalam jangka panjang.

- Pengendalian Inflasi
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang
berasal dari sisi permintaan agregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi
penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang
disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan dan bersifat sementara (temporer) yang akan
hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara itu, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran
ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya
gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang
dipengaruhi oleh faktor penawaran dan kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan
administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.
Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif
terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar, seperti ketika terjadi
kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008, sehingga menyebabkan adanya lonjakan
inflasi.
Page | 9
Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat
kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi
antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang
terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik
inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi
penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.
Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan
dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian
Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia
dan kementerian teknis terkait di Pemerintah seperti Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, Sekretaris kabinet, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008, pembentukan TPI diperluas
hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan
semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat
terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan dan berkelanjutan.

- Penetapan Target Inflasi


Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank
Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU
mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara
Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.124/PMK.010/2017
tanggal 18 September 2017 tentang Sasaran Inflasi tahun 2019, tahun 2020, dan tahun
2021, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2019 – 2021,
masing-masing sebesar 3,5%, 3%, dan 3%, dengan deviasi masing-masing ±1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan
masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan, sehingga tingkat inflasi
dapat dijaga pada tingkat yang rendah dan stabil. Salah satu upaya pengendalian inflasi
menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan
ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah
ditetapkan (Lihat Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2016, 2017, dan
2018 dan Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2019, 2020, dan 2021).
Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada situs Bank Indonesia atau situs
instansi Pemerintah lainnya seperti Kementerian Keuangan, Kantor Kementerian
Koordinator bidang Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999

Page | 10
tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara
setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka
sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.
Inflasi merupakan suatu fenomena moneter yang selalu meresahkan dan menggerogoti
stabilitas ekonomi suatu negara yang sedang melakukan pembangunan. Inflasi yang
melebihi angka dua digit, tidak hanya mendongkrak kenaikan hargaharga umum dan
menurunkan nilai uang, tetapi juga memperlebar jarak antara kaya dan miskin, antara
pengusaha berskala besar dan pengusaha berskala menengah ke bawah, antara majikan
dan pekerja, serta dapat melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap kewibawaan
pemerintah suatu negara (Khalwaty,2000:12).
Setiap negara yang melaksanakan pembangunan akan menuju pada peningkatan
kemakmuran masyarakat luas atau pemerataan kesejahteraan. Pemerataan hasil-hasil
pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah kemiskinan.Pada kenyataanya yang
terjadi adalah jarak antara kelompok penduduk kaya dengan kelompok penduduk miskin
terlihat semakin lebar. Dengan demikian tujuandari penerapan berbagai kebijakan
ekonomi adalah menciptakan kemakmuran bagiseluruh rakyat, dengan kata lain
pemerataan distribusi pendapatan (Tambunan,2001).
Distribusi Pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasarmungkin
dianggapoleh masyarakat sebagai tidak adil. Masalah keadilan dalamdistribusi
pendapatan merupakan masalah yang rumit, sebab tidak ada satupuntindakan yang tidak
mempengaruhi pihak lain secara positif maupun negatif,dikarenakan tingkat keadilan bagi
seseorang dengan orang lain pasti berbeda.Selanjutnya, pemerintah melalui kebijakan
fiskal dan moneter berkewajiban untukmerubah keadaan masyarakat sehingga
ketimpangan distribusi pendapatan dapatdiminimalisasi (Mangkusoebroto,2001:6)

Data Inflasi

No Periode Data Inflasi


1 Maret 2022 2.64 %
2 Februari 2022 2.06 %
3 Januari 2022 2.18 %
4 Desember 2021 1.87 %
5 November 2021 1.75 %
6 Oktober 2021 1.66 %
7 September 2021 1.6 %
8 Agustus 2021 1.59 %
9 Juli 2021 1.52 %
10 Juni 2021 1.33 %
11 Mei 2021 1.68 %
12 April 2021 1.42 %
13 Maret 2021 1.37 %
14 Februari 2021 1.38 %
15 Januari 2021 1.55 %
Page | 11
Target Inflasi

Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual (%,yoy)


2011 5+1% 3,79
2012 4,5+1% 4,30
2013 4.5+1% 8,38
2014 4.5+1% 8,36
2015 4+1% 3,35
2016 4±1% 3,02
2017 4±1% 3,61
2018 3,5±1% 3,13
2019** 3,5±1% 2,72
2020** 3±1% 1,68
2021** 3±1% 1,87
2022* 3±1%  

2.1.2 faktor-faktor umum yang mempengaruhi inflasi

i. Inflasi tarikan perminataan (demand pull inflation )


Inflasi ini dikenal juga dengan nama Philips Curve Inflation. Secara umum inflasi ini
disebabkan karena penawaran dan permintaan terhadap barang atau jasa di dalam negeri
untuk jangka panjang yang dibutuhkan masyarakat dengan jumlah besar. Inflasi ini
umum terjadi di negara dengan pertumbuhan perekonomian pesat. Kesempatan kerja
tinggi menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat tinggi.

ii. Inflasi Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation)


Inflasi ini diakibatkan karena adanya dorongan kenaikan biaya produksi dalam jangka
waktu tertentu secara terus menerus. Secara umum, inflasi kenaikan biaya produksi
disebabkan karena desakan biaya faktor produksi yang terus naik. Inflasi jenis ini biasa
terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang atau tumbuh
pesat namun dengan angka pengangguran yang cukup rendah. Di negara ini seperti ini,
supply tenaga kerja terbatas namun permintaan akan suatu barang produksi tinggi.

iii. Bertambahnya Jumlah Uang Beredar (JUB)


Teori ini dikemukakan oleh kaum klasik yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara
jumlah uang yang beredar dengan harga-harga. Jika jumlah barang tetap namun jumlah
uang yang beredar lebih besar dua kali lipat maka harga barang pun menjadi lebih mahal
dua kali lipat.

iv. Inflasi Campuran (Mixed Inflation)


Page | 12
Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan penawaran dan permintaan. Hal ini terjadi
karena adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Ketika permintaan
terhadap suatu barang atau jasa bertambah, kemudian mengakibatkan penyediaan barang
dan faktor produksi menjadi turun. Sementara itu, pengganti atau substitusi untuk barang
dan jasa tersebut terbatas atau tidak ada. Keadaan yang tidak seimbang ini akan
menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik.

v. Inflasi Ekspektasi (Expected Inflation)


Inflasi ekspektasi terjadi sebagai akibat perilaku masyarakat yang berpendapat bahwa
kondisi ekonomi di masa yang akan datang akan menjadi lebih baik lagi. Inflasi jenis ini
tergolong sulit untuk dideteksi karena kejadiannya tidak terlalu signifikan.

vi. Struktural Ekonomi yang Kaku


Produsen tidak bisa mencegah dengan cepat kenaikan permintaan yang diakibatkan oleh
pertumbuhan penduduk. Akhirnya permintaan sulit dipenuhi saat ada pertumbuhan
jumlah penduduk.

vii. Kekacauan Ekonomi dan Politik


Bila suatu negara dalam kondisi yang tidak aman, harga-harga barang di negara tersebut
cenderung mahal. Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia ketika ada kekacauan politik
dan ekonomi pada tahun 1998. Pada masa tersebut, level inflasi di Indonesia mencapai 70
persen padahal level inflasi yang normal berkisar antara 3 hingga 4 persen.

viii. Keputusan Perusahaan


Terkadang inflasi terjadi secara alami ketika pasokan menurun dan permintaan
meningkat, tetapi di lain waktu inflasi diatur oleh perusahaan. Perusahaan yang membuat
barang-barang populer sering menaikkan harga hanya karena konsumen bersedia
membayar jumlah yang meningkat. Perusahaan juga menaikkan harga secara bebas
ketika barang yang dijual adalah sesuatu yang dibutuhkan konsumen untuk keberadaan
sehari-hari, seperti minyak dan gas.

ix. Utang Nasional


Ketika utang suatu negara meningkat, pemerintah memiliki dua opsi: mereka dapat
menaikkan pajak atau mencetak lebih banyak uang untuk melunasi hutang. Kenaikan
pajak akan menyebabkan bisnis bereaksi dengan menaikkan harga untuk mengimbangi
kenaikan tarif pajak perusahaan. Atau, jika pemerintah memilih opsi yang terakhir,
mencetak lebih banyak uang akan mengarah langsung pada peningkatan jumlah uang
beredar, yang pada gilirannya akan mengarah pada devaluasi mata uang dan kenaikan
harga.

x. Luar Negeri
Inflasi juga dapat berasal dari sumber eksternal, misalnya kenaikan berkelanjutan dalam
harga minyak mentah atau komoditas impor lainnya, bahan makanan dan minuman.
Inflasi ini disebut imported inflation.

Page | 13
2.2 KEBIJAKAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI INFLASI

2.2.1 KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah langkah-langkah yang diambil penguasa moneter (bank


Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan daya beli uang.
Yang bertujuan untuk :
- Menjaga stabilitas ekonomi
- Menjaga stabilitas harga
- Meningkatkan kesempatan kerja
- Memperbaiki posisi neraca perdagangan dan pembayaran

Instrument kebijakan moneter


Kebijakan moneter dibagi menjadi dua jenis, yaitu tight money policy (mengurangi
jumlah uang beredar) dan easy money policy (menambah jumlah uang beredar).
Instrument kebijakan moneter antara lain :
- Kebijakan operasi pasar terbuka, yaitu suatu kebijakan dari bank sentral dengan
cara memperjual-belikan surat-surat berharga di pasar uang, yaitu berupa obligasi,
sertifikat bank Indonesia, dan surat berharga pasar uang.
- Kebijakan diskonto, yaitu menambah dan menurangi jumlah uang yang beredar
dengan cara meningkatkan atau menurunkan suku bunga oleh bank sentral.
- Kebijakan cadangan kas, yaitu menambah atau mengurangi jumlah uang yang
beredar dengan cara menaikkan atau menurunkan cadangan kas minimum yang
dimiliki bank-bank umum.
- Kebijakan kredit ketat, yaitu mengurangi jumlah uang yang beredar dengan
memperketat syarat pemberian kredit.
- Kebijakan dorongan moral, yaitu mempengaruhi jumlah uang yang beredar
dengan mengeluarkan pidato, himbauan, atau pengumuman pada bank umum atau
pelaku ekonomi lainnya.

2.2.2 KEBIJAKAN FISKAL


Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan
pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi.
Kebijakan fiskal bertujuan untuk memperbaiki keadaan ekonomi, mengusahakan
kesempatan kerja, dan menjaga kestabilan harga-harga. Kebijakan fiskal mengusahakan
peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat
dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.

Instrument dan fungsi kebijakan fiskal

Instrument kebijakan fiskal antara lain :


Page | 14
- Sistem perpajakan, dengan menaikkan pajak, maka pemerintah dapat menguatkan
kas negara. Menurunkan pajak akan menggiatkan investasi dan meningkatkan
konsumsi.
- Politik anggaran, pemerintah dapat menetapkan anggaran berimbang atau
anggaran tidak berimbang (surplus atau defisit).

Fungsi kebijakan fiskal :


- Fungsi alokasi, merupakan fungsi kebijakan yang mengalokasikan barang-barang
produksi agar lancer dan tepat sasaran sehingga kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi.
- Fungsi distribusi, yaitu untuk mendistribusikan pembagian pendapatan nasional
secara merata bagi semua kalangan.
- Fungsi stabilisasi, yaitu untuk memelihara keseimbangan ekonomi terutama
berupa kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga barang pokok relative stabil,
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.
- Fungsi pembangunan, yakni menentukan arah dan tujuan, bidikan, prioritas
pembangunan bangsa atau pembangunan nasional, dan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang maksimal.

2.3 RESTRUKTURISASI SEKTOR KEUANGAN

Restrukturisasi keuangan adalah penyusunan kembali komposisi modal perusahaan agar


kinerja perusahaan menjadi lebih baik dan sehat. Agar dapat dievaluasi melalui laporan
keuangan.
Pada tahun 2020 OJK telah memberikan ruang gerak melalui program restrukturisasi
kredit dan pelonggaran penialaian kualitas kredit satu pilar, sebagaimana dalam POJK
48/POJ.03/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan
countercyclical dampak penyebaran coronavirus disease 2019.
Hingga 4 januari 2021 tercatat restrukturisasi kredit terhadap 7,57juta debitur perbankan
dengan outstanding mencapai Rp. 971,08 Triliun.
Dalam implementasinya, program restrukturisasi memberatkan pihak industri jasa
keuangan karena pencadangan akan menjadi meningkat seiring dengan membengkaknya
jumlah pembiayaan yang direstrukturisasi.. dan juga arus kas yang masuk dari angsuran
nasabah akan menjadi berkurang.
Tantangan yang harus dihadapi dalam penggunaan restrukturisasi kredit dan pembiayaan:
- Menyeimbangkan antara kebutuhan debitur dengan kapasitas likuiditas bank.
- Menjaga kualitas governance dan integritas para pelaku perbankan serta debitur
untuk kelancaran restrukturisasi..
- Kesulitan dalam proses verifikasi data dan pembaruan dalam kondisi pandemi.

Page | 15
- Memakan waktu yang lama dalam proses dan birokrasi karna masih berpedoman
pada SOP yang lama.

2.4 REFORMASI STRUKTURAL DAN DISEKTOR RIIL

Bank indonesia menegaskan bahwasannya akan sangat mendukung atas reformasi


struktural yang dilakukan oleh pemerintah baik dalam sektor riil maupun sektor
keuangan.
Dimana pada sektor riil yang diperlukan adalah usaha perwujudan keberadaan data
pembangunan dansekaligus mewujudkan ketahanan pangan serta energi. Yang data
pembangunan itu sendiri terdiri dari data infrastruktur, penguatan institusi, serta
penguatan dibidang teknologi tentunya.
Untuk sektor yang kedua yakni upaya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, hal
ini juga tak kalah penting untuk ditingkatkan dimasa yang akan datang karena mengingat
bahwasannya negara kita masih begitu bergantung pada pasokan luar negeri.
Untuk reformasi nya sendiri masih mencari upaya-upaya yang bisa digunaan untuk
sumber pembiayaan yang berkelanjutan dan tak mudah untuk diputuskan, karna selama
ini negara kita susah sangat terlena dengan keuangan atau dana negara asing padahal
dana itu sangat mudah untuk diputuskan.

2.5 JARINGAN KEAMANAN SISTEM KEUANGAN

Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang melandasi
pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas
pembiayaan darurat oleh bank sentral (lender of last resort), serta kebijakan penyelesaian
krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis, namun demikian
kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis sehingga tidak
menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian. Dengan demikian, sasaran JPSK
adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi
secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan.
Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring
Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah
Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka
JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait
yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai
pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan
bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan
menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab
untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan
kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab
untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.
Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang
pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan
Page | 16
berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh
otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK
semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan
pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan
yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
Dalam pelaksanaannya, JPSK memerlukan koordinasi yang efektif antar otoritas terkait.
Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur
Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Bersama
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS tentang
Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai wadah koordinasi bagi BI, Depkeu dan LPS
dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.

2.6 LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) telah berhasil mengembalikan


kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Namun, kebijakan tersebut tersebut
meningkatkan beban anggaran negara dan berpotensi menimbulkan moral hazard oleh
pihak pengelola bank dan nasabah bank. Dalam rangka mengurangi dampak negatif dari
program penjaminan pemerintah tersebut, telah didirikan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004, LPS memiliki dua fungsi yaitu
menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank
yang tidak berhasil disehatkan atau bank gagal.
Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas untuk
mengurangi beban anggaran negara dan meminimalkan moral hazard. Namun demikian,
tetap dijaga kepentingan nasabah secara optimal. Setiap bank yang beroperasi di
Indonesia baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diwajibkan untuk
menjadi peserta penjaminan. Adapun jenis simpanan di bank yang dijamin meliputi
tabungan, giro, sertifikat deposito dan deposito berjangka serta jenis simpanan lainnya
yang dipersamakan dengan itu. Skim penjaminan LPS telah dimulai secara penuh pada
sejak tanggal 22 Maret 2007.
Apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan gagal disehatkan kembali
sehingga harus dicabut izin usahanya, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah
bank tersebut sampai jumlah tertentu, sebagaimana ditetapkan. Adapun simpanan
nasabah yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Dengan
adanya penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS, diharapkan kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan dapat tetap terpelihara.

2.7 KRISIS MONETER

Page | 17
Krisis moneter adalah lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan
yang tutupdan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak
seluruhnyadisebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karenasebagian diperberat
oleh berbagaimusibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan
ekonomi sepertikegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang
panjang dan terparahselama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-
besaran di Kalimantan danperistiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada
pertengahan Mei 1998 lalu dankelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2
dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran
relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit
neracaberjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan
devisa masihcukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan
perdagangandomestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yangmenyebabkan
kegiatan ekonomitidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dankurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar
negeri dalamjumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam danadari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya
krisis moneter, terjadijuga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun
semua kelemahan ini masihmampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi
adalah, mendadak datingbadai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh
tembok penahan yang ada,yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai
terpaan gelombang yangdatang mengancam.

2.7.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor
rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang
berkepanjanganini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat
dari serbuan yangmendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan
jatuh temponya utangswasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada
serbuan terhadap dollar ASini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi
mikro, ekonomi Indonesiatidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun
distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran
terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang
ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan
akumulasi dari berbagai faktor penyebablainnya yang datangnya saling bersusulan.
Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,karena penyembuhannya tentunya
tergantung dari ketepatan diagnosa.Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca

Page | 18
berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional
sebagai akar dari terjadinya krisisfinansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya
empat sebab utama yang bersamasamamembuat krisis menuju ke arah kebangkrutan
(World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yangpertama adalah akumulasi utang swasta luar
negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan
utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18
bulan. Bahkan selama empat tahun terakhirutang luar negeri pemerintah jumlahnya
menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahanpada sistim perbankan. Ketiga adalah
masalah governance, termasuk kemampuan pemerintahmenangani dan mengatasi krisis,
yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dankeengganan donor untuk
menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah
ketidakpastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan.
Berikut ini diberikan rangkuman dariberbagai faktor tersebut menurut urutan
kejadiannya:
1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang
sebesarbesarnyauntuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka
rekeningvalas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam
negeri,sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di
luarnegeri.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan
kenaikanpendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat
darikenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin
lamamakin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti
jugaproteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah
danproduk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang
kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang,
ekspormenjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat
overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan
nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersediacukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya
(bandingkanjuga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
Akumulasiutang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah
yangsangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang
beberapatahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak
yangbersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah,
karenatelah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai
rupiahterus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman

Page | 19
dalamrupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif
murah.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam
jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS
melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan
untukmengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,
membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat
dalamdan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar
rupiahpada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas
socialdan politik.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam menangani krisis moneter :
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Strategi dalam menangani masalah krisis ekonomi:
- menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi
Indonesia;
- memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang
efisiendan berdaya saing;
- menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga
eksporbisa bangkit kembali.
Kebijakan-kebijakan yang digunakan :
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi struktural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis

2.7.2 DAMPAK KRISIS MONETER

Page | 20
Semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs nilai tukar valas,
khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan
masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditambah PHK,
padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan
ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secaraumum sudah kita
ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah
melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau
mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang yang
tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal
menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yang
tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported
inflation4 ,tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini
hanya biasa secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang
wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan
harga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun
tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.Pada sisi lain merosotnya
nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.Secara umum impor barang
menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeridan pengiriman anak
sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akanlebih besar, daya saing
produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendahmeningkat sehingga bisa
menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasispertanian, proteksi
industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukarrupiah, pengusaha
domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalahperbaikan dalam neraca
berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiahmendadak melonjak
drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopidan sebagainya ikut
naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidakterjadi, bahkan
cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipunpenerimaan rupiah
petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalamvalas umumnya
tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karenatahu petani
dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi

Page | 21
BAB 11

PENUTUP

KESIMPULAN

Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarikuntuk dibahas terutama yang
berkaitan dengan dampaknya yang luasterhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi
domestik yang tinggimenyebabkan tingkat balas jasa yang riil terhadap asset finansial
domesticsemakin rendah ( bahkan seringkali negatif ), sehingga dapat mengganggumobilisasi
dana domestik dan bahkan dapat mengurangi tabungandomestik yang menjadi sumber dana
investasi. Kedua, dapat menyebabkandaya saing barang ekspor berkurang dan dapat
menimbulkan defisit dalamtransaksi berjalan dan sekaligus dapat meningkatkan hutang luar
negeri.Ketiga, inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan denganterjadinya transfer
sumberdaya dari konsumen dan golongan
berpenghasilan tetap kepada produsen. Keempat, inflasi yang tinggi dapatmendorong terjadinya
pelarian modal keluar negeri. Kelima, inflasi yangtinggi akan dapat mennyebabkan kenaikan
tingkat bunga nominal yangdapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk
memacutingkat pertumbuhan ekonomi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moh. Arsjad. 1997. “Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Pola


dan Potensi”, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru
Pembangunan
Indonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48.
Bank Indonesia. 1998. “Financial Crisis in Indonesia”, Jakarta, August.
Bello, W. 1998. “Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis”, saduran, Jakarta:
Kompas, 1 September, hal. 3.
Ehrke, M.1998. “Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und
Auswirkungen der Asienkrise”, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.
Fischer, S. 1998a. “IMF dan Krisis Asia”, Kompas, Jakarta, 6 April.
________. 1998b. “Peranan IMF Saat Krisis”, Kompas, Jakarta, 8 April.
________. 1998c. “The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF”, Washington,
D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.
Greenwood, J. 1997. “The Lessons of Asia’s Currency Crisis”, Hong Kong: The Asian
Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.
Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. “Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro)
Ekonomi”, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap Tatanan
Masa Depan Indonesia”, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April

Page | 22

Anda mungkin juga menyukai