Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

Ekonomi Pembangunan

“PENGARUH INFLASI DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT

KEMISKINAN DI INDONESIA

(STUDY DESKRIPTIF PADA KAWASAN TIMUR INDONESIA

TAHUN 2014-2018)”

Disusun Oleh:

Fransisca Rosari Sitinjak (20020134)

Dosen Pengampu : Dr. LUKMANUL HAKIM, SE, M.Si.

UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmatnya saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan

yakni berupa makalah yang berjudul : Pengaruh Inflasi dan Pengangguran Terhadap

Tingkat Kemiskinan Di Indonesia (study deskriptif pada kawasan timur indonesia

tahun 2014-2018)”. Dengan selesainya penulisan makalah ini penulis merasa

bahwa dalam penelitian ini masih banyak ditemukan kekurangan-kekurangan yang

mungkin dengan berjalannya waktu akan muncul peneliti lain yang akan

menyempurnakannya. Selain itu, saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih

ada kekurangan baik dalam segi penulisan, susunan kalimat, maupun tata

bahasanya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari

pembaca sangat kami harapkan, demi perbaikan penulisan makalah berikutnya.

Batam, 26 Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER………….....................................................................................................i

KATA PENGANTAR .............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

ABSTRAK………………………………………………………………………...v

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................4

1.4 Hipotesis.......................................................................................................4

BAB II…………......................................................................................................5

LANDASAN TEORI...............................................................................................5

2.1 Definisi Inflasi..............................................................................................5

2.2 Teori Inflasi..................................................................................................6

2.3 Pengelompokan Inflasi...............................................................................10

2.4 Determinasi Inflasi.....................................................................................14

2.5 Implikasi Inflasi..........................................................................................15

2.6 Pengangguran.............................................................................................17

2.6.1 Definisi Pengangguran…………………………………………….17

2.6.2 Penyebab Terjadinya Pengangguran..................................................18

iii
2.6.3 Jenis dan Macam Pengangguran........................................................19

2.6.4 Implikasi Pengangguran....................................................................21

2.7 Trade Off Jangka Pendek Anatar Inflasi dan Pengangguran………….......23

2.8 Kemiskinan Suatu Konsep Teoritis.............................................................25

BAB III...................................................................................................................26

PEMBAHASAN ...................................................................................................26

3.1 Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Tahun

2014-2018..............................................................................................................28

3.2 Pengaruh Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kawasan Timur

Indonesia Tahun 2014-2018.................................................................................31

3.3 Implikasi Kebijakan..........................................................................................35

BAB IV…………………………………………………………………………37

PENUTUP………………………..………………………………………………37

Kesimpulan............................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................vi

iv
Abstrak

Pengangguran dan inflasi adalah salah satu indikator masalah makroekonomi

karena membuat laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih

rendah, jumlah orang menganggur lebih banyak serta mengakibatkan tingkat

kesejahteraan menurun dan berujung pada kemiskinan. Fakta yang terjadi di

Indonesia, walaupun secara nasional terjadi penurunan persentase penduduk

miskin, akan tetapi di tingkat provinsi tidak semuanya mengalami hal yang sama

terutama di Kawasan Timur Indonesia yang masih cenderung mengalami tingkat

kemiskinan yang tinggi.

Hasilnya menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data yang

diperoleh, terdeskripsikan bahwa untuk Kawasan Timur Indonesia pada tahun

2014-2018, rata-rata laju inflasi dan pengangguran rendah, namun tidak

memberikan pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Kawasan Timur

Indonesia yang tingkat kemiskinannya masih tinggi. Diperlukan kajian yang lebih

mendalam sehingga mendapat hasil yang komprehensip.

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengangguran adalah salah satu indikator masalah makroekonomi yang

mempengaruhi manusia secara tidak langsung dan paling berat. Masalah

pengangguran merupakan masalah ekonomi makro yang paling krusial karena

dapat menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran

masyarakat tidak mencapai kemampuan maskimal yaitu adanya sumber daya

ekonomi yang menganggur (idle capacity). Indikator masalah makroekonomi

lainnya adalah inflasi, inflasi yang lebih tinggi membuat laju pertumbuhan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih rendah dan jumlah orang menganggur

lebih banyak (konsekuensinya membuat pengeluaran pemerintah atau defisit fiskal

juga lebih besar) yang mengakibatkan biaya-biaya kesejahteraan akibat suatu

goncangan menjadi lebih besar.

Di sisi lain, kemiskinan juga merupakan masalah klasik di negara-negara

sedang berkembang khususnya, tidak terkecuali di Indonesia. Bagi Indonesia, 73

tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Program pengentasan

kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu,

namun kemiskinan belum teratasi secara maksimal. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS) sejak tahun 1970 hingga tahun 2018, tren angka kemiskinan

cenderung menurun meski sempat naik di tahun 1996, 1998, 2002, 2005, 2006,

2013, 2015 dan 2017. Kemiskinan tertinggi terjadi pada tahun 1970, dimana

terdapat 60 persen penduduk yang masuk kategori miskin atau 70 juta jiwa.

Sementara angka terendah ditunjukkan pada data BPS bulan Maret 2018 yaitu

1
sebesar 9,82 persen dengan 25,95 juta penduduk miskin. Pertama kalinya angka

kemiskinan di Indonesia berada di bawah10 persen.

Fakta yang terjadi di Indonesia, walaupun secara nasional terjadi penurunan

persentase penduduk miskin, akan tetapi di tingkat provinsi tidak semuanya

mengalami hal yang sama. Di sisi lain, Indonesia selalu didengungkan sebagai

negara besar dan kaya, tetapi ironisnya, beberapa wilayah-wilayah di Indonesia

memiliki penduduk miskin yang sangat tinggi yang justru memiliki kekayaan

sumber daya yang sangat besar seperti Maluku dan Papua yang terletak di wilayah

Indonesia bagian timur. Dalam tabel 1.1, terlihat bahwa tingkat kemiskinan di

Indonesia pada tahun 2017 masih terpusat di Indonesia bagian Timur yaitu di

Provinsi Nusa Tenggara Timur (21,62%); Maluku (18,37) dan Papua (27,69%),

walaupun tahun 2018 tingkat kemiskinan mengalami penurunan, namun tiga

wilayah ini masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi.

Berdasarkan hasil kajian Bank Indonesia, dilihat dari indikator inflasi,

inflasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada tahun 2017 tercatat sebagai

kawasan dengan tingkat inflasi terendah di Indonesia yaitu sebesar 7,9%. Beberapa

provinsi di KTI yang mencatat inflasi rendah adalah Maluku, Papua Barat dan

Papua masing-masing sebesar 0,05%; 0,04% dan 0,05%. Perkembangan

inflasi yang rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya inflasi volatile food yaitu

inflasi yang dipengaruhi oleh shock (kejutan) dalam bahan makanan seperti

gangguan panen, gangguan alam atau bencana alam. Dilihat dari masalah,

pengangguran, pada tahun 2017 provinsi Sulawesi Utara dan Maluku dan Papua

Barat merupakan provinsi yang Tingkat Penganggguran Terbukanya (TPT) paling

tinggi masing–masing 6,15% ; 8,53% dan 7,01% dibanding provinsi laiinya di KTI.

2
Bila dikaitkan dengan kemiskinan, laju inflasi yang meningkat pada

gilirannya akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin, bila

tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan atau peningkatan daya beli terutama oleh

masyarakat yang berpendapatan rendah. Sedangkan efek buruk pengangguran

adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat

kemakmuran. Apabila keadaan pengangguran di suatu negara adalah sangat buruk,

kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek buruk pada

tingkat kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam

jangka panjang.

Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia, adalah perbedaan yang

begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam

hubungan dengan kondisi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari

setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di Pulau Jawa

(yang berlokasi di bagian Barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian

relatif, provinsi-provinsi di bagian Timur Indonesia menunjukkan nilai kemiskinan

yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, penulis tertarik untuk mendeskripsikan dan

menganalisis pengaruh inflasi dan pengagguran terhadap kemiskinan khususnya di

Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2014-

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang disampaikan dalam bagian latar belakang di atas,

penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh inflasi dan pengangguran

di Indonesia study pada Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada tahun 2014-2018.

3
1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan ini adalah untuk

mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh inflasi dan pengangguran di Indonesia

study pada Kawasan Indonesia Timur (KTI) pada tahun 2014-2018.

1.4. Hipotesis

Dalam rangka menjawab tujuan penulisan, maka dirumuskan hipotesis sebagai

berikut: Diduga ada pengaruh antara indikator inflasi dan pengangguran terhadap

tingkat kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2014-2018.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Inflasi

Para ahli ekonomi dan moneter, banyak yang memberikan definisi tentang

inflasi, yang sering berbeda hanya secara redaksional. Akan tetapi jika dikaji makna

yang terkandung maka tidak ada perbedaan yang prinsip, seperti:

1. Venieris dan Sebold dalam Anton Hermanto Gunawan (1991), mendefinisikan

inflasi sebagai kecenderungan yang terus menerus dari tingkat harga umum yang

meningkat setiap waktu. Kenaikan harga umum yang terjadi sekali waktu saja,

menurut definisi ini, tidak dapat dikatakan sebagai inflasi. Menurut definisi ini

kenaikan harga yang sporaditas bukan dikatakan sebagai inflasi. Sehingga

menurut Venieris dan Sebold dalam Antorn Hermanto Gunawan (1991) di dalam

definisi inflasi tersebut menyangkut tiga aspek, yatu: i) Adanya kecenderungan

(tendency) harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat

harga yang terjadi actual pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan

dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecederungan yang meningkat,

ii). Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus (sustained) yang

berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, yakni akibat adanya kenaikan harga

bahan bakar minyak pada awal tahun saja misalnya mencakup pengertian tingkat

harga umum (general level of prices) yang berarti tingkat harga yang meningkat

bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja.

5
2. Gerdner Ackley dalam Iswardono (1993), inflasi adalah suatu kenaikan harga

yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum (bukan satu

macam barang saja dan sesaat)

3. A.P Lerner mengatakan inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan

permintaan terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan.

4. G. Cowt Hrey berpendapat inflasi adalah suatu keadaan nilai uang turun terus

menerus dan harga naik terus.

5. Hawtry berpendapat inflasi adalah suatu keadaan karena terlalu banyak uang

yang beredar.

Meskipun definisi diatas berbeda-beda, tetapi ada satu yang sama, yaitu

inflasi adalah kecenderungan dari tingkat harga umum mengalami kenaikan terus

menerus.

2.2 Teori Inflasi

Secara garis besar terdapat tiga kelompok teori mengenai inflasi, masing-

masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi, yaitu:

1. Teori Kuantitas

Inti dari teori kuantitas adalah, pertama, bahwa inflasi itu hanya bisa terjadi

kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang karta maupun uang giral.

Bila terjadi kegagalan panen misalnya, yang menyebabkan harga beras naik, tetapi

apabila jumlah uang beredar tidak ditambah, maka kenaikan harga beras akan

berhenti dengan sendirinya. Inti yang kedua adalah laju inflasi ditentukan oleh laju

pertambahan jumlah uang yang beredar dan psikologi atau harapan masyarakat

mengenai kenaikan harga-harga di masa yang akan datang. Teori ini menyoroti

peranan dalam proses inflasi dari i). Jumlah uang beredar dan ii. Psikologi

6
(harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectation) inti dari teori

ini adalah a). Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang

beredar (berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral), b). Laju

inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh psikologi

(harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga–harga di masa yang akan datang.

Ada tiga kemungkinan yang dapat dilihat yaitu:

1. Keadaan pertama, apabila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan harga-

harga untuk naik pada bulan bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar

dari penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima masyarakat untuk

menambah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos kas dalam buku neraca para

anggota masyarakat). Ini berarti sebagain besar dari kenaikan jumlah uang

tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Sehingga tidak akan ada

kenaikan harga barang-barang. Dalam keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang

beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga-harga sebesar misalnya 1%.

Keadaan ini biasa dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai dan masyarakat

masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.

2. Keadaan kedua adalah dimana masyarakat atas dasar pengalaman di bulan-bulan

sebelumnya mulai sadar adanya inflasi. Penambahan jumlah uang yang beredar

digunakan oleh masyarakat untuk membeli barang-barang (memperbesar pos

aktiva barang-barang di dalam neraca). Kenaikan harga (inflasi) dalah suatu

pajak atas saldo kas masyaraat, karena uang semakin tidak berharga. Dan orang-

orang berusaha menghindari pajak ini dengan mengubah saldo kasnya menjadi

barang. Sehingga permintaan akan barang-barang melonjak, akibatnya harga

barang0barang tersebut juga mengalami kenaikan. Pada keadaan ini kenaikan

7
jumlah uang sebesar misalnya 10% akan diikuti dengan kenaikan harga barang

mungkin sebesar 10% pula.

3. Keadaan ketiga adalah tahap hiperinflasi, yakni orang-orang sudah kehilangan

kepercayaan terhadap nilai mata uang. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya

peredaran uang (velocity of circulation yang menaik). Uang yang beredar

sebesar misalnya 20% akan mengakibatkan kenaikan harga lebih besar dari 20%.

2. Teori Keynes

Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar

batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini adalah proses

perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan

bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat. Proses

perebutan ini diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan

barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (timbulnya

inflation gap).

3. Teori Strukturalis

Adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di Negara

Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur

dari perekonomian (faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam

jangka panjang) maka teori ini disebut juga teori inflasi jangka panjang. Menurut

teori ini ketegaran utama ada dua macam

1. Ketegaran pertama berupa ketidak-elastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai

ekspor yang tumbuh secara lamban disbanding dengan pertumbuhan sector-

sektor lain. Kelambanan ini disebabkan oleh: i) Harga di pasar dunia dari barang-

barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan dibanding dengan

8
barang-barang impor yang harus dibayar (term of trade makin memburuk) dan

ii) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap

kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelambanan

pertumbuhan penerimaan ekspor ini, berarti kelambanan pertumbuhan

kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi

maupun investasi). Akibatnya negara tersebut mengambil kebijaksanaan

pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari

barang-barang yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy),

meskipun biaya produksi dalam negeri lebih tinggi dan berkualitas rendah

daripada barang-barang sejenis yang diimpor. Biaya yang lebih tinggi ini

mengakibatkan harga yang lebih tinggi pula. Bila proses substitusi impor ini

makin meluas, biaya produksi juga meluas ke berbagai barang, sehingga makin

banyak harga barang yang naik dan inflasi pun rendah.

2. Ketegaran kedua berkaitan dengan ketidak-elastisan dari supply atau produksi

bahan makanan dalam negeri. Produksi bahan makanan dalam negeri tidak

tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga

harga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi

kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya

tuntutan karyawan untuk memperoleh kenaikan upah. Kenaikan upah berarti

kenaikan ongkos produksi yang berarti kenaikan harga-harga barang tersebut.

Kenaikan harga tersebut menyebabkan tuntutan kenaikan upah lagi, dan

kenaikan upah ini diikuti kenaikan harga-harga, demikian seterusnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan dari teori strukturalis yaitu: i). Teori

ini menerangkan proses inflasi jangka panjang di negara-negara yang sedang

9
berkembang; ii). Jumlah uang yang beredar bertambah secara pasif mengikuti dan

menyebabkan kenaikan harga barang-barang tersebut. Proses inflasi tersebut dapat

berlangsung terus hanya bila jumlah uang beredar juga bertambah terus. Tanpa

kenaikan jumlah uang, proses tersebut akan berhenti dengan sendirinya (juga dalam

teori Keynes dan teori kuantitas) dan iii). Tidak jarang faktor-faktor struktural yang

dikatakan sebagai sebab musabab yang paling dasar dari proses inflasi tersebut

bukan 100% struktural. Sering dijumpai bahwa ketegaran-ketegaran tersebut

disebabkan oleh kebijaksanaan harga/moneter pemerintah sendiri.

2.3 Pengelompokan Inflasi

1. Menurut Parah Tidaknya Inflasi

a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) ditandai dengan kenaikan harga

berjalan secara lambat dengan persentase yang kecil dalam jangka waktu

yang relatif.

b. Inflasi Sedang (antara 10%-30% setahun) ditandai dengan kenaikan harga

yang relatif cepat atau perlu diwaspadai dampaknya dalam perekonomian.

c. Inflasi Berat (antara 30%-100% setahun) ditandai dengan kenaikan harga

yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif

pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang artinya harga-harga minggu

atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan sebelumnya.

d. Hiperinflasi (di atas 100% setahun) di mana inflasi ini paling parah

akibatnya. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang, nilai

uang merosot dengan tajam, sehingga ditukar dengan barang. Harga-harga

naik lima samapai enam kali. Biasanya keadaan ini timbul oleh adanya

perang yang dibelanjai atau ditutupi dengan mencetak uang.

10
2. Menurut Penyebab Inflasi

a. Inflasi permintaan (demand pull inflation). Inflasi ini timbul karena

permintaan masyarakat akan berbagai macam barang teralu kuat. Demand

pull inflation terjadi karena kenaikan permintaan agregat di amana kondisi

perekonomian telah berada pada kesempatan kerja penuh. Jika kondisi

produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan

permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output ataupun produksi tetapi

hanya mendorong kenaikan harga-harga yang disebut inflasi murni.

Kenaikan permintaan yang melebihi produk domestik bruto akan

menyebabkan inflationary gap yang menyebabkan inflasi.

b. Inflasi Biaya Produksi (cost push inflation). Inflasi ini timbul karena

kenaikan biaya produksi atau berkurangnya penawaran agregat. Pada cost

push inflation tingkat penawaran lebih rendah dibandingkan tingkat

permintaan. Karena adanya kenaikan harga faktor produksi sehingga

produsen terpaksa mengurangi produksinya samapi pada jumlah tertentu.

Penawaran agregat terus menurun karena adanya kenaikan biaya produksi.

3. Menurut Asal Usul Inflasi

a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). Inflasi dari

dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja dengan

pencetakan uang baru, gagal panen dan sebagainya.

b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi yang timbul

karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau Negara-negara langganan

berdagang kita. Inflasi dari luar negeri adalah kenaikan harga barang-barang

yang kita impor mengakibatkan: i). Secara langsung kenaikan indeks biaya

11
hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya

berasal dari impor; ii). Secara tidak langsung menaikkan indeks harga

melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian harga jual) dari berbagai

barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus

diimpor (cost inflation) dan iii. Secara tidak langsung menimbulkan

kenaikan harga di dalam negeri, karena kenaikan harga barang-barang

impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang

berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation).

Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula melalui kenaikan

harga barang-barang ekspor dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda

dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. Bila harga

barang-barang ekspor seperti kopi, teh dan minyak kelapa sawit naik, maka

indeks biaya hidup akan naik pula sebab barang-barang tersebuh langsung

masuk dalam daftar barang-barang yang tercakup dalam indeks harga. Bila

harga barang-barang ekspor (seperti: kayu, karet, timah dan sebagainya)

naik, maka biaya produksi dari barang-barang yang menggunakan barang-

barang tersebut dalam proses produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan

sebagainya) akan naik dan harganya akan naik pula (cost inflation).

Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan

eksportir. Kenaikan penghasilan ini akan dibelanjakan untuk membeli

barang-barang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bila jumlah

barang yang tersedia di apsar tidak bertambah, akibatnya harga-harga

barang lain akan naik pula (demand inflation).

12
4. Menurut Sifat Inflasi

a. Inflasi merayap (creeping inflation) ditandai dengan laju inflasi yang rendah

(kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan

persentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.

b. Inflasi menengah (galloping inflation) ditandai dengan kenaikan yang cukup

besar, (biasanya double digit atau triple digit) dan kadangkala berjalan dalam

waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya , harga-

harga meinggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan lalu dan

seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi yang

merayap (creeping inflation)

c. Inflasi tinggi (hyper inflation) merupakan inflasi yang paling parah akibatnya.

Harga-harga naik sampai lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi

berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam,

sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat,

harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila peemrintah

mengalami defisit anggaran belanja (misalnya oleh adanya perang) yang

dibelanjai atau ditutup dengan mencetak uang.

5. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

a. Inflasi Umum (headline inflation). Inflasi umum adalah komposit dari inflasi

inti, inflasi administered prices dan inflasi volatile goods. Atau dengan akata

lain inflasi umum adalah inflasi seluruh barang dan jasa yang dimonitor

secara periodik. Secara umum perhitungan inflasi dan IHK mengikuti rumus

berikut ini:

𝑰𝑯𝑲𝒕 − 𝑰𝑯𝑲𝒕 − 𝟏
𝐈𝐧𝐟𝐥𝐚𝐬𝐢 = 𝒙𝟏𝟎𝟎
𝑰𝑯𝑲𝒕 − 𝟏

13
b. Inflasi Inti (core inflation), adalah inflasi barang dan jasa yang perkembangan

harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, seperti

ekspektasi inflasi, nilai tukar dan keseimbangan permintaan dan penawaran

yang sifatnya cenderung permanen, persistent dan bersifat umum.

c. Inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices inflation).

Inflasi barang dan jasa yang perkembangan harganya secara umum dapat

diatur pemerintah.

d. Inflasi bergejolak (valatile goods). Inflasi barang dan jasa yang

perkembangan harganya sangat bergejolak. Inflasi volatile goods masih

didominasi bahan makanan, sehingga sering disebut juga sebagai inflasi

valatile foods. Jumlah komoditasnya sebanyak 61 antara lain beras, minyak

goreng, cabai, daging ayam ras dan sebagainya.

2.4 Determinasi Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation) dari

sisi permintaan (demadn pull inflation) dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor

terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak

infalsi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga

komoditi yang diatur pemerintah (adminitered prices) dan terjadi negative supply

shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab

terjadinya demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif

terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan

oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate

demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian.

14
Sementara itu, faktor ekspedisi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat

dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan

kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat

adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di

tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar

keagamaan (lebaran, natal dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional

(UMR). Meskipun ketersediaan barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan

meningkat lebih tinggi dari kondisi supply demand tersebut. Demikian halnya pada

saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski

kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorog peningkatan

permintaan.

2.2 Implikasi Inflasi

Inflasi tidak selalu berdampak buruk bagi perekonomian. Inflasi yang

terkendali jsutru dapat meningkatkan kegiatan perekonomian. Berikut adalah

akibat-akibat yang ditimbulkan inflasi terhadap kegaiatan ekonomi masyarakat.

1. Dampak Inflasi terhadap Pendapatan

Inflasi dapat mengubah pendapatan masyarakat. Perubahan dapat bersifat

menguntungkan atau merugikan. Pada beberapa kondisi (kondisi inflasi lunak),

inflasi dapat mendorong perkembangan ekonomi. Inflasi dapat mendorong para

pengusaha memperluas produksinya. Dengan demikian, akan tumbuh kesempatan

kerja baru sekaligus bertambahnya pendapatan seseorang. Namun, bagi masyarakat

yang berpenghasilan tetap, inflasi akan menyebabkan mereka rugi karena

penghasilan yang tetap itu jika ditukarkan dengan barang dan jasa akan semakin

sedikit.

15
2. Dampak inflasi terhadap ekspor

Pada keadaan inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang.

Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor makin mahal. Masih

dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena

daya saing barang ekspor berkurang yang mengakibatkan jumlah penjualan

berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil.

3. Dampak inflasi terhdap minat masyarakat untuk menabung

Pada masa inflasi, pendapatan riil para penabung berkurang karena jumlah

bunga yang diterima pada kenyataannya berkurang karena laju inflasi.

4. Dampak inflasi terhadap sektor riil

Dampak inflasi terhadap sektor riil secara khusus akan menghambat atau

mengganggu proses pertumbuhan di sektor riil. Hal ini dikarenakan, dengan

terjadinya inflasi maka tingkat pembelian masyarakat (permintaan ageregat) akan

mengalami penurunan dan selanjutnya penurunan ini akan menyebabkan pihak

produsen harus mengurangi tingkat produksi (output) yang berujung pada

pemutusan hubungan kerja dan bertambahnya pengangguran (unemployment).

Selain itu, disaat terjadi inflasi yang tinggi maka suku bunga yang ditetapkan

otoritas moneter juga meningkat. Oleh karena itu, sektor riil pada saat suku bunga

tinggi mengalami kesulitan dana baik untuk meningkatkan produksi atau

mengembangkan usahanya karena semakin tingginya dalam biaya modal. Di sisi

lain, unit surplus lebih tertarik menyimpan dananya di bank dengan tingkat

pengembalian (rate of return) yang lebih bsar dan pasti, dan pada saat yang sama,

bank umum yang sudah memiliki banyak dana dari pihak unit surplus enggan untuk

menyalurkan dananya ke sektor riil karena danya permasalahan (aturan perburuhan,

16
pajak, pungutan-pungutan dan sebagainya) pada sektor riil dan lebih tertarik untuk

menyimpan dananya di bank sentral. Akibatnya adalah tidak berfungsinya tugas

intermediasi oleh bank umum dan terjadi penumpukan dana di bank sentral. Fakta

inilah yang terjadi pada tahun 2007 di maan dana yang terkumpul di bank Indonesia

berjumlah ratusan triliunan rupiah.

2.3 Pengangguran

2.3.1 Definisi Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin

mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Orang yang tidak mencari

kerja seperti ibu rumah tangga, siswa sekolah, mahasiswa dan lain sebaginya karena

sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan tidak dikatakan sebagai

pengangguran. Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak

berkerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama

seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang

layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para

penari kerja tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada yang mampu

menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian

karena dengana danya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat

akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-

masalah sosial lainnya.

Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dari

prosentase membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒓


𝐓𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐫𝐚𝐧 = 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑨𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑲𝒆𝒓𝒋𝒂

17
2.3.2 Penyebab Terjadinya Pengangguran

Menjadi pengangguran bukanlah keinginan seseorang, namun keadaanlah

yang terkadang memaksa mereka. Berikut beberapa penyebab terjadinya

pengangguran.

1. Penduduk relatif banyak sedangka kesempatan kerja/lapangan kerja relatif

rendah. Jumlah penduduk yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan lapangan

kerja maka jumlah angkatan kerja tidak semua tertampung dalam dunia kerja.

2. Pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pendidikan dan keterampilan yang

rendah tidak dibutuhkan oleh pihak badan usaha karena dengan pendidikan yang

rendah dan keterampilan yang rendah tidak akan meningkatkan produktivitas

kerja dan hasil produksi.

3. Tekonologi yang semakin maju yang belum terimbangi oleh kemampuan

manusia. Teknologi dan kemampuan yang tinggi begitu cepat tidak diimbangi

dengan kemampuan manusia untuk menguasai maka banyak badan usaha hanya

menerima yang mampu menguasai teknologi tersebut. Bagi yang tidak

menguasai teknolohi tersebut akan tersingkir dalam persaingan kerja.

4. Pengusaha yang selalu ingin mengejar keuntungan dengan cara melakukan

penghematan seperti penerapan rasionalisasi. Pengusaha hanya menerapkan

berfikir rasionalis sehingga tenaga kerja dipaksa untuk bekerja seoptimal

mungkin untuk mengejar target. Apabila tenaga kerja tidak bekerja sesuai

dengan target maka tenaga kerja tersebut tidak diperlukan lagi.

5. Adanya lapangan kerja yang dipengaruhi oleh musim. Pekerjaan yang

dipengaruhi musim dapat menimbulkan pengangguran seperti pertanian,

perkebunan. Setelah masa menanam selesai, maka banyak tenaga kerja tinggal

18
menunggu hasilnya. Untuk menunggu hasil, mereka kebanyakan menganggur

dan akan bekerja kembali apabila nanti musim panen telah tiba.

2.3.3 Jenis dan Macam Pengangguran.

Berdasarkan pendekatan angkatan kerja, pengangguran terbagi menajdi tiga

jenis, yaitu:

1. Pengangguran Friksional./Frictional Unemployment.

Pengangguran jenis ini adalah pengangguran yang muncul karena pencari

kerja masih mencari pekerjaan yang sesuai, jadi ia menganggur bukan karena

tidak ada pekerjaan. Pengangguran ini tidak menimbulkan masalah dan bisa

diselesaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran jenis ini terjadi

karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pemberi kerja dengan

pelamar kerja. Kesulitan temporer ditimbulkan karena proses bertemunya pihak

pelamar dengan penyedia pekerjaan yang tentunya perlu waktu untuk sesuai

dengan target kerja. Pihak penyedia pekerjaan berharap kualitas kerja yang

diperoleh dan sebaliknya pihak pencari kerja perlu waktu untuk dapat

memutuskan pilihannya. Pengangguran friksional juga diakibatkan adanya jarak

dan kurangnya informasi. Pelamar pekerjaan tidak mengetahui adanya lowongan

kerja dan pihak penyedia kerja kesulitan untuk mencari pekerja sesuai dengan

syarat yang diharapkan.

2. Pengangguran Struktural/Structural Unemployment

Pengangguran struktural adalah pengangguran yang muncul karena

perubahan struktur dan komposisi perekonomian. Pengangguran struktural

adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak

mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja.

19
Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan

akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari

sebelumnya. Misalnya peralihan dari sektor pertanian ke sektor industri.

Peralihan ini perlu adanya penyesuaian yang tentunya perlu mendapat

pendidikan sesuai strukturalnya.

Pengangguran struktural juga bisa diakibatkan karena penggunaan alat

ayang semakin canggih. Pekerjaan yang senula dilakukan banyak ternaga kerja,

karena adanya peralataan yang canggih maka tentu saka hanya memerlukan

beberapa tenaga kerja. Pengangguran ini sulit diatasi karena terkait dengan

strategi pembangunan sebuah negara. Meskipun demikian, pengangguran jenis

ini bisa diatasi dengan melakukan pelatihan agar tercipta tenaga kerja yangt

terampil.

3. Pengangguran Musimam/Seasonal Unemployment

Pengangguran ini terjadi karena faktor musim, misalnya para pekerja di industri

yang mengandalkan hidupnya dari pesanan. Pegangguran jenis ini juga tidak

menimbulkan banyak masalah. Meskipun belum ada bukti empirik yang

mendukung, pengangguran yang muncul karena keterpurukan industri sebagian

besar adalah pengangguran friksional dan struktural. Pengangguran friksional

yang muncul di Indonesia tidak karena menganggur secara ”sukarela” melainkan

karena kondisi krisis ekonomi.

4. Pengangguran Siklikal

Pengangguran yang dihubungkan dengan turunnya kegaitan perekonomian suatu

negara atau keadaan sebuah negara mengalami resesi. Kegiatan perekonomian

mengalami kemunduran, daya beli masyarakat menurun.

20
5. Pengangguran menurut lama waktu kerja

a). Pengangguran terbuka (open unemployment)

Pengangguran terjadi dimana situasi seseorang sama sekali tidak bekerja dan

berusaha mencari pekerjaan. Pengangguran terbuka disebabkan orang sulit

memperoleh pekerjaan karena lapangan kerja yang tersedia jumlahnya

terbatas sehingga orang betul-betul menganggur dan tidak bekerja sama

sekali.

b).Setengah menganggur (under unemployment)

Pengangguran terjadi karena situasi dimana orang bekerja tapi tenaganya

kurang termanfaatkan bila diukur dari jumlah jam kerja, produktivitas kerja

dan pendapatan yang diperoleh. Seorang pekerja lepas (freelance) tidak ada

kepastian waktu dalam mengerjakan pekerjaan.

c). Pengangguran terselubung (disguised unemploymenti0

Pengangguran terselubung terjadi karena tenaga kerja tidak bekerja secara

optimal.

2.3.4 Implikasi Pengangguran

Tujuan akhir dari pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah

meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan

dalam keadaan terus meningkat. Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif

tinggi, hal ini akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang

telah direncakan. Hal ini karena pengangguran berdampak negatif terhadap

kegiatan perekonomian, dan kestabilan politik seperti:

1. Pengangguran dapat menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan

tingkat kemakmuran yang dapat dicapainya. Hal ini karena pengangguran bisa

21
menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat lebih

rendah daripada pendapatn potensial (pendapatan yang seharusnya). Sehingga,

kemakmuran yang dicapai masyarakat pun lebih rendah. Pengangguran secara

tidak langsung berkaitan dengan pendapatan nasional. Tingginya jumlah

pengangguran akan menyebabkan turunnya produk domestik bruto (PDB),

sehingga pendapatan nasional pun akan mengalami penurunan. Karenanya

mengurangi pendapatan nasional dan pendapatan per kapita disebabkan tidak

berfungsinya salah satu faktor produksi yaitu tenaga kerja sehingga output yang

dihasilkan rendah.

2. Pengangguran menyebabkan pendapatan negara yang berasal dari sektor pajak

khususnya pajak penghasilan akan berkurang. Hal ini terjadi karena

pengangguran yang tinggi menyebabkan kegagalan perekonomian menurun

sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak

yang harus dibayar masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak

menurun, dana untuk kegiatan perekonomian pemerintah akan berkurang

sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.

3. Pengangguran tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan

pengangguran menyebabkan daya beli masyarakat berkurang sehingga

permintaan terhadap barang hasil produksi berkurang. Keadaan demikian tidak

merangsang kalangan investor untuk melakukan perluasan atau pendirian

industri baru. Dengan demikian, tingkat investasi turun sehingga pertumbuhan

ekonomi pun tidak meningkat.

4. Pengangguran menambah beban pengeluaran negara. Bagaimanapun juga setiap

manusia memerlukan kebutuhan untuk bertahan hidup seperti makan. Namun,

22
jika manusia tersebut tidak bekerja dan tidak memiliki pendapatan, mereka tak

kan mampu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Dan untuk memenuhi

kenutuhan mereka tersebut, peemrintah menyalurkan beras untuk orang miskin

(Raskin), bantuan tunai langsung (BLT) yang tentunya menambah anggaran

negara dan mengurangi pendapatan negara.

5. Pengangguran akan menimbulkan ketidakstabilan politik. Pengangguran yang

tinggi juga akan menyebabkan ketidakpuasan rakyat sehingga menimbulkan

demontrasi, bahkan huru hara sehingga keadaan politik menjadi tidak stabil.

6. Upah yang rendah. Hal ini berdampak pada sisi permintaan dan penawaran. Dari

sisi permintaan, upah yang rendah mengakibatkan permintaan masyarakat

terhadap barang atau jasa juga rendah. Dari sisi penawaran, upah yang rendah

mengakibatkan jumlah pendapatan yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat juga

rendah atau bahkan tidak menabung sama sekali.

7. Investasi dan pembentukkan modal rendah

8. Dampak sosial pengangguran yang berpengaruh terhadap pelaksanaan

pembangunan nasional. Tingkat pengangguran yang tinggi menggambarkan

banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan. Namun, mereka tetap dituntut

memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarganya, sehingga mereka akan

melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Inilah yang memicu

terjadinya pencopetan, perampokan dan tindak kriminal lainnya.

2.4 Trade Off Jangka Pendek Anatar Inflasi dan Pengangguran

Hubungan anatara inflasi dan pengangguran mulai menarik perhatian para

ekonomi pada akhirtahun 1950-an. A.W. Phillips di dalam tulisannya dengan judul

“The Relationship Between Unemployment and The Rate Of Change of Money

23
Wage Rate in The United Kingdom” yang isinya memperkenalkan hubungan

negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi yang terjadi di Inggris. Pada jangka

pendek masyarakat menghadapi trade off antara inflasi dan pengangguran. Apabila

para pembuat kebijakan moneter dan fiskal meningkatkan permintaan agregat dan

menaikkan perekonomian sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek,

maka tingkat pengangguran akan turun untuk sementara waktu, namun hal ini akan

disertai dengan tingkat inflasi yang lebih tinggi. Apabila para pembuat kebijakan

mengurangi permintaan agregat dan menurunkan perekonomian sepanjang kurva

penawaran agregat jangka pendek, maka tingkat inflasi akan turun, namun hal ini

disertai dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi untuk sementara waktu.

Walaupun temuan Phillips didasarkan atas data negara Inggris, para peneliti

dengan cepat memperluas temuan Phillpis tersebut ke negara-negara lain.

Kenyataannya, di AS selama periode 1950-1982 menunjukkan bahwa kenaikan

tingkat inflasi diikuti oleh kenaikan tingkat pengangguran. Sehingga untuk kasus

negara Amerika selama kurun waktu penelitian, tidak terdapat trade off

sebagaimana yang dikemukanan Phillpis. Terjadinya perbedaan pergeseran kurva

Phillips tersebut dibabkan oleh dua faktor:

1. Demografi

Terjadi kenaikan tingkat pertumbuhan penduduk AS, khususnya kaum wanita

dan anak-anak yang selanjutnya meningkatkan angka pertumbuhan angkatan

kerja. Angkatan kerja wanita dan anak-anak yang sebagian memperparah jumlah

pengangguran, karena bidang industri lebih mengutamakan tenaga kerja dewasa

dan pria.

24
2. Keseimbangan

Dalam kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja, secara alamiah selalu terdapat

penganggguran yang oleh Milton Friedman disebut Natural Rate of

Unemployment. Dalam kurva Phillips, pengangguran alamiah tersebut

dibuktikan dengan adanya titik potong antara kurva Phillips dan sumbu

horizontal.

2.5 Kemiskinan Suatu Konsep Teoritis

Definisi mengenai kemiskinan sangat beragam, mulai dari ketidakmampuan

dalam memenuhi kebutuhan dasar hingga definisi kemiskinan dengan

mempertimbangkan komponen sosial dan moral. Mengutip beberapa definisi

kemiskinan, Sar. A. Levitan, mendifinisikan kemiskinan adalah kekurangan

barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu

standar hidup layak. Karena standar hidup itu berbeda, maka tidak ada definisi

kemiskinan yang diterima secara universal. Menurut Bradley R. Fthiller,

kemiskinan adalah ketiksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan

pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Dan Emil

Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Selanjutnya di dalam membahas kemiskinan, untuk Asia Selatan dan Asia

Tenggara termasuk di Indonesia, Ajit Ghose dan Keith Griffin, mengatakan bahwa

kemiskinan di negara-negara ini berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah

pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak

ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh layanan kesehatan dasar dan

lain-lain. Di sisi lain, John friedman, kemiskinan didefinisikan sebagai

25
ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis

kekuasaan soaial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau assets

(misalnyatanah, perumahan, peralatan kesehatan dan lain-lain); sumber-sumber

keuangan (income dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang

dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama partai politik, koperasi dan

lain-lain); network atau jaringan sosial untuk meperoleh pekerjaan, barang –barang

dan lain-lain; pengetahuan dan keterampilan yang memadai; informasi yang

berguna untuk memajukan kehidupan.

Wolf Scot, menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut:

1. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan sebagai kekurangan pendapatan

dalam bentuk ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang

diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan diberi pengertian meliputi

kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, kondisi kesehatan yang buruk,

kekurangan transportasi yang diburuhkan masyarakat.

2. Kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki

aset-aset seperti tanah, rumah, perlatan uang, emas kredit dan lain-lain.

3. Kemiskinan nonmaterial meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk

memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang

layak.

Kemiskinan bersifat multidimensional karena kemiskinan memiliki banyak

aspek. Aspek-Aspek kemiskinan saling berhubungan satu sama lainnya, baik secara

langsung masupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kemunduran atau

kemajuan pada salah satu aspek kemiskinan dapat mempengaruhi kemajuan atau

kemunduran pada aspek-aspek kemiskinan yang lainnya. Oleh Lucas Hendratta,

26
hubungan aspek-aspek kemiskinan disebut dengan istilah the poverty spiral (spiral

kemiskinan). Sifat saling berhubungan dinatara aspek-aspek kemiskinan meliputi:

pengetahuan rendah, pendidikan dan informasi rendah, kinerja rendah, pendapatan

rendah, daya beli rendah, produksi rendah, modal kecil, tabungan rendah, kesehatan

rendah, gizi rendah dan masih banyak lainnya yang semuanya saling mempengaruhi

baik positif maupun negatif.

Sementara konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi keburuhan dasar makanan

dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Karena objek kemiskinan

adalah manusia sebagai makhluk sosial maka yang dikatakan penduduk miskin

adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapira per bulan di

bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan menurut ukuran BPS terdiri dari dua

komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan

Nonmakanan (GKNM), sehingga jika hal itu diformulasikan maka:

GK = GKM + GKNM

27
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 2014-2018

Untuk melihat pengaruh inflasi dan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia,

penulis mendeskripsikan berdasarkan perbandingan data perkembangan inflasi dan

kemiskinan pada tahun 2014-2018. Dari data yang diperoleh pada tahun 2014-2018,

tingkat inflasi di Kawasan Timur Indonesia berada di level rendah karena rata-rata

tingkat inflasinya berada di bawah 10% dengan perkembangan yang fluktuatif yaitu

tahun 2014 sebesar 5,43%; tahun 2015 turun menjadi sebesar 3,37%; tahun 2016

turun lagi hingga tingkat inflasi hanya sebesar 1,89%, tahun 2017 sedikit naik

menjadi sebesar 2,11% dan pada tahun 2018 tingkat inflasi masih berada di level

2% yaitu sebesar 2,50%. Rendahnya tingkat inflasi di Kawasan Timur Indonesia

didukung oleh ketersediaan bahan pangan yang tetap memadai serta terjaganya

faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi inflasi, seperti pergerakan nilai

tukar maupun harga komoditas internasional yang dinilai masih wajar, sehingga

ekspektasi konsumen tidak meningkat secara signifikan. Selain itu koordinasi

pengendalian inflasi di provinsi Sulampua (Sulawesi, Maluku dan Papua) terus

menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini dibuktikan dengan telah

terbentuknya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di hampir semua kota.

Disamping penguatan kelembagaan, TIPD se-Sulampua juga melaksanakan

berbagai program pengendalian harga lainnya.

Namun inflasi yang rendah ini tidak berdampak pada perbaikan kondisi

kemiskinan, terlihat dari data tingkat kemiskinan yang didapat penulis melalui

28
publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014-2018 sebagaimana terlihat pada

tabel 3.1, hampir seluruh provinsi di Kawasan Timur Indonesia tingkat

kemiskinannya cukup tinggi, bahkan Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur

tingkat kemiskinannya paling tinggi mencapai lebih dari 20% tiap tahunnya. Diikuti

oleh provinsi Maluku, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat sekitar 18%, kemudian

provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat sekitar 13%,

provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Utara tingkat kemiskinannya di

bawah 10% dan hanya provinsi Bali yang tingkat kemiskinannya di bawah 5%.

Tabel 3.1

Perkembangan Laju Inflasi dan Tingkat Kemiskinan Kawasa Timur Indonesia

Tahun 2014-2018

Tingkat Inflasi
Provinsi Kawasan Timur Indonesia
2014 2015 2016 2017 2018

Bali 8,03 2,70 2,94 3,31 3,40

Nusa Tenggara Barat 7,23 3,41 2,61 3,7 3,16

Nusa Tenggara Timur 7,76 4,92 2,48 2,00 3,07

Sulawesi Utara 9,67 5,56 0,35 2,44 3,83

Gorontalo 6,14 4,30 1,30 4,43 2,27

Sulawesi Tengah 3,48 0,47 2,38 1,97 1,52

Sulawesi Barat 4,11 5,07 5,41 3,79 1,80

Sulawesi Selatan 8,51 5,18 0,29 1,09 0,99

Sulawesi Tenggara 7,40 1,64 3,07 4,11 4,73

Maluku Utara 1,34 4,52 0,33 0,39 4,12

Maluku 6,81 5,92 3,28 0,05 3,53

29
Papua Barat 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04

Papua 0,06 0,04 0,05 0,05 0,05

Rata-Rata Tingkat Inflasi 5,43 3,37 1,89 2,11 2,50

Tingkat Kemiskinan
Provinsi Kawasan Timur Indonesia
2014 2015 2016 2017 2018

Bali 4,65 5,00 4,2 4,20 3,96

Nusa Tenggara Barat 17,15 16,82 16,25 15,56 14,69

Nusa Tenggara Timur 19,71 22,6 22,10 21,62 21,19

Sulawesi Utara 8,51 8,80 8,27 8,00 7,70

Gorontalo 17,43 18,24 17,68 17,40 16.32

Sulawesi Tengah 13,77 14,37 14,27 14,18 13,85

Sulawesi Barat 12,16 12,15 11,47 11,24 11,24

Sulawesi Selatan 9,91 9,76 9,32 9,43 8,97

Sulawesi Tenggara 13,42 13,32 12,83 12,39 11,48

Maluku Utara 7,36 6,35 6,37 6,40 6,63

Maluku 18,79 19,44 19,52 18,37 17,96

Papua Barat 26,70 25,78 25,16 24,11 22,84

Papua 28,93 28,29 28,47 27,69 27,56

Rata-rata Tingkat Kemiskinan 15,27 15,46 15,07 14,66 12,98

Sumber: Publikasi Badan Pusat Statistik

Dari hasil data tersebut ternyata inflasi yang rendah untuk Kawasan Timur

Indonesia tidak memberikan sesuatu yang berarti bagi perbaikan tingkat

kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Selain karena sebagian besar

30
penduduknya adalah pekerja tradisonal yang masih memegang teguh adat,

terpinggirkan dari proses perkembangan ekonomi dan tidak sepenuhnya

menjangkau program-program pembangunan yang diselenggarakan oleh

pemerintah. Faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di

Kawasan Timur Indonesia terutama di provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara

Timur dan Maluku, yaitu akses yang cukup sulit menuju wilayah tersebut menjadi

penyebab tingginya tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa percepatan

pembangunan infratsruktur di wilayah tersebut harus segera dilakukan disamping

penyaluran bantuan sosial harus dipastikan tepat sasaran.

3.2 Pengaruh Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kawasan

Timur Indonesia Tahun 2014-2018.

Bedasarkan hasil data yang diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik tahun

2014-2018 sebagaimana ditampilkan dalam tabel 3.2, rata-rata tingkat

pengangguran terbuka (TPT) di Kawasan Timur Indonesia cukup rendah dengan

angka fluktuatif sekitar 4%. Tahun 2014 tingkat pengangguran di Kawasan Timur

Indonesia sebesar 4,36%, naik menjadi 4,94% di tahun 2015, tahun 2016 turun di

angka 4,21%, sedikit meningkat di tahun 2017 yaitu mencapai 4,47% dan turun

kembali di tahun 2018 menjadi sebesar 4,12%. Hanya tiga provinsi yang

persentasenya di atas 5%, yaitu Sulawesi Utara, Maluku dan Papua Barat. Masalah

pengangguran di Sulawesi Utara, Maluku dan Papua Barat, selain karena masalah

minimnya lapangan pekerjaan, masalah pengangguran erat kaitannya dengan

komitmen pemerintah membuka lapngan pekerjaan yang luas, peningkatan kualitas

tenaga kerja yang profesional serta kemudahan menyediakan kemudahan pekerjaan

di sektor riil.

31
Tabel 3.2

Perkembangan Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Kawasan Timur

Indonesia

Tahun 2014-2018

Tingkat Pengangguran Terbuka

Provinsi Kawasan Timur Indonesia (TPT)

2014 2015 2016 2017 2018

Bali 1,64 1,68 2,01 1,38 1,12

Nusa Tenggara Barat 5,53 5,34 3,80 3,59 3,55

Nusa Tenggara Timur 2,62 3,48 3,42 3,24 3,00

Sulawesi Utara 7,41 8,86 7,00 6,65 6,48

Gorontalo 3,31 3,86 3,32 3,97 3,83

Sulawesi Tengah 3,80 3,55 3,38 3,39 3,31

Sulawesi Barat 1,84 2,58 3,03 3,10 2,81

Sulawesi Selatan 5,44 5,87 4,96 5,19 5,37

Sulawesi Tenggara 3,28 4,59 3,25 3,22 3,01

Maluku Utara 5,47 5,81 3,72 5,08 4,71

Maluku 8,55 8,33 7,02 8,53 7,33

Papua Barat 4,36 6,35 6,60 7,01 5,99

Papua 3,46 3,86 3,16 3,79 3,01

Rata-Rata Tingkat Pengangguran 4,36 4,94 4,21 4,47 4,12

Provinsi Kawasan Timur Indonesia Tingkat Kemiskinan

32
2014 2015 2016 2017 2018

Bali 4,65 5,00 4,2 4,20 3,96

Nusa Tenggara Barat 17,15 16,82 16,25 15,56 14,69

Nusa Tenggara Timur 19,71 22,6 22,10 21,62 21,19

Sulawesi Utara 8,51 8,80 8,27 8,00 7,70

Gorontalo 17,43 18,24 17,68 17,40 16.32

Sulawesi Tengah 13,77 14,37 14,27 14,18 13,85

Sulawesi Barat 12,16 12,15 11,47 11,24 11,24

Sulawesi Selatan 9,91 9,76 9,32 9,43 8,97

Sulawesi Tenggara 13,42 13,32 12,83 12,39 11,48

Maluku Utara 7,36 6,35 6,37 6,40 6,63

Maluku 18,79 19,44 19,52 18,37 17,96

Papua Barat 26,70 25,78 25,16 24,11 22,84

Papua 28,93 28,29 28,47 27,69 27,56

Rata-rata Tingkat Kemiskinan 15,27 15,46 15,07 14,66 12,98

Sumber: Publikasi Badan Pusat Statistik

Fakta ini menjadi menarik karena secara keseluruhan rata-rata tingkat

pengangguran di Kawasan Timur Indonesia tergolong rendah, namun pengaruhnya

terhadap tingkat kemiskinan belum berpengaruh signifikan, mengingat rata-rata

tingkat kemiskinannya masih tergolong tinggi. Sangat kontras lagi jika melihat

potensi kekayaan alam Kawasan Timur Indonesia yang berlimpah. Wilayah ini

dianugerahi berbagai jenis tambang seperti nikel, emas, tembaga, gas alam dan

sebagainya. Sebagai wilayah yang subur dan memiliki banyak pulau, Kawasan

Timur Indonesia juga memiliki potensi besar di sektor pertanian, perkebunan,

33
kelautan dan perikanan. Keindahan alam dan kebudayaan eksotik yang tersebar di

berbagai pelosok Kawasan Timur Indonesia juga menyimpan potensi pariwisata,

tetapi semuanya ini belum bisa mengangkat tingkat kemiskinan Kawasan Timur

Indonesia ke level yang lebih rendah di banding Kawasan Indoensia lainnya.

Jika menyebut 10 provinsi miskin di Indonesia, maka berdasarkan data hampir

semuanya berada di Kawasan Timur Indonesia. Posisi ini hampir tidak mengalami

perubahan diametral setiap tahunnya. Secara relatif, provinsi-provinsi tersebut

semakin tertinggal akibat provinsi-provinsi lainnya bergerak lebih akseleratif.

Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama

dengan Jejaring Perguruan Tinggi Kawasan Timur Indonesia, ketertinggalan

Kawasan Timur Indonesia dikontribusi oleh banyak faktor, diantaranya:

terbatasnya infrastruktur dasar yang kemudian menghambat arus investasi:

rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat buruknya aksesibilitas terhadap

layanan pendidikan dan kesehatan, buruknya konektivitas wilayah, kurangnya

pelayanan dasar untuk pemenuhan hak-hak dasar yang berimbas terhadap

rendahnya kualitas hidup.

Selain itu, kebijakan dan politik anggaran pemerintah yang masih lebih bias ke

Kawasan Barat Indonesia, juga dianggap sebagai faktor kunci yang menghambat

kemajuan Kawasan Timur Indonesia. Institusi lokal dengan kapasitas rendah dan

tidak akuntabel junga menyumbang bagi ketertinggalan Kawasan Timur Indonesia.

Faktor kultural (seperti sikap hidup, budaya dan lingkungan), meskipun masih bisa

diperdebatkan, juga dianggap sebagai elemen dasar yang berkontribusi terhadap

keterbelakangan Kawasan Timur Indonesia.

34
3.3 Implikasi Kebijakan

Salah satu kelemahan sendi perekonomian bangsa terlihat dari belum

terselesaikannya persoalan dari kesenjangan antar wilayah dan kesenjangan sosial.

Negara dipandang belum mampu mengelola kandungan kekayaan yang sangat

besar untuk memperkecil ketimpangan antar wilayah dan ketidakmerataan

pendapatan nasional. Arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional

difokuskan untuk mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah. Oleh

karena itu diperlukan arah pengembangan wilayah yang dapat mendorong

transformasi dan akselerasi pembanguna Kawasan Timur Indonesia yaitu Sulawesi,

Maluku, Nusa Tenggara dan Papua dengan tetap menjaga momentun pertumbuhan

di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.

Kerangka pengambangan wilayah untuk mempercepat dan memperluas

pemabngunan wilayah tersebut anatara sebagai berikut:

1. Mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak uatama

pertumbuhan (engine of growth)

2. Keterkaitan pusat pertumbuhan wilayah dan daerah sekitarnya, perlu difasilitasi

dengan infrastruktur wilayah yang terintegrasi dan terhubung dengan baik dan

terpadu khususnya infrastruktur jalan dan perhubungan.

3. Menjaga kestabilan harga di pasaran supaya terjangkau teutama masyakat

menengah ke bawah

4. Peningkatan kemampuan sumber daya manusai (SDM) dan iptek untuk

mendukung pengembangan tenaga kerja yang kompeten dan mampu bersaing.

5. Pemerintah secara berkelanjutan berupaya mencipatakan dan meningkatkan

iklim usaha dan iklim investasi yang kondusif.

35
Jika diamati, kesadaran untuk membangun Kawasan Timur Indonesia

sesungguhnya sudah dilakukan oleh pemerintah kita. Berbagai peraturan, risalah

kebijakan dan berbagai dokumen perencanaan pemabngunan menunjukkan adanya

komitmen untuk membangun Kawasan Timur Indonesia ke arah yang

diharapkan.Sekitar enam belas tahun lalu misalnya, pemerintah menerbitken

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan

Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Selain itu,

pemerintah juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 tentang

Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Apa yang telah dihasilkan oleh

kedua peraturan tersebut tampaknya masih kabur dan tidak terlalu jelas bagi publik.

36
BAB IV

KESIMPULAN

Dari hasil penulisan deskriptif terkait pengaruh inflasi dan pengangguran

tehadap tingkat kemiskinana di Kawasan Timur Indonesia tahun 2014-2018,

penulis menyimpukan antara lain:

1. Rata-rata inflasi di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2014-2018 tergolong

rendah.

2. Rata-rata tingkat pengangguran terbuka di Kawasan Timur Indonesia pada tahun

2014-2018 tergolong rendah.

3. Rendahnya tingkat inflasi dan pengangguran di Kawasan Timur Indonesia pada

tahun 2014-2018, belum memberikan pengaruh positif terhadap tingkat

kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia, mengingat dari perbandingan data

yang diperoleh, Kawasan Timur Indonesia masih memiliki tingkat kemiskinan

yang cukup tinggi.

4. Perlu adanya kajian mendalamn utuk memahami permasalahan dan kebijakan

yang lebih komprehensif terkait dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan

tiingginya tingkat kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia selain dilihat dari

indikator ekonomi makro: inflasi dan pengangguran.

37
DAFTAR PUSTAKA

Latumaerissa, Julius, 2015, Perekonomian Indonesia Dan Dinamika Ekonomi

Global, Jakarta: Mitra Wacana Media.

Mankiw, Gregory, 2012, Principle Of Economics: Pengantar Ekonomi Makro,

Jakarta: Salemba Empat.

Nafi’an, 2014, Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Sagir, Soeharsono, 2011. Ekonomi Berpihak Kepada Rakyat: Pro Poor, Pro Job,

Pro Growth, Bandung: Puslit KPK LPPM Unpad

Sukirno, Sadono, 2013, Makroekonomi: Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Tambunan, Tulus., 2012, Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis

Empiris, Bogor: Ghalia Indonesia

vi

Anda mungkin juga menyukai