Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEBIJAKAN MONETER TAHUN 1997-2003

Dosen Pengampu: Rizki Febri Eka Pandini, M.pd

Disusun oleh:

Moh Syaiful Rizal 2142400024

Jauhari efendi 2142400002

Abdul Qodir 2142400080

PROGAM STUDI EKONOMI

FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON PROBOLINGGO

2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirot Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya. Dengan makalah ini yang berjudul “Kebijakan Moneter
tahun 1997- 2003”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna , oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kami. Aminn

Paiton 26,Mei, 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..4

1.1 Latar belakang…………………………………………………………………..4

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………5

1.3 Tujuan…………………………………………………………………………...5

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...6

2.1 Kebijakan Moneter Tahun 1997-2003………………………………………….6

2.1.1 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 1997-1999………………………..6

2.1.2 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 2000-2001………………………..12

2.1.3 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 2002-2003……………………….13

BAB III PENUTUP………………………………………………………………….16

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam
bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan
perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang
diinginkan tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh
stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil
(pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/ kesempatan kerja yang tersedia.
Kebijakan moneter pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan
ekonomi, sifat perekonomian suatu negara tertutup atau terbuka, serta faktor-faktor
fundamental ekonomi lainnya. Dengan karakteristik negara Indonesia sebagai perekonomian
terbuka, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh aktivitas ekonomi global.
Kebijakan moneter adalah satu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) demi
tercapainya tujuan ekonomi makro. Stabilisasi ekonomi dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai
untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil .
Amrini, et al (2013) menyatakan bahwa Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang
selalu menarik dibahas terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap
perekonomian Indonesia. Inflasi adalah kenaikan terus menerus dalam rata-rata tingkat

4
harga. Inflasi bisa berdampak positif atau negatif terhadap perekonomian tergantung parah
atau tidaknya inflasi. Inflasi cenderung terjadi pada negara-negara berkembang seperti
halnya Indonesia dengan struktur perekonomian bercorak agraris. Kegagalan atau guncangan
dalam negeri akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik dan berakhir dengan
inflasi pada perekonomian.
Perekonomian Indonesia juga berpengaruh terhadap inflasi dan sebaliknya. Menurut
Mankiw (2003) dalam analisis makro, produk domestik bruto dianggap sebagai ukuran
terbaik dari kinerja perekonomian. Pada masa perekonomian yang berkembang pesat,
kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya
menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan
jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini akan menimbulkan inflasi. Sebaliknya, inflasi yang
tinggi juga berpengaruh buruk terhadap kinerja perekonomian di Indonesia.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana perekonomian indonesia pada tahun 1997-2003 ?
2. Bagaimana kebijakan moneter pada tahun 1997-2003 ?
3. Bagaimana iplementasinya pada tahun 1997-2003 ?

1.3 Tujuan
Agar supaya kita dapat mengetahui tentang bagaimana kebijakan moneter, apa yang terjadi
pada ekonomi masyarakat kita dan bagaimana implementasinya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KEBIJAKAN MONETER TAHUN 1999-2003

2.1.1 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 1997-1999

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi
ekonomidan politik nasional yang berawal dari melemahnya mata uang thailand (bath), BI
sebagai bank sentral harus membantu kestabilan perekonomian di Indonesia. Belum lagi nilai
rupiah yang makin merosot tajam dari Rp 2.665 (Agustus 1997) menjadi Rp15.000 (Juli
1998). Sebelumnya Indonesia pernah mengalami keberhasilan perekonomian di zaman awal
era kepemimpinanya Soeharto (tahun 1970 s/d 1990) beliau mampu memilih para pembantu
yang handal, mendengarkan pandangan para tehnokrat dan intelektual serta pengambilan
keputusan yang selalu tepat. Beliau memegang kendali Negara dengan baik dan memberi
bimbingan kepada para pembantunya. Sayangnya sejak tahun 1990 an beliau mulai di
pengaruhi “kelompok dekat kekuasaan” untuk memperoleh perlakuan istimewa di berbagai
bidang. Faktor non ekonomi mulai mempengaruhi secara signifikan pada ekonomi. Para
pembantunya tidak lagi mampu berbuat dengan baik. Sebagian, terutama yang di angkat
berkat “kelompok dekat kekuasaan” justru ikut larut dalam budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme. Belum lagi hutang luar negeri Indonesia yang meningkat tajam. Banyak
masyarakat dan mahasiswa yang mengelar demo besar besaran untuk menuntut agar presiden
Soeharto turun (1998), hal tersebut mengakibatkan inflasi yang amat parah dari semula
Rp2.400 menjadi Rp15.000.

Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat
hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus
membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk

6
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam,
pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang
sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta
pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga
pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan
bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan
kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi penarikan dana
perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada
seluruh sistem perbankan. Akibatnya sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan
ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF
untu kmembantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI
pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan
akan menjaminpembayaran kembali kepada para deposan.

Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar
tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan
tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya
sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah
mempercepat program stabilisasi danreformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti
dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7
bank dan penempatan nya pada BPPN sertapenyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah
sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni1998 yang mencakup revisi atas
target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial(JPS).

Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan


pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian
Utang Luar NegeriSwasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4
Juni 1998 tentangpenyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa,
pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi
debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada
9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi

7
perusahaan agar dapat mendaptkan modalbaru guna menggerakkan kembali usahanya.
Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi
perbankan.

a. arah kebijakan 1997-1999

Globalisasi pasar dunia yang semakin meluas membawa konsekuensi liberalisasi


pasar internasional. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya mengendalikan moneter
terhadaptekanan perekonomian dunia. Dalam kondisi seperti ini, proses pembentukan harga
(nilaitukar mata uang, suku bunga, indeks saham, harga komoditi dlsb) ikut ditentukan oleh
perekonomian negara-negara lain. Krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin,
EropaTimur dan Asia termasuk Indonesia tidak terlepas dari proses globalisasi pasar
dimaksud.

Dengan krisis nilai tukar Rupiah terhadap Valas, terutama USD yang terjadi
sejakpertengahan 1997, mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah,
kemudian terhadap perbankan, dan berlanjut terhadap Pemerintah atas penanganan krisis
dimaksud.Kebijakan-kebijakan moneter dalam periode ini diarahkan untuk menahan
spekulasi valutaasing sekaligus mengamankan cadangan devisa.

b. Langkah-Langkah Strategis 1997-1999

Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah, kebijakan-kebijakan moneter yang


ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain pelebaran band intervensi, pembatasan
transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan system nilai tukar dan pengetatan likuiditas
perbankan. Berbagai langkah tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah
karena krisis dimaksud dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter
menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik sehingga menjadi krisis
multidimensi. Kala itu depresiasi rupiah tetap berlangsung hingga pernah mencapai 600%
dalamkurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari RP. 2.350,- menjadi Rp. 16.000,- per 1
USD.Sementara itu, suku bunga antar bank sempat mencapai 60% per tahun. Akibat
lainnyadistribusi barang sempat mengalami kemandegan menunggu kestabilan harga dan
keamanan,terutama karena terjadi demonstrasi dan pengerusakkan pusat-pusat perdagangan

8
oleh massadi berbagai kota. Hingga akhir periode ini, pertumbuhan ekonomi menurun
13,7%, harga barang-barang melonjak, perusahaan-perusahaan gulung tikar, pengangguran
meningkat danberberapa fasilitas umum serta pusat perdagangan rusak berat.

c. Kebijakan Devisa di Indonesia 1997-1999

Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan PP
No.1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999
tentangLalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap penduduk bebas


memilikidan menggunakan devisa, namun wajib memberikan keterangan dan data mengenai
kegiatanlalu lintas devisa yang dilakukannya.

Atas dasar pengaturan tersebut maka Bank Indonesia mewajibkan bank-bank untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi devisa maupun dalam
pengelolaannya. Sementara itu, pemilikan dan penggunaan devisa oleh masyarakat umum
belum diatur system pelaporannya. Berbagai kebijakan pada periode sebelumnya,
khususnyadalam rangka pengembangan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun pinjaman
luar negeri,telah meningkatkan cadangan devisa di awal tahun 1997, apalagi investor asing
semakintertarik menanamkan dana di Indonesia.

Akan tetapi krisis nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, terutama dollar Amerika
sejak Juli 1997, telah mengakibatkan pembelian devisa oleh sektor swasta meningkat
tajamsehingga cadangan devisa Indonesia nyaris deficit, padahal jumlah pinjaman luar negeri
saatitu cukup besar. Di pihak lain, terdepresiasinya Rupiah yang sangat dalam telah
memperlemah daya beli devisa untuk pembayaran utang luar negeri. Kondisi ini salah satu
risikonya adalah bahwa letter of credit (1/c) yang diterbitkan oleh bank-bank nasional tidak
diterima di luar negeri. Risiko selanjutnya, pasokan barang-barang impor terpenting
sepertiobat-obatan dan makanan bayi menjadi langka. Untuk mengatasi hal ini maka Bank
Indonesia memberikan jaminan tunai atas 1/c-1/c dimaksud.

Namun demikian pinjaman luar negeri tersebut bersifat selektif, yaitu harus
memenuhi kriteria-kriteria :

9
1)Tidak dikaitkan dengan ikatan politik

2)Selalu mengutamakan pinjaman dengan persyaratan ringan

3)penggunaannya disesuaikan dengan rencana pembangunan

4) Senantiasa disesuaikan dengan kemampuan membayar kembali.

d. Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1997-1999

Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap
valutaasing, terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi
sehinggamenimbulkan kepanikan pasar. Berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia
tidakberhasil menghentikan laju penurunan nilai tukar tersebut, baik dalam bentuk pelebaran
bandintervensi, pengetatan likuiditas perbankan maupun moral suasi kepada para pelaku
pasar.

Untuk menyelamatkan cadangan devisa maka pada tanggal 14 Agustus 1997


bandintervensi dilepas dan selanjutnya Indonesia menerapkan kebijakan nilai tukar
mengambanghingga sekarang. Sistem ini kemudian dikukuhkan dengan Undang- undang
No.23 dan 24 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa sistem nilai
tukar di Indonesiaditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi dari Bank
Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas, tidak saja
terhadap kegiatan bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan ekonomi riil.

e. Kebijakan hutang luar Negeri 1997-1999

Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban


pembayaran hutang luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
sebagian hutang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka
pendekuntuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri yang dipergunakan
untukpembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Di samping itu, melemahnya nilai tukar
juga menurunkan kepercayaan kreditur terhadap kemampuan debitur untuk membayar
kembalihutang-hutangnya. Akibatnya, sektor swasta mengalami kesulitan mendapatkan roll
over bagiutang yang jatuh tempo dan mengakibatkan krisis hutang swasta.

10
Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri swasta, tim
penyelesaian hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah melakukan
serangkaian perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank
SteeringCommittee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 mencapai
kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman perusahaan swasta dan
pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan melalui program
pertukaran hutangantarbank (exchange offer). Pada tahap pertama pinjaman yang
dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai dengan 31 Maret 1999 yang
dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan maksimum jatuh waktu 4 tahun. Jumlah
pinjaman bank nasionalkepada kreditur luar negeri yang sudah dipertukarkan mencapai
USD3 miliar dengan melibatkan 41 bank peserta. Dari jumlah tersebut, yang dijadwalkan
kembali dengan jatuhwaktu 1 tahun sebesar 13,3%, 2 tahun 26,6%, 3 tahun 48,0%, dan 4
tahun 12,1%.

Berkaitan dengan penyelesaian hutang luar negeri jangka pendek perusahaan


swasta,Pemerintah membentuk INDRA yang berfungsi sebagai lembaga perantara antara
perusahaan debitur dan kreditur luar negeri. Dalam perkembangannya, INDRA melakukan
penyesuaian atas skim-skim kredit tersebut. Berkaitan dengan program INDRA, Pemerintah
membentuk Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang berfungsi sebagai fasilitator bagi
perusahaan-perusahaan yang menghadapi masalah dalam menyelesaikan pinjamannya
sehingga debitur dapat memilih untuk mengikuti program INDRA atau memilih cara lain,
seperti debt to equity swap dan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Dalam
pelaksanaannya sampai dengan akhir tahun 1998 satuan tugas tersebut telah menangani 122
kasus dengan nilai utang sebesar USD15,5 milyar.

Dalam hal hutang luar negeri sektor pemerintah, dilakukan upaya restrukturisasi
melalui penandatanganan MOU Paris Club pada 23 September 1998 dengan kreditur yang
diwakili oleh 17 negara donor. Perjanjian tersebut menandai adanya penjadwalan kembali
kewajiban pembayaran utang pokok yang jatuh tempo dalam masa konsolidasi, yakni
terhitung sejak awal Agustus 1998 hingga akhir Maret 2000. Berdasarkan MOU Paris
Club,pinjaman yang akan direstrukturisasi berjumlah USD4,2 milyar, terdiri dari pinjaman

11
lunak sebesar USD1,2 milyar dan fasilitas kredit ekspor sebesar USD3 milyar. Pinjaman
lunak dijadwalkan kembali atau dibiayai dengan pinjaman baru berjangka waktu 20 tahun,
termasuk masa tenggang 5 tahun dengan tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak.
Fasilitas kredit ekspor dibiayai kembali atau dijadwalkan dengan jangka waktu 11 tahun,
termasukmasa tenggang 3 tahun dengan tingkat bunga pasar.

2.1.2 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 2000-2001

Menyikapi Pasal 7 UU No. 23 tahun 1999, tampaknya Bank Indonesia telah


menempatkan inflasi sebagai anchor/landasan dalam kebijakan moneternya, menetapkan
suatu target inflasi sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Sebagaimana
telah kita ketahui, pada tahun 2000 Bank Indonesia telah menetapkan target inflasi, di luar
pengaruh kebijakan harga dan pendapatan pemerintah 3-5% dan untuk tahun 2001
berkisar antara 4-6%. Secara teoritis, menempatkan Inflasi sebagai anchor memberikan
manfaat diantaranya:

(i) mudah dipahami oleh masyarakat, karena masyarakat hanya akan melihat
ukuran keberhasilannya pada pencapaian laju inflasi;
(ii) dapat menciptakan ekspektasi yang rendah terhadap inflasi sehingga pada
akhirnya dapat menghasilkan tingkat inflasi aktual (actual inflation) sesuai yang
diinginkan;
(iii) dapat menghindari kemungkinan munculnya kebijakan-kebijakan yang dapat
menimbulkan deviasi terhadap pencapaian target inflasi (discretionary policy).

Sementara di sisi lain, terdapat dilema terutama antara pertimbangan kepentingan


pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan laju inflasi yang rendah. Dalam kondisi ekonomi
yang sedang krisis, maka pemerintah akan menerapkan kebijakan yang cenderung ekspansif
guna mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun dampak dari
kebijakan pemerintah yang ekspansif cenderung memberikan tekanan-tekanan terhadap
inflasi. Sementara, di sisi lain bank sentral melalui penetapan inflation targeting,
cenderung mengarahkan kebijakannya untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil.

12
2.1.3 Kebijakan Moneter Periode Ekonomi 2002-2003

Pada Tahun 2002 inflasi berada tidak jauh dari kisaran target inflasi sebesar 9-10%,
terjadinya penurunan inflasi dari dua tahun sebelumnya disebabkan menguatnya nilai rupiah.
Namun kebijakan harga dan pendapatan yang dilakukan pemerintah tetap mengakibatkan
terjadinya inflasi sehingga mengakibatkan inflasi aktual masih berada pada tingkat yang
tinggi.

Inflasi sejak awal tahun 2002 dipengaruhi oleh lemahnya kondisi perekonomian,
relatif menguatnya nilai tukar dan diekspektasikan menurunkan inflasi pedagang dan
konsumen. Menjelang Oktober 2002, inflasi yang terjadi disebabkan oleh kenaikan bahan
bakar minyak dan pengaturan tata niaga impor gula serta tersendatnya pasokan sayur sayuran.
Sisi penawaran dalam perekonomian masih lemah di samping lemahnya permintaan
domestik dan ekspor sehingga kondisi perekonomian Indonesia masih lemah.

Pergerakan nilai rupiah sudah melewati kisaran hasil reestimasi terakhir yaitu
Agustus 2002 sebesar Rp 8.600- Rp 9.000 per US$ untuk triwulan IV 2002 dan per Desember
2003 mencapai Rp 8.300,00. Pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah tersebut
disebabkan oleh faktor sentimen pa- sar, fundamental ekonomi nasional dan regional.
Sentimen pasar yang negatif itu terkait dengan meledaknya bom di Legian Kuta Bali pada
tanggal 12-10-2002. Peristiwa bom ter- sebut kemudian berimbas pada ditundanya sidang
tahunan CGI dan meningkatnya risiko negara atau country risk. Risiko negara berkaitan
dengan kekawatiran terhadap faktor kea- manan, sehingga kurang memberi iklim yang baik
bagi ke- giatan investasi, kegiatan ekspor dan impor, serta kegiatan pariwisata. Di samping
sentimen pasar yang negatif, terjadi juga sentimen pasar yang positif dengan adanya langkah
pe merintah dalam merehabilitasi ekonomi Bali, upaya Bank Indonesia dalam menjaga nilai
tukar, perkiraan meningkatnya inflow dolar dalam rangka pembelian aset Badan Penyehatan
Perbankan Nasional atau BPPN dan peningkatan penerimaan ekspor karena meningkatnya
harga minyak, sehingga dapat menahan merosotnya nilai tukar rupiah lebih jauh. Dari sisi
fundamental ekonomi, kondisi pasar valuta asing cenderung diwarnai dengan tingginya
permintaan dolar dari Badan Usaha Milik Negara, korporasi swasta dan offshore bulan

13
Oktober dan November 2002 yang belum diimbangi dengan penawar- an dolar yang cukup.
Dengan itu, akan ada kekawatiran terjadi boom pembelian dolar yang berlebihan oleh pelaku
do- mestik walaupun terjadi penjualan aset BPPN dan intervensi Bank Indonesia, yang
akhirnya mampu menahan turunnya nilai rupiah terhadap dolar. Dari sisi regional, turut
memberi pengaruh pada pergerakan nilai tukar rupiah. Memburuknya kondisi ekonomi
global, ancaman perang Amerika Serikat de- ngan Irak dan isu teorisme internasional telah
meningkatkan risiko dan ketidakpastian dalam berusaha, sehingga meningkatkan nilai mata
uang dolar sebagai save haven currency. Sentimen regional juga membawa dampak pada
melemah- nya nilai mata uang regional di kawasan Asia. Meningkatnya nilai mata uang dolar
akan tertahan dengan memburuknya ekonomi Amerika karena consumer confidence dan
durable goods order, sehingga pertumbuhan ekonomi Amerika akan melambat atau sluggish.
Akhirnya, pada akhir tahun 2002 nilai mata uang relatif kompetitif dan akhir tahun 2003 nilai
mata uang rupiah sangat tinggi.

Pada tahun 2003 inflasi aktual Indonesia sebesar 5% berada dibawah target yang
ditetapkan yaitu sebesar 8- 10%. Hal ini dikarenakan semakin menguatnya nilai rupiah dan
menurunnya tingkat inflasi akibat kebijakan harga dan pendapatan yang dilakukan
pemerintah.

Pada 2003 pemerintah memberhentikan kerja sama dengan IMF, tetapi IMF tetap
memberikan peranannya untuk tetap memberikan penilaian dan saran mengenai kebijakan
ekonomi . Pemerintah sudah tidak lagi menerima bantuan dana dari IMF beserta fasilitas
penjadwalan kembali hutang dari Paris Club. Dalam rangka mengakhiri program ekonomi
dengan IMF tersebut, pemerintah menyusun paket kebijakan ekonomi pasca IMF. Paket
kebijakan ekonomi pasca IMF ini dimaksudkan untuk segera :

• Mencapai stabilitas ekonomi, keamanan dan ketertiban.

• Menyehatkan sector keuangan.

14
Bilamana stabilitas ekonomi, keamanan dan ketertiban serta penyehatan sector keuangan
telah tercapai maka Indonesia dapat membangun kembali. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
akan mampu membuka peluang seluas luasnya untuk perekonomian masyarakat.

Pemerintah juga sempat menunda pembangunan infrastruktur, karna dana RAPBN di


alihkan untuk stabilitas ekonomi. Pemerintah juga melakukan banyak langkah antara lain :
meningkatkan ekspor, perbaikan kondisi transaksi/arus modal, memelihara kecukupan
cadangan devisa, kebijakan konsolidasi fiskal dll. Langkah yang di ambil pemerintah guna
menstabilkan ekonomi dapat terbukti. Inflasi turun dari 58% (1998) menjadi 5,1% (2003).
Nilai kurs rupiah menguat dari $1=Rp10.000 (1998) menjadi $1= kurang lebih Rp8.500
(2003). Cadangan devisa membaik dari 3 kali impor tahun 1998 meningkat menjadi 6 kali
impor tahun 2001.

Bank indonesia menilai bahwa perkembangan berbagai indikator moneter selama


tahun 2003 masih terkendali di antaranya nilai tukar rupiah yang condong semakin kuat dan
stabil, inflasi terkendali dan menurun, uang primer yang indikatif dan suku bunga yang
menurun.

15
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa dari kebijakan moneter dalam menghadapi krisis ekonomi
pada tahun 1997 langkah yang di ambil pemerintah guna menstabilkan ekonomi dapat
terbukti. Dimana Inflasi turun dari 58% (1998) menjadi 5,1% (2003). Nilai kurs rupiah
menguat dari $1=Rp10.000 (1998) menjadi $1= kurang lebih Rp8.500 (2003). Bank
indonesia juga menilai bahwa perkembangan berbagai indikator moneter selama tahun 2003
masih terkendali di antaranya nilai tukar rupiah yang condong semakin kuat dan stabil, inflasi
terkendali dan menurun, uang primer yang indikatif dan suku bunga yang menurun.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah riski, 2018, KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PRA KRISIS MONETER


1997, PASCA KRISIS MONETER 1997, DAN SETELAH KRISIS MONETER 1997

Sriyono, november 2016.Strategi kebijakan moneter di indonesia program pasca sarjana


Manajemen-Universitas muhammadiyah sidoarjo

Dhaniar Aji Anggoro, ANALISIS HUBUNGAN VARIABEL MONETER DI INDONESIA


SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN KEBIJAKAN INFLATION TARGETING
FRAMEWORK (ITF) PERIODE (1991.1-2010.4)

17

Anda mungkin juga menyukai