Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER DAN INFLASI


DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU :
Bhakty Helvy Rambe,SE,M.Si

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2



UNIVERSITAS LABUHANBATU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PRODI AKUNTANSI
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”Implementasi
kebijakan moneter dan inflasi di Indonesia”.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah
perekonomian indonesia yaitu Ibu Bhakty Helvi Ramb,SE,M.Si.

Kami berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal menambah
pengetahuan dan wawasan kita tentang Bank Indonesia,

Kami sebagai penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna, sehingga kami terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca demi
perbaiakan menuju arah yang lebih baik. Kami mengharapakan semoga makalah ini dapat bermanfaat
bafi semua pihak.

RantauPrapat, 29 Oktober 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola
perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah.
Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi
lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini
diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan
membahas berbagai hal yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian,
evolusi teori, prasyarat, karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui
dengan jelas kondisi ekonomi nasional Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka dalam
pembahasan juga dipaparkan tentang perkembangan ekonomi makro Indonesia.

1.1 Rumusan Masalah


1. Implementasi Kebijakan Moneter pada Periode 1983-1997 ?
2. Bagaimana Bagaimana Implementasi Kebijakan Moneter pada Periode Pasca
1997 ?
3. Apa masalah dalam implementasi ?
4. Apa indikator dalam implementasi kebijakan moneter ?
5. Bagaimana kebijakan inflasi pada masa orde lama?
6. Bagaimana kebijakan inflasi pada masa orde baru?
7. Bagaimana kebijakan inflasi pada masa reformasi?

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Moneter
pada Periode 1983-1997
2. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Moneter
pada Periode Pasca 1997
3. Untuk mengetahui indikator dalam implementasi kebijakan moneter
4. Untuk mengetaui implementasi kebijakan inflasi pada masa orde lama
5. Untuk menegetahui implementasi kebijkaan inflasi pada masa orde baru
6. Untuk mengetahui implementasi kebijakan inflasi pada masa reformasi

.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Moneter
Secara umum kebijakan moneter adalah proses yang dilakukan oleh otoritas moneter (bank
sentral) suatu Negara dalam mengontrol atau mengendalikan jumlah uang beredar (JUB).

2.1.1 Periode 1983-1997


Perkembangan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan
perekonomian regional dan lingkungan ekonomi global. Hingga decade tahun 1970 –an
hamper semua Negara di Asia melakukan pembatasan pagu kredit suku bunga krerdit dan
capita inflow. Pembatasan-pembatasan tersebut ditujukan untuk melindungi industri
domestic dari pengaruh eksternal. Kondisi tersebut mulai berbalik pada decade tahun 1980-
an dimana semangat liberalisasi dan keterbukaan mulai melanda dunia . untuk alas an itu,
maka pemerintah dan BI mengeluarkan serangkaian paket-paket deregulasi. Hal ini
menunjukkan bahwa pada awal 1980-an merupakan era awal liberalisasi sector perbankan
dan keuangan Indonesia.
Memasuki awal periode 1982/1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan
yang cukup berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran dunia
dan berlanjutnya resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian
dalam negeri. Daya saing produk Indonesia menurun karena nilai rupiah over valued akibat
tingginya laju inflasi dibandingkan dengan negara pesaing atau negara re kanan dagang
utama Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi semakin menurun tajam dan defisit neraca
pembayaran cukup besar. Untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia, maka
ditempuh beberapa kebijakan pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme
pasar. Kebijakan tersebut diawali dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah pada 30 Maret
1983 dari Rp 702,50 menjadi Rp 970 per USD guna mengembalikan daya saing Indonesia.
Selanjutnya, diambil langkah deregulasi di bidang keuangan dan moneter berupa Paket
Kebijakan 1 Juni 1983 dengan maksud utama untuk mendorong kemandirian dunia
perbankan.
Kebijakan 1 Juni 1983 atau lebih dikenal dengan PAKJUN 83 merupakan awal
deregulasi sektor moneter yang dimaksudkan untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi
perkembangan perbankan yang lebih sehat di masa mendatang. Deregulasi perbankan ini
berkaitan dengan sektor perkreditan dan pengerahan dana.
Dari sisi moneter, inti dari kebijakan tersebut adalah: (1) Kebebasan pada bank
pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito. Sebelumnya, suku bunga deposito ini
masih diatur oleh Bank Indonesia; (2) Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan
sebagai salah satu instrumen intervensi langsung, dihapuskan. Sebagai gantinya,
pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan cadangan wajib,
operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral suasion.
Hasilnya, selain telah meningkatkan simpanan masyarakat di bank, Paket Juni 1983
(PAKJUN 83) telah memberikan kontribusi positif terhadap kestabilan moneter, yang sejak
saat itu pengendalian moneter lebih mengutamakan penggunaan instrumen tidak langsung.
Dari segi pengendalian uang beredar, kebijakan deregulasi 1 Juni 1983 ini telah
mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter. Pemerintah tidak lagi melakukan
intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Untuk keperluan operasi
pasar terbuka (open market operation), sejak bulan Februari 1984 Bank Indonesia
menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyediakan
fasilitas diskonto.
SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang diadakan untuk menyedot
kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif. Unit Khusus
Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia 3 Perbankan dapat memanfaatkan
kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan
ke masyarakat. Sebaliknya, untuk menambah uang beredar (ekspansi), sejak tanggal 1
Februari 1985, Bank Indonesia menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU). Untuk tahap awal, jenis SBPU yang diperdagangkan terbatas
pada surat sanggup (aksep/promes) dan wesel. Instrumen ini digunakan dalam rangka
pelaksanaan pemberian kredit dan pinjaman antar bank.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1984 cukup meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat devaluasi
rupiah dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Pada saat itu, beberapa bank
tertentu bergantung pada dana Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sehingga BI
bermaksud mengurangi ketergantungan bank-bank terhadap PUAB dengan
menetapkan batas maksimum bank untuk memperoleh dana di PUAB serta
menyediakan Fasilitas Kredit Khusus (FKK) dengan jangka waktu satu tahun

2.1.2 Reformasi Sektor Perbankan tahun 1988-1990


Reformasi sektor perbankan yang memang diarahkan ke sistem pasar menuai
implikasi yang luas terhadap industri perbankan tanah air. Salah satunya adalah, sejak
implementasi PAKTO 1988 jumlah aplikasi untuk mendirikan Bank meningkat dengan tajam.
Sebagian besar dari mereka berasal dari perusahaan atau grup perusahaan yang
menunggu untuk masuk dalam industri perbankan. Dalam jangka waktu dua tahun, BI telah
memberikan lisensi pada 73 bank komersil baru dengan 301 cabang.

Tumbuhnya jumlah bank secara pesat telah mendorong peningkatan kompetisi antar
bank dalam mengumpulkan dana tabungan dan deposito dari masyarakat. Namun karena
kurangnya pengawasan dan supervisi yang kuat, aliran modal tidak terdistribusi secara baik
melainkan mengalir pada grup-grup atau sektor usaha yang memiliki kedekatan khusus
dengan pihak bank. Praktek-praktek inilah yang pada akhirnya telah meningkatkan resiko
kredit yang pada akhirnya mendorong tingginya tingkat NPL dalam industri perbankan tanah
air.

2.2 Periode Pasca 1997

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa telah terjadi perubahan fundamental


dalam perekonomian Indonesia yaitu perubahan rezim nilai tukar dari managed floating ke
free floating. Dengan perubahan rezim tersebut, maka besaran nilai tukar rupiah dilepaskan
kemekanisme passer. Pelepasan ini dilatarbelakangin oleh karena ketidak efektikpan nya
kebijakan intervensi BI dipasar uang dan kebijakan pelebaran band intervensi.

Sejak diterapkan system nilai tukar free floating, nilai tukar rupiah mengalami
tekanan-tekanan yang berpengaruh terhadap semakin melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Pada awal agustus 1997 Rupiah mencapai Rp. 2.650/dolar AS dan pada
tahun 1998 rupiah mengalami depresi hingga mencapai sekitar Rp.15.000/Dolar AS.
Sementara itu tingkat inflasi mencapai 77% pada tahun 1998 dan suku bunga juga
meningkat hingga kisaran 60%.

2.2.1 Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter

Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi
karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan
terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter
Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan
harga dan nilai tukar rupiah.
Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara jelas
menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga dan kestabilan nilai
tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar. Di
dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter.
Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang
beredar, yaitu M1 dan M2, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang
beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu
bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas,
Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998,
menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan
moneter ketat tersebut tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang beredar
yang terus ditekan dari level tertinggi 30,13% pada tahun 2000 menjadi 9,58% pada tahun
2001. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi
inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau
memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta
tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing..
Suku bunga SBI bulan yang selama ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-
bank terus menurun dari level tertinggi 35,52% pada tahun 1998 menjadi 7,43% pada akhir
April 2004.
Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar
uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan yang hampir
sama Suku bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami penurunan meskipun tidak
secepat dan sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan.
Penurunan laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan penurunan suku bunga
membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat sehingga membuka peluang bagi
pemulihan ekonomi.

2.2.2 Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99


Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan suatu
pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian, dan
sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut telah
memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa bank sentral dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga
yang bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkannya. Dari
pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang
sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, pemikiran ulang ini
diformulasikan dalam suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan
dengan UU sebelumnya, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”.
Pasal 7 dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan
tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagai sasaran kebijakan moneter.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat
penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi
seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat menggerogoti
daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha, inflasi
yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan dengan demikian
akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka panjang. Bagi banyak
ekonom, telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang tinggi akan berdampak
buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

2.3 Masalah Dalam Implimentasi


Penentuan tujuan kebijakan moneter seperti pertumbuhan inflasi serta neraca
pembayaran yang sehat hanyalah merupakan salah satu bagian dari kebijakan moneter.
Masih banyak masalah yang perlu dipecahkan terutama dalam hal implementasinya.
Masalah ini mencakup, pertama bahwa penguasa moneter harus menentukan arah yang
hendak dituju untuk mencapai sasaran kebijaksanaan, seperti misalnya output, employment
serta harga. Kedua mereka harusmenentukan bagaimana caranya mengatur/ mengubah
instrument kebijakan moneter (seperti cadangan minimum, politik diskonto serta jual beli
surat berharga) agar suapaya kebijakaan moneter tercapai.
2.3.1 Beberapa Masalah Dalam Implementasi Kebijaksanaan Moneter
Masalah pertama menyangkut pilihan mengenai apa yang sebaiknya dijadikan
sebagai “sasaran antara” atau (intermediate target) bagi kebijakan moneter. Masalah kedua
berkaitan dengan pilihan mengenai konsep “uang beredar” yang mana yang paling baik
sebagai sasaran. Masalah ketiga adalah mengenai pilihan apakah kebijaksanaan moneter
perlu dilaksanakan secara aktif, atau lebih bersifat “otomatis” dengan mengikuti aturan
umum tertentu, dan masalah keempat berkaitan dengan perkembangan baru didalam teori
kebijakan moneter dan kebijaksanaan ekonomi makro pada umumnya.
a. Tingkat Bunga Atau Ungan Beredar
Sasaran akhir jangka pendek dari baik dari kebijaksanaan moneter maupun fiscal
adalah menjaga keseimbangan dari perekonomian, yaitu agar tercapai inflasi yang rendah,
tingkat kegiatan ekonomi produksi yang tinggi serta neraca pembayaran yang seimbang.
Ini merupakan tujuan yang “ideal” dari kebijaksanaan ekonomi secara keseluruhan.
Tentu tidak semua aspek dari sasaran ini akan dicapai secara penuh dan sekaligus dalam
kenyataan. Dalam usaha pencapaian sasran akhir tersebut, kebijaksanaan moneter dengan
pengaruhnya pada ketiga aspek sasaran akhir tersebut adalah panjang, sehingga akan
sangat terlambat seandainya terjadi kesalahan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan hanya
bisa diubah setelah hasil akhir telah diamati.
Tingkat suku bunga yang stabil menunjukan bahwa situasi pasar uang adalah tenang dan
bahwa ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu memelihara
kestabilan tingkat bunga bukanlah berarti bunga pada tingkat tertentu.
b. Bank Indonesia
memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal
yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-
harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak
tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi
sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan
menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya,
Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai
tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau
suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut
menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan
cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Kebijakan Moneter, Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah
pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa
contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam
menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan
moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang
mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh
pasar keuangan internasional.
c. Teori Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai dihampir
semua Negara di dunia adalah inflasi. Defenisi singkat mengenai inflasi adalah
kecendrungan dari harga-harga untuk menaikkan harga secara umum dan terus-menerus
(Boediono). Kecendrugan kenaikan harga terjai karena adanya musiman dan adanya hari-
hari besar atau yang terjadi sekali saja.
Kenaikan semacam ini dianggap sebagai masalah atau penyakit ekonomi. Perkataan
“kecendrungan” dalam defenisi inflasi perlu digaris bawahi. Kalau seandainya harga-harga
dari dari sebagian besar barang diatur atau ditentukan oleh pemerintah, maka harga yang
dicatat oleh biro statistic mungkin tidak menunjukkan kenaikan kenaikan apa pun (karena
yang dicatat adalah harga “resmi” pemerintah).
2.4 Indikator Dalam Implementasi Kebijakan Moneter
Indikator kebijakan moneter adalah vareabel ekonomi yang memberikan informasi
tentang herakan atau perubahan dalam sector riil apakah sudah bergerak kearah sasaran
yang diinginkan atau belum.
Pemilihan indicator sebenarnya merupakan pemilihan vareabel moneter yang secara
konsisten memberikan informasi tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap
perekonomian. Ini memerlukan adanya hubungan yang pasti (dapat diperkirakan) antara
indicator tersebut dengan tujuan atau sasaran kebijaksanaan moneter.

2.4.1 Indikator Kebijakan Moneter

Indikator adalah variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan pasar


uang. Ada dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga (interest
rate) dan jumlah uang beredar (monetary aggregate). Baik suku bunga maupun jmlah uang
beredar, selain sebagai indikator juga berfungsi sebagai ‘sasaran antara’ yang ingin
dikontrol oleh bank sentral dalam rangka mencapai target akhir yang telah ditetapkan.
1. Pilihan suku bunga.
Kebijakan moneter akan mempengaruhi suku bunga sedemikian rupa sehingga tetap
stabil, sedangkan jumlah uang beredar akan bergejolak naik dan turun demi
mempertahankan suku bunga tetap pada tingkat yang diinginkan. Bergejolaknya jumlah
uang beredar dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan harga.
2. Pilihan uang beredar.
Pilihan uang beredar sebagai indikator akan memberikan dampak positif yaitu tingkat
harga stabil karena apabila jumlah uang beredar bergejolak, bank sentral akan melakukan
tindakan kontraksi atau ekspansi moneter sehingga jumlah uang beredar akan relatif
konstan pada suatu jumlah yang ditetapkan. Namun, kebijakan ini akan mengakibatkan suku
bunga bergejolak karena gejolak permintaan akan uang tidak diimbangi oleh penawaran
akan uang.

2.5 Kebijakan Inflasi


Dalam sejarah perekonomian Indonesia, telah terjadi beberapa kali inflasi. Inflasi adalah
kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Indonesia mengalami inflasi tertinggi pada tahun 1965, yang mencapai lebih dari 600 persen.

2.5.1 Orde Lama


Pada era Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno, Indonesia mengalami
tiga fase perekonomian, yatu penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, memperkuat
pilar ekonomi, dan krisis yang mengakibatkan inflasi.
Pada awal kemerdekaan, kondisi perekonomian Indonesia memang sangat buruk.
Hal ini dibuktikan pada 1950, ketika biaya hidup masyarakat meningkat hingga 100
persen. Bahan pangan juga mengalami kenaikan harga yang kemudian berdampak
pada upah para pegawai dan buruh. Penyebab utama terjadinya inflasi pada saat itu
ialah beredarnya tiga jenis mata uang yang tidak terkendali di pasaran.
Mata uang yang berlaku pada awal kemerdekaan berdasarkan Maklumat Presiden
Republik Indonesia pada 3 Oktober 1945 adalah:
 Uang kertas De Javasche
 Bank Uang kertas dan logam milik pemerintah Hindia Belanda yang sudah
disiapkan Jepang, yaitu De Japansche Regering
 Uang kertas milik Jepang, yaitu Dai Nippon emisi 1943 dan Dai Nippon
Teikoku Seibu emisi 1943
Lebih lanjut, pada 1961, menurut hasil pengukuran Badan Pusat Statistik,
pertumbuhan ekonomi di Indonesia berhasil mencapai 5,74 persen hingga 1962.
Namun, pada 1963, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun menjadi 2,24
persen. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit Rp
1.565, 6 miliar. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya inflasi tinggi atau
hiperinflasi yang mencapai 600 persen pada 1965.
Beberapa kebijakan yang diterapkan Presiden Soekarno untuk menghadapi
inflasi saat itu adalah:

 Menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dari Rp 11,4 menjadi


Rp 45 / dollar AS (1959).
 Membekukan 90 persen Giro dan Deposito di atas Rp 25.000 (1959).
 Redenominasi atau menurunkan nilai mata uang dan mengeluarkan uang
baru dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 (1965).
 Sanering atau menurunkan nilai uang kertas dari Rp 500 menjadi Rp 50
dan Rp 1.000 menjadi Rp 100 (1965).
2.5.2 Orde Baru
Soeharto adalah Presiden Indonesia dengan masa jabatan terlama, yaitu 32 tahun
sejak 1966 hingga 1998. Sayangnya, ketika Soeharto menjadi presiden kondisi
perekonomian Indonesia sedang tidak baik.
Pada 1967, Presiden Soeharto kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Lewat UU ini, Indonesia membuka
diri bagi para investor asing untuk menanam modal mereka di Indonesia.
Pada tahun berikutnya, Soeharto juga membuat program Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) yang mendorong swasembada. Program ini pun menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tembus 10,92 persen pada 1970. Lambat
laun kondisi perekonomian di Indonesia menjadi lebih terarah dengan sasaran utama
memajukan pertanian dan industri.
Hingga 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus bergerak ke arah positif, stabil
di kisaran 6 persen hingga 7 persen. Akan tetapi, selama Soeharto memimpin,
kegiatan ekonomi hanya berpusat pada pemerintah sehingga kondisinya kian lama
kian melemah.
Saat terjadi gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang sudah mulai
melemah tidak sanggup menopang perekonomian nasional. Saat itu, Bank Indonesia
memang sudah ada, tetapi hanya sebagai alat penutup defisit pemerintah. Ketika BI
tidak sanggup menahan gejolak moneter, krisis dan inflasi pun terjadi hingga 80
persen. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi minus 13,3 persen.

2.5.3 Reformasi
I. BJ Habibie
Ketika BJ Habibie naik tampuk kekuasaan sebagai presiden, ia berhasil memulihkan
kondisi perekonomian Indonesia yang tadinya minus 13,3 persen menjadi 0,79 persen
pada 1999. Nilai kurs rupiah juga menguat dari yang sebelumnya Rp 16.650 per
dollar AS menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
II. Abdurrahman Wahid
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie
yang berusaha mendongkrak kembali ekonomi Indonesia pasca-krisis 1998.
Secara perlahan, Gus Dur pun berhasil meningkatkan kembali perekonomian
Indonesia yang mencapai 4,92 persen pada 2000. Pada saat itu, Gus Dur
menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, yakni
pemerintah membagi rata dana yang ada kepada pusat dan daerah. Kendati
begitu, pada 2001, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai kembali menurun
menjadi 3,64 persen. Inflasi juga sempat terjadi pada 2001, yakni sebesar 1,62
persen.

III. Megawati Soekarnoputri


Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden sejak tahun 2001 hingga
2004. Di bawah pemerintahan Megawati, Indonesia sempat mengalami beberapa
kali inflasi.
Pada Oktober 2003, terjadi inflasi sebesar 0,55 persen. Dari 43 kota, ada 39 kota
yang mengalami inflasi, sedangkan empat kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi
tertinggi terjadi di Kota Padang, yakni sebesar 1,82 persen. Adapun inflasi
terendah terjadi di Bengkulu, yakni sebesar 0,02 persen.
Pada masa ini, inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga pada semua
kelompok barang dan jasa, yaitu:
 Bahan makanan (1,78 persen).
 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (0,03 persen).
 Perumahan (0,30 persen).
 Sandang (0,25 persen).
 Kesehatan (0,30 persen).
 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga (0,13 persen).
 Transport dan komunikasi (0, 03 persen).
IV. Susilo Bambang Yudhoyono
Di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) inflasi
yang terjadi di Indonesia sekitar 2 persen. Hal ini juga didukung dengan kondisi
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stabil meskipun sempat
menurun.
Di awal pemerintahan SBY pada 2005, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah
mencapai 5,69 persen. Bahkan, pada 2008, pertumbuhan ekonomi mencapai di
atas 6 persen.
Namun, pada 2009, pertumbuhan ekonomi melambat di angka 4,63 persen.
Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tidak hanya
dirasakan oleh Indonesia, melainkan juga negara lain. Meski begitu, Indonesia
masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun bergerak lambat.
Hebatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masuk tiga terbaik di dunia
pada tahun itu.
V. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjabat selama dua periode, sejak 2014
sampai sekarang. Di bawah pemerintahannya, kondisi pertumbuhan ekonomi
Indonesia sempat melemah menjadi 4,88 persen. Defisit juga semakin melebar
karena impor cenderung naik dan ekspor cenderung turun.
Pada 2017, setelah tiga tahun menjabat, Indonesia mengalami inflasi sebesar 3,61 persen. Ini tercatat
sebagai inflasi tertinggi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kendati
begitu, menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih, inflasi 3,61 persen ini masih
dianggap moderat. Kemudian, menurut data terakhir Juli 2022, inflasi di Indonesia mengalami
peningkatan, yakni menjadi 4,94 persen.

2.6 Implasi kebijakan inflasi


Pemerintah dan Bank Indonesia menyepakati lima langkah strategis untuk memperkuat pengendalian inflasi
dalam High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat (HLM TPIP). Langkah strategis ditujukan untuk secara
konsisten menjaga inflasi dalam kisaran sasaran 3,0%±1% dan terus menjaga momentum pemulihan ekonomi
nasional. Langkah-langkah strategis tersebut mencakup:
1. Memperkuat koordinasi kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong momentum
pemulihan ekonomi nasional;
2. Memitigasi dampak upside risks, antara lain dampak normalisasi kebijakan likuiditas global dan peningkatan
harga komoditas dunia terhadap inflasi dan daya beli masyarakat;
3. Menjaga inflasi kelompok bahan pangan bergejolak (volatile food) dalam kisaran 3,0-5,0%. Upaya tersebut
dilakukan dengan menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi, terutama menjelang Hari Besar
Keagamaan Nasional (HBKN). Implementasi strategi difokuskan antara lain melalui optimalisasi
pemanfaatan teknologi dan digitalisasi pertanian sisi hulu-hilir, pengembangan konektivitas, serta penguatan
kerja sama antardaerah;
4. Memperkuat sinergi komunikasi kebijakan untuk mendukung pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat;
5. Memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengendalian inflasi melalui penyelenggaraan
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi 2022 dengan tema: “Digitalisasi UMKM
Pangan untuk Akses dan Stabilisasi Harga".

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dari sisi moneter, inti dari implementasi kebijakan moneter tersebut adalah: (1)
Kebebasan pada bank pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito.
Sebelumnya, suku bunga deposito ini masih diatur oleh Bank Indonesia; (2)
Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu instrumen
intervensi langsung, dihapuskan..
2. Sejak diterapkan system nilai tukar free floating, nilai tukar rupiah mengalami
tekanan-tekanan yang berpengaruh terhadap semakin melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Pada awal agustus 1997 Rupiah mencapai Rp. 2.650/dolar AS
dan pada tahun 1998 rupiah mengalami depresi hingga mencapai sekitar
Rp.15.000/Dolar AS. Sementara itu tingkat inflasi mencapai 77% pada tahun 1998
dan suku bunga juga meningkat hingga kisaran 60%.
3. Masalah dalam implementasi kebijakan moneter ini mencakup, pertama bahwa
penguasa moneter harus menentukan arah yang hendak dituju untuk mencapai
sasaran kebijaksanaan, seperti misalnya output, employment serta harga. Kedua
mereka harusmenentukan bagaimana caranya mengatur/ mengubah instrument
kebijakan moneter (seperti cadangan minimum, politik diskonto serta jual beli surat
berharga) agar suapaya kebijakaan moneter tercapai
Indikator adalah variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan pasar uang.
Ada dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga (interest rate) dan
jumlah uang beredar (monetary aggregate).
Daftar Pustaka

http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Documents/
3ee69417b88f49638fa703d1c11f4f4bSejarahMoneterPeriode.19831997.pdf
http://diassatria.lecture.ub.ac.id/660/

http://oggypratama.blogspot.co.id/2014/03/kebijakan-moneter-di-indonesia-sesudah.html
http://thawonk.blogspot.co.id/2014/11/makalah-beberapa-masalah-dalam.html
https://aeyogy.wordpress.com/tag/indikator-kebijakan-moneter/

https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/07/160000579/sejarah-inflasi-di-
indonesia?page=all
https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_247622.aspx

Anda mungkin juga menyukai