Anda di halaman 1dari 48

TRAINING FOR TRAINERS

KEBANKSENTRALAN

KEBIJAKAN MONETER DAN


IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Departemen Pendidikan dan Studi Kebanksentralan


BANK INDONESIA
BATAM, 27 Februari 2013

Review Konsep dan Teori


Moneter

Kebijakan Moneter di Indonesia


Kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi makro
Tujuan kebijakan ekonomi makro umumnya adalah mencapai kemakmuran
masyarakat (social welfare)
KEBIJAKAN
EKONOMI MAKRO:
KEBIJAKAN MONETER
KEBIJAKAN FISKAL
KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEBIJAKAN TENAGA KERJA
KEBIJAKAN LAINNYA

TUJUAN AKHIR:
SOCIAL
WELFARE

Gambaran Umum Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas


moneter dlm bentuk pengendalian besaran moneter (JUB, uang
primer, kredit perbankan) atau suku bunga untuk mencapai stabilitas
ekonomi makro.
Stabilitas ekonomi makro tercermin dari: stabilitas harga (rendahnya
laju inflasi), membaiknya pertumbuhan ekonomi, serta cukup luasnya
kesempatan kerja yg tersedia.
Kebijakan moneter dilakukan dgn mempertimbangkan: siklus
kegiatan ekonomi, sifat perekonomian (terbuka atau tertutup), &
faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya. Strategi kebijakan
moneter tergantung dari tujuan yg ingin dicapai & mekanisme
transmisi yg diyakini berlaku pada perekonomian yg bersangkutan.
Berdasarkan strategi & transmisi yg dipilih, maka dirumuskan
kerangka operasional kebijakan moneter.

Kebijakan Moneter &


Siklus Kegiatan Ekonomi

Perkembangan ekonomi mengalami pasang surut (siklus). Pada periode


tertentu tumbuh pesat, tetapi pada periode tertentu lain tumbuh lambat.
Untuk itu, pemerintah dan atau otoritas moneter melakukan kebijakan
stabilisasi ekonomi makro agar perekonomian dapat tumbuh
berkesinambungan. Intinya, sisi permintaan dan sisi penawaran dikelola
sedemikian rupa shg mengarah pada keseimbangan (ekuilibrium).
Kebijakan moneter, sbg bagian dari pengelolaan stabilisasi ekonomi
makro, diterapkan sejalan dgn siklus ekonomi (business cycle).
Kebijakan moneter pada saat boom tentunya berbeda dgn pada saat
perekonomian melambat (depression atau slump). Pada saat boom,
kebijakan moneter biasanya cenderung kontraktif, sementara pada saat
depresi, kebijakan moneter biasanya cenderung ekspansif.
Efektivitas kebijakan moneter tergantung pada hubungan antara uang
beredar dengan variabel ekonomi utama, seperti pertumbuhan ekonomi
dan inflasi.

Kebijakan Moneter &


Siklus Kegiatan Ekonomi

Dari sejumlah literatur, hubungan antara uang beredar, inflasi, dan


pertumbuhan ekonomi adalah bahwa dalam jangka panjang hubungan
antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi adalah sempurna,
sedangkan hubungan antara pertumbuhan uang beredar atau inflasi dan
pertumbuhan ekonomi adalah nol. Temuan ini menunjukkan adanya
suatu konsensus bhw dalam jangka panjang, kebijakan moneter hanya
akan berdampak pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap
ekonomi riil.
Konsensus dari temuan empiris dlm literatur mengenai pengaruh jangka
pendek dari uang beredar menunjukkan bhw kebijakan moneter
menyebabkan pergerakan aktivitas ekonomi riil yg sedikit menaik dan
kemudian menurun (hump-shaped). Artinya, pelonggaran (pengetatan)
kebijakan moneter dpt sedikit meningkatkan (menurunkan) pertumbuhan
ekonomi riil dalam jangka sangat pendek dan kemudian pengaruhnya
akan menghilang dlm jangka panjang.

Kebijakan Moneter & Siklus Kegiatan Ekonomi


Output

G
Fase Ekspansif

trend

C
A

E
D

Fase Kontraktif

BC Ekonomi dalam resesi


sehingga kebijakan
moneter ekspansif supaya
mempercepat recovery
CD Ekonomi boom
sehingga kebijakan
moneter kontraktif untuk
menghindari overheating
Kebijakan moneter ini
disebut counter-cyclical
monetary policy dengan
tujuan untuk mengarahkan
pertumbuhan ekonomi
berada pada trend-nya.

Waktu

PERIODISASI
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

NERACA OTORITAS MONETER & NERACA SISTEM MONETER

N er a c a O t o r ita s M o n e te r
A k tiv a

P a s iv a

A k tiv a L u a r N e ge ri B e r sih
A k tiv a D alam N e g e ri B e rsi h
- T a g i ha n b e rsi h p a d a p em e rinta h p us at
- T a g i ha n p a da se k to r sw a sta d o m es tik
- T a g i ha n p a da b a n k um um
A k tiv a L a in n y a B e rsih

U a n g k a rta l
- d i m a sy a ra k a t
- d i ba n k um um
S a ld o g iro
- m ilik b an k um um
- m ilik m a sy a ra k a t

( u a n g k a rta l )
(c a d a n g a n b a n k )

- --------- -- --------- --- U a n g P rim e r (M 0 )

Neraca Sistem Moneter


Aktiva

Pasiva

1. Aktiva Luar Negeri Bersih

Uang Beredar (M2)/ Likuiditas Perekonomian

2. Tagihan Bersih pada Pemerintah Pusat

1. M1

3. Tagihan pada Lembaga


dan Perusahaan Pemerintah
4. Tagihan pada Perusahaan

- Uang Kartal
- Uang Giral
2. Uang Kuasi

dan Perorangan
5. Lainnya Bersih
Keterangan: format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 19979


Periode 1945 - 1952

Kondisi Ekonomi
Mata uang Hindia Belanda & Jepang

masih digunakan
Belum terdapat bentuk bank sentral

secara formal

Kebijakan Moneter
BNI, BRI sebagai bank sirkulasi ORI yg

menggantikan peran uang Hindia Belanda


& Jepang
ORI ditarik diganti dgn uang De Javasche

Bank yg ditunjuk sbg bank sirkulasi

UUD 1945 Ps.23: perlunya dibentuk


sebuah bank yg disebut Bank Indonesia,
yg mengeluarkan & mengatur uang kertas

De Javasche Bank ditetapkan sebagai

UU nasionalisasi De Javasche Bank


6/12/51 disahkan

Tindakan moneter sanering pada 1950

Dominasi dinamika perkembangan politik


terhadap permasalahan ekonomi

bank sentral pada pemerintah RIS


(Gunting Sjafruddin)

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 1997 10


Periode 1953 - 1967

Kondisi Ekonomi
Telah banyak mata uang yang beredar dan

berbeda-beda di berbagai wilayah di


Indonesia

Kebijakan Moneter
Bank Indonesia sbg bank sirkulasi

menerbitkan mata uang baru, rupiah, sbg


satu2nya alat pembayaran yg sah di
wilayah negara Indonesia

Lahir UU No.11/1953 tentang Pokok Bank

Indonesia sbg pengganti Javasche Bank


Wet 1922
Pemerintah membangun proyek2 mercu

suar dan pengeluaran besar untuk militer

Dibentuk Dewan Moneter tdr dr Menkeu

(ketua), Menteri Ekonomi, dan GBI.


BI jg sbg bank komersial dgn memberi

kredit kpd swasta, pemerintah, yayasan


pem., dll.

Jumlah uang beredar berlebihan

menyebabkan hyperinflation (+/- 600%)


pada pertengahan tahun 1960-an.

BI sbg agen pembangunan: (1). Cetak

uang u/ menutup defisit fiskal (2).


Pembiayaan scr lgs dlm keg. ekonomi

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 199711


Periode 1968 - 1972
- Periode Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi Kondisi Ekonomi
Pemerintah sebelumnya kurang

memegang prinsip kehati2an dalam


pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal

Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter difokuskan pada

pengendalian inflasi. Pencetakan uang


utk pembiayaan defisit anggaran
dihentikan

Lahir UU No.13/1968 tentang Bank Sentral


Koordinasi kebijakan fiskal-moneter
Laju inflasi turun drastis hingga di bawah

10%
Kegiatan perekonomian nasional secara

berangsur2 mulai tertata & mengalami


peningkatan.

ditingkatkan shg stabilitas ekonomi cepat


pulih
Kebijakan moneter dirumuskan oleh

Dewan Moneter dan BI melakukan tugas


kebijakan moneter sesuai dgn keputusan
Dewan Moneter

Pengaturan kelembagaan, positif krn

kebijakan moneter-fiskal terintegrasi &


terkoordinir, tp negatif krn tdk ada check &
balance kebijakan2 ekonomi

M0 ke NCG dibatasi JUB terkendali

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 199712


Periode 1973 - 1982
- Periode Pertumbuhan Ekonomi dengan Hasil Minyak Kondisi Ekonomi
Awal dekade 70-an ditemukan ladang2

minyak baru secara signifikan shg


penerimaan negara meningkat
Pengeluaran rutin dan pembangunan oleh

pemerintah meningkat shg mendorong


kegiatan ekonomi riil
Kebijakan kredit selektif membuat sektor

perbankan kurang bergairah krn sumber


dana yang langka dan penyaluran kredit
sangat dibatasi

Kebijakan Moneter
Penerimaan devisa hasil minyak

menyebabkan ekspansi jumlah uang


primer (M0) shg BI melakukan
penyerapan ekspansi moneter dari sisi
fiskal tersebut utk meredam tekanan
inflasi
Kebijakan kredit selektif diluncurkan thn

1974 utk mengendalikan JUB terutama


dgn mengatur besarnya ekspansi kredit
bank. Pagu kredit individual bank setiap
tahun ditentukan oleh BI
NFA M0

Kredit dipagu

RR diturunkan dr 30% mjd 15% thn 1978

terutama utk mendorong pemberian


kredit kpd sektor swasta

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 1997 13


Periode 1983 - 1997
- Periode Deregulasi, Debirokratisasi, dan Liberalisasi Ekonomi Kondisi Ekonomi
Awal dekade 80-an harga minyak merosot

krn kecenderungan tjdnya resesi dunia.


Penerimaan negara utk pembiayaan APBN
semakin terbatas. Peran swasta dalam
kehidupan ekonomi perlu ditingkatkan.
Pakjun 1983 menandai era liberalisasi

sektor perbankan dan keuangan. Jml


bank, mobilisasi dana, bentuk kredit, jenis
pembiayaan, vol. transaksi dan jenis
produk keuangan meningkat.
Pakto 1988 mendorong kegiatan ekonomi

DN dlm menghadapi persaingan global.


Scr umum mrp paket penyempurnaan
kebijakan di bidang keu., moneter, &
perbankan

Kebijakan Moneter
Stl Pakjun 1983, kebijakan moneter

langsung melalui selective credit policy


diganti dgn kebijakan moneter tidak
langsung melalui OPT. SBI diterbitkan thn
1984 sbg instrumen utama OPT ditambah
dgn intervensi di pasar uang rupiah (1
s.d. 7 hari).
M0 dikendalikan M1& M2
Pakto 1988 menurunkan RR dr 15% mjd

2%, pelonggaran izin pendirian bank shg


perbankan tumbuh pesat.
RR M0

M1 & M2

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PRA KRISIS EKONOMI 1997


Periode 1983 - 1997
(Lanjutan...)

- Periode Deregulasi, Debirokratisasi, dan Liberalisasi Ekonomi Kondisi Ekonomi


Pengendalian JUB (M1& M2) makin sulit

krn operasi & produk perbankan makin


beragam (CDs, CPs, promissory notes,
ATMs) . Produk pasar modal jg
berkembang pesat baik dalam bentuk vol.
transaksi maupun SSB yg
diperdagangkan. Tjd decoupling
(pemisahan) sektor keuangan & sektor riil.
Liberalisasi sektor keuangan

menyebabkan aliran dana LN khususnya


pinjaman LN swasta jgk pendek semakin
besar dan pesat.
Pinjaman ini tidak dilindungi dr risiko nilai

tukar, dimanfaatkan utk proyek jgk


panjang & tdk menghasilkan devisa.

Kebijakan Moneter
Besar dan mobilitas aliran dana LN

mempersulit pelaksanaan kebijakan


moneter oleh BI shg BI melakukan
penyerapan likuiditas dlm perekonomian.
Hal ini mendorong suku bunga naik.
Suku bunga tinggi semakin mendorong

aliran modal masuk khususnya dlm


bentuk SSB berjangka pendek.
Prinsip good corporate governance tdk

dijalankan dgn baik shg mjd penyebab


utama krisis thn 1997.
NFA M0 OPT M0 ,i

NFA

14

KEBIJAKAN MONETER PERIODE SELAMA KRISIS EKONOMI


1997
Periode 1997 - 1998
Kondisi Ekonomi
Spekulasi thd Baht menjalar ke Rupiah

(contagion effect) shg investor asing


menarik dananya scr tiba2. Timbul
kepanikan di pasar valas dan tjd aksi
borong devisa yg menyebabkan Rupiah
merosot tajam dlm wkt singkat. Ini mrp
awal dr krisis ekonomi thn 1997.
Pemerintah menutup sejumlah bank shg

tjd krisis kepercayaan thd bank dan


rupiah, tjd bank run.
Tjd excess likuiditas, laju inflasi mencapai

77,63% tahun 1998, dan suku bunga SBI 1


bulan mencapai 38,44% pd tahun yg sama.

Kebijakan Moneter
Di bawah sistem NT managed floating pd

saat itu, kebijakan2 yg diambil adl


melakukan intervensi di pasar valas &
melebarkan band (rentang) intervensi.
Tekanan begitu kuat & cadangan devisa
menurun shg sistem NT floating
diadopsi. Pemerintah memutuskan ikut
program IMF (awal 1998).
Bank run & penutupan bank diatasi dgn

penyediaan dana talangan oleh


pemerintah melalui BI (BLBI) di bawah
program penjaminan pemerintah atas
seluruh kewajiban bank.
Kebijakan suku bunga tinggi untuk

menghadapi tekanan inflasi akibat


kelebihan likuitas dlm perekonomian.

15

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PASCA KRISIS EKONOMI 1997


Periode 1999 - 2004
Kondisi Ekonomi
Stl berada di bawah program IMF, NT

rupiah masih rentan dan tekanan inflasi


masih tinggi.
Kebijakan yg diambil scr berangsur2

mampu menstabilkan nilai tukar rupiah


dan mengendalikan tekanan inflasi. NT
menguat dr rata2 Rp9.316/dolar thn 2002
mjd rata2 Rp8.572/dolar thn 2003. Inflasi
turun dr 10,03% thn 2002 mjd 5,06% thn
2003. Suku bunga SBI turun dr 13,02% thn
2002 mjd 7.34% pd Juni 2004.
Lahir UU No.23/1999 tentang Bank

Indonesia sbg penguatan BI scr


kelembagaan sbg bank sentral, dgn fokus
mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. BI mrp bank sentral yg
independen, namun transparan &
accountable.

Kebijakan Moneter
Pengendalian JUB melalui pencapaian

sasaran operasional uang primer yg


ditetapkan sesuai dgn program yg
disepakati antara Pemerintah dan IMF
Suku bunga diturunkan stl NT rupiah

stabil dan tekanan inflasi terkendali.


Tugas pokok BI menurut UU No.23/99 adl

(1) menetapkan & melaksanakan


kebijakan moneter (2) mengatur &
menjaga kelancaran sistem pembayaran
(3) mengatur & mengawasi sistem
perbankan. Ketiga tugas ini saling terkait
dalam upaya mencapai kestabilan rupiah.
Menurut UU No.24/99, BI diberi

wewenang utk melaksanakan kebijakan


NT dan pengelolaan cad. devisa sesuai
dgn sistem NT dan sistem devisa yg
ditetapkan.

10

KEBIJAKAN MONETER PERIODE PASCA KRISIS EKONOMI 199717


Periode 1999 - 2004
Kondisi Ekonomi
Tugas pokok yg telah ditetapkan dalam

UU, menuntut BI untuk juga responsif


terhadap dinamika yg terjadi dalam bidang
tugasnya.
Terdapat tuntutan untuk melakukan

amandemen thd UU No.23/1999 ttg BI sbg


upaya untuk menyesuaikan dengan
perkembangan kondisi ekonomi, sosial,
dan politik.
UU No.23/1999 diamandemen dengan UU

No.3/2004

Kebijakan Moneter
Munculnya paradigma baru kebijakan

bank sentral di bidang moneter,


perbankan dan sistem pembayaran yaitu
Inflation Targeting Framework (ITF),
Arsitektur Perbankan Indonesia (API),
dan Real Time Gross Settlement (RTGS).
Amandemen UU ttg BI dalam UU

No.3/2004, dgn pokok2 antara lain: (1)


penetapan sasaran inflasi oleh
pemerintah stl berkoordinasi dgn BI, (2)
pengalihan fungsi pengawasan bank
pada 2010, (3) penyediaan Financial
Safety Nets, (4) pembentukan Badan
Supervisi, (5) Keanggotaan DG:
internal/eksternal, dan (6) Aspek2
transparansi, akuntabilitas, dan
kredibilitas.

18

Pendekatan Kuantitas vs Suku Bunga


Sebagai Sasaran Operasional

Kerangka Operasional Kebijakan


Moneter

19

Kebijakan Moneter
merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral dalam bentuk pengendalian moneter untuk
mencapai perkembangan kegiatan perekonomian
yang diinginkan.
Kerangka Operasional Kebijakan Moneter
dapat dilihat melalui 2 pendekatan :
1.
Kerangka Operasional dengan Pendekatan
Kuantitas.
2. Kerangka
Operasional
dengan
Pendekatan
Harga/Suku
Bunga.

Kerangka Operasional Kebijakan


Moneter

20

Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas


Instrumen Moneter

OPT
Reserve Requirement
Fas. Diskonto
Imbauan

Sasaran Operasional

Uang Primer
Reserve Bank

Sasaran Antara

Sasaran Akhir

M1, M2, Kredit


Suku Bunga

Stabilitas Harga
Pertumbuhan Ekonomi
Kesempatan Kerja

Kerangka Operasional dengan Pendekatan Harga/ Suku Bunga

Instrumen Moneter

Sasaran Operasional

Sasaran Akhir
Variabel-Variabel
Informasi

OPT
Reserve Requirement
Fas. Diskonto
Imbauan

- Suku Bunga
(pasar uang jk pendek)

Stabilitas Harga
Pertumbuhan Ekonomi
Kesempatan Kerja

KERANGKA KERJA QUANTITY TARGETING

Kerangka Kerja Quantity Targeting

ULTIMATE
TARGET

Inflasi

ECONOMIC
CAPACITY

MONEY
SUPPLY

Ms

Dll

MONETARY
INSTRUMENT

1. OPEN MARKET OPERATION


2. DISCOUNT FACILITY

Pertumbuhan
Ekonomi
Lapangan
Kerja

MONETARY
MANAGEMENT

3. RESERVE REQUIREMENT

Yd

Md

4. FOREIGN EXCHANGE
INTERVENTION

ECONOMIC
ACTIVITY
Investment
Consumption
Government
Export
Import

DEMAND FOR
MONEY

21

PARADIGMA BARU PENGENDALIAN MONETER


Quantity-based Approach vs Price-based Approach ?
Asumsi yang digunakan dalam Pendekatan Kuantitas adalah sbb:
1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, dan riil) akan
berjalan seperti yang ditetapkan.
2. Adanya hubungan yang stabil antara uang beredar (sebagai sasaran antara)
dengan kegiatan ekonomi riil (sebagai sasaran akhir) stabilitas fungsional
income velocity dan demand for money
3. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional)
dengan uang beredar (sebagai sasaran antara) stabilitas fungsional angka
pengganda uang (money multiplier)
Namun, hasil kajian empiris BI menyimpulkan bahwa:
Income velocity, demand for money, dan money multiplier cenderung
kurang stabil.

22

PARADIGMA BARU PENGENDALIAN MONETER


Quantity-based Approach vs Price-based Approach ?

Penyebab Ketidakstabilan Struktural tersebut adalah karena:


Pesatnya perkembangan sektor keuangan dan majunya inovasi produk
keuangan yang menyebabkan kegiatan penciptaan uang (money
creation) oleh sistem keuangan menjadi berlipat ganda.
Terjadinya proses decoupling antara sektor moneter dan sektor riil.
Sulitnya mengidentifikasi arah kausalitas antara uang beredar dan
kegiatan ekonomi. Adanya kecenderungan kegiatan ekonomi
mempengaruhi uang beredar, bukan sebaliknya.

23

PARADIGMA BARU PENGENDALIAN MONETER


Quantity-based Approach vs Price-based Approach ?
Sejalan dengan permasalahan dalam pengendalian moneter dengan
menggunakan agregat moneter, paradigma baru yang lebih meyakini harga
uang, yaitu suku bunga dan nilai tukar, sebagai jalur utama transmisi
kebijakan moneter (price targeting) di Indonesia semakin mendapatkan
perhatian.
Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan antara suku
bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan
antara uang beredar dengan inflasi.
Di sisi lain, dalam ekonomi yang semakin terbuka dengan sistem nilai tukar
yang fleksibel, pergerakan nilai tukar rupiah juga dianggap sangat penting
dalam mempengaruhi permintaan agregat, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.

24

PARADIGMA BARU PENGENDALIAN MONETER


Quantity-based Approach vs Price-based Approach ?

Hasil kajian empiris tersebut merupakan pertimbangan utama bagi Bank


Indonesia untuk mengubah paradigma pengendalian moneternya dari
quantity-based approach menjadi price-based approach. Pada
pertengahan tahun 2005 price-based approach telah mulai dilaksanakan
yang antara lain diindikasikan dengan adanya penetapan BI-rate.
Penerapan price-based approach tidak terlepas dari upaya Bank
Indonesia yang kemudian menerapkan full-fledged inflation targeting
framework.

25

Why Inflation Targeting


Framework?
Starting from July 2005, Bank Indonesia implements a new monetary policy
framework consistent with the Inflation Targeting Framework (ITF).
In line with the central bank act no. 23/1999 and its amendment (act
no.3/2004)
Enhance BIs credibility as inflation controller through commitment to hit
inflation target.
Research: more difficult to control monetary aggregate
Comply with sound monetary policy principles.
Empirical experience of other countries: ITF countries success to
reduce inflation without increasing output volatility.

26

27

KERANGKA KERJA KEBIJAKAN MONETER


Sasaran uang beredar (quantity based approach) - BI sebelum Juli 2005
OPERASI MONETER:
Sasaran operasional:
Uang Primer (Mo)
Instrumen: OPT

SASARAN AKHIR:
Inflasi

SASARAN
ANTARA:
Uang beredar: M1,
M2

m M1/ M 0

Pertumbuhan
ekonomi

M S M D (r , , Y )

Sasaran suku bunga (price-based approach) - BI sejak Juli 2005 via ITF
OPERASI MONETER:
Sasaran operasional:
suku bunga jangka
pendek (rCB)
Instrumen: OPT

INDIKATOR KEBIJAKAN
Information Variable
Suku bunga jk panjang (r)
Uang beredar: M1, M2
Kredit, nilai tukar, dll.

r f ( rCB , Others )

Short-run
Phillips Curve

SASARAN AKHIR:
Inflasi
Pertumbuhan
ekonomi

Model proyeksi

Inflasi sebagai sasaran akhir jangka panjang. Is not a rule ; just a framework
Dalam penetapan sasaran inflasi jangka menengah panjang, dipertimbangkan sasaran yang optimal
berdasarkan social welfare loss function implikasi dari tradeoff antara price dan output.

The Strategic Framework (1)


Indonesia has been practicing Inflation Targeting Framework (ITF) since 2000, but
still use base money as operating target.
Efforts for strengthening the framework: (i) Research and model for forecasting,
(ii) Regular board meeting, and (iii) Communication.
Starting July 2005, enhanced framework consistent with the implementation of ITF
is introduced with four key elements:
1. BI Rate as a policy reference rate,
2. Forward looking strategy of monetary policy making,
3. More transparent communication strategy
4. Improved coordination with Government.
The new framework is intended to enhance the effectiveness and governance of
monetary policy making for achieving price stability to support economic growth
and welfare.

28

The Strategic Framework (2)


Key Features of the Framework

29

The Strategic Framework (3)


Inflation Targeting: A Framework, Not A Rule

30

Keterkaitan antara Variabel dan Pencapaian Sasaran Inflasi dalam


ITF
Suku
Suku
Bunga
Bunga

SBI
SBI
OPT
OPT

FASBI
FASBI

Likuidita
Likuidita
ss Pasar
Pasar
Uang
Uang

FTO
FTO
Sterilisa
Sterilisa
si
si Valas
Valas

BI
BI Rate
Rate

Besaran
Besaran
Moneter
Moneter

Total
Total
Supply
Supply

Kredit
Kredit
Balance
Balance
Sheet
Sheet

OUTPU
OUTPU
T
T GAP
GAP

Harga
Harga
Aset
Aset

Total
Total
Deman
Deman
d
d

Ekspektasi
Ekspektasi

GWM
GWM

31

NILAI
NILAI
TUKAR
TUKAR

Indikator
Indikator

Aktiva
DN
Aktiva
DN
Bersih
Bersih

Fasilitas
Fasilitas
pendanaan
pendanaan
Pinjaman
bank
Pinjaman
bank
Indikator
Indikator
Suku
Suku bunga
bunga PUAB,
PUAB,
deposito,
dan
pinjaman
deposito, dan pinjaman
IHSG,
IHSG, nilai
nilai tukar
tukar

Tekanan
Tekanan
Inflasi
Inflasi
Domesti
Domesti
k
k
INFLA
INFLA
SI
SI

Tekanan
Tekanan
Inflasi
Inflasi
Ekstern
Ekstern
al
al

Indikator
Indikator
Indeks
Indeks
Harga
Harga
Impor
Impor
Indikator
Indikator

Survey/Leading
Survey/Leading
Output
Output Gap
Gap
Policy
Severity
Policy Severity

Indikator
Indikator
IHK
IHK
Headline/
Headline/
Core
Core
Harga
Harga Aset
Aset
Adm/Trade/
Adm/Trade/
Volatile
Volatile

Policy Formulation (1)


Main indicators for setting monetary policy response are inflation
and economic growth.
Monetary policy response consider behavior of linkage among
economic variables and monetary policy transmission.
Monetary policy formulation considers government economic
policy.
To support analysis of inflation and economic growths forecast,
and relationship among economic variables:
> Economic Model
> Information Variable

32

Policy Formulation (2)

33

Policy Formulation (3)

34

Monetary Policy Response (1)

35

Monetary Policy Response


The monetary policy stance is determined each month in the monthly Board
Meeting, drawing on material within a monthly scope.
Monetary policy stance (BI Rate) is effective until the next Board Meeting.
The decision concerning the monetary police stance (BI Rate) takes into account the
monetary policy lag in influencing inflation.
In unforeseen circumstances, the monetary policy stance may be adjusted in
advance of the Monthly Board Meeting in a weekly Board Meeting.
Magnitude of Change in the BI Rate
The monetary policy stance is expressed in changes to the BI Rate (consistent and
progressive in increments of 25 bps). Under conditions indicating the need for
stronger intentions on the part of Bank Indonesia for achievement of the inflation
target, the BI Rate may be adjusted by more than 25 bps in increments of 25 bps

Monetary Policy Response (2)


The BI Rate is the policy rate reflecting the monetary policy stance adopted by
Bank Indonesia and announced to the public.
The BI Rate is announced after monthly Board of Governors Meeting. It is
implemented in the Bank Indonesia monetary operations conducted by means
of liquidity management on the money market to achieve the monetary policy
operational target.
The monetary policy operational target is reflected in movement in the
Interbank Overnight (O/N) Rate. It is then expected that bank deposit rates will
track the movement in interbank rates, with bank lending rates to follow suit.
While other factors in the economy are also taken into account, Bank Indonesia
will normally raise the BI Rate if future inflation is forecasted ahead of the
established inflation target. Conversely, Bank Indonesia will lower the BI Rate if
future inflation is predicted below the inflation target.

36

Monetary Policy Response (3)


Basic Consideration to decide Policy Response:
BI Rate is central bank response on future pressure on inflation gap
BI Rate is set discretionary by Board of Governor considering:

> BI Rate recommendation from economic model


> other information: leading indicators, survey, anecdotal
information, information variable, expert opinion, risk factor
assessment and uncertainty, economic and monetary policy
research.
BI Rate is changed mainly if inflation gap forecast is considered

permanent and consistent with other information and indicators.

37

Monetary Policy Response (3)


Bank sentral secara eksplisit memiliki target inflasi dan berjanji untuk
mencapai target tsb pada suatu periode waktu tertentu (time horizon).
BS melakukan forecast inflasi dng semua informasi yang ada.
BS menggunakan instrumen kebijakan moneter untuk mencapai target
inflasi tersebut.
Jika forecast inflasi berbeda dng target inflasi, BS melakukan perubahan
stance kebijakan moneter (umumnya menggunakan Taylors type rule):
r = rt-1 + ( - *) + (y - y*); dimana , >0
Jika gagal mencapai target, harus menjelaskan ke publik.
BS memberikan laporan secara reguler kpd publik mengenai outlook
inflasi dan kebijakan yang diambil.

38

39

Kerangka Operasional Kebijakan Moneter (BI-rate)


Menggunakan Koridor Suku Bunga

Operational Framework (1)


To achieve the overriding monetary policy objective, Bank Indonesia has
implemented a monetary policy framework for management of interest rates (interest
rate target).
The policy rate, commonly known as the BI Rate. At the operational level, the BI
Rate is reflected in movement in the Interbank Overnight (O/N) Rate.
The interbank money market is the activity of lending and borrowing money between
one bank and another bank. An interbank rate represents the price formed in a deal
between parties lending and borrowing funds.
Activity on the interbank is conducted over the counter (OTC) through deals between
borrowers and holders of funds arranged without passing through an exchange floor.
Interbank tenors range from one working day (overnight) to one year.
Bank Indonesia will work consistently to safeguard and fulfill the liquidity needs of the
banking system while maintaining the equilibrium for formation of fair, stable interest
rates by doing monetary operation.

40

Operational Framework (2)


Monetary Operations represent the implementation of the

monetary policy adopted by Bank Indonesia for the purpose of


liquidity management and are conducted through Open Market
Operations and Standing Facilities.
Open Market Operations, or OMO, are transactions conducted

by Bank Indonesia on the money market with banks and/or other


parties within the framework of Monetary Operations, while
Standing Facilities consist of lending facilities extended by Bank
Indonesia to banks and/or other parties and deposit facilities
extended to banks and/or other parties at Bank Indonesia for the
purpose of Monetary Operations.

41

OPERASI MONETER (OM):

42

OPERASI PASAR TERBUKA (OPT) & STANDING


FACILITIES (SF)
Karakteristik

OPT

SF

Inisiatif (vol)

BI

Bank

Fungsi dlm mgt


likuiditas

Smoothing volatilitas suku


bunga PUAB O/N

Koridor Suku Bunga PUAB


O/N

Mekanisme
Transaksi

Lelang

Non-lelang

ketersediaan

Tdk harus setiap hari

Setiap hari

Peserta

Bank & Lembaga Perantara

Bank

Jangka Waktu

Di atas O/N

O/N

Instrumen

Penerbitan SBI
Repo
Reverse Repo
Pembelian dan Penjualan
SBN
Term Deposit

Deposit facility
Lending facility

Setelmen

< T+1
(dpt quick setelmen, T+0,
T+1)

T+0

Penyempurnaan Operasi

Kerangka Operasional Baru

43

Operational Framework
Monetary Operation Instruments of Bank Indonesia

44

Operational Framework

Characteristics of Monetary Operation Instruments of Bank Indonesia

45

Operational Framework

Characteristics of Monetary Operation Instruments of Bank Indonesia

46

OPT

47

SBI : minimum 6 month holding period


PBI OM Pasal 13 ayat 1:
Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang melakukan
transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain.
SE OPT: Definisi
Kewajiban bagi pembeli SBI baik di pasar primer maupun di pasar sekunder untuk
mempertahankan kepemilikannya minimal selama 1 bulan (28 hari kalender).
SE OPT: Transaksi SBI yang tidak diperbolehkan selama masa holding
Transaksi repo (sell & buy back dan collateralized);
Transaksi outright;
Transaksi pengagunan; dan
Transaksi hibah.
SE OPT: Transaksi SBI yang diperbolehkan selama masa holding
1. Transaksi dengan Bank Indonesia, baik yang bersifat repo (d/r FLI, Repo SBI)
maupun pengagunan (d/r FPJP); dan
2. Transaksi SBI yang dilakukan setelah berlakunya PBI OM yang merupakan bagian
dari transaksi yang telah dilakukan sebelum PBI OM ini diberlakukan, sampai
dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu.
.Sub-Registry wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana di atas.

48

Terima kasih
Apabila masih ada pertanyaan hubungi:

triono_w@bi.go.id

Anda mungkin juga menyukai