Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
Krisis ekonomi adalah krisis dimensional yang menuntut berbagai
kebijakan penanggulangan dari pemerintah. Menurut Market Business News
sendiri, krisis ekonomi adalah keadaan di mana perekonomian di suatu negara
mengalami penurunan secara signifikan.1 Umumnya, negara yang menghadapi
keadaan tersebut akan mengalami penurunan PDB (Produk Domestik Bruto),
anjloknya harga properti dan saham, serta naik turunnya harga karena inflasi.
Banyak negara telah dirugikan akibat krisis ekonomi ini.

Menengok ke belakang, setidaknya telah terjadi empat krisis ekonomi di


Indonesia. Yang pertama adalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di tahun
1960-1965 yang menyebabkan inflasi hingga 635% yang diakibatkan oleh
salahnya kebijakan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Masih pada era
kepemimpinan yang sama, krisis tahun 1997-1998 terjadi. Krisis ekonomi ini
membuat kurs rupiah melemah terhadap dolar. Setelah masa reformasi, Indonesia
mengalami krisis ekonomi setidaknya sebanyak dua kali pada tahun 2008 dan
2013 yang diakibatkan oleh permasalahan ekonomi Amerika Serikat yang
mengguncang perekonomian global.2

Dari keempat krisis ekonomi tersebut, krisis ekonomi tahun 1997-1998


menjadi krisis ekonomi terbesar yang dialami oleh Indonesia. Tirto menyebut
krisis ekonomi 1997-1998 sebagai periode terkelam ekonomi Indonesia dalam
artikelnya yang berjudul Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam
Ekonomi Indonesia.

1
“What is an economic crisis? Definition and examples”,
https://marketbusinessnews.com/financial-glossary/economic-crisis/ (diakses pada 16 April 2021,
pukul 14.30)
2
“Ditakuti oleh Semua Negara, Apa Penyebab Terjadinya Krisis Ekonomi?”,
https://glints.com/id/lowongan/krisis-ekonomi/#.YH3DopMzafQ (diakses pada 16 April 2021,
pukul 15.00)
Dalam artikel tersebut disebutkan pendapat Bank Dunia terhadap krisis
ekonomi pada saat itu, sebagai berikut,

“Indonesia sedang mengalami krisis yang dalam. Sebuah negara yang


mencapai dekade-dekade pertumbuhan cepat, stabilitas, dan pengurangan
kemiskinan, kini ekonominya hampir kolaps,”3

Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama


membuat krisis menuju ke arah yang buruk. Yang pertama adalah akumulasi
utang swasta luar negeri dari tahun 1992 hingga 1997. Sebab yang kedua adalah
kelemahan pada sistim perbankan Indonesia. Ketiga adalah masalah pemerintahan
yang mengacu pada kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis. Hal
ini kemudian membawa pada krisis kepercayaan dan keengganan penyandang
dana untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang terakhir adalah
ketidakpastian politik pada era kepemimpinan Soeharto.4

Nasution pada makalahnya yang diseminarkan pada 1997 Economics


Conference yang diselenggarakan di Jakarta pada 17-18 Desember 1997,
menambahkan, kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dan tidak
berkesinambungan dalam menanggulangi krisis 1997-1998. Pemerintah
mengesankan tidak adanya kebijakan yang jelas dan terperinci tentang bagaimana
mengatasi krisis tersebut. Salah satunya dapat dilihat pada BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia) dimana pada pelaksanaanya terjadi beberapa
permasalahan. Bantuan yang diberikan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral,
mengalami penyimpangan penyaluran yang luar biasa yang melibatkan multi
pihak dan multi dimensi. Pemerintah dinilai lamban, kurang serius, dan tidak
tegas dalam menyelesaikan krisis BLBI. 5

3
"Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia", https://tirto.id/f6YV
(diakses pada 16 April, 17.30)
4
Lepi Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia :Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1998.
5
Nasution, “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”. makalah pada “1997
Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES, LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18
Desember.
Nurhayani dalam jurnalnya berjudul Upaya Penyelesaian BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia) menekankan pentingnya penyelesaian permasalahan
BLBI dari berbagai aspek. Salah satunya aspek politik dimana pemisahan tugas
policy dan finance. Dimana sebelumnya sesuai dengan Undang-undang No.13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang mengatur kedudukan Gubernur Bank
Indonesia sebagai anggota Dewan Moneter membawa konsekuensi tanggung
jawab di bidang policy dan finance. 6

Kedua tanggungjawab tersebut seharusnya dapat dipisah dimana aspek


policy diserahkan kepada pemerintah sedangkan aspek financial diserahkan
kepada Bank Sentral sehingga lembaga-lembaga ini tidak saling tumpang tindih
dan saling melakukan intervensi. Langkah ini kemudian diambil oleh pemerintah
dengan kebijakan penghapusan dewan moneter guna mendukung independensi
Bank Indonesia. Diberlakukannya Undang-undang No. 3 Tahun 2004 juga
mendukung indpendensi Bank Indonesia dimana pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-
undang ini.

Mutakhir ini mencuat wacana dihidupkannya kembali Dewan Kebijakan


Ekonomi Makro yang memiliki fungsi seperti Dewan Moneter. Wacana ini
tertuang pada Revisi Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasal 9 dalam UU No. 23
Tahun 1999 yang berlaku saat ini menuturkan bahwa pihak lain dilarang
melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
Indonesia. Bank Indonesia pun punya wewenang dan bahkan diwajibkan untuk

6
Nurhayani, “Upaya Penyelesaian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)”. Lex Jurnalica.
Vol.4 No.1, 2006, hal. 28-37
menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Dalam RUU yang sedang dibahas DPR, Pasal 9 tersebut akan dihapuskan
dan digantikan dengan pasal 9a yang akan menambahkan badan baru bernama
Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Dewan Kebijakan Ekonomi Makro ini
bertugas untuk memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan
moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”
dan diketuai oleh Menteri Keuangan. Selain itu, Dewan Kebijakan Ekonomi
Makro juga beranggotakan satu orang menteri yang membidangi perekonomian,
Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dan Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.7

Hal ini menuai kontroversi dari beberapa kalangan, sama seperti yang
telah disinggung sebelumnya keberadaan Dewan Moneter pada masa sebelum
terjadinya krisis ekonomi menjadikan status dan peranan Bank Indonesia
dipandang tidak sesuai lagi dalam menghadapi tuntutan perkembangan dan
dinamika perekonomian nasional dan internasional dewasa ini dan di masa yang
akan datang. Keberadaan Dewan Moneter mengakibatkan perumusan, penetapan
dan pelaksanaan kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan oleh Bank
Indonesia menjadi tidak fokus dan independen. Oleh sebab itu, diperlukan
landasan hukum yang baru, yang memberikan status, tujuan, dan tugas yang
sesuai kepada Bank Indonesia selaku bank sentral.

Dalam landasan hukum UU No. 3 Tahun 2004 yang baru ini Bank
Indonesia mempunyai tujuan yang lebih fokus, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan sebagian prasyarat bagi
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada gilirannya
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Reorientasi sasaran Bank Indonesia
7
“Jika Ada Dewan Moneter di Atas Bank Indonesia, Apa Dampaknya?”,
https://asumsi.co/post/jika-ada-dewan-moneter-di-atas-bank-indonesia-apa-dampaknya (diakses
pada 18 April 2021, pukul 08.00)
tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian
untuk keluar dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal itu sekaligus
meletakkan landasan yang kokoh bagi pelaksanaan dan pengembangan
perekonomian Indonesia di tengah-tengah perekonomian dunia yang semakin
kompetitif dan terintegrasi. Sebaliknya, kegagalan untuk memelihara kestabilan
nilai rupiah seperti tercermin pada kenaikan harga-harga dapat merugikan karena
berakibat menurunkan pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing
perekonomian nasional dalam perekonomian dunia.8

Piter, seorang ekonom, dalam wawancaranya bersama Suara menyebutkan


bahwa wacana pengaktifan kembali fungsi Dewan Moneter merupakan itu bentuk
kekesalan pemerintah melihat berbagai kebijakan yang telah diterapkan tidak
dapat mengatasi krisis perbankan di masa pandemi Covid-19. 9 Dari sisi
pemerintahan, Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
menyebutkan bahwa pengaktifan fungsi Dewan Moneter ditempuh agar
kebijakan-kebijakan moneter yang diambil oleh Pemerintah, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keungan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dapat
terintegrasi dan berkesinambungan dalam menanggulangi krisis pandemi
Covid-19. 10 Berbagai pro-kontra yang terjadi ini membuat penulis tertarik
untuk menangkat paper yang berjudul Urgensi Pembentukan Dewan
Kebijakan Ekonomi Makro (Studi Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Tahun 1998.

8
Perry Warjiyo dkk, Kebijakan Moneter di Indonesia (Pusat Pendidikan Dan Studi
Kebanksentralan (Ppsk) Bank Indonesia), hal. 34-35.
9
“Ekonom: Wacana Dewan Moneter Bentuk Pemerintah Emosional”,
https://www.suara.com/bisnis/2020/09/15/181413/ekonom-wacana-dewan-moneter-bentuk-
pemerintah-emosional (diakses pada 18 April 12.00)
10
“Dewan Moneter, Panglima Ekonomi Indonesia”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200901162403-8-183642/dewan-moneter-panglima-
ekonomi-indonesia (diaskses pada 18 April 15.00)

Anda mungkin juga menyukai