Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU

“KRISIS EKONOMI 1998 DI INDONESIA”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Wajib Umum (Komunikasi Bencana)
Dosen Pengampu : Farida Hanim, S.Sos., M.I.Kom.

Oleh :
Pratiwi Kurnia Putri (220501049)

MKWU Komunikasi Bencana


Program Studi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sumatera Utara
2024
KRISIS EKONOMI 1998 DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG
Krisis ini dimulai sejak tahun 1997, yang pada awalnya krisis ini adalah bagian dari Krisis
Finansial Asia (Asian Financial Crisis) yang merupakan kombinasi parah antara perilaku
pasar keuangan yang di luar batas dan kebijakan pemerintah yang lemah. Krisis Asia ini
berawal dari Thailand yaitu dengan terpuruknya nilai baht Thailand yang disebabkan oleh
keputusan pemerintah Thailand untuk menerapkan kebijaksanaan sistem mengambang nilai
tukar baht terhadap dolar Amerika.
Investor dari Asia Tenggara dan negara-negara lain sudah mulai menarik investasi dari
kawasan (Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina) untuk mengamankan aset mereka.
Dampaknya sangat jelas yaitu nilai tukar negara-negara tersebut terdepresiasi, sehingga
menyebabkan peningkatan hutang. Indonesia adalah negara Asia yang paling terkena dampak
krisis tahun 1997. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur perekonomian Indonesia yang
didominasi oleh kekuatan crony capitalism yang fokus pada wilayah kekuasaan.
Krisis ekonomi ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih
surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus. Selama hampir tiga dekade dari tahun 1970 hingga pertengahan
tahun 1997, perekonomian Indonesia memperlihatkan stabilitas kinerja yang sangat baik.
Bahkan pada tahun 1993, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia kedalam klasifikasi “New
Industrialized Economies” (NIEs), bersama dengan Malaysia dan Thailand. Produk Domestik
Bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata 7 persen setahun dan inflasi terkendali pada tingkat dari
sekitar US$ 100 tahun 1970 menjadi sebesar US$ 1.014 di tahun 1996 dan jumlah penduduk
miskin menurun dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Dalam tahun 1996, PDB riil
bahkan masih tumbuh sekitar 8 persen. Namun, di balik ini terdapat beberapa kelemahan
struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli
impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga
masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor
swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan
terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan.
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis nilai tukar rupiah yang meluas menjadi krisis
ekonomi. Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70 persen yang
mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar mencapai Rp. 14.700 per US$.
Tahun 1997 PDB tumbuh sebesar 4,7 persen dan berkontraksi hingga -13,1 persen di tahun
1998. Inflasi yang hanya berkisar rata-rata 8,1 persen antara 1991-1996, pada tahun 1998
meningkat tajam menjadi 77,6 persen, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang
diperdagangkan secara internasional. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada
tahun 1998 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar -13,68%. Padahal
tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan selalu positif yakni 4,65% pada tahun 1997, tahun
1996 sebesar 7,98%, tahun 1995 sebesar 8,22% dan 7,54% pada tahun 1994.
Gambar 1. Indikator Utama Ekonomi Indonesia 1990-1997

Sebagai konsekuensi dari krisis ekonomi ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS,
dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed
floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar
rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Setelah gagal menahan
laju depresiasi rupiah, Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikkan tingkat suku bunga
SBI satu bulan hingga 70 persen.

B. KRONOLOGIS KRISIS EKONOMI 1998 DI INDONESIA


Di dalam laporan IMF “World Economic Outlook” krisis ini digolongkan menjadi
berbagai jenis, yaitu (1). Currency crisis, (2). Banking crisis, (3). Systemic financial crisis
dan (4). Foreign debt crisis. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang
pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable,
lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang, lembaga keuangan dan
ketidakstabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan
global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dolar dengan yen), atau
perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia
usaha.
Apa yang terjadi di Indonesia bermula dari proses penularan dimana rupiah mendapat
tekanan di pasar valuta asing, bertepatan dengan peristiwa di negara tetangga yang diawali
dengan devaluasi baht Thailand secara signifikan. Namun kemudian, langkah-langkah
kebijakan yang diambil dan dampak yang terkait (perluasan kisaran intervensi nilai tukar,
fluktuasi nilai tukar rupiah, intervensi Bank Indonesia, pengetatan likuiditas) menimbulkan
spiral penularan yang negatif, dan fluktuasi nilai tukar rupiah menjadi problematis. Itu
menjadi tekanan terhadap perbankan (akibat lemahnya sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap
rupiah berkembang menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan (adanya flight to quality
and safety), yang berujung pada krisis perbankan. Dalam situasi ini, bank-bank ditinggalkan
tidak hanya oleh deposannya tetapi juga oleh bank-bank lain (gangguan pasar keuangan antar
bank yang terfragmentasi), dan pada akhirnya mencakup pihak asing (dari bank nasional oleh
bank asing).
Krisis perbankan kemudian menjalar kepada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya
kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap
sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini
secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh
pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan
krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan
nasional.
Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan
secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :
1. Tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand
yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli
1997.
2. Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997,
setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.
3. Dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada
tanggal 14 Agustus 1998.
4. Dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah
pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997.
5. Langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu “self
imposed IMF program”.
6. Keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.
7. Perundingan dengan IMF yang menghasilkan ‘letter of intent’ pertama, 31 Oktober
1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan
diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-
langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.
8. Kebijakan pencabutan izin usaha 16 bank dan implikasinya.
9. Pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai
bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore
yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang
lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan
pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan
kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif.
10. Proses terjadinya ‘letter of intent’ kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan
G7.
11. Reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.
12. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua
deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.
13. Heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.
14. Keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif
terhadap 7 bank lain.
15. Perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan “Memorandum Tambahan
tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan”, yang ditanda tangani Menko Ekuin
pada tanggal 9 April 1998.
16. Penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan
Frankfurt.
17. Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank
Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.

Anda mungkin juga menyukai