Oleh :
Pratiwi Kurnia Putri (220501049)
A. LATAR BELAKANG
Krisis ini dimulai sejak tahun 1997, yang pada awalnya krisis ini adalah bagian dari Krisis
Finansial Asia (Asian Financial Crisis) yang merupakan kombinasi parah antara perilaku
pasar keuangan yang di luar batas dan kebijakan pemerintah yang lemah. Krisis Asia ini
berawal dari Thailand yaitu dengan terpuruknya nilai baht Thailand yang disebabkan oleh
keputusan pemerintah Thailand untuk menerapkan kebijaksanaan sistem mengambang nilai
tukar baht terhadap dolar Amerika.
Investor dari Asia Tenggara dan negara-negara lain sudah mulai menarik investasi dari
kawasan (Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina) untuk mengamankan aset mereka.
Dampaknya sangat jelas yaitu nilai tukar negara-negara tersebut terdepresiasi, sehingga
menyebabkan peningkatan hutang. Indonesia adalah negara Asia yang paling terkena dampak
krisis tahun 1997. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur perekonomian Indonesia yang
didominasi oleh kekuatan crony capitalism yang fokus pada wilayah kekuasaan.
Krisis ekonomi ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih
surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus. Selama hampir tiga dekade dari tahun 1970 hingga pertengahan
tahun 1997, perekonomian Indonesia memperlihatkan stabilitas kinerja yang sangat baik.
Bahkan pada tahun 1993, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia kedalam klasifikasi “New
Industrialized Economies” (NIEs), bersama dengan Malaysia dan Thailand. Produk Domestik
Bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata 7 persen setahun dan inflasi terkendali pada tingkat dari
sekitar US$ 100 tahun 1970 menjadi sebesar US$ 1.014 di tahun 1996 dan jumlah penduduk
miskin menurun dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Dalam tahun 1996, PDB riil
bahkan masih tumbuh sekitar 8 persen. Namun, di balik ini terdapat beberapa kelemahan
struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli
impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga
masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor
swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan
terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan.
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis nilai tukar rupiah yang meluas menjadi krisis
ekonomi. Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70 persen yang
mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar mencapai Rp. 14.700 per US$.
Tahun 1997 PDB tumbuh sebesar 4,7 persen dan berkontraksi hingga -13,1 persen di tahun
1998. Inflasi yang hanya berkisar rata-rata 8,1 persen antara 1991-1996, pada tahun 1998
meningkat tajam menjadi 77,6 persen, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang
diperdagangkan secara internasional. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada
tahun 1998 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar -13,68%. Padahal
tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan selalu positif yakni 4,65% pada tahun 1997, tahun
1996 sebesar 7,98%, tahun 1995 sebesar 8,22% dan 7,54% pada tahun 1994.
Gambar 1. Indikator Utama Ekonomi Indonesia 1990-1997
Sebagai konsekuensi dari krisis ekonomi ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS,
dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed
floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar
rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Setelah gagal menahan
laju depresiasi rupiah, Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikkan tingkat suku bunga
SBI satu bulan hingga 70 persen.