Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

EKONOMI MONETER

TENTANG

"PENYEBAB DAN DAMPAK KRISIS MONETER TAHUN 1998"

DOSEN PENGAMPU :

MEXANO HANS GERRY, SE. MM

Oleh:

FINA LESTARI NINGRUM

( 1510612012827 )

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


SUMBAR PARIAMAN
TH 2017/2018
PEMBAHASAN

KRISIS MONETER TAHUN 1998

Krisis Moneter adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan memengaruhi mata
uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa
ini juga sering disebut krisis moneter (“krismon”) di Indonesia.

Krisis ini membawa berbagai masalah di Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Tingginya krisis
menyebabkan memperparah perekonomian di Indonesia. Melemahnya pertumbuhan perekonomian
Indonesia yang disebabkan oleh merosotnya nilai tukar dollar Amerika, diperparah lagi oleh peristiwa
dalam dunia perdagangan seperti yang diungkapkan oleh Adwin S. Atmadja dalam Jurnal Akuntansi dan
keuangan tahun 1999 bahwa krisis ekonomi di Indonesia terjadi akibat adanya Domino Effect dari
terdepresiasinya mata uang Thailand (bath) dan negara lainya, dimana salah satunya telah
mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang yang diimpor Indonesia dari luar negeri yang
menyebabkan lonjakan harga dalam negeri secara drastis. Dari berbagai latarbelakang penyebab
terjadinya krisis moneter tersebut mengakibatkan beberapa masalah ekonomi seperti inflasi yang tinggi
dan masalah sosial yang tak kunjung selesai seperti pengangguran.

Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :

1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek,
telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang
berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat
perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik
lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi
untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki
mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut
benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari
penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini
mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh
dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Sayangnya, banyaknya
modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti
pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi
Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan
(boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk .tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang
selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar
yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.

2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta
eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.

Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme
pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya
pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-
bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri,
konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang
bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized)atau
kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi.Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai
terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”,
tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya
yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk
mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis
yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan
maupun kepastian hukum.

Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang
melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi
negative tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi

Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi
penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi
kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif.Akhirnya semua itu
berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala
masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke
luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

4.Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada
gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit
diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi
dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Dampak krisis ekonomi pada perekonomian Indonesia.

Berbagai dampak Krisis Moneter timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa dampak yang kurang
baik bagi Indonesia, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung
tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah tetap. Dampak yang terlihat
seperti : Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar
upah para pekerjanya. Sehingga menambah angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan
menutup APBN. Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat kesulitan
mendapat barang-barang kebutuhan pokoknya. Utang luar negeri dalam rupiah melonjak. Harga BBM
naik.

Kemiskinan juga termasuk dampak krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga miskin di
perkirakan sekitar 7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai
mata uang rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang
berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi
yang tinggi.

Disaat krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para
pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan
tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara.

Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara umum impor barang
menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri
dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang
ekspor khususnya yang berbasis pertanian.

Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu di
karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat

CARA PEMERINTAH MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL

Beberapa Cara Pemerintah dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global antara lain

Pemerintah mengajak semua pihak dalam menghadapi krisis global harus terus memupuk rasa
optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjaga kepercayaan masyarakat.

Mempertahankan serta berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan terus mencari peluang
ekspor dan investasi serta mengembangkan perekonomian domestik.

Optimalisasi APBN dengan memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan `social safety net`
dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan,
ketersediaan listrik serta pangan dan BBM. Untuk itu perlu dilakukan efisiensi penggunaan anggaran
APBN maupun APBD khususnya untuk peruntukan konsumtif.
Mengajak kalangan dunia usaha untuk tetap mendorong sektor riil dapat bergerak. Bila itu dapat
dilakukan maka pajak dan penerimaan negara bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga.
Sementara Bank Indonesia dan perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa
mendorong sektor riil. dan pemerintah akan menjalankan kewajibannya untuk memberikan insentif dan
kemudahan secara proporsional.

CARA MENGATASI KRISIS MONETER 1998

Secara umum langkah yang diambil dalam mengatasi masalah krisis moneter ini berpijak pada empat
bidang pokok :

a. Di bidang Moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi lajuinflasi dan penurunan
atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.

b. Di bidang Fiskal, ditempuh dengan kebijakan yang terfokus pada upayrelokasi pengeluaran-
pengeluaran untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.c.

c. Di bidang Pengelolaan (governance), ditempuh dengan berbagai kebijakanuntuk penngelolaan baik


di sector public atau swastad.

d. Di bidang Perbankan, ditempuh dengan berbagai kebijakan untuk mengurangikelemahan dunia


perbankan.

Secara khusus kebijakan yang diambil ketikakrisis moneter terjadi dengan cara mengupayakan stabilisasi
dan pemulihan kegiatanekonomi, pemerintah telah menempuh beberapa kebijakan dari sisi permintaan
maupun penawaran (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999). Di sisi permintaan perlumenjadi
perhatian khusus karena permintaan domestik mengalami kontraksi sebesar 17,6%, dengan sumbangan
terhadap kontraksi PDB sebesar 18,4% kebijakan yangditempuh diarahkan untuk memulihkan kegiatan
investasi, perdagangan, sertamengurangi dampak negatif krisis terutama terhadap golongan masyarakat
miskin(Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999). Penurunan permintaan domestic ini berimbas pula
pada penurunan konsumsi rumah tangga akibat daya beli masyrakat yangturun. Hal ini yang berimbas
pada semakin banyaknya masyrakat miskin sehingga dalamkebijakan permintaan difokuskan pula pada
masyarakat miskin untuk mengurangidampak-dampak yang akan ditimbulkan dari krisis monter ini.
Penurunan investasi yangdisebabkan banyak faktor. Dua faktor utama adalah penurunan kepercayaan
atas dayaserap pasar domestic dan perusahaan yang mengalami kesusahan dalam pembiayaansehingga
tidak sempat untuk melakukan investasi. Kebijakan pemerintah dalammeningkatkan investasi dengan
menghapuskan bea masuk unruk beberapa jenis barangmodal dan menerapkan kebijakan tas holiday
(Laporan Tahunan Bank Indonesia1998/1999). Hal ini untuk memudahkan perusahaan untuk melakukan
produksi barangsemakin banyak perusahaan yang mulai berproduksi semakin tinggi pula tingkat
investasiyang terjadi. Di sisi penawaran, kebijakan yang ditempuh lebih bersifat structuraluntuk
membantu pemulihan kinerja sektor perbankan dan dunia usaha. Upaya untuk meredam tekanan inflasi
dilakukan melalui kebijakan moneter yang ketat dan pemulihansisi pasokan terutama melalui
penyediaan dan perluasan kredit program serta perbaikansistem distribusi. Pemulihan inflasi dari sisi
penawaran berkaitan pada perluasan pemberian kredit kepada bank-bank umum sehingga memudahkan
pengusaha kecil untuk menminjamkan dana dalam proses produksi. Dalam upaya pemenuhan
pasokankebutuhan yang mengalami penurunan pemerintah memperbaiki dari sisi distribusi(Laporan
Tahunan Bank Indonesia 1998/1999) dimana dengan mengurangi monopolisuatu badan dalm pengadaan
pesokan dan membuka kepada badan lain seperti koperasiuntuk pemenuhan kebutuhan pokok.

Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada pencegahan
penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, pada suatu saat tertentu
dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam jangka waktu yang lebih panjang pada
tingkat yang terkendali (manageable).

Anda mungkin juga menyukai