Anda di halaman 1dari 516

Hand book

Seri Kebanksentralan

No. 1

UANG
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian

Solikin
Suseno

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar, oleh Solikin dan Suseno,
Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya,
Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.

Seri Kebanksentralan ini diterbitkan oleh:


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
BANK INDONESIA
Jl. MH. Thamrin No.2, Gd. Tipikal lt.2, Jakarta 10010
No. Telepon: 021-3817628, No. Fax : 021 – 3501912
e-mail: PPSK@bi.go.id

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan - Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Seri Kebanksentralan No. 1

UANG
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian

Solikin
Suseno

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Desember 2002


i
Solikin
Uang : Pengertian, penciptaan dan
peranannya dalam perekonomian / Solikin,
Suseno. -- Jakarta : Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, 2002.
58 hlm. ; 15,2 cm x 22,8 cm. -- (Seri Kebanksentralan ; 1)

Bibliografi : hlm. 54
ISBN 979-3363-00-2

ii
Sambutan

Sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang No. 23 tahun


1999 tentang Bank Indonesia, dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mewujudkan iklim
keterbukaan. Selain itu, sebagai sumbangsih Bank Indonesia untuk
berperan dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran kepada
masyarakat, dalam dua tahun terakhir ini Bank Indonesia juga terus
berupaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan penelitian yang ditujukan
untuk memperkaya khazanah ilmu kebanksentralan. Sejalan dengan hal
tersebut, pada kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia, menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Lingkup materi yang dibahas dalam buku seri kebanksentralan ini
sangatlah luas, meliputi disiplin ilmu ekonomi makro-moneter, perbankan,
sistem pembayaran, dan bidang-bidang lain yang terkait dengan tugas
dan tanggung jawab bank sentral. Untuk tahun penerbitan perdana ini,
kami menerbitkan empat seri buku sekaligus, terdiri dari: (i) Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian, (ii)
Penyusunan Statistik Uang Beredar, (iii) Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter, dan (iv) Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi,
dan Penerapan. Kami berupaya untuk dapat menuangkan bahasan pada
masing-masing topik tersebut dengan bahasa yang cukup sederhana
dengan menghindari sejauh mungkin penggunaan istilah-istilah teknis
yang dapat mempersulit pemahamannya. Kalaupun masih terdapat istilah-
istilah teknis yang sulit disederhanakan, kami berusaha tetap menyertakan
istilah aslinya.
Mengiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada
para penulis yang telah berusaha secara maksimal serta pihak-pihak yang
telah memberikan kontribusi berharga dalam penyusunan buku ini.
Semoga karya ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2002


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Halim Alamsyah
Direktur

iii
Pengantar

Uang beredar merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam
perumusan kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, uang beredar senantiasa
menjadi perhatian, baik oleh para pengambil kebijakan di bidang ekonomi
moneter, para pengamat ekonomi, maupun masyarakat pada umumnya.
Namun, uang beredar masih merupakan istilah yang relatif belum banyak
dipahami atau dimengerti oleh masyarakat luas. Seri kebanksentralan no.
1 ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang
berminat memahami berbagai hal yang terkait dengan masalah-masalah
moneter di Indonesia, khususnya uang beredar dan hal-hal yang terkait
dengannya.
Banyak rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
dan Direktorat Statistik Moneter yang telah membantu kelancaran
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada Sdr. Halim Alamsyah, Sdr. Iskandar, Sdri. Susmiyati,
Sdr. M. Anwar Bashori, Sdr. Nunu Hendrawanto, Sdr. Erwin Haryono
atas partisipasinya dalam diskusi dan pemberian saran dalam penyelesaian
tulisan ini. Demikian juga kepada Sdr. P. Iman Soesanto dari Direktorat
Pemeriksaan Bank 1 dan Tubagus Feridhanusetyawan dari CSIS atas
masukannya pada tahap akhir penulisan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan dan menghargai
semua kritik dan saran demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya, mudah-
mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2002

Penulis

iv
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar iv

Uang 1
Apa itu Uang ? 1
Sekilas Perkembangan Penggunaan Uang 3
Otorita Penciptaan Uang 9

Uang beredar 10
Pengertian Uang Beredar 10
Jenis-jenis Uang Beredar 13
Perkembangan Pengertian Uang Beredar 15

Mekanisme Penciptaan Uang Beredar 17


Penciptaan Uang Primer oleh Otoritas Moneter 17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Primer 20
Penciptaan Uang oleh Bank Umum 21
Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar:
Keberadaan Angka Pelipat Ganda Uang 22
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar 34

Boks: Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang di Indonesia 37

Peranan Uang dalam Perekonomian 41


Uang dan Kegiatan Ekonomi 41
Uang dan Suku Bunga 43
Uang dan Kegiatan Ekonomi Sektor Riil 46
Uang dan Harga 48
Pengendalian Jumlah Uang Beredar 51

Daftar pustaka 54

Lampiran 55
Tabel 1. Perkembangan Uang Beredar 56
Tabel 2. Perkembangan Angka Pelipat Ganda Uang 57
Tabel 3. Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang 58

v
Uang

Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian

Uang

Apa itu Uang ?


Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan salah
satu penemuan manusia yang paling menakjubkan. Uang juga mempunyai
sejarah yang sangat panjang dan telah mengalami perubahan yang sangat
besar sejak dikenal manusia. Dengan kondisi tersebut, memang tidak
mudah untuk menjelaskan atau mendefinisikan uang secara singkat, jelas,
dan tepat. Namun, anehnya, dalam masyarakat moderen saat ini tidak ada
orang yang tidak mengenal uang. Besar/kecil, tua/muda, dan kaya/miskin
sejak bangun tidur sampai kembali tidur, semuanya tidak dapat melepaskan
diri dari benda yang satu ini: uang.
Apa sebenarnya benda yang disebut uang itu? Secara sekilas, jawaban
atas pertanyaan tersebut dapat diberikan dengan mudah; orang awam akan
dapat menunjukkan uang pecahan kertas atau logam yang berlaku yang
dipegangnya sebagai uang. Namun, apakah mereka juga mempunyai
anggapan yang sama terhadap uang pecahan kertas atau logam dari daerah
atau negara lain? Mungkin saja tidak. Mereka mungkin lebih yakin atau
senang untuk memegang uang yang barasal dari daerahnya sendiri
dibandingkan dengan uang yang berasal dari daerah lain. Pertanyaan yang
muncul selanjutnya adalah: mengapa orang tersebut lebih memilih benda
seperti kertas dan logam di atas sebagai uang, bukan benda lainnya,
misalnya kulit binatang atau lempengan besi?
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ternyata sangatlah
sulit atau hampir mustahil untuk mendefinisikan uang baik menurut bentuk
fisik maupun ciri-cirinya karena bentuk fisik dan ciri-ciri uang begitu
bervariasi, tergantung pada waktu dan tempat penggunaannya. Dengan

1
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

demikian, untuk mempermudah dan menyederhanakan pemahamannya,


uang dilihat sebagaimana uang yang ada dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu dilihat dari kegunaan atau fungsinya bagi manusia. Dengan kata
lain, uang dipahami dari apa yang dapat dilakukan oleh manusia dengan
uang tersebut.
Uang adalah seperti yang kita bayangkan, yaitu suatu benda yang
dapat ditukarkan dengan benda lain, dapat digunakan untuk menilai benda
lain, dan dapat kita simpan. Selanjutnya, jangan lupa bahwa uang dapat
juga digunakan untuk membayar utang di waktu yang akan datang. Dengan
kata lain, uang adalah suatu benda yang pada dasarnya dapat berfungsi
sebagai: (1) alat tukar (medium of exchange), (2) alat penyimpan nilai
(store of value), (3) satuan hitung (unit of account), dan (4) ukuran
pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment). Perlu
dikemukakan pula bahwa pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai
alat penukar saja tetapi, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia
dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, fungsi tersebut telah
berkembang dan bertambah sehingga mempunyai fungsi seperti uang pada
saat ini.1 Di bawah ini akan diuraikan secara singkat keempat fungsi dasar
uang yang telah disampaikan di atas.
Uang sebagai alat tukar. Dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup
dalam perekonomian moderen ini tanpa adanya benda yang dapat
digunakan sebagai alat penukar. Apabila tidak ada uang maka transaksi
hanya dilakukan dengan cara tukar-menukar antara barang yang satu
dengan barang yang lain. Misalnya, seseorang yang memiliki ayam dan
ingin menukarkannya dengan garam – karena ia mempunyai ayam yang

1
Dalam buku-buku teks ekonomi-moneter tradisional, dua fungsi pertama, yaitu uang
sebagai alat tukar dan satuan hitung dianggap sebagai fungsi asli uang, sementara fungsi-
fungsi lainnya dianggap sebagai fungsi turunan uang. Sementara itu, Glyn Davies dalam
bukunya, A History of Money from Ancient Times to the Present Day (2002), mendefinisikan
fungsi uang dengan lebih detail lagi, yaitu fungsi khusus dan fungsi umum. Fungsi khusus
meliputi keempat fungsi di atas ditambah fungsi lainnya, yaitu sebagai alat pembayaran
(means of exchange) dan sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common
measure of value). Adapun fungsi umum meliputi fungsi-fungsi uang sebagai: (i) aset likuid
(liquid asset), (ii) faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market
allocative system), (iii) faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the
economy), dan (iv) faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy).
Tentunya, tidak semua benda yang dapat digunakan sebagai uang dapat menjalankan semua
fungsi tersebut. Dalam hal ini, fungsi benda tertentu yang dapat digunakan sebagai uang
mungkin dapat berubah, sejalan dengan perkembangan zaman.

2
Uang

banyak dan sangat membutuhkan garam – harus bertemu dengan orang


lain yang memiliki garam dan ingin menukarkan garam dengan ayam.
Selanjutnya, mereka saling menukarkan ayam dengan garam. Kondisi ini
dinilai terlalu kaku dan sulit dipenuhi.2 Dengan adanya uang, seseorang
dapat secara langsung menukarkan uang tersebut dengan barang yang
dibutuhkannya kepada orang lain yang menghasilkan barang tersebut.
Uang sebagai alat penyimpan nilai. Sesuai dengan sifatnya, manusia
adalah mahluk yang gemar mengumpulkan dan menyimpan kekayaan
dalam bentuk barang-barang yang berharga untuk dipergunakan di masa
yang akan datang. Barang-barang berharga tersebut pada umumnya berupa
tanah, rumah, dan benda berharga lain. Walaupun kekayaan yang dapat
disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa uang
merupakan salah satu pilihan untuk menyimpan kekayaan.
Uang sebagai satuan hitung. Apabila tidak ada satuan hitung yang
diperankan oleh uang, dapat dibayangkan kesulitan dalam melakukan
penilaian terhadap suatu barang. Tanpa satuan hitung seseorang mungkin
akan menilai seekor sapi sama dengan dua ekor kambing dsb. Dengan
adanya uang, tukar-menukar dan penilaian terhadap suatu barang akan
lebih mudah dilakukan. Selain itu, dengan uang pertukaran antara dua
barang yang berbeda secara fisik juga dapat dilakukan.
Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda. Fungsi uang ini
terkait dengan transaksi pinjam-meminjam; uang merupakan salah satu
cara untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut. Lebih
masuk akal untuk meminjamkan uang sebesar satu juta rupiah selama
lima tahun daripada meminjamkan satu ekor kambing dalam waktu yang
sama mengingat keadaan kambing dalam lima tahun mendatang akan
berbeda dengan keadaan kambing semula.

Sekilas Perkembangan Penggunaan Uang


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, uang mempunyai sejarah yang
sangat panjang dan telah mengalami perubahan dan perkembangan
sepanjang peradaban manusia. Pada awalnya, masyarakat primitif yang
2
Uraian lebih lanjut mengenai pola pertukaran barang tersebut akan disampaikan pada
bagian berikutnya, tentang perkembangan penggunaan uang.

3
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

hidup berkelompok dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficient)


belum mengenal atau membutuhkan benda yang namanya uang (misalnya
sebagai alat penukar). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah suatu
kelompok masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain dan tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhannya sendiri timbulah kebutuhan untuk
melakukan pertukaran antarindividu atau antarkelompok masyarakat
tersebut.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, pertukaran
atau transaksi antarindividu atau antarkelompok masyarakat tersebut pada
awalnya dilakukan dengan cara menukarkan barang yang satu dengan
barang yang lain. Sistem pertukaran barang dengan barang tersebut dikenal
dengan istilah sistem barter.3 Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem
barter harus dipenuhi kondisi yang disebut kebetulan ganda (double
coincidence). Apa yang dimaksud dengan kebetulan ganda? Kebetulan
yang pertama adalah bahwa seseorang bertemu dengan orang lain yang
akan menukarkan barangnya dan kebetulan yang kedua adalah bahwa
barang tersebut adalah barang yang saling dibutuhkan. Sebagaimana yang
telah dicontohkan sebelumnya, dalam pola pertukaran antara ayam dan
garam antarindividu, kondisi yang harus dipenuhi adalah: orang yang
memiliki ayam dan berniat ingin menukarkannya dengan garam harus
mencari orang lain yang memiliki garam dan ingin menukarkan garam
dengan ayam. Dengan demikian, dalam sistem barter, semua barang harus
dapat diukur dengan seluruh atau sebagian barang lainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dengan semakin kompleksnya
kehidupan ekonomi suatu masyarakat, kebetulan ganda tersebut akan
semakin sulit ditemukan. Karena kondisi yang demikian, secara bertahap
timbulah kebutuhan akan adanya suatu alat penukar untuk mempermudah
tukar-menukar atau perdagangan antarindividu dan antarkelompok
masyarakat.
Penggunaan benda-benda sebagai alat penukar (yang selanjutnya
disebut sebagai uang) semula hanya didasarkan pada kesepakatan di antara
3
Perlu dicatat bahwa sebenarnya barter kadang-kadang juga dilakukan pada zaman moderen
ini, misalnya Indonesia pernah melakukan barter dengan Pemerintah Thailand, yaitu dengan
menukarkan pesawat terbang yang diproduksi P.T. Nurtanio dengan sejumlah beras ketan.
Benda-benda tertentu (misalnya rokok dan kain) juga dipergunakan sebagai alat pembayaran
pada saat uang sangat langka (misalnya dalam penjara, kamp pengungsi, atau keadaan
perang).

4
Uang

masyarakat yang mempergunakan. Suatu benda hanya dapat dipergunakan


sebagai alat tukar setelah disepakati secara umum oleh masyarakat yang
bersangkutan, yakni, hampir setiap orang harus mau menerima benda
tersebut untuk membayar barang-barang yang diperdagangkan. Proses
tersebut berlangsung secara bertahap dan sangat lama. Telah berabad-
abad berbagai benda dikembangkan sebagai alat pertukaran atau alat
pembayaran untuk dapat dipergunakan dalam perdagangan. Benda tersebut
dapat berupa kulit kerang, batu permata, gading, telur, garam, beras,
binatang ternak, atau benda-benda lainnya.4 Benda yang dipergunakan
dan diterima sebagai alat pembayaran dalam sistem perekonomian yang
sangat sederhana tersebut pada umumnya adalah benda yang dianggap
berharga dan seringkali juga yang mempunyai kegunaan untuk dikonsumsi
atau keperluan produksi. Benda yang di-pergunakan sebagai uang tersebut
pada umumnya juga mudah dibawa dan tidak mudah rusak atau tahan
lama.
Di berbagai tempat atau kelompok masyarakat benda yang diperguna-
kan sebagai alat penukar tersebut berbeda-beda dan sangat bervariasi.
Sebagai-mana telah disinggung sebelumnya, pada awalnya benda yang
dipergunakan sebagai alat tukar yang kemudian dikenal sebagai uang
tersebut tentunya hanya berlaku dalam kelompok masyarakat dengan
cakupan wilayah tertentu saja. Pemberlakuan uang tersebut selanjutnya
berkembang dan mencakup wilayah suatu negara. Dalam perkembangan
selanjutnya hubungan dan interaksi antara kelompok masyarakat, terutama
hubungan perdagangan antarwilayah dan antarkelompok masyarakat,
semakin meluas. Untuk mem-perlancar transaksi pertukaran dan jual-beli
tersebut semakin dirasakan perlunya benda tertentu yang dapat digunakan
secara praktis sebagai pengganti uang.
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat menggunakan benda-
benda seperti logam berharga dan kertas sebagai uang. Sebelum diguna-
kannya kertas sebagai uang, logam berharga dikenal sebagai bentuk uang
yang paling populer karena memiliki ciri-ciri yang pantas dikehendaki sebagai
uang, yaitu dapat dipecah-pecah dan dinyatakan dalam unit-unit kecil
sehingga dapat diperguna-kan untuk melakukan transaksi dengan mudah.
Selain itu, uang logam mudah dibawa, tahan lama, dan tidak mudah rusak.

4
Glyn Davies (2002).

5
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Berkaitan dengan penggunaan logam sebagai uang, telah dikenal uang


logam emas dan perak sebagai alat tukar yang banyak dipakai. Penggunaan
logam mulia tersebut sebagai alat pembayaran ternyata mengalami pasang-
surut, antara lain sebagai akibat terbatasnya ketersediaan dan/atau
mahalnya biaya penambangan logam tersebut.5 Dalam perkembangan
selanjutnya, selain kedua logam tersebut, tembaga juga sangat diminati
mengingat logam tersebut lebih mudah didapat sehingga lebih murah
harganya. Keberadaan beberapa uang logam tersebut secara bersamaan
di tengah masyarakat menimbulkan konsekuensi logis, yaitu semakin
diminatinya uang dengan kualitas rendah (tembaga) dibandingkan dengan
uang dengan kualitas baik (emas dan perak). Apabila terus berlanjut, hal
ini dapat menyebabkan hilangnya uang dengan kualitas baik dari
peredaran.6
Dalam perkembangannya, penggunaan logam-logam berharga tersebut
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan sistem pembayaran,
khususnya untuk transaksi yang berjumlah besar, karena selain oleh adanya
kesulitan dan biaya pengangkutan, risiko mungkin akan timbul, misalnya
perampokan. Untuk mengatasi hal ini, lembaga-lembaga swasta atau
pemerintah mulai menyimpan sertifikat-sertifikat berharga yang mewakili
logam tersebut. Pada awal penggunaannya, sertifikat tersebut didukung
sepenuhnya oleh nilai logam yang disimpan di tempat penyimpanan atau
yang dikenal sebagai bank.7 Setelah beberapa waktu digunakan dan
diterima secara luas, sertifikat tersebut tidak bergantung secara penuh
pada dukungan logam dengan nilai penuh, misalnya hanya didukung 40%

5
Penerapan standar barang yang sangat terkenal dan berlaku cukup lama (berlaku hampir
satu abad di Inggris) adalah standar emas. Ronald I. McKinnon. “The Rules of the Game:
International Money in Historical Perspective”, Journal of Economic Literature, Vol. 31,
Issue 1, March 1993.
6
Dalam istilah ilmu ekonomi moneter terdapat pernyataan yang dikenal sebagai hukum
Gresham yang berbunyi : “bad money tends to drive out good money out of circulation”.
7
Cikal bakal sistem perbankan sudah dikenal sebelum digunakannya pecahan logam sebagai
uang. Perkembangan awal “perbankan” tersebut dimulai di masyarakat Mesopotamia kuno.
Pada saat itu istana dan kuil banyak digunakan sebagai tempat untuk menyimpan dan
mengamankan gandum dan komoditas lainnya. Bukti penyimpanan yang diterbitkan dapat
digunakan untuk membayar upeti kepada penguasa dan transaksi lain, seperti pembayaran
utang dan pajak. Setelah dikenalkannnya pecahan logam sebagai uang, fungsi “bank
gandum” tersebut berevolusi sebagai tempat untuk menyimpan uang. Sementara itu, sistem
perbankan dengan bentuk seperti yang dikenal saat ini mulai berkembang sejak abad ke-
18 di Inggris. Glyn Davies (2002).

6
Uang

oleh simpanan emas. Dengan demikian, nilai yang tercantum pada


sertifikat yang bersangkutan (nilai nominal) tidak sama dengan nilai
jaminan fisik logam yang disimpan (nilai intrinsik). Apabila nilai nominal
suatu mata uang lebih besar dibandingkan dengan nilai intrinsiknya, uang
tersebut dikenal dengan uang fiat. Dalam hal ini uang diakui sebagai tanda
setuju. Termasuk di antara uang fiat adalah uang kertas yang kita kenal
selama ini.8
Sejarah juga mencatat bahwa penjaminan uang kertas yang beredar
oleh simpanan logam berharga, seperti emas di bank negara, mengalami
pasang surut, sejalan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Uang
kertas yang sudah beredar bahkan sempat tidak dijamin sama sekali
dengan simpanan emas sesaat setelah Perang Dunia I. Baru kemudian
sesaat setelah Perang Dunia II, 44 negara mayoritas yang dipelopori oleh
Amerika Serikat sepakat untuk mengaitkan kembali mata uang di dunia
(dollar Amerika) dengan emas. Kesepakatan tersebut dikenal dengan
kesepakatan Bretton Woods. Dalam perkembangannya, kesepakatan
tersebut hanya bertahan selama seperempat abad. Sebagai akibat semakin
besarnya kegiatan transaksi pasar uang dan barang yang tidak mungkin
memadai lagi apabila dibiayai dengan emas, kesepakatan Bretton Woods
akhirnya dibatalkan pada tahun 1971. Dengan demikian, sejak saat itu
pula mata uang dunia tidak dikaitkan sama sekali dengan emas.

8
Penggunaan uang kertas sebagai tanda setuju sebenarnya mempunyai perjalanan sejarah
yang panjang. Pertama kali uang kertas digunakan sebagai pengganti sementara dari tembaga
(awal abad ke-9 di Cina). Masyarakat Barat mulai ikut mencetak uang kertas pada abad ke-
17, yang kemudian diikuti pula oleh masyarakat Timur hingga saat ini. Glyn Davies (2002).
Robert Temple dalam bukunya The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery,
and Invention (1986) menyebutkan bahwa uang kertas tersebut pada awalnya dinamai “uang
terbang” (flying money) karena begitu ringan sehingga dapat terbang apabila tertiup angin.
Contoh uang fiat di Indonesia adalah uang kertas pecahan Rp100.000,00. Dalam hal ini,
nilai nominal uang kertas tersebut adalah Rp100.000,00, sementara nilai intrinsik yang
meliputi harga kertas dan biaya cetak untuk membuat selembar uang Rp100.000,00 tersebut
tentu jauh lebih rendah daripada nilai nominalnya. Dalam kondisi tertentu, karena begitu
rendah nilai intrinsiknya, beberapa ahli juga menganggap uang fiat kertas sebagai uang
“hampa”. Contoh sederhana: seandainya seseorang menyimpan satu peti uang kertas pecahan
seratus ribuan dan, karena sesuatu hal Pemerintah menetapkan aturan bahwa nilai uang
seratus ribu menjadi seribu, maka secara otomatis nilai semua uang tersebut berkurang
secara drastis, menjadi seperseratus dari nilai semula. Belum lagi, seandainya Pemerintah
menyatakan uang tersebut tidak berlaku lagi, maka uang satu peti yang semula bernilai
ratusan juta tersebut menjadi tidak bernilai lagi. Kalau pun dijual kiloan di pasar barang
bekas, paling-paling uang tersebut cuma dihargai dengan harga yang sangat rendah.

7
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Dengan tidak berlakunya standar emas tersebut, sampai saat ini masya-
rakat dunia memasuki era yang pengelolaan uangnya bergantung sepenuh-
nya kepada kemampuan, kesadaran, dan tanggung jawab setiap negara
da-lam mengelola perekonomian masing-masing. Dalam standar ini, setiap
negara berupaya untuk mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masing-
masing.
Penggunaan uang yang telah diuraikan di atas pada dasarnya terbatas
pada lingkup pengertian uang dalam bentuk fisiknya, yaitu uang tunai
yang berupa kertas dan logam yang beredar di masyarakat. Bagaimana
dengan penggunaan uang tidak tunai? Dalam perkembangannya,
penggunaan uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal
secara terbatas pada abad ke-18, pada saat dimulainya evolusi sistem
perbankan moderen. Sejalan dengan evolusi sistem perbankan tersebut,
proses giralisasi, yaitu penyim-panan uang dalam bentuk rekening giro
(demand deposit) baru dikenal secara luas pada awal pertengahan abad
ke-20. Dalam pada itu, masyarakat mempunyai keleluasaan untuk meng-
gunakan baik warkat perintah penarikan maupun cek untuk melakukan
transaksi. Dalam perkembangannya, simpanan giro begitu populer
sehingga jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang diguna-
kan pada waktu itu. Sejalan dengan perkembangan tersebut, simpanan
tabungan (savings deposit) juga mulai dikenal. Bahkan, pada tahun 1950-
an, perubahan praktik perbankan telah mendorong semakin besarnya
jumlah simpanan tabungan dibandingkan dengan simpanan giro.9
Perkembangan dan inovasi sistem perbankan yang pesat selanjutnya
mengarahkan penggunaan uang sebagai suatu komoditas yang tidak
berbentuk secara konkrit (intangible money). Hal ini terkait dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat
meningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta mengurangi waktu dan
biaya yang diperlukan untuk melakukan transaksi dengan menggunakan
cek. Sejak tahun 1990-an hingga kini terdapat kecenderungan masyarakat
untuk menggunakan “uang eloktronis” (electronic money atau E-money),
seperti internet banking, debit cards, dan automatic teller machine (ATM)
cards. Evolusi uang tidak berhenti di sini. “Uang elektronis” juga muncul
9
Pada perkembangannya, proses giralisasi ini mempengaruhi perkembangan pengertian
(definisi) uang beredar. Jagdish Handa, Monetary Economics, London: ECAP 4EE, 2002.
Pembahasan mengenai pengertian uang beredar akan dipaparkan pada bab berikutnya.

8
Uang

dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips pada sebuah kartu.
Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu dengan “mengisi” chips
dengan sejumlah uang tertentu yang dikehen-daki, dan selanjutnya
menggunakannya untuk melakukan transaksi. 10

Otorita Penciptaan Uang


Dalam sejarah awal penggunaan uang sebagaimana telah diuraikan sebe-
lumnya, secara tersirat terlihat bahwa penguasa daerah atau negara yang
bersangkutanlah yang mempunyai wewenang untuk menciptakan dan
mengedarkan uang.11 Salah satu contohnya adalah penciptaan uang kertas
pertama kali pada awal abad ke-9 yang dilakukan oleh kaisar Cina.
Dalam perekonomian moderen, dalam suatu pemerintahan yang
struktur kelembagaannya sudah tertata dengan baik, penguasa negara
menetap-kan lembaga yang mempunyai wewenang dan memegang
peranan utama dalam penciptaan uang, yang meliputi kegiatan pengeluaran
dan pengedaran uang. Mengapa demikian? Hal ini terjadi tidak lain karena
keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara yang bersang-
kutan. Sangatlah wajar apabila ditetapkan lembaga yang atas nama negara
atau pemerintahan yang berwenang untuk menciptakan uang. Pada
umumnya, lembaga ini dikenal sebagai otoritas moneter atau bank sentral.
Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya suatu pemerintahan,
terutama dengan semakin meningkatnya kegiatan pereko-nomian suatu
negara, keberadaan lembaga yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
masalah uang tersebut semakin dibutuhkan.
Hampir setiap negara di dunia mempunyai lembaga yang bertugas
untuk melaksanakan fungsi otoritas moneter, yang salah satunya adalah
mengeluarkan dan mengedarkan uang.12 Di Indonesia fungsi tersebut
sesuai dengan undang-undang yang berlaku dilaksanakan oleh Bank
Indonesia yang merupakan bank sentral Republik Indonesia.13 Fungsi
otoritas moneter di berbagai negara pada umumnya juga dilaksanakan
10
Pengisian dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui transfer bank, mesin
ATM, atau pembelian secara tunai
11
Sampai dengan pembahasan pada bagian ini, yang dimaksud dengan uang adalah jenis
uang dalam bentuk fisik yang umum yang kita kenal, yaitu uang kertas dan uang logam
yang beredar di masyarakat.

9
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

oleh bank sentral negara yang bersangkutan, misalnya di Malaysia dilaku-


kan oleh Bank Negara Malaysia, di Thailand oleh Bank of Thailand, dan
di Inggris oleh Bank of England.14 Meskipun demikian, perlu dicatat
bahwa saat ini di beberapa negara lembaga selain bank sentral juga mem-
punyai wewenang dalam melaksanakan fungsi otoritas moneter. Di
Amerika Serikat, selain bank sentral (the Federal Reserve), Departemen
Keuangan (Treasury Department) juga mempunyai wewenang untuk
menciptakan uang dengan pecahan logam tertentu.15

Uang Beredar

Pengertian Uang Beredar


Setelah memahami seluk-beluk uang secara fisik dan perkembangannya
secara umum, selanjutnya akan dibahas pengertian uang secara lebih
khusus, yaitu uang beredar. Uang beredar adalah suatu istilah yang
dipergunakan dalam ilmu ekonomi moneter. Membaca istilah tersebut
mungkin akan timbul pertanyaan: Apa itu uang beredar? Apakah ada uang
yang tidak beredar? Apakah uang beredar sama dengan uang tunai? Banyak
pertanyaan yang dapat timbul dari istilah tersebut. Untuk itu, secara
bertahap akan diuraikan konsep tentang uang beredar tersebut.
Sebelum sampai pada pengertian atau konsep uang beredar perlu
dipahami terlebih dahulu penggunaan uang dalam praktik kehidupan
12
Uang yang diciptakan oleh bank sentral dikenal sebagai uang primer, yang akan dibahas
lebih detail pada bab ke-3. Berdasarkan penjelasan dalam buletin Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, otoritas moneter adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian
moneter dengan fungsi-fungsi: (1) mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sebagai alat
pembayaran yang sah, (2) memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa, (3) melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank, dan (4) memegang kas Pemerintah.
13
Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sebelum
berlakunya Undang Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Departemen
Keuangan Republik Indonesia juga mengeluarkan dan mengedarkan uang sehingga pada
periode tersebut Departemen Keuangan juga termasuk sebagai otoritas moneter.
14
Masing-masing otoritas moneter di berbagai negara tersebut mempunyai wewenang
dan tanggung jawab yang tidak sama.
15
Hubbard, R. Glenn. Money, the Financial System, and the Economy, 3rd ed. Addison-
Wesley , 2002.

10
Uang Beredar
Uang

sehari-hari. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah uang tunai


yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang tunai adalah uang
yang ada di tangan masyarakat (di luar bank umum) dan siap dibelanjakan
setiap saat, terutama untuk pembayaran-pembayaran dalam jumlah yang
tidak terlalu besar. Uang tunai tersebut juga sering disebut sebagai uang
kartal. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang
beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank
Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas moneter.
Apakah pembayaran tunai hanya dapat dilakukan dengan membayar
dengan uang tunai? Tentu saja tidak. Untuk melakukan pembayaran tunai
dalam jumlah yang besar tentunya tidak praktis kalau harus dilakukan
dengan membawa-bawa uang tunai. Selain berat membawanya, tentunya
juga kurang aman. Pembayaran tunai juga dapat dilakukan dengan cek.
Sebagaimana diketahui, cek adalah juga dianggap sebagai alat pembayaran
tunai. Satu hal yang harus diingat ialah bahwa seseorang yang ingin
melakukan pembayaran dengan cek sebelumnya harus mempunyai simpa-
nan dalam bentuk rekening giro di suatu bank umum (demand deposits).
Reke-ning giro adalah suatu rekening simpanan di bank umum yang
penarikan-nya dapat dilakukan sewaktu-waktu. Mempunyai rekening giro
sebenarnya sama dengan mempunyai uang tunai. Perbedaannya adalah
kalau akan membayar dengan uang, yang dilakukan cukup dengan membe-
rikan uang tunai, sedangkan apabila melakukan pembayaran dari uang yang
telah disimpan dalam rekening giro, perlu satu langkah lagi yang harus
dilakukan, yaitu menulis jumlah pembayaran yang diinginkan pada selembar
cek. Uang yang berada dalam rekening giro di bank umum terse-but sering
disebut sebagai uang giral.16 Berdasarkan uraian tersebut, terlihat jelas
bahwa bank umum adalah sebagai lembaga keuangan yang dapat
menciptakan uang, yaitu yang namanya uang giral. Oleh sebab itu, bank
umum juga dikenal sebagai bank umum pencipta uang giral (BPUG).17

16
Dalam praktik, selain cek, dalam bertransaksi masyarakat dapat menggunakan bilyet
giro (BG) melalui pemindahbukuan dana dari rekening giro ke rekening lainnya. Namun,
walaupun digolongkan juga sebagai komponen uang giral, menurut ketentuan yang berlaku
BG tidak dianggap sebagai alat pembayaran tunai seperti halnya cek.
17
Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 tahun 1998, bank perkreditan rakyat (BPR) termasuk dalam pengertian bank. Namun,
karena BPR tidak diperbolehkan menerima simpanan masyarakat dalam bentuk rekening
giro maka BPR tidak dapat digolongkan sebagai bank umum (BPUG).

11
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Dengan uang kartal dan uang giral masyarakat dapat melakukan pem-
bayaran tunai secara langsung. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan simpanan uang tunai dalam bentuk tabungan (savings deposits)
dan/atau deposito berjangka (time deposits) di bank? Sebagaimana
diketahui, penarikan simpanan berupa tabungan dan deposito berjangka
tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu. Lazimnya, penarikan rekening
tabungan dan deposito berjangka adalah sesuai dengan yang telah
diperjanjikan antara penabung dengan bank, misalnya dalam jangka waktu
1 bulan atau 3 bulan.18 Karena penarikannya tidak dapat dilakukan
sewaktu-waktu, pemilik rekening tabungan dan deposito berjangka
tersebut untuk sementara tidak dapat melakukan pembayaran secara
langsung karena harus menunggu sampai rekening tabungan atau deposito
berjangka tersebut jatuh tempo.19 Uang yang disimpan dalam rekening
tabungan dan deposito berjangka tersebut disebut sebagai uang kuasi.
Dari ketiga jenis uang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat dua
perbedaan pokok. Yang pertama, apabila dilihat dari lembaga yang
mengeluarkan dan mengedarkan, terlihat bahwa uang kartal dikeluarkan
dan diedarkan bank sentral, sementara uang giral dan uang kuasi diciptakan
dan diedarkan oleh bank umum. Perbedaan yang kedua, apabila dilihat
dari penggunaanya, uang kartal dan uang giral dapat dipergunakan
langsung sebagai alat pembayaran sedangkan uang kuasi tidak dapat
langsung dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dengan kata lain, uang
kartal dan uang giral lebih likuid dibandingkan dengan uang kuasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa otoritas
moneter (bank sentral) dan bank umum adalah lembaga yang dapat
menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang
kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral
serta uang kuasi. Kedua lembaga ini disebut sebagai lembaga yang
termasuk dalam sistem moneter. Disebut demikian karena kedua lembaga

18
Yang dimaksud dengan tabungan di sini adalah tabungan berjangka. Dalam
perkembangannya, pada saat ini terdapat banyak skim tabungan yang memungkinkan
penarikan tabungan tersebut sewaktu-waktu, antara lain dengan menggunakan kartuATM.
Di Indonesia jenis tabungan ini masih digolongkan sebagai uang kuasi.
19
Selain itu, berbeda dengan penarikan rekening giro yang menggunakan cek, penarikan
tabungan dan deposito berjangka pada umumnya menggunakan slip penarikan umum
(kuitansi) yang tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

12
Uang Beredar
Uang

tersebut mempunyai fungsi moneter, yaitu antara lain dapat menciptakan


uang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Semua uang yang dikeluarkan dan diedarkan merupakan kewajiban
lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkannya. Sebagai contoh,
sebuah bank mempunyai kewajiban uang giral sebesar rekening giro yang
disimpan masyarakat, ditambah dengan kewajiban uang kuasi sebesar
tabungan dan deposito berjangka yang disimpan masyarakat di bank yang
bersangkutan.
Dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang berarti sistem moneter
mempunyai kewajiban kepada sektor swasta domestik atau penduduk/
masyarakat yang terdiri dari individu, badan usaha, dan lembaga lain-
nya.20 Berdasarkan pengertian tersebut, uang beredar didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik.

Jenis-jenis Uang Beredar


Dalam praktik, berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis
yang beragam. Jenis-jenis uang beredar tersebut secara resmi didefinisikan
ber-dasarkan komponen yang tercakup di dalamnya. Komponen tersebut
pada umumnya adalah ketiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian
sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral, dan uang kuasi. Dengan demi-
kian, sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis uang
beredar pun beragam, mulai dari pengertian atau definisi yang paling
sempit sampai yang paling luas. Uang kartal atau uang tunai seperti yang
telah diuraikan di atas sebenarnya merupakan jenis uang beredar dalam
pengertian yang paling sempit.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, uang beredar didefinisikan
sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik. Di
Indonesia saat ini kita hanya mengenal dua macam uang beredar saja,
yaitu:21

20
Sektor swasta domestik lebih merupakan istilah teknis. Untuk mempermudah pemahaman
praktis, istilah masyarakat juga digunakan pada beberapa penyampaian ulasan dalam buku
ini.
21
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia.

13
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

- Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol M1,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D).
- Uang beredar dalam arti luas, yang sering juga disebut sebagai
likuiditas perekonomian dan diberi simbol M2, didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri
dari uang kartal (C), uang giral (D), dan uang kuasi (T). Dengan kata
lain M2 adalah M1 ditambah dengan uang kuasi (T).
Sementara itu, definisi uang beredar di berbagai negara dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi sektor keuangan dan perbankan serta kebutuhan
otoritas moneter negara yang bersangkutan. Di Amerika Serikat misalnya,
definisi uang beredar tidak hanya mengenal istilah M1 dan M2 saja, namun
juga M3. Sebagai ilustrasi, perkembangan uang beredar di Indonesia dalam
dua dekade terakhir dapat dilihat grafik di bawah ini.

Grafik 1.
Perkembangan M1 dan Komponennya
Triliun Rp
200
M1
Uang Giral
150 Uang Kartal

100

50

0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

14
Uang Beredar
Uang

Grafik 2.
Perkembangan M2 dan Komponennya
Triliun Rp
1000
M2
Uang Kuasi
800
Uang M1

600

400

200

0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

Perkembangan Pengertian Uang Beredar


Pada awal tulisan ini telah dikemukakan berbagai kesulitan dalam
mendefinisikan uang, terutama apabila sudah dikaitkan dengan pengertian
uang beredar karena pengertian uang telah mengalami evolusi dalam waktu
yang sangat panjang. Pada awalnya, dalam sistem perekonomian yang
sederhana, yang dimaksud dengan uang adalah uang yang dikeluarkan
dan diedarkan oleh penguasa (otoritas moneter) pada waktu tersebut dan
merupakan uang kartal saja.
Pada pertengahan abad ke-19, pada saat bank bank umum komersial
baru pada tahap awal perkembangannya, simpanan dalam bentuk rekening
giro (uang giral) masih baru dan hanya dikenal oleh orang-orang kaya
atau pedagang saja; masyarakat luas belum mengenal dan menggunakan-
nya. Pada waktu tersebut timbul perdebatan apakah simpanan dalam
bentuk giro yang sebenarnya merupakan substitusi uang tunai tersebut
dapat dikategorikan sebagai uang. Pada waktu itu disepakati bahwa uang
simpanan di bank tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang.

15
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Dengan semakin berkembangnya kegiatan bank umum pada per-


tengahan pertama abad ke-20, terutama di Amerika, Inggris, dan Kanada,
yang diikuti oleh berkembangnya kegiatan ekonomi, semakin banyak
masyarakat yang memanfaatkan jasa-jasa bank umum. Pada waktu itu
simpanan dalam bentuk giro (demand deposit) yang merupakan substitusi
dari uang tunai, sebagaimana uang giral pada saat ini, mulai diakui sebagai
uang beredar. Sejak saat itu mulai dikenal apa yang sekarang merupakan
konsep uang beredar dalam arti sempit, yang diberi simbol M1. Pada
awal tahun 1960 mulai dikenal konsep uang beredar dalam arti luas atau
yang dikenal sebagai M2, yaitu dengan menambahkan uang kuasi yang
terdiri dari simpanan berjangka di bank terhadap definisi uang dalam arti
sempit (M1). 22
Salah satu isyu yang juga terjadi dalam perekonomian Indonesia adalah
mengenai keberadaan simpanan tabungan (savings deposits) dalam M2,
padahal, sebagaimana diketahui, kebanyakan tabungan yang ditawarkan
oleh perbankan dewasa ini adalah jenis tabungan yang dapat ditarik
sewaktu-waktu. Ditambah dengan kemudahan pelayanan melalui
penggunaan kartu ATM, sifat simpanan tabungan dinilai sama dengan
simpanan giral, bahkan hampir sama dengan uang tunai. Dengan demikian,
simpanan tabungan jenis tersebut seharusnya digolongkan ke dalam jenis
uang M1, bukan M2.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian uang beredar telah
berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
di sektor keuangan dan perbankan. Seperti yang telah diketahui, menjelang
akhir abad ke-20 sektor keuangan dan perbankan telah berkembang sangat
pesat. Keadaan tersebut terutama juga ditunjang oleh pesatnya perkem-
bangan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan perkembangan tersebut, telah berkembang produk-produk baru
di bidang keuangan dan perbankan, seperti credit cards, debit cards, dan
internet banking. Dengan perkembangan tersebut, pengertian uang beredar
tentunya juga akan mengalami perubahan. Hal ini tentunya dimaksudkan
secara tidak langsung untuk menampung keragaman transaksi keuangan
masyarakat. Seperti telah dicontohkan sebelumnya, Bank Sentral Amerika
Serikat dalam mengitung jumlah uang beredar tidak hanya menggunakan
22
Jagdish Handa (2002).

16
Mekanisme Penciptaan Uang

jenis pengelompokan M1 dan M2 saja, namun juga M3. Inggris mengguna-


kan jenis pengelompokan M1, M2, dan M4. Sementara itu, Kanada meng-
gunakan jenis pengelompokan yang lebih rinci lagi, yaitu M1, M2, M2+,
adjusted M2+, dan M3.23

Mekanisme Penciptaan Uang

Dalam bab satu telah dibahas pengertian uang menurut fungsinya, perkem-
bangan penggunaan uang, dan otoritas yang mempunyai wewenang untuk
megeluarkan serta mengedarkan uang. Adapun dalam bab dua telah di-
bahas pula pengertian uang beredar, jenis-jenis uang beredar, dan perkem-
bangan pengertian uang beredar dari waktu ke waktu. Selanjutnya, akan
dibahas bagaimana uang beredar itu diciptakan.
Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu duraikan terlebih dahulu siapa
saja pelaku dalam proses penciptaan uang. Berdasarkan pengelompokan
peranannya, secara umum dikenal tiga pelaku utama, yaitu (i) otoritas
moneter, (ii) bank umum, dan (iii) masyarakat atau sektor swasta domestik.
Pada dasarnya, ketiga pelaku tersebut berinteraksi sedemikian rupa sehingga
penyediaan (penawaran) uang oleh otoritas moneter dan bank sesuai dengan
kebutuhan (permintaan) masyarakat akan uang tersebut. Secara sederhana
dapat diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank
umum menciptakan uang giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan
menggunakan uang yang diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum
tersebut untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.

Penciptaan Uang Primer oleh Otoritas Moneter


Sebelum dikenal konsep otoritas moneter, hak monopoli untuk menge-
luarkan dan mengedarkan uang ada pada penguasa; dalam hal ini misalnya
raja (atau kerajaan). Sejalan dengan berkembangnya sistem ekonomi dan
dikenalnya sistem perbankan, konsep otoritas moneter atau bank sentral

23
Jagdish Handa (2000)

17
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

juga mulai dikenal. Pada tahap ini hak monopoli untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang pada umumnya berada pada bank sentral.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab dua, sebagai
pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal yang terdiri dari uang
kertas dan uang logam. Dalam praktik, ternyata bank sentral juga menerima
simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan giro bank umum
di bank sentral tersebut selanjutnya disebut sebagai uang primer atau
uang inti karena jenis uang ini merupakan inti atau “biang” dalam proses
penciptaan uang beredar yang sudah dikenal dari uraian sebelumnya, yaitu
uang kartal, uang giral, dan uang kuasi.
Di Indonesia uang primer didefinisikan sebagai kewajiban otoritas
moneter (Bank Indonesia) terhadap sektor swasta domestik dan bank
umum, yang berupa uang kertas dan uang logam yang berada di luar
Bank Indonesia serta simpanan giro bank umum di Bank Indonesia. Ilus-
trasi mengenai perkembangan uang primer dan uang beredar di Indonesia
dalam dua dekade terakhir dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 3.
Perkembangan Uang Primer dan Uang Beredar
Triliun Rp
1000
M2
M1
800
M0

600

400

200

0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

18
Mekanisme Penciptaan Uang

Untuk mempermudah pengertian uang primer, dapat diberikan contoh


sebagai berikut.
Seorang eksportir Indonesia menerima pembayaran dalam bentuk wesel
ekspor sebesar $1 juta dengan kurs Rp5.000,00/dolar. Kemudian si
eksportir menjual wesel ekspor tersebut ke Bank A. Terhadap penjualan
ini, si eksportir melepaskan haknya atas uang $1 juta tersebut dan
sebagai gantinya Bank A akan membukukan sejumlah Rp5 miliar
sebagai tambahan pada saldo rekening si eksportir di Bank A. Apabila
si eksportir tidak bermaksud menarik tunai simpanan gironya maka
yang terjadi selanjutnya adalah Bank A menjual wesel ekspor tersebut
ke Bank Indonesia. Terhadap penjualan ini, Bank A melepaskan haknya
atas uang $1 juta tersebut dan sebagai gantinya Bank Indonesia akan
membukukan sejumlah Rp5 miliar sebagai tambahan pada saldo
rekening giro Bank A pada Bank Indonesia. Dengan penambahan pada
saldo rekening giro Bank A di Bank Indonesia tersebut pada dasarnya
telah tercipta uang primer sebesar Rp5 miliar.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa apakah si eksportir
berniat atau tidak untuk menguangkan ceknya tidak mengubah kenyataan
bahwa uang primer sebesar Rp5 miliar telah tercipta. Bentuk uang primer
tersebut dapat berupa saldo rekening giro Bank A di Bank Indonesia atau
dapat pula berupa uang tunai yang diterima si eksportir.
Berdasarkan contoh di atas, uang primer di Indonesia dapat didefini-
sikan sebagai:
(i) uang tunai (uang kartal) yang dipegang baik oleh masyarakat maupun
bank umum, ditambah dengan
(ii) saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum dan masyarakat
di Bank Indonesia.24
Dalam praktik uang primer tersebut diberi simbol M0. Perlu diketahui
bahwa semua uang tunai yang dicetak oleh otoritas moneter adalah uang

24
Berbeda dengan konsep yang dianut oleh beberapa negara lain, cakupan saldo giro yang
diperhitungkan sebagai uang primer di Indonesia adalah saldo giro dalam rupiah saja. Hal
ini mengingat saldo giro dalam valuta asing tidak digunakan untuk keperluan transaksi
namun hanya sebagai pemenuhan ketentuan/kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam perkembangannya, pada beberapa kurun waktu neraca otoritas moneter juga
menampung saldo rekening giro rupiah milik masyarakat

19
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

primer, tidak peduli apakah dipegang oleh masyarakat atau disimpan di


bank-bank umum. Dengan demikian, uang kartal adalah uang primer tetapi
tidak semua uang primer adalah uang kartal.
Hubungan antara komponen-komponen M0, M1, dan M2 dapat diilus-
trasikan melalui diagram di bawah ini.

Diagram 1. Hubungan M0, M1, dan M2

M2
M1 M0

Uang Kartal Giro bank di BI +


Uang Kuasi Uang Giral di masyarakat Uang Kartal
Giro masyarakat di Bank
di BI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Primer


Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi uang primer perlu
diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter. Di Indonesia, neraca
tersebut secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut.25

Neraca Otoritas Moneter


Aktiva Pasiva

Aktiva Luar Negeri Bersih (ALNB) Uang kartal


Aktiva Dalam Negeri Bersih (ADNB) - di masyarakat (C)
- Tagihan bersih pada pemerintah pusat - di bank umum
- Tagihan pada sektor swasta domestik Saldo giro (R)
- Tagihan pada bank umum - milik bank umum
- Aktiva Lainnya Bersih - milik masyarakat
M0 M0

25
Penjelasan detail mengenai penyusunan Neraca Otoritas Moneter akan disampaikan
dalam buku Seri Kebanksentralan berikutnya (Penyusunan Statistik Uang Beredar).

20
Mekanisme Penciptaan Uang

Secara garis besar, sisi pasiva (kewajiban) neraca otoritas moneter


memuat komponen-komponen uang primer, yang terdiri dari (i) Uang
kartal yang beredar di masyarakat maupun uang kartal yang ada di kas
bank umum, dan (ii) Saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum
dan masyarakat di Bank Indonesia
Sementara itu, sisi aktiva (kekayaan) neraca otoritas moneter memuat
sumber atau faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang primer,
yaitu:
(i) Aktiva Luar Negeri Bersih (net foreign assets)
Faktor atau sumber ini antara lain timbul sebagai akibat terjadinya
transaksi luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya
penarikan dan pelunasan pinjaman luar negeri.
(ii) Aktiva Dalam Negeri Bersih (net domestic assets)
Faktor ini bersumber dari transaksi dalam bentuk mata uang domestik
yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta domestik, dan bank
umum. Transaksi oleh pemerintah antara lain berkaitan dengan
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang tercermin dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu,
tagihan kepada sektor swasta domestik dan bank umumantara lain
berkaitan dengan pemberian bantuan likuiditas dalam rangka
pelaksanaan fungsi lender of last resort.
(iii) Aktiva Lainnya Bersih (net other items)
Faktor atau sumber ini merupakan pos yang disediakan untuk
menampung berbagai pos yang tidak dimasukkan ke dalam kelompok-
kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu contohnya
adalah pos Modal dan Cadangan.

Penciptaan Uang oleh Bank Umum


Seperti yang telah dijelaskan, bank umum memiliki kedudukan yang
khusus dalam sistem moneter karena bank umum mempunyai kemampuan
untuk menciptakan uang dalam bentuk uang giral dan uang kuasi.
Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana terciptanya uang giral dan uang
kuasi tersebut?

21
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Penciptaan uang giral dan uang kuasi tersebut secara umum dapat
melalui beberapa cara sebagai berikut.
(i) Substitusi, melalui proses substitusi ini seseorang dapat menyetorkan
uang kartal ke bank umum untuk dimasukkan ke dalam simpanan
giro, simpanan tabungan, atau sebagai deposito.
(ii) Transformasi, melalui proses transformasi ini bank umum dapat
membeli surat-surat berharga dan kemudian membukukan surat-surat
berharga yang dibeli ke dalam simpanan giro atas nama yang
bersangkutan atau membukukan ke dalam simpanan tabungan atau
deposito.
(iii) Pemberian kredit, melalui proses ini bank-bank umum dapat
memberikan kredit kepada nasabahnya dan membukukan kredit
tersebut ke rekening giro atas nama debitur yang menerima kredit
tersebut.
Perlu diketahui bahwa dalam proses substitusi dan transformasi
terdapat kemungkinan terjadinya perpindahan bentuk dari uang giral ke
uang kuasi melalui pemindahbukuan. Hal tersebut dapat terjadi karena
dalam praktik suku bunga deposito berjangka pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan jasa giro. Namun, pergeseran tersebut tergantung
pada daya tarik simpanan dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka
dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk giro. Sementara itu, dalam
proses pemberian kredit pada umumnya tidak dibukukan sebagai tabungan
atau deposito karena, pada umumnya, suku bunga pinjaman lebih tinggi
dibandingkan dengan suku bunga tabungan atau deposito.

Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar:


Keberadaan Angka Pelipat Ganda Uang
Setelah dibahas proses penciptaan uang baik oleh bank umum maupun
otoritas moneter dan sekilas mengenal uang primer (M0), uang beredar
dalam arti sempit (M1), dan uang beredar dalam arti luas (M2), pada bagian
ini akan dibahas hubungan antara M0 dengan M1 dan M0 dengan M2.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, uang primer atau M0
merupakan “inti” dalam proses penciptaan uang beredar. Sementara itu,

22
Mekanisme Penciptaan Uang

juga sudah diketahui bahwa bank sentral mempunyai kemampuan untuk


mengendalikan uang primer yang berada pada sisi pasiva Neraca Otoritas
Moneter. Apakah dengan demikian otoritas moneter dapat sepenuhnya
mengendalikan uang beredar?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak mudah mengingat kemampuan
otoritas moneter dalam mengatur jumlah uang beredar sangat tergantung
pada berbagai faktor dan terutama karena bank umum juga mempunyai
peranan dan kemampuan untuk menciptakan uang giral dan uang kuasi.
Sementara itu, uang beredar juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat
dalam membelanjakan uangnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui terlebih dahulu konsep
angka pelipat ganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul sejalan
dengan kondisi bahwa dalam menciptakan uang giral dan uang kuasi bank
tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang
ada di kasnya. Berikut ini ilustrasi yang sangat sederhana untuk memahami
keberadaan angka pelipat ganda uang tersebut.
Misalnya, seorang nasabah mempunyai uang tunai sebesar Rp1 juta
yang disimpan dalam rekening tabungannya di Bank A. Bank A sebagai
lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat tentunya
tidak akan menahan uang begitu saja. Karena atas rekening tabungan
tersebut Bank A harus membayar biaya bunga maka dana yang berasal
dari tabungan tersebut akan kembali ditanamkan, misalnya dalam bentuk
pemberian kredit. Tentu saja Bank A tidak dapat menanamkan seluruh
dana yang disimpan masyarakat untuk pemberian kredit karena Bank A
harus mempertimbangkan pula keperluan lainnya, misalnya menyimpan
dana untuk keperluan berjaga-jaga atau memenuhi ketentuan bank sentral
yang umumnya juga mewajibkan kepada seluruh bank umum untuk
menyimpan sebagian dananya di bank sentral. Ketentuan bank sentral
tersebut sering disebut sebagai Reserve Requirement, yang di Indonesia
dikenal dengan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM). Pada saat ini
Bank Indonesia menetapkan GWM dalam rupiah sebesar 5% dari seluruh
simpanan masyarakat.26

26
Sebagaimana diatur, bank umum wajib memelihara GWM atas simpanan masyarakat di
bank baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing. GWM dalam rupiah ditetapkan
sebesar 5% dari total dana yang disimpan masyarakat di bank (dana pihak ketiga), yang

23
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Misalnya, semua bank umum hanya mempertimbangkan pemenuhan


kewajiban atas ketentuan GWM yang telah ditetapkan, yaitu 5%. Dengan
demikian, Bank A harus menyisakan untuk cadangan sebesar 5% x Rp1
juta atau sebesar Rp50 ribu sehingga Bank A masih dapat memberikan
kredit sebesar Rp950.000,00. Proses tersebut tidak berhenti sampai di
sini. Misalnya, penerima kredit tersebut menyimpan dana tersebut di Bank
B maka proses yang terjadi adalah seperti pada Bank A. Selanjutnya,
Bank B menahan dana sebesar 5% dari Rp950.000,00 atau sebesar
Rp47.500,00 dan menyalurkan sisanya sebesar Rp902.500,00 ke pihak
lain dalam bentuk kredit. Demikian pula, seandainya pihak lain tersebut
menyimpan dana tersebut ke Bank C maka proses yang terjadi adalah
seperti pada Bank A dan Bank B. Dalam hal ini, Bank C menahan dana
sebesar 5% dari Rp902.500,00 atau sebesar Rp45.125,00 dan menyalurkan
sisanya sebesar Rp857.375,00 ke pihak lain dalam bentuk kredit. Proses
ini berlangsung seterusnya sampai waktu yang tidak terhingga. Apabila
diasumsikan bahwa ketentuan GWM sebesar 5% tersebut berlangsung
terus dan dalam proses tersebut tidak terdapat kebocoran, baik berupa
biaya transaksi/administrasi maupun penyimpangan perilaku bank umum
dan masyarakat dalam mengelola dananya, maka potensi penyaluran kredit
dapat dihitung secara sederhana, yaitu:
1 juta + [(1 - 5%) x 1 juta] + [(1 -5%)2 x 1 juta] + [(1 - 5%)3 x 1 juta] +
… = 1 juta + 950.000 + 902.500 + 857.375 + ….. = 20 juta
Penjumlahan angka tersebut dapat dituliskan dalam rumus sederhana,
yaitu:
1/(5%) x 1 juta = 20 juta
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan uang
beredar penambahan uang primer sebesar Rp1 juta dapat mengakibatkan
pertambahan uang beredar menjadi sekitar Rp20 juta, yaitu dalam bentuk
kredit. Hal ini terjadi karena terdapat faktor yang “melipatgandakan” uang
terdiri dari giro, deposito berjangka, tabungan, dan kewajiban-kewajiban lainnya tanpa
melihat jangka waktu. Dalam pada itu, GWM dalam mata uang asing ditetapkan sebesar
3% dari dana pihak ketiga. Ketentuan GWM tersebut diatur secara rinci dalam SK Dir BI
No. 30/89A/KEP/DIR, SE BI No. 3010/UPPB, dan SE BI No. 31/10/UPPB masing-masing
tanggal 20/10/1997, serta SK DIR BI No. 28/113/KEP/DIR tanggal 14/12/1995. Dalam
praktik, ketentuan GWM atau reserve requirement dianggap sebagai piranti kebijakan
moneter. Pembahasan lebih detail mengenai ketentuan ini akan disampaikan pada buku
Seri Kebanksentralan berikutnya (Intrumen-instrumen Pengendalian Moneter).

24
Mekanisme Penciptaan Uang

primer tersebut, yaitu sekitar 20 kali. Besarnya pelipatgandaan yang terjadi


tentunya tergantung pada perilaku otoritas moneter, bank umum, dan
masyarakat. Berdasarkan contoh di atas, misalnya otoritas moneter
mengubah rasio GWM dari 5% menjadi 1%, maka uang beredar akan
dapat bertambah menjadi 1/(1%) x 1 juta, atau Rp100 juta.
Perlu ditekankan bahwa uraian di atas hanya mempertimbangkan
perilaku otoritas moneter. Pengamatan terhadap proses penciptaan uang
beredar yang lebih lengkap tentunya harus mempertimbangkan perilaku
bank umum dan masyarakat secara keseluruhan. Proses tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Seperti telah diketahui, dari Neraca Otoritas Moneter diketahui bahwa
secara umum, uang primer terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank
umum di bank sentral (R) atau dapat diformulasikan dalam persamaan
sebagi berikut.27

M0 = C + R …. (1)

Sementara itu, berdasarkan Neraca Sistem Moneter, uang beredar


dalam arti sempit (M1) terdiri uang kartal (C) dan uang giral (D) sedangkan
uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah dengan uang
kuasi (T).28 Konsep tersebut dapat diformulasikan dalam persamaan
sebagai berikut.

M1 = C + D …. (2)
M2 = C + D + T …. (3)

Dengan menyederhandakan C/D = c, T/D = t, dan R/(D+T) = r, maka


didapatkan angka pelipat ganda uang untuk masing-masing M1 dan M2
27
Untuk mempermudah penghitungan selanjutnya dalam kasus Indonesia, termasuk dalam
komponen uang kartal adalah saldo giro masyarakat di Bank Indonesia (lihat Diagram 1).
28
Neraca Sistem Moneter merupakan necara konsolidasi antara Neraca Otoritas Moneter
dan Neraca Gabungan Bank Umum. Penjelasan detail mengenai penyusunan Neraca Sistem
Moneter akan disampaikan dalam buku Seri Kebanksentralan berikutnya (Penyusunan
Statistik Uang Beredar).

25
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

(yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan


interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu:

c + 1
mm1 = M1/M0 = …. (4)
c + [r x (t + 1)]

c+t+1
mm2 = M2/M0 = …. (5)
c + [r x (t + 1)]

Formulasi di atas merupakan definisi angka pelipat ganda uang, yaitu


perbandingan atau rasio uang beredar terhadap uang primer. 29
Pada hakikatnya, c, t, dan r merupakan determinan angka pelipat ganda
uang. c adalah rasio uang kartal terhadap uang giral atau sering disebut
currency ratio. t adalah rasio tabungan dan deposito (uang kuasi) terhadap
uang giral atau sering disebut time and savings deposit ratio. r adalah

29
Penghitungan angka pelipat ganda uang dapat dilakukan melalui beberapa cara
(algoritma). Salah satunya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, membagi M1 dan
M2 masing-masing dengan M0 untuk mendapatkan hubungan sebagai berikut.
Untuk M1:
M1/M0 = (C + D)/(C + R)
= ((C/D) + (D/D)) / ((C/D) + (R/D))
= ((C/D) + 1) / ((C/D) + ((R/D) x ((D + T)/(D + T)))
= ((C/D) + 1) / ((C/D) + ((R/(D + T)) x ((T/D)+1))) ……. (4a)

Dengan cara yang sama, untuk M2 kita akan mendapatkan hasil:


M2/M0 = ((C/D) + (T/D) + 1) / ((C/D) + ((R/(D + T)) x ((T/D)+1))) …… (5a)
Dengan menyederhandakan C/D = c, T/D = t, dan R/(D+T) = r, serta mengalikan kembali
kedua sisi persamaan (1) dan (2), kita mendapatkan hubungan:
M1 = c + 1 x M0 ….….. (4b)
c + [r x (t + 1)]

M2 = c + t + 1 x M0 ……... (5b)
c + [r x (t + 1)]

Persamaan (4b) dan (5b) di atas pada hakikatnya menunjukkan hubungan antara uang
beredar dengan uang primer dan suatu fraksi faktor pengali, yaitu yang dikenal sebagai
angka pelipat ganda uang atau money multiplier (mm).

26
Mekanisme Penciptaan Uang

rasio cadangan bank terhadap total simpanan yang meliputi uang giral
dan uang kuasi atau sering disebut sebagai reserve ratio. Apabila dikaitkan
dengan contoh sebelumnya yang hanya mempertimbangkan perilaku
otoritas moneter, penghitungan angka pelipat ganda uang hanya
mempertimbangkan determinan reserve ratio (r), yaitu dalam bentuk rasio
ketentuan GWM. Setelah mempertimbangkan interaksi antara otoritas
moneter, bank umum, dan masyarakat, tidak hanya reserve ratio (r) yang
diperhitungkan namun juga determinan lain, yaitu currency ratio (c) dan
time and savings deposit ratio (t).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pelipat ganda
uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pelipat ganda uang, yaitu
currency ratio, time and savings deposit ratio, dan reserve ratio. Perlu
dikemukakan bahwa perkembangan angka pelipat ganda uang tidaklah
bersifat konstan. Angka tersebut senantiasa berubah-ubah sejalan dengan
pola interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat. Angka
pelipat ganda uang di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat
pada grafik di bawah.

Grafik 4.
Perkembangan Angka Pelipatganda Uang

10
mm2
mm1
8

0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

27
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Berikut akan dibahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi


determinan-determinan angka pelipat ganda uang tersebut.

Currency Ratio ( c )
Tinggi rendahnya currency ratio pada dasarnya dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dalam memilih memegang uang kartal atau uang giral. Dalam
hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat
tersebut, antara lain biaya pemegangan, kenyamanan, dan keamanan dalam
menggunakan uang kartal atau uang giral.
a. Biaya penggunaan uang giral
Dalam hal memilih untuk menggunakan uang kartal atau uang giral,
masyarakat tentunya akan memperhitungkan biaya-biaya yang timbul
dari penggunaan uang tersebut, antara lain biaya transportasi menuju
ke bank dan biaya pemeliharaan rekening giro yang dikenakan oleh
bank. Dalam perekonomian yang kurang maju, khususnya di daerah
yang tidak didukung oleh sektor perbankan dengan baik, biaya tersebut
bisa jadi merupakan faktor utama yang dipertimbangkan oleh
masyarakat, terutama kalau mengingat pemeliharaan rekening giro yang
umumnya tidak diberikan bunga; kalau pun ada, bunga atau jasa giro
yang diberikan sangat rendah.30 Dalam hal terdapat bunga atau jasa
giro, masyarakat akan memperhitungkan biaya penggunaan yang
timbul, yaitu biaya pemeliharaan rekening dikurangi jasa giro. Dalam
kasus ini, biasanya biaya pemegangan uang giral lebih tinggi dibanding-
kan dengan bunga atau jasa giro sehingga masyarakat cenderung
memegang uang kartal daripada uang giral. Dapat disimpulkan bahwa
rasio uang kartal terhadap uang giral berubah searah dengan biaya
penggunaan uang giral.

30
Dalam beberapa analis, biaya untuk menahan uang kuasi relatif terhadap biaya menahan
uang kartal dan uang giral (yang dikaitkan dengan adanya bunga/jasa giro yang diberikan
oleh bank) juga dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi perilaku masyarakat
dalam memegang uang kartal atau uang giral. Namun, hal ini harus diperhitungkan dengan
hati-hati mengingat kedekatan karakteristik uang giral dan uang kartal sebagai alat
pembayaran tunai. Dengan pertimbangan ini, isyu mengenai suku bunga giro menjadi
kurang relevan.

28
Mekanisme Penciptaan Uang

b. Kenyamanan dan Keamanan


Namun, kondisi yang diuraikan di atas bukan merupakan kasus dalam
perekonomian yang sudah maju, yang masyarakatnya akan mem-
pertimbangkan faktor lain yang dianggap lebih relevan, antara lain
kenyaman dan keamanan. Dua faktor tersebut merupakan dua di antara
beberapa kelebihan uang giral apabila dibandingkan dengan uang
kartal. Untuk transaksi dalam jumlah yang relatif besar, pembayaran
dengan menggunakan uang giral dapat dilakukan dengan lebih praktis
dan mudah karena selain dapat dilakukan melalui transfer, pembayaran
tersebut juga tidak memerlukan pecahan tertentu dan sebagainya. Selain
itu, penyimpanan dalam bentuk uang giral lebih aman dari pencurian,
kebakaran, dan sebagainya.
Currency ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada
grafik di bawah. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, khususnya
di sektor keuangan, currency ratio secara umum cenderung mengalami
penurunan.

Grafik 5a.
Perkembangan Currency Ratio

1.8

1.6

1.4

1.2

1.0

0.8

0.6

0.4
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

29
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Time and savings deposit ratio ( t )


Tinggi rendahnya time deposit ratio pada dasarnya dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dalam memilih memegang uang kuasi atau uang giral.
Dalam hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
masyarakat tersebut, antara lain biaya relatif (oportunity cost), pendapatan
masyarakat, dan inovasi atau kemajuan layanan sektor perbankan.
a. Biaya relatif (oportunity cost)
Pertama, perlu diasumsikan terlebih dahulu bahwa terdapat bunga atau
jasa giro walaupun relatif sangat rendah. Dengan demikian, rasio uang
kuasi terhadap uang giral akan berubah secara berlawanan arah dengan
biaya untuk menahan uang kuasi relatif terhadap biaya menahan uang
giral. Biaya relatif menahan uang kuasi adalah sebesar suku bunga
pasar dikurangi dengan suku bunga yang dibayarkan untuk uang
kuasi.31 Biaya relatif untuk menahan uang giral adalah suku bunga
pasar dikurangi dengan suku bunga rekening giro. Dengan demikian,
rasio uang kuasi terhadap uang giral berubah searah dengan suku bunga
untuk uang kuasi dan berlawanan arah dengan suku bunga untuk uang
giral.
b. Pendapatan masyarakat
Seperti halnya rasio uang kartal terhadap uang giral, perubahan
pendapatan pada umumnya akan mendorong perubahan rasio uang
kuasi terhadap uang giral, sepanjang kedua jenis uang tersebut mem-
punyai respon (elastisitas) terhadap pendapatan yang berbeda. Pada
umumnya, orang berpendapat bahwa uang kuasi lebih elastis terhadap
pendapatan dibandingkan dengan uang giral. Dengan demikian, rasio
uang kuasi terhadap uang giral akan berubah searah dengan perubahan
tingkat pendapatan.
c. Kemajuan layanan sektor perbankan
Dalam kondisi belum terdapatnya layanan bank secara otomatis melalui
layanan elektronis, untuk dapat menggunakan uang kuasi dalam ber-

31
Suku bunga pasar yang dimaksud adalah suku bunga yang umumnya dikenakan dalam
penggunaan produk keuangan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
penanaman dana.

30
Mekanisme Penciptaan Uang

transaksi seseorang mengorbankan waktu, biaya, dan ketidaknya-


manan, misalnya harus pergi ke lokasi tertentu tempat bank berada
baik untuk melakukan penarikan secara tunai maupun transfer dana ke
rekening gironya terlebih dahulu (agar dapat menggunakan cek).
Dengan adanya inovasi produk perbankan yang memberikan
kemudahan layanan kepada nasabah, seperti ATM, transfer elektronis
melalui internet atau telepon, pengorbanan waktu, biaya, dan
ketidaknyamanan seperti di atas dapat dikurangi secara berarti. Dengan
demikian, layanan sektor perbankan yang semakin maju mendorong
masyarakat untuk menggunakan uang kuasi sehingga rasio uang kuasi
terhadap uang giral akan meningkat.
Time and savings deposit ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir
dapat dilihat pada grafik di bawah. Sejalan dengan perkembangan
perekonomian, khususnya di sektor keuangan, sejak tahun 1983 time and
savings deposit ratio mengalami peningkatan yang berarti secara terus-
menerus. Seperti diketahui, sejalan dengan Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1 Juni 1983, pagu suku bunga dan kredit dihapuskan. Hal ini

Grafik 5b.
Perkembangan Time and Savings Deposit Ratio

10

0
70 75 80 85 90 95 00
Sumber : Bank Indonesia

31
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

mendorong peningkatan suku bunga simpanan, yang selanjutnya


mendorong mobilisasi dana masyarakat untuk mendukung kegiatan
ekonomi. Kebijakan deregulasi tersebut secara mendasar juga ikut
mendorong perubahan struktural perekonomian Indonesia, khususnya
sektor keuangan. Hal ini antara lain tercermin pada meningkatnya tingkat
penggunaan uang (monetisasi) di masyarakat serta menurunnya tingkat
perputaran uang dalam perekonomian. (Boks: Tingkat Penggunaan dan
Perputaran Uang di Indonesia)

Reserve ratio ( r )
Dalam pelaksanaan operasional kegiatan bank, jumlah uang tunai yang
dicadangan secara total sebenarnya susah untuk dihitung. Hal ini me-
ngingat jumlah cadangan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen dengan jumlah tetap dan komponen lainnya yang merupakan
kelebihan dari jumlah tetap. Komponen pertama yang tentunya dapat
diperkirakan jumlahnya dikenal sebagai cadangan resmi (legal reserve).
Sementara itu, komponen kedua adalah kelebihan cadangan (excess
reserve). Dengan demikian, reserve ratio dapat dibagi menjadi dua
komponen juga, yaitu rasio cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat
(legal reserve ratio) yang dipengaruhi oleh ketentuan otoritas moneter
dan rasio kelebihan cadangan terhadap simpanan masyarakat (excess
reserve ratio) yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan likuiditas jangka
pendek.
a. Ketentuan otoritas moneter
Perubahan legal reserve ratio hanya terjadi apabila bank sentral atau
otoritas moneter menghendakinya dalam rangka pengaturan uang beredar.
Berlainan dengan currency ratio dan time deposit ratio yang berubah
secara berarti hanya dalam jangka panjang sebagai akibat pengaruh
perubahan struktur dan perkembangan ekonomi umunya serta tingkat
pendapatan masyarakat khususnya, legal reserve ratio dapat sewaktu-
waktu diubah oleh bank sentral, baik rasio maupun komponennya.
b. Likuiditas bank
Perubahan excess reserve ratio sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
likuiditas atau kekayaan yang dapat digunakan sewaktu-waktu oleh

32
Mekanisme Penciptaan Uang

bank-bank. Sebagai contoh, bank-bank yang dana pihak ketiganya


sebagian besar terdiri dari simpanan dalam bentuk giro tentunya akan
memelihara likuiditas yang lebih besar dibandingkan dengan bank-
bank yang dana pihak ketiganya sebagian besar terdiri dari deposito.
Dalam kondisi yang demikian, jumlah excess reserve bank tersebut
juga akan lebih besar dan rasio likuiditas lebihnya juga akan lebih besar.
Sudah tentu bank-bank pada umumnya akan berusaha untuk menjaga
keseimbangan penyebaran antara dana yang berjangka pendek dan yang
berjangka panjang sesuai dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai
oleh bank yang bersangkutan. Secara umum, bank-bank akan berusaha
memperkecil kelebihan likuiditas. Apabila bank ingin meningkatkan
potensi penggunaan dananya agar dapat memperoleh keuntungan lebih
maka bank tersebut akan berusaha mengatur kelebihan cadangannya
serendah mungkin. Namun, apabila bank ingin menjaga tingkat
likuiditasnya untuk menghadapi kemungkinan penarikan uang kartal
oleh nasabahnya maka bank tersebut akan memelihara kelebihan
cadangannya cukup tinggi.

Grafik 5c.
Perkembangan Reserve Ratio
Persen
40

30

20

10

0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber : Bank Indonesia

33
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Reserve ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada
grafik di bawah. Perkembangan reserve ratio sangat terkait dengan
perkembangan kebijakan penetapan reserve requirement (RR) oleh Bank
Indonesia. Rasio ini mengalami peningkatan pada pertengahan tahun
1970-an sebagai akibat kebijakan penetapan RR sebesar 30% pada tahun
1973 (pada saat oil boom). Penurunan rasio secara berarti terus terjadi,
sejalan dengan penurunan RR menjadi 15% pada tahun 1977 dan 2%
pada tahun 1988. Peningkatan reserve rasio selanjutnya terjadi sejalan
dengan peningkatan RR (GWM dalam rupiah) secara berturut-turut
menjadi 3% pada tahun 1996 dan 5% pada tahun 1997.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar


Dari penjelasan yang runtun di atas telah diketahui bagaimana hubungan
uang primer dengan uang beredar dicerminkan oleh keberadaan angka
pelipat ganda uang. Kita juga telah mencermati faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi perubahan baik uang primer maupun angka pelipat
ganda uang. Dengan arah pemikiran yang sederhana kita dapat pula
memahami bahwa uang beredar merupakan hasil pengalian uang primer
dengan angka pelipat ganda uang. Pertanyaan selanjutnya adalah: faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar itu
sendiri? Jawabannya tidak terlalu sulit.
Mari kita cermati kembali persamaan (4) – (5). Dari hubungan yang telah
dijelaskan sebelumya kita mendapatkan :

M1 = mm1 x M0
M2 = mm2 x M0

Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang perubahannya


(disimbolkan dengan tanda ∆ — dibaca delta), maka kita akan
mendapatkan pula hubungan di atas sebagai:
∆M1 = mm1 x ∆M0
∆M2 = mm2 x ∆M0

34
Mekanisme Penciptaan Uang

Hubungan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi uang beredar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
(i) Faktor-faktor yang mempengaruhi angka pelipat ganda uang
Faktor-faktor ini tidak lain adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
determinan uang primer itu sendiri (c, t, dan r), yaitu antara lain biaya
penggunaan uang giral, kenyaman dan keamanan, biaya relatif
(opportunity cost) — yaitu suku bunga, pendapatan masyarakat,
kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas moneter, dan
keperluan bank akan likuditas jangka pendek.
(ii) Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang primer
Faktor-faktor ini terkait dengan perubahan transaksi keuangan oleh
masyarakat yang tercermin pada pos-pos Neraca Otoritas Moneter,
baik dari sisi penggunaan uang primer (uang kartal dan saldo giro/
cadangan bank umum di bank sentral) maupun faktor yang
mempengaruhi uang primer (aktiva luar negeri bersih, aktiva dalam
negeri bersih, dan aktiva lainnya bersih).
Pada komponen penggunaan, perubahan uang primer dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dalam menggunakan uang kartal yang umumnya
terkait dengan tingkat kemajuan perekonomian suatu negara, khususnya
sektor keuangannya. Sementara itu, penentuan besarnya cadangan bank
yang disimpan di bank sentral dan perubahan-perubahan yang terjadi pada
transaksi keuangan pada sisi aktiva Neraca Otoritas Moneter lebih terkait
dengan struktur dan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.
Sebagai contoh, apakah suatu negara memiliki sektor ekspor yang
kompetitif dan struktur keuangan pemerintah yang kuat.
Sementara itu, dari faktor-faktor yang mempengaruhi, perubahan uang
primer sangat terkait dengan beberapa faktor utama, antara lain pola
transaksi masyarakat dengan luar negeri (misalnya ekspor-impor dan aliran
modal), perkembangan dan mekanisme di bidang perkreditan, serta
manajemen keuangan pemerintah yang tercermin pada stuktur anggaran
belanja pemerintah. Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh
kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi suatu negara.

35
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan beberapa


faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar, antara lain: tingkat
pendapatan masyarakat, suku bunga, kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan otoritas moneter, dan faktor-faktor lain yang
mencerminkan kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi suatu
negara.

36
Mekanisme Penciptaan Uang

Boks:
Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
di Indonesia

Secara umum, tingkat penggunaan uang (tingkat monetisasi) dalam


suatu masyarakat menunjukkan berapa banyak uang yang digunakan
untuk setiap volume transaksi ekonomi yang dilakukan, seperti
perdagangan dan perindustrian. Tingkat penggunaan uang tersebut
biasanya diukur dari perbandingan (rasio) uang beredar terhadap
pendapatan nasional. Dengan demikian, tingkat penggunaan uang
sangat terkait dengan kemajuan faktor kelembagaan dan tingginya
tingkat pendapatan suatu masyarakat. Dalam hal ini, untuk setiap
volume transaksi ekonomi, masyarakat industri/perdagangan
menggunakan jumlah uang yang lebih besar dibandingkan dengan
masyarakat agraris/tradisional. Contoh sederhananya ialah
perbandingan pembayaran uang sekolah di daerah-daerah pedesaan
yang masih tradisional dengan daerah perkotaan yang sudah maju.
Di desa-desa tersebut masih banyak dijumpai siswa yang membayar
biaya sekolah dengan menggunakan hasil-hasil bumi, misalnya kelapa
dan beras atau pun hasil ternak, seperti telor. Sementara itu, di
perkotaan hal tersebut sangatlah jarang ditemukan. Mereka pada
umumnya sudah mampu untuk membayar biaya sekolahnya dengan
menggunakan uang.
Sementara itu, tingkat perputaran uang mencerminkan tingkat
rata-rata perputaran/perpindahan uang dari satu tangan ke tangan
lainnya. Agak berbeda dengan tingkat penggunaan uang, tingkat
perputaran uang mempunyai ukuran yang bervariasi mengingat
banyaknya faktor yang mempengaruhi perubahannya. Namun, ukuran
yang umum digunakan adalah perbandingan (rasio) pendapatan
nasional terhadap uang. Kebalikan dengan tingkat penggunaan uang,
dengan semakin majunya suatu masyarakat, tingkat perputaran uang
menjadi semakin rendah. Hal ini mengingat masyarakat yang sudah
maju tidak banyak menggunakan uang kertas dan logam. Selain itu,

37
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

mereka lebih banyak menggunakan uang jenis lainnya serta sekaligus


menanamkan uangnya untuk keperluan lain yang lebih mengun-
tungkan. Hal tersebut relatif mudah dengan semakin majunya sistem
keuangan.
Dengan menggunakan data tahunan, perkembangan tingkat
penggunaan dan perputaran uang di Indonesia dapat dilihat pada tabel
dan grafik di bawah ini.

Tabel 1.
Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
di Indonesia

Indikator 1970 1983 1988 1998 2001


M1/PDB 0.07 0.10 0.10 0.11 0.12
M2/PDB 0.09 0.19 0.28 0.60 0.57

PDB/M1 14.15 10.26 10.38 9.47 8.39


PDB/M2 10.62 5.29 3.56 1.66 1.77

Sumber: Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Grafik 6.
Perkembangan Tingkat Penggunaan Uang

0.7
M2/PDB
0.6 M1/PDB

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0.0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber: Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik

38
Mekanisme Penciptaan Uang

Grafik 7.
Perkembangan Tingkat Perputaran Uang
16
PDB/M1
14
PDB/M2
12

10

0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00

Sumber: Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik

Sebagaimana terlihat, dalam perjalanan sejarah perekonomian


Indonesia, perilaku kedua indikator tersebut bervariasi, sejalan dengan
perkembangan kondisi struktural, kelembagaan, dan kebijakan di
bidang ekonomi di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bersama,
sejak 1983 perekonomian Indonesia mengalami perubahan struktural
yang pesat sebagai akibat dikeluarkannya kebijakan-kebijakan
ekonomi mendasar baik di sektor keuangan, perpajakan, maupun
investasi dan perdagangan. Secara khusus, pada 1 Juni 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang perbankan.
Kebijakan yang meniadakan pembatasan jumlah pemberian kredit
dan suku bunga ini menjadikan sektor keuangan Indonesia
berkembang sangat pesat.
Sebagaimana dilihat, sementara tingkat penggunaan uang M1
relatif konstan, tingkat penggunaan uang M2 terus mengalami
peningkatan secara berarti, dari 0.19 pada tahun 1983 menjadi 0.28
pada tahun 1988. Selanjutnya, sebagai akibat kebijakan lainnya, yaitu
Paket Oktober 1988 (Pakto), rasio tersebut melipat ganda menjadi

39
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

0.60 pada awal periode terjadinya krisis ekonomi tahun 1998.


Mengingat krisis tersebut berdampak menyeluruh, termasuk terhadap
perkembangan uang beredar dan output nasional (PDB), rasio kedua
indikator tersebut tidak berubah banyak pada periode pasca krisis,
yaitu menjadi 0.57 pada akhir tahun 2001.
Sebagaimana dapat diperkirakan, tingkat perputaran uang
mengalami penurunan secara proposional, sejalan dengan
peningkatan penggunaan uang. Sekali lagi, tingkat perputaran uang
M2 cenderung mengalami penurunan yang sangat besar dibandingkan
dengan uang M1.

40
Peranan Uang dalam Perekonomian

Peranan Uang dalam Perekonomian

Dalam pembicaraan sehari-hari mengenai kondisi perekonomian,


masyarakat sering mengaitkan uang beredar dengan pertumbuhan
ekonomi, kenaikan harga (inflasi), suku bunga, dsb. Sering dikatakan
bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak akan mendorong kegiatan
ekonomi berkembang dengan sangat pesat. Apabila berlangsung terus,
hal ini dianggap berbahaya karena harga barang-barang akan meningkat
tajam. Sebaliknya, apabila uang beredar terlalu sedikit maka kegiatan
ekonomi menjadi seret atau melambat. Sering juga dikatakan bahwa
apabila uang beredar terlalu banyak maka suku bunga akan cenderung
turun dan sebaliknya. Apakah pandangan-pandangan di atas sesuai dengan
fakta yang terjadi? Apakah uang beredar mempunyai peranan dan
keterkaitan yang erat dengan kegiatan suatu perekonomian? Bagaimana
halnya dengan fakta yang terjadi dalam perekonomian Indonesia? Bab
terakhir dari Seri Kebanksentralan ini akan diarahkan untuk menjelaskan
sekaligus menjawab pandangan dan pertanyaan tersebut di atas.

Uang dan Kegiatan Ekonomi


Pada dasarnya, peranan dan keterkaitan yang erat antara uang dengan
kegiatan suatu perekonomian dapat dianggap sebagai suatu hal yang
bersifat alami karena semua kegiatan perekonomian moderen, misalnya
produksi, investasi, dan konsumsi, selalu melibatkan uang. Bahkan, dalam
perkembangannya uang tidak hanya digunakan untuk mempermudah
transaksi perdagangan di pasar barang namun uang itu sendiri juga menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar uang. Dengan kondisi
tersebut, sangatlah sulit dibayangkan apabila tidak ada benda yang
namanya uang.
Bagaimana melihat peranan uang seperti yang telah dipaparkan di
atas? Salah satu cara adalah dengan memahami bagaimana aliran atau
arus perputaran barang dan uang terjadi dalam suatu perekonomian. Perlu
diketahui bahwa perkembangan kegiatan suatu perekonomian pada

41
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

dasarnya dapat diamati dari dua sektor yang saling berkaitan, yaitu sektor
riil (barang dan jasa) dan sektor moneter (uang). Sektor riil dan sektor
moneter tidak hanya berkaitan erat, kedua sektor tersebut bahkan seperti
dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis,
sektor yang satu merupakan cerminan dari sektor lainnya. Sebagai contoh,
dalam suatu transaksi jual-beli akan terdapat penjual yang memiliki barang
dan pembeli yang memiliki uang. Pembeli memiliki uang tetapi mem-
butuhkan barang, sementara penjual memiliki barang tetapi membutuhkan
uang. Dengan demikian, apabila transaksi tersebut dilakukan maka nilai
transaksi jual-beli barang dan jasa harus sama dengan nilai uang yang
diserahterimakan.32
Ilustrasi sederhana mengenai aliran atau arus perputaran barang dan
uang terjadi dalam suatu perekonomian dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesuai dengan fungsi uang sebagaimana telah diuraikan dalam bab
pertama, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat membutuhkan uang
untuk memperlancar kegiatan ekonominya baik berupa kegiatan produksi,
investasi, maupun konsumsi. Sebagaimana diketahui, dalam setiap
kegiatan ekonomi tersebut selalu terdapat dua macam aliran, yaitu aliran
barang dan aliran uang atau dana. Sebagai contoh, dalam suatu kegiatan
produksi, untuk menghasilkan suatu produk perusahaan membutuhkan
input, misalnya berupa bahan baku dan tenaga kerja. Dalam proses tersebut
perusahaan akan membeli bahan baku dan menyewa tenaga (keahlian)
dari masyarakat sehingga akan terjadi aliran barang dan jasa berupa bahan
baku dan tenaga kerja dari masyarakat. Pada saat yang sama juga terjadi
aliran uang dari perusahaan untuk pembayaran bahan baku yang dibeli

32
Dalam ilmu ekonomi moneter, hubungan tersebut dijelaskan melalui teori Teori Kuantitas
Uang. Fokus utama teori aliran Klasik ini adalah hubungan antara perubahan jumlah uang
beredar dan tingkat harga. Irving Fisher menjelaskan hubungan tersebut melalui persamaan:
M x V = P x T. Dalam hal ini, M adalah jumlah uang dalam masyarakat, V adalah tingkat
rata-rata perputaran uang dari satu tangan ke tangan lain (transaction velocity of circulation
atau income velocity), P adalah harga rata-rata suatu barang, dan T adalah volume transaksi.
Yang menjadi perhatian di sini adalah kondisi V dan T yang dianggap konstan (tidak
berubah) dalam jangka waktu pendek. Variabel-veriabel tersebut sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat. Salah satu implikasi yang
terpenting ialah bahwa dalam jangka pendek tingkat harga umum (P) berubah secara
proposional dengan perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah. Dalam jangka
panjang, sejalan dengan perubahan T, perubahan uang beredar mempunyai pengaruh
terhadap tingkat output (nominal) masyarakat.

42
Peranan Uang dalam Perekonomian

tersebut. Aliran uang keluar tersebut bagi perusahaan akan menjadi pos
biaya, sementara bagi masyarakat, aliran uang masuk tersebut merupakan
pos pendapatan. Sementara itu, setelah perusahaan menghasilkan suatu
produk dan menjualnya ke masyarakat akan terjadi aliran uang keluar
dari masyarakat dan sebaliknya terjadi aliran uang masuk yang merupakan
pendapatan perusahan. Mekanisme yang serupa juga terjadi pada kegiatan
investasi dan kegiatan ekonomi lainnya. Berdasarkan contoh tersebut,
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perekonomian aliran uang akan
sebanding dengan aliran barang dan jasa.

Uang dan Suku Bunga


Dalam bab tiga telah diuraikan secara singkat mekanisme penciptaan uang,
yaitu bahwa penciptaan uang beredar pada dasarnya ditentukan atau
dipengaruhi oleh otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat. Jumlah
uang beredar yang tercipta tersebut merupakan jumlah uang yang ditinjau
dari penyediaannya atau sisi penawaran. Sementara itu, dari sisi
permintaan, masyarakat membutuhkan uang, baik uang kartal, uang giral,
maupun uang kuasi, untuk membiayai semua kegiatan ekonominya.
Idealnya, jumlah uang yang tercipta atau tersedia harus seimbang jumlah
uang yang dibutuhkan atau diminta oleh masyarakat sehingga tidak ter-
dapat kelebihan atau kekurangan jumlah uang yang beredar. Dalam praktik,
permintaan masyarakat akan uang sulit diperhitungkan mengingat
kebutuhan masyarakat akan uang tersebut tidak hanya dilandasi oleh motif
untuk melakukan transaksi saja namun juga motif lainnya, yaitu untuk
berjaga-jaga atau bahkan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya
spekulatif.33
Sesuai dengan hukum permintaan pasar, apabila jumlah uang yang
disediakan melebihi jumlah uang yang diminta maka akan terjadi kelebihan
penyediaan uang yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan
harga uang atau suku bunga.34 Sebaliknya, apabila jumlah uang yang di-

33
Dalam ilmu ekonomi moneter, motif masyarakat yang beragam dalam memegang uang
tersebut merupakan landasan Teori Permintaan Uang (Demand for Money Theory).
34
Dalam ilmu ekonomi moneter, salah satu teori yang menjelaskan keterkaitan antara
suku bunga dengan permintaan/penyediaan dana (uang) adalah Teori Dana yang Dapat
Dipinjamkan (the Loanable Fund Theory).

43
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

minta melebihi jumlah uang yang disediakan maka akan dapat mengaki-
batkan kenaikan harga uang atau suku bunga. Perlu dikemukakan bahwa
suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga keseimbangan pasar, yiatu
suku bunga yang mencerminkan kesesuaian antara suku bunga simpanan
(sisi penawaran uang) dan suku bunga pinjaman (sisi permintaan uang).
Dari hubungan di atas dapat dipahami bahwa perubahan suku bunga
dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan jumlah uang beredar yang
mencerminkan interaksi antara sisi permintaan dan sisi penawaran.
Bagaimana hubungan antara uang dan suku bunga yang terjadi pada
perekonomian Indonesia? Hubungan tersebut dapat dilihat pada grafik
pertumbuhan tahunan uang beredar dan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) di bawah ini.35 Dalam hal ini diasumsikan bahwa perkem-
bangan suku bunga SBI menjadi acuan bagi perkembangan suku-suku
bunga lainnya, baik suku bunga simpanan, suku pinjaman, maupun suku
bunga untuk transaksi di pasar uang (dengan tenggang waktu atau time
lag tertentu).36

Grafik 8a.
Pertumbuhan M1 dan Suku Bunga SBI (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan M1
Suku Bunga SBI
60

40

20

0
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01
Sumber : Bank Indonesia

44
Peranan Uang dalam Perekonomian

Grafik 8b.
Pertumbuhan M2 dan Suku Bunga SBI (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan M2
Suku Bunga SBI
60

40

20

0
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01
Sumber : Bank Indonesia

Sebagaimana dapat dilihat pada grafik di atas, kecuali pada periode


1999-2000, hubungan antara uang beredar baik M1 maupun M2 dengan
suku bunga adalah sejalan seperti apa yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam hal ini, pada saat uang beredar berkembang pesat suku bunga
mengalami penurunan. Pada periode 1999-2000, saat krisis melanda
perekonomian Indonesia, hubungan yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu

35
Pertumbuhan tahunan dihitung berdasarkan perubahan jumlah pada periode saat ini
terhadap jumlah pada periode 1 tahun sebelumnya. Dapat dituliskan sebagai berikut:
[Pertumbuhan tahunan Uang saat ini ] = {[jumlah Uang Beredar saat ini] : [jumlah Uang
Beredar 1 tahun lalu] – 1} x 100. Misalnya, jika jumlah uang beredar tahun 2000 dan 2001
masing-masing adalah 1000 dan 1100 maka pertumbuhan uang beredar tahun 2001 adalah
{(1100 : 1000) – 1} x 100 = 10 %.
Dalam rangka mengatur jumlah uang yang beredar, Bank Indonesia dapat mempengaruhi
suku bunga SBI yang ditetapkan dalam rangka operasi pasar terbuka oleh Bank Indonesia.
Pembahasan lebih detail mengenai operasi pasar terbuka dapat dilihat pada buku Seri
Kebanksentralan yang lain: Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter.
36
Beberapa penelitian yang dilakukan di Bank Indonesia mendukung pernyataan ini.
Pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain biasanya terasa setelah beberapa tenggang
waktu tertentu, misalnya tiga bulan. Tenggang waktu (time lag) ini antara lain berkaitan
dengan proses pengambilan keputusan para pelaku ekonomi dalam merespon perkembangan
yang terjadi.

45
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

perkembangan uang beredar yang pesat disertai dengan suku bunga yang
juga tinggi.37

Uang dan Kegiatan Ekonomi Sektor Riil


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat pada umumnya
membutuhkan uang atau dana untuk membiayai kegiatan ekonominya di
sektor riil, seperti produksi, investasi, dan konsumsi. Lalu, apa yang terjadi
apabila jumlah uang yang tersedia sangat terbatas sehingga tidak dapat
membiayai kegiatan ekonomi tersebut sepenuhnya? Atau sebaliknya, apa
yang terjadi apabila jumlah uang yang tersedia begitu melimpah, sementara
kegiatan ekonomi relatif kecil untuk dibiayai? Pertanyaan tersebut pada
dasarnya mengarah pada pemahaman bahwa terdapat keterkaitan yang
erat antara uang dan kegiatan ekonomi di sektor riil, seperti yang telah
disinggung pada awal bab ini.38 Pengaruh uang terhadap kegiatan ekonomi
di sektor riil pada dasarnya dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung uang dapat dijelaskan melalui pengaruhnya
terhadap perkembangan suku bunga seperti telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Dalam hal ini, apabila terjadi penambahan jumlah uang
beredar (misalnya sebagai akibat kebijakan bank sentral) maka suku bunga
akan cenderung turun. Penurunan suku bunga tersebut akan menurunkan
biaya pendanaan kegiatan investasi, yang selanjutnya mendorong kegiatan
investasi dan kegiatan ekonomi pada umumya.
Bagaimana keterkaitan yang terjadi pada perekonomian Indonesia?
Untuk melihat keterkaitan tersebut akan lebih mudah dilakukan dengan

37
Mengapa hal ini dapat terjadi? Seperti telah diketahui, pada saat krisis ekonomi mencapai
puncaknya pada tahun 1998 lalu kelangkaan dana pada perbankan yang terjadi begitu besar
sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat. Ditambah dengan semakin melemahnya
nilai rupiah terhadap dolar AS, kepercayaan masyarakat terhadap rupiah semakin melemah.
Untuk mengatasi hal ini bank-bank umumnya menaikkan suku bunga secara drastis untuk
menarik dana masyarakat. Kekhawatiran akan semakin memburuknya kondisi
perekonomian mendorong Pemerintah (Bank Indonesia) untuk menyuntik dana ke pasar
dalam jumlah yang sangat besar, yang menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar
secara drastis.
38
Keterkaitan antara uang dan kegiatan ekonomi paling tidak terjadi dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, terdapat keragaman pandangan mengenai pengaruh uang terhadap
kegiatan ekonomi. Umumnya, disepakati bahwa dalam jangka panjang uang tidak
mempengaruhi tingkat output riil (neutrality of money) namun hanya mempengaruhi tingkat
output nominal dan harga. Hubbard, R. Glenn (2000).

46
Peranan Uang dalam Perekonomian

menganalisis grafik pertumbuhan tahunan uang dan pertumbuhan tahunan


Produk Domestik Bruto (PDB).39 Grafik tersebut secara tidak langsung
mencerminkan naik-turunnya perkembangan kedua variabel tersebut dari
waktu ke waktu.

Grafik 9a.
Pertumbuhan M1 dan PDB (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan PDB
Pertumbuhan M1

60

40

20

0
72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik

39
Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator yang mencerminkan perkembangan
kegiatan ekonomi suatu masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDB dapat
dihitung dari sisi penggunaan, nilai tambah produksi dalam sektor-sektor ekonomi, dan
pendapatan. Dari sisi penggunaan, nilai PDB dihitung dengan menjumlahkan nilai
konsumsi, investasi, dan transaksi ekspor-impor.

47
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Grafik 9b.
Pertumbuhan M2 dan PDB (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan PDB
Pertumbuhan M2

60

40

20

0
72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik

Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa pada masa-masa


pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (secara nominal), pertumbuhan
uang beredar, baik M1 dan M2, juga cukup tinggi. Masa-masa tersebut
adalah periode awal tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, saat perekonomian
mengalami limpahan uang sebagai akibat kenaikan harga minyak di
pasaran internasional. Demikian pula, pada periode krisis ekonomi pada
akhir tahun 2000-an, keterkaitan antara pertumbuhan uang beredar dengan
pertumbuhan ekonomi juga terlihat cukup erat. Sejalan dengan itu, pada
masa-masa lainnya, pada saat pertumbuhan ekonomi cukup rendah (secara
nominal) pertumbuhan uang beredar, baik M1 dan M2, juga terlihat cukup
rendah.

Uang dan Harga


Pada bagian-bagian terdahulu telah dibahas secara berturut-turut
keterkaitan uang dengan suku bunga dan keterkaitan uang dengan kegiatan
ekonomi sektor riil. Keterkaitan uang dengan kedua variabel tersebut pada
dasarnya menunjukkan peranan uang dalam mempengaruhi perkembangan

48
Peranan Uang dalam Perekonomian

kegiatan ekonomi secara keseluruhan, yang tercermin pada perkembangan


permintaan agregat (aggregate demand) masyarakat akan semua barang
dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Kegiatan produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa tersebut tentunya harus didukung oleh
kapasitas ekonomi, yaitu suatu kondisi yang mencerminkan ketersediaan
sumber daya yang mencukupi, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan
teknologi. Dalam ilmu ekonomi makro, kondisi ini dikenal dengan
penyediaan atau penawaran agregat (aggregate supply). Berbeda dengan
permintaan agregat yang dapat berubah dalam jangka pendek, penawaran
agregat relatif lebih sulit untuk berubah dalam jangka pendek. Dalam
kaitan ini, perubahan penawaran agregat lebih terkait dengan struktur dan
perkembangan suatu perekonomian.
Idealnya, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat.
Bagaimana apabila tidak? Apabila permintaan agregat tidak sama dengan
penawaran agregat maka diperlukan penyesuaian kegiatan ekonomi agar
terjadi kesesuaian (keseimbangan), yang pada akhirnya dapat meng-
akibatkan perubahan harga barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan
permintaan agregat yang melebihi penawaran agregat akan mendorong
kenaikan harga barang dan jasa.
Dengan demikian, mengingat perubahan jumlah uang beredar dapat
mempengaruhi perkembangan permintaan agregat, dapat disimpulkan
bahwa perubahan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi perkem-
bangan harga.40 Hal ini juga berarti bahwa kecenderungan kenaikan harga
umum secara terus-menerus (inflasi) dapat terjadi apabila penambahan
jumlah uang beredar melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Dapat
dinyatakan secara sederhana bahwa: “jumlah uang beredar bertambah,
harga barang-barang naik”. Dalam kasus ini, mengingat inflasi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan uang beredar maka inflasi dikenal sebagai
fenomena moneter.
Dalam kasus lain, inflasi yang tinggi dapat berlangsung dalam waktu
yang lama walaupun perkembangan jumlah uang beredar relatif rendah.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori Strukturalis yang menyatakan
40
Salah satu implikasi Teori Kuantitas Klasik yang terpenting ialah bahwa dalam jangka
pendek tingkat harga umum berubah secara proposional dengan perubahan uang yang
diedarkan oleh pemerintah.

49
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

bahwa inflasi dalam jangka panjang lebih disebabkan oleh adanya


kekakuan (ketidakelastisan) struktur perekonomian di negara berkembang,
terutama pada struktur penerimaan ekspor dan produksi bahan makanan
dalam negeri. Dengan demikian, tekanan inflasi akan muncul apabila
pertumbuhan sektor ekspor sangat lamban dibandingkan dengan sektor-
sektor lainnya, atau pun produksi bahan makanan dalam negeri kurang
memadai. Pendapat tersebut menempatkan inflasi sebagai fenomena
struktural.
Bagaimana dengan inflasi di Indonesia, merupakan fenomena moneter
atau fenomena struktural? Tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan
tersebut secara langsung. Lebih mudah untuk bertanya: sejauh mana
fenomena-fenomena tersebut terjadi di Indonesia? Walaupun sulit untuk
memilah kedua fenomena tersebut, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat
diarahkan pada suatu kesimpulan dengan mencermati beberapa contoh
sebagai berikut.
Pertama, situasi ekonomi pada paro pertama dekade 1960-an, tingkat
inflasi (yang biasanya diukur dengan menggunakan perubahan harga
barang konsumsi) pada saat itu sangat tinggi, bahkan mencapai 600%.
Mengapa harga barang-barang dapat melonjak demikian tinggi? Hal ini
disebabkan oleh kebijakan pencetakan uang yang berlebihan pada masa
itu. Dengan kondisi ekonomi-politik saat itu, ditambah dengan kurang
matangnya manajemen pengendalian uang beredar, pencetakan uang
merupakan kebijakan yang lumrah dilakukan oleh pemerintah.
Berlebihnya penyediaan uang dalam perekonomian berdampak pada
kenaikan harga-harga secara tajam.
Kedua, krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu.
Pada waktu itu terjadi kelangkaan dana di perbankan sebagai akibat
penarikan dana oleh masyarakat yang sangat besar. Ditambah dengan
semakin melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS, kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah semakin melemah. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke pasar dalam
jumlah yang sangat besar dalam beberapa waktu, yang selanjutnya
berakibat pada melonjaknya inflasi beberapa saat kemudian. Begitu pula
selanjutnya, begitu pertumbuhan uang beredar mereda, inflasi juga kembali
melemah. Keterkaitan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah.

50
Peranan Uang dalam Perekonomian

Tabel 2.
Rata-rata Pertumbuhan Uang Beredar dan Inflasi (Tahunan)

Periode Pertumbuhan M1 Pertumbuhan M2 Inflasi

1997.3 – 1997.4 16 % 23 % 8%
1998.1 – 1998.4 49 % 63 % 58 %
1999.1 – 1999.2 5% 29 % 44 %
1999.3 – 2001.4 19 % 13 % 7%
Keterangan : Inflasi dihitung dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Ketiga, pelonjakan harga-harga barang secara langsung sesaat setelah


Pemerintah mengumumkan beberapa kebijakan, misalnya kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik, atau tarif angkutan.
Kebijakan lain berupa kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Upah
Minimum Regional (UMR) juga sangat berpengaruh terhadap kenaikan
harga barang-barang di masyarakat. Belum lagi kenaikan harga makanan
sebagai akibat banjir yang melanda daerah tertentu, yang mengakibatkan
tersendatnya penyediaan bahan makanan ke daerah lain. Salah satu atau
beberapa kebijakan di atas hampir pasti berlangsung setiap tahun.
Dari gambaran di atas, berdasarkan contoh pertama dan kedua, secara
tidak langsung dapat disimpulkan bahwa inflasi di Indonesia merupakan
fenomena moneter. Namun, apabila dicermati contoh ketiga dengan
berbagai kejadiannya, secara tidak langsung mungkin disepakati bahwa
inflasi di Indonesia merupakan fenomena struktural. Dengan demikian,
dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kedua fenomena tersebut terjadi
untuk kasus perekonomian Indonesia.

Pengendalian Jumlah Uang Beredar


Pengendalian jumlah uang beredar pada hakikatnya merupakan salah satu
bagian dari kerangka kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh otoritas
moneter. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan kebijakan moneter,
pengendalian jumlah uang beredar pada umumnya ditujukan untuk

51
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

menjaga kestabilan nilai uang dan mendorong kegiatan ekonomi. Yang


dimaksud dengan pengendalian di sini adalah upaya otoritas moneter baik
untuk menambah jumlah uang yang beredar (kebijakan ekspansi moneter)
maupun mengurangi jumlah uang yang beredar (kebijakan kontraksi
moneter). Pengendalian jumlah uang beredar tersebut juga mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam kerangka kebijakan ekonomi makro.
Hal ini disebabkan oleh keterkaitan yang erat antara uang dengan variabel-
variable ekonomi lainnya, seperti suku bunga, output, dan harga. Dengan
mengendalikan jumlah uang beredar tersebut, otoritas moneter akan dapat
mempengaruhi nilai uang sedemikian rupa sehingga perkembangannya
akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai
dengan sasaran akhir yang ditetapkan, seperti inflasi yang rendah dan/
atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bagaimana dengan pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia?
Sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia merupakan otoritas moneter yang mempunyai tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, antara lain dengan mengendalikan
jumlah uang beredar. Dalam pada itu, pengendalian jumlah uang beredar
dianggap cukup relevan, khususnya apabila dikaitkan dengan arah baru
penerapan kebijakan moneter di Indonesia yang menekankan pada
pencapaian sasaran tunggal, yaitu kestabilan nilai rupiah (harga).
Sesuai dengan salah satu aspek dalam paradigma kebijakan moneter
yang dianut saat ini, yaitu pencapaian target kuantitas, melalui
pengendalian jumlah uang beredar kebijakan moneter oleh Bank Indonesia
diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan perekonomian agar sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan, yaitu tercapainya kestabilan harga.41
Dalam pelaksanaannya, pengendalian tersebut tidak dapat dilakukan secara
langsung mengingat perkembangan uang beredar sangat terkait dengan
perilaku pelaku ekonomi lainnya, yaitu perbankan dan masyarakat. Dalam
hal ini, yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia ialah pengendalian
jumlah uang primer. Pengendalian jumlah uang primer tersebut dilakukan
dengan mengasumsikan bahwa perilaku angka pelipat ganda uang (money

41
Sejalan dengan semakin berat dan kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam
pengendalian moneter di Indonesia, kebijakan moneter juga menggunakan pencapaian
target harga (suku bunga) sebagai salah satu aspek dalam paradigma kebijakan moneter.

52
Peranan Uang dalam Perekonomian

multiplier) cukup stabil.42 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa


dengan mengendalikan jumlah uang primer, Bank Indonesia
mengendalikan jumlah uang beredar sehingga kegiatan ekonomi dapat
diarahkan untuk mencapai perkembangan harga yang cukup stabil (inflasi
yang rendah).
Namun, dalam praktiknya, pengendalian jumlah uang beredar yang
optimal sangatlah sulit dilakukan. Paling tidak, terdapat tiga faktor yang
menyebabkan sulitnya pengendalian jumlah uang beradar tersebut. Faktor
pertama adalah adanya unsur-unsur yang bersifat kontradiktif pada
pencapaian sasaran kebijakan. Misalnya, Bank Indonesia melakukan
kebijakan ekspansi moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi yang
sedang lesu. Tindakan ini biasanya mempunyai dampak pada mening-
katnya inflasi. Sebaliknya, apabila diambil kebijakan kontraksi moneter
untuk meredam laju inflasi tersebut, perkembangan kegiatan ekonomi
diperkirakan akan terhambat. Faktor kedua adalah sulitnya memprediksi
dan mengendalikan permintaan uang masyarakat. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, perilaku permintaan uang masyarakat tergantung
pada beberapa motif yang beragam. Sejalan dengan pesatnya perkem-
bangan dan inovasi sektor keuangan dan keterbukaan perekonomian
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, perilaku tersebut cenderung tidak
stabil sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan. Faktor ketiga
adalah sulitnya memprediksi perilaku angka pelipat ganda uang. Seba-
gaimana perkembangan permintaan uang, perilaku angka pelipat ganda
uang juga cenderung tidak stabil sehingga sulit untuk diprediksi. Kesulitan
dan tantangan yang dihadapi Bank Indonesia dalam rangka pengendalian
jumlah uang beredar di masa mendatang diperkirakan akan semakin berat
dan kompleks. Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk
menjajagi dan mengkaji beberapa kemungkinan penerapan kerangka kerja
kebijakan moneter lain yang lebih optimal dalam rangka pencapaian
sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu stabilitas nilai rupiah.

42
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, secara konseptual hubungan antara
uang primer dan uang beredar tercermin pada keberadaan angka pelipat ganda uang (money
multiplier). Hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai: Ms = mm x M0. Dalam hal ini,
Ms adalah uang beredar, mm adalah angka pelipat ganda uang, dan M0 adalah uang primer.

53
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Daftar Pustaka

Bank Indonesia. Kumpulan Materi Pengajaran Interen, beberapa edisi.


Bank Indonesia. Laporan Tahunan Bank Indonesia, beberapa tahun
penerbitan.
Budiono. Ekonomi Moneter, edisi 3. Yogyakarta: BPFE, 1994.
Davies, Glyn. A History of Money from Ancient Times to the Present
Day, 3rd ed. Cardiff: University of Wales Press, 2002.
Dowd, Kevin. “The Emergence of Fiat Money: a Reconsideration”, Cato
Journal, Washington, Winter 2001.
____________, “Does Monetary Policy have a Future”, Cato Journal,
Washington, Fall 2001.
Hubbard, R. Glenn. Money, the Financial System, and the Economy, 3rd
ed. Addison-Wesley, 2002.
Jagdish Handa. Monetary Economics. London: ECAP 4EE, 2002.
Luckett, Dudley G. Money and Banking, 2nd ed. McGraw-Hill, 1980.
Menger, Karl. “The Origin of Money”, The Economic Journal, Vol. 2,
June 1892.
McKinnon, Ronald I. “The Rules of the Game: International Money in
Historical Perspective”, Journal of Economic Literature, Vol. 31, Issue
1, March 1993.
Ritter, Joseph A. “The Transition from Barter to Fiat Money”, American
Economic Review, Issue 1, March 1995.
Suseno. Uang Beredar, Materi Pengajaran Interen Bank Indonesia. Jakarta,
2002.
Temple, Robert. The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery,
and Invention. New York : Simon and Schuster, 1986.
Vickers, Douglas. Money, Banking, and the Macroeconomy. Englewood
Cliffs: Prentice-Hall 1985.

54
LAMPIRAN
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Tabel 1.
Perkembangan Uang Beredar
(dalam triliun rupiah)

Tahun C D M1 T M2 M0
1970 0.15 0.09 0.24 0.08 0.32 0.19
1971 0.20 0.12 0.31 0.15 0.46 0.24
1972 0.27 0.21 0.47 0.22 0.70 0.38
1973 0.38 0.30 0.67 0.32 0.99 0.53
1974 0.50 0.45 0.94 0.51 1.45 0.82
1975 0.65 0.62 1.27 0.75 2.02 1.10
1976 0.78 0.82 1.60 1.05 2.65 1.34
1977 0.98 1.03 2.01 1.13 3.13 1.67
1978 1.24 1.25 2.49 1.33 3.82 1.83
1979 1.55 1.77 3.32 1.84 5.16 2.40
1980 2.17 2.84 5.01 2.70 7.71 3.27
1981 2.55 3.93 6.47 3.23 9.71 3.80
1982 2.93 4.19 7.12 3.95 11.07 3.98
1983 3.33 4.24 7.57 7.09 14.66 4.89
1984 3.71 4.87 8.58 9.36 17.94 5.47
1985 4.44 5.66 10.10 13.05 23.15 6.44
1986 5.34 6.34 11.68 15.98 27.66 7.81
1987 5.78 6.90 12.69 21.20 33.89 8.67
1988 6.25 8.15 14.39 27.61 42.00 8.18
1989 7.43 12.69 20.11 38.59 58.70 10.32
1990 9.09 14.73 23.82 60.81 84.63 12.01
1991 9.35 17.00 26.34 72.72 99.06 12.36
1992 11.48 17.30 28.78 90.27 119.05 14.74
1993 14.43 22.37 36.81 108.40 145.20 17.61
1994 18.63 26.74 45.37 129.14 174.51 22.16
1995 20.81 32.41 53.22 169.42 222.64 25.85
1996 21.87 42.22 64.09 224.54 288.63 34.41
1997 28.42 49.92 78.34 277.30 355.64 46.69
1998 41.39 59.57 100.96 476.18 577.15 75.12
1999 58.35 66.28 124.63 521.57 646.21 101.79
2000 72.37 89.81 162.19 584.84 747.03 125.62
2001 76.34 101.39 177.73 666.32 844.05 127.80
Sumber: Bank Indonesia

56
Lampiran

Tabel 2.
Perkembangan Angka Pelipatganda Uang

Tahun mm1 mm2 c t r


1970 1.26 1.67 1.74 0.91 0.23
1971 1.29 1.89 1.65 1.23 0.18
1972 1.26 1.85 1.31 1.08 0.25
1973 1.28 1.89 1.27 1.09 0.24
1974 1.14 1.77 1.12 1.15 0.34
1975 1.16 1.84 1.04 1.20 0.33
1976 1.20 1.98 0.95 1.28 0.30
1977 1.20 1.88 0.95 1.10 0.32
1978 1.36 2.09 0.99 1.07 0.23
1979 1.38 2.15 0.87 1.04 0.24
1980 1.53 2.36 0.76 0.95 0.20
1981 1.70 2.56 0.65 0.82 0.17
1982 1.79 2.78 0.70 0.94 0.13
1983 1.55 3.00 0.79 1.67 0.14
1984 1.57 3.28 0.76 1.92 0.12
1985 1.57 3.60 0.78 2.30 0.11
1986 1.50 3.54 0.84 2.52 0.11
1987 1.46 3.91 0.84 3.07 0.10
1988 1.76 5.14 0.77 3.39 0.05
1989 1.95 5.69 0.59 3.04 0.06
1990 1.98 7.05 0.62 4.13 0.04
1991 2.13 8.02 0.55 4.28 0.03
1992 1.95 8.08 0.66 5.22 0.03
1993 2.09 8.25 0.64 4.84 0.02
1994 2.05 7.88 0.70 4.83 0.02
1995 2.06 8.61 0.64 5.23 0.02
1996 1.86 8.39 0.52 5.32 0.05
1997 1.68 7.62 0.57 5.55 0.06
1998 1.34 7.68 0.69 7.99 0.06
1999 1.22 6.35 0.88 7.87 0.07
2000 1.29 5.95 0.81 6.51 0.08
2001 1.39 6.60 0.75 6.57 0.07
Sumber: Bank Indonesia

57
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN

Tabel 3.
Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
Tingkat Penggunaan Uang Tingkat Perputaran Uang
Tahun
M1/PDB M2/PDB PDB/M1 PDB/M2
1970 0.07 0.09 14.15 10.62
1971 0.08 0.12 12.36 8.44
1972 0.10 0.14 10.14 6.91
1973 0.09 0.14 10.60 7.16
1974 0.08 0.13 11.97 7.76
1975 0.10 0.15 10.45 6.59
1976 0.10 0.16 10.18 6.15
1977 0.10 0.16 9.98 6.39
1978 0.10 0.16 9.63 6.27
1979 0.10 0.15 10.17 6.54
1980 0.10 0.16 9.76 6.35
1981 0.11 0.16 9.35 6.24
1982 0.11 0.17 9.42 6.06
1983 0.10 0.19 10.26 5.29
1984 0.10 0.20 10.38 4.97
1985 0.10 0.24 9.74 4.25
1986 0.11 0.25 9.48 4.00
1987 0.10 0.26 10.14 3.80
1988 0.10 0.28 10.38 3.56
1989 0.11 0.33 8.93 3.06
1990 0.11 0.40 8.85 2.49
1991 0.11 0.40 9.49 2.52
1992 0.10 0.42 9.81 2.37
1993 0.11 0.44 8.96 2.27
1994 0.12 0.46 8.42 2.19
1995 0.12 0.49 8.50 2.03
1996 0.12 0.55 8.21 1.82
1997 0.12 0.57 8.01 1.76
1998 0.11 0.60 9.47 1.66
1999 0.11 0.59 8.82 1.70
2000 0.13 0.58 7.90 1.72
2001 0.12 0.57 8.39 1.77
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik

58
Seri Kebanksentralan

No. 2

PENYUSUNAN STATISTIK
UANG BEREDAR

Solikin
Suseno

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar, oleh Solikin dan Suseno,
Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya,
Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.

Seri Kebanksentralan ini diterbitkan oleh:


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
BANK INDONESIA
Jl. MH. Thamrin No.2, Gd. Tipikal lt.2, Jakarta 10010
No. Telepon: 021-3817628, No. Fax : 021 – 3501912
e-mail: PPSK@bi.go.id

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan - Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Seri Kebanksentralan No. 2

PENYUSUNAN STATISTIK
UANG BEREDAR

Solikin
Suseno

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Desember 2002


Solikin
Penyusunan statistik uang beredar /Solikin,
Suseno. -- Jakarta : Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, 2002.
28 hlm. ; 15,2 cm x 22,8 cm. -- (Seri Kebanksentralan ; 2)

Bibliografi : hlm. 19
ISBN 979-3363-01-0

ii
Sambutan

Sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang No. 23 tahun


1999 tentang Bank Indonesia, dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mewujudkan iklim
keterbukaan. Selain itu, sebagai sumbangsih Bank Indonesia untuk
berperan dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran kepada
masyarakat, dalam dua tahun terakhir ini Bank Indonesia juga terus
berupaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan penelitian yang ditujukan
untuk memperkaya khazanah ilmu kebanksentralan. Sejalan dengan hal
tersebut, pada kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia, menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Lingkup materi yang dibahas dalam buku seri kebanksentralan ini
sangatlah luas, meliputi disiplin ilmu ekonomi makro-moneter, perbankan,
sistem pembayaran, dan bidang-bidang lain yang terkait dengan tugas
dan tanggung jawab bank sentral. Untuk tahun penerbitan perdana ini,
kami menerbitkan empat seri buku sekaligus, terdiri dari: (i) Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian, (ii)
Penyusunan Statistik Uang Beredar, (iii) Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter, dan (iv) Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi,
dan Penerapan. Kami berupaya untuk dapat menuangkan bahasan pada
masing-masing topik tersebut dengan bahasa yang cukup sederhana
dengan menghindari sejauh mungkin penggunaan istilah-istilah teknis
yang dapat mempersulit pemahamannya. Kalaupun masih terdapat istilah-
istilah teknis yang sulit disederhanakan, kami berusaha tetap menyertakan
istilah aslinya.
Mengiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada
para penulis yang telah berusaha secara maksimal serta pihak-pihak yang
telah memberikan kontribusi berharga dalam penyusunan buku ini.
Semoga karya ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2002


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Halim Alamsyah
Direktur

iii
Pengantar

Uang beredar merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam
perumusan kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, uang beredar senantiasa
menjadi perhatian, baik oleh para pengambil kebijakan di bidang ekonomi
moneter, para pengamat ekonomi, maupun masyarakat pada umumnya.
Seluk-beluk tentang uang, mulai dari konsep dasar sampai dengan
peranannya dalam kehidupan masyarakat telah dibahas dalam buku seri
kebanksentralan no. 1. Buku tersebut juga telah memaparkan beberapa
aspek yang berkaitan dengan penciptaan uang beredar secara ringkas.
Sejalan dengan penyusunan buku tersebut, buku seri kebanksentralan no.
2 ini menyajikan hal-hal pokok yang bersifat lebih teknis, yaitu aspek-
aspek yang berkaitan dengan penyusunan statistik uang beredar.
Banyak rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
dan Direktorat Statistik Moneter yang telah membantu kelancaran
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada Sdr. Halim Alamsyah, Sdr. Iskandar, Sdr. Eddy Susanto,
Sdr. M. Anwar Bashori, Sdr. Nunu Hendrawanto, Sdr. Erwin Haryono,
dan Sdri. Diana Yumanita atas partisipasinya dalam diskusi dan pemberian
saran dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan dan menghargai
semua kritik dan saran demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya, mudah-
mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2002

Penulis

iv
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar iv

Pendahuluan 1

Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan Statistik Uang Beredar. 3

Neraca Otoritas Moneter 5


Penyusunan Neraca Bank Indonesia 5
Penyusunan Neraca Otoritas Moneter 7

Neraca Bank Umum 9

Neraca Sistem Moneter 11


Penjelasan Pos-pos dalam Neraca Sistem Moneter 13
Boks: Penafsiran Statistik Uang Beredar sebagai Akibat
Gejolak Nilai Tukar 17

Daftar Pustaka 19

Lampiran 20
Neraca Sistem Moneter Tahun 2001 21
Neraca Otoritas Moneter Tahun 2001 22
Neraca Gabungan Bank Umum Tahun 2001 23
Tabel 1. Tabel Publikasi Neraca Sistem Moneter 24
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter 25
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum 27

v
Pendahuluan

Penyusunan Statistik
Uang Beredar

Pendahuluan

Uang beredar merupakan salah satu indikator penting dalam proses


pengambilan kebijakan ekonomi. Hal ini karena hampir semua kegiatan
ekonomi, seperti produksi, konsumsi, dan investasi selalu melibatkan uang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa uang beredar mempunyai peran yang
tidak terpisahkan dalam suatu perekonomian. Bahkan, keterkaitan antara
kegiatan ekonomi dan uang ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak
dapat dipisahkan. Dengan demikian, sangatlah sulit mempelajari dan
memahami perkembangan suatu perekonomian tanpa mempelajari dan
memahami peranan uang.
Pentingnya peranan uang menyebabkan perlunya mempelajari per-
kembangan serta perilakunya dalam suatu perekonomian. Uang beredar
sering dikaitkan dengan suku bunga, pertumbuhan ekonomi, perkemba-
ngan harga, dsb. Salah satu hubungan tersebut terlihat dari peranan uang
beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Jumlah uang beredar
terlalu banyak dapat mendorong kenaikan harga barang-barang secara
umum (inflasi). Sebaliknya, apabila jumlah uang beredar terlalu sedikit
maka kegiatan ekonomi akan menjadi seret, seperti mesin yang kekurangan
minyak oli. Oleh karena itu, jumlah uang beredar perlu diatur agar sesuai
kapasitas ekonomi, yaitu diupayakan agar tidak boleh terlalu banyak, tetapi
juga tidak boleh terlalu sedikit
Di Indonesia, Bank Indonesia merupakan otoritas moneter yang mem-
punyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, antara
lain dengan mengendalikan jumlah uang beredar. Pengendalian uang
beredar dapat dilakukan dengan baik apabila didukung oleh penyediaan
informasi yang berkualitas, seperti statistik uang beredar. Untuk keperluan
tersebut Bank Indonesia secara sistematis dan teratur menghitung statistik
uang beredar. Dengan mengetahui perkembangan jumlah uang beredar

1
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan-nya, Bank Indonesia


dapat menentukan arah kebijakan moneter, apakah dengan melakukan
penambahan (ekspansi) atau pengurangan (kontraksi) jumlah uang beredar.
Selain itu, Bank Indonesia secara periodik juga mempublikasikan statistik
uang beredar untuk diketahui oleh seluruh masyarakat.1
Sehubungan dengan pentingnya penyediaan data uang beredar, tulisan
ini ditujukan untuk memaparkan penyusunan statistik uang beredar.
Sebagaimana telah dijelaskan pada buku seri kebanksentralan sebelum-
nya,2 uang beredar didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter
terhadap sektor swasta domestik, yang terdiri dari uang kartal, uang giral,
dan uang kuasi. Secara kelembagaan, sistem moneter terdiri dari otoritas
moneter dan bank umum.3 Uang beredar yang merupakan kewajiban dari
sistem moneter tersebut dapat dilihat pada neraca sistem moneter, yang
merupakan gabungan (kosolidasi) neraca otoritas moneter dan neraca bank
umum. Dalam pada itu, yang dimaksud dengan sektor swasta domestik,
atau yang sering disebut sebagai penduduk/masyarakat adalah individu,
lembaga pemerintah, dan perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan
konsumsi, produksi, dan transaksi ekonomi lainnya.4
Neraca otoritas moneter yang dimaksud adalah neraca Bank Indonesia
dalam format analitis. Sementara itu, neraca bank umum yang dimaksud
adalah gabungan dari neraca-neraca bank umum yang disusun dalam
format analitis, dengan berdasarkan pada laporan bulanan bank umum
yang beroperasi di Indonesia yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti
luas (M2), dapat dilihat dari sisi pasiva neraca sistem moneter. M1 terdiri
dari uang kartal dan uang giral, sedangkan M2 meliputi M1 ditambah
dengan uang kuasi. Sementara itu, sisi aktiva neraca sistem moneter
mencerminkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar
1
Statistik uang beredar dapat dilihat perkembangannya antara lain dalam Statistik Ekonomi
dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan secara bulanan oleh Bank Indonesia.
2
Seri Kebanksentralan No.1, Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam
Perekonomian, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) - Bank Indonesia,
Jakarta, Desember 2002.
3
Untuk kepentingan penyusunan statistik uang beredar, Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
bukan dikategorikan sebagai bank umum karena BPR tidak melakukan transaksi giral
(menerima simpanan giro).
4
Lihat penjelasan pada Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia.

2
Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan Statistik Uang
Pendahuluan
Beredar

tersebut. Dengan melihat perkembangan neraca sistem moneter tersebut


dari waktu ke waktu maka akan dapat diketahui perkembangan uang bere-
dar dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.5
Seri kebanksentralan No.2 ini terdiri dari lima bagian singkat. Setelah
bagian ini, akan dibahas secara garis besar mengenai prinsip-prinsip dalam
penyusunan neraca otoritas moneter, neraca gabungan bank umum, serta
neraca sistem moneter. Pada dua bagian selanjutnya akan diuraikan
bagaimana penyusunan neraca otoritas moneter dan neraca bank umum
dilakukan. Selanjutnya, pada bagian terakhir akan dibahas penyusunan
neraca sistem moneter, sehingga uang beredar dapat dihitung. Pada bagian
ini juga akan diuraikan penjelasan pos-pos neraca sistem moneter, baik
pada sisi aktiva maupun sisi pasiva.

Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan


Statistik Uang Beredar

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, uang beredar


tercatat pada sisi pasiva neraca sistem moneter. Dengan demikian, untuk
menyusun statistik uang beredar perlu dipahami terlebih dahulu tahap-
tahap yang harus dilakukan dalam penyusunan neraca sistem moneter
serta prinsip-prinsip dalam penyusunan neraca otoritas moneter, neraca
gabungan bank umum serta neraca sistem moneter.
Tahap-tahap yang harus dilakukan dalam penyusunan neraca sistem
moneter adalah sebagai berikut.
(i) Menyusun neraca analitis moneter dari neraca bank sentral (neraca
otoritas moneter)
(ii) Menyusun neraca analitis moneter dari neraca gabungan bank umum
(iii) Menyusun neraca sistem moneter yaitu mengkonsolidasikan neraca
analitis otoritas moneter dan neraca analitis gabungan bank umum.

5
Seri Kebanksentralan No.1, Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam
Perekonomian, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) - Bank Indonesia,
Jakarta, Desember 2002.

3
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Apakah yang dimaksud dengan neraca analitis moneter? Neraca ini


pada dasarnya adalah neraca yang disusun dengan mengelompokkan pos-
pos dari neraca bank sentral atau neraca gabungan bank umum menurut
status kepemilikan, yang ditujukan untuk keperluan analisis moneter.
Pengelom-pokan tersebut dilakukan sebagai berikut.
- Pengelompokan tagihan dan kewajiban bank sentral atau bank umum
kepada luar negeri atau kepada bukan penduduk.
- Pengelompokan tagihan dan kewajiban bank sentral atau bank umum
kepada pemerintah pusat.
- Pengelompokan tagihan bank sentral atau bank umum karena pembe-
rian-pemberian pinjaman baik kepada perusahaan/lembaga milik
pemerintah maupun kepada sektor swasta.
- Pengelompokan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban bank sentral
maupun bank umum dalam bentuk giro, deposito, tabungan dalam
semua jenis mata uang kepada penduduk.
- Pengelompokan hal lain yang tidak dapat dikelompokkan dalam
kelompok di atas.
Dari neraca otoritas moneter dapat diketahui jumlah uang primer (M0)
dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya. Selanjutnya, apabila
neraca analitis otoritas moneter digabungkan (dikonsolidasikan) dengan
neraca analitis gabungan bank umum maka didapat neraca sistem moneter.
Melalui neraca sistem moneter tersebut dapat diketahui jumlah uang
beredar baik dalam arti sempit (M1) maupun luas (M2) serta faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahannya.
Skema di bawah ini mempermudah pemahaman terhadap alur
penyususunan neraca sistem moneter.

4
Neraca Otoritas
Pendahuluan
Moneter

Skema 1.
Alur Penyusunan Neraca Sistem Moneter
Neraca Analitis
Otoritas Moneter
Neraca
Bank Indonesia - Uang Primer (M0)
- Faktor-Faktor yang Neraca
Mempengaruhi Sistem Moneter
- M1, M2
- Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Neraca Analitis
Neraca Gabungan
Gabungan
Bank Umum
Bank Umum

Neraca Otoritas Moneter

Penyusunan Neraca Bank Indonesia


Sebagaimana neraca perusahaan pada umumnya, penyusunan neraca Bank
Indonesia dilakukan dengan memperhatikan dua kepentingan. Pertama,
yaitu kepentingan Bank Indonesia sebagai suatu badan hukum. Dalam
hal ini pencatatan dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip akun-
tansi Bank Indonesia.6 Kedua, adalah kepentingan Bank Indonesia sebagai
bank sentral, dimana neraca tersebut juga disusun sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan untuk keperluan analisis moneter.
Untuk kepentingan pertama tersebut, neraca Bank Indonesia disusun
dengan mencatat segala kegiatan yang terkait dengan perubahan rekening-
rekening kekayaan (aktiva) dan kewajiban (pasiva) Bank Indonesia. Untuk
kepentingan kedua, hasil pencatatan transaksi Bank Indonesia diklasi-
fikasikan didalam suatu worksheet yang disebut sebagai worksheet uang
primer yang berasal dari penggabungan seluruh neraca kantor pusat dan
kantor Bank Indonesia yang tersebar di 26 propinsi seluruh Indonesia.7
6
Pembahasan lebih rinci menganai hal ini dapat dilihat pada Prinsip-Prinsip Akuntansi
Bank Indonesia (PAKBI)
7
Jumlah ini merupakan jumlah propinsi sebelum dilakukan pemekaran daerah

5
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Worksheet uang primer itu sendiri adalah suatu lembar kerja yang diguna-
kan sebagai alat bantu penyusunan uang primer dengan cara melakukan
pengelompokan rekening-rekening kekayaan dan kewajiban Bank Indonesia.
Rekening kekayaan dan kewajiban tersebut disusun dengan memilah-milah
rekening berdasarkan status kepemilikannya, sehingga diperoleh komponen
uang primer dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.
Secara singkat, pos-pos neraca Bank Indonesia dapat disusun dalam
bentuk neraca seperti di bawah ini.

Neraca Singkat Bank Indonesia

Aktiva Pasiva
1. Emas dan Valuta Asing 1. Kewajiban Moneter
a. Emas a. Uang kartal dalam peredaran
b. Valuta asing b. Giro bank
c. Penyisihan penghapusan c. Giro pemerintah
Aktiva valuta asing d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
2. Special Drawing Rights (SDR) e. Lainnya
3. Surat Berharga 2. Pinjaman dalam valuta asing
4. Tagihan pada Pemerintah a. Pinjaman sindikasi
a. Dalam rupiah b. Pinjaman bilateral
b. Dalam valuta asing c. Pinjaman kepada pemerintah
c. Penyisihan penghapusan 3. Pasiva Lainnya
Tagihan pada pemerintah a. Dalam rupiah
5. Kredit dan Pembiayaan b. Dalam valuta asing
a. Perbankan 4. Ekuitas
b. Lainnya a. Modal dan cadangan
c. Penyisihan penghapusan b. Laba tahun lalu
Piutang ragu-ragu c. Surplus tahun berjalan
6. Penyertaan d. Cadangan revaluasi harga pasar
a. Penyertaan e. Cadangan selisih kurs
b. Penyisihan penghapusan
Penyertaan
7. Aktiva Lainnya
a. Aktiva tetap
b. Akumulasi penyusutan
Aktiva tetap
c. Lainnya

Keterangan : format standar penyusunan neraca singkat ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Laporan Tahunan Bank Indonesia.

6
Neraca Otoritas
Pendahuluan
Moneter

Penyusunan Neraca Otoritas Moneter


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, neraca di atas tidak ubahnya
merupakan neraca suatu kegiatan usaha. Kalau dicermati dengan seksama,
neraca tersebut belum dapat digunakan untuk kepentingan analisis
moneter. Oleh sebab itu, disusunlah neraca otoritas moneter, yang
merupakan neraca Bank Indonesia dalam format analitis. Sebagai contoh,
pada sisi aktiva, pos Emas dan Valuta Asing, Special Drawing Rights
(SDR)8 dan penempatan lainnya dalam bentuk simpanan dan surat-surat
berharga di luar negeri dikelompokkan ke dalam satu pos, yaitu Aktiva
Luar Negeri. Pada sisi pasiva, pinjaman-pinjaman dari Luar Negeri dalam
valuta asing dikelompokkan ke dalam pos Pasiva Luar Negeri.9 Setelah
melalui pengelompokan dan penyederhanaan, pos-pos neraca analitis Bank
Indonesia dapat disusun dalam bentuk neraca seperti di bawah ini.

Neraca Otoritas Moneter

Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri (Aa) 1. Uang Primer (Ap)
2. Tagihan pada Pemerintah Pusat (Ba) - Uang Kartal (A1p)
3. Tagihan pada Lembaga - Kas Bank (A2p)
dan Perusahaan Pemerintah (Ca) - Saldo Giro Bank (A3p)
4. Tagihan pada Perusahaan - Saldo Giro Perusahaan dan
dan Perorangan (Da) Perorangan (A4p)
5. Tagihan pada Bank (Ea) 2. Setoran Jaminan Bank (Bp)
6. Aktiva Lainnya (Fa) 3. Jaminan Impor (Cp)
4. Pasiva Luar Negeri (Dp)
5. Rekening Pemerintah (Ep)
6. Modal dan Cadangan (Fp)
7. Pasiva Lainnya (Gp)

Keterangan : Angka dalam kurung merupakan simbol yang ditujukan semata-mata untuk
mempermudah analisis

8
SDR merupakan alat likuid yang dikeluarkan dan didukung penuh dengan dana cadangan
dan emas oleh IMF sebagai bankir internasional. Penerbitan SDR dianggap sebagai salah
satu cara yang ekonomis untuk menyediakan likuiditas yang mantap bagi perekonomian
dunia, terutama untuk menyangga transaksi perdagangan dunia.
9
Perlu diinformasikan bahwa baik tagihan maupun kewajiban kepada Luar Negeri bisa
juga dalam bentuk mata uang domestik.

7
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Dari neraca otoritas moneter tersebut dapat diperoleh berapa besar


jumlah uang primer (M0), yang dicerminkan oleh komponen dan faktor-
faktor yang menyebabkan perubahannya. Untuk lebih memudahkan meli-
hat jumlah uang primer, neraca otoritas moneter tersebut dapat diseder-
hanakan pula sehingga menjadi sebagai berikut :10

Neraca Otoritas Moneter

Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri Bersih (Aba) Uang Primer (Ap)
2. Tagihan Bersih pada 1. Uang Kartal (A1p)
Pemerintah Pusat (Bba) 2. Kas Bank (A2p)
3. Tagihan pada Lembaga 3. Saldo Giro Bank (A3p)
dan Perusahaan Pemerintah (Ca) 4. Saldo Giro Perusahaan
4. Tagihan Bersih pada Perusahaan dan Perorangan (A4p)
dan Perorangan (Da)
5. Tagihan pada Bank (Ea)
6. Lainnya Bersih (Eba)

Keterangan : Format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Penjelasan simbol:
Aba = (Aa – Dp)
Bba = (Ba – Cp – Ep)
Eba = (Fa – Bp – Fp – Gp ),
Ca, Da, dan Ea : tetap seperti halnya yang ada pada Neraca Analitis Bank Indonesia

Dari neraca di atas dapat dikemukakan bahwa pos-pos yang berada


pada sisi pasiva merupakan komponen uang primer, yaitu:
(i) uang tunai yang dipegang baik oleh bank-bank umum maupun oleh
masyarakat umum (uang kartal)

10
Neraca otoritas moneter pada dasarnya dapat disusun menurut format lain, yang
disesuaikan menurut tujuan analisis.

8
NeracaPendahuluan
Bank Umum

(ii) saldo rekening giro rupiah milik bank-bank umum (dan perusahaan
dan perorangan) di Bank Indonesia.11
Sementara itu, pos-pos yang berada pada sisi aktiva merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang primer, yaitu: (i) Aktiva
luar negeri bersih (ii) Tagihan bersih pada pemerintah pusat, (iii) Tagihan
pada lembaga dan perusahaan pemerintah, (iv) Tagihan pada perusahaan
dan perorangan, (v) Tagihan pada Bank, dan (vi) Lainnya bersih. Posisi
neraca otoritas moneter tersebut dapat pula ditulis dalam bentuk
persamaan:

Aba + Bba + Ca + Da + Ea + Eba = A1p + A2p + A3p +A4p


= Ap

Neraca Bank Umum

Seperti halnya pada neraca bank sentral, prinsip penyusunan neraca bank
umum yang dilakukan adalah dengan memperhatikan dua kepentingan,
utamanya yaitu kepentingan bank umum sebagai suatu badan usaha.
Namun demikian, untuk kepentingan penyusunan neraca analitis moneter,
Bank Indonesia menyusun kembali pos-pos neraca berdasarkan status
kepemilikannya. Secara singkat, pos-pos neraca bank umum sebagai suatu
badan usaha adalah sebagai berikut.

11
Di beberapa negara, selain rekening giro dalam mata uang domestik, rekening giro
dalam mata uang asing juga termasuk sebagai komponen uang primer. Di Indonesia, saat
ini hanya rekening giro dalam rupiah saja yang diperhitungkan sebagai komponen uang
primer. Hal ini karena rekening giro dalam valuta asing di Bank Indonesia tidak digunakan
untuk keperluan transaksi, tetapi untuk memenuhi ketentuan/kebijakan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Dalam perkembangannya, pada beberapa kurun waktu neraca otoritas
moneter juga menampung saldo rekening giro rupiah milik masyarakat.

9
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Neraca Bank Umum


Aktiva Pasiva
1. Kas 1. Giro
2. Penempatan pada BI 2. Tabungan
3. Penempatan pada Bank Lain 3. Simpanan Berjangka
4. Surat Berharga yang Dimiliki 4. Kewajiban kepada BI
5. Kredit yang Diberikan 5. Kewajiban kepada Bank Lain
6. Tagihan Lainnya 6. Surat Berharga yang Diterbitkan
7. Penyertaan 7. Pinjaman yang Diterima
8. Penyisihan Penghapusan 8. Kewajiban Lainnya
Aktiva Produktif 9. Setoran Jaminan
9. Aktiva Tetap dan Inventaris 10. Antar Kantor Pasiva
a. Tanah dan Gedung 11. Rupa-rupa Pasiva
b. Akumulasi Penyusutan Gedung 12. Modal Pinjaman
c. Inventaris 13. Modal Disetor
d. Akumulasi Penyusutan inventaris 14. Perkiraan Tambahan Modal Disetor
10. Antar Kantor Aktiva 15. Selisih Penilaian Kembali
11. Rupa-rupa Aktiva Aktiva Tetap
16. Cadangan
17. Laba/Rugi
Keterangan : format standar penyusunan neraca ini adalah seperti yang sampaikan dalam
Laporan Bank Umum (LBU)

Untuk memperoleh neraca analitis moneter diperlukan pengelompokan


kembali berdasarkan status kepemilikan seperti di bawah ini.

Neraca Gabungan Bank Umum

Aktiva Pasiva
1. Kas (aa) 1. Saldo Rekening Giro (ap)
2. Giro pada Bank Indonesia (ba) 2. Simpanan Berjangka dan Tabungan (bp)
3. Aktiva Luar Negeri (ca) 3. Rekening Valuta Asing (cp)
4. Tagihan pada Pemerintah Pusat (da) 4. Pasiva Luar Negeri (dp)
5. Tagihan pada Lembaga 5. Rekening Pemerintah (ep)
dan Perusahaan Pemerintah (ea) 6. Jaminan Impor (fp)
6. Tagihan pada Perusahaan 7. Utang pada Bank Indonesia (gp)
dan Perorangan (fa) 8. Modal (hp)
7. Aktiva Lainnya (ga) 9. Pasiva Lainnya (ip)

Keterangan : format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

10
Neraca Sistem
Pendahuluan
Moneter

Selanjutntya, format neraca tersebut dapat pula disederhanakan ber-


dasarkan komponen uang beredar (uang giral dan uang kuasi) dan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahannya seperti format di bawah ini:

Neraca Analitis Bank Umum

Aktiva Pasiva
1. Kas (aa) 1. Uang Giral
2. Giro pada Bank Indonesia (ba) - Saldo Rekening Giro (ap)
3. Aktiva Luar Negeri Bersih (bba) 2. Uang Kuasi (bbp)
4. Tagihan Bersih pada
Pemerintah Pusat (cba)
5. Tagihan pada Lembaga
dan Perusahaan Pemerintah (ea)
6. Tagihan pada Perusahaan
dan Perorangan (fa)
7. Lainnya Bersih (gba)

Penjelasan simbol:
bba = (ca – dp) gba = ga – (fp + gp + hp + ip)
cba = (da – ep) bbp = (bp + cp)

Dari neraca di atas dapat dikemukakan bahwa pos-pos yang berada


pada sisi pasiva merupakan komponen-komponen uang beredar, yaitu
uang giral dan uang kuasi. Sementara itu, pos-pos yang berada pada sisi
aktiva merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang
beredar. Posisi neraca gabungan bank umum tersebut dapat pula ditulis
dalam bentuk persamaan sebagai berikut.
aa + ba + bba + cba + ea + fa + gba = ap + bbp

Neraca Sistem Moneter

Setelah menyusun neraca analitis otoritas moneter dan bank umum,


langkah selanjutnya adalah menyusun neraca sistem moneter. Neraca
sistem moneter disusun dengan menggabungkan neraca analitis otoritas

11
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

moneter dan bank umum. Dalam penggabungan itu pos-pos yang bersifat
intra akan saling menghapus, misalnya pos Kas dan Giro bank umum di
Bank Indonesia (reserve bank-bank). Sementara itu, pos-pos yang bersifat
sama akan digabungkan sebagai suatu pos aktiva/pasiva dari sistem
moneter.
Di sisi Aktiva, pos-pos ini adalah : (i) Aktiva Luar Negeri Bersih, (ii)
Tagihan Bersih pada Pemerintah Pusat, (iii) Tagihan pada Lembaga dan
Perusahaan Pemerintah, (iv) Tagihan pada Perusahaan dan Perorangan,
dan (v) Lainnya Bersih. Di sisi Pasiva, pos Uang Kartal dan Saldo Giro
Perusahaan dan Perorangan pada Neraca Otoritas Moneter, bersama-sama
dengan pos-pos Uang Giral dan Uang Kuasi pada Neraca Analitis Bank
Umum akan membentuk pos komponen uang beredar (M1 dan M2),
yaitu: (i) Uang Kartal, (ii) Uang Giral, dan (iii) Uang Kuasi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun neraca
sistem moneter sebagai berikut.

Neraca Sistem Moneter

Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri Bersih (ALNB) Uang Beredar (M2)
2. Tagihan Bersih pada
Pemerintah Pusat (TBPP) 1. M1
3. Tagihan pada Lembaga dan - Uang Kartal (UKT)
Perusahaan Pemerintah (TLPP) - Uang Giral (UGR)
4. Tagihan pada Perusahaan 2. Uang Kuasi (UKS)
dan Perorangan (TPP)
5. Lainnya Bersih (LB)

Keterangan : format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Penjelasan simbol:
ALNB = Aba + bba aa – A2p =0
TBPP = Bba + cba ba – A3p =0
TLPP = Ca + ea UKT = A1p
TPP = Da + fa UGR = A4p + ap
LB = Eba + Ea + gba + aa + ba – A2p – A3p UKS = bbp

12
Neraca Sistem
Pendahuluan
Moneter

Dari neraca di atas dapat dikemukakan bahwa pos-pos yang berada


pada sisi pasiva merupakan komponen uang beredar (M1 dan M2).
Sedangkan pos-pos yang berada pada sisi aktiva merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar. Posisi neraca
gabungan bank umum tersebut dapat pula ditulis dalam bentuk persamaan:

ALNB + TBPP + TLPP + TPP + LB = UKT + UGR + UKS


= M1 + UKS
= M2

Penjelasan Pos-pos dalam Neraca Sistem Moneter


Sisi Aktiva
Aktiva Luar Negeri Bersih
Jumlah aktiva luar negeri bersih pada neraca sistem moneter merupakan
penggabungan antara aktiva luar negeri bersih dari neraca otoritas moneter
dan dari neraca gabungan bank umum. Aktiva luar negeri bersih ini terdiri
dari cadangan devisa bersih dan aktiva luar negeri lainnya.12 Cadangan
devisa bersih pada neraca sistem moneter adalah cadangan devisa bersih
yang diperoleh dari neraca analitis Bank Indonesia, yaitu dengan jalan
mengurangkan tagihan aktiva luar negeri yang lancar (tagihan yang kurang
dari 1 tahun) dengan kewajiban luar negeri yang segera dapat dibayar
(kewajiban yang harus dilunasi sebelum 1 tahun). Bagian lain dari aktiva
luar negeri bersih dari neraca sistem moneter adalah merupakan hasil
bersih (net) dari aktiva luar negeri lainnya dengan pasiva luar negeri lain-
nya (yang masing-masing berjangka panjang) ke dalam pasiva luar negeri
lainnya.

12
Cadangan devisa bersih merupakan alat pembayaran internasional yang bersifat segera
dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Yang termasuk dalam cadangan devisa bersih
adalah emas dan mata uang emas, rekening koran pada bank-bank luar negeri, simpanan
dan deposito berjangka di bank-bank luar negeri, deposito on call dan call money pada
bank-bank di luar negeri, kertas-kertas perbendaharaan negara lain serta uang kertas dan
uang logam asing pada kas-kas bank sentral.

13
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat


Pos ini merupakan penggabungan dari tagihan bersih kepada pemerintah
dalam neraca otoritas moneter dengan neraca gabungan bank umum.
Tagihan bersih kepada pemerintah merupakan hasil selisih bersih dari
tagihan kepada pemerintah dengan kewajiban terhadap pemerintah.
Apabila tagihan sistem moneter kepada pemerintah lebih besar daripada
kewajibannya maka tagihan bersih kepada pemerintah tersebut dinyatakan
dengan angka positif (+), sedangkan apabila tagihan pada pemerintah lebih
kecil daripada kewajiban, maka tagihan bersih kepada pemerintah tersebut
dinyatakan dengan angka negatif (-).

Tagihan kepada Lembaga dan Perusahaan Pemerintah


Tagihan kepada lembaga dan perusaahaan pemerintah adalah jumlah
tagihan terhadap lembaga dan perusahaan pemerintah yang ada pada
neraca otoritas moneter dan yang ada di neraca gabungan bank umum.

Tagihan kepada Perusahaan dan Perorangan (Sektor Swasta Domestik)


Jumlah tagihan kepada perusahaan dan perorangan diperoleh dengan
jalan menambahkan jumlah tagihan kepada perusahaan dan perorangan
yang berada pada neraca otoritas moneter dengan jumlah tagihan kepada
perusahaan dan perorangan pada neraca gabungan bank umum.

Lainnya bersih
Lainnya bersih merupakan pos/kelompok yang disediakan untuk
menampung berbagai pos yang tidak dimasukkan/digolongkan ke dalam
kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Kelompok
lainnya bersih antara lain terdiri dari :
• Jaminan impor, yaitu yang merupakan jaminan impor yang diterima
oleh bank-bank devisa.13 Jumlah jaminan impor yang terdapat pada
neraca sistem moneter, tidak termasuk jaminan impor yang ada pada
Bank Indonesia, mengingat jaminan impor pada bank sentral sudah
diperhitungkan di dalam rekening pemerintah pusat. Mengingat
jaminan impor merupakan kewajiban dari bank, maka penempatan

14
Neraca Sistem Moneter
Pendahuluan

jaminan impor pada pos lainnya bersih akan dicatat dengan tanda
negatif (-).
• Rekening modal, terdiri dari modal, laba/rugi dan berbagai cadangan
baik yang dimiliki oleh bank sentral maupun oleh bank umum. Reke-
ning modal ini mempunyai tanda negatif (-) dalam kelompok lainnya
bersih.
• Hubungan keuangan antara bank sentral dengan bank umum. Sub ke-
lompok ini menggabungkan beberapa pos tertentu pada neraca otoritas
moneter dengan beberapa pos tertentu pada neraca gabungan bank
umum. Pos-pos tersebut pada neraca otoritas moneter yaitu Tagihan
pada Bank, Saldo Giro Bank dan Setoran Wajib Bank. Sedangkan pos-
pos yang terdapat pada neraca bank umum ialah Utang pada Bank
Indonesia, Kas, dan Giro pada Bank Indonesia. Pos lainnya adalah
Rupa-rupa, yang merupakan penggabungan antara aktiva lainnya
dengan pasiva lainnya, baik yang ada pada neraca otoritas moneter
maupun yang ada pada neraca gabungan bank umum. Apabila semua
sub kelompok tersebut digabungkan, maka akan diperoleh jumlah
kelompok lainnya bersih.

Sisi Pasiva
Sisi pasiva neraca sistem moneter mencerminkan kewajiban moneter dari
sistem moneter yang berupa uang beredar yang terdiri dari uang kartal,
uang giral, dan uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik.
Uang kartal yang dimaksud adalah uang kartal yang beredar di masyarakat
(tidak termasuk uang kartal yang ada di kas BI dan bank umum).14 Uang
giral diperoleh dengan menambahkan saldo giro milik sektor swasta do-
mestik yang ada pada BI dan bank umum. Sementara itu, uang kuasi di-
peroleh dengan menggabungkan simpanan berjangka dan tabungan, serta
rekening valuta asing lainnya milik sektor swasta domestik pada bank
umum maupun BI.

13
Bank devisa merupakan bank yang dalam kegiatan operasionalnya dapat melakukan
pengelolaan devisa, antara lain untuk keperluan ekspor-impor.
14
Uang kartal diperoleh dengan mengurangkan rekening pencetakan uang dengan uang
kas yang ada di BI dan bank umum.

15
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

Sebagaimana halnya dengan sifat neraca pada umumnya, jumlah pos-


pos di sisi aktiva dari neraca sistem moneter sama dengan jumlah pos-
pos di sisi pasivanya. Apabila dua neraca sistem moneter pada periode
yang berlainan dibandingkan maka akan terlihat perkembangan jumlah
uang beredar (bertambah atau berkurang), yang tercermin baik pada
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya maupun komponennya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar terjadi
pada 5 pos yaitu:(i) Aktiva Luar Negeri Bersih (ii) Tagihan Bersih pada
Pemerintah Pusat, (iii) Tagihan pada Lembaga dan Perusahaan Pemerintah,
(iv) Tagihan pada Perusahaan dan Perorangan, dan (v) Lainnya Bersih.
Di sisi lain, perubahan uang beredar tersebut tercermin pada perubahan
Uang Kartal, Uang Giral, dan Uang Kuasi.

16
Pendahuluan

Boks:
Penafsiran Statistik Uang Beredar sebagai Akibat
Gejolak Nilai Tukar

Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas pada


pertengahan 1997, nilai tukar rupiah sering mengalami fluktuasi yang
sangat besar. Fluktuasi nilai tukar rupiah bahkan jauh lebih besar
apabila dibandingkan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang negara-
negara lain, termasuk mata uang utama dunia seperti euro dan yen
Jepang yang diperdagangkan secara aktif dan spekulatif dalam skala
global. Permasalahan teknis yang muncul berkaitan dengan hal
tersebut adalah bagaimana seharusnya menafsirkan perubahan jumlah
uang beredar dalam neraca sistem moneter.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, pos Aktiva Luar Negeri
Bersih (Net Foreign Assets) pada neraca sistem moneter menampung
perubahan yang terjadi pada komponen cadangan devisa maupun
aktiva luar negeri lainnya, sebagai akibat dari transaksi keuangan
antara penduduk dengan bukan-penduduk (sektor luar negeri). Dapat
dicontohkan di sini, misalnya posisi simpanan dalam bentuk mata
uang asing milik bank-bank luar negeri pada neraca sistem moneter
(cadangan devisa) adalah US$1 juta, dengan nilai tukar (kurs)
Rp5.000,- per US$. Selanjutnya, terjadi gejolak di pasar valuta asing
yang menyebabkan menurunnya nilai mata uang rupiah terhadap
dollar AS (depresiasi) sehingga kurs yang terjadi adalah Rp10.000,-
per US$. Perubahan drastis pada sisi aktiva tersebut menyebabkan
nilai cadangan devisa dalam rupiah meningkat 100%. Hal ini tercermin
pula pada peningkatan uang kuasi secara drastis pada sisi pasiva,
dari Rp5 triliun menjadi Rp10 triliun.
Dengan demikian, secara sekilas dapat dilihat bahwa uang beredar
mengalami peningkatan sebesar Rp5 triliun. Yang menjadi perma-
salahan dalam hal ini adalah apabila gejolak nilai tukar berlangsung
dalam frekuensi yang relatif tinggi serta dalam waktu yang cukup
lama. Hal ini tentunya berakibat pada tingginya gejolak nilai cadangan

17
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR

devisa dan jumlah uang beredar secara keseluruhan. Permasalahan


tersebut mempunyai implikasi penting, tidak hanya pada berubahnya
cara penafsiran stataistik uang beredar, namun juga pada sulitnya
pelaksanaan kegiatan perencanaan dan evaluasi kebijakan moneter.
Perlu dikemukakan bahwa keberhasilan pelaksanaan kegiatan
perencanaan dan evaluasi kebijakan moneter ini merupakan salah
satu aspek yang dievaluasi dalam rangka pelaksanaan program
pemulihan ekonomi sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah
Indonesia dengan IMF (letter of intent / LOI).
Sejalan dengan hal tersebut, atas inisiatif IMF, pada bulan Januari
1998 telah disepakati mengenai perubahan konsep cadangan devisa,
yaitu dari Net Foreign Assets (NFA) menjadi Gross Foreign Assets
(GFA). Dalam pada itu, cadangan devisa tidak lagi dihitung dengan
memperhatikan nilai aktiva luar negeri bersih, namun nilai aktiva luar
negeri bruto. Dalam konsep GFA terdapat dua pengertian cadangan
devisa, yaitu cadangan devisa bruto (International Reserves atau IR)
dan cadangan devisa bersih (Net International Reserves atau NIR).
Dalam hal ini, posisi cadangan devisa bersih (NIR) dihitung dengan
mengurangkan posisi cadangan devisa bruto (IR) dengan kewajiban
terhadap IMF dan saldo valuta asing bank umum di Bank Indonesia.
Untuk keperluan publikasi secara luas (seperti yang tercantum
di Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia), posisi IR dihitung
dengan menggunakan kurs pasar antar-valuta asing yang berlaku
pada saat tanggal pelaporan. Sementara itu, untuk keperluan kegiatan
perencanaan dan evaluasi kebijakan moneter, penghitungan NIR
menggunakan kurs tetap antar-valuta asing, yaitu kurs tetap Rp/US$
sesuai dengan LOI. Posisi NIR dan IR yang telah dikonversikan ke
dalam rupiah tersebut dipublikasikan melalui siaran pers yang dike-
luarkan oleh Bank Indonesia setiap minggu. Dalam perkembangan
selanjutnya, pada bulan Januari 2000 konsep GFA diganti dengan
konsep International Reserves and Foreign Currency Liquidity
(IRFCL), yaitu dengan hanya memperhitungkan komponen aktiva
yang bersifat likuid atau tersedia setiap waktu (readily available).
Sejalan dengan hal tersebut posisi NIR juga mengalami penyesuaian.

18
Pendahuluan

Daftar Pustaka

Bank Indonesia, Kumpulan Materi Pengajaran Interen, beberapa edisi.


Bank Indonesia, Laporan Tahunan Bank Indonesia, beberapa tahun
penerbitan.
Bank Indonesia, Uraian dan Pedoman Pelaksanaan Tugas, Bagian
Statistik Moneter –Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Jakarta,
Februari 2002.
Suseno, Penyusunan Statistik Uang Beredar, Materi Pengajaran Interen
Bank Indonesia, Jakarta, 2002.

19
LAMPIRAN

20
Neraca Sistem Moneter Tahun 2001
(miliar rupiah)

AK T I VA PA S I VA

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar Uang Beredar


Aktiva Luar Negeri Bersih 233.975 M1 :
Tagihan Bersih pada Pemerintah Pusat 529.706 - Uang Giral 101.389
Tagihan pada Lembaga dan BUMN 18.337 - Uang Kartal 76.342
Tagihan pada Persh.Swasta & Perorangan 310.816 (Sub Total) 177.731
Jaminan Impor -7.966 Uang Kuasi 666.322
(Sub Total) 1.084.868
Lainnya Bersih -240.815

Jumlah 844.053 M2 844.053

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

21
Neraca Otoritas Moneter Tahun 2001
(miliar rupiah)

AKTIVA PA S I VA
Aktiva Luar Negeri 301.351 Uang Kertas & Uang Logam yg diedarakan
Tagihan pada Sektor Pemerintah - Uang Kuartal 76.342
- Pemerintah Pusat 252.055 - Kas Bank 14.934
- Lemb.& Persh. Pemerintah 0 (Sub Total) 91.276
(Sub Total) 252.055 Saldo Giro Bank 34.847
Tagihan pada Persh.Swasta
& Perorangan Saldo Giro Persh. dan Perorangan 1.673
- Pinjaman yg diberikan 34 (Sub Total) 127.796
- Tagihan Lainnya 7.760 Rekening Valuta Asing & Rek. Lainnya 126
(Sub Total) 7.794 Rekening Valuta Asing Bank Devisa 7.460
Tagihan pada Bank 17.711 Pasiva Luar Negeri 108.744
Aktiva Lainnya 22.228 Rekening Pemerintah
- Jaminan Impor 505
- Rekening Berjalan 90.500
- Rekening Khusus Pemerintah 0
- Dana Nilai Lawan 288
- Lainnya 0
(Sub Total) 91.293
Modal dan Cadangan 14.709
Pasiva Lainnya 251.011

Jumlah 601.139 601.139

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

22
Neraca Gabungan Bank Umum Tahun 2001
(miliar rupiah)

AK T I VA PA S I VA

Alat Likuid Saldo Rekening Giro 99.716


- Kas 14.934 Simpanan Berjangka & Tabungan 511.556
- Giro pada BI 34.049 Rekening Valuta Asing 154.640
(Sub Total) 48.983 Pasiva Luar Negeri 68.406
Aktiva Luar Negeri 109.774 Rekening Pemerintah 39.963
Tagihan pada sektor Pemerintah Jaminan Impor 7.966
- Pemerintah Pusat 408.908 Utang pada BI 15.225
- Lembaga & Persh. Pemerintah 18.266 Modal 66.788
(Sub Total) 427.174 Pasiva Lainnya 75.665
Tagihan pada Persh. & Perorangan 303.056
Aktiva Lainnya 150.938

Jumlah 1.039.925 1.039.925

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

23
Tabel 1. Tabel Publikasi Neraca Sistem Moneter
(miliar rupiah)
Uang Beredar/Money Supply Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar
Akhir M2 Aktiva Tagihan Tagihan pd Tagihan pd
Periode M1 Luar Bersih pd Lembaga Prsh. Jaminan Lainnya
Jumlah Uang
Jumlah Uang Uang Negeri Pemerintah dan BUMN Swasta & Import Bersih
Total Kuasi
Total kartal Giral Bersih Pusat Perorangan
1997 355.643 78.343 28.424 49.919 277.300 67.985 -45.543 20.612 432.232 -1.419 -118.224
1998 577.381 101.197 41.394 59.803 476.184 141.677 -28.030 27.001 525.264 -2.417 -86.114
1999 646.205 124.633 58.353 66.280 521.572 129.096 397.257 18.862 233.714 -1.658 -131.066
2000 747.028 162.186 72.371 89.815 584.842 210.733 520.317 14.357 280.566 -4.783 -274.162
2001 844.053 177.731 76.342 101.389 666.322 233.975 529.706 18.337 310.816 -7.966 -240.815

2001
Jan. 738.731 145.345 59.540 85.805 593.386 207.581 520.692 12.596 276.856 -4.570 -274.424
Feb. 755.898 149.879 59.525 90.354 606.019 226.194 527.242 13.550 285.489 -5.016 -291.561
Mar. 766.812 148.375 60.114 88.261 618.437 248.254 521.187 14.056 295.244 -5.805 -306.124
Apr. 792.227 154.297 61.429 92.868 637.930 296.722 514.277 14.890 317.095 -6.650 -344.107
Mei 788.320 155.791 63.131 92.660 632.529 283.884 429.147 14.375 312.741 -6.763 -245.064
Jun. 796.440 160.142 66.201 93.941 636.298 293.223 502.508 14.998 315.643 -7.554 -322.378
Jul. 771.135 162.154 66.312 95.842 608.981 232.702 522.672 13.685 299.351 -6.776 -290.499
Ags. 774.037 166.851 69.136 97.715 607.186 180.293 520.874 14.296 297.179 -6.379 -232.226
Sep. 783.104 164.237 69.047 95.190 618.867 203.671 503.471 14.245 313.385 -6.902 -244.766
Okt. 808.514 169.963 68.325 101.638 638.551 229.202 510.876 16.080 326.125 -7.431 -266.338
Nov. 821.691 171.383 73.139 98.244 650.308 231.748 524.037 15.887 308.050 -7.427 -250.604
Des. 844.053 177.731 76.342 101.389 666.322 233.975 529.706 18.337 310.816 -7.966 -240.815

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

24
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter
(miliar rupiah)
Tagihan pd Sektor Tagihan pd Persh &
Akhir Aktiva Pemerintah Perorangan Tagihan pd Aktiva Aktiva =
Periode Luar Bank Lainnya Pasiva
Pemerintah Lemb & Persh Pinjaman yg Tagihan
Negeri
Pusat Pemerintah diberikan Lainnya
1997 100.003 4.996 0 50 45.455 24.957 13.295 188.756
1998 194.260 34.847 0 40 12.602 26.912 153.262 421.923
1999 193.174 242.791 0 38 7.222 26.308 21.136 490.669
2000 289.489 252.055 0 36 7.610 18.576 37.690 579.446
2001 301.351 252.055 0 34 7.760 17.711 22.228 601.139

2001
Jan. 286.289 225.857 0 36 7.643 18.428 12.458 550.711
Feb. 295.884 239.893 0 36 7.318 18.359 21.479 582.969
Mar. 308.296 239.895 0 36 7.352 18.324 21.888 595.791
Apr. 346.807 239.901 0 36 7.406 18.254 23.813 636.217
Mei. 326.973 239.871 0 36 7.406 18.257 23.847 616.390
Jun. 339.298 239.858 0 36 7.680 17.916 28.553 633.341
Jul. 285.066 252.758 0 36 7.718 18.155 28.193 591.926
Ags. 262.024 252.183 0 36 7.737 17.867 27.931 567.778
Sep. 289.460 252.083 0 36 7.775 17.815 28.059 595.228
Okt. 309.760 252.081 0 36 7.773 17.706 29.130 616.486
Nov. 303.281 252.075 0 36 7.758 17.701 28.188 609.039
Des. 301.351 252.055 0 34 7.760 17.711 22.228 601.139

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

25
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter (Lanjutan)
(miliar rupiah)
Uang Kertas &Uang Rekening Rekening Rekening Pemerintah
Saldo Valuta Valuta Pasiva
Logam yg diedarkan Saldo Modal Pasiva
Giro Persh Jumlah Asing & Asing Luar
Uang Kas
Giro
dan Rekening Bank Negeri Jaminan Rekening Rekening Dana dan Lainnya
Bank Kusus Nilai Lainnya Cadangan
Perorangan Lainnya Devisa Impor Berjalan
Kecil Bank Pemerintah Lawan
28.424 5.274 12.012 376 46.086 17 5.175 8.393 267 36.385 0 1.624 0 2.898 87.911
41.394 7.111 26.191 424 75.120 57 6.562 70.397 660 42.818 0 389 0 6.993 218.927
58.353 14.216 28.088 1.133 101.790 151 5.828 83.913 244 92.595 0 355 0 2.606 203.187
72.371 17.334 33.925 1.985 125.615 192 7.636 88.261 290 91.713 0 321 0 11.793 253.625
76.342 14.934 34.847 1.673 127.796 126 7.460 108.744 505 90.500 0 288 0 14.709 251.011

59.540 10.263 31.378 2.068 103.249 207 7.522 88.261 241 90.909 0 313 0 11.793 248.216
59.525 9.753 31.291 2.202 102.771 103 7.683 85.377 370 96.844 0 313 0 11.793 277.715
60.114 9.791 30.918 2.431 103.254 265 8.220 85.303 346 104.824 0 313 0 11.793 281.473
61.429 10.811 31.404 2.541 106.185 97 9.253 85.303 351 112.179 0 306 0 11.793 310.750
63.131 11.075 30.805 2.725 107.736 40 8.532 81.215 392 111.217 0 306 0 11.793 295.159
66.201 10.690 30.854 2.859 110.604 136 8.787 81.220 469 113.446 0 304 0 11.793 306.582
66.312 12.193 30.608 2.989 112.102 51 7.086 81.220 431 102.557 0 296 0 14.368 273.815
69.136 11.970 31.414 3.178 115.698 68 6.913 110.957 476 102.080 0 296 0 14.368 216.922
69.047 11.769 31.614 2.803 115.233 25 7.245 115.558 510 115.776 0 296 0 14.368 226.217
68.325 12.618 32.506 2.979 116.428 82 7.702 114.195 474 108.728 0 289 0 14.709 253.879
73.139 12.739 32.221 3.068 121.167 96 7.504 108.744 396 107.091 0 288 0 14.709 249.044
76.342 14.934 34.847 1.673 127.796 126 7.460 108.744 505 90.500 0 288 0 14.709 251.011

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

26
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum
(miliar rupiah)
Alat Likuid Aktiva Alat Likuid
Akhir Tagihan pd
Luar Aktiva Aktiva =
Periode Kas Giro Jumlah Pemerintah Lembaga &
Persh. & Lainnya Pasiva
pada BI Negeri Pusat Persh.
Perorangan
Pemerintah

1997 5.274 12.095 17.369 46.810 1.018 20.562 386.777 56.339 528.875
1998 7.111 27.110 34.221 115.657 690 26.923 512.662 72.275 762.428
1999 14.216 27.859 42.075 94.457 268.677 18.785 226.492 138.870 789.356
2000 17.334 32.374 49.708 102.179 429.702 14.284 272.956 115.671 984.500
2001 14.934 34.049 48.983 109.774 408.908 18.266 303.056 150.938 1.039.925

2001
Jan. 10.263 32.005 42.268 91.956 426.387 12.523 269.213 152.288 994.635
Feb. 9.753 32.427 42.180 94.963 426.653 13.477 278.171 164.194 1.019.638
Mar. 9.791 31.840 41.631 106.971 426.703 13.983 287.892 159.354 1.036.534
Apr. 10.811 32.324 43.135 128.097 429.083 14.817 309.689 161.169 1.085.990
Mei. 11.075 31.690 42.765 124.200 424.729 14.302 305.335 138.736 1.050.067
Jun. 10.690 28.341 39.031 121.485 418.430 14.925 307.963 156.158 1.057.992
Jul. 12.193 30.089 42.282 101.433 411.840 13.612 291.633 138.205 999.005
Ags. 11.970 30.779 42.749 92.804 409.363 14.223 289.442 125.543 974.124
Sep. 11.769 30.813 42.582 99.062 406.375 14.172 305.610 126.245 994.046
Okt. 12.618 31.741 44.359 106.581 408.231 16.007 318.352 134.318 1.027.848
Nov. 12.739 31.085 43.824 107.347 416.032 15.814 300.292 138.483 1.021.792
Des. 14.934 34.049 48.983 109.774 408.908 18.266 303.056 150.938 1.039.925

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

27
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum (Lanjutan)
(miliar rupiah)

Saldo Simpanan Rekening Pasiva


Rekening Jaminan Utang pada Pasiva
Rekening Berjangka Valuta Luar Modal
Pemerintah Impor BI Lainnya
Giro Tabungan Asing Negeri

49.543 186.311 90.972 70.434 13.281 1.419 23.008 46.713 47.194


59.379 358.649 117.478 97.842 19.701 2.417 112.947 -98.542 92.557
65.147 408.580 112.841 74.623 21.017 1.658 33.360 -21.609 93.739
87.830 444.651 139.999 92.675 43.106 4.783 16.547 50.637 104.272
99.716 511.556 154.640 68.406 39.963 7.966 15.225 66.788 75.665

83.737 457.298 135.881 82.403 40.089 4.570 16.284 60.134 114.239


88.152 467.768 138.148 79.277 41.778 5.016 16.319 64.320 118.860
85.830 467.305 150.867 81.710 39.928 5.805 16.890 65.052 123.147
90.327 466.203 171.630 92.880 40.572 6.650 16.367 70.334 131.027
89.935 466.386 166.103 86.075 41.179 6.763 16.405 43.694 133.527
91.082 468.685 167.477 86.340 41.560 7.554 16.253 44.114 134.927
92.853 469.387 139.543 72.577 38.641 6.776 16.217 44.537 118.474
94.537 477.625 129.493 63.578 37.818 6.379 15.724 68.526 80.444
92.387 478.822 140.020 69.293 38.405 6.902 15.740 67.292 85.185
98.659 487.681 150.788 72.944 39.946 7.431 15.585 68.911 85.903

28
Seri Kebanksentralan

No. 3

INSTRUMEN-INSTRUMEN
PENGENDALIAN MONETER

Ascarya

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar, oleh Solikin dan Suseno,
Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya,
Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.
Seri Kebanksentralan No. 3

INSTRUMEN-INSTRUMEN
PENGENDALIAN MONETER

Ascarya

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Desember 2002


i
Ascarya
Instrumen-instrumen pengendalian moneter /
Ascarya. -- Jakarta : Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, 2002.
49 hlm. ; 15,2 cm x 22,8 cm. -- (Seri Kebanksentralan ; 3)

Bibliografi : hlm. 48
ISBN 979-3363-02-9

ii
Sambutan

Sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang No. 23 tahun


1999 tentang Bank Indonesia, dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mewujudkan iklim
keterbukaan. Selain itu, sebagai sumbangsih Bank Indonesia untuk
berperan dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran kepada
masyarakat, dalam dua tahun terakhir ini Bank Indonesia juga terus
berupaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan penelitian yang ditujukan
untuk memperkaya khazanah ilmu kebanksentralan. Sejalan dengan hal
tersebut, pada kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia, menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Lingkup materi yang dibahas dalam buku seri kebanksentralan ini
sangatlah luas, meliputi disiplin ilmu ekonomi makro-moneter, perbankan,
sistem pembayaran, dan bidang-bidang lain yang terkait dengan tugas
dan tanggung jawab bank sentral. Untuk tahun penerbitan perdana ini,
kami menerbitkan empat seri buku sekaligus, terdiri dari: (i) Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian, (ii)
Penyusunan Statistik Uang Beredar, (iii) Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter, dan (iv) Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi,
dan Penerapan. Kami berupaya untuk dapat menuangkan bahasan pada
masing-masing topik tersebut dengan bahasa yang cukup sederhana
dengan menghindari sejauh mungkin penggunaan istilah-istilah teknis
yang dapat mempersulit pemahamannya. Kalaupun masih terdapat istilah-
istilah teknis yang sulit disederhanakan, kami berusaha tetap menyertakan
istilah aslinya.
Mengiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada
para penulis yang telah berusaha secara maksimal serta pihak-pihak yang
telah memberikan kontribusi berharga dalam penyusunan buku ini.
Semoga karya ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2002


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Halim Alamsyah
Direktur

iii
Pengantar

Instrumen-instrumen pengendalian moneter merupakan alat yang penting


bagi bank sentral untuk mengendalikan uang beredar dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan kebijakan moneter. Penggunaan instrumen yang
tepat pada kondisi perekonomian tertentu akan sangat membantu
pencapaian tujuan. Keberadaan instrumen-instrumen pengendalian
moneter belum banyak dipahami dan dimengerti oleh masyarakat luas.
Tulisan singkat dalam seri kebanksentralan no. 3 ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang berminat memahami
berbagai hal yang terkait dengan masalah-masalah moneter di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan instrumen-
instrumen pengendaliannya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah ikut serta terlibat dan membantu
dalam penyusunan tulisan ini, khususnya kepada rekan-rekan di Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bagian Analisis dan Perencanaan
Kebijakan – Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bagian
Statistik Moneter – Direktorat Statistik Moneter, serta semua pihak yang
telah membantu kelancaran penulisan seri kebanksentralan ini, mulai dari
tahap penyusunan outline, penulisan draft, diskusi, penulisan akhir, dan
pencetakannya. Ucapan terima kasih secara khusus juga penulis sampaikan
kepada Sdr. Halim Alamsyah, Sdr. Iskandar, Sdr. Eddy Susanto, Sdr. Anwar
Bashori, Sdr. Erwin Haryono, dan Sdr. Nunu Hendrawanto atas
partisipasinya dan masukan-masukannya dalam diskusi penyelesaian
tulisan ini. Last but not least, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Sdr. P. Iman Soesanto yang telah dengan senang hati meluangkan waktu
untuk mengedit tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca terbuka selebar-lebarnya
dan akan penulis terima dengan senang hati untuk penyempurnaan di masa
yang akan datang. Akhirnya, penulis mengharapkan agar karya kecil ini
bermanfaat dan menambah khazanah bagi pengetahuan masyarakat luas.

Jakarta, Desember 2002

Penulis

iv
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar iv

Gambaran Umum Kerangka Kebijakan Moneter 1

Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter 5


Instrumen Langsung 7
1. Penetapan Suku Bunga 7
2. Pagu Kredit 8
3. Rasio Likuiditas 8
4. Kredit Langsung (‘directed’, ‘selected’, prioritas, dan yang
sejenisnya) 9
5. Kuota Diskonto 9
6. Instrumen Lain 9
6.1 Pengguntingan Uang 10
6.2 Pembersihan Uang (Monetary Purge) 10
6.3 Penetapan Uang Muka Impor 11

Instrumen Tidak Langsung 13


1. Cadangan Wajib Minimum (CWM) 14
1.1 Cadangan Primer (Primary reserves) 14
1.2 Cadangan Sekunder (Secondary reserves) 16
2. Fasilitas Diskonto 16
3. Fasilitas Rediskonto 17
4. Operasi Pasar Terbuka 17
4.1 Lelang Surat Berharga Bank Sentral 18
4.2 Lelang Surat Berharga Pemerintah 18
4.3 Operasi Pasar Sekunder 19
5. Fasilitas Simpanan Bank Sentral 19
6. Operasi Valuta Asing 20
7. Fasilitas Overdraft 20
8. Simpanan Sektor Pemerintah 21
9. Lelang Kredit 21
10 Himbauan 21
11 Instrumen Lain 22

v
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan 27

Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia 31


Sebelum 1983
1. Periode 1945-1965 32
2. Periode 1965-1983 34

Sesudah 1983
1. Periode 1983 – 1997 37
2. Periode Pasca 1997 41

Daftar Gambar
Gambar 1: Perbandingan Sistem Operasi Kebijakan Moneter 3

Daftar Tabel
Tabel 1: Instrumen Langsung Pengendalian Moneter 11
Tabel 2: Instrumen Tidak Langsung Pengendalian Moneter 22
Tabel 3: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter Yang
Digunakan oleh Negara-negara Lain 29
Tabel 4: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1945-1965 33
Tabel 5: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1965-1983 36
Tabel 6: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1983-1997 40
Tabel 7: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode Pasca 1997 yang Ditambahkan 43

Boks:
Prosedur Lelang SBI 40

Daftar Pustaka 48

vi
Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter

Gambaran Umum Kerangka Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan penting


dalam suatu perekonomian. Peranan tersebut tercermin pada kemam-
puannya dalam mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh
karena itu, seringkali hal-hal ini menjadi sasaran akhir kebijakan moneter.
Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut di atas dapat dicapai secara
bersamaan. Namun, seringkali pencapaian sasaran-sasaran akhir tersebut
mengandung unsur-unsur yang kontradiktif. Misalnya, usaha untuk
mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan
kerja pada umumnya dapat berdampak negatif terhadap kestabilan harga
dan keseimbangan neraca pembayaran. Sementara itu, dalam jangka
panjang kebijakan moneter bersifat netral dan hanya dapat mempengaruhi
harga. Oleh karena itu, dalam undang-undang bank sentral ada kecen-
derungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah stabilisasi harga.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan hal ini, yaitu bahwa kondisi
perekonomian suatu negara memburuk karena kebijakan moneternya
memiliki multi sasaran akhir. Oleh karena itu, dalam perkembangannya
dewasa ini semakin disadari bahwa kebijakan moneter semestinya lebih
memfokuskan pada sasaran tunggal.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi di dunia, Indonesia menganut
hal yang sama dengan menetapkan stabilisasi harga sebagai sasaran
tunggal sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Bank Indonesia
yang baru (UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia). Tujuan utama
pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia adalah untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.1
1
Dalam Undang-Undang Bank Sentral sebelumnya (UU No. 13 tahun 1968), Bank Indonesia
mempunyai sasaran multi.

1
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya mengguna-


kan pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan
moneter dengan sasaran multi pada umumnya menggunakan pendekatan
kuantitas (price based structure). Gambar 1 menyajikan kerangka secara
umum kedua pendekatan di atas. Pendekatan kuantitas beranggapan bahwa
pengendalian besaran-besaran moneter dapat mengendalikan stabilitas
perekonomian secara efektif. Sebaliknya, pendekatan harga beranggapan
bahwa pengendalian tingkat hargalah yang secara efektif dapat mengenda-
likan stabilitas perekonomian. Namun, suatu kebijakan tidak akan mempe-
ngaruhi sasarannya hanya melalui satu jalur tertentu (Barran, et al., 1996).
Dari Gambar 1 dapat dikatakan bahwa dalam rangka mencapai sasaran
akhir yang diinginkan, baik multi maupun tunggal, kerangka kebijakan
moneter pada umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu instrumen dan
sasaran operasional untuk pendekatan harga sedangkan instrumen, sasaran
operasional, dan sasaran antara untuk pendekatan kuantitas.
Sehubungan dengan itu, tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (Monetary
Programming) yang intinya adalah melakukan perencanaan kebijakan
pengendalian uang beredar (moneter), seperti yang diterangkan dalam
kerangka di atas, dengan mengasumsikan bahwa kebijakan dan perkem-
bangan sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, dan riil) akan berjalan seperti
yang ditetapkan. Perlu diketahui bahwa kebijakan moneter secara umum
dibagi dua, yaitu kebijakan moneter ketat (kontraksi) dan longgar
(ekspansi). Kontraksi dilakukan apabila jumlah uang beredar dianggap
lebih tinggi daripada jumlah yang ditetapkan sedangkan ekspansi sebalik-
nya. Hal ini dilakukan sehingga uang beredar akan berada pada suatu
jumlah yang ditetapkan.
Untuk mencapai sasaran akhir yang diinginkan tersebut di atas ada
tenggang/lag (tidak instan) antara pelaksanaan kebijakan dan tercapai atau
tidak tercapainya sasaran akhir itu.2 Oleh karena itu, diperlukan adanya
indikator-indikator yang lebih segera dapat dilihat untuk mengetahui
indikasi kebijakan yang dilakukan sehingga diperlukan adanya sasaran-

2 Lag ada bermacam-macam, yaitu inside lag dan outside lag. Inside lag terdiri dari
recognition lag, decision lag, dan action lag. Untuk lebih jelasnya lihat Boediono, 1987,
hal.151-55.

2
Gambaran Umum Kerangka Kebijakan Moneter

sasaran yang bersifat antara yang biasa disebut sasaran antara. Sasaran
antara (ada pada pendekatan kuantitas) dipilih yang memiliki keterkaitan
stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat dikendalikan otoritas
moneter, tersedia relatif cepat, akurat, dan tidak sering direvisi. Beberapa
pilihan sasaran antara yang dapat digunakan antara lain ialah M1, M2
(dari sisi pasiva neraca sistem moneter), kredit perbankan (dari sisi aktiva
neraca sistem moneter), dan suku bunga.

Gambar 1
Perbandingan Sistem Operasi Kebijakan Moneter

Pendekatan Sistem Operasi

a. Pendekatan Sasaran Sasaran


Harga Instrumen
Operasional Akhir

Variabel–variabel Informasi
- Langsung - Sk.bunga PUAB - Stabilitas harga
- Tidak langsung

b. Pendekatan Sasaran Sasaran Sasaran


Instrumen
Kuantitas Operasional Antara Akhir

- Langsung - Monetary base - Agregat moneter - Stabilitas harga


- Tidak langsung seperti: seperti: - Pertumbuhan ekonomi
• Uang primer/M0 • M1, M2 - Kesempatan kerja
• Reserve bank • Kredit pbk - Keseimbangan NP
- • Sk.bunga

Sumber: Junggun Oh. “Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules in Korea”,
Economic Paper, Vol.2, No.1, March 1999, Bank of Korea (dimodifikasi).

Sementara itu, dalam rangka mencapai sasaran antara, bank sentral


sebagai otoritas moneter memerlukan sasaran-sasaran yang bersifat
operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Sasaran-saran ini biasa disebut sasaran operasional. Secara garis besar,
sasaran operasional dipilih yang memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran
antara, dapat dikendalikan otoritas moneter, tersedia lebih segera daripada
sasaran antara, akurat, dan tidak sering direvisi. Beberapa pilihan sasaran

3
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

operasional yang dapat digunakan antara lain adalah uang primer (M0),
reserve bank-bank (bagian dari M0), dan suku bunga (antarbank atau
jangka pendek).
Selanjutnya, untuk dapat mencapai sasaran operasional bank sentral
memerlukan alat-alat yang dapat secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah ditetapkan. Alat-
alat yang dimaksud biasa disebut instrumen pengendalian moneter, atau
(singkatnya) instrumen. Instrumen-instrumen inilah yang sehari-hari
dipergunakan oleh bank sentral (yang merupakan sarana yang dapat
dikontrol, meskipun tidak sepenuhnya) untuk mengarahkan kebijakan
moneter ke tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Instrumen-
instrumen ini dapat dipergunakan untuk mempengaruhi jumlah uang
beredar.
Secara garis besar, instrumen ini dapat digolongkan menurut cara yang
berbeda:
1) menurut cara instrumen tersebut mempengaruhi sasaran operasional,
dapat dibagi langsung atau tidak langsung,
2) menurut orientasinya di pasar keuangan, dapat dibagi berorientasi pasar
(market oriented/based) dan tidak berorientasi pasar (non-market
oriented/based),
3) menurut diskresinya3, dapat dibagi diskresinya berada di bank sentral
atau di peserta pasar.
Pada umumnya, instrumen langsung berupa ketentuan yang ditetapkan
oleh otoritas moneter sehingga tidak berorientasi pasar dan diskresinya
ada di bank sentral sebagai otoritas moneter. Instrumen tidak langsung
dapat berorientasi pasar atau tidak dan diskresinya dapat berada di bank
sentral atau di peserta pasar.
Dari penjelasan secara umum mengenai kerangka kebijakan moneter
tersebut diatas, topik yang akan dibahas lebih mendalam di dalam seri
kebanksentralan kali ini adalah mencakup instrumen-instrumen pengendalian
moneter yang digolongkan kedalam langsung dan tidak langsung.
3
Diskresi (discretion) adalah lawan dari aturan (rule). Diskresi merupakan kebijakan yang
dilakukan dengan memperhitungkan penyesuaian secara bertahap sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada pada saat itu.

4
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Kebijakan moneter dapat menggunakan instrumen baik langsung maupun


tidak langsung. Instrumen langsung adalah instrumen pengendalian
moneter yang dapat secara langsung mempengaruhi sasaran operasional
yang diinginkan oleh bank sentral. Adapun instrumen tidak langsung
adalah instrumen pengendalian moneter yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi sasaran operasional yang diinginkan oleh bank sentral.
Dua hal utama yang dikendalikan adalah harga (suku bunga) dan kuantitas
simpanan dan kredit yang ada pada sistem perbankan atau institusi
keuangan selain bank. Pengendalian langsung ini dapat dilakukan melalui
kebijakan langsung yang dikeluarkan oleh bank sentral atau dengan
mempengaruhi neraca bank-bank komersial. Pengendalian ini disebut
langsung karena terdapat hubungan korespondensi ‘one-to-one’ antara
instrumen dan sasaran operasional. Misalnya, penetapan pagu kredit dapat
langsung mempengaruhi jumlah kredit domestik yang dapat disalurkan
oleh perbankan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah uang
beredar.
Sementara itu, instrumen tidak langsung merupakan usaha untuk
mengendalikan besaran moneter dengan cara mempengaruhi neraca bank
sentral. Satu hal yang penting dalam instrumen tidak langsung ialah bank
sentral dapat mempengaruhi posisi base money atau bank reserve yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi kredit dan penawaran uang
(Alexander, et al., 1995). Cara ini disebut tidak langsung karena bank
sentral mencapai sasaran kebijakan dengan mempengaruhi kondisi pasar
uang melalui salah satu fungsinya sebagai badan yang mempunyai
wewenang untuk mengedarkan uang dengan mempengaruhi kondisi yang
mendasari permintaan dan penawaran uang. Selain itu, usaha untuk
mengendalikan besaran moneter ini dilakukan dengan cara mempengaruhi
neraca bank sentral sendiri, khususnya item di sisi pasivanya sendiri, yaitu
reserve money yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi suku bunga
secara luas dan kuantitas uang dan kredit di dalam keseluruhan sistem
perbankan (Gray, et al., 2000), misalnya cadangan wajib minimum.
Apabila cadangan wajib minimum ini dinaikkan maka kemampuan bank

5
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

memberikan pinjaman menurun dan kemudian akan mendorong kenaikan


suku bunga pinjaman. Tingginya suku bunga pinjaman akan berpengaruh
pada jumlah kredit yang dapat disalurkan, yang pada akhirnya berpengaruh
pada jumlah uang beredar.
Instrumen langsung pada umumnya bersifat non-market based (tidak
berorientasi pada mekanisme pasar) dan diskresinya (inisiatifnya) ada di
bank sentral sedangkan instrumen tidak langsung dapat bersifat market
based atau non-market based dan diskresinya ada yang di bank sentral
atau peserta pasar (counterparts).
Baik instrumen kebijakan moneter langsung maupun tidak langsung
mempunyai berbagai macam bentuk dan masing-masing memiliki
karakteristik dan kelebihan atau kekurangan. Bentuk instrumen langsung
yang banyak dipergunakan adalah pengendalian suku bunga (interest rate
ceilings), pagu kredit, dan kredit program/kredit khusus (directed credits)
bank sentral. Sementara itu, secara umum terdapat 3 bentuk utama
instrumen tidak langsung, yaitu OPT, cadangan primer (reserve
requirement), dan fasilitas pendanaan jangka pendek atau fasilitas
diskonto.
Instrumen langsung mempunyai keuntungan bahwa ia dapat
dipergunakan sebagai alat yang efektif bagi bank sentral untuk
mengendalikan harga (dalam hal ini suku bunga) atau kuantitas (dalam
hal ini jumlah maksimum) kredit, terutama dalam tahap-tahap awal
pembangunan atau dalam keadaan krisis yang bersifat sementara. Selain
itu, untuk kondisi saat pasar-pasar keuangan belum berkembang atau bank
sentral belum memiliki sarana yang memadai untuk menggunakan
instrumen tidak langsung, instrumen langsung menjadi sangat penting
dan efektif. Kerugiannya antara lain adalah mengganggu dan menghalangi
kompetisi yang sehat di pasar-pasar keuangan, mengganggu mekanisme
pasar yang bebas, dan menimbulkan biaya-biaya yang mungkin tidak dapat
dikuantifikasi (lihat Tabel 1 untuk masing-masing instrumen).
Instrumen tidak langsung dirancang berdasarkan kebutuhan sesuai
dengan proses liberalisasi keuangan yang menitikberatkan pada efisiensi
alokasi tabungan dan kredit dalam perekonomian. Oleh karena itu,
keuntungan utama instrumen tidak langsung adalah menghilangkan semua
kekurangan yang ada pada instrumen langsung. Kerugian penggunaan

6
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

instrumen tidak langsung antara lain adalah bahwa instrumen ini tidak
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh bank sentral (lihat Tabel 2 untuk
masing-masing instrumen).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
instrumen langsung digunakan oleh negara-negara yang sedang
berkembang sedangkan instrumen tidak langsung digunakan oleh negara-
negara maju. Dalam proses perkembangan tersebut, instrumen kebijakan
moneter yang digunakan juga berkembang ke arah yang lebih berdasar
pada mekanisme pasar (market based), yaitu instrumen tidak langsung,
sejalan dengan berkembangnya pasar-pasar keuangan di negara tersebut.

Instrumen Langsung
Jenis instrumen langsung ada bermacam-macam, dengan berbagai variasi,
antara lain:
1. Penetapan Suku Bunga
2. Pagu Kredit
3. Rasio Likuiditas (Statutory Liquidity Ratios)
4. Kredit Langsung (‘Directed’, ‘Selected’, Prioritas, dan yang sejenisnya)
5. Kuota Rediskonto
6. Instrumen Lain
6.1. Pengguntingan Uang
6.2. Pembersihan Uang (Monetary Purge)
6.3. Penetapan Uang Muka Impor

1. Penetapan Suku Bunga


Penetapan suku bunga merupakan instrumen langsung bank sentral berupa
penetapan tingkat suku bunga baik untuk pinjaman maupun simpanan di
dalam sistem perbankan. Rancangan penetapan suku bunga dapat meliputi
suku bunga tetap atau kisaran (spreads) antara suku bunga pinjaman dan
simpanan. Keefektifan instrumen langsung ini terletak pada kredibilitas
sistem penegakan (enforcement) dan pengawasannya. Dengan semakin

7
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

berkembang dan terintegrasinya pasar keuangan domestik dengan pasar


keuangan internasional serta semakin berkembangnya produk-produk
perbankan, perbankan dan pelaku ekonomi memiliki banyak alternatif
untuk menghindari kebijakan penetapan suku bunga itu. Hal ini
mengakibatkan kebijakan penetapan suku bunga semakin tidak efektif.
Namun, instrumen ini masih digunakan di beberapa negara berkembang
dan bahkan di negara maju sampai akhir 1980an (Alexander, et al., 1995).

2. Pagu Kredit
Pagu kredit merupakan instrumen langsung berupa penetapan jumlah atau
kuantitas maksimum kredit yang dapat disalurkan oleh perbankan.
Mengapa kredit yang dipatok? Penyebabnya ialah, dalam hal ini, bank
sentral ingin mengendalikan jumlah atau kuantitas uang beredar dengan
secara langsung mempengaruhi jumlah kredit domestik yang dapat
disalurkan oleh perbankan yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah uang
beredar. Pada umumnya, pagu kredit untuk suatu bank ditetapkan
berdasarkan kuota. Sementara itu, kuota setiap bank ini dapat didasarkan
pada modal, simpanan, dan/atau pinjamannya. Pagu kredit ini digunakan
di negara-negara Eropa barat sampai akhir 1980an dan masih digunakan
oleh beberapa negara Afrika, Asia, dan negara-negara dalam transisi.
Penerapan instrumen ini menimbulkan distorsi alokasi sumber-sumber
daya dan mengurangi insentif bagi bank untuk memobilisasi dana
masyarakat dan menyalurkannya kepada sektor-sektor produktif.

3. Rasio Likuiditas (Statutory Liquidity Ratios)


Rasio likuiditas merupakan instrumen langsung yang digunakan bank
sentral dengan mewajibkan bank-bank selain untuk memelihara cadangan
primer juga untuk setiap saat memelihara surat-surat berharga tertentu
atau mata uang tertentu dengan persentase tertentu (biasanya utang
pemerintah). Pada umumnya, penerapan instrumen ini bertujuan untuk
menggalang dana yang dibutuhkan untuk pembiayaan anggaran
pemerintah melalui penjualan (secara wajib) surat-surat utang pemerintah
kepada perbankan, sembari menciptakan pasarnya.

8
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

4. Kredit Langsung (‘Directed’, ‘Selected’, Prioritas, dan yang


sejenisnya)
Kredit langsung merupakan instrumen langsung berupa penyaluran kredit
secara langsung (atau melalui agen pemerintah) kepada sektor, program,
proyek, dan/atau kegiatan tertentu. Pada umumnya, kredit langsung ini
diberikan kepada sektor yang sedang digalakkan oleh pemerintah namun
belum cukup menarik bagi sektor swasta atau diberikan untuk membiayai
program, proyek, dan/atau kegiatan yang diprioritaskan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, penggunaan instrumen ini cukup mahal dan kemungkinan
besar tidak efektif. Kredit langsung ini pada umumnya tidak memerlukan
adanya agunan. Instrumen ini banyak digunakan di negara-negara dalam
transisi. (Alexander, et al., 1995).

5. Kuota Rediskonto3
Pada dasarnya, kuota rediskonto merupakan instrumen langsung yang
mirip dengan kredit langsung (namun dijamin dengan surat berharga pasar
uang) melalui kuota untuk memberikan insentif pengembangan sektor
tertentu. Dalam hal ini bank sentral menetapkan jumlah kuota surat-surat
berharga sektor tertentu yang dapat di re-diskonto-kan dengan suku bunga
di bawah harga pasar. Instrumen ini digunakan di negara-negara industri
secara terbatas, yang suku bunganya di bawah suku bunga PUAB (Jerman
dan Amerika), dan di negara-negara lain untuk memberikan insentif ke
sektor tertentu (Tunisia dan Cina). Suku bunga rediskonto ini sangat visibel
dan dapat dijadikan sebagai sinyal perubahan kebijakan yang efektif
(Alexander, et al., 1995).

6. Instrumen Lain
Selain instrumen-instrumen langsung yang disebutkan di atas, terdapat
pula beberapa instrumen langsung yang pada masa dahulu (di Indonesia
khususnya) pernah digunakan untuk mengendalikan uang beredar atau
money supply. Instrumen-instrumen tersebut antara lain:
3
Rediskonto adalah penjualan kembali surat-surat berharga yang belum jatuh waktu kepada pihak
lain dengan suku bunga rediskonto yang pada umumnya berbeda dengan suku bunga diskonto
awalnya. Untuk memberikan insentif, suku bunganya ditetapkan di bawah suku bunga pasar.

9
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

6.1. Pengguntingan Uang


Instrumen ini merupakan instrumen langsung yang ditujukan untuk
mengurangi uang beredar. Instrumen ini pernah digunakan di
Indonesia pada tahun 1950 yang terkenal dengan nama “Gunting
Sjafruddin”. Dengan pengguntingan uang, nilai pecahan uang yang
terkena peraturan ini berkurang sejumlah persentase tertentu
(misalnya tinggal 50%) sedangkan sisanya diganti dengan surat
berharga pemerintah jangka panjang. Dari pengguntingan uang ini
uang beredar berkurang langsung sebesar persentase yang diganti
dengan surat berharga.
6.2. Pembersihan Uang (Monetary Purge)
Instrumen ini serupa tetapi tidak sama dengan pengguntingan uang.
Dengan pembersihan uang, nilai uang diturunkan dengan persentase
tertentu tanpa ada penggantian untuk jumlah yang diturunkan
tersebut. Penurunan nilai mata uang ini dapat bervariasi. Indonesia
pernah menurunkan menjadi 10% pada tahun 1959, menjadi 3%
pada tahun 1946 (satu rupiah Jepang menjadi tiga sen uang NICA),
menjadi 1% pada tahun 1949 (100 rupiah Jepang menjadi satu rupiah
ORI), menjadi 0,1% pada tahun 1965 (1000 rupiah menjadi satu
rupiah). Efek pembersihan uang sama dengan pengguntingan uang,
yaitu penurunan jumlah uang beredar.
6.3. Penetapan Uang Muka Impor
Ketetapan ini berlaku bagi para importir yang akan melakukan
transaksi pembelian dari luar negeri. Dengan ketetapan ini para
importir diwajibkan untuk membayar sejumlah persentase tertentu
sebagai uang muka untuk pembelian valuta asing yang mereka
perlukan untuk mengimpor barang yang mereka perlukan dari luar
negeri. Oleh karena importir harus menyerahkan uang muka lebih
dahulu, uang beredar dapat dikendalikan dari sisi impor oleh bank
sentral melalui instrumen ini dengan menetapkan persentase uang
muka yang harus dibayarkan oleh importir.

10
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Tabel 1: Instrumen Langsung Pengendalian Moneter 4

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


1. Penetapan Bank sentral dengan • Efektif untuk • Menghambat kompetisi
Suku Bunga wewenangnya mengendalikan suku di pasar-pasar
(Interest Rate menetapkan tingkat bunga kredit, terutama keuangan.
Controls) suku bunga baik untuk di masa krisis • Alokasi sumber-
pinjaman maupun (sementara). sumber keuangan tidak
simpanan di dalam • Biasanya dicadangkan berdasarkan
sistem perbankan. pada saat pemerintah mekanisme pasar.
tidak dapat mencapai • Pagu suku bunga
sasaran suku bunga mudah dihindari
melalui pasar atau dengan mengubah
ketika suku bunga simpanan bank menjadi
jangka panjang aset yang
merupakan tujuan menghasilkan bunga
kebijakan. pasar (seperti valuta
• Mengandung pengaruh- asing) atau menjadi
pengaruh barang.
“noncompetitive • Mendorong
pricing” ketika disintermediasi atau
pembukaan bank intermediasi nonbank.
terbatas. • Murah untuk
• Membatasi masalah- meminjam kredit
masalah “adverse sehingga mendorong
selection”, terutama penggunaan kapital
ketika informasi yang berlebihan.
peminjam langka atau
pengawasan bank
lemah.

2. Pagu Kredit Bank sentral • Efektif untuk • Menghambat alokasi


(Credit menetapkan jumlah mengendalikan sumberdaya perbankan.
Ceilings) atau kuantitas kuantitas kredit • Dapat menyebabkan
maksimum kredit yang perbankan, terutama di disintermediasi dan
dapat disalurkan oleh masa krisis (sementara). hilangnya keefektifan.
perbankan. • Dapat meminimalkan • Sulit diterapkan jika
kehilangan kendali terdapat banyak bank
moneter selama masa dan “capital inflows”.
transisi ke instrumen
tidak langsung ketika
mekanisme transmisi
tidak tentu.

4
Alexander, et al. “The Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy”, Occasional
Paper, No. 126. Washington, DC: IMF, June 1995. (Dimodifikasi)

11
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


3. Rasio Likuiditas Bank sentral • Dengan adanya “captive • Mengganggu kompetisi
(Statutory mewajibkan bank-bank demand” untuk aset dengan menerapkan
Liquidity Ratio) untuk setiap saat yang masuk kualifikasi batasan-batasan pada
memelihara surat-surat (biasanya utang manajemen aset bank.
berharga tertentu atau pemerintah), rasio • Mengganggu tingkat
mata uang tertentu likuiditas dapat harga sekuritas dan
dengan persentase mengurangi biaya menghambat
tertentu (biasanya peminjaman untuk perdagangan di pasar
utang pemerintah), di penerbit instrumen ini. sekunder.
luar CWM. • Dapat menyebabkan
disintermediasi dan
menurunkan disiplin
fiskal pemerintah, yang
pada akhirnya akan
menyebabkan
hilangnya keefektifan
sebagai alat untuk
mengendalikan uang.

4. Kredit Langsung Bank sentral • Pengendalian langsung • Ada kemungkinan


(Directed Credits) menyalurkan kredit terhadap agregat kredit misalokasi sumber
secara langsung (atau bank sentral ke daya.
melalui agen perbankan. • Dapat digunakan untuk
pemerintah) kepada menyalurkan kredit
sektor, program, langsung ke BUMN
proyek, dan/atau sehingga mengurangi
kegiatan tertentu yang pengaruh langsung
sedang diprioritaskan. anggaran pemerintah.

5. Kuota Bank sentral • Menetapkan batas • Suku bunga diskonto di


Rediskonto menetapkan jumlah bawah suku bunga bawah pasar dapat
(Bank-by-bank kuota surat-surat antarbank sehingga menghambat
Rediscount berharga sektor tertentu memperbaiki transmisi perkembangan PUAB
Quota) yang dapat di re- perubahan suku bunga. jika penggunaannya
diskonto-kan dengan • Digunakan untuk re- tidak dibatasi.
suku bunga di bawah diskonto surat berharga
harga pasar. sektor tertentu dan
menyalurkan likuiditas
ke bank tertentu.

6.1. Bank sentral dan/atau • Merupakan sumber • Masyarakat merasa


Pengguntingan pemerintah dana pemerintah dalam dirugikan karena
Uang menetapkan bahwa keadaan tidak terdapat ‘dipaksa’ menukarkan
nilai pecahan mata sumber lain. sebagian uangnya
uang tertentu berkurang • Pilihan mudah bagi dengan surat berharga
sejumlah persentase pemerintah yang baru pemerintah.
tertentu (misalnya dan belum kredibel. • Kredibilitas pemerintah
tinggal 50%) • akan dipertanyakan
sedangkan sisanya apabila penggunaannya

12
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


diganti dengan surat tidak sesuai dengan
berharga pemerintah tujuan semula.
jangka panjang. • Pemerintah harus
Caranya, uang kertas merencanakan dengan
digunting menjadi dua baik pada saat surat
bagian. Satu bagian berharga jatuh waktu.
sebagai alat
pembayaran, bagian lain
ditukar dengan surat
berharga pemerintah.

6.2. Bank sentral dan/atau • Merupakan sumber • Masyarakat dirugikan


Pembersihan pemerintah menetapkan dana pemerintah dalam dengan penurunan nilai
Uang bahwa nilai uang keadaan tidak terdapat uangnya.
(Monetary diturunkan dengan sumber lain. • Kredibilitas
Purge) persentase tertentu • Pilihan mudah bagi pemerintah akan
tanpa ada penggantian pemerintah yang baru dipertanyakan apabila
untuk jumlah yang dan belum kredibel penggunaannya tidak
diturunkan tersebut. • Pemerintah tidak perlu sesuai dengan tujuan
mengeluarkan surat semula.
berharga pemerintah.

6.3 Dengan ketetapan ini • Uang beredar yang • Memberatkan importir


Penetapan para importir bersumber dari sisi yang bermodal minim.
Uang Muka diwajibkan untuk impor dapat dikontrol. • Dapat menyuburkan
Impor membayar sejumlah • Sebagai alat kontrol pasar gelap valuta
persentase tertentu devisa negara. asing.
sebagai uang muka
untuk pembelian valuta
asing yang mereka
perlukan untuk
mengimpor barang
yang mereka perlukan
dari luar negeri.

Instrumen Tidak Langsung


Jenis instrumen tidak langsung juga bermacam-macam dan bervariasi,
antara lain:
1. Cadangan Wajib Minimum (CWM)
1.1 Cadangan Primer (Primary Reserves)
1.2 Cadangan Sekunder (Secondary Reserves)
2. Fasilitas Diskonto

13
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

3. Fasilitas Rediskonto
4. Operasi Pasar Terbuka
4.1 Lelang Surat Berharga Bank Sentral
4.2 Lelang Surat Berharga Pemerintah
4.3 Operasi Pasar Sekunder
5. Fasilitas Simpanan Bank Sentral
6. Intervensi Valuta Asing
7. Fasilitas Overdraft
8. Simpanan Sektor Pemerintah
9. Lelang Kredit
10. Imbauan
11. Instrumen Lain

1. Cadangan Wajib Minimum (CWM)


Cadangan wajib minimum adalah jumlah alat likuid minimum yang wajib
dipelihara oleh bank. Cadangan wajib minimum dapat dibedakan mejadi
cadangan primer atau primary reserves dan cadangan sekunder atau
secondary reserves. Cadangan primer lebih dikenal secara umum sebagai
cadangan wajib minimum.
1.1. Cadangan Primer (Primary Reserves)
Cadangan primer atau yang umum dikenal dengan reserve
requirement adalah instrumen tidak langsung yang merupakan
ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank memelihara
sejumlah alat likuid sebesar persentase tertentu dari kewajiban
lancarnya. Sebagian alat likuid tersebut ada yang harus dipelihara
dalam bentuk kas dan sebagian lainnya dalam bentuk rekening giro
bank tersebut pada bank sentral.
Cadangan primer ini termasuk instrumen tidak langsung karena
ia pada satu sisi akan mempengaruhi kemampuan bank memberikan
kredit dan pada sisi lain tingkat suku bunga. Meskipun merupakan
instrumen tidak langsung, cadangan primer ini adalah jenis instrumen

14
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

yang bersifat non-market based karena jumlah cadangan primer


ditentukan oleh bank sentral.
Atas bagian cadangan primer yang dipelihara dalam bentuk
rekening giro pada bank sentral oleh bank sentral ada yang diberi
bunga (biasanya di bawah bunga pasar) dan ada juga yang tidak.
Besarnya cadangan primer ada yang ditetapkan untuk setiap hari dan
ada pula yang diterapkan rata-rata suatu periode (averaging), misalnya
satu minggu atau satu bulan, untuk memberikan fleksibilitas dalam
manajemen portofolionya.
Naik turunnya persentase cadangan primer akan mempengaruhi
ke-mampuan bank dalam memberikan kredit. Apabila persentase
diturunkan, kemampuan bank dalam memberikan kredit akan
meningkat. Langkah ini setara dengan terjadinya penambahan jumlah
uang beredar (ekspansi moneter) yang akan mendorong penurunan
suku bunga. Selain itu, cadangan primer pada dasarnya berfungsi
seperti pajak (tax)5 atas likui-ditas yang dimobilisasi oleh bank. Oleh
karena itu, penurunan cadangan primer akan menurunkan biaya dana
dan pada gilirannya akan dapat menurunkan suku bunga kredit.
Sebaliknya, apabila persentase cadangan primer dinaikkan, hal
tersebut setara dengan terjadinya penurunan jumlah uang beredar
(kontraksi moneter) yang dapat meningkatkan suku bunga.
Cadangan primer ini banyak digunakan oleh bank sentral sebagai
instrumen pengendalian moneter di samping sebagai ketentuan kehati-
hatian (prudential regulation) untuk memastikan bahwa bank-bank
mempunyai likuiditas yang cukup setiap saat bila nasabah melakukan
penarikan simpanannya. Namun, dalam perkembangannya,
perubahan persentase cadangan primer secara aktif sebagai instrumen
pengendalian moneter semakin berkurang, terutama atas
pertimbangan dapat memberi-kan dampak yang buruk terhadap
pengelolaan portofolio bank-bank. Di banyak negara maju dewasa
ini pengaturan mengenai cadangan primer telah ditiadakan atau
5
Cadangan primer berfungsi seperti pajak mengingat bank tidak dapat memanfaatkan
sejumlah dananya yang berada dalam cadangan primer untuk disalurkan dalam bentuk
kredit atau penempatan lain yang menghasilkan sehingga bank menanggung opportunity
cost karenanya. Semakin besar cadangan primer, semakin besar opportunity cost bagi bank
yang mirip seperti semakin besar pajak yang ditanggung oleh bank.

15
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

persentasenya sangat rendah. Oleh karena itu, cadangan primer


dewasa ini lebih banyak berperan sebagai instrumen prudential.
1.2. Cadangan Sekunder (Secondary Reserves)
Di samping cadangan primer, ada kalanya bank sentral mewajibkan
bank-bank untuk memelihara sejumlah alat likuid tambahan di atas
cadangan primer (atau merinci lebih lanjut alat likuid tertentu yang
harus dipelihara di dalam cadangan primernya). Tambahan alat likuid
tersebut seringkali dinamakan cadangan sekunder (secondary
reserves). Pada umumnya, alat likuid yang dapat diperhitungkan
sebagai cadangan sekunder berbentuk surat-surat berharga baik milik
bank sentral maupun pemerintah. Tujuan penetapan cadangan
sekunder pada umumnya berkaitan dengan upaya pemerintah atau
bank sentral dalam rangka mendorong bank-bank untuk membeli
surat-surat berharga milik pemerintah atau bank sentral.

2. Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah fasilitas kredit (dan/atau simpanan) yang
diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank dengan jaminan surat-
surat berharga dan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh bank sentral
sesuai dengan arah kebijakan moneter. Tinggi rendahnya tingkat diskonto
akan mempengaruhi permintaan kredit dari bank. Dalam hal bank sentral
menginginkan terjadinya kenaikan suku bunga maka bank sentral dapat
memberikan sinyal melalui kenaikan tingkat diskonto (bunga) fasilitas
ini.
Di beberapa negara tingkat diskonto yang ditetapkan untuk fasilitas
ini ada yang berada di atas suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan
ada pula yang berada di bawah suku bunga PUAB. Pada umumnya,
penggunaan fasilitas diskonto ini oleh bank-bank akan dikenakan penalti
agar mereka tidak seringkali menggunakan fasilitas diskonto dari bank
sentral mengingat fasilitas ini berfungsi sebagai mekanisme katup
pengaman dalam menjaga stabilitas di pasar uang.
Bentuk fasilitas diskonto ini pada umumnya berupa pinjaman dengan
jaminan kepada sistem perbankan dan suku bunga di atas suku bunga
intervensi bank sentral (atau berupa simpanan dengan suku bunga di bawah

16
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

pasar) sehingga suku bunga fasilitas diskonto ini akan menjadi patokan
suku bunga pinjaman tertinggi (ceiling), atau suku bunga simpanan
terendah (floor). Contoh instrumen ini diantaranya fasilitas repo (late repo
facility di Inggris), fasilitas pinjaman dan simpanan (di ECB), dan fasilitas
diskonto (di Amerika Serikat).

3. Fasilitas Rediskonto
Fasilitas rediskonto adalah instrumen tidak langsung serupa dengan
fasilitas diskonto dalam bentuk fasilitas pinjaman jangka pendek (hanya
berbeda pada surat berharga yang digunakan bukan surat berharga bank
sentral melainkan surat berharga pasar uang) yang merupakan ketentuan
bank sentral dalam menetapkan tingkat rediskonto surat-surat berharga
pasar uang (SBPU) yang dapat digunakan dan dirediskontokan ke (dibeli
oleh) bank sentral.
Pada umumnya, penerapan fasilitas ini ditujukan untuk
mengembangkan pasar surat-surat berharga pasar uang dan juga
bermanfaat pada saat OPT masih terbatas dan belum berjalan dengan baik
antara lain sebagai akibat terbatasnya surat-surat berharga yang dapat
dipergunakan sebagai instrumen operasionalnya.

4. Operasi Pasar Terbuka (OPT)


OPT merupakan instrumen kebijakan moneter tidak langsung yang penting
karena melalui OPT bank sentral dapat mempengaruhi sasaran
operasionalnya (yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar) secara lebih
efektif. Dikatakan demikian karena sinyal arah kebijakan moneter dapat
disampaikan melalui OPT, yang pelaksanaannya dilakukan secara terbuka
dan pembentukan suku bunganya ditentukan berdasarkan mekanisme
pasar. Selain itu, OPT juga dapat dilakukan atas inisiatif bank sentral
dengan frekuensi dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkannya.
OPT berbentuk kegiatan jual-beli surat-surat berharga oleh bank
sentral, baik di pasar primer maupun pasar sekunder melalui mekanisme
lelang atau nonlelang. Apabila bank sentral akan mengurangi jumlah uang
beredar, bank sentral akan menjual surat-surat berharga (biasa disebut

17
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

kontraksi) yang akan berdampak pada pengurangan alat-alat likuid bank-


bank dan selanjutnya akan memperkecil kemampuan bank-bank
memberikan pinjaman. Demikian pula sebaliknya, apabila bank sentral
akan menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-
surat berharga (biasa disebut ekspansi) yang akan berdampak pada
peningkatan alat-alat likuid bank-bank dan selanjutnya akan memperbesar
kemampuan bank-bank memberikan pinjaman.
OPT merupakan instrumen tidak langsung yang sangat penting karena
sangat fleksibel dibandingkan dengan instrumen-instrumen tidak langsung
lainnya, seperti cadangan primer atau fasilitas diskonto, dan keikutsertaan
setiap institusi peserta atas dasar sukarela, bukan kewajiban. Dikatakan
fleksibel karena dapat dilakukan atas inisiatif bank sentral dengan frekuensi
dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan. Fleksibel juga karena OPT
ini dapat dilakukan di pasar primer atau pasar sekunder dengan
menggunakan berbagai instrumen pasar uang, seperti surat berharga bank
sentral, surat berharga pemerintah, atau surat berharga pasar uang. Selain
itu, OPT fleksibel karena bank sentral dapat mentargetkan suku bunganya
atau jumlah/kuantitasnya dan dapat bervariasi jangka waktunya.
Instrumen-instrumen operasional OPT cukup banyak dan bervariasi, antara
lain:
4.1 Lelang Surat Berharga Bank Sentral di Pasar Primer
Lelang surat berharga bank sentral merupakan salah satu instrumen
operasional yang digunakan dalam OPT. Lelang ini dilakukan di pasar
primer karena bank sentral sebagai penerbit menjual langsung ke
pasar. Instrumen ini banyak digunakan di beberapa negara, khususnya
untuk memisahkan sasaran kebijakan moneter dari sasaran
manajemen utang pemerintah. Selain itu, instrumen ini terutama
digunakan pada saat pasar sekunder belum cukup berkembang dan
instrumen lain belum tersedia untuk beroperasinya OPT secara efektif.
4.2 Lelang Surat Berharga Pemerintah di Pasar Primer
Lelang surat berharga pemerintah merupakan salah satu instrumen
operasional yang digunakan dalam OPT seperti lelang surat berharga
bank sentral. Adapun perbedaannya ialah penerbitnya adalah
pemerintah, bukan bank sentral. Lelang ini dilakukan di pasar primer

18
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

karena pemerintah sebagai penerbit menjual langsung ke pasar.


Instrumen ini juga banyak digunakan di beberapa negara, terutama
digunakan pada saat pasar sekunder belum cukup berkembang untuk
beroperasinya OPT secara efektif.
4.3 Operasi Pasar Sekunder
Seperti telah disampaikan di atas, pasar sekunder merupakan pasar
uang yang lebih baik untuk OPT. Di pasar sekunder dapat dilakukan
jual-beli surat-surat berharga secara outright atau repo (repurchase
agreement). Hal ini hanya akan dapat terlaksana apabila pasar
sekunder telah berkembang baik sehingga operasi ini banyak
digunakan di sebagian besar negara maju yang pasar sekundernya
sudah sedemikian maju, likuid, dan surat-surat berharga yang dapat
diperjualbelikan tersedia dalam jumlah yang memadai.
Selain ketiga hal di atas, terdapat pula instrumen pengendalian
moneter lain yang dapat berfungsi sebagai instrumen operasional OPT
namun yang diperjualbelikan bukan surat berharga. Dua instrumen
tersebut adalah fasilitas simpanan bank sentral yang bersifat aktif
dan operasi valuta asing yang akan diterangkan di bawah ini.

5. Fasilitas Simpanan Bank Sentral


Fasilitas simpanan bank sentral merupakan salah satu instrumen tidak
langsung yang berbentuk simpanan bank-bank di bank sentral yang
berjangka sangat pendek. Fasilitas ini digunakan oleh bank-bank apabila
mereka mengalami kelebihan likuiditas pada akhir hari namun tidak dapat
menempatkan dana kelebihannya itu di tempat lain. Oleh karena itu, suku
bunga fasilitas simpanan ini pada umumnya berada di bawah suku bunga
pasar. Fasilitas ini ada yang bersifat aktif dan pasif. Pasif berarti inisiatif
berada pada peserta pasar dan berapa pun jumlah yang akan mereka simpan
bank sentral harus menerimanya. Aktif berarti inisiatif berada pada bank
sentral. Fasilitas yang bersifat pasif sama dengan fasilitas diskonto yang
berbentuk simpanan sedangkan fasilitas yang bersifat aktif dapat
dipergunakan sebagai salah satu instrumen operasional OPT tanpa
menggunakan surat berharga sebagai instrumen yang diperjualbelikan.

19
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

6. Operasi Valuta Asing


Operasi valuta asing merupakan salah satu instrumen tidak langsung yang
dapat digunakan dalam OPT, yaitu bank sentral melakukan jual-beli valuta
asing di pasar valuta asing untuk mempengaruhi jumlah uang beredar
dan nilai tukar. Misalnya, apabila bank sentral membeli valuta asing (dan
membayarnya dengan valuta sendiri) berarti bank sentral telah menambah
jumlah uang beredar. Selain itu, permintaan akan valuta asing naik yang
dapat menyebabkan melemahnya nilai tukar valuta sendiri.
Jual-beli valuta asing ini dapat dilakukan secara spot (outright) atau
swap. Jual beli secara spot bermanfaat ketika pasar valuta asing di negara
tersebut lebih berkembang daripada pasar uangnya. Penggunaan lain
instrumen ini adalah untuk sterilisasi di saat banyak investasi asing (berarti
membawa valuta asing untuk ditukar) masuk, untuk menjaga jumlah uang
beredar. Selain itu, pada saat valuta sendiri melemah dan tertekan oleh
satu dan lain hal, bank sentral dapat pula menggunakan instrumen ini
untuk menjaga kestabilan nilai tukar dengan menjual valuta asing yang
diminta oleh pasar. Namun, operasi seperti ini tidak dapat dilakukan terus-
menerus karena jumlah cadangan devisa (valuta asing yang dimiliki bank
sentral) ada batasnya.

7. Fasilitas Overdraft
Fasilitas overdraft adalah instrumen tidak langsung berupa fasilitas pem-
berian pinjaman (dengan atau tanpa jaminan) yang berjangka sangat
pendek kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka
sangat pendek (kalah kliring). Oleh karena itu, fasilitas ini pada umumnya
memiliki suku bunga di atas suku bunga sumber-sumber dana lainnya di
pasar uang.
Cara kerja instrumen ini dapat digambarkan sebagai berikut. Pada
saat kliring akan ada bank yang menang dan kalah kliring. Menang kliring
berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada bank-bank
lain, atau sebaliknya. Bank yang kalah kliring berarti harus menyediakan
dana likuid sebesar kekalahan tersebut. Bank yang bersangkutan dapat
menyediakannya dari dananya sendiri, meminjam ke bank lain, atau, kalau
tidak ada alternatif lain, meminjam ke bank sentral melalui fasilitas
overdraft.

20
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Fasilitas ini merupakan fasilitas standar dan merupakan salah satu


instrumen penting di banyak negara karena suku bunga overdraft dapat
dijadikan sebagai suku bunga kunci dalam perubahan arah kebijakan
moneter.

8. Simpanan Sektor Pemerintah


Simpanan sektor pemerintah merupakan instrumen tidak langsung yang
dapat digunakan oleh bank sentral terutama untuk pengendalian likuiditas
jangka pendek. Cara kerja instrumen ini sebenarnya hanya berupa realokasi
simpanan pemerintah yang berada di bank sentral dan di bank-bank
pelaksana/umum. Apabila bank sentral akan mengurangi jumlah uang
beredar maka dapat dilakukan dengan realokasi simpanan sektor
pemerintah yang berada di bank-bank umum ke bank sentral. Demikian
pula sebaliknya.
Instrumen ini pernah digunakan di beberapa negara, seperti Kanada,
Malaysia, dan Jerman sampai akhir 1993. Penggunaannya memerlukan
koordinasi yang baik antara bank sentral dan Kementerian Keuangan.

9. Lelang Kredit
Lelang kredit merupakan instrumen sementara yang dipergunakan dalam
masa awal transisi ke penggunaan instrumen tidak langsung untuk
mengubah dari pemberian kredit langsung ke alokasi pasar. Oleh karena
itu, instrumen ini biasanya hanya digunakan ketika pasar-pasar keuangan
belum berkembang dan suku bunga patokan antarbank belum ada.
Dengan sistem lelang, alokasi kredit dapat sesuai dengan kebutuhan
pasar, dan suku bunga pasar dapat terbentuk. Apabila surat-surat berharga
pasar uang sudah mulai berkembang, operasi lelang kredit ini dapat
direstrukturisasi kembali menjadi lelang repo.

10. Imbauan
Imbauan juga dapat dipergunakan sebagai instrumen tidak langsung dalam
pengendalian moneter oleh bank sentral. Imbauan akan menjadi efektif

21
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

apabila bank sentralnya kredibel dan tidak sering digunakan. Sebagai


contoh, bank sentral mengimbau bank-bank utama untuk menurunkan
suku bunga pinjaman dan simpanan agar semua bank juga mengikuti
langkah bank-bank utama tersebut sehingga akan mempengaruhi sistem
perbankan/keuangan secara keseluruhan.

11. Instrumen Lain


Surat berharga yang dijual oleh bank sentral pada umumnya berdasarkan
suku bunga (interest based) namun dengan berkembangnya perbankan
syariah, bank sentral juga dapat menjual surat berharga yang berdasarkan
syariah. Salah satunya adalah surat berharga wadiah bank sentral.
Instrumen ini pada awalnya disediakan oleh bank sentral sebagai fasilitas
simpanan bagi bank-bank syariah sehingga mempunyai kemiripan dengan
fasilitas simpanan bank sentral yang berdasar syariah. Namun, tidak
tertutup kemungkinan di masa mendatang instrumen ini dapat pula
dipergunakan sebagai salah satu instrumen operasional OPT.

Tabel 2. Instrumen Tidak Langsung Pengendalian Moneter6

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


1.1 Cadangan Bank sentral • Meningkatkan • Cadangan primer
Primer mewajibkan bank-bank kemampuan tinggi merupakan
(Primary memelihara sejumlah memperkirakan pajak pada
Reserve)/ alat likuid tertentu kebutuhan intermediasi
Cadangan (seperti kas) sebesar (“predictability”) perbankan. Hal ini
Wajib persentase tertentu dari cadangan. dapat dinetralkan
Minimum kewajiban lancarnya • Peningkatan cadangan dengan pemberian
(Reserve pada bank sentral. primer bermanfaat kompensasi sesuai
Requirements) untuk sterilisasi ekses dengan suku bunga
BI: Giro Wajib likuiditas atau untuk pasar.
Minimum mengakomodasi • Pajak ini dapat
(GWM) perubahan struktural menyebabkan
dalam permintaan akan melebarnya “spreads”
cadangan. antara suku bunga
• Meningkatkan kredit dan suku bunga
keefektifan kebijakan deposito, yang akan
moneter. mengarah pada
disintermediasi.

6
Alexander, et al., “The Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy”, Occasional
Paper, No. 126. Washington, DC: IMF, June 1995. (Dimodifikasi)

22
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


• “Averaging” • Tidak cocok jika
memberikan digunakan untuk
fleksibilitas yang lebih manajemen likuiditas
besar kepada bank jangka pendek karena
dalam manajemen seringnya perubahan
portofolionya. cadangan primer
mengganggu
manajemen portofolio
bank.

1.2 Cadangan Bank sentral • Memberikan • Kurang memberikan


Sekunder mewajibkan bank- keleluasaan bank sentral ruang fleksibilitas bagi
(Secondary bank, di luar cadangan dalam menentukan alat bank.
Reserves) primer (tetapi masih likuid yang harus • Mengganggu
BI: — dalam kerangka dipelihara. kompetisi perbankan
CWM), untuk • Dapat dipakai untuk dengan penerapan
memelihara alat-alat memasyarakatkan surat pembatasan ini.
likuid tertentu dengan berharga tertentu. • Mengganggu harga
rincian/persentase pasar sekuritas yang
tertentu. lain di pasar sekunder.

2. Fasilitas Bank sentral • Berguna sebagai • Tidak begitu cocok


Diskonto memberikan fasilitas mekanisme katup untuk pentargetan
(Standing pinjaman (dan/atau pengaman. “base money” secara
Facilities) simpanan) dan • Berguna sebagai sinyal tepat, karena akses ke
BI: SBI repo menetapkan tingkat kebijakan bank sentral. pintu ini atas inisiatif
diskonto surat berharga • Fasilitas untuk bank- bank.
bank sentral (SBBS) bank lemah yang sulit • Kriteria surat berharga
atau pinjamannya. mendapatkan kebutuhan yang dapat digunakan
dana di PUAB. dan akses ke pintu ini
• Memberikan informasi sering dimanfaatkan
patokan suku bunga. sebagai kebijakan
kredit selektif.

3. Fasilitas Bank sentral • Suku bunga diskonto • Tidak begitu cocok


Rediskonto memberikan fasilitas sering dapat untuk pentargetan base
(Rediscount pinjaman melalui meningkatkan transmisi money secara tepat
Window) rediskonto surat dari arah kebijakan karena akses ke pintu
berharga pasar uang melalui pengaruh ini atas inisiatif bank.
BI: Pembelian (SBPU), menetapkan pengumumannya • Kriteria surat berharga
SBPU tingkat rediskontonya, sebagai patokan suku yang dapat digunakan
dan menetapkan SBPU bunga (Perancis, dan akses ke pintu ini
yang dapat digunakan. Jerman, dan Amerika sering dimanfaatkan
Serikat). sebagai kebijakan
• Pengaruh awalnya lebih kredit selektif.
meluas daripada OPT,
yang hanya terbatas
pada counterpart-nya di
satu atau sedikit pusat-

23
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


pusat finansial.
• Mengembangkan pasar
surat-surat berharga
yang dapat di-
rediskontokan.
• Dapat pula bermanfaat
pada saat OPT terbatas
karena kurangnya surat
berharga.

4.1 Lelang SB Bank sentral melakukan • Instrumen yang fleksibel • Bank sentral dapat
Bank Sentral lelang untuk menjual/ untuk manajemen menanggung kerugian
sebagai membeli SB bank likuiditas jangka pendek apabila terjadi
instrumen OPT sentral kepada karena bank sentral yang penerbitan/penjualan
perbankan dan/atau menerbitkan dan yang cukup besar.
BI: Penjualan SBI peserta lain di pasar berbagai format lelang/ • Jika SB bank sentral
primer. tender dapat digunakan digunakan bersama
untuk mengarahkan dengan SB
suku bunga. pemerintah (T-Bills),
• Bermanfaat khususnya permasalahan akan
pada saat bank sentral muncul jika tidak ada
tidak punya cukup SB koordinasi yang kuat
pemerintah untuk antarpenerbit SB.
melaksanakan OPT.

4.2 Lelang SB Pemerintah melakukan • Manajemennya sama • Tujuan manajemen


Pemerintah lelang untuk menjual dengan SB bank sentral utang dapat
sebagai SB pemerintah kepada jika koordinasi dengan berbentrokan dengan
instrumen OPT peserta pasar di pasar departemen keuangan manajemen moneter
primer. Selanjutnya, karena penerbitan SB jika departemen
BI: — bank sentral dapat pemerintah dapat keuangan
melakukan jual-beli SB melebihi kebutuhan memanipulasi lelang
pemerintah ini dalam fiskal. untuk menjaga biaya
OPTnya. • Mendorong disiplin dana di bawah pasar.
fiskal bagi pemerintah • Ketika manajemen
jika pembiayaan moneter bergantung
langsung dari bank pada penerbitan
sentral dihentikan. perdana, lelang sering
dapat menghambat
perkembangan pasar
sekunder.

4.3 Operasi Pasar Bank sentral melakukan • Dapat dilaksanakan • Memerlukan pasar
Sekunder jual-beli surat-surat secara terus- menerus sekunder yang matang
(Secondary berharga secara outright sehingga memberikan dan likuid dan bank
Market atau repo (repurchase fleksibilitas yang tinggi. sentral harus memiliki
Operations) agreement) dalam • Transparan. cadangan aset yang
BI: — rangka OPT. dapat dipasarkan

24
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


• Meningkatkan (marketable assets)
perkembangan pasar yang cukup.
sekunder.
• Respons yang segera
dari pasar uang.

5. Fasilitas Bank sentral • Membantu pencapaian • Apabila dilakukan


Simpanan memberikan fasilitas sasaran operasional terus-menerus,
Bank Sentral berbentuk simpanan • Fleksibel dalam jumlah menyebabkan
(dapat bank-bank di bank maupun suku bunga ketergantungan dan
digunakan sentral yang berjangka • Suku bunga sebagai manajemen keuangan
sebagai sangat pendek yang acuan pasar uang kurang berkembang
instrumen digunakan oleh bank- • Dapat untuk keperluan
OPT)/ bank apabila mereka kontraksi dan ekspansi
Deposits mengalami kelebihan • Membantu bank yang
Facility likuiditas pada akhir kelebihan likuiditas
hari namun tidak dapat
BI: Intervensi menempatkan dana
Rupiah kelebihannya itu di
tempat lain.

6. Operasi Valuta Bank sentral melakukan • Jika pasar valas • Bank sentral dapat
Asing (dapat jual-beli valuta asing di berkembang sedangkan mengalami kerugian
digunakan pasar valuta asing untuk pasar SB pemerintah jika operasi valas
sebagai mempengaruhi jumlah tidak aktif, swap dapat digunakan dengan
instrumen OPT) uang beredar dan nilai menggantikan operasi maksud untuk menjaga
atau tukar. repo SB pemerintah. nilai tukar yang tidak
Foreign • Penjualan dan “sustainable”.
Exchange pembelian valas secara
Operation spot (“outright”) dapat
bermanfaat ketika pasar
BI: Intervensi valas lebih berkembang
Valuta Asing daripada pasar uangnya.

7. Fasilitas Bank sentral • Menyediakan fasilitas • Lihat pintu rediskonto


Overdraft memberikan fasilitas pinjaman jangka sangat di atas.
(Overdraft pinjaman (dengan atau pendek yang suku • Kerugian suku bunga
Window) tanpa jaminan) yang bunganya lebih tinggi yang sudah
berjangka sangat daripada sumber lain. diumumkan
BI: — pendek kepada bank- • Dapat menjadi bagian sebelumnya sedangkan
bank yang mengalami kunci pengaturan sistem akses ke pintu ini atas
kesulitan likuiditas pembayaran. inisiatif bank.
jangka sangat pendek
(kalah kliring).

8. Simpanan Sektor Bank sentral • Karena besarnya arus • Kurang transparan.


Pemerintah memindahkan/realokasi dana keluar/masuk • Berlawanan dengan
(Public Sector simpanan pemerintah sistem perbankan dari usaha pengembangan
Deposits) yang berada di bank pemerintah, realokasi pasar sekunder untuk

25
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


BI: Simpanan sentral dan/atau di simpanan pemerintah sekuritas pemerintah.
Pemerintah/ bank-bank pelaksana/ antara bank sentral dan
BUMN umum. bank pelaksana dapat
menjadi instrumen
kunci untuk meredam
pengaruh arus tersebut
pada likuiditas jangka
pendek.

9. Lelang Kredit Bank sentral • Menawarkan alat untuk • Bank sentral


(Credit Auction) melakukan lelang mengetahui harga /suku menghadapi risiko
kredit kepada bunga kredit bank kredit yang sulit
BI: — perbankan. sentral. dinilai.
• Dapat digunakan ketika • Mungkin tidak cocok
pasar masih belum untuk manajemen
berkembang dan harian jika “settlement”
referensi suku bunga lelang melebihi target
antarbank belum ada. harian.
• Menetapkan patokan • Rawan terhadap
suku bunga. masalah “adverse
• Mengalokasikan kredit selection”.
sesuai dengan ketentuan
pasar.

10. Imbauan Bank sentral • Fleksibel • Tidak mengikat


(Moral mengimbau bank-bank penggunaannya. sehingga hasilnya tidak
Suasion) untuk melakukan hal- • Tidak mengikat pasti.
hal tertentu, seperti • Efektif kalau BS • Tidak boleh digunakan
menurunkan suku kredibel terus-menerus.
BI: Imbauan bunga pinjaman/ • Kalau BS tidak
simpanannya. kredibel, kurang efektif

11. Penjualan SB Bank sentral membuka • Instrumen yang dapat • Bank sentral hanya
Wadiah Bank window (seperti dijadikan sebagai dapat mengendalikan
Sentral sebagai fasilitas simpanan bank komplemen SB bank kuantitas dan tidak
instrumen OPT sentral namun sentral di sektor dapat mengendalikan
menggunakan sistem perbankan syariah suku bunga karena
BI: Penjualan mudharabah) khusus • Bermanfaat khususnya ketentuan syariahnya.
SWBI untuk penempatan bagi pada saat bank sentral • Memiliki kekurangan
bank-bank syariah. tidak punya cukup SB seperti fasilitas
pemerintah untuk simpanan bank sentral.
melaksanakan OPT. • Akan tidak terlalu
• Memiliki keuntungan efektif kalau volume
seperti fasilitas penjualan kecil.
simpanan bank sentral.
• Memberikan
kesempatan yang sama
bagi bank syariah untuk
ikut berpartisipasi di

26
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan

Instrumen Cara Kerja Keuntungan Kerugian


pasar uang dengan
sistem yang sesuai
dengan syariah.
• Menambah pilihan
instrumen bagi bank
sentral.
• Akan efektif apabila
volume penjualan
sudah cukup banyak.

Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter


yang Umum Digunakan

Pada akhir tahun 1970an bank sentral negara-negara industri maju mulai
meninggalkan instrumen langsung dalam pengendalian moneternya dan
mulai menggunakan serta mengandalkan instrumen tidak langsung.
Kecenderungan ini dalam tahun-tahun berikutnya juga diikuti oleh negara-
negara berkembang dan negara-negara transisi.7 Hal ini terjadi terutama
karena kondisi perekonomian dunia yang semakin terbuka berpengaruh
terhadap semakin berkembangnya pasar-pasar keuangan, yang kemudian
menyebabkan instrumen langsung menjadi kurang efektif karena dapat
mengakibatkan inefisiensi dan disintermediasi.
Instrumen-instrumen langsung yang biasa digunakan antara lain pagu
kredit, pengendalian suku bunga, kredit langsung, rasio likuiditas (statutory
liquidity ratios), dan kuota rediskonto (rediscount quotas). Adapun
instrumen-instrumen tidak langsung yang biasa digunakan antara lain
cadangan primer, fasilitas diskonto, dan operasi pasar terbuka (OPT).
Instrumen-instrumen lain yang juga masih umum digunakan antara lain
fasilitas rediskonto, lelang kredit, dan operasi valuta asing (swaps). Namun,
instrumen utama yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kebijakan
moneter agak sedikit berbeda. Sebagian besar bank sentral menggunakan
OPT sebagai instrumen utamanya. Di samping itu, ada pula negara yang
7
Alexander, et al. (1995)

27
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

menggunakan instrumen selain OPT sebagai instrumen utamanya, seperti


Brasil yang menggunakan fasilitas diskonto.
Penggunaan OPT sebagai instrumen utama oleh sebagian besar bank
sentral baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang
cukup dapat dimengerti karena OPT merupakan instrumen yang sangat
fleksibel dan keterlibatan institusi pihak kedua (bank dan broker) tidak
mengikat. Selain itu, bank sentral dapat mengendalikan frekuensi OPT
dan jumlah/kuantitas lelang yang diinginkan sehingga OPT merupakan
metoda yang sangat bermanfaat untuk menstabilkan reserve money atau
suku bunga jangka pendek. Sebagai tambahan, yang tidak kalah penting
ialah bahwa OPT juga tidak membebankan pajak kepada bank.
Instrumen utama OPT yang digunakan pada umumnya adalah surat-
surat berharga pemerintah, seperti T-bills, dan dilengkapi dengan surat
berharga bank sentral. Penggunaan surat berharga pemerintah dalam OPT
akan sangat meringankan beban biaya OPT bagi bank sentral. Tabel 3
memperlihatkan secara umum instrumen-instrumen pengendalian moneter
yang digunakan di beberapa negara lain.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa negara-negara berkembang dan negara-
negara transisi pada umumnya mengikuti apa yang dilakukan oleh negara-
negara maju dalam pemilihan instrumen-instrumen pengendalian
moneternya sesuai dengan perkembangan pasar keuangannya. Namun,
negara-negara berkembang pada umumnya masih menggunakan
instrumen-instrumen lain yang dipergunakan sebagai pelengkap yang
berhubungan dengan transisi penggunaan instrumen langsung ke tidak
langsung sesuai dengan perkembangan pasar-pasar keuangan negara yang
bersangkutan. Sebagai contoh, India mempunyai instrumen Switching
Facility sampai dengan tahun 1992. Dengan instrumen ini bank sentral
India (RBI) membeli kertas berharga (notes) dengan kupon rendah dan
menjual/menggantikannya dengan kertas berharga dengan kupon tinggi
untuk memperbaiki portofolio bank-bank dan institusi finansial lainnya.
Selain itu, ada pula instrumen-instrumen yang masih digunakan yang lebih
bersifat spesifik untuk mencapai sasaran tertentu. Misalnya, Malaysia
menggunakan instrumen langsung penetapan suku bunga untuk
pembiayaan sektor prioritas. Sementara itu, Thailand menggunakan pagu
kredit untuk alokasi pembiayaan sektor prioritas.

28
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan

Tabel 3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter


yang Digunakan oleh Negara-negara Lain

Cadangan Fasilitas Operasi Pasar Instrumen


Negara Wajib Diskonto Terbuka Lain
Minimum
a. Negara Maju:

Amerika 3% - 10% Kebutuhan jangka. SB pemerintah, Tidak ada


Serikat pendek bonds, notes

Inggeris 0.35% Overnight, LOLR SB pemerintah, Tidak ada


SB swasta

Jepang Ya Diatur per bank SB pemerintah, Imbauan


bonds, CDs

Perancis 0.5% - 1% 5 – 10 hari repo SB pemerintah, Tidak ada


SB swasta

Jerman 1% - 20%, rata-rata 3 bulan, sedang, SB pemerintah Fasilitas kredit


panjang perpanjangan

New Zealand Tidak ada < 28 hari,otomatis SB pemerintah, Tidak ada


SB bank sentral

b. Negara
Berkembang:

- Amerika Latin:

Argentina 3% - 43%, rata-rata ≤ 30 hari, LOLR Bonds pemerintah Tidak ada

Cili 3.6% - 30% 1 hari/bulan, SB pemerintah, Tidak ada


LOLR SB bank sentral

Brasil 3% - 83% Ya SB pemerintah, Fasilitas Overdraft,


SB bank sentral Fasilitas kredit
jangka pendek,
Fasilitas kredit
perpanjangan,
Lelang kredit

Meksiko ≥0 Darurat CETES, BONOS CDs, Fasilitas


pinjaman darurat

- Asia Tenggara:

Korea Ya Ya Bonds pemerintah, Lelang kredit


MSBs

29
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Cadangan Fasilitas Operasi Pasar Instrumen


Negara Wajib Diskonto Terbuka Lain
Minimum
Thailand 7%, rata-rata 7 hr, LOLR SB pemerintah, SLR, FXW
SB bank sentral

Filipina 17% Ya SB pemerintah,


SB bank sentral

Malaysia 11.5%, rata-rata ≥ 3 bl SB pemerintah, Kredit jangka


SB bank sentral pendek, SLR,
Inst. langsung

Indonesia 3% - 5%, rata-rata Ya SB bank sentral, Tab. pmth, Kr.


SB pasar uang Liq, FXO

- Neg. Berkembg
Lain:

Ghana 5%, rata-rata Ya, sb. penalti SB pemerintah, SB Pinjaman


bank sentral overnight

Mesir 10% -15%, rata-rata Ya, 2% di atas SB pemerintah SLR

Tunisia 2% 7hr, sb. penalti SB pemerintah Lelang kredit

Cina 13% Ya Tidak ada Instr. langsung

India 15%, rata-rata Ya SB pemerintah Penetapan sb,


SLR, Fasilitas
switching

c. Negara Transisi

Republik Czech 8.5%, rata-rata Ya SB pemerintah, Kredit jangka


SB bank sentral pendek

Rusia 1.5% - 20% Tidak ada SB pemerintah Tidak ada

Keterangan:
Repo: Pembelian kembali surat berharga oleh penerbitnya sebelum jatuh waktu
LOLR: Lender of last resort, yaitu salah satu fungsi bank sentral sebagai tumpuan akhir pada saat bank
menghadapi kesulitan dana
SB pemerintah: Surat berharga pemerintah (T-bills)
SB bank sentral: Surat berharga bank sentral
SB pasar uang: Surat berharga pasar uang
SB swasta: Surat berharga swasta
CDs: Certificate of Deposits atau sertifikat deposito

30
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

CETES: Surat berharga pemerintah, seperti T-bills yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan Meksiko.
BONOS: Bonds yang dikeluarkan oleh pemerintah Meksiko
MSBs: Monetary Stabilization Bonds yang diterbitkan oleh Bank of Korea (seperti SB bank sentral)
SLR: Statutory Liquidity Ratio (definisi lihat di sub-bab Instrumen Langsung dan Tabel 1)
FXW: Foreign exchange window. Di sini BOT mengadministrasikan exchange equalization fund (EEF) yang
siap menjual dan membeli USD/Baht dengan nilai tukar yang telah diumumkan sebelumnya
FXO: Foreign Exchange Operation atau intervensi rupiah (definisi lihat sub-bab Instrumen Tidak Langsung
dan Tabel 2)

Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter


di Indonesia

Instrumen-instrumen pengendalian moneter yang pernah dan masih


digunakan di Indonesia sejak Indonesia merdeka terkait erat dengan
perkembangan negara secara umum dan perkembangan struktur
finansialnya. Pembahasan bagian terakhir ini akan menjelaskan secara
kronologis perkembangan penggunaan instrumen-instrumen moneter di
Indonesia sejak Indonesia merdeka sampai sekarang tanpa melihat
keefektifan atau keberhasilan penggunaan instrumen atau kebijakan
moneter yang diambil. Untuk mudahnya, pembahasan akan dibagi dalam
periode-periode sebelum 1983 dan sesudah 1983. Tahun 1983 dipilih
sebagai batas pembeda, yaitu saat Indonesia memasuki era baru deregulasi
moneter dan perbankan sejak 1 Juni 1983 yang ditujukan untuk
mempercepat perekonomian Indonesia.

Sebelum 1983
Sebelum tahun 1983 perkembangan perekonomian Indonesia dapat dibagi
ke dalam dua periode yang berbeda, yaitu periode orde lama tahun 1945-
1965 yang masih memprioritaskan untuk mempertahankan keutuhan dan
kedaulatan negara dan tahun 1965-1983 yang mulai memprioritaskan pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

31
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

1. Periode 1945-1965
Periode ini mempunyai ciri kebijakan moneter longgar, yang berarti bank
sentral (dalam hal ini Bank Indonesia), yang baru didirikan pada
pertengahan tahun 1953, melakukan kebijakan ekspansi moneter dengan
penambahan uang beredar, yang dilakukan dengan monetisasi atau
pencetakan uang baru. Pencetakan uang baru dilakukan untuk menutup
defisit anggaran belanja negara yang terus membengkak.
Sebelum tahun 1957, instrumen-instrumen pengendalian moneter
Bank Indonesia berupa penetapan suku bunga, OPT (meskipun pasar uang
masih bersifat sederhana), pagu kredit, dan kredit langsung. Sementara
itu, instrumen pengendalian moneter yang dipakai setelah tahun 1957 itu
pada umumnya ditujukan untuk mengendalikan atau mengurangi money
supply yang berlebihan yang diakibatkan oleh kebijakan moneter longgar
tersebut, dan pada umumnya hanya berlaku sebentar.
Tiga instrumen pertama, yaitu pengguntingan uang, pembersihan uang
(monetary purge), dan penetapan uang muka impor ditujukan untuk
mengendalikan dan/atau mengurangi uang beredar sedangkan instrumen
terakhir yang diperkenalkan pada periode ini, yaitu cadangan primer
(sebagai likuiditas minimum atau cadangan wajib minimum), dimaksud-
kan bukan untuk mengendalikan uang beredar melainkan sebagai alat
prudential instrument untuk memastikan bahwa bank-bank mempunyai
likuiditas yang cukup setiap saat nasabah melakukan penarikan simpanan-
nya. Tabel 4 memberikan penjelasan secara umum.

32
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

Tabel 4. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter


di Indonesia Periode 1945-19658

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


1. Penetapan suku Tingkat suku bunga simpanan dan Sebelum tahun 1957, penetapan suku
bunga pinjaman ditetapkan oleh bank bunga fasilitas rediskonto, suku bunga
sentral untuk mengendalikan harga maksimum

2. Fasilitas rediskonto Instrumen tidak langsung yang Sebelum tahun 1957, penetapan suku
merupakan ketentuan bank sentral bunga rediskonto terhadap promes atau
dalam menetapkan tingkat surat-surat utang (jarang dilakukan)
rediskonto surat-surat berharga
yang diperbolehkan

3. Operasi pasar terbuka Instrumen tidak langsung yang - Sebelum tahun 1957, dilakukan oleh
merupakan kegiatan jual-beli surat- Bank Indonesia meskipun pasar
surat berharga oleh bank sentral uang yang sudah berjalan masih
dengan pelaku pasar baik di pasar bersifat sederhana
primer maupun sekunder - Tahun 1970, diperkenalkan SBI
sebagai instrumen operasional OPT
untuk mendorong perkembangan
pasar uang

4. Pagu kredit Pemberian kredit kepada sektor Sebelum tahun 1957, berlaku untuk
tertentu dibatasi untuk setiap bank bank-bank komersial langsung atau
sesuai dengan kriteria yang dihubungkan dengan besarnya kredit
ditetapkan, yang dimaksudkan jumlah kekayaan tertentu.
untuk mengendalikan jumlah kredit Pengendalian kredit juga berlaku
yang disalurkan dan, dengan kata sektoral (mana yang boleh diberi
lain, mengendalikan money supply kredit)

5. Kredit langsung Kredit yang diberikan langsung Sebelum tahun 1957


oleh Bank Indonesia untuk
mengembangkan sektor tertentu
dengan subsidi

8
Kebijakan moneter penting lainnya yang terjadi dalam periode ini adalah devaluasi. Devaluasi bukan
merupakan instrumen pengendalian moneter namun kebijakan ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya. Dalam periode ini devaluasi telah dilaksanakan pada:
- Maret 1946: kurs US$1,00 diubah dari Rp1,88 rp menjadi Rp2,6525
- September 1949: kurs US$1,00 menjadi Rp3,80
- Februari 1952: kurs US$1,00 menjadi Rp11,40
- Agustus 1959: kurs US$1,00 menjadi Rp45,00
- April 1964: kurs US$1,00 menjadi Rp250,00

33
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


6. Pengguntingan uang Uang kertas digunting menjadi dua 19 Maret 1950, penurunan nilai uang
bagian. Satu bagian sebagai alat 50% untuk pecahan lima rupiah ke
pembayaran, bagian lain ditukar atas. Guntingan kiri berlaku sebagai
dengan surat berharga pemerintah, alat pembayaran, guntingan kanan
untuk mengendalikan uang beredar ditukar dengan obligasi negara dengan
bunga 3% setahun

7. Pembersihan uang Penurunan nilai mata uang ke nilai - 6 Maret 1946, satu rupiah menjadi
(monetary purge) nominal lebih rendah, tiga sen
dimaksudkan untuk mengurangi - 23 Oktober 1949, seratus rupiah
uang beredar Jepang = satu rupiah ORI di luar
Jawa dan Madura. Di Jawa dan
Madura kurs penukaran 100 : 1
- 24 Agustus 1959, nilai uang
diturunkan menjadi 10% untuk
pecahan 1.000 dan 500
- 13 Desember 1965, nilai uang
diturunkan 999%, 1.000 rupiah
menjadi 1 rupiah

8. Penetapan uang Importir diwajibkan membayar Tahun 1952, diperkenalkan instrumen


muka impor 40% uang muka untuk pembelian ini untuk mengendalikan money supply
valuta asing yang mereka perlukan, dari sisi impor
untuk mengendalikan money
supply

9. Cadangan primer Instrumen tidak langsung, Tahun 1957, diperkenalkan dengan


(cadangan wajib merupakan ketentuan bank sentral tujuan bukan untuk alat mengontrol
minimum) yang mewajibkan bank-bank money supply
memelihara sejumlah alat likuid
(seperti kas) sebesar persentase
tertentu dari kewajiban lancarnya

2. Periode 1965-1983
Awal periode ini ditandai dengan kebijakan moneter ketat dengan program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, terutama disebabkan oleh adanya
mismanajemen dan hyperinflasi sebagai akibat kebijakan moneter longgar
pada periode sebelumnya. Oleh karena itu, pengendalian stabilitas harga
menjadi sasaran akhir utama kebijakan moneter yang diambil, disertai
dengan pemeliharaan cadangan devisa yang cukup, rehabilitasi sistem
perbankan, dan rekonstruksi sistem ekonomi. Sementara itu, di sisi kebija-
kan fiskal diterapkan anggaran belanja berimbang (balanced budget
policy). Instrumen pengendalian moneter yang digunakan saat itu berupa

34
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

instrumen-instrumen tidak langsung tradisional, seperti cadangan primer,


yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen langsung, seperti kredit
langsung/likuiditas dan penetapan suku bunga. Namun, instrumen
utamanya masih kredit likuiditas (langsung) dari Bank Indonesia.
Instrumen lama yang masih digunakan adalah cadangan primer. Pada
periode ini cadangan primer mulai dipergunakan sebagai instrumen
moneter secara aktif sebagai pengendalian uang beredar dengan
peningkatan cadangan primer menjadi 30% untuk meredam peningkatan
jumlah uang beredar yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak (oil
price schock/oil boom) yang drastis.
Pada saat oil boom anggaran belanja menjadi surplus untuk pertama
kalinya sedangkan NFA (net foreign assets) naik drastis, yang menjadi
penyokong utama kenaikan uang primer. Oleh karena itu, setelah oil boom,
kebijakan pengendalian moneter lebih diarahkan pada pengendalian
peningkatan money supply atau uang primer.
Pengendalian moneter dengan instrumen tidak langsung akhirnya
ditinggalkan pada tahun 1974 dan digantikan dengan instrumen langsung,
seperti pagu kredit. Instrumen-instrumen yang digunakan saat itu antara
lain pagu kredit, kredit likuiditas, dan penetapan suku bunga. Pagu kredit
digunakan untuk mengendalikan ekspansi kredit di hampir sepanjang
perode ini. Kredit likuiditas diberikan kepada sektor-sektor tertentu, seperti
pertanian, industri, transportasi, dan jasa-jasa, seperti Badan Urusan
Logistik (Bulog). Pengendalian suku bunga ditujukan untuk menjaga suku
bunga riil tetap positif dan memobilisasi dana masyarakat. Suku bunga
riil yang positif dapat menggairahkan mobilisasi dana masyarakat ke
sistem perbankan, meningkatkan intermediasi keuangan, dan juga
mempercepat tingkat monetisasi perekonomian Indonesia secara
keseluruhan. Kebijakan penting lainnya yang diambil adalah devaluasi
rupiah dan perubahan rezim nilai tukar dari sistem nilai tukar tetap (fixed)
menjadi mengambang terkendali (managed float) pada tanggal 15
November 1978, yang lebih dikenal dengan KNOP-15.
Oil boom kedua melanda Indonesia pada tahun 1979/80 dengan
meningkatnya harga minyak dua kali lipat. NFA kembali meningkat pesat
yang menyebabkan peningkatan uang beredar. Dengan berkembangnya
sektor keuangan, instrumen langsung menjadi kurang efektif. Ditambah

35
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

lagi, perkembangan sistem keuangan, perbankan, dan intermediasinya


menjadi terhambat. Untuk mengatasi masalah- masah ini pemerintah
mengambil kebijakan yang cukup berani dalam rangka deregulasi sistem
keuangan secara menyeluruh pada bulan Juni 1983.
Tabel 5 memberikan gambaran secara umum instrumen-instrumen
pengendalian moneter yang digunakan pada periode ini.

Tabel 5. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia


Periode 1965-19839

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


1. Cadangan Primer Instrumen tidak langsung, - Digunakan sejak periode
(Cadangan Wajib merupakan ketentuan bank sentral sebelumnya
Minimum) yang mewajibkan bank-bank - Tahun 1973/74, ditingkatkan
memelihara sejumlah alat likuid menjadi 30% untuk meredam
(seperti kas) sebesar persentase peningkatan money supply sebagai
tertentu dari kewajiban lancarnya akibat oil price shock
- Tahun 1977 Desember, pertama kali
dalam sejarah perbankan,
diturunkan menjadi 15%

2. Kredit Langsung/ Kredit yang diberikan langsung - Digunakan sejak periode


Likuiditas oleh Bank Indonesia untuk sebelumnya
mengembangkan sektor tertentu - Sejak 1968 pemerintah memberikan
dengan subsidi subsidi untuk kredit program pada
sektor pertanian, industri,
transportasi, dan jasa-jasa, seperti
Bulog
- Tahun 1973 akhir, KIK/ KMKP
diperkenalkan sebagai tanda
ditinggalkannya instrumen
pengendalian moneter tidak
langsung

9
Kebijakan moneter penting lainnya pada periode ini antara lain ialah:
1. Perubahan sistem devisa ‘ketat’ menjadi ‘bebas’, yaitu jual-beli valuta asing yang sebelumnya diawasi
ketat oleh bank sentral dilonggarkan/dibebaskan, dilaksanakan pada tahun 1970.
2. Perubahan sistem nilai tukar dari ‘tetap’ ke “mengambang terkendali’, yaitu sistem nilai tukar tetap
yang mengacu pada satu mata uang asing diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali
yang mengacu kepada sejumlah mata uang asing mitra dagang utama.
3. Devaluasi, dilaksanakan pada:
- Desember 1970: kurs US$1,00 diubah dari Rp250,00 menjadi Rp378,00
- Agustus 1971: kurs US$1,00 menjadi Rp415,00
- November 1978: dengan KNOP-15, kurs US$1,00 menjadi Rp625,00
Ketiga kebijakan moneter di atas bukan merupakan instrumen pengendalian moneter namun
kebijakan-kebijakan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya.

36
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


3. Penetapan Suku Tingkat suku bunga simpanan - Digunakan sejak periode
Bunga dan pinjaman ditetapkan oleh sebelumnya
bank sentral untuk - Tahun 1966 Oktober, sebagai
mengendalikan harga bagian dari program stabilisasi
ekonomi, suku bunga resmi
dinaikkan dari 26-63% menjadi
72-108% per tahun. Penalti untuk
kredit yang jatuh waktu 50% di
atas suku bunga normal, dan
penalti overdraft 1% per hari
- Tahun 1968, suku bunga deposito
dinaikkan dari 30% ke 72% per
tahun, untuk menggairahkan
mobilisasi dana masyarakat
melalui perbankan
- Tahun 1971 diperkenalkan
Tabanas dan Taska dengan suku
bunga yang ditetapkan

4. Pagu Kredit Pemberian kredit kepada sektor - Digunakan sejak periode


tertentu dibatasi untuk setiap sebelumnya
bank sesuai dengan kriteria yang - April 1974, diperkenalkan sistem
ditetapkan, dimaksudkan untuk pagu kredit baru sebagai tanda
mengendalikan jumlah kredit ditinggalkannya instrumen tidak
yang disalurkan dan, dengan kata langsung dan kembali
lain, mengendalikan money digunakannya instrumen langsung
supply

Sesudah 1983
Sesudah tahun 1983, perkembangan perekonomian Indonesia dapat dibagi
ke dalam dua periode yang berbeda, yaitu periode 1983-1987 yang ditandai
dengan deregulasi sistem keuangan dan perbankan sejak 1 Juni 1983
sampai saat terjadinya krisis keuangan dan perbankan pada pertengahan
1997 dan periode pasca 1997 yang sarat dengan program pemulihan sistem
keuangan dan perbankan.

1. Periode 1983-1997
Dengan adanya oil boom kedua pada tahun 1979/80 dan kemudian resesi
yang melanda dunia pada awal 1980, pemerintah mengambil langkah
berani dengan memulai deregulasi di sektor moneter dan perbankan dengan

37
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Paket Kebijakan 1 Juni 1983. Era ini ditandai dengan kembalinya


pengendalian moneter dengan menggunakan instrumen-istrumen tidak
langsung dengan anchor nilai tukar. Instrumen-instrumen langsung yang
dianggap menghambat perkembangan sistem keuangan dihilangkan,
seperti:
1. Kebebasan penentuan suku bunga simpanan dan pinjaman
2. Menghilangkan sistem pagu kredit
3. Pengurangan secara berangsur-angsur kredit langsung (pemberian
kredit likuiditas Bank Indonesia)
Instrumen-instrumen tidak langsung mulai diperkenalkan, antara lain:
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrumen operasional OPT
diperkenalkan pada Februari 1984. SBI ini berbeda dengan SBI yang
pernah diterbitkan pada tahun 1970 yang digantikan dengan Sertifikat
Deposito.
2. Fasilitas diskonto yang dapat digunakan oleh bank-bank sebagai
alternatif dalam pengendalian likuiditasnya disediakan sejak Februari
1984.
3. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) sebagai instrumen operasional OPT
pada Februari 1985.
SBI ditujukan sebagai instrumen kontraksi apabila situasi moneter
dinilai terlalu ekspansif sedangkan SBPU ditujukan sebagai instrumen
ekspansi apabila situasi moneter dinilai terlalu kontraktif. Sementara itu,
cadangan primer masih dipergunakan sebagai salah satu instrumen tidak
langsung pengendalian moneter.
Pada pertengahan 1980 harga minyak bumi merosot dari puncaknya
yang pernah mencapai US$35 per barrel menjadi di bawah US$10 per
barrel. Sebagai akibatnya, neraca pembayaran Indonesia memburuk.
Devaluasi dilakukan pada September 1986 untuk memperbaikinya dan
terutama untuk memelihara cadangan devisa di masa depan. Untuk
mencegah spekulasi, selain menaikkan suku bunga SBI dan menurunkan
pagu SBPU secara bertahap, pemerintah melakukan kebijakan yang
terkenal dengan “Gebrakan Sumarlin I” pada tanggal 22 Juni 1987, yaitu
pemerintah dan Bank Indonesia memerintahkan kepada beberapa BUMN

38
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

besar, seperti PN Taspen, PLN, PT Pusri, dan Pertamina, untuk menarik


giro dan deposito mereka di bank-bank pemerintah untuk membeli SBI.
Sebagai lanjutan deregulasi di bidang moneter, keuangan, dan
perbankan dikeluarkanlah Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 yang lebih
dikenal dengan Pakto dengan tujuan untuk meningkatkan pengerahan dana
masyarakat, ekspor nonmigas, efisiensi lembaga keuangan dan perbankan,
dan menciptakan iklim pengembangan pasar modal. Hal-hal yang
berhubungan dengan pengendalian moneter antara lain:
1. Penyempurnaan mekanisme swaps dari maksimum 6 bulan menjadi 3
tahun
2. Penurunan cadangan primer bank-bank dari 15% menjadi 2%
Pada Paket Kebijakan 29 Januari 1990 Bank Indonesia melakukan
penghapusan pemberian kredit langsung, kecuali untuk mendukung
swasembada pangan, pengembangan koperasi, dan peningkatan investasi.
“Gebrakan Sumarlin II” dilakukan pada tanggal 27 Februari 1991
sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya spekulasi devisa
dan mengurangi inflasi. Kebijakan moneter yang diambil saat itu adalah
kebijakan moneter ketat, yang berlangsung sejak April 1990 karena
permintaan kredit terus meningkat meskipun suku bunga cukup tinggi
(overheated). Kebijakan moneter ketat ini berangsur-angsur dilonggarkan
mulai 1993 yang mengakibatkan kenaikan inflasi pada tahun berikutnya.
Tantangan di tahun 1994 bagi sektor moneter adalah tetap rendahnya
tingkat suku bunga yang mengakibatkan pelarian modal ke luar negeri
(capital outflow) sehingga Bank Indonesia kembali menerapkan kebijakan
moneter ketat dengan menaikkan suku bunga SBI.
Pada tahun 1995-1996 terjadi permintaan yang kuat akan investasi
domestik yang memerlukan tambahan likuiditas, yang cukup menarik
untuk terjadinya capital inflow, penambahan uang beredar, dan akhirnya
apresiasi rupiah. OPT menjadi andalan utama ditambah dengan penaikan
Giro Wajib Minimum, yang secara umum biasa disebut cadangan primer,
dari 2% menjadi 3%. Keadaan ini tidak berubah banyak sampai terjadinya
krisis keuangan dan perbankan sejak pertengahan 1997.
Tabel 6 memberikan gambaran secara umum instrumen-instrumen
pengendalian moneter yang digunakan pada periode ini.

39
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Tabel 6. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia


Periode 1983-199710

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


1. Cadangan Primer Instrumen tidak langsung, - Digunakan sejak periode
(Cadangan Wajib merupakan ketentuan bank sentral sebelumnya
Minimum) yang mewajibkan bank-bank - Tahun 1988 Oktober, diturunkan
memelihara sejumlah alat likuid dari 15% menjadi 2% untuk
(seperti kas) sebesar persentase mendorong efisiensi penyaluran
tertentu dari kewajiban lancarnya dana masyarakat
- Tahun 1996 Februari, dinaikkan dari
2% menjadi 3%
- Tahun 1997 April, dinaikkan lagi
menjadi 5%

2. Pengurangan/ Kredit yang diberikan langsung - Oktober1988, berangsur-angsur


Penghapusan Kredit oleh Bank Indonesia untuk dikurangi
Langsung/ Likuiditas mengembangkan sektor tertentu - Januari 1990, dihapuskan kecuali
dengan subsidi untuk swasembada pangan,
pengembangan koperasi, dan
peningkatan investasi

3. Fasilitas Diskonto Instrumen tidak langsung yang - Oktober 1988, diperkenalkan.


merupakan ketentuan bank sentral Diskonto I untuk jangka pendek (3
dalam menetapkan tingkat diskonto hari), Diskonto II untuk jangka
surat berharga bank sentral atau lebih panjang (60 hari)
pinjaman (dan/atau simpanan) bank
sentral kepada bank-bank

4. Fasilitas Rediskonto Instrumen tidak langsung yang - Pernah digunakan pada periode
merupakan ketentuan bank sentral sebelumnya
dalam menetapkan tingkat - Tahun 1993, ketentuan tingkat
rediskonto surat-surat berharga rediskonto wesel ekspor berjangka
yang diperbolehkan. ditetapkan sama dengan SIBOR

5. Operasi Pasar Instrumen tidak langsung yang - Pernah digunakan pada periode
Terbuka merupakan kegiatan jual beli surat- sebelumnya
surat berharga oleh bank sentral - Juni 1983, diperkenalkan kembali
dengan pelaku pasar baik di pasar sebagai instrumen tidak langsung
primer maupun sekunder utama pengendalian moneter. SBI
dan SBPU dipergunakan sebagai
instrumen operasionalnya

10
Kebijakan moneter penting lainnya yang terjadi dalam periode ini adalah devaluasi. Devaluasi bukan
merupakan instrumen pengendalian moneter namun kebijakan ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya. Dalam periode ini devaluasi dilaksanakan pada:
- Maret 1983: kurs US$1,00 diubah dari Rp702,50 menjadi Rp970,00
- September 1986: kurs US$1,00 diubah lagi dari Rp1.134,00 menjadi Rp1.644,00

40
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


6. Operasi Valuta Merupakan salah satu instrumen Digunakan sampai sekarang sebagai
Asing tidak langsung yang dapat instrumen operasional OPT
digunakan dalam OPT, yaitu bank
sentral melakukan jual-beli valuta
asing di pasar valuta asing untuk
mempengaruhi jumlah uang
beredar dan nilai tukar

7. Imbauan Bank sentral mengimbau Tahun 1992, BI mengimbau bank-


perbankan untuk melakukan bank pemerintah untuk berinisiatif
tindakan tertentu yang diinginkan menurunkan suku bunga simpanan
dan pinjaman

8. Simpanan Sektor Merupakan instrumen tidak - Juni 1987 (Gebrakan Sumarlin I),
Pemerintah Pusat/ langsung: bank sentral dan/atau pemerintah dan Bank Indonesia
BUMN pemerintah merealokasi simpanan memerintahkan kepada beberapa
pemerintah yang berada di bank BUMN besar, seperti PN Taspen,
sentral dan di bank-bank PLN, PT Pusri, dan Pertamina,
pelaksana/umum untuk menarik giro dan deposito
mereka di bank-bank pemerintah
sekitar Rp1,3 triliun untuk
membeli SBI, untuk mencegah
berlanjutnya pelarian modal ke
luar negeri
- Februari 1991 (Gebrakan Sumarlin
II), pemerintah mewajibkan 12
BUMN untuk mengalihkan
deposito mereka dari bank-bank
sekitar Rp8 triliun kepada SBI,
untuk mencegah spekulasi devisa
dan menurunkan inflasi

9. Kebijakan Kredit Pengaturan sektor dan jumlah Tahun 1995, kredit untuk sektor
Selektif (Selective kredit yang boleh disalurkan oleh properti dibatasi dengan pertumbuhan
Credit Policy) bank dalam rangka prudential tidak melebihi pertumbuhan total
banking atau kehati-hatian dalam kredit
penyaluran kredit, dan dapat juga
digunakan untuk mengendalikan
uang beredar

2. Periode Pasca 1997


Pada masa krisis keuangan dan perbankan yang melanda Asia Tenggara
sejak 2 Juli 1997 kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia
dalam rangka pemulihan adalah kontraksi moneter. Instrumen-instrumen
yang digunakan pada umumnya sama dengan periode sebelumnya, hanya

41
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

yang aktif digunakan adalah instrumen-instrumen kontraksi. Instrumen


utama yang digunakan adalah GWM, Fasilitas Diskonto, OPT, dan
Intervensi Rupiah (IR), ditambah dengan Intervensi Valuta Asing. Namun,
yang digunakan sebagai tulang punggung (instrumen utama) adalah OPT
dan IR.
Intervensi Rupiah merupakan instrumen tidak langsung yang sejajar
dengan instrumen operasi OPT yang baru diperkenalkan pada tahun 1998.
Cara kerjanya adalah melalui kegiatan pinjam-meminjam dana yang
dilakukan Bank Indonesia secara langsung di pasar uang antarbank
(PUAB) dengan jangka waktu overnight s.d. 7 hari. Tujuan
diperkenalkannya instrumen ini adalah untuk mem-fine-tuning sasaran
kuantitas yang belum tercapai melalui lelang SBI. Fungsi lain IR adalah
sebagai sinyal arah pergerakan suku bunga.
Instrumen lain yang diperkenalkan pasca 1997 adalah Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Insrumen ini diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan tujuan awal sebagai fasilitas penempatan bagi bank-
bank syariah namun tidak menutup kemungkinan di masa mendatang dapat
pula dipergunakan sebagai salah satu instrumen operasional OPT.
Pelaksanaannya tidak dilakukan melalui lelang melainkan dengan
membuka window sehingga mempunyai kemiripan dengan fasilitas
simpanan bank sentral.
Kontraksi moneter sampai saat ini masih dilakukan mengingat sampai
saat ini fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi masih belum pulih,
perbankan masih belum dapat menyalurkan dananya ke kredit, sehingga
SBI dan IR menjadi pilihan utama penempatan dana yang pada gilirannya
akan cenderung meningkatkan beban Bank Indonesia.
Tabel 7 memberikan gambaran secara umum instrumen-instrumen
pengendalian moneter yang ditambahkan pada periode ini.

42
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia

Tabel 7. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia


Periode Pasca 1997 yang Ditambahkan11

Instrumen Keterangan Saat Pelaksanaan


1. Intervensi Rupiah Merupakan instrumen tidak Tahun 1998, diperkenalkan sebagai
(Fasilitas Simpanan langsung yang sejajar dengan instrumen fine-tuning untuk membantu
Bank Sentral) instrumen operasi OPT yang cara OPT
kerjanya adalah melalui kegiatan
pinjam-meminjam dana yang
dilakukan Bank Indonesia secara
langsung di pasar uang antarbank
(PUAB) dengan jangka waktu
overnight s.d. 7 hari. Tujuan
diperkenalkannya instrumen ini
adalah untuk mem-fine-tuning
sasaran kuantitas yang belum
tercapai melalui lelang SBI. Fungsi
lain IR adalah sebagai sinyal arah
pergerakan suku bunga

2. Sertifikat Wadiah Instrumen yang diterbitkan Bank Instrumen ini saat ini masih digunakan
Bank Indonesia Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai penempatan bagi bank-
(SWBI) *) ditujukan sebagai fasilitas bank syariah. Imbalannya diberi nama
penempatan bagi bank-bank “bonus” sebesar imbalan PUAS (Pasar
syariah namun tidak menutup Uang Antarbank Syariah) atau
kemungkinan di masa datang dapat investasi (deposito) mudharabah
pula digunakan sebagai salah satu
instrumen operasional OPT.
Pelaksanaannya tidak dilakukan
melalui lelang melainkan dengan
membuka window sehingga
mempunyai kemiripan dengan
fasilitas simpanan bank sentral

11
Kebijakan moneter penting lainnya pada periode ini antara lain ialah:
1. Perubahan sistem nilai tukar dari ‘mengambang terkendali’ ke “mengambang penuh’, yaitu sistem nilai
tukar mengambang terkendali yang mengacu kepada sejumlah mata uang asing mitra dagang utama
ditinggalkan dan nilai tukar dibebaskan mengambang penuh sesuai dengan keadaan pasar,
dilaksanakan pada Agustus 1997.
2. Fasilitas Likuiditas Intra-hari (FLI). Dengan diterapkannya RTGS (real time gross settlements), untuk
mengatasi grid-lock (berhentinya proses karena suatu bank kekurangan dana), bank diberi fasilitas FLI
tanpa dikenakan bunga namun tetap dengan jaminan (SBI atau SB yang lain). Apabila pada akhir hari
bank tetap mengalami kekurangan dana, bank tersebut harus memanfaatkan fasilitas lain, seperti
fasilitas pinjaman jangka panjang/FPJP atau fasilitas diskonto yang berjangka ≥ overnight. FLI
disediakan sejak diterapkannya RTGS pada tahun 2000.
Kedua kebijakan moneter di atas bukan merupakan instrumen pengendalian moneter namun
kebijakan-kebijakan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter
sesudahnya.

43
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Boks:
Prosedur Lelang SBI12

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga jangka pendek


(1-12 bulan) dengan sistem diskonto yang diterbitkan Bank Indonesia
dalam bentuk surat pengakuan utang dalam satuan unit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). Saat ini, sesuai dengan ketentuan
baru (SE No.4/20/DPM) SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan
ditatausahakan melalui Central Registry yang dikelola oleh Bank
Indonesia-Sistem Penatausahaan SBI (BI-SPS). Seperti disampaikan
sebelumnya, SBI diperkenalkan pada bulan Februari 1984 untuk
dipergunakan dalam OPT yang digunakan kembali sebagai instrumen
tidak langsung pengendalian moneter sejak Deregulasi 1 Juni 1983.
Oleh karena itu, SBI dapat diperdagangkan baik di pasar primer mau-
pun sekunder. Penjualan di pasar primer dilakukan melalui lelang
mingguan setiap hari Rabu yang didahului dengan pengumuman
mengenai sasaran indikatif sehari sebelumnya. Penjualan di pasar
sekunder dapat dilakukan kapan saja sebelum jatuh waktunya.
Sistem penawaran SBI yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat
ini menggunakan sarana Automatic Bidding System (ABS) dengan
sistem lelang yang berdasarkan target kuantitas dengan memperhatikan
tingkat suku bunga/diskonto yang terjadi. ABS adalah sistem pena-
waran dana dan surat berharga dari bank atau pialang dalam rangka
OPT secara on-line dan real time. Sistem lelang dengan target kuantitas
akan menghasilkan stop-out rate (SOR), yaitu tingkat diskonto
tertinggi yang dihasilkan dari lelang ini yang dimenangkan oleh peserta
setelah target kuantitas yang diinginkan terpenuhi.Target indikatif
kuantitas diumumkan sehari sebelum lelang. Sistem lelang lain yang
pernah digunakan oleh Bank Indonesia adalah sistem lelang dengan
target harga dimana tingkat diskonto tertinggi yang dihasilkan dari
12
Sumber: Dimodifikasi dari Yura A. Djalins. Operasi Pasar Terbuka di Indonesia, draft Juli 2002.
Bagian Pengembangan Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia, sesuai
dengan SE No.4/20/DPM Perihal Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat
Bank Indonesia, tanggal 18 Nopember 2002.

44
lelang, yang disebut cut-out rate (COR), yang dimenangkan peserta,
setelah target harga atau suku bunga yang diinginkan terpenuhi. Target
indikatif suku bunga tidak diumumkan sebelumnya.
Peserta lelang terdiri dari peserta langsung dan tidak langsung.
Peserta langsung terdiri dari bank, atas nama bank sendiri atau atas
nama bank lain, dan pialang pasar uang, atas nama bank, yang
memiliki sarana ABS. Peserta tidak langsung terdiri dari bank yang
tidak memiliki sarana ABS. Pada hari lelang peserta langsung dapat
mengajukan penawaran yang terdiri dari nominal dan diskonto yang
diinginkan antara pukul 10.00-14.00 WIB, melalui sarana ABS ke
Bagian Operasi Pasar Uang (OPU). Peserta tidak langsung dapat
mengajukan penawarannya melalui peserta langsung.
Jumlah penawaran yang dapat diajukan perbankan minimum
1.000 (seribu) unit atau Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),
dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tingkat diskonto yang
diajukan harus dalam kelipatan 6,5 basis point atau 0,0625% untuk
semua peserta.
Sesuai dengan sistem SOR, pemenangnya ditentukan berdasarkan
kuantitas yang masuk. Pengumuman pemenang lelang dilakukan
melalui sarana ABS, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau sarana
lainnya pada hari pelaksanaan lelang selambat-lambatnya pukul 16.30
WIB. Apabila jumlah seluruh penawaran yang masuk melebihi
sasaran kuantitas, Bank Indonesia harus mengambil pemenang
dimulai dari yang mengajukan tingkat diskonto terendah sampai
dengan jumlah kumulatif penawaran mencapai sasaran tersebut.
Apabila jumlah penawaran lebih rendah daripada sasaran kuantitas
maka Bank Indonesia harus mengambil seluruhnya.
Dengan sistem SOR, pemenangnya adalah peserta yang
mengajukan penawaran di bawah atau sama dengan SOR. Apabila
tidak semua penawaran pada SOR memenangkan lelang maka, sesuai
dengan metoda penghitungan multiple price (American procedure)
yang dianut:

45
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

1. Peserta yang mengajukan penawaran pada tingkat diskonto di


bawah SOR akan memenangkan lelang sebesar 100% dari nominal
yang mereka ajukan, dengan mendapat tingkat diskonto sesuai yang
mereka ajukan, dan
2. Peserta yang mengajukan penawaran pada tingkat diskonto sesuai
SOR akan memenangkan lelang secara proporsional sesuai dengan
penawaran nominal yang diajukannya, dengan mendapat tingkat
diskonto SOR.
Metoda penghitungan lain yang juga umum digunakan adalah
metoda uniform price (Dutch method), yaitu setiap pemenang lelang
memperoleh tingkat diskonto yang sama. Rata-rata tertimbang (rrt)
diskonto hasil lelang dapat dihitung dengan memasukkan jumlah
penawaran peserta sebagai bobot.
Pada saat penyelesaian transaksi (settlement) pemenang lelang
hanya menyetor sebesar nilai tunai, yaitu sejumlah nominal yang
dimenangkan dikurangi diskontonya, dan pada saat SBI jatuh waktu
pemenang akan memperoleh dana sebesar nominal yang dimenangkan.
Dengan sistem ABS, penyelesaian transaksi dilakukan dengan
mendebet sebesar nilai nominal SBI dan kemudian mengkredit sebesar
nilai diskonto SBI pada rekening giro bank pembeli SBI melalui sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlements (BI-RTGS). Pencatatan
kepemilikan dilakukan dengan menggunakan sistem pencatatan
kepemilikan surat berharga Book Entry Registry (BER)..
Dengan sistem ABS yang scripless, tanda bukti kepemilikan SBI
tidak lagi dalam bentuk fisik warkat SBI melainkan cukup tercatat
dalam BI-SPS yang juga berfungsi untuk mengurangi risiko pencurian
atau pemalsuan.
Sebagai tambahan, bank yang membutuhkan tambahan likuiditas
dapat menjual kembali SBI yang belum jatuh waktu (sekurang-
kurangnya empat hari) kepada Bank Indonesia secara repo. Jumlah
yang dapat di-repo-kan maksimum 25% dari rata-rata jumlah yang
dimenangkan bank yang bersangkutan dalam tiga lelang SBI terakhir
yang diselenggarakan Bank Indonesia, dengan jangka waktu overnight.

46
Tingkat diskonto BI repo adalah rata-rata tertimbang suku bunga
PUAB overnight pagi hari pada satu hai kerja sebelum transaksi
ditambah 200 (dua ratus) basis points; atau rata-rata tertimbang
tingkat diskonto SBI jangka waktu satu bulan pada lelang terakhir
ditambah 200 (dua ratus) basis points.

47
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER

Daftar Pustaka

Alexander, William E., Tomas J.T. Balino, and Charles Enoch. The
Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional
Paper No.126, Washington: International Monetary Fund, 1995.
Axilrod, Stephen H. Transformation of Markets and Policy Instruments
for Open Market Operations, IMF Working Paper No. WP/95/146,
Washington: International Monetary Fund, December, 1995
Bank Indonesia. Kumpulan Materi Pengajaran Interen, beberapa
penerbitan.
Bank Indonesia. Laporan Tahunan Bank Indonesia, beberapa tahun
penerbitan.
Bagian Moneter, Urusan Ekonomi dan Statistik, Bank Indonesia. Teori
dan Kebijaksanaan Moneter, Bahan Kuliah Diklat Lanjutan Angkatan
XI, 1993.
Bank for International Settlements Monetary Policy Operating Procedures
in Emerging Market Economies, BIS Policy Papers, No. 5 – March
1999, Monetary and Economic Department, Bank For International
Settlements, Basle, Switzerland, 1999.
Blinder, Alan S. Central Banking in Theory and Practice, The MIT Press,
Cambridge, MA, 2000.
Borio, Claudio E.V. The Implementation of Monetary Policy in Industrial
Countries: A Survey, BIS Economic Papers, No. 47 – July 1997,
Monetary and Economic Department, Bank For International
Settlements, Basle, Switzerland, 1997.
Budiono. Ekonomi Moneter, edisi 3, Seri Sinopsis Pengantar Ekonomi
No.5, Yogyakarta: BPFE, 1994.
Djalins, Yura A. Operasi Pasar Terbuka di Indonesia, draft, Juli, 2002.

48
Gray, Simon, Glenn Hoggarth, and Joanna Place. Introduction to Monetary
Operations, revised, 2nd edition, Handbook in Central Banking No.10,
Centre for Central Banking Studies Bank of England, 2000.
Haryono Erwin, Wahyu A. Nugroho, dan Wahyu Pratomo. “Mekanisme
Pengendalian Moneter dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal,” dalam
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, vol.2, no.4, pp.68-122,
Maret, 2000.
LP3ES. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, PT Pustaka
LP3ES, Jakarta, Agustus, 1995.
Urusan Hukum, Bank Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia,
Jakarta, 1999.

49
Seri Kebanksentralan

No. 6

Kebijakan Moneter
di Indonesia

Perry Warjiyo
Solikin

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar,
oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter,
oleh Ascarya, Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.
5. Kelembagaan Bank Indoesia,
oleh F.X. Sugiyono dan Ascarya, Desember 2003.
6. Kebijakan Moneter di Indonesia,
oleh Perry Warjiyo dan Solikin, Desember 2003.
7. Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia,
oleh Suseno dan Piter Abdullah, Desember 2003.
8. Kebijakan Sistem Pembayaran di Indonesia,
oleh Sri Mulyati Tri Subari dan Ascarya, Desember 2003.
9. Organisasi Bank Indonesia,
oleh Suarpika Bimantoro dan Syahrul Bahroen, Desember 2003.

Seri Kebanksentralan ini diterbitkan oleh:


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
BANK INDONESIA
Jl. MH. Thamrin No. 2, Gd. Tipikal lt. 2, Jakarta 10010
No. Telepon: 021-3817628, No. Fax: 021-3501912
e-mail: PPSK@bi.go.id

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Seri Kebanksentralan No. 6

Kebijakan Moneter
di Indonesia

Perry Warjiyo
Solikin

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Desember 2003


i
Warjiyo, Perry
Kebijakan Moneter di Indonesia/ Perry
Warjiyo, Solikin. -- Jakarta : Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK) BI, 2003.
i-viii; 72 hlm. ; 15,2 cm x 22,8 cm.
-- (Seri Kebanksentralan ; 6)

Bibliografi : hlm. 70
ISBN 979-3363-06-1
336

ii
Sambutan

Sejalan dengan amanat yang diemban dalam UU No. 23 Tahun 1999


tentang Bank Indonesia, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk mewujudkan iklim
keterbukaan. Selain itu, sebagai sumbangsih Bank Indonesia untuk
berperan dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran kepada
masyarakat, dalam tiga tahun terakhir ini Bank Indonesia juga terus
berupaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan penelitian yang ditujukan
untuk memperkaya khazanah ilmu kebanksentralan. Sejalan dengan hal
tersebut, pada kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia, menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Lingkup materi yang dibahas dalam rangkaian buku seri
kebanksentralan pada kesempatan kali ini adalah menyangkut berbagai
aspek yang terkait dengan keberadaan bank sentral, mulai dari aspek
kelembagaan, kebijakan-kebijakan yang ditempuh, sampai dengan
organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai lanjutan dari buku seri
yang telah diterbitkan sebelumnya, kami menerbitkan lima seri buku
sekaligus, yang terdiri dari: (i) Kelembagaan Bank Indonesia, (ii)
Kebijakan Moneter di Indonesia, (iii) Sistem dan Kebijakan Perbankan
di Indonesia, (iv) Kebijakan Sistem Pembayaran di Indonesia, dan (v)
Organisasi Bank Indonesia.
Guna memudahkan pemahaman pembaca, ulasan masing-masing
aspek mengenai bank sentral tersebut dilihat dari dua tataran, yaitu konsep/
teori serta pengalaman dan pelaksanaannya di Indonesia. Buku seri ini
juga menggunakan bahasa yang cukup sederhana dan mudah dipahami
secara luas, serta sejauh mungkin menghindari penggunaan istilah-istilah
teknis yang kiranya dapat mempersulit pembaca dalam memahai isi buku.
Meskipun disajikan dengan singkat dan dalam bahasa yang sederhana,
pada setiap bagian dalam tulisan ini diberikan bahan-bahan yang dapat
dipergunakan sebagai referensi bagi pembaca yang bermaksud untuk
memperdalam pemahaman mengenai bagian yang bersangkutan.

iii
Akhirnya, mengiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah,
pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal serta pihak-
pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam penyusunan
buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2003


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

F.X. Sugiyono
Peneliti Utama Senior

iv
Pengantar

Bank sentral memiliki fungsi dan peranan yang strategis dalam mendukung
perkembangan pasar keuangan dan perekonomian suatu negara. Hal ini
antara lain karena kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral dapat
mempengaruhi perkembangan suku bunga, jumlah kredit, dan jumlah uang
beredar, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tidak hanya
perkembangan pasar keuangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, inflasi,
dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan yang
diterapkan oleh bank sentral tersebut dikenal secara umum sebagai
kebijakan moneter. Walaupun dampak dari pelaksanaan kebijakan moneter
tersebut dapat dirasakan, baik langsung maupun tidak langsung,
masyarakat umumnya belum memahami hakikat atau keberadaan dari
kebijakan moneter itu sendiri. Seri kebanksentralan nomor 6 ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang
berminat memahami berbagai hal yang terkait dengan masalah-masalah
moneter di Indonesia, khususnya kebijakan moneter dan hal-hal yang
terkait dengannya.
Banyak rekan-rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan dan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter yang telah membantu kelancaran penyusunan buku ini. Ucapan
terima kasih secara khusus juga penulis sampaikan kepada Sdr. FX.
Sugiyono, Sdr. Suseno, Sdr. Hotbin Sigalingging, Sdr. Iskandar, Sdr. Erwin
Haryono, dan Sdr. Arief Hartawan, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, atas partisipasinya dalam diskusi maupun
pemberian saran dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penulisan buku ini. Untuk itu kritik dan saran akan sangat dihargai.
Akhirnya, mudah-mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan
menambah khasanah pengetahuan kita.

Jakarta, Desember 2003

Penulis
v
vi
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar v

Gambaran Umum Kebijakan Moneter 2


Kebijakan Moneter dan Siklus Kegiatan Ekonomi 3
Kebijakan Moneter dan Kebijakan Ekonomi Makro Lain 6
Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka 7
Kerangka Strategis Kebijakan Moneter 13
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 17
Kerangka Operasional Kebijakan Moneter 22

Boks 1: Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi: Perbedaan Pemikiran


Monetarist vs Keynesian 24

Boks 2: Penentuan Respon Kebijakan Moneter: Rules vs Discretion 26

Kebijakan Moneter di Indonesia 27


Kebijakan Moneter Periode Sebelum Krisis Ekonomi 1997 27
a. Periode 1945 – 1952
b. Periode 1953 – 1967
c. Periode 1968 – 1997
Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi (1968 – 1972)
Periode pertumbuhan ekonomi dengan hasil minyak (1973 – 1982)
Periode deregulasi, debirokratisasi, dan liberalisasi ekonomi (1983 –
1997)
Kebijakan Moneter Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997 36
Kerangka Strategis Kebijakan Moneter 39
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 40
Kerangka Operasional Kebijakan Moneter 42
Proses Perumusan Kebijakan Moneter 44
Mekanisme Pengendalian Moneter 46

Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa 48


Kebijakan Nilai Tukar 48
Kebijakan Devisa 51

vii
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting 52

Kerangka Dasar Inflation Targeting 53

Menuju Penerapan Inflation Targeting di Indonesia 56

Boks 3: Penentuan Sasaran Inflasi 57

Boks 4: Sasaran Inflasi: Headline vs. Inti 60

Boks 5: Kebijakan Moneter Forward Looking 61

Daftar Pustaka 63

viii
Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, peranan uang dirasakan


sangat penting. Hampir tidak ada satu pun bagian dari kehidupan ekonomi
manusia yang tidak terkait dengan keberadaan uang. Pengalaman
menunjukkan bahwa jumlah uang beredar di luar kendali dapat
menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi perekonomian
secara keseluruhan. Konsekuensi atau pengaruh buruk dari kurang
terkendalinya perkembangan jumlah uang beredar tersebut antara lain
dapat dilihat pada kurang terkendalinya perkembangan variabel-variabel
ekonomi utama, yaitu tingkat produksi (output) dan harga.
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong
peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam
jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi.1 Sebaliknya,
apabila peningkatan jumlah uang beredar sangat rendah, maka kelesuan
ekonomi akan terjadi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus,
kemakmuran masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan
mengalami penurunan.2 Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas moneter suatu
negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian.
Kegiatan pengendalian jumlah uang beredar tersebut lazimnya disebut
dengan kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah satu
bagian intergal dari kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh otoritas
moneter.
1
Secara teoritis, pengertian inflasi merujuk pada perubahan tingkat harga (barang dan
jasa) umum yang terjadi secara terus-menerus. Uraian lebih lengkap mengenai inflasi
disampaikan pada bagian tersendiri dari buku ini. Baca Boks 3. Penentuan Sasaran Inflasi
dan Boks 4. Sasaran Inflasi: Headline vs Inti.
2
Untuk selengkapnya, baca Buku Seri Kebanksentralan No. 1, Uang: Pengertian,
Pencipataan, dan Peranannya dalam Perekonomian, oleh Solikin dan Suseno, PPSK Bank
Indonesia (2002). Untuk dapat mencerna buku ini dengan baik, khususnya menyangkut
pemakaian istilah-istilah teknis di bidang moneter, pembaca disarankan untuk terlebih
dahulu membaca buku tersebut atau literatur ekonomi moneter lain.

1
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu gambaran umum kebijakan
moneter, kebijakan moneter di Indonesia, dan arah penerapan kebijakan
moneter dengan sasaran kestabilan harga. Secara berurutan, bagian
pertama akan menjelaskan beberapa substansi umum dari pelaksanaan
kebijakan moneter, terutama yang terkait dengan siklus kegiatan ekonomi,
keberadaan kebijakan ekonomi makro lain, dan keterbukaan ekonomi.
Selanjutnya, akan dipaparkan pula kerangka strategis, mekanisme
transmisi, dan kerangka operasional kebijakan moneter. Setelah itu, bagian
kedua akan menguraikan pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia,
mulai dari periode setelah awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga
saat ini. Akhirnya, pada bagian ini akan disinggung pula beberapa aspek
penting kebijakan moneter yang dilaksanakan saat ini, yaitu kerangka
umum, mekanisme transmisi, dan proses perumusan kebijakan moneter.
Sebagai penutup, bagian ketiga akan mengetengahkan kerangka dasar
inflation targeting serta arah penerapannya di Indonesia.

Gambaran Umum Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau


bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk
mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.3
Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan
tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan
oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan
output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/
kesempatan kerja yang tersedia.
Kebijakan moneter yang disebutkan di atas merupakan bagian integral
dari kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya dilakukan dengan
mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu
negara tertutup atau terbuka, serta faktor-faktor fundamental ekonomi
lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan
berbeda-beda dari suatu negara dengan negara lain, sesuai dengan tujuan
3
Dalam hal ini, besaran moneter (monetary aggregates) antara lain dapat berupa uang
beredar, uang primer, atau kredit perbankan.

2
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada
perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan trasmisi yang
dipilih, maka dirumuskan kerangka operasional kebijakan moneter.

Kebijakan Moneter dan Siklus Kegiatan Ekonomi


Perkembangan ekonomi suatu negara tentu mengalami pasang surut
(siklus) yang pada periode tertentu perekonomian tumbuh pesat dan pada
periode lain tumbuh melambat. Untuk mengelola dan mempengaruhi
perkembangan perekonomian agar dapat berlangsung dengan baik dan
stabil, pemerintah atau otoritas moneter biasanya melakukan langkah-
langkah yang dikenal dengan kebijakan ekonomi makro. Inti dari kebijakan
tersebut pada dasarnya adalah pengelolaan sisi permintaan dan sisi
penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi
keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.
Kebijakan moneter sebagai salah satu dari kebijakan ekonomi makro
pada umumnya diterapkan sejalan dengan business cycle ‘siklus kegiatan
ekonomi’.4 Dalam hal ini, kebijakan moneter yang diterapkan pada kondisi
dimana perekonomian sedang mengalami boom ‘perkembangan yang
sangat pesat’ tentu berbeda dengan kebijakan moneter yang diterapkan
pada kondisi dimana perekonomian sedang mengalami depression atau
slump ‘perkembangan yang melambat’. Dalam kajian literatur dikenal
dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif dan
kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah
kebijakan moneter yang ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi,
yang antara lain dilakukan melalui peningkatan jumlah uang beredar.
Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan moneter yang
4
Menurut definisi yang dikemukakan oleh Burns and Mitchell, dalam Measuring Business
Cycles, NBER (1946), business cycle merupakan suatu jenis fluktuasi yang terjadi secara
reguler pada perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Siklus tersebut umumnya terdiri
dari ekspansi yang terjadi pada saat tertentu ketika dunia usaha meningkatkan kegiatannya,
yang kemudian diikuti oleh perlambatan kegiatan ekonomi atau resesi, sampai akhirnya
pada pulihnya perkembangan ekonomi dalam fase ekspansi pada siklus yang terjadi
berikutnya. Urutan dari perubahan-perubahan tersebut terjadi secara berulang, namun tidak
secara periodik. Dalam hal ini, durasi dari satu siklus bervariasi antara satu tahun lebih
sampai dengan sepuluh atau duabelas tahun. Ulasan lebih lanjut mengenai Business Cycles,
dapat dibaca dalam Parkin and Bade, Modern Macroeconomics, Philip Alan Publishers
Ltd., 1988, hlm. 113 – 138.

3
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, yang antara lain


dilakukan melalui penurunan jumlah uang beredar.
Dalam pelaksanaannya, efektivitas kebijakan moneter tersebut
tergantung pada hubungan antara uang beredar dengan variabel ekonomi
utama seperti output dan inflasi. Dari sejumlah literatur, temuan utama
yang menarik mengenai hubungan antara uang beredar, inflasi, dan output
adalah bahwa dalam jangka panjang, hubungan antara pertumbuhan uang
beredar dan inflasi adalah sempurna, sementara hubungan antara
pertumbuhan uang atau inflasi dengan pertumbuhan output riil mungkin
mendekati nol. Temuan ini menunjukkan adanya suatu konsensus bahwa
dalam jangka panjang, kebijakan moneter hanya akan berdampak pada
inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi riil.5
(Boks 1. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi: Perbedaan Pemikiran
Monetarist vs Keynesian).
Terlepas dari perbedaan sudut pandang di atas, umumnya kalangan
praktisi maupun akademisi meyakini bahwa dalam jangka pendek
kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang
sedang mengalami resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya, kebijakan
moneter kontraktif dapat memperlambat laju inflasi yang umumnya terjadi
pada saat kegiatan perekonomian yang sedang mengalami boom.
Gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi tersebut dapat dilihat pada
grafik di bawah ini.
Salah satu contoh yang dapat dijelaskan di sini adalah situasi pada kurun
waktu atau fase kegiatan perekonomian sedang mengalami resesi (misalkan
dari A ke B). Pemerintah dapat memperpendek periode resesi dengan
melakukan kebijakan moneter yang ekspansif sehingga perekonomian dapat
lebih cepat mengalami recovery ‘pemulihan kembali’. Sebaliknya, dalam
kondisi perekonomian mengalami perkembangan yang sangat pesat
pemerintah dapat menghindari over heating ‘pemanasan kegiatan
5
Konsensus dari literatur empiris mengenai pengaruh jangka pendek dari uang adalah
bahwa suatu kejutan kebijakan moneter menyebabkan pergerakan aktivitas ekonomi riil
yang sedikit menaik dan kemudian menurun (hump-shaped). Artinya, bahwa pelonggaran
(pengetatan) kebijakan moneter dapat sedikit meningkatkan (menurunkan) aktivitas
ekonomi riil dalam jangka yang sangat pendek dan kemudian pengaruhnya akan
menghilang. Untuk analisis lanjutan yang lebih komprehensif, silakan baca Walsh, Carl
E., Monetary Theory and Policy, MIT, 2001, Chapter 1: Empirical Evidence on Money
and Output.

4
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

Output

Fase ekspansif G

C trend

E
A
D

Waktu

Grafik 1
Siklus Kegiatan Ekonomi

perekonomian’ dengan melakukan kebijakan moneter yang kontraktif. Pola


penerapan kebijakan moneter yang secara aktif bersifat “memperlunak”
perkembangan kegiatan ekonomi yang cenderung menuju titik balik ekstrim
tersebut dikenal dengan counter-cyclical monetary policy.
Secara sepintas, pola kebijakan moneter yang counter-cyclical cukup
tepat untuk diterapkan agar perekonomian dapat terhindar dari gejolak
struktural (shocks) atau fluktuasi siklus kegiatan ekonomi. Namun,
permasalahan mendasar yang muncul adalah berkaitan dengan sulitnya
memprediksi siklus kegiatan ekonomi, terutama menyangkut sampai
sejauh mana perkembangan suatu perekonomian mencapai posisi tertentu
pada siklus yang terjadi. Kesalahan dalam memprediksi siklus ekonomi
yang terjadi dapat menimbulkan kesalahan dalam menentukan respons
kebijakan moneter.
Sejalan dengan itu, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa
seyogyanya bank sentral melaksanakan kebijakan moneter secara pasif.
Usaha-usaha untuk melunakkan fluktuasi perekonomian hendaknya
dihindari dan kebijakan moneter hendaknya diarahkan agar siklus kegiatan
ekonomi berjalan secara wajar. Kebijakan moneter yang
“mengakomodasi” fluktuasi perekonomian tersebut dikenal sebagai pro-
cyclical monetary policy atau accomodative monetary policy.

5
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Dalam perkembangannya, perbedaan pandangan tersebut melandasi


perbedaan penentuan respons kebijakan moneter yang dilakukan oleh
bank sentral dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam hal ini, perbedaan
yang muncul berkaitan dengan apakah respons kebijakan moneter
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan rules ‘pola atau kaidah-kaidah
tertentu yang dirumuskan secara permanen dalam kurun waktu tertentu’
atau dengan menggunakan discretion ‘kewenangan untuk bertindak secara
aktif guna mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil yang
terjadi’. (Boks 2: Penentuan Respon Kebijakan Moneter: Rules v.s.
Discretion).

Kebijakan Moneter dan Kebijakan Ekonomi Makro Lain


Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan
penerapan kebijakan ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiskal,
kebijakan sektor riil, dan lain-lain.6 Hal ini terutama mengingat keterkaitan
antara kebijakan moneter dan bagian kebijakan ekonomi makro lain yang
sangat erat. Selain itu, pengaruh kebijakan-kebijakan yang diterapkan
secara bersama-sama mungkin mempunyai arah yang bertentangan
sehingga saling memperlemah. Misalnya, dalam perekonomian yang
mengalami tekanan inflasi, bank sentral melakukan pengetatan moneter.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah melakukan ekspansi di sektor fiskal
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketidakharmonisan
kedua kebijakan tersebut dapat mengakibatkan tujuan menekan inflasi
tidak tercapai. Sementara itu, kombinasi kebijakan moneter dan fiskal
yang terlalu ekspansif akibat tidak adanya koordinasi dapat mendorong
pemanasanan kegiatan perekonomian. Dengan demikian, untuk mencapai
tujuan kebijakan ekonomi makro secara optimal, biasanya diterapkan
policy mix ‘bauran kebijakan’ yang terkoordinasi antara-satu kebijakan
dengan kebijakan lain.

6
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan yang terkait dengan aspek pengelolaan anggaran
pemerintah. Kebijakan fiskal diyakini sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting
yang dapat dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah dalam memelhara kestabilan
ekonomi.
7
Dengan asumsi bahwa sumber dana otoritas fiskal berasal dari sumber di luar uang beredar.

6
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

Pengertian optimal disini adalah pencapaian tujuan antar-kebijakan


dapat dikoordinasikan sehingga tidak menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara
keseluruhan. Salah satu contoh penerapan bauran kebijakan yang banyak
dikenal adalah bauran kebijakan moneter-fiskal (monetary-fiscal policy
mix). Secara konseptual, koordinasi bauran kebijakan moneter-fiskal dapat
dilakukan melalui beberapa skenario, yaitu: 7 (1) kebijakan moneter
ekspansif/ kebijakan fiskal ekspansif, (2) kebijakan moneter kontraktif/
kebijakan fiskal ekspansif, (3) kebijakan moneter ekspansif/ kebijakan
fiskal kontraktif, dan (4) kebijakan moneter kontraktif/ kebijakan fiskal
kontraktif.
Sebagai contoh, apabila bauran kebijakan moneter-fiskal dapat
dilakukan secara terkoordinasi, maka skenario kebijakan 1 dan 4
merupakan skenario kebijakan yang paling efektif diterapkan untuk tujuan
kebijakan yang bersifat counter-cyclical seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Dalam pengamatan empiris dapat dilihat bahwa apabila
perekonomian mengalami resesi yang berkepanjangan, kebijakan moneter
dan fiskal yang sama-sama ekspansif dan dikoordinasikan sangat tepat
untuk mendorong kegiatan ekonomi dengan pengaruh yang moderat pada
perkembangan suku bunga. Sejalan dengan itu, kebijakan moneter dan
fiskal yang sama-sama kontraktif dan dikoordinasikan sangat bermanfaat
bagi upaya untuk mengurangi laju ekspansi kegiatan perekonomian.
Sementara itu, skenario kebijakan 2 dan 3 akan menghasilkan pengaruh
yang saling meniadakan, dan hasil akhirnya sangat tergantung pada
kekuatan pengaruh relatif antara kebijakan moneter dan fiskal. Secara
empiris, kombinasi kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan fiskal
kontraktif belum banyak diamati. Namun, untuk kombinasi kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif, bukti empiris
menunjukkan bahwa skenario kebijakan ini cenderung mendorong
peningkatan suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat
kegiatan investasi oleh masyarakat.8

8
Dalam literatur ilmu ekonomi, fenomena ketika kegiatan investasi masyarakat berkurang
sebagai akibat ekspansi kegiatan pemerintah dikenal sebagai fenomena crowding-out
‘desakan keluar’

7
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka


Sebelum dibahas kebijakan moneter dalam perekonomian terbuka, akan
disinggung secara singkat mengenai kebijakan moneter dalam
perekonomian tertutup. Dalam perekonomian sederhana dan tertutup
ketika perekonomian suatu negara tidak berinteraksi dengan perekonomian
negara lain, maka formulasi dan implementasi kebijakan moneter dapat
dilakukan dengan lebih sederhana. Hal ini disebabkan berbagai variabel-
variabel ekonomi internasional, seperti perdagangan, aliran modal, nilai
tukar, dan suku bunga yang tidak berpengaruh terhadap perekonomian.
Namun demikian, di era globalisasi ini dapat dikatakan tidak terdapat
suatu negara yang memiliki sistem perekonomian tertutup, sehingga
pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada kebijakan moneter dalam
perekonomian terbuka.
Dalam era perekonomian global yang terjadi sejak beberapa dasawarsa
yang lalu hingga saat ini, interaksi ekonomi antarnegara merupakan salah
satu aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi suatu
negara yang semakin terbuka. Terlebih lagi, kepesatan perkembangan
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, serta kebijakan
perdagangan dalam dasawarsa terakhir telah mendorong pesatnya
keterbukaan ekonomi dan ketergantungan antarnegara. Sebagai contoh,
hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Jepang saat ini jauh lebih
erat dibandingkan dengan hubungan perdagangan yang terjadi pada masa
awal kemerdekaan.
Dengan semakin besarnya keterkaitan antarnegara, maka semakin
terbuka perkonomian negara yang bersangkutan. Keterbukaan ekonomi
tersebut berdampak pada peningkatan transaksi perdagangan
antarnegara. Sebuah negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan
barang dan jasa tertentu dapat membeli (mengimpor) barang dan jasa
tersebut dari negara lain. Di sisi lain, suatu negara dapat
memperdagangkan (mengekspor) barang dan jasa yang dihasilkan
kepada negara lain yang membutuhkannya. Perkembangan perdagangan
internasional umumnya diikuti pula oleh perkembangan di sektor
keuangan internasional.
Keterbukaan ekonomi suatu negara akan membawa konsekuensi
pada perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk

8
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

kebijakan moneternya. Hal ini mengingat semakin besar transaksi


perdagangan dan keuangan internasional yang dilakukan oleh suatu
negara maka semakin besar foreign capital flows ‘aliran dana luar
negeri’. Aliran dana luar negeri tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Dalam
hal terjadi capital inflows ‘aliran dana luar negeri masuk’, maka akan
terjadi pertambahan jumlah uang beredar. Sebaliknya, dalam hal terjadi
capital outflow ‘aliran dana luar negeri keluar’, maka akan terjadi
pengurangan jumlah uang beredar. Dengan demikian, kebijakan
moneter perlu diarahkan agar jumlah uang beredar sesuai dengan
kebutuhan perekonomian.9
Dalam hal terjadi aliran dana luar negeri masuk yang besar, maka
bank sentral dapat melakukan kontraksi moneter untuk mengurangi
jumlah uang beredar. Sebaliknya, jika terjadi aliran dana luar negeri
keluar yang besar maka bank sentral dapat melakukan ekspansi moneter
untuk menambah jumlah uang beredar. Kontraksi atau ekspansi moneter
akan dapat meningkatkan atau menurunkan suku bunga dalam negeri.
Selanjutnya, perubahan tersebut akan meningkatkan atau menurunkan
interest rate differential ‘perbedaaan suku bunga dalam dan luar negeri’,
yang pada gilirannya akan mendorong aliran dana dari dan ke luar
negeri. Kondisi ini dapat mengurangi efektivitas kebijakan moneter.
Mobilitas dana dari dan ke luar negeri yang tinggi tersebut akan
menyebabkan bank sentral tidak dapat melaksanakan independent
monetary policy ‘kebijakan moneter yang independen’.10 Sementara
itu, mobilitas dana dari dan ke luar negeri dipengaruhi oleh sistem
nilai tukar dan sistem devisa yang dianut suatu negara. Dengan
demikian, sampai sejauh mana pelaksanaan kebijakan moneter dapat
dilakukan secara independen tergantung pada sistem nilai tukar dan
sistem devisa yang dipilih.

9
Untuk selengkapya, baca Buku Seri Kebanksentralan No. 2, Statistik Penyusunan Uang
Beredar, oleh Solikin dan Suseno, PPSK Bank Indonesia (2002).
10
Yang dimaksud independensi di sini adalah independensi bank sentral dalam melaksanakan
kebijakan moneter tanpa gangguan-gangguan yang bersumber dari perkembangan faktor-
faktor eksternal. Independensi tersebut berbeda dengan independensi bank sentral yang
dikaitan dengan kerangka kerja kelembagaan.

9
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Sistem Nilai Tukar


Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya. Pada dasarnya terdapat tiga sistem
nilai tukar yaitu : (1) fixed exchange rate ‘sistem nilai tukar tetap’, (2)
managed floating exchange rate ‘sistem nilai tukar mengambang
terkendali’, dan (3) floating exchange rate ‘sistem nilai tukar
mengambang’. Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu
mata uang terhadap mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu; misalnya,
nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika adalah Rp. 8000 per
dolar. Pada nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk menjual atau
membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang
ditetapkan. Apabila nilai tukar tersebut tidak lagi dapat dipertahankan,
maka bank sentral dapat melakukan devaluasi ataupun revaluasi atas nilai
tukar yang ditetapkan. 11
Penetapan nilai tukar pada sistem nilai tukar tetap tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama dikenal dengan pegged
to a currency, yakni nilai tukar ditetapkan dengan mengkaitkan langsung
terhadap mata uang tertentu. Cara kedua disebut pegged to a basket of
currency, yaitu nilai tukar ditetapkan dengan mengkaitkan terhadap
sejumlah mata uang tertentu, dengan bobot masing-masing mata uang
yang umumnya disesuaikan dengan besarnya hubungan perdagangan dan
investasi. Selain itu, terdapat penetapan nilai tukar yang dikaitkan
langsung pada mata uang tertentu dan dijamin dengan cadangan devisa
yang dimiliki oleh bank sentral, atau disebut dengan currency board
system.
Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak
sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar.
Dengan demikian, nilai tukar akan menguat apabila terjadi kelebihan
penawaran di atas permintaan, dan sebaliknya nilai tukar akan melemah
11
Devaluasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara untuk secara
sepihak menurunkan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lain.
Sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan untuk menaikkan nilai tukar mata uang negara
tersebut terhadap mata uang lain. Kebijakan devaluasi/revaluasi biasanya dilakukan dalam
rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara. Dengan asumsi
tidak adanya counter-devaluation ’tindakan devaluasi balasan’ dari negara pesaing, serta
dengan memperhitungkan kondisi-kondisi tertentu, kebijakan devaluasi dalam jangka
pendek dapat meningkatkan daya saing sehingga merangsang kegiatan ekspor.

10
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

apabila terjadi kelebihan permintaan di atas penawaran yang ada di pasar


valuta asing.
Selain kedua sistem tersebut di atas, terdapat variasi sistem nilai tukar
diantara keduanya, seperti sistem nilai tukar mengambang terkendali.
Dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali ini, nilai tukar ditentukan
sesuai mekanisme pasar sepanjang dalam intervention band ‘batas pita
intervensi’ yang ditetapkan bank sentral.12
Masing-masing sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Pemilihan sistem yang diterapkan akan tergantung pada situasi
dan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan, khususnya besarnya
cadangan devisa yang dimiliki, keterbukaan ekonomi, sistem devisa yang
dianut (bebas, semi terkontrol, atau terkontrol), dan besarnya volume pasar
valuta asing domestik.
Sistem nilai tukar tetap mempunyai kelebihan karena adanya kepastian
nilai tukar bagi pasar. Tetapi, sistem ini membutuhkan cadangan devisa
yang besar karena keharusan bagi bank sentral untuk mempertahankan
nilai tukar pada level yang ditetapkan. Selain itu, sistem ini dapat
mendorong kecenderungan dunia usaha untuk tidak melakukan hedging
‘perlindungan nilai’ valuta asingnya terhadap risiko perubahan nilai tukar.
Sistem ini umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan
devisa besar, dengan sistem devisa yang masih relatif terkontrol.
Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang bebas mempunyai
kelebihan dengan tidak perlunya cadangan devisa yang besar karena bank
sentral tidak harus mempertahankan nilai tukar pada suatu level tertentu.
Akan tetapi, nilai tukar yang terlalu berfluktuasi dapat menambah
ketidakpastian bagi dunia usaha. Sistem ini umumnya diterapkan di negara
yang mempunyai cadangan devisa relatif kecil sementara sistem devisa
yang dianut cenderung bebas.
Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental
dan non fundamental. Faktor fundamental tercermin dari variabel-variabel
12
Apabila nilai tukar menembus batas atas atau batas bawah dari pita intervensi, secara
otomatis bank sentral akan membeli atau menjual devisa yang diperlukan oleh pasar
sehingga nilai tukar bergerak dalam batas kisaran intervensi. Penetapan lebarnya kisaran
intervensi tergantung pada besarnya cadangan devisa yang dimiliki serta kemungkinan
kebutuhan yang terjadi di pasar. Umumnya, hal ini akan disesuaikan dari waktu ke waktu
sesuai dengan perkembangan cadangan devisa dan volume transaksi di pasar valuta asing.

11
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, perkembangan


ekspor impor, dan sebagainya.13 Sementara itu, faktor nonfundamental
antara lain berupa sentimen pasar terhadap perkembangan social politik,
faktor psikologi para pelaku pasar dalam “memperhitungkan” informasi,
rumors, atau perkembangan lain dalam menentukan nilai tukar sehari-
hari.

Sistem Devisa
Devisa merupakann aset keuangan yang digunakan dalam transaksi
internasional. Penetapan sistem devisa pada suatu negara ditujukan untuk
mengatur pergerakan lalu lintas devisa antara penduduk dan bukan
penduduk dari suatu negara ke negara lain. Pada dasarnya ada tiga sistem
devisa, yaitu: (i) sistem devisa terkontrol, (ii) sistem devisa semi terkontrol,
dan (iii) sistem devisa bebas. Pemilihan sistem devisa mana yang dianut
akan tergantung pada kondisi negara yang bersangkutan, khususnya
keterbukaan ekonominya dalam arti seberapa jauh negara yang
bersangkutan ingin mengintegrasikan ekonominya dengan ekonomi
global.
Pada sistem devisa terkontrol, devisa pada dasarnya dimiliki oleh
negara. Karena itu, setiap perolehan devisa oleh masyarakat harus
diserahkan kepada negara, dan setiap penggunaan devisa harus
memperoleh izin dari negara. Pada sistem devisa semi terkontrol,
kewajiban penyerahan dan izin dari negara diterapkan untuk perolehan
dan penggunaan devisa-devisa tertentu, sementara jenis devisa lainnya

13
Ada berbagai pendekatan dalam teori keuangan internasional untuk menentukan nilai
tukar secara fundamental, antara lain:
• Teori Purchasing Power Parity (PPP). Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar suatu
mata uang dengan mata uang negara lain pada dasarnya menggambarkan perbedaan tingkat
inflasi di kedua negara. Dengan kata lain, teori PPP menyatakan PPP = e P*/P = 1, dimana
e adalah nilai tukar, P* adalah inflasi negara lain, dan P adalah inflasi dalam negeri.
• Real Effective Exchange Rate (REER), yang menyatakan bahwa nilai tukar suatu mata
uang dipengaruhi oleh perkembangan inflasi dari negara-negara mitra dagang utama.
Dengan kata lain, teori REER menyatakan REER = S w e P*/P = 1, dimana w merupakan
bobot perdagangan dengan masing-masing negara mitra dagang utama.
• Fundamental Effective Exchange Rate (FEER), yang menggunakan pendekatan model
ekonomi makro struktural untuk menghitung nilai tukar keseimbangan yang sesuai dengan
perkembangan variabel-variabel ekonomi lainnya.

12
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

dapat secara bebas diperoleh dan dipergunakan. Pada sistem devisa bebas,
masyarakat dapat secara bebas memperoleh dan menggunakan devisa.14

Sistem Nilai Tukar, Sistem Devisa, dan Kebijakan Moneter


Pada dasarnya, pemilihan sistem nilai tukar dan sistem devisa, serta
independensi pelaksanaan moneter merupakan tiga isu strategis yang
menjadi fokus kajian di bidang moneter. Umumnya, dipahami bahwa
apabila suatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap dan terjadi aliran
dana luar negeri masuk/keluar, maka kebijakan moneter harus tetap
diarahkan untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan moneter sulit dilaksanakan secara
independen karena kebijakan moneter akan diarahkan untuk menyerap
atau menambah jumlah uang beredar yang berasal dari aliran dana dari
dan ke luar negeri. Sebaliknya, apabila suatu negara menerapkan sistem
nilai tukar mengambang, maka kebijakan moneternya tidak ditujukan
untuk mempertahankan nilai tukar sehingga kebijakan moneter dapat
dilaksanakan dengan lebih independen.
Dalam hal diterapkan sistem devisa terkontrol, maka mobilitas aliran
dana dari dan ke luar negeri cenderung berkurang sehingga dapat
mendukung pelaksanaan kebijakan moneter yang independen. Hal ini
disebabkan bank sentral tidak perlu melakukan ekspansi atau kontraksi
jumlah uang beredar yang berasal dari aliran dana dari dan ke luar negeri.
Sementara itu, dalam hal diterapkan sistem devisa bebas, maka mobilitas
aliran dana dari dan ke luar negeri akan semakin meningkat. Sebagai
akibatnya bank sentral harus melakukan ekspansi atau kontraksi jumlah
uang beredar yang berasal dari aliran dana dari dan ke luar negeri. Dengan
demikian, hal ini dapat mengurangi independensi pelaksanaan kebijakan
moneter.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan kebijakan
moneter yang independen, sistim nilai tukar tetap, dan sistem devisa bebas
tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Kondisi tersebut dikenal

14
Namun demikian, dalam praktek di kebanyakan negara-negara yang menerapkan sistem
devisa bebas, masih terdapat kewajiban bagi masyarakat untuk melaporkan perolehan dan
penggunaan devisa.

13
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

dengan istilah impossible trinity.15 Namun, beberapa studi empiris


menyimpulkan bahwa hanya dua dari tiga kondisi di atas dapat diterapkan
bersama.16

Kerangka Strategis Kebijakan Moneter


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan kebijakan yang ingin
dicapai baik oleh kebijakan moneter maupun kebijakan makro pada
umumnya adalah pencapaian stabilitas ekonomi makro, seperti stabilitas
harga (rendahnya laju inflasi), pertumbuhan ekonomi, serta tersedianya
lapangan/kesempatan kerja. Semua sasaran tersebut di atas sulit dicapai
secara bersamaan karena seringkali pencapaian sasaran-sasaran akhir
tersebut bersifat kontradiktif. Misalnya, usaha untuk mendorong tingkat
pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya
dapat mendorong peningkatan harga sehingga pencapaian stabiltas
ekonomi makro tidak optimal.
Menyadari kontradiksi pencapaian sasaran tersebut, bank sentral
dihadapkan dua alternatif. Pilihan pertama adalah memilih salah satu
sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya,
misalnya, memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan
mengabaikan tingkat inflasi. Pilihan kedua adalah semua sasaran
diusahakan untuk dapat dicapai, tetapi tidak ada satu pun yang dicapai

15
Menurut asumsi teoritis yang dikemukakan Robert Mundell dalam bukunya International
Economics (1968), terdapat impossible trinity ‘ketidaksesuaian antara pencapaian tiga
trinitas secara bersamaan’, yaitu stabilitas nilai tukar, mobilitas aliran dana luar negeri,
dan independensi kebijakan moneter. “Overtime, the three goals cannot be attained
simultaneously” (hlm. 147). Pengamatan empiris umumnya juga membuktikan bahwa hanya
dua saja dari tiga faktor tersebut yang dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya kecenderungan/konsensus internasional yang
mendorong mobilitas aliran dana luar negeri, maka terdapat trade-off antara pencapaian
stabilitas nilai tukar dan independensi kebijakan moneter.
16
Secara teoritis, apabila diterapkan sistem nilai tukar yang tetap dalam kondisi
perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi,
kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara independen, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Dengan kata lain, untuk dapat melaksanakan kebijakan moeneter secara
independen dalam kondisi derajat keterbukaan perekonomian sangat tinggi, perkembangan
nilai tukar harus cukup fleksibel. Apabila sistem nilai tukar tetap yang menjadi pilihan,
kebijakan moneter dapat dilaksanakan secara independen; namun, hal tersebut harus
didukung oleh upaya pengendalian aliran dana luar negeri yang sedemikian ketat sehingga
mobilitas dana luar negeri dapat dibatasi agar dapat tidak mengganggu pelaksanaan
kebijakan moneter.

14
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

secara optimal; misalnya, menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak


terlalu tinggi demi tetap terpeliharanya tingkat inflasi sesuai dengan yang
ditetapkan. Menyadari kelemahan tersebut, dewasa ini beberapa negara
secara bertahap telah bergeser menerapkan kebijakan moneter yang lebih
memfokuskan pada sasaran tunggal, yaitu stabilitas harga.
Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan
kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai
dengan indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor ‘dasar
acuan/jangkar’ atau semacam “sasaran antara” dalam mencapai tujuan
akhir. Beberapa strategi pelaksanaan kebijakan moneter tersebut, antara
lain: (i) exchange rate targeting ‘penargetan nilai tukar’, (ii) monetary
targeting ‘penargetan besaran moneter’, (iii) inflation targeting
‘penargetan inflasi’, (iv) implicit but not explicit anchor ‘strategi kebijakan
moneter tanpa jangkar yang tegas’.17

a. Penargetan nilai tukar


Terdapat tiga alternatif dalam penargetan nilai tukar sebagai strategi
pelaksanaan kebijakan moneter. Pertama, dengan menetapkan nilai mata
uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara
internasional, seperti emas (standar emas). Kedua, dengan menetapkan
nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang
mempunyai laju inflasi yang rendah. Ketiga, dengan menyesuaikan nilai
mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu, ketika perubahan
nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi di
antara kedua negara (crawling peg).
Kelebihan dari penargetan nilai tukar antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, penargetan nilai tukar dapat meredam laju inflasi yang berasal
dari perubahan harga barang-barang impor. Kedua, penargetan nilai tukar
dapat mengarahkan inflation expectation ‘ekspektasi masyarakat terhadap
inflasi’. Ketiga, penargetan nilai tukar merupakan strategi kebijakan moneter
dengan pendekatan rules yang dapat mendisiplinkan pelaksanaan kebijakan
17
Uraian selengkapnya mengenai hasil pengamatan empiris dari penerapan beberapa strategi
pelaksanaan kebijakan moneter di beberapa negara dapat dilihat di Miskhin, F.S.,
“International Experiences with Different Monetary Policy Regimes”, Journal of Monetary
Economics, 43 (1999).

15
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

moneter. Keempat, penargetan nilai tukar bersifat cukup sederhana dan


jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Di samping kelebihan-kelebihan di atas, penerapan strategi ini juga
mempunyai kelemahan sebagai berikut. Pertama, penargetan nilai tukar
dalam kondisi ketika perekonomian suatu negara sangat terbuka dan
mobilitas dana luar negeri sangat tinggi, kebijakan moneter tidak dapat
dilakukan secara independen. Kedua, penargetan nilai tukar dapat
menyebabkan setiap gejolak struktural yang terjadi di negara tertentu akan
ditransmisikan atau berdampak secara langsung pada stabilitas
perekonomian domestik. Ketiga, penargetan nilai tukar rentan terhadap
tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik.

b. Penargetan besaran moneter


Pada banyak negara, penargetan nilai tukar bukan menjadi pilihan
utama dari strategi kebijakan moneternya karena tidak ada suatu negara
yang mata uangnya secara meyakinkan dapat dijadikan sebagai acuan
dalam penetapan strategi kebijakan oleh negara lain. Untuk itu, beberapa
negara lebih memilih penargetan besaran moneter, yaitu dengan
menetapkan pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara,
misalnya, uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2),
serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter
dibandingkan dengan penargetan nilai tukar adalah dimungkinkannya
kebijakan moneter yang independen sehingga bank sentral dapat
memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang
rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Sebagaimana penargetan nilai tukar, penargetan besaran moneter
memungkinkan masyarakat segera mengetahui stance ‘arah’ kebijakan
moneter yang ditempuh oleh bank sentral. Sinyal tersebut diharapkan dapat
mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi yang akan terjadi
serta megurangi tekanan inflasi. Strategi ini sangat bergantung pada
kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir
kebijakan (perkembangan harga dan output). Dengan semakin
berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya
perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan

16
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

tersebut menjadi terganggu, seperti tercermin pada ketidakstabilan income


velocity ‘tingkat perputaran uang’. Hal ini antara lain yang menjadi alasan
mengapa bank sentral tidak menerapkan strategi ini dengan kaku, atau
bahkan meninggalkan strategi ini.

c. Penargetan inflasi
Dengan melemahnya hubungan antara besaran moneter dan sasaran
akhir dari kebijakan moneter, banyak negara mulai mengadopsi penargetan
inflasi dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Penargetan inflasi
dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi
jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas
harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Dengan
mentargetkan inflasi sebagai jangkar nominal, bank sentral dapat menjadi
lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai
tujuan akhir.18
Walaupun penargetan dilakukan pada inflasi, strategi ini tidak
mengabaikan pencapaian tujuan kebijakan moneter lainnya seperti
perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral
senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan
output dan kesempatan kerja (pada tingkat tertentu) dalam jangka pendek.
Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan
output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi
jangka menengah menuju ke arah sasaran laju inflasi jangka panjang yang
lebih rendah.

d. Strategi kebijakan moneter tanpa “jangkar” yang tegas


Dalam rangka mencapai kinerja perekonomian yang memuaskan
(termasuk inflasi yang rendah dan stabil), strategi kebijakan moneter dapat
dilakukan tanpa menerapkan penargetan secara tegas, tetapi tetap
memberikan perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan akhir
kebijakan moneter. Sebagai salah satu contoh kasus adalah bank sentral

18
Uraian lebih detail mengenai kerangka kerja inflation targeting akan disampaikan secara
khusus pada bagian lain dari buku ini.

17
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Amerika Serikat yang tidak menyebutkan secara tegas mengenai jangkar


nominal yang digunakan.
Walaupun di Amerika Serikat strategi ini telah berhasil, tetapi strategi
ini dianggap kurang terbuka/transparan, sehingga masyarakat cenderung
mereka-reka maksud dan tujuan kebijakan yang dikeluarkan oleh bank
sentral. Hal ini dapat memicu ketidakpastian di pasar mengenai prospek
perkembangan harga dan output. Ketidaktegasan strategi tersebut juga
dapat menurunkan akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat dan
parlemen karena tidak adanya kriteria keberhasilan pencapaian kebijakan
moneter yang umumnya ditentukan terlebih dahulu.

Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter


Penjelasan tentang kerangka strategis kebijakan moneter pada bagian
sebelumnya belum membahas bagaimana kebijakan moneter dapat
mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan ekonomi riil secara
keseluruhan. Untuk itu, perlu dipahami terlebih dahulu proses atau
mekanisme transmisi pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan
ekonomi riil, atau secara singkat disebut mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Secara spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary
policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation”.
Dalam literatur ekonomi moneter, kajian mengenai mekanisme
transmisi kebijakan moneter umumnya mengacu pada peranan uang dalam
perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Quantity Theory of
Money ‘Teori Kuantitas Uang’. Teori ini pada dasarnya menggambarkan
kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang
sistematis antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi, yang
dinyatakan dalam suatu identitas yang dikenal sebagai “The Equation of
Exchange”:
MV = PT
dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat
perputaran uang /income velocity (V) sama dengan jumlah output atau
transaksi ekonomi/output riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P).
Dengan kata lain, dalam keseimbangan, jumlah uang beredar yang

18
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama


dengan jumlah output yang, dihitung dengan harga yang berlaku, yang
ditransaksikan (PT).19
Berdasarkan mekanisme transmisi ini, dalam jangka pendek,
pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan
output riil. Selanjutnya, dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah
uang beredar akan mendorong kenaikan harga (inflasi), yang pada
gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan output riil menuju
posisi semula. Dalam keseimbangan jangka panjang, pertumbuhan jumlah
uang beredar tidak berpengaruh pada pekembangan output riil, tetapi
mendorong kenaikan laju inflasi secara proposional. Jalur moneter yang
bersifat langsung ini dianggap tidak dapat menjelaskan pengaruh faktor-
faktor selain uang terhadap inflasi, seperti suku bunga, nilai tukar, harga
aset, kredit, dan ekspektasi. Dalam perkembangan selanjutnya, selain jalur
moneter langsung, mekanisme transmisi pada umumnya juga dapat terjadi
melalui lima jalur lainnya, yaitu direct monetary channel ‘jalur moneter
langsung’, interest rate channel ‘jalur suku bunga’, exchange rate channel
‘jalur nilai tukar’, assets price channel ‘jalur harga aset’, credit channel
‘jalur kredit’, dan expectation channel ‘jalur ekspektasi’.20 Dalam praktek,
transmisi kebijakan moneter masing-masing negara berbeda antara satu
dengan yang lainnya, tergantung pada perbedaan struktur perekonomian,
perkembangan pasar keuangan, dan sistem nilai tukar yang dianut.

a. Jalur suku bunga


Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui
19
Untuk melihat hubungan antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi, terdapat
dua asumsi yang dipakai. Pertama, perkembangan tingkat perputaran uang (V) cukup stabil,
atau paling tidak dapat diprediksi. Kebenaran dari asumsi ini merupakan pertanyaan empiris.
Kedua, dalam jangka panjang, perkembangan output atau transaksi ekonomi riil (T) pada
umumnya dapat dianggap konstan dan tidak dipengaruhi oleh perkembangan jumlah uang
beredar (long-run money neutrality); namun, dipengaruhi oleh perkembangan sisi penawaran
dalam perekonomian, seperti jumlah dan produktivitas tenaga kerja, ketersediaan modal,
dan kemajuan teknologi.
20
Untuk uraian selengkapnya, lihat Bank for International Settlements, The Transmission
Mechanism of Monetary Policy in Developing Economies, January 1997 dan Kakes, J.,
Monetary Transmission in Europe: the Role of Financial Market and Credit, Edward Elgar,
2000.

19
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Diagram 1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Suku Bunga

Kebijakan Moneter Investasi/


Suku Bunga Biaya Modal konsumsi

Jumlah Uang Beredar

perubahan suku bunga. Dalam hal ini, pengaruh perubahan suku bunga
jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah/panjang
melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaan dan penawaran di
pasar uang.21 Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi
cost of capital ‘biaya modal’, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari
permintaan agregat.

b. Jalur nilai tukar


Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa
pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran
dan permintaan agregat, dan selanjutnya output dan harga. Besar kecilnya
pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang
dianut oleh suatu negara. Misalnya, dalam sistem nilai tukar mengambang,
kebijakan moneter ekspansif oleh bank sentral akan mendorong depresiasi
mata uang domestik dan meningkatkan harga barang impor. Hal ini
Diagram 2.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai Tukar

Kebijakan Moneter Harga Harga


Nilai Tukar
Relatif Impor

Jumlah Uang Beredar


Permintaan
Agregat

21
Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky prices), perubahan suku
bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral akan
mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan demikian,
dengan kekakuan harga tersebut, kebijakan moneter ekspansif akan mendorong penurunan
suku bunga riil jangka pendek, yang selanjutnya mendorong penurunan suku bunga riil
jangka panjang.

20
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

selanjutnya akan mendorong kenaikan harga barang domestik, walaupun


tidak terdapat ekspansi di sisi permintaan agregat.22 Sementara itu, dalam
sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh kebijakan moneter
pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin lemah (dengan
time lag ‘tenggat waktu’ yang panjang), terutama apabila terdapat substitusi
yang tidak sempurna antara aset domestik dan aset luar negeri.

c. Jalur harga aset


Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset menekankan bahwa
kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset dan kekayaan
masyarakat, yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran investasi dan
konsumsi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif,
maka hal tersebut akan mendorong peningkatan suku bunga, dan pada
gilirannya akan menekan harga aset perusahaan (market value). Penurunan
harga aset dapat berakibat pada dua hal. Pertama, mengurangi kemampuan
perusahaan untuk melakukan ekspansi. Kedua, menurunkan nilai kekayaan
dan pendapatan, yang pada gilirannya mengurangi pengeluaran konsumsi.
Secara keseluruhan, kedua hal tersebut berdampak pada penurunan
pengeluaran agregat.
Diagram 3.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Harga Aset

Kebijakan Moneter Harga Aset Investasi/


Suku Bunga Konsumsi

Jumlah Uang Beredar

d. Jalur kredit
Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi
dua jalur. Pertama, bank lending channel ‘jalur pinjaman bank’ yang
menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank,
khususnya sisi aset. Kedua, balance sheet channel ‘jalur neraca perusahaan’
yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan
22
Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui
perubahan permintaan agregat (indirect pass-through).

21
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Diagram 4.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Kredit

Kebijakan Moneter Liabilitas Ketersediaan


Bank Kredit Bank
Jumlah Uang Beredar
Investasi

Suku Bunga/ Nilai Bersih Pemberian


Harga saham Perusahaan Kredit Bank

perusahaan, dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk


mendapatkan kredit.
Menurut jalur pinjaman bank, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga
merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Apabila bank sentral melaksanakan kebijakan moneter kontraktif,
misalnya, melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral,
cadangan yang ada di bank akan mengalami penurunan sehingga loanable
fund ‘dana yang dapat dipinjamkan’ oleh bank akan mengalami penurunan.
Apabila hal tersebut tidak diatasi dengan melakukan penambahan dana/
pengurangan surat-surat berharga, maka kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman akan menurun. Kondisi ini menyebabkan
penurunan investasi dan selanjutnya mendorog penurunan output.
Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan
moneter yang dilakukan oleh bank sentral akan mempengaruhi kondisi
keuangan perusahaan. Dalam hal ini, apabila bank sentral melakukan
kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun,
yang mendorong harga saham mengalami peningkatan. Sejalan dengan
peningkatan tersebut, nilai bersih perusahaan (networth) akan meningkat,
yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard
oleh perusahaan.23 Kondisi ini mendorong peningkatan pemberian kredit
23
Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi ekonomi, masing-
masing individu memiliki informasi yang berbeda /asimetris mengenai beberapa aspek
yang terkait dengan kualitas produk yang ditransaksikan. Dengan kondisi tersebut, individu
yang memiliki informasi lebih dapat memperoleh keuntungan lebih besar dari negosiasi
yang dilakukan. Sementara itu, moral hazard merujuk pada situasi ketika pelaku ekonomi
yang satu tidak mengetahui tindakan yang diambil oleh pelaku ekonomi lainnya (yang
tersembunyi). Ketidaktahuan mengenai perilaku yang tersembunyi (hidden action) tersebut

22
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

oleh bank, selanjutnya meningkatkan investasi, dan pada akhirnya


meningkatkan output.

e. Jalur ekspektasi
Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan
ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut
mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan
konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan
permintaan agregat dan inflasi.

Diagram 5.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Ekspektasi

Kebijakan Moneter Ekspektasi Inflasi/ Keputusan


Kegiatan Ekonomi Investasi/Konsumsi
Jumlah Uang Beredar

Kerangka Operasional Kebijakan Moneter


Pada bagian sebelumnya telah dibahas kerangka strategis dan
mekanisme transmisi kebijakan moneter terhadap pencapaian sasaran akhir
antara lain stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan
kesempatan kerja. Selanjutnya untuk mengetahui lebih jelas mengenai
kebijakan moneter diperlukan pemahaman mengenai kerangka operasional
kebijakan moneter. Pada umumnya kerangka kebijakan moneter terdiri
dari instrumen, sasaran operasional, sasaran antara, serta sasaran akhir.
Sasaran antara diperlukan karena untuk mencapai sasaran akhir yang
ditetapkan, terdapat tenggat waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter
dan hasil pencapaian sasaran akhir.24 Oleh karena itu, diperlukan adanya
indikator-indikator yang lebih segera dapat dilihat untuk mengetahui
dapat menyebabkan dimungkinkannya pengambilan keputusan yang salah, dan pada
gilirannya memungkinkan hasil yang tidak baik.
24
Dalam literatur ekonomi moneter, time lag ‘tenggat waktu’ terdiri dari beberapa bagian,
antara lain yaitu inside lag dan outside lag. Inside lag terdiri dari recognition lag, decision
lag, dan action lag.

23
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

indikasi kebijakan yang biasa disebut sasaran antara. Sasaran antara yang
dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran akhir.
Beberapa pilihan sasaran antara yang dapat digunakan antara lain besaran
moneter seperti M1 , M2, atau kredit dan suku bunga.
Selanjutnya, untuk mencapai sasaran antara bank sentral memerlukan
sasaran-sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat
berjalan sesuai dengan rencana. Sasaran operasional yang dipilih harus
memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara dapat dikendalikan
otoritas moneter, dan informasi tersedia lebih awal daripada sasaran antara.
Beberapa pilihan sasaran operasional yang dapat digunakan antara lain
adalah uang primer (M0) dan suku bunga jangka pendek.
Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh
bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah
ditetapkan. Beberapa pilihan instrumen yang digunakan antara lain adalah
open market operation ‘operasi pasar terbuka’, reserve requirement
‘cadangan wajib minimum’, discount facility ‘fasilitas diskonto’, dan
moral suasion ‘imbauan’.25
Rangkaian langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan
sasaran akhir, pemantauan variabel-variabel ekonomi-keuangan yang
dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter, hingga pelaksanaan
pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir tersebut
disebut kerangka operasional kebijakan moneter. Perlu dikemukakan
bahwa dalam praktek, penggunaan sasaran antara tergantung pada
pendekatan oprasional apa yang digunakan oleh bank sentral, yaitu apakah
pendekatan berdasarkan kuantitas besaran moneter (quantity-based
approach) atau pendekatan berdasarkan harga besaran moneter/suku bunga
(price-based approach). Umumnya, pendekatan berdasarkan kuantitas
menggunakan sasaran antara secara tegas. Sementara itu, pendekatan
berdasarkan harga umumnya tidak menggunakan sasaran antara secara
tegas; namun, pengaruh perubahan sasaran operasional ditransmisikan
pada perubahan sasaran akhir melalui perkembangan beragam information

25
Uraian yang lebih komprehensif mengenai keberadaan instrumen pengendalian moneter
terdapat pada Buku Seri Kebenksentralan No. 3: Instrumen-instrumen Pengendalian
Moneter, oleh Ascarya, PPSK Bank Indonesia (2002)

24
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

variables yang berfungsi sebagai indikator leading dari perkembangan


kegiatan ekonomi dan tekanan inflasi, misalnya, ekspektasi inflasi dan
suku bunga jangka panjang.
Secara ilustratif, kerangka opersional kebijakan moneter melalui kedua
pendekatan tersebut, yang mencerminkan keterkaitan antara instrumen,
sasaran operasional, dan sasaran antara, dan sasaran akhir, dapat
digambarkan sebagai berikut.26

Diagram 6.
Kerangka Transmisi Operasional dengan Pendekatan Kuantitas

Instrumen Sasaran Sasaran Sasaran


Operasional Antara Akhir

- Operasi pasar terbuka - Uang primer (M0) - Besaran moneter - Stabilitas harga
- Cadangan wajib minimum - Reserve bank (M1, M2, kredit) - Pertumbuhan Ek.
- Fasilitas diskonto - Suku bunga - Kesempatan kerja
- Imbauan

Diagram 7.
Kerangka Operasional dengan Pendekatan Harga

Instrumen Sasaran Sasaran


Operasional Variabel-variabel Akhir
informasi

- Operasi pasar terbuka - Suku bunga - Stabilitas harga


- Cadangan wajib minimum (pasar uang/jk.pendek) - Pertumbuhan Ek.
- Fasilitas diskonto - Kesempatan kerja
- Imbauan

26
Junggun Oh., ”Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules
in Korea”, Economic Paper, Vol.2, No.1, March 1999, Bank of Korea (dimodifikasi).

25
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Boks 1 : Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi:


Perbedaan Pemikiran Monetarist vs Keynesian

Perbedaan pendapat antara kelompok Keynesian dan Monetarist


pada dasarnya menyangkut keberadaan sumber-sumber yang
mendorong perkembangan permintaan agregat serta perilaku
penawaran agregat. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berpendapat
bahwa permintaan agregat semata-mata dipengaruhi oleh
perkembangan uang beredar dan bahwa pengaruh perkembangan
uang beredar terhadap permintaan agregat adalah stabil. Kelompok
Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar di dalam
perekonomian dapat berjalan secara otomatis sehingga harga-harga
dapat segera menyesuaikan (naik atau turun) apabila terjadi
perbedaan (lebih besar atau lebih kecil) antara permintaan dan
penawaran di pasar.
Kelompok Keynesian memandang bahwa permasalahan dalam
suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak
hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan
ekonomi, tetapi juga variabel-variabel lain. Di sisi lain, kelompok
Keynesian berasumsi bahwa terjadi sejumlah kekakuan dalam
bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian, misalnya,
karena adanya kontrak kerja antara majikan dan pekerja atau
pengaturan harga sejumlah komoditas oleh pemerintah. Dengan
kondisi ini, apabila terjadi shocks ‘kejutan’ dalam perekonomian,
misalnya, karena adanya kebijakan moneter secara yang aktif
melakukan pelonggaran atau pengetatan, maka dalam jangka pendek
pertumbuhan ekonomi riil akan terpengaruh, meskipun pada
akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga
akan terpengaruh.
Hubungan antara uang, dalam berbagai bentuk dan definisinya,
dengan kegiatan perekonomian, khususnya pertumbuhan ekonomi
dan inflasi, telah menjadi topik perdebatan antara kelompok
Keynesian dan Monetarist sepanjang sejarah teori ekonomi moneter.

26
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

Kelompok Monetarist, berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh


pada tingkat inflasi dan tidak pada pertumbuhan ekonomi.
Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter harus diarahkan hanya
untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa dipergunakan untuk
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Lebih lanjut lagi, pelaksanaan
kebijakan moneter tersebut perlu dilakukan dengan rules yang
dibakukan dan diarahkan untuk mengendalikan inflasi. Kebijakan
moneter tidak dapat dipergunakan secara aktif mempengaruhi
kegiatan ekonomi riil, dalam arti dapat dilonggarkan apabila sektor
riil sedang lesu dan diketatkan apabila terjadi peningkatan kegiatan
ekonomi secara berlebihan.
Di sisi lain, kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil di samping pengaruhnya
terhadap inflasi. Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter dapat
dipergunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk secara
aktif mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan
kata lain, bank sentral mempunyai discretion untuk mempergunakan
kebijakan moneter secara aktif membantu upaya-upaya untuk
mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan
ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat
dilonggarkan sehingga jumlah uang beredar dalam perekonomian
bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.
Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan
cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga
terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi dapat
terkendali.
Dengan latar belakang pemikiran yang berkembang dalam teori
ekonomi moneter, pandangan yang lebih dominan akan tergantung
pada kondisi yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Tidak
ada satu teori ataupun pandangan yang sesuai dan dapat
menggambarkan sepenuhnya kondisi di semua negara, karena
perbedaan yang terjadi baik pada bekerjanya mekanisme pasar, sistem
perekonomian, ataupun cara-cara otoritas dalam melaksanakan
kebijakan moneter. Dengan demikian, pernyataan mengenai

27
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

pandangan mana yang sesuai pada suatu perekonomian, apakah


Monetarist atau Keynesian, senantiasa menjadi suatu pertanyaan
empiris meskipun hasil pengujian di banyak negara dapat memberikan
kesimpulan umum mengenai kecenderungan-kecenderuangan yang
terjadi.

Boks 2 : Penentuan Respons Kebijakan Moneter:


Rules vs Discretion

Pada dasarnya, alternatif penentuan respons kebijakan moneter


dapat dilakukan dengan menggunakan rules atau dengan
menggunakan discretion. Secara analitis, Barro dan Gordon (1983)
menguraikan bahwa penetapan instrumen kebijakan moneter
berdasarkan pola rules (rule-based policy) dilakukan dengan
merespons kondisi yang sedang terjadi, sebagaimana telah
diperhitungkan dalam formulasi penetapan instrumen kebijakan yang
telah dilakukan sebelumnya. Sebaliknya, penetapan instrumen
kebijakan moneter berdasarkan pola discretion (discretion-based
policy) lebih mendasarkan pada evaluasi dari waktu ke waktu yang
memperhitungkan kondisi yang sedang berlangsung, serta
menganggap perkembangan dan kebijakan masa lalu sebagai suatu
yang tidak relevan. Sementara itu, Taylor (1993) menjelaskan bahwa,
berbeda dengan discretion-based policy, perilaku penetapan rule-
based policy adalah sistematis, dalam arti ‘berdasarkan metodologi
dan perencanaan’, bukan berdasarkan langkah yang bersifat kasual
dan acak. Salah satu contoh dari rules yang secara umum diketahui
diajukan pertama kali oleh Friedman (1960), yaitu pertumbuhan uang
beredar yang konstan (constant money growth). Per definisi, setiap
penyimpangan dari pola ini digolongkan pada discretion.
Konsensus yang diambil setelah melalui perdebatan panjang di
antara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua pola
penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat

28
Gambaran Umum Kebijakan Moneter

menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pola


discretion. Di sisi lain, beberapa pola rules diyakini sebagai suatu
prasarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga
penerapan kebijakan tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin
akan menimbulkan konsekuensi yang sebaliknya.
Secara tradisional, saat ini para ekonom lebih memfokuskan
pengamatan terhadap dua jenis rules.
(1)Money growth ‘pertumbuhan uang beredar’ rules yang dipelopori
oleh McCallum (1988). Rules ini merupakan pengembangan rules
yang diajukan oleh Friedman dengan menyertakan mekanisme
feedback ‘umpan-balik’ dalam melakukan koreksi secara bertahap
terhadap kesalahan yang terjadi pada masa lalu.
(2)Interest rate ‘suku bunga’ rules yang dipelopori oleh Taylor (1993).
Rules ini juga menyertakan mekanisme feedback, yaitu bahwa bank
sentral mengubah suku bunga dengan mendasarkan pada deviasi
perkembangan inflasi dan output terhadap tingkat yang ditargetkan.
Jenis rules manakah yang sebaiknya dipilih masih merupakan
permasalahan yang belum terjawab.27 Namun, umumnya telah
disepakati bahwa rule-based policy dapat diterapkan dengan
mempertimbangkan discretion tertentu.Demikian pula sebaliknya,
walaupun suatu kondisi ideal terpenuhi, disarankan agar penerapan
kebijakan discretion memperhitungkan komponen rules.28

27
Kajian komprehensif mengenai keberadaan policy rules dalam pelaksanaan kebijakan
moneter disampaikan dalam Monetary Policy Rules, NBER Conference Report, J.B. Taylor
(Ed.)The University of Chicago Press, 1999.
28
Dalam perkembangannya, sejak awal tahun 1980an debat “rules versus discretion” lebih
mengacu pada argumen baru yang mengetengahkan adanya permasalahan
“ketidakkonsistenan” (“time inconsistency” problem) dalam penerapan strategi kebijakan.
Time-inconsistency problem merujuk pada adanya perbedaan langkah kebijakan (yang
optimal) yang telah diumumkan oleh bank sentral kepada masyarakat — jika bank sentral
mempunyai kredibilitas yang baik — dengan langkah kebijakan yang akan dilakukan oleh
bank sentral setelah masyarakat mengambil suatu keputusan berdasarkan ekspektasinya.
Misalnya, bank sentral mengumumkan janjinya untuk mencapai target inflasi tertentu, dan
masyarakat melakukan kontrak atau kesepakatan kerja berdasarkan pengumuman tersebut.
Dalam kondisi ini, bank sentral mempunyai insentif untuk tidak memenuhi janjinya dengan
mencari kemungkinan untuk mencapai pertumbuhan output yang lebih besar, dengan

29
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Kebijakan Moneter di Indonesia

Bagian sebelumnya telah mengulas kebijakan moneter ditinjau dari aspek


teoretis. Pada bagian ini akan dipaparkan perkembangan kebijakan moneter
di Indonesia. Pada bagian pertama akan dibahas kebijakan moneter sejak
awal kemerdekaan hingga masa sebelum krisis ekonomi tahun 1997.
Bagian selanjutnya akan membahas kebijakan moneter terkini dengan
ulasan yang lebih lengkap, mencakup kerangka, mekanisme transmisi,
proses perumusan, dan mekanisme pengendalian moneter di Indonesia.
Bagian terakhir akan membahas kebijakan nilai tukar dan devisa.

Kebijakan Moneter Periode Pre-Krisis Ekonomi 1997


Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi
sesuai dengan pasang-surut perkembangan ekonomi dan iklim politik
bangsa Indonesia. Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan kebijakan moneter tidak hanya karena kebijakan moneter
itu diarahkan untuk mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro,
khususnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena
perkembangan ekonomi akan menentukan bagaimana reaksi Bank
Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya. Secara
khusus, perkembangan sektor keuangan sangat mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan moneter karena mekanisme transmisi kebijakan
moneter pada dasarnya terjadi melalui sektor keuangan, sesuai dengan
fungsinya dalam intermediasi keuangan. Sementara itu, perjalanan politik
bangsa Indonesia secara langsung maupun tidak langsung juga
menyebabkan terjadinya pergeseran peranan Bank Indonesia. Hal ini
terutama karena pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk
kebijakan moneter, tidak dapat dilepaskan dari tatanan dan iklim politik
suatu negara. Dengan kata lain, pelaksanaan kebijakan moneter sering
konsekuensi terjadinya tekanan inflasi yang lebih tinggi. Namun, pada akhirnya, masyarakat
akan mengetahui hal tersebut sehingga mereka menyesuaikan atau menetapkan ekspektasi
terhadap laju inflasi yang lebih tinggi yang berakibat pada terhambatnya perkembangan
output riil. Apabila rangkaian kejadian tersebut berulang, maka akan terjadi “bias inflasi”
(inflationary bias), situasi ketika peningkatan output riil tidak terjadi sementara tekanan
inflasi semakin tinggi.

30
Kebijakan Moneter di Indonesia

kali dikaitkan dengan pelaksanaan agenda politik pemerintah yang


berkuasa, khusunya di negara-negara yang sedang berkembang.

a. Periode 1945 – 1952


Pada awal kemerdekaan, untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia
mengambil keputusan untuk mendirikan bank sirkulasi berbentuk bank
milik negara, dan dalam pelaksanaannya berupa pendirian Bank Negara
Indonesia (BNI) dan Bank rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 1946. Kedua
bank milik negara tersebut dan beberapa bank swasta yang ditunjuk
pemerintah melaksanakan penukaran mata uang Hindia Belanda dan
Jepang dengan mata uang Republik Indonesia (ORI) yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia. Tujuan pengeluaran/pengedaran ORI tersebut
adalah untuk menggantikan peranan mata uang Hindia Belanda dan
Jepang dalam perekonomian Indonesia.
Dalam perjalanannya, penggunaan ORI hanya mencapai usia 3 tahun
5 bulan, sebelum akhirnya ditarik dari peredaran dan diganti dengan uang
De Javasche Bank. De Javasche Bank akhirnya diputuskan sebagai bank
sentral pada penyerahan kedaulatan Indonesia pada pemerintah Republik
Indonesia Serikat. Beberapa waktu setelah pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche
Bank melalui Undang-Undang Nasionalisasi De Javasche Bank pada
tanggal 6 Desember 1951.

b. Periode tahun 1953 – 1967


Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia
sebagai pengganti Javasche Bank wet tahun 1922. Dengan undang-undang
tersebut dibentuklah Dewan Moneter, dan Menteri Keuangan bertindak
sebagai Ketua, sementara Menteri Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia
bertindak sebagai anggota. Dewan Moneter mempunyai berbagai tugas
dan kewenangan yang terkait erat dengan upaya-upaya untuk
mengendalikan kondisi moneter, antara lain menentuan kebijakan moneter
secara umum, mengatur dan menstabilkan mata uang, serta memajukan
urusan kredit dan perbankan pada umumnya .

31
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Dengan dibelakukannya UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank


Indonesia, tuntutan yang sangat besar diarahkan kepada Bank Indonesia
untuk ikut serta secara aktif dalam menata dan mengembangkan
perekonomian nasional yang pada waktu itu mengalami banyak
permasalahan. Fokus dari peran yang diinginkan banyak terkait dengan
fungsi Bank Indonesia sebagai bank sirkulasi. Tantangan terbesar pada
masa ini adalah menyatukan mata uang yang pada waktu telah banyak
beredar dan berbeda-beda di berbagai wilayah Indonesia. Karena itu, Bank
Indonesia dituntut untuk menerbitkan mata uang baru, rupiah, sebagai
satu-satunya alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah negara
Indonesia menggantikan mata-mata uang yang ada di masing-masing
daerah. Satu hal yang menarik adalah bahwa nilai pembanding atau paritas
yang digunakan untuk penukaran mata uang suatu daerah dengan mata
uang rupiah didasarkan pada perkiraan jumlah uang beredar sesuai dengan
kebutuhan perekonomian daerah yang bersangkutan. Inilah merupakan
contoh kongkrit bagaimana peran bank sirkulasi dan kebijakan moneter
yang dilakukan Bank Indonesia, yang tidak saja sesuai dengan kondisi
perekonomian yang pada waktu itu masih relatif tradisional, tetapi juga
diarahkan untuk mendukung persatuan dan kesatuan negara yang baru
merdeka.
Pada masa awal berdirinya, Bank Indonesia, selain berfungsi sebagai
bank sirkulasi, juga berperan sebagai bank komersial dengan memberikan
kredit langsung kepada pihak swasta, pemerintah, dan yayasan-yayasan
pemerintah, selain kredit kepda bank-bank dan badan-badan perkreditan
lainnya. Sementara itu, dengan mulai tertatanya mekanisme peredaran
uang, perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya keinginan kuat
dari Pemerintah agar Bank Indonesia berperan lebih aktif dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi. Inilah yang kemudian dikenal dengan
peran Bank Indonesia sebagai agen pembangunan. Pada prinsipnya, bentuk
dari peran tersebut ada dua. Pertama, bentuk pembiayaan oleh Bank
Indonesia terhadap defisit anggaran pemerintah yang pada waktu relatif
besar dan tidak terkontrol karena besarnya kepentingan politik pada waktu
itu. Perlu dikemukakan bahwa defisit anggaran pemerintah tersebut
dibiayai dengan pencetakan uang. Kedua, bentuk pembiayaan secara
langsung oleh Bank Indonesia dalam sejumlah kegiatan ekonomi. Dalam
kondisi tersebut, Bank Indonesia praktis telah melaksanakan tekanan

32
Kebijakan Moneter di Indonesia

kebijakan moneter ekspansif yang sebagian besar bersumber pada upaya


pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Namun, dari sektor perbankan,
dampak penciptaan uang telah dibatasi melalui penetapan reserve
requirement, yaitu rasio jumlah cadangan minimum terhadap jumlah
kewajiban lancarnya yang wajib dipelihara oleh bank-bank, sebesar 30%
pada tahun 1957.
Perkembangan politik pada waktu itu telah cenderung menimbulkan
ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter, yang dicerminkan
oleh peningkatan yang berlebihan pencetakan uang untuk pembiayaan
defisit anggaran sebgai akibat kebijakan fiskal yang ekspansif. Keiinginan
yang kuat untuk menyenangkan rakyat telah mendorong pemerintah
menempuh kebijakan fiskal tanpa mengindahkan prinsip-prinsip kehati-
hatian, yang cenderung membutuhkan pengeluaran anggaran yang besar
dan menyebabkan membengkaknya defisit anggaran pemerintah.
Demikian pula, pembangunan proyek-proyek mercusuar atau pengeluaran
untuk militer merupakan contoh konkrit yang terjadi pada waktu itu.
Kondisi seperti ini telah menimbulkan melonjaknya uang beredar jauh
melebihi dari kebutuhan riil perekonomian sehingga mendorong naiknya
harga-harga secara tajam. Akibatnya, laju inflasi membumbung tinggi
hingga mencapai sekitar 600% pada tahun 1965, yang dikenal dengan
periode hyperinflation.

c. Periode 1968 – 1997


Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi (1968 – 1972)
Pengalaman selama periode sejak awal kemerdekaan sampai dengan
pertengahan tahun 1960-an memberikan pelajaran penting mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan moneter
dan fiskal. Pertama, bahwa kebijakan fiskal harus mampu mengendalikan
defisit anggaran pada batas-batas yang wajar. Untuk itu, pengeluaran
anggaran harus diseleksi secara ketat dan diprioritaskan pada jenis-jenis
pengeluaran yang mampu mendorong kegiatan ekonomi riil, dan
karenanya pengeluaran-pengeluaran yang cenderung kurang strategis dan
berlebihan harus dihindarkan. Kedua, bahwa kebijakan moneter tidak
boleh dipergunakan untuk membiayai defisit anggaran pada sisi kebijakan

33
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

fiskal. Kebijakan moneter harus tetap difokuskan pada pengendalian


inflasi, dan karenanya pencetakan uang untuk membiayai defisit anggaran
pemerintah akan mengancam kestabilan harga dan kestabilan moneter
secara keseluruhan. Ketiga, bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
perlu dikoordinasikan secara baik, dengan tetap berpegang pada prinsip
independensi masing-masing instansi, agar terjadi sinergi kedua kebijakan
tersebut dalam menjaga stabilitas ekonomi untuk berlangsungnya
pembangunan secara berkelanjutan.
Pada masa selanjutnya, yaitu sejak akhir tahun 1960-an, perkembangan
ekonomi dan keuangan terus berkembang. Pada awalnya, kebijakan
Pemerintah lebih diprioritaskan untuk pemulihan stabilitas ekonomi yang
sempat terancam pada pertengahan tahun 1960-an. Pengeluaran anggaran
diseleksi secara ketat, defisit anggaran pemerintah dikendalikan, dan
pembiayaan diupayakan dari pinjaman lunak luar negeri sehingga tidak
mengancam stabilitas ekonomi, khususnya untuk pengendalian inflasi.
Di sisi moneter, pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran
pemerintah dihentikan dan jumlah uang beredar dikendalikan. Upaya ini
dibarengi dengan penyediaan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan
masyarakat. Dengan penegakan disiplin baik di sisi fiskal maupun di sisi
moneter tersebut, stabilitas ekonomi dapat secara cepat dipulihkan, seperti
terlihat dengan menurunnya secara drastis laju inflasi hingga di bawah
10%, sehingga kepercayaan untuk pemulihan kegiatan ekonomi dapat
terbangun dengan baik. Dengan keberhasilan pemulihan stabilitas ekonomi
ini, Pemerintah kemudian mulai melakukan perencanaan pembangunan
nasional, baik dalam jangka panjang, menengah, dan pendek, sehingga
kegiatan perekonomian nasional secara berangsur-angsur mulai tertata
dan mengalami peningkatan.
Penataan ekonomi, khususnya di sektor moneter dan perbankan lebih
dimantapkan dengan dikeluarkannya UU No.13 Tahun 1968 tentang
Bank Sentral. Dalam hal ini, tugas Bank Indonesia adalah membantu
pemerintah dalam dua hal, yaitu pertama mengatur, menjaga, dan
memelihara stabilitas nilai rupiah dan kedua mendorong kelancaran
produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat. Kebijakan moneter dirumuskan oleh
Dewan Moneter dan Bank Indonesia melakukan tugas kebijakan moneter

34
Kebijakan Moneter di Indonesia

sesuai dengan keputusan Dewan Moneter.


Perlu dikemukakan, di satu sisi, pengaturan kelembagaan seperti ini
mempunyai nilai positif karena terintegrasi dan terkoordinirnya kebijakan
moneter dengan kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi makro lainnya.
Namun, di sisi lain pengaturan seperti ini mengaburkan fokus tugas,
disiplin, dan tanggung jawab masing-masing instansi dalam perumusan
dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Tidak ada check and balance antara
kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan ekonomi makro
lainnya. Lebih jauh lagi, pengaturan kelembagaan seperti ini
memungkinkan masih dimanfaatkan kebijakan moneter untuk pembiayaan
fiskal sehingga prinsip kehati-hatian dan disiplin kebijakan ekonomi makro
kurang dapat terjamin.

Periode pertumbuhan ekonomi dengan hasil minyak (1973 – 1982)


Peningkatan kegiatan perekonomian nasional kemudian mengalami
dorongan lebih lanjut dengan hasil minyak yang meningkat khususnya
pada awal dekade 1970-an. Ditemukannya ladang-ladang minyak di
Indonesia telah memberikan sisi positif dan negatif. Di satu sisi, hasil
minyak telah memberikan limpahan rezeki bagi penerimaan negara
sehingga dapat dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan di sisi fiskal. Dengan peran aktif dan
cenderung dominan oleh pemerintah, kebijakan fiskal telah
memungkinkan untuk mendorong kegiatan ekonomi riil. Namun, di sisi
lain peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran
pemerintah telah menyebabkan ekspansi jumlah uang beredar dari sisi
fiskal. Kondisi ini mengharuskan kebijakan moneter untuk melakukan
penyerapan ekspansi moneter dari sisi fiskal tersebut agar tidak
menimbulkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat
meningkatkan laju inflasi.
Dengan latar belakang tersebut, pada tahun 1974 Pemerintah mulai
menempuh kebijakan kredit selektif dari sisi moneter. Tujuannya adalah
agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga laju inflasi dapat tetap
terjaga. Hal ini terutama dilakukan dengan pengaturan terhadap besarnya
ekspansi kredit yang diperbolehkan oleh perbankan, atau yang sering

35
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto. Jadi, setiap tahun Bank
Indonesia menyusun rencana ekspansi kredit secara nasional dengan
menghitung berapa jumlah uang beredar yang sesuai dengan perkiraan
laju inflasi dan pertumbuhan output. Kemudian bank-bank diminta untuk
menyampaikan rencana kredit kepada Bank Indonesia untuk kemudian
ditetapkan pagu kredit setahun ke depan untuk masing-masing bank. Pagu
individual bank tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar untuk
penyaluran kredit likuiditas yang disediakan Bank Indonesia sesuai dengan
sektor/program yang sudah ditetapkan.
Meskipun kehidupan sektor perbankan kurang bergairah akibat
kelangkaan sumber dana karena menurunnya penghimpunan dana
masyarakat dan adanya pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan
investasi terus berlanjut, khusunya yang dilakukan oleh pemerintah.
Selanjutnya, untuk memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada bank-
bank dalam pemanfaatan dana terutama dalam pemberian kreditnya kepada
sektor swasta, Bank Indonesia pada tahun 1978 menurunkan reserve
requirement bank-bank dari 30% menjadi 15%.

Periode deregulasi, debirokratisai, dan liberalisasi ekonomi (1983 – 1997)


Pada awal dekade 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak di pasar
dunia sebagai akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Hal
ini telah menyebabkan terbatasnya penerimaan negara untuk pembiayaan
Anggaran Penrimaan dan Belanja Negara (APBN). Dominasi Pemerintah
dalam menopang peningkatan kegiatan ekonomi tidak dapat lagi
dipertahankan, dan akibatnya kelangsungan pembangunan nasional
terancam. Karena itu, Pemerintah kemudian menempuh serangkaian
kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi ancaman krisis
karena merosotnya harga minyak tersebut. Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan, mendorong, dan meningkatkan peran sektor swasta dalam
setiap aspek kehidupan ekonomi untuk menggantikan peran Pemerintah
dalam rangka mempertahankan pembangunan nasional. Karena itu, sejak
awal dekade 1980-an Pemerintah menempuh kebijakan deregulasi,
debirokratisasi, dan bahkan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi, baik
sektor perbankan dan keuangan, perdagangan, investasi, dan sebagainya.

36
Kebijakan Moneter di Indonesia

Pada 1 Juni 1983 Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi


perbankan, yang menandai era liberalisasi di sektor perbankan khususnya
dan sektor keuangan pada umumnya. Kebijakan ini telah mendorong
begitu pesatnya perkembangan sektor perbankan dan keuangan di
Indonesia. Hal ini tidak saja dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi,
besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk
giro, tabungan dan deposito, tetapi juga dalam bentuk kredit dan jenis
pembiayaan lainnya yang disediakan oleh perbankan untuk dunia usaha.
Demikian pula di pasar keuangan, terjadi perkembangan yang pesat baik
dari sisi volume transaksi keuangan maupun berbagai produk keuangan
(saham, obligasi, surat-surat berharga, dan produk-produk derivatif) yang
diperdagangkan. Dengan perkembangan seperti ini, semakin banyak dana
yang berputar di sektor keuangan dan mempengaruhi keeratan hubungan
antara uang, inflasi, dan output dibanding dengan periode sebelumnya.
Kondisi ekonomi, khususnya sektor keuangan, seperti ini telah
membawa implikasi mendasar pada pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia. Kebijakan moneter yang sebelumnya dilakukan secara
langsung dengan selective credit policy mulai beralih ke cara-cara tidak
langsung dan berorientasi pasar, antara lain dengan melakukan operasi di
pasar uang (operasi pasar terbuka) untuk mengendalikan likuiditas
perekonomian. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar
(M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran
operasional. Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mulai diterbitkan pada tahun 1984
sebagai instrumen utama kebijakan moneter. Pengendalian likuiditas juga
dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah dengan cara memberi
pinjaman jangka pendek antara overnight hingga tujuh hari. Operasi di
pasar uang dimaksud diarahkan untuk mencapai sasaran operasional uang
primer tersebut untuk diarahkan agar sasaran antara jumlah uang beredar
(M1 dan M2) tetap terkendali sesuai dengan perkiraan yang telah
ditetapkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk mendorong kegiatan
ekonomi dalam negeri dalam menghadapi persaingan global, pada 1988
pemerintah mengeluarkan paket kebijakan 27 Oktober 1988, yang secara
umum merupakan paket penyempurnaan kebijakan di bidang keuangan,

37
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

moneter, dan perbankan.29 Dalam hubungannya dengan upaya peningkatan


efektivitas pengendalian moneter, langkah-langkah yang ditempuh antara
lain adalah penurunan reserve requirement dari 15% menjadi 2%. Selain
itu, di bidang perbankan, dilakukan penciptaan iklim persaingan yang
lebih kondusif melalui perlonggaran izin pendirian bank-bank baru dan
bank campuran. Kebijakan deregulasi yang cukup longgar tersebut telah
mengakibatkan perkembangan yang sangat pesat sektor perbankan dan
keuangan di Indonesia.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar
keuangan di Indonesia tersebut, timbul permasalahan baru dalam
pelaksanaan kebijakan moneter, khususnya berkaitan dengan uapaya
pengendalian jumlah uang beredar (M1 dan M2). Operasi dan produk
perbankan baik dalam memobilisasi dana maupun dalam pembiayaan
dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro, tabungan, deposito,
ataupun kredit, tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai bentuk
instrumen pasar uang seperti negotiable certificate of deposits, commercial
papers, promissory notes, Automated Teller Machines (ATMs), dan
sebagainya. Di sisi lain, perkembangan pasar modal sendiri juga telah
demikian pesat, baik dalam bentuk volume transaksi maupun jesnis surat-
surat berharga yang diperdagangkan. Akibatnya, terjadi kecenderungan
adanya decoupling ‘pelepasan’ keterkaitan antara sektor keuangan dan
sektor riil, sehingga menyebabkan semakin renggangnya hubungan antara
uang beredar dengan inflasi dan output riil, khususnya dalam jangka
pendek.
Selain itu, sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran
dana yang masuk ke perekonomian Indonesia, khususnya pinjaman luar
negeri swasta, demikian besar dan pesat. Hal ini juga memanfaatkan
periode boom dalam perekonomian Indonesia dan didukung oleh
gelombang globalisasi di sektor keuangan, perdagangan, dan investasi
yang demikian pesat pada waktu itu. Di satu sisi, besarnya aliran dana
luar negeri tersebut mampu menutup kesenjangan tabungan-investasi

29
Perkembangan ekonomi yang kurang sehat sempat terjadi pada tahun 1987, saat
masyarakat melakukan spekulasi mata uang asing karena memperkirakan akan dilakukan
devaluasi oleh pemerintah. Untuk mengatasi perkembangan tersebut pemerintah mengambil
langkah kebijakan yang dikenal dengan “Gebrakan Sumarlin”, yang mengakibatkan
penurunan likuiditas perbankan yang tajam dan meredanya kegiatan spekulasi.

38
Kebijakan Moneter di Indonesia

(saving-investment gap) sehingga dapat mendorong peningkatan


pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun, di sisi lain
aliran dana luar negeri tersebut juga kemudian menimbulkan sejumlah
permasalahan. Dana luar negeri tersebut pada umumnya berupa pinjaman
luar negeri swasta, berjangka pendek, tidak memperhitungakn risiko
perubahan nilai tukar, dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-
proyek swasta yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa.
Dari sisi moneter, besar dan mobilitas aliran dana luar negeri tersebut
juga mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.
Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang
berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi
dan kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan
kelebihan likuditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan
suku bunga dalam negeri. Namun, kenaikan suku bunga ini semakin
mendorong masuknya aliran dana luar negeri tersebut, khususnya dalam
bentuk surat-surat berharga yang berjangka pendek. Akibatnya, seperti
telah kita ketahui bersama, jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam
berbagai bentuk dan jangka waktunya semakin membesar. Kondisi ini
diperburuk lagi dengan tidak dijalankan proyek-proyek swasta yang
dibiayai dari pinjaman luar negeri tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
pengelolaan usaha yang sehat (good corporate governance) sehingga
menjadi penyebab utama dari krisis sejak tahun 1997.

Kebijakan Moneter Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997


Krisis yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah menimbulkan
berbagai permasalahan yang demikian sulit dan kompleks di berbagai
bidang. Krisis yang mulanya berasal dari krisis moneter telah berubah
cepat menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, krisis politik, sehingga
menjadi “krisis multi-dimensi”. Salah satu pemicu utama krisis tersebut
adalah terjadinya kelangkaan dana perbankan sebagai akibat penarikan
dana oleh masyarakat yang sangat besar. Ditambah dengan semakin
melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS, kepercayaan masyarakat
terhadap rupiah semakin berkurang sehingga nilai tukar rupiah terus
mengalami penurunan yang sangat tajam. Untuk mencegah kehancuran
sektor perbankan, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke sektor

39
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

perbankan dalam jumlah yang sangat besar, yang selanjutnya berakibat


pada melonjaknya laju inflasi. Di sisi lain, Bank Indonesia harus menyerap
kelebihan likuiditas di masyarakat melalui kebijakan moneter kontraktif,
yang berakibat pada naiknya suku bunga dan persoalan lain di pasar
keuangan secara keseluruhan.
Kondisi krisis tersebut menunjukkan bahwa dalam pembangunan
nasional yang dilaksanakan pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi
mengandung banyak kelemahan struktur dan sistem perekonomian yang
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan atau distorsi ekonomi.
Kondisi ini telah menyebabkan lemah dan tidak sehatnya struktur
perekonomian nasional. Di sisi lain, perkembangan ekonomi internasional
mengalami perubahan yang cepat dan mendasar menuju kepada sistem
ekonomi global yang ditandai dengan semakin terintegrasinya pasar
keuangan dunia yang memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri
disertai dengan semakin ketatnya persaingan di dunia internasional. Selain
menguntungkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,
pergerakan aliran dana luar negeri juga meningkatkan kerentanan
perekonomian nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
diupayakan pemecahannya yang sekaligus dapat meletakkan landasan
perekonomian nasional yang kukuh melalui strategi pembangunan yang
tepat dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu
bersaing di kancah perekonomian internasional.
Guna mewujudkan perekonomian yang kukuh tersebut perlu diadakan
penyesuaian berbagai kebijakan ekonomi yang selama ini telah ditempuh
di Indonesia. Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian
penting dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih
diarahkan kepada upaya untuk menciptakan dan menjaga stabilitas
moneter. 30 Temuan empiris dari pengalaman berbagai negara, dan
pengalaman selama ini di Indonesia seperti telah diuraikan pada bagian-
bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa kebijakan moneter akan lebih
optimal apabila difokuskan pada pemeliharaan stabilitas moneter. Dengan

30
Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral
yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam
mencapai multiple objectives ‘beberapa tujuan’, yaitu mengatur, menjaga, dan memelihara
stabilitas nilai rupiah, dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.

40
Kebijakan Moneter di Indonesia

terfokusnya tujuan kebijakan moneter, maka tanggung jawab, tujuan,


dan tugas Bank Indonesia menjadi lebih jelas dan terarah.
Dari sisi kelembagaan, seperti telah disinggung sebelumnya,
keberadaan Dewan Moneter pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi
menjadikan status dan peranan Bank Indonesia dipandang tidak sesuai
lagi dalam menghadapi tuntutan perkembangan dan dinamika
perekonomian nasional dan internasional dewasa ini dan di masa yang
akan datang. Keberadaan Dewan Moneter mengakibatkan perumusan,
penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan
oleh Bank Indonesia menjadi tidak fokus dan independen. Oleh sebab
itu, diperlukan landasan hukum yang baru, yang memberikan status,
tujuan, dan tugas yang sesuai kepada Bank Indonesia selaku bank sentral.
Bebagai permasalahan yang diuraikan di atas melandasi
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai
pengganti UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dalam landasan
hukum yang baru ini Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih fokus,
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.31 Kestabilan nilai
rupiah merupakan sebagian prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan yang pada gilirannya akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Reorientasi sasaran Bank Indonesia
tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi
perekonomian untuk keluar dari krisis ekonomi yang tengah melanda
Indonesia. Hal itu sekaligus meletakkan landasan yang kokoh bagi
pelaksanaan dan pengembangan perekonomian Indonesia di tengah-tengah
perekonomian dunia yang semakin kompetitif dan terintegrasi. Sebaliknya,
kegagalan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah seperti tercermin pada
kenaikan harga-harga dapat merugikan karena berakibat menurunkan
pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing perekonomian
nasional dalam perekonomian dunia.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia melaksanakan tiga
tugas pokok, yaitu: (i) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

31
Secara teoritis, stabilitas nilai rupiah mempunyai makna ganda, yaitu stabilitas harga
barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga mata uang domestik (nilai
tukar). Sebagian pendapat menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pencapaian stabilitas
harga pada gilirannya akan mendorong stabilitas nilai tukar.

41
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

(ii) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta (iii)


mengatur dan mengawasi sistem perbankan.32 Pada dasarnya, pelaksanaan
ketiga tugas ini mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian
kestabilan nilai rupiah. Misalnya, efektivitas pelaksanaan tugas kebijakan
moneter memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat,
aman, dan andal. Sementara itu, sistem pembayaran yang efisien, cepat,
aman dan andal tersebut juga tergantung pada sistem perbankan yang
sehat. Selain itu, sistem perbankan yang sehat juga akan mendukung
efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter mengingat mekanisme
transmisi kebijakan moneter ke kegiatan ekonomi riil terutama
berlangsung melalui sistem perbankan.
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia mempunyai wewenang untuk menetapkan sasaran-sasaran
moneter dan melakukan pengendalian moneter dengan cara-cara antara
lain: (i) operasi pasar terbuka, (ii) penetapan tingkat diskonto, (iii)
penetapan cadangan wajib minimum, dan (iv) pengaturan kredit atau
pembiayaan.
Terkait dengan hal tersebut di atas, efektivitas pelaksanaan kebijakan
moneter sangat tergantung pada sistem nilai tukar dan sistem devisa yang
dipilih. Untuk itu, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk
melaksanakan kebijakan nilai tukar dan pengelolaan cadangan devisa yang
sejalan dengan tujuan kebijakan moneter dalam rangka mendukung
kesinambungan pelaksanaan pembangunan ekonomi.

Kerangka Strategis Kebijakan Moneter


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kebijakan moneter pada
dasarnya merupakan langkah-langkah yang ditempuh bank sentral, yang
antara lain dapat berupa pengendalian jumlah uang beredar dan suku
bunga dalam rangka mencapai sasaran akhir. Sasaran akhir kebijakan
moneter pada dasarnya dapat berupa kestabilan nilai mata uang dan
pertumbuhan ekonomi. Namun, akhir-akhir ini semakin banyak bank

32
Uraian lengkap mengenai kebijakan dan sistem pengawasan perbankan serta kebijakan
dan sistem pembayaran di Indonesia akan disampaikan pada buku seri kebank sentralan
lain.

42
Kebijakan Moneter di Indonesia

sentral yang memfokuskan pada pencapaian sasaran stabilitas harga atau


laju inflasi.33
Sesuai dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tujuan
Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah.
Dalam hal ini, kestabilan nilai rupiah mempunyai dua dimensi, yaitu
kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa (disebut dengan inflasi)
dan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain (disebut dengan
nilai tukar atau kurs rupiah). Dalam sistem nilai tukar mengambang yang
dianut saat ini, nilai tukar rupiah ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran di pasar valuta asing, dan karenanya Bank Indonesia tidak
menargetkan atau berupaya untuk mengarahkan perkembangan nilai tukar
rupiah pada tingkat tertentu. Untuk itu, sasaran akhir Bank Indonesia lebih
diarahkan pada pencapaian laju inflasi yang rendah sesuai dengan kondisi
perekonomian nasional.
Walaupun sasaran akhir kebijakan moneter lebih diarahkan pada
pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia tidak akan membiarkan
perkembangan nilai tukar rupiah di pasar bergerak secara bergejolak dan
menimbulkan ketidak-pastian. Berkaitan dengan itu, Bank Indonesia
menempuh langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dengan
dua pertimbangan utama, yaitu: (i) kestabilan nilai tukar rupiah diperlukan
untuk memberikan kepastian dalam perekonomian, dan (ii) nilai tukar
rupiah yang bergejolak dan merosot drastis akan menyulitkan Bank
Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkannya.
Dalam mencapai sasaran akhir laju inflasi tersebut, secara periodik Bank
Indonesia memantau perkembangan berbagai variabel ekonomi riil,
moneter, dan keuangan untuk meyakinkan bahwa sasaran inflasi yang telah
ditetapkan dapat dicapai. Pemantauan terhadap variabel ekonomi riil
dilakukan baik dari sisi permintaan (konsumsi, investasi, ekspor-impor baik
swasta maupun pemerintah) maupun sisi penawaran (seluruh sektor
ekonomi). Dengan pemantauan variabel-variabel tersebut diharapkan dapat
diketahui secara dini kemungkinan tekanan terhadap inflasi ke depan. 34
33
Hal ini seiring dengan semakin banyaknya studi empiris dalam teori ekonomi-moneter
yang membuktikan bahwa dalam jangka menengah-panjang “inflation is a monetary
phenomenon”.
34
Secara teknis, pemantauan dilakukan baik terhadap data-data statistik maupun hasil-hasil
survei yang menunjukkan kecenderungan perkembangan dari variabel ekonomi riil

43
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Sementara itu, pemantauan terhadap variabel-variabel moneter dan


keuangan sebagai sasaran antara dilakukan untuk menentukan berjalannya
mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Transmisi kebijakan
moneter pada umumnya berjalan melalui beberapa jalur, yaitu jalur uang,
jalur kredit, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur
ekspektasi inflasi. Untuk itu, Bank Indonesia memantau terus
perkembangan sasaran antara yang mencakup besaran-besaran moneter
(M1 dan M2), suku bunga, dan nilai tukar rupiah. Sedangkan variabel-
variabel sektor keuangan mencakup perkembangan dana perbankan, kredit
dan pembiayaan lain, kondisi kesehatan perbankan dan pasar modal.
Melalui pemantauan tersebut dapat dianalisis seberapa jauh pengaruh
kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia, khususnya kecepatan
dan tenggat waktu terhadap perkembangan ekonomi riil dan inflasi ke
depan. Dengan pemantauan terhadap perkembangan sektor riil dan
berjalannya mekanisme transmisi moneter seperti dijelaskan di atas, dapat
dirumuskan kebijakan moneter yang perlu ditempuh dalam rangka
mengantisipasi perkembangan inflasi dan output riil ke depan.
Berdasarkan uraian di atas, kebijakan moneter yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah diterapkan dengan
menggunakan berbagai strategi. Strategi kebijakan yang ditempuh tidak
hanya terbatas pada penargetan sasaran antara yang berupa besaran
moneter, tetapi juga memperhatikan perkembangan indikator-indikator
lainnya seperti suku bunga dan nilai tukar.

Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter


Mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia sampai saat ini
masih terus dikaji. Beberapa hasil kajian pendahuluan menyimpulkan
bahwa transmisi kebijakan moneter jalur moneter langsung melalui uang
primer (M0) dan uang beredar (M1 dan M2) masih dipandang cukup

dimaksud. Perkembangan sektor fiskal (realisasi APBN) dan neraca pembayaran juga
dipantau terus. Selain analisis terhadap perkembangan atau kecenderungan yang terjadi,
penyusunan proyeksi juga dilakukan dengan sejumlah model-model ekonomi makro yang
dikembangkan di Bank Indonesia. Kesemuanya dilakukan untuk menentukan
kecenderungan tekanan-tekanan yang terjadi terhadap perkembangan output, khususnya
output gap ‘kesenjangan output’, yaitu perbedaan antara permintaan dan penawaran
aggregat.

44
Kebijakan Moneter di Indonesia

relevan di Indonesia. Kajian terkini yang telah dilakukan menghasilkan


beberapa temuan penting mengenai bekerjanya beberapa jalur transmisi
kebijakan moneter lain di Indonesia pada periode sebelum dan sesudah
krisis ekonomi 1997.35 Secara umum, hasil kajian juga memperlihatkan
bahwa bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh perubahan struktural dan kebijakan ekonomi
keuangan.
Pada periode sebelum krisis, sejalan dengan liberalisasi sektor
keuangan di Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan
aliran modal luar negeri masuk yang sangat tinggi yang pada akhirnya
mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi ini, jalur suku
bunga bekerja cukup baik dalam mentransmisikan pengaruh kebijakan
moneter pada perubahan suku bunga simpanan dan pinjaman. Namun,
perubahan suku bunga tersebut kurang direspon oleh pengeluaran investasi
dan konsumsi karena tingginya pertumbuhan ekonomi dan melimpahnya
ketersediaan dana yang berasal dari luar negeri. Sementara itu, jalur
pinjaman bank pada periode sebelum krisis kurang efektif dalam
mempengaruhi penyaluran kredit. Demikian pula, jalur nilai tukar tidak
begitu kuat perananannya mengingat pada periode sebelum krisis
Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dalam
kondisi ini pergerakan nilai tukar tidak cukup signifikan mempengaruhi
perkembangan output riil dan harga (pass-through effects).
Pada periode setelah krisis, berbagai perubahan yang terjadi dalam
perekonomian dan peralihan sistem nilai tukar dari sistem mengambang
terkendali menjadi sistem mengambang/fleksibel, mempunyai implikasi
terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Dalam
kondisi ini, jalur nilai tukar menjadi salah satu jalur penting dalam
mentransmisikan pengaruh kebijakan moneter pada kegiatan ekonomi riil
dan harga. Demikian pula halnya dengan jalur ekspektasi yang terlihat
mempunyai peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi
perkembangan inflasi, tetapi perilaku ekspektasi inflasi masih dipengaruhi
secara kuat oleh inertia ‘kelembaman’ perkembangan harga dan
pergerakan nilai tukar. Jalur suku bunga masih bekerja dengan baik, tetapi
35
Untuk kajian selengkapnya baca Transmission Mechanisms of Monetary Policy in
Indonesia, Perry Warjiyo dan Juda Agung (Editor), Directorate of Economic Research and
Monetary Policy, Bank Indonesia, 2002.

45
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

perilakunya sangat tergantung pada kondisi perbankan secara keseluruhan


dan tingginya derajat ketidakpastian ekonomi. Hasil kajian juga
menunjukkan tentang bekerjanya mekanisme transmisi melalui jalur kredit
(pinjaman bank).
Perlu dikemukakan bahwa pengujian empiris tentang mekanisme
transmisi kebijakan moneter yang telah dikemukakan di atas belum
menghasilkan kesimpulan yang bersifat final tentang jalur transmisi mana
yang sesuai sebagai dasar formulasi kebijakan moneter. Secara tidak
langsung, terlihat bahwa jalur suku bunga dan nilai tukar relatif bisa
menjelaskan dengan lebih baik proses transmisi tersebut dibandingkan
dengan jalur agregat moneter dan kredit. Namun, fakta tentang masih
bekerjanya jalur transmisi lewat agregat moneter menyarankan untuk tidak
mengabaikan bekerjanya jalur transmisi melalui agregat moneter. 36

Kerangka Operasional Kebijakan Moneter


Proses operasional pengendalian moneter diawali dengan penyusunan
monetary programming ‘program moneter’. Program moneter pada
dasarnya merupakan suatu perencanaan kebijakan pengendalian jumlah
uang beredar yang ditujukan untuk mencapai sasaran akhir kebijakan
moneter. Program moneter ini mencakup penentuan sasaran operasional
kebijakan moneter.37 Selanjutnya, Bank Indonesia menetapkan langkah-
langkah yang harus dilakukan serta menetapkan instrumen yang akan
dipergunakan untuk mempengaruhi sasaran operasional tersebut.

36
Sejalan dengan hasil tersebut Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan
antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara
uang beredar dengan inflasi. Penelitian lain yang pernah dilakukan pada periode sebelum
krisis menunjukkan bahwa jalur suku bunga merupakan channel yang penting untuk
perekonomian Indonesia dan menyarankan penggunaan paradigma baru bagi kerangka
kebijakan moneter berdasarkan jalur suku bunga (baca Sarwono dan Warjiyo, 1998, atau
Warjiyo dan Zulverdi, 1998). Namun, meski jalur suku bunga lebih efektif mempengaruhi
inflasi dibanding dengan jalur agregat moneter, penelitian yang sama masih mengakui
eksistensi jalur kuantitas agregat moneter. Kedua jalur utama transmisi tersebut tidak harus
dilihat sebagai suatu substitusi. Artinya, penyusunan kerangka kebijakan moneter
berdasarkan suatu jalur transmisi tertentu tidak berarti harus mengabaikan sama sekali
jalur transmisi yang lain. Karena itu, Bank Indonesia terus melakukan berbagai penelitian
untuk mengkaji mekanisme transmisi yang paling efektif untuk diterapkan.
37
Dalam penyusunan program moneter, penentuan sasaran operasional dilakukan dengan
memperhitungkan beberapa asumsi sebagai berikut:

46
Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam pelaksanaanya, hingga saat ini Bank Indonesia masih


menggunakan uang primer sebagai sasaran operasional.38 Instrumen
moneter yang dipergunakan untuk mempengaruhi sasaran operasional
tersebut adalah Operasi Pasar Terbuka (OPT), Fasilitas Diskonto, Giro
Wajib Minimum (GWM), ataupun Imbauan. Instrumen OPT dilakukan
melalui lelang surat-surat berharga, yang ditujukan untuk menambah atau
mengurangi likuiditas di pasar uang. Sementara itu, fasilitas diskonto
adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada bank-bank dengan tingkat
diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. GWM merupakan jumlah
alat likuid minimum yang wajib dipelihara oleh bank di Bank Indonesia.
Selanjutnya imbauan digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar
semua bank-bank dapat mengikuti langkah kebijakan moneter yang
diinginkan Bank Indonesia.
Dengan pengendalian uang primer (M0) sebagai sasaran operasional,
maka jumlah uang beredar di masyarakat (M1 dan M2) dapat dipengaruhi
agar sejalan dengan sasaran akhir kebijakan moneter berupa kestabilan
harga. Pelaksanaan kebijakan moneter dengan menggunakan target
besaran moneter (M0, M1, dan M2) disebut dengan pendekatan kuantitas
(quantity-based approach). Penggunaan pendekatan kuantitas tersebut

Diagram 8.

Sasaran Sasaran Antara


Instrumen Operasional (Uang Beredar Kestabilan
(OPT, GWM, dll) (Uang Primer) M1, M2) Harga

a) Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan investasi, dll.)
akan berjalan seperti yang ditetapkan;
b) Adanya hubungan yang stabil antara uang beredar (sebagai sasaran antara) dengan
kegiatan ekonomi riil (sebagai sasaran akhir). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas
perkembangan income velocity ‘kecepatan perputaran uang’ dan demand for money
‘permintaan uang’;
c) Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional) dengan
uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas
perkembangan money multiplier ‘angka pelipat ganda uang’.
38
Pemikiran untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional telah
dikemukakan sejak sebelum terjadinya krisis tahun 1997.

47
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, dalam kondisi


ekonomi dan keuangan yang sedang mengalami berbagai perubahan
struktural seperti di Indonesia, Bank Indonesia perlu memegang salah
satu indikator yang paling dapat dikendalikan, yaitu uang primer. Kedua,
perkembangan uang primer juga mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan uang beredar, output dan inflasi.
Disadari bahwa hubungan antara besaran moneter dengan output dan
inflasi dalam jangka pendek belum tentu stabil, baik pada waktu terjadinya
liberalisasi keuangan pada periode yang lalu maupun pada masa krisis
dewasa ini.39 Sejalan dengan itu, muncul pemikiran baru mengenai
alternatif pendekatan yang dirasakan lebih sesuai dengan sistem operasi
kebijakan moneter di Indonesia, yaitu pendekatan harga (price-based
approach). 40 Pendekatan ini menekankan peranan harga besaran moneter,
yaitu suku bunga sebagai variabel yang penting dalam mentransmisikan
pengaruh kebijakan moneter kepada kegiatan perekonomian.
Munculnya pemikiran baru tersebut tidak terlepas dari semakin
berkembangnya sektor keuangan dengan berbagai karakteristik seperti
majunya inovasi produk keuangan, proses sekuritisasi, maupun proses
pelepasan keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil, yang
memberikan implikasi negatif bagi pelaksanaan kebijakan moneter.
Beberapa hasil penelitian untuk kasus Indonesia yang mendukung
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang cepat di sektor
keuangan Indonesia telah menyebabkan kegiatan penciptaan uang oleh
sistem keuangan menjadi berlipat ganda dan melampaui penciptaan uang
oleh bank sentral. Hal ini selanjutnya menyebabkan perilaku angka pelipat
ganda uang cenderung tidak stabil.41 Lebih jauh lagi, ketidakstabilan
tersebut tidak hanya terjadi pada perilaku angka pelipat ganda uang, tetapi
juga income velocity dan fungsi permintaan uang.42
39
Fenomena seperti ini sudah sejak lama dijumpai di negara maju, dan merupakan alasan
utama ditinggalkannya pendekatan kuantitas dalam kerangka kebijakan moneter.
40
Pemikiran ini disampaikan pula oleh Boediono pada waktu seminar mengenai mekanisme
kebijakan moneter di Indonesia, bulan Mei 1998. Baca Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, 1998.
41
Sarwono, Hartadi A., Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter di Indonesia,
Makalah SESPIBI Angkatan XXI, 1996.
42
Solikin, The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and Money Multiplier in
Indonesia, Working Paper at University of Michigan (unpublished), 1998.

48
Kebijakan Moneter di Indonesia

Proses Perumusan Kebijakan Moneter


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, perumusan
kebijakan moneter di Bank Indonesia dilakukan melalui Rapat Dewan
Gubernur (RDG). RDG diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter,
dan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam seminggu untuk melakukan
evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter tersebut. RDG bulanan yang
membahas dan memutuskan kebijakan umum moneter tersebut dapat
dihadiri oleh seorang menteri atau lebih yang mewakili pemerintah dengan
hak bicara tanpa hak suara. Hal ini dilakukan terutama dalam rangka
mempererat koordinasi antara kebijakan moneter yang dirumuskan Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi makro lainnya
yang ditempuh Pemerintah.
Dalam pelaksanaannya, RDG bulanan untuk menetapkan kebijakan
umum di bidang moneter tersebut dilakukan sebagai berikut. Pada awal
tahun dilakukan RDG untuk melakukan evaluasi atas perkembangan
ekonomi, moneter, perbankan, dan sistem pembayaran selama satu tahun
yang lalu dan prospeknya untuk periode ke depan. Telaah mengenai
prospek ekonomi makro dan moneter ke depan terutama dilakukan untuk
menetapkan sasaran inflasi untuk satu tahun ke depan dan untuk jangka
menengah, serta untuk menetapkan arah dan sasaran kebijakan moneter
untuk satu tahun ke depan. Sementara itu, telaah mengenai evaluasi
pelaksanan kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran selama
satu tahun sebelumnya diperlukan untuk memenuhi ketentuan transparansi
kepada publik, Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
telah diamanatkan oleh undang-undang.
Pada setiap triwulan, yaitu setiap awal bulan April, Juli, Oktober, dan
Desember, dilakukan RDG untuk melakukan evaluasi atas perkembangan
ekonomi, moneter, perbankan, dan sistem pembayaran selama satu
triwulan yang lalu dan prospeknya untuk periode ke depan. Telaah
mengenai prosek ekonomi makro dan moneter ke depan terutama
dilakukan untuk menentukan apakah sasaran inflasi yang telah ditetapkan
masih dalam batas kisaran yang aman, serta untuk menetapkan arah dan
sasaran kebijakan moneter untuk satu triwulan ke depan. Sementara itu,
telaah mengenai evaluasi pelaksanan kebijakan moneter, perbankan, dan

49
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

sistem pembayaran selama satu triwulan sebelumnya diperlukan untuk


memenuhi ketentuan akuntabilitas kepada DPR yang telah diamanatkan
oleh undang-undang.
Selanjutnya, pada bulan-bulan yang lain dilakukan RDG bulanan untuk
mengevaluasi perkembangan inflasi, nilai tukar, moneter, dan perbankan
yang terjadi pada satu bulan yang lalu. Pembahasannya lebih diarahkan
untuk memantau perkembangan pencapaian target inflasi serta untuk
merumuskan kebijakan moneter yang perlu ditempuh pada satu bulan
yang akan datang. Pada RDG dimaksud dibahas prospek pencapaian target
uang primer serta diputuskan langkah-langkah pengendalian moneter yang
diperlukan pada satu bulan yang akan datang. Termasuk di dalamnya
arahan untuk pelaksanaan OPT mingguan dan sterilisasi/intervensi di pasar
valuta asing, serta arah suku bunga yang wajar.
Berdasarkan arahan pengendalian moneter yang ditetapkan dalam
RDG bulanan tersebut, pada setiap RDG mingguan dilakukan evaluasi
pelaksanaan pengendalian moneter pada minggu sebelumnya dan arahan
untuk pelaksanaan OPT dan sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing,
serta arah suku bunga di minggu mendatang. Selanjutnya, keputusan dalam
RDG mingguan tersebut akan dipergunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan OPT.

Mekanisme Pengendalian Moneter


Berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan, serta proyeksi pertumbuhan
ekonomi, nilai tukar, suku bunga, dan variabel ekonomi makro lainnya,
Bank Indonesia melalui penyusunan Program Moneter dapat
memperkirakan permintaan uang yang sesuai dengan kebutuhan riil
perekonomian. Dari perhitungan ini, dapat diperkirakan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M1 dan M2) yang dibutuhkan masyarakat.
Selanjutnya, Bank Indonesia dapat memperkiraan posisi dan pertumbuhan
uang primer sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran
operasional tersebut ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan,
maupun mingguan untuk digunakan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan
moneter Bank Indonesia.

50
Kebijakan Moneter di Indonesia

Mekanisme Pengendalian Uang Primer melalui OPT.


Berdasarkan sasaran uang primer yang telah ditetapkan, Bank
Indonesia melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai instrumen
utama dalam pengendalian moneter. OPT tersebut dilakukan Bank
Indonesia dengan tiga cara, yaitu (i) melalui lelang SBI dan (ii) melalui
penggunaan Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi) di pasar uang rupiah, dan
(iii) melalui sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing.
(i) Lelang SBI
Besarnya lelang SBI (mingguan) dimaksudkan untuk mencapai
besarnya target uang primer yang ditetapkan. Untuk itu, tiap minggu
Bank Indonesia akan memperkirakan perkembangan uang primer dan,
dengan membandingkan target yang ditetapkan, menentukan besarnya
kelebihan likuiditas pasar uang yang harus diserap. Hal ini dilakukan
dengan menghitung berapa SBI yang jatuh tempo, berapa ekspansi/
konstraksi dari sisi fiskal (rekening Pemerintah di Bank Indonesia),
mutasi cadangan devisa, serta bagaimana kondisi likuiditas di pasar
uang. Dengan cara ini, Bank Indonesia dapat mencapai target uang
primer yang telah ditetapkan serta dapat mempengaruhi perkembangan
suku bunga di pasar uang.
(ii) Fasilitas Bank Indonesia
Selain lelang SBI mingguan (yaitu tiap hari Rabu), Bank Indonesia
juga melakukan kegiatan secara langsung di pasar uang rupiah melalui
Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Hal ini dilakukan secara harian,
terutama apabila terjadi perkembangan di luar pehitungan yang dapat
menyebabkan tidak tercapainya target uang primer melalui lelang SBI.
Caranya antara lain dapat dilakukan dengan secara langsung
menawarkan kepada bank-bank untuk menanamkan kelebihan
likuiditasnya di Bank Indonesia (berjangka waktu overnight hingga
satu minggu) atau dengan cara membeli kembali SBI secara repurchase
agreement (repo) di pasar uang antar bank.
(iii) Sterilisasi/Intervensi valuta asing
Pada saat-saat tertentu, Bank Indonesia juga melakukan intervensi di
pasar valuta asing. Hal ini terutama dilakukan terutama apabila
Pemerintah akan membiayai kegiatan suatu proyek (membutuhkan

51
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

rupiah) dengan cara menggunakan dana valuta asingnya yang disimpan


sebagai cadangan devisa di Bank Indonesia. Apabila tidak terjadi
tekanan melemahnya rupiah, ekspansi dari sisi fiskal tersebut umumnya
diserap dengan menjual SBI. Akan tetapi, apabila pada saat yang
bersamaan terdapat tekanan melemahnya nilai tukar yang perlu dicegah,
maka Bank Indonesia menjual valuta asing untuk mensterilisasi
ekspansi fiskal tersebut. Dengan cara ini, dapat dicapai dua tujuan
sekaligus. Pertama, penyerapan kelebihan likuiditas di pasar uang
akibat ekspansi sisi fiskal tersebut dapat dilakukan sehingga target uang
primer dapat tercapai. Kedua, bahwa langkah ini sekaligus dapat
membantu upaya untuk menstabilkan perkembangan nilai tukar rupiah
di pasar. Perlu dicatat bahwa langkah intervensi di pasar valuta asing
tersebut dapat pula dilakukan Bank Indonesia pada waktu sedang terjadi
gejolak nilai tukar rupiah di pasar valuta asing, meskipun pada saat
yang bersamaan tidak terjadi ekspansi moneter dari sisi fiskal.

Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan sistem nilai tukar
dan sistem devisa sangat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Dalam kondisi suatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap, apabila
terjadi aliran dana luar negeri masuk/keluar, maka hal tersebut dapat
mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter, dan sebaliknya untuk sistem
nilai tukar mengambang. Sementara itu, dalam hal diterapkan sistem devisa
terkontrol, maka mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri cenderung
berkurang sehingga dapat mendukung pelaksanaan kebijakan moneter
yang lebih efektif, dan sebaliknya untuk sistem devisa bebas.
Efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter sangat tergantung pada
sistem nilai tukar dan sistem devisa yang dipilih. Untuk itu, kebijakan
nilai tukar dan devisa di Indonesia, selain ditujukan untuk mendukung
kesinambungan pelaksanaan pembangunan ekonomi, juga diarahkan untuk
mendukung efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter. Sesuai dengan
UU No.23 Tahun 1999, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai
tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan. Selanjutnya
Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam mengelola cadangan
devisa serta menerima pinjaman luar negeri dalam rangka pengelolaan

52
Kebijakan Moneter di Indonesia

devisa dimaksud. Pengaturan lebih lanjut mengenai sistem nilai tukar dan
lalu lintas devisa dimuat dalam UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Kebijakan Nilai Tukar


Dalam sejarah perekonomian Indonesia, sistem nilai tukar tetap,
mengambang terkendali, dan mengambang pernah diterapkan di Indonesia.
Sistem nilai tukar tetap dianut pada periode tahun 1973 hingga Maret
1983.43 Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara
ketat diterapkan pada periode Maret 1983 – September 1986. Dalam
periode ini, Pemerintah pernah melakukan beberapa kebijakan devaluasi
atas nilai tukar rupiah sebagai berikut.
(i) Devaluasi Nopember 1978 dari Rp 425 per dolar menjadi Rp 625 per
dolar,
(ii)Devaluasi Maret 1983 dari Rp 625 per dolar menjadi Rp 825 per dolar,
dan
(iii)Devaluasi September 1986 dari Rp 1134 per dolar menjadi Rp 1644
per dolar.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara lebih
fleksibel pernah diterapkan di Indonesia dari September 1986 – Januari
1994 dan dengan mekanisme pita intervensi dari Januari 1994 –Agustus
1997. Dalam periode ini dilakukan kebijakan nilai tukar sebagai berikut.
(i) Bank Indonesia setiap hari mengeluarkan nilai tukar (kurs) tengah
harian;
(ii) Pita intervensi pernah dilakukan pelebaran sebanyak 8 kali, yaitu
dari Rp 6 (0,25%) menjadi Rp 10 (0,5%) pada September 1992,
menjadi Rp 20 (1%) pada Januari 1994, menjadi Rp 30 (1,5%) pada
43
Sebelum 1973, Indonesia sempat menggunakan multiple exchange rate system ‘sistem
kurs devisa berganda’ melalui penerapan Sistem Bukti Ekspor sejak tahun 1957. Peraturan-
peraturan yang terkait dalam penerapan sistem ini menyangkut pembatasan-pembatasan
di bidang perdagangan dan lalu-lintas devisa. Kemudian, pada tahun 1967 mulai
diberlakukan Sistem Bonus Ekspor yang bertujuan untuk menggairahkan ekspor, dengan
memperbolehkan masyarakat untuk memindahtangankan atau memperjualbelikan devisa
hasil ekspor di pasar bebas dengan harga yang berubah setiap waktu (floating exchange
rate system).

53
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

September 1994, menjadi Rp 44 (2%) pada Mei 1995, menjadi Rp


66 (3%) pada Desember 1995, menjadi Rp 118 (5%) pada Juni 1996,
menjadi Rp 192 (8%) pada September 1996, dan menjadi Rp 304
(12%) pada Juli 1997.
(iii) Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
menjaga agar nilai tukar rupiah bergerak dalam batas-batas pita
intervensi yang ditetapkan, dengan cara membeli dollar apabila nilai
tukar bergerak mendekati batas bawah dan menjual dolar apabila
nilai tukar mendekati batas atas dalam pita intervensi yang telah
ditetapkan.
Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang diterapkan di Indonesia
sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Sebagaimana diketahui, sistem
ini ditempuh sebagai reaksi Pemerintah dalam menghadapi serangan
spekulasi terhadap nilai tukar rupiah pada sekitar Juli – Agustus 1997.
Besarnya permintaan valuta asing baik untuk pemenuhan kewajiban luar
negeri, yang timbul karena demikian besarnya, utang luar negeri sektor
swasta Indonesia, maupun serangan spekulasi dari pihak-pihak tertentu
baik dalam maupun luar negeri yang ingin memanfaatkan gejolak nilai
tukar untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, Bank Indonesia tidak lagi
mampu menahan besarnya permintaan valuta asing tersebut, setelah
kehilangan sejumlah besar cadangan devisa yang dimilikinya, untuk
mempertahankan sistem mengambang terkendali. Apabila sistem
mengambang terkendali tetap dipertahankan, maka cadangan devisa
negara yang mulai menipis dikuatirkan dapat terkuras habis.44 Sejumlah

44
Dengan dianutnya sistem nilai tukar mengambang (bebas), nilai tukar rupiah bergerak
sesuai kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Dengan besarnya hutang luar negeri
swasta Indonesia, semakin berat dan kompleksnya krisis yang kemudian merambah pula
di sektor perbankan, perusahaan, maupun sektor ekonomi secara keseluruhan, apalagi
dibarengi dengan kondisi sosial politik dalam negeri yang tidak menentu, maka
perkembangan nilai tukar rupiah sejak dianutnya sistem mengambang menjadi merosot
tajam dan sering bergejolak. Perkembangan nilai tukar rupiah tidak lagi menggambarkan
kondisi fundamental ekonomi-keuangan, tetapi sering dipengaruhi oleh faktor-faktor non-
ekonomi yang begitu bergejolak di Indonesia. Sebagai upaya untuk menstabilkan
perkembangan nilai tukar rupiah, pada waktu-waktu tertentu Bank Indonesia melakukan
intervensi di pasar valuta asing. Langkah ini khususnya ditempuh apabila terjadi gejolak
nilai tukar yang berlebihan dan/atau pergerakan nilai tukar diperkirakan dapat
mempengaruhi perkembangan inflasi. Namun, intervensi valuta asing tersebut tidak
dimaksudkan oleh Bank Indonesia untuk mencapai suatu target tertentu dari perkembangan
nilai tukar yang terjadi di pasar.

54
Kebijakan Moneter di Indonesia

negara tetangga, seperti Korea Selatan dan Thailand, juga melakukan hal
yang sama dengan menerapkan sistem nilai tukar mengambang.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang tersebut dikukuhkan
dengan Undang-Undang Nomor 23 dan 24 tahun 1999. Sesuai dengan
undang-undang tersebut, sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh
Pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi yang disampaikan
oleh Bank Indonesia. Hal ini mengingat perubahan sistem nilai tukar akan
berdampak sangat luas, tidak saja terhadap kegiatan di bidang moneter
dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan ekonomi riil baik konsumsi,
investasi maupun perdagangan luar negeri. Karena itu, perubahan sistem
nilai tukar harus melalui pemikiran dan penelitian yang matang,
mempertimbangkan berbagai aspek baik ekonomi, politik, maupun sosial.
Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu memberikan rekomendasi mengenai
rencana perubahan sistem nilai tukar tersebut, apabila akan dilakukan,
terutama karena pengalaman dan pengetahuannya di bidang ini maupun
karena pengaruhnya terhadap kebijakan moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran.
Dalam kaitan ini, kebijakan nilai tukar sesuai dengan sistem nilai tukar
yang telah ditetapkan dapat berupa:
(i) devaluasi atau revaluasi mata uang rupiah terhadap mata uang asing
dalam sistem nilai tukar tetap;
(ii) intervensi di pasar valuta asing dalam sistem nilai tukar mengambang;
dan
(iii) penetapan nilai tukar harian dan lebar kisaran intervensi dalam sistem
nilai tukar mengambang terkendali.

Kebijakan Devisa
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, beberapa kebijakan mengenai
pengaturan devisa telah dilaksanakan sesuai dengan sistem devisa yang
telah diterapkan di Indonesia. Sistem devisa terkontrol pernah diterapkan
di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 1964. Pada waktu itu, devisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa
Umum (DU). Sesuai dengan undang-undang pada waktu itu setiap

55
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

perolehan devisa, baik DHE maupun DU wajib diserahkan kepada negara,


cq. Bank Indonesia atau bank-bank yang ditunjuk. Demikian pula, setiap
penggunaan devisa, baik untuk impor maupun keperluan lainnya harus
mendapat izin dari Bank Indonesia. Dengan kewajiban seperti ini, Bank
Indonesia mengadministrasikan pergerakan devisa yang masuk dan keluar
Indonesia sehingga jumlah cadangan devisa, besarnya arus lalu lintas
devisa, dan penggunaannya dapat dipantau dan diperkirakan secara lebih
pasti.
Sistem devisa semi terkontrol pernah diterapkan di Indonesia
berdasarkan Perpu No. 64 Tahun 1970 menggantikan UU No. 32 Tahun
1964. Pada waktu itu, perolehan dan penggunaan DHE wajib diserahkan
ke dan mendapat izin dari Bank Indonesia, sementara untuk DU dapat
secara bebas diperoleh dan dipergunakan. Administrasi perolehan dan
penggunaan DHE dilakukan oleh Bank Indonesia, sementara lalu lintas
devisa untuk jenis DU mulai tidak dapat diadministrasikan dan dipantau
secara baik.
Sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia dengan PP No. 1
Tahun 1982 menggantikan baik UU No. 32 Tahun 1964 maupun Perpu
No. 64 Tahun 1970. Dengan peraturan ini, setiap penduduk dapat dengan
bebas memiliki dan menggunakan devisa. Ini berlaku baik bagi devisa
dalam bentuk DHE maupun DU. Tidak ada pengaturan mengenai
kewajiban bagi penduduk untuk melaporkan devisa yang diperoleh dan
dipergunakannya. Kebebasan sistem devisa kemudian diartikan juga tidak
wajib lapor, meskipun di negara-negara lain kewajiban pelaporan ini masih
diberlakukan.
Penerapan PP No 1 Tahun 1982 tersebut menimbulkan permasalahan.
Dari sisi hukum, timbul kerancuan dalam stratifikasi hukum nasional,
karena PP No. 1 Tahun 1982 menganulir pengaturan yang lebih tinggi
yaitu UU No. 32 Tahun 1964 dan Perpu No. 64 Tahun 1970. Dari sisi
kebijakan ekonomi, PP No 1 Tahun 1982 tidak mengatur adanya kewajiban
pelaporan atau pematauan lalu lintas devisa. Tidak adanya pengaturan
yang tegas mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa telah
menyebabkan monitoring devisa, baik dalam bentuk utang maupun lalu
lintas dana luar negeri jangka pendek, tidak dapat secara efektif dilakukan.
Berapa besarnya kewajiban luar negeri Indonesia, khususnya untuk swasta,

56
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

tidak dapat diketahui jumlahnya dan juga penggunaannya. Ini yang


kemudian sebagai salah satu sebab sulitnya penanganan krisis.
Kedua permasalahan tersebut kemudian sejak 17 Mei 1999 diselesaikan
dengan berlakunya UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar. Berkaitan dengan sistem devisa, dalam undang-
undang tersebut ditegaskan dianutnya sistem devisa bebas di Indonesia,
dalam arti bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan
menggunakan devisa. Namun, undang-undang tersebut juga menegaskan
kewajiban bagi setiap penduduk untuk memberikan keterangan dan data
mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung
atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Lebih lanjut
lagi, diatur kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan atas
berbagai jenis transaksi devisa yang dilakukan oleh bank dalam rangka
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan devisa di
Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 24 Tahun 1999 tersebut dapat
dicegah dampak negatif yang timbul atas penerapan sistem devisa bebas
yang tanpa diikuti dengan kebijakan pemantauan dan penerapan prinsip
kehati-hatian dalam lalu lintas devisa. Undang-undang ini sekaligus
menggantikan Undang-UU No. 32 Tahun 1964.45

Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran


Kestabilan Harga: Menuju Inflation Targeting

Inflation Targeting merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang


relatif baru digunakan. Kerangka kerja kebijakan moneter ini pertama
kali diterapkan oleh Selandia Baru pada tahun 1990, dan semakin
mendapatkan perhatian dari negara-negara lain yang menghadapi masalah
dalam penerapan kebijakan moneternya. Selain itu, kerangka kerja
45
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 1999 tersebut, Bank Indonesia telah
mengeluarkan ketentuan untuk monitoring lalu lintas devisa, yaitu Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 1/9/1999 tanggal 28 Oktober 1999. Dalam PBI tersebut diatur kewajiban
pelaporan bagi setiap lalu lintas devisa oleh dan melalui bank dan lembaga keuangan lainnya
mulai 1 Maret 2000. Untuk transaksi di atas USD 10,000 dilaporkan per transaksi, sementara
untuk transaksi di bawah $ 10,000 dilaporkan secara gabungan. Dalam laporan tersebut
dicantumkan tujuan dari transaksi devisa yang bersangkutan (ekspor/impor, utang luar
negeri, dll).

57
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Inflation Targeting diyakini membantu bank sentral untuk mencapai dan


memelihara kestabilan harga dengan menentukan sasaran kebijakan
moneter secara eksplisit dengan berdasarkan pada proyeksi dan target
inflasi tertentu. Sejalan dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999,
Bank Indonesia mulai mengkaji kemungkinan penerapan kerangka kerja
Inflation Targeting sebagai kerangka kerja kebijakan moneter di Indonesia.

Kerangka Dasar Inflation Targeting


Inflation Targeting merupakan suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang
mempunyai ciri-ciri utama yaitu adanya pernyataan resmi dari bank sentral
bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat
inflasi yang rendah, serta pengumuman target inflasi kepada publik.
Pengumuman tersebut mengandung arti bahwa bank sentral memberikan
komitmen dan jaminan kepada publik bahwa setiap kebijakannya selalu
mengacu pada pencapaian target tersebut, dan bank sentral mempertanggung
jawabkan kebijakannya apabila target tersebut tidak tercapai.
Secara lebih rinci, karakteristik Inflation Targeting sebagaimana
dikemukakan oleh Bernanke et al. (1999) dan Svensson (2000) dapat
dirangkum pada tabel berikut.

Tabel 1. Karakteristik Inflation Targeting

Kriteria Bernanke et al Svensson


1 Kestabilan harga sebagai tujuan utama Ya Ya
kebijakan moneter
2 Pengumuman target inflasi Ya Ya
3 Target inflasi jangka menengah Tidak jelas Ya
4 Komunikasi intensif dengan publik Ya Ya
5 Penggunaan monetary policy rule Tidak jelas Penargetan
secara spesifik prakiraan inflasi
6 Publikasi prakiraan inflasi dan output Tidak perlu Ya
7 Target ditetapkan oleh pemerintah Ya Tidak perlu
(goal dependence)
8 Penggunaan instrumen secara Ya Ya, tetapi tidak
independen (instrumen independence) disebutkan secara tegas

Sumber: Bofinger, Peter, Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategies, and Instruments, Oxford
University Press, 2001, Hal 259.

58
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

Prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja Inflation Targeting


adalah bahwa sasaran akhir dari kebijakan moneter hanyalah mencapai
dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Dalam konteks ini,
diasumsikan bahwa: (i) laju inflasi yang tinggi adalah suatu bentuk biaya
yang harus ditanggung oleh perekonomian berupa pertumbuhan ekonomi
yang rendah dan menurunnya nilai riil dari pendapatan nasional, (ii)
kebijakan moneter, melalui pengendalian uang beredar, tidak dapat
mempengaruhi pertumbuhan output riil dalam jangka panjang, tapi dapat
dalam jangka pendek, sedangkan (iii) pengendalian inflasi melalui
kebijakan moneter adalah dalam rangka stabilisasi dan penurunan laju
inflasi dalam jangka panjang dan bukan dalam jangka pendek. Selain itu,
keberhasilan kebijakan pencapaian inflasi sebagai sasaran tunggal dalam
kerangka kerja Inflation Targeting mensyaratkan beberapa hal, antara lain:
(a) kemandirian bank sentral terutama dalam melaksanakan kebijakan
moneter, (b) pelaksanaan kebijakan nilai tukar yang mengambang, (c)
keberadaan suatu indikator harga yang relevan dengan sasaran kebijakan,
(d) metodologi proyeksi inflasi yang baik, dan (e) tidak adanya dominasi
sektor fiskal.
Sementara itu, beberapa konsep dasar kebijakan moneter dalam
kerangka Inflation Targeting adalah sebagai berikut.
• Sasaran inflasi
Seperti telah dikemukakan, kerangka Inflation Targeting dimulai
dengan penetapan dan diumumkannya sasaran inflasi yang ingin dicapai
oleh bank sentral. Penetapan sasaran inflasi tentu saja dengan
mempertimbangkan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi
makro, terutama social loss ‘kerugian sosial’ akibat adanya “trade-
off” antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.46 Selain itu, beberapa
faktor penting lain yang juga diperhatikan adalah bahwa sasaran inflasi

46
Munculnya Kurva Phillips pertama kali didasarkan pada hasil studi ekonom Inggris,
A.W. Phillips, yang pada tahun 1958 menyimpulkan terdapatnya hubungan terbalik (inverse
relationship atau trade-off) antara tingkat pengangguran dan perubahan tingkat upah dalam
bentuk sebuah kurva. Semula, para ekonom menganggap temuan di atas sebagai salah
satu bagian yang selama ini hilang dalam struktur income-expenditure model, dan setelah
menerapkan sedikit modifikasi (perubahan tingkat upah menjadi tingkat harga), kurva
tersebut menjadi salah satu kurva yang paling banyak dikenal dalam ilmu ekonomi;
selanjutnya dikenal dengan Kurva Phillips (Phillips Curve).

59
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

tersebut harus dapat dipergunakan sebagai anchor dari pelaksanaan


kebijakan moneter bank sentral, dan bahwa penetapan sasaran inflasi
tidak hanya dilakukan dalam jangka waktu pendek (tahunan), namun
juga jangka waktu menengah dan panjang. (Boks 3. Penentuan Sasaran
Inflasi dan Boks 4. Sasaran Inflasi: Headline v.s. Core)
• Kebijakan moneter forward looking
Dengan sasaran inflasi sebagai anchor, perumusan kebijakan moneter
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Mengingat
adanya tenggat waktu dari pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi
maka kebijakan moneter yang dilakukan sekarang merupakan langkah
yang bersifat antisipatif, bukan reaktif, atas akan terjadinya tekanan
inflasi di masa yang akan datang dibandingkan dengan sasaran inflasi
yang telah ditetapkan. Dengan demikian, rentang waktu (time horizon)
mengenai seberapa lama ke depan sasaran inflasi ingin ditetapkan akan
tergantung dari tenggat waktu tersebut. Yang terpenting adalah
menentukan mekanisme forward looking dalam penetapan arah
kebijakan moneter di bank sentral. (Boks 5. Kebijakan Moneter
Forward Looking)
• Transparansi
Penerapan Inflation Targeting akan menuntut transparansi
(keterbukaan) yang tinggi dari bank sentral. Hal ini karena salah satu
kunci sukses penerapan Inflation Targeting terletak pada transparansi
bank sentral dalam mengambil kebijakan moneter. Transparansi tersebut
diperlukan agar ekspektasi inflasi masyarakat yang terbentuk sesuai
dengan yang diinginkan oleh bank sentral. Bentuk transparansi dapat
diwujudkan melalui penjelasan bank sentral kepada publik secara
periodik mengenai perkembangan ekonomi terkini, proyeksi inflasi,
dan kebijakan yang diambil untuk menjaga laju inflasi tetap pada

Dalam perkembangan selanjutnya, mengingat adanya karakteristik umum dari siklus


kegiatan usaha (business cycle) yang mengidentifikasikan keterkaitan yang erat, yaitu
hubungan terbalik, antara pola perkembangan pengangguran dengan pertumbuhan output
riil (negative comovement); dikenal dengan Hukum Okun (Okun’s Law), Kurva Phillips
secara umum dapat diturunkan dari pola hubungan “trade-off” antara tingkat inflasi dan
pertumbuhan output riil. Dalam versi ini, kecenderungan hubungan yang terjadi adalah
meningkat (upward sloping), yaitu bahwa peningkatan inflasi terjadi sejalan dengan
peningkatan kegiatan ekonomi riil.

60
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

jalurnya. Transparansi tersebut merupakan sarana untuk menunjukkan


komitmen bank sentral dalam memerangi inflasi.
• Akuntabilitas dan Kredibilitas
Dengan mengumumkan target inflasi secara eksplisit kepada publik
berarti melekat akuntabilitas, karena pada akhirnya bank sentral harus
mempertanggung jawabkan target tersebut kepada publik. Kredibilitas
bank sentral dengan demikian akan sangat tergantung pada
komitmennya dalam mencapai target inflasi yang ditetapkan. Untuk
itu, penerapan Inflation Targeting mengharuskan dibangunnya
mekanisme pengambilan keputusan di dalam bank sentral yang
bersangkutan dengan lebih mengandalkan pada hasil evaluasi dan
penyusunan skenario proyeksi ke depan berdasarkan pengembangan
model-model ekonomi yang berbasis pada penelitian.
Secara konseptual, penggunaan Inflation Targeting memerlukan
perubahan fundamental dari kebijakan moneter dalam merespon kondisi
ekonomi. Sebagai misal, Inflation Targeting menyaratkan kebijakan
moneter yang sepenuhnya berorientasi masa depan (forward-looking).
Namun, bank sentral yang tidak secara eksplisit menerapkan Inflation
Targeting mungkin juga berorientasi forward-looking serta secara
bersamaan memfokuskan sasaran akhir jangka panjang untuk mencapai
kestabilan harga. Dengan demikian, secara praktis, Inflation Targeting
lebih merupakan strategi formal dari suatu kebijakan yang kurang lebih
sudah ada. Dalam hal ini, penargetan tersebut diharapkan dapat
memperbaiki akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas dari kebijakan
moneter.

Menuju Penerapan Inflation Targeting di Indonesia


UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah memberikan landasan
hukum yang jelas menyangkut kewenangan Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya di bidang moneter, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Di dalam undang-undang tersebut
juga telah secara jelas tersurat amanat untuk melaksanakan kebijakan
moneter dalam kerangka kerja Inflation Targeting, seperti tercermin dari
adanya makna independensi, akuntabilitas, dan transparansi. Penegasan

61
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

makna independensi pada proses tersebut disebutkan dalam Pasal 10 Ayat


1 undang-undang terebut diamanatkan makna independensi, yaitu bahwa
“Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia berwenang: a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan
memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan; …”. Sementara itu,
makna akuntabilitas dan transparansi juga tersurat pada pasal-pasal lain
(Pasal 58 s.d. 61), antara lain penyampaian informasi kepada masyarakat
secara terbuka mengenai mekanisme perumusan kebijakan moneter serta
implementasinya dalam pengendalian moneter.
Dengan sejumlah karakteristik dasar Inflation Targeting yang telah
dijelaskan sebelumnya, penerapan kerangka kerja Inflation Targeting
memerlukan pengembangan berbagai infrastruktur dan mekanisme kerja.
Untuk Bank Indonesia, pengembangan Inflation Targeting dimulai dengan
penataan mekanisme pengambilan keputusan di bidang moneter dalam
forum RDG. Dengan demikian, terdapat kejelasan proses perumusan
kebijakan moneter di Bank Indonesia, mulai dari penetapan sasaran inflasi
dan arah kebijakan moneter tahunan pada RDG awal tahun, evaluasi dan
penetapan arah kebijakan moneter triwulanan dalam RDG April, Juli,
Oktober dan Januari, evaluasi dan penetapan arah pengendalian moneter
bulanan dalam RDG bulanan, hingga penetapan pelaksanaan operasional
pengendalian moneter dalam RDG Mingguan. Untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas publik, hasil-hasil keputusan kebijakan
moneter dalam RDG tersebut diumumkan dan didiskusikan secara luas
kepada masyarakat maupun dilaporkan kepada DPR. Dalam kaitan ini,
untuk mendukung kualitas evaluasi dan proyeksi ekonomi serta arah
kebijakan moneter tersebut, juga diperlukan berbagai persiapan
operasional, seperti pengembangan model-model ekonomi untuk proyeksi
inflasi, nilai tukar rupiah, ekonomi makro, hingga pengkajian transmisi
dan pengembangan instrumen moneter. Selain itu, kerangka kerja
kebijakan moneter ini memerlukan dukungan sistem keuangan dan
perbankan yang sehat agar mekanisme transmisi kebijakan moneter ke
sektor riil dapat berjalan dengan lebih efektif. Selanjutnya, agar keberadaan
kerangka kerja Inflation Targeting dapat lebih dipahami oleh masyarakat
luas, perlu dilakukan langkah sosialisasi secara intensif dan terarah
mengenai manfaat dari keberadaan kerangka kerja tersebut.

62
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

Boks 3 :
Penentuan Sasaran Inflasi
Seperti telah diketahui, secara teoretis, pengertian inflasi merujuk
pada perubahan tingkat harga (barang dan jasa) umum yang terjadi
secara terus menerus. Data mengenai perkembangan harga dapat
didasarkan pada cakupan barang dan jasa sebagai komponen
pembentuk PDB (deflator PDB), cakupan barang dan jasa yang
diperdagangkan antara produsen dengan pedagang besar atau antar
pedangang besar (Indeks Harga Perdagangan Besar/IHPB), ataupun
cakupan barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi
oleh sebagian besar masyarakat (Indeks Harga Konsumen/IHK).
Dalam kaitan ini, cara penghitungan inflasi didasarkan pada
perubahan indeks pada periode tertentu dengan indeks pada periode
sebelumnya.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia
atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan perkembangan
dan prospek ekonomi makro. Untuk itu, sejak tahun 2000 Bank
Indonesia menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan
dicapainya untuk tahun yang bersangkutan. Sasaran ditetapkan untuk
inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan
mengeluarkan dampak dari kenaikan harga-harga yang disebabkan
oleh kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan
(administered prices and income policy).47 Sebagai contoh, sasaran
inflasi ditetapkan sebesar 3-5% untuk tahun 2000 dan 4-6% untuk
tahun 2001. Pada periode yang sama, dampak administered prices
and income policy terhadap inflasi diperkirakan untuk tahun 2000
dan 2001 masing-masing sekitar 2% and 2-2.5%. Dengan demikian,

47
Sejak bulan Oktober 1999, IHK gabungan dihitung dari43 kota, setelah kota
Dili dikeluarkan. Jumlah komoditas yang dicakup sebanyak 249 – 353 komoditas
yang terdiri atas tujuh kelompok, yaitu: (i) bahan makanan; (ii) makanan jadi,
minuman, rokok, dan tembakau; (iii) perumahan; (iv) sandang; (v) kesehatan, (vi)
pendidikan, rekreasi, dan olah raga; dan (vii) transpor dan komunikasi.

63
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

dengan menambahkan dua komponen inflasi tersebut menunjukkan


perkiraan Bank Indonesia untuk inflasi (berdasarkan) IHK, yaitu
sekitar 5-7% dan 6-8,5% masing-masing untuk tahun 2000 dan 2001.
Sejak tahun 2002, sasaran inflasi yang digunakan oleh Bank
Indonesia adalah perubahan IHK. Selain itu, Bank Indonesia juga
menetapkan sasaran inflasi yang akan dicapai dalam jangka
menengah. Sebagai contoh, untuk tahun 2002 sasaran inflasi
ditetapkan sebesar 9-10% dan diarahkan untuk secara bertahap
menjadi sekitar 6-7% dalam jangka waktu lima tahun. Penggunaan
total inflasi IHK sebagai sasaran inflasi lebih didasarkan
pertimbangan karena lebih diterima oleh dan dijelaskan kepada
publik, sehingga diharapkan sasaran inflasi tersebut dapat dijadikan
acuan dalam perencanaan bisnis dan karenanya mampu
mempengaruhi ekspekasi ifnlasi yang terjadi di masyarakat.
Sementara, ditetapkannya sasaran inflasi jangka menengah
didasarkan pada pertimbangan bahwa pengaruh kebijakan moneter
terhadap inflasi pada umumnya berlangsung dengan tenggat waktu
yang sesuai kajian empiris sekitar enam sampai delapan kuartal.
Dengan demikian, penetapan sasaran inflasi tersebut dapat
mengantisipasi prospek ekonomi makro ke depan dan mampu
mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional.
Dalam menentukan sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia
memperhatikan prospek ekonomi makro, dan karenanya
mendasarkan pada perkembangan dan proyeksi arah pergerakan
ekonomi ke depan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
terdapat ketidak-sejalanan (trade-off) antara pencapaian inflasi yang
rendah dengan keinginan untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi lebih tinggi. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia tidak ingin
mentargetkan inflasi yang terlalu rendah karena dapat menghambat
pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, dengan menggunakan
model-model makroekonomi yang dikembangkan, Bank Indonesia
menganalisis dan memproyeksi berapa laju pertumbuhan ekonomi
ke depan, dengan berbagai komponen-komponennya, dan
komposisinya baik yang didorong oleh sisi permintaan dan dari sisi

64
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

penawaran. Dengan cara ini, dapat diukur kecenderungan terjadinya


kesenjangan antara besarnya permintaan dengan output potensial,
atau yang sering disebut output gap. Besarnya output gap inilah yang
diperkirakan akan menentukan besarnya tekanan terhadap inflasi ke
depan.
Dalam menentukan sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia juga
mempertimbangkan perkembangan barang dan jasa yang
perkembangannya tidak terpengaruh secara berarti atau bersifat netral
terhadap terjadinya gejolak struktural (shocks) yang bersifat
temporer. Jenis inflasi ini disebut core inflation ‘inflasi inti’. Inflasi
ini berbeda dengan kenaikan harga yang diukur dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) atau dikenal dengan headline inflation ‘inflasi
headline’. Selain itu, Bank Indonesia juga mengukur kenaikan harga
yang diakibatkan oleh depresiasi nilai tukar, atau sering disebut
imported inflation. Inflasi seperti ini dapat terjadi secara langsung
(direct pass-through) karena kenaikan harga barang-barang impor
secara langsung mempengaruhi inflasi IHK karena terjadinya
terjadinya depresiasi nilai tukar. Kenaikan harga juga dapat terjadi
secara tidak langsung (indirect pass-thorugh), yaitu melalui
depresiasi nilai tukar yang mempengaruhi penerimaan ekspor dan
permintaan agregat, yang pada gilirannya mendorong tekanan inflasi.
Karena itu, Bank Indonesia berkepentingan terhadap kestabilan nilai
tukar, tanpa harus mengarahkan pada nilai tukar pada target tertentu.
Gejolak nilai tukar yang berlebihan dan terjadi terus menerus
(persistent) dapat menyebabkan imported inflation. Sebaliknya,
keberhasilan pengendalian inflasi dapat mendorong kestabilan nilai
tukar.
Selain dipengaruhi kebijakan moneter, permintaan masyarakat
dipengaruhi pula oleh kebijakan fiskal (besarnya APBN). Hal ini dapat
terjadi melalui pengeluaran Pemerintah baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan dalam APBN. Karena itu, dalam
mengendalikan laju inflasi dari sisi permintaan, bank sentral juga harus
memperhitungkan dampak fiskal terhadap kegiatan ekonomi dan
inflasi.

65
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Ini yang sering disebut koordinasi kebijakan moneter dan fiskal


dalam konteks perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi
makro. Selain untuk mengkoordinasikan langkah-langkah
pengendalian terhadap sisi permintaan dari perekonomian nasional,
koordinasi fiskal-moneter tersebut juga sangat penting dalam
mengantisipasi dan meminimalkan dampak perubahan kebijakan
Pemerintah di bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi.

Boks 4:
Sasaran Inflasi: Headline vs Inti

Secara teknis, penghitungan inflasi dapat dilakukan dengan


beberapa metode, tergantung pada cakupan pengertian yang dipakai
dalam pencapaian sasaran suatu kebijakan ekonomi. Dalam hal ini,
dikenal dua istilah yang sering digunakan dalam analisis ekonomi,
yaitu inflasi umum atau headline dan inflasi inti. Inflasi headline
dihitung berdasarkan cakupan barang dan jasa yang lazimnya dipakai
dalam penghitungan Indeks harga Konsumen (IHK). Sementara itu,
inflasi inti dihitung berdasarkan cakupan barang dan jasa
perkembangannya tidak terpengaruh secara berarti atau bersifat netral
terhadap terjadinya gejolak struktural (shocks) yang bersifat temporer.
Inflasi inti mempunyai peranan yang penting karena lebih
mencerminkan perkembangan harga yang bersifat persistent, sehingga
dapat digunakan sebagai salah satu anchor dalam pelaksanaan
kebijakan moneter. Perlu dikemukakan bahwa kenaikan harga dari
sisi penawaran, misalnya produksi, distribusi, ataupun cuaca, tidak
dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Contoh kongkritnya adalah
kenaikan harga-harga yang yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan, seperti kenaikan tarif
listrik, dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Apabila hal ini
dipaksakan untuk dikendalikan maka akan terjadi pengetatan moneter
yang berlebihan, yang dapat berdampak pada penurunan kegiatan
ekonomi.

66
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

Pemilihannya di antara kedua konsep penghitungan di atas akan


tergantung pada predictability, controlability, dan acceptability.
Predictability dimaksudkan bahwa sasaran inflasi yang dipilih mudah
diprakirakan dengan pemodelan ekonomi yang tersedia sehingga
memudahkan dalam melihat kecenderungan inflasi ke depan.
Controlability dalam arti bahwa inflasi dimaksud banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh bank sentral sehinga
kebijakan moneter yang ditempuh dapat secara efektif mempengaruhi
perkembangan inflasi ke depan. Acceptability dimaksudkan bahwa
inflasi yang dipilih mudah dipahami oleh masyarakat luas sehingga
concern bank sentral dalam mencapai sasaran inflasi memberikan
manfaat dan merupakan pokok perhatian masyarakat luas.
Inflasi headline di satu sisi mudah dipahami oleh masyarakat
luas, tetapi di sisi lain lebih sulit diprakirakan dan banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor di luar kebijakan moneter. Sementara itu, inflasi
inti relatif lebih unggul dalam predictability dan controllability, akan
tetapi lebih sulit dipahami oleh masyarakat. Dalam perekonomian
yang mekanisme pasarnya telah berjalan relatif efisien, sebenarnya
tidak banyak perbedaan antara inflasi headline dan inflasi inti karena
distorsi pembentukan harga yang berasal dari kebijakan pemerintah
cenderung tidak signifikan. Karena kondisi demikian belum tentu
menjadi kenyataan, maka di berbagai negara yang menerapkan
kerangka Inflation Targeting sasaran inflasi ditetapkan berdasarkan
karakteristik perekonomiannya, ada yang menggunakan inflasi
headline dan ada pula yang menggunakan inflasi inti. Terdapat pula
variasi penghitungan, yaitu dengan menggunakan inflasi berdasarkan
cakupan IHK, namun setelah mengeluarkan beberapa komponen
yang lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan tidak
dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, seperti suku bunga,
subsidi dsb.
Untuk kasus Indonesia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengkaji mengenai inflasi headline vs. inflasi inti sebagai sasaran
inflasi. Mengenai inflasi inti, terdapat beberapa pendekatan untuk
pengukurannya yaitu dengan metode pemangkasan statistik

67
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

(trimming), dengan mengkaji kedekatan hubungannya dengan


besaran moneter, ataupun dengan mengeluarkan beberapa komponen
khususnya kebijakan pemerintah dan gangguan dari sisi penawaran
(exclusion). Pada akhir tahun 1999 sempat dipertimbangkan untuk
menggunakan metode pemangkasan statistik untuk pengukuran
inflasi inti dengan pertimbangan metode ini menghasilkan inflasi
yang secara statistik paling teruji, dalam arti menghasilkan tingkat
kesalahan yang paling kecil. Namun demikian, metode ini juga
mempunyai kelemahan terutama sulitnya untuk dikomunikasikan
kepada publik. Pada saat ini penelitian terus dilakukan untuk mencari
alternatif pengukuran inflasi inti untuk penyempurnaannya,
khususnya untuk melengkapi kinerja metode trimming dengan
metode exclusion.48

Boks 5:
Kebijakan Moneter Forward Looking

Seperti telah dikemukakan, dalam kerangka Inflation Targeting,


perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter bersifat forward
looking, dalam arti bahwa bank sentral menempuh kebijakan moneter
pada saat ini sebagai langkah antisipatif (pre-emptive) untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan untuk masa yang akan
datang. Mengapa kebijakan moneter perlu dilakukan dengan
berorientasi masa depan? Hal ini disebabkan oleh fakta empiris bahwa
terdapat tenggat waktu (time lag) dari pengaruh perkembangan suatu
variabel ekonomi terhadap variabel ekonomi yang lain. Dengan
demikian, perumusan kebijakan moneter harus dilakukan dengan
memperhitungkan kemungkinan yang terjadi di masa yang akan
datang melalui langkah-langkah yang bersifat antisipatif.

48
Hasil kajian pendahuluan mengenai metode penghitungan inflasi inti dapat dilihat di
Madjardi, F. dkk, Penyempurnaan Perhitungan Inflasi Inti (Core Inflation), Laporan Hasil
Penelitian, Bagian Studi Sektor Riil, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
2001.

68
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting

Mekanisme kebijakan moneter yang demikian, karenanya,


mengharuskan bank sentral untuk dapat: (a) memprakirakan
pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan dengan sasaran yang
ditetapkan, (b) mengetahui seberapa lama tenggat waktu dari
pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan inflasi di masa yang
akan datang, dan (c) mengetahui dengan baik transmisi kebijakan
moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu,
pemahaman atas transmisi kebijakan moneter ini sangat penting
dalam formulasi kebijakan moneter.
Dalam kerangka kerja kebijakan moneter yang berlaku di Bank
Indonesia saat ini, kebijakan moneter difokuskan kepada pencapaian
sasaran inflasi dengan lebih mengandalkan kepada pendekatan
kuantitas besaran moneter (quantity approach). Dalam hal ini,
pencapaian sasaran inflasi dilakukan dengan pengendalian uang
primer sebagai target operasional. Dari hasil kajian awal yang
dilakukan oleh Bank Indonesia, dengan menggunakan jalur suku
bunga dan nilai tukar mengenai transmisi kebijakan moneter ke
inflasi, didindikasikan bahwa kebijakan moneter membutuhkan
waktu yang panjang untuk dapat mempengaruhi harga-harga di pasar
domestik, yaitu antara 1 – 2 tahun. 49 Dengan tenggat waktu yang
panjang tersebut berarti kenaikan suku bunga SBI yang dilakukan
saat ini baru memberikan pengaruh penurunan harga-harga pada 1
– 2 tahun kemudian. Oleh karena itu, dalam formulasi kebijakan
moneter, yang perlu dipertimbangkan adalah proyeksi inflasi dan
ekonomi makro dalam jangka 1 – 2 tahun ke depan dibandingkan
dengan targetnya pada periode tersebut. Dengan kata lain, orientasi
dari formulasi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia harus bersifat
forward looking.

49
Hasil kajian dari negara lain, seperti Kanada dan Selandia Baru juga menghasilkan lag
sekitar 2 tahun. Sementara, lag di Brazil justru lebih cepat, sekitar 6 kuartal.

69
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Daftar Pustaka

Alamsyah, Halim, et al. (2000), Framework for Implemeting Inflation


Targeting in Indonesia, on BI-IMF Conference on Monetary Policy
and Inflation Targeting in Emerging Economies, Bank Indonesia.
Ascarya (2002), Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, Seri
Kebanksentralan No. 3, PPSK, Bank Indonesia.
Bank Indonesia, Laporan Tahunan Bank Indonesia, Beberapa tahun
penerbitan, Bank Indonesia.
Barro R.J. and Gordon D.B. (1983), ‘Rules, Discretion and Reputation in
A Model of Monetary Policy’, Journal of Monetary Economics,12.
Bernanke, B. et al.(1999), Inflation Targeting: Lessons from International
Experience, Princenton University Press.
Bofinger, Peter (2001), Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategies,
and Instruments, Oxford University Press.
Bond, T.J., et.al.(1994), ‘Monetary Targets’, URES Discussion Paper,
Agustus, Bank Indonesia.
BSIS (1997), The Transmission Mechanism of Monetary Policy in
Developing Countries”.
Cecchetti, Stephen G. (1998), ‘Policy Rules and Targets: Framing the
Central Banker’s Problem’, FRBNY Economic Policy Review, June.
Dornbusch, R., et al.(2001), Macroeconomics, 8th Edition, The McGraw-
Hill/Irwin.
Friedman, Milton (1991), Monetarist Economics, Basil Blackwell Ltd.
Grenville, S. (1997), The Evolution of Monetary Policy: From Money
Targets to Inflation Targets, Conference on Monetary Policy and
Inflation Targeting, RBA, July.
Khan, Mohsin S. (2003), Current Issues in Designing and Conduct of
Monetary Policy, Paper prepared for the RBI/IGIDR 5th Annual
Conference on Money and Finance in Indian Economy, January.

70
Laidler, David E.W. (1997), The Demand for Money, Harper &Row, Publ.
Inc.
Madjardi, F. dkk. (2001), Penyempurnaan Perhitungan Inflasi Inti (Core
Inflation), Laporan Hasil Penelitian, Bagian Studi Sektor Riil,
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Miskhin, F.S.(1999), ‘International Experiences with Different Monetary
Policy Regimes’, Journal of Monetary Economics, 43.
Parkin, M. and Bade R. (1988), Modern Macroeconomics, Philip Alan
Publishers Ltd.
Rothenberg, Alexander D.(2002), The Monetary-Fiscal policy Mix:
Empirical Analysis and Theoretical Implications, Working paper.
Samuelson, Paul.A. and William D. Nordhaus (2002), Economics, 7th
Edition, The McGraw-Hill/Irwin.
Sarwono, Hartadi A. (1996), Mencari Paradigma Baru Manajemen
Moneter di Indonesia, Makalah SESPIBI Angkatan XXI, Bank
Indonesia.
___________ dan Warjiyo, P. (1998), ‘Mencari Paradigma Baru
Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu
Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia’, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 1, Bank Indonesia.
Solikin (1998), The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and
Money Multiplier in Indonesia, 1971-1996, Unpublished Working
Paper, Department of Economics, The University of Michigan, August.
___________ dan Suseno (2002), Uang: Pengertian, Pencipataan, dan
Peranannya dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan No.1, PPSK,
Bank Indonesia.
___________ dan Suseno (2002), Penyusunan Statistik Uang Beredar,
Buku Seri Kebanksentralan No.2, PPSK, Bank Indonesia.
Taylor, J.B. (1993), “Discretion Versus Policy Rules in Practice”,
Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy, 39.
__________ (1995), ‘The Monetary Transmision Mechanism: An
Empirical Framework’, Journal of Economic Perspectives, 9.

71
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

__________ , Editor (1999), ‘Monetary Policy Rules’, NBER Conference


Report, The University of Chicago Press.
Walsh, Carl E. (2001), Monetary Policy and Theory, the MIT Press, the
3rd printing.
Warjiyo, P. dan Doddy Zulverdi (1998), ‘Penggunaan Suku Bunga sebagai
Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia’, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Bank Indonesia.
Warjiyo, P. and Juda Agung, Editor (2001), Transmision Mechanisms of
Monetary Policy in Indonesia, Directorate of Economic Research and
Monetary Policy, Bank Indonesia.

72
Seri Kebanksentralan

No. 10 BANK INDONESIA

Instrumen Pengendalian Moneter

Operasi
Pasar Terbuka

F.X. Sugiyono

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar,
oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter,
oleh Ascarya, Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.
5. Kelembagaan Bank Indoesia,
oleh F.X. Sugiyono dan Ascarya, Desember 2003.
6. Kebijakan Moneter di Indonesia,
oleh Perry Warjiyo dan Solikin, Desember 2003.
7. Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia,
oleh Suseno dan Piter Abdullah, Desember 2003.
8. Kebijakan Sistem Pembayaran di Indonesia,
oleh Sri Mulyati Tri Subari dan Ascarya, Desember 2003.
9. Organisasi Bank Indonesia,
oleh Suarpika Bimantoro dan Syahrul Bahroen, Desember 2003.
10. Instrumen Pengendalian Moneter, Operasi Pasar Terbuka
oleh F.X. Sugiyono, Mei 2004.
11. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia
oleh Perry Warjiyo, Mei 2004.

Seri Kebanksentralan ini diterbitkan oleh:


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
BANK INDONESIA
Jl. MH. Thamrin No. 2, Gd. A lt. 18, Jakarta 10010
No. Telepon: 021-3817628, No. Fax: 021-3501912
e-mail: PPSK@bi.go.id

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Seri Kebanksentralan No. 10

Instrumen Pengendalian Moneter

Operasi
Pasar Terbuka

F.X. Sugiyono

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Mei 2004


i
F.X. Sugiyono
Instrumen Pengendalian Moneter: Operasi
Pasar Terbuka / F.X. Sugiyono. -- Jakarta :
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK) BI, 2004.
i-vii; 38 hlm.; 15,2 cm x 22,8 cm. – (Seri
Kebanksentralan; 10)

Bibliografi: hlm. – 37
ISBN 979-3363-11-8
332.11

ii
Sambutan

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada
kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank
Indonesia kembali menerbitkan buku seri kebanksentralan. Penerbitan
buku ini sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk
mewujudkan transparansi kepada masyarakat luas. Selain itu, sebagai
sumbangsih dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran
kepada masyarakat, Bank Indonesia juga terus berupaya meningkatkan
kualitas publikasi yang ditujukan untuk memperkaya khazanah ilmu
kebansentralan.
Buku seri kebanksentralan merupakan rangkaian tulisan mengenai
ilmu kebanksentralan ditinjau dari aspek teori maupun praktek, yang ditulis
oleh para penulis dari kalangan Bank Indonesia sendiri. Buku seri ini
dimaksudkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan mengenai
berbagai aspek kebansentralan terutama yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Sebagai bacaan masyarakat
umum, buku seri ini ditulis dalam bahasa yang cukup sederhana dan mudah
dipahami, serta sejauh mungkin menghindari penggunaan istilah-istilah
teknis yang kiranya dapat mempersulit pembaca dalam memahami isi
buku.
Penulisan buku seri kebanksentralan ini diorganisir secara sistematis
dengan terlebih dahulu menerbitkan buku seri mengenai aspek-aspek
pokok kebansentralan, yaitu: (1) bidang moneter, (2) bidang perbankan,
(3) bidang sistem pembayaran, dan (4) bidang organisasi dan managemen
bank sentral. Selanjutnya masing-masing bidang dirinci dengan topik-
topik khusus yang lebih fokus pada tema tertentu yang tercakup pada
salah satu bidang tugas bank sentral. Dengan demikian sistematika
publikasi buku seri kebanksentralan ini analog dengan pohon yang terdiri
dari batang yang memiliki cabang dan ranting-ranting. Sebagai
kelanjutan buku seri sebelumnya, pada kesempatan ini diterbitkan buku
seri yang terkait dengan bidang moneter dengan topik Instrumen
Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka. Buku ini membahas

iii
jenis-jenis instrumen moneter yang lazim digunakan oleh otoritas moneter,
dan bagaimana Bank Indonesia melaksanakan Operasi Pasar Terbuka
sebagai instrumen kebijakan moneter di Indonesia.
Akhirnya, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal
serta pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah
khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Mei 2004


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Perry Warjiyo
Direktur

iv
Pengantar

Sebagai salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro,


kebijakan moneter mempunyai peranan yang strategis mengingat
kebijakan moneter dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan ekonomi
makro, seperti stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan
kesempatan kerja. Dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bank sentral
umumnya merumuskan kerangka kerja baik yang bersifat strategis maupun
operasional. Kerangka strategis kebijakan berkaitan dengan penetapan
strategi pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter melalui penetapan
sasaran, seperti sasaran besaran moneter (monetary targeting) dan sasaran
inflasi (inflation targeting). Dalam tataran operasional, pencapaian sasaran
yang telah ditetapkan dilaksanakan melalui penyusunan kerangka
kebijakan dan penetapan sasaran operasional atau instrumen kebijakan
yang sesuai dengan pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Instrumen
kebijakan moneter yang saat ini digunakan oleh Bank Indonesia adalah
instrumen tidak langsung, meliputi Operasi Pasar Terbuka (OPT), fasilitas
diskonto, penetapan giro wajib minimum, dan imbauan, yang dalam
pelaksanaannya dapat diterapkan baik secara bersama-sama maupun
tersendiri.
Keberadaan OPT sebagai instrumen utama yang dipakai secara
operasional sehari-hari belum banyak diketahui secara jelas oleh kalangan
luas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai instrumen
OPT dan bagaimana instrumen ini diterapkan oleh Bank Indonesia selaku
otoritas moneter, penulis mencoba menyajikannya dalam buku seri
kebanksentralan ini. Banyak rekan yang telah memberikan kontribusi
dalam penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan dan Direktorat Pengelolaan Moneter yang telah
ikut membantu kelancaran penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih
secara khusus penulis sampaikan kepada Sdri. Kartini Tholib, Sdr. Iskandar
Simorangkir, Sdr. Solikin, dan Sdr. Priyanto B. Nugroho, yang telah
memberikan saran-saran dan masukan-masukan dalam penyelesaian
penulisan buku ini. Demikian pula ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Sdr. P. Iman Soesanto dan Sdr. Wahyu Tri Sasongko yang telah
membantu penyelesaian akhir penulisan buku ini.

v
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam buku ini. Untuk itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran
untuk penyempurnaan buku ini. Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Mei 2004

Penulis

vi
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar v
Daftar Isi vii

Pendahuluan 1

Kerangka Kebijakan Moneter 4

Instrumen Kebijakan Moneter 7


Perkembangan Penggunaan Instrumen Kebijakan Pengendalian
Moneter di Beberapa Negara 8
Instrumen Kebijakan Moneter di Indonesia 10

Operasi Pasar Terbuka 12

Operasi Pasar Terbuka di Indonesia 15


Mekanisme Operasi Pasar Terbuka 17
Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia 18
Jual-beli surat berharga dalam rupiah 18
Penyediaan fasilitas simpanan Bank Indonesia dalam rupiah 19
Jual-beli valuta asing terhadap rupiah 21
Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka 22
Prosedur pelaksanaan lelang Sertifikat Bank Indonesia 22
Prosedur pelaksanaan fasilitas simpanan Bank Indonesia
dalam rupiah 28

Boks
Sertifikat Bank Indonesia 30

Lampiran
Contoh Perhitungan hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia 35

Daftar Pustaka 37

vii
Instrumen Pengendalian Moneter
Operasi
Pasar Terbuka

Pendahuluan

Pemaparan topik tentang Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang merupakan


salah satu instrumen kebijakan moneter, tentunya tidak akan terlepas dari
pemaparan tentang peranan kebijakan moneter itu sendiri. Sebagaimana
diketahui, kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari
kebijakan ekonomi makro yang mempunyai peranan penting dalam
menjaga stabilitas ekonomi. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter terkait
dengan upaya pengendalian jumlah uang beredar. Sebagai suatu kebijakan
pengendalian jumlah uang beredar, kebijakan moneter dapat diarahkan
untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran barang dan jasa
melalui mekanisme pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan
kebutuhan ekonomi atau permintaan uang.
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya kenaikan harga yang terus-menerus atau inflasi.
Sebaliknya, peningkatan jumlah uang beredar yang sangat rendah akan
mendorong terjadinya deflasi, yang selanjutnya mengakibatkan kelesuan
ekonomi. Namun, inflasi atau deflasi tidak hanya dipengaruhi oleh
keseimbangan permintaan dan penawaran uang tetapi juga oleh
perkembangan kegiatan sektor riil sehubungan dengan perubahan
permintaan dan penawaran barang dan jasa. Apabila inflasi atau deflasi
berlangsung terus-menerus, kondisi ekonomi secara keseluruhan akan
mengalami penurunan.

1
OPERASI PASAR TERBUKA

Dalam rangka mengatasi kondisi tersebut, pemerintah atau bank sentral


perlu mengambil langkah stabilisasi ekonomi, antara lain melalui
kebijakan fiskal dan/atau kebijakan moneter. Perubahan kebijakan fiskal
terkait dengan anggaran belanja negara dan mempengaruhi kegiatan
konsumsi dan investasi, dan pada gilirannya mempengaruhi permintaan
barang dan jasa serta penawaran produk dalam perekonomian. Sementara
itu, untuk mengendalikan jumlah uang beredar bank sentral atau otoritas
moneter dapat melakukan kebijakan moneter. Dalam kondisi terjadinya
peningkatan jumlah uang beredar bank sentral dapat melakukan kebijakan
kontraksi moneter atau menarik likuiditas yang ada dalam perekonomian.
Apabila terjadi sebaliknya, bank sentral dapat melakukan ekspansi atau
menambah likuiditas dalam perekonomian. Untuk keperluan tersebut bank
sentral dapat menggunakan instrumen-instrumen pengendalian moneter,
baik yang langsung maupun tidak langsung, untuk menyeimbangkan
permintaan uang dengan penawaran uang. Instrumen langsung yang dapat
dipergunakan oleh bank sentral antara lain ialah penetapan pagu kredit,
pengendalian suku bunga, dan kredit langsung. Adapun instrumen tidak
langsung yang digunakan antara lain OPT, fasilitas diskonto, cadangan
wajib minimum, atau sering juga disebut giro wajib minimum, dan
imbauan moral suasion (Gambar 1).
Sebelum tahun 1970-an instrumen kebijakan pengendalian jumlah
uang beredar yang digunakan oleh sebagian besar bank sentral adalah

Gambar 1
Kebijakan Moneter

SASARAN SASARAN SASARAN


INSTRUMEN
OPERASIONAL ANTARA AKHIR

• Uang Primer • PDB


Operasi Pasar
Terbuka • Tk. Bunga • Neraca
M1, M2, Suku Pembayaran
Jk. Pendek
Bunga Jangka • Kesempatan
Panjang
Kerja
• Kestabilan
Giro Wajib Likuiditas Harga
Minimum Perbankan

2
Pendahuluan

instrumen langsung. Namun, pada akhir 1970-an bank sentral negara-


negara industri mulai meninggalkan instrumen langsung dalam
pengendalian moneternya dan mulai menggunakan instrumen tidak
langsung. Dalam tahun-tahun berikutnya kecenderungan ini juga diikuti
oleh bank sentral negara-negara berkembang dan negara-negara yang
sedang berkembang (Alexander et al., 1995). Hal ini terutama disebabkan
oleh kondisi perekonomian dunia yang semakin terbuka dan semakin
banyaknya negara yang menganut sistem external current and capital
account convertibility,1 yang menyebabkan instrumen langsung menjadi
kurang efektif dan menyebabkan inefisiensi dan disintermediasi sektor
keuangan.
Sementara itu, Bank Indonesia selaku bank sentral, sekaligus otoritas
moneter di Indonesia, bertugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut, Bank Indonesia
menetapkan sasaran inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi
perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran moneter. Dalam kaitan
ini, salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia
untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan mengupayakan
keseimbangan antara besarnya penawaran dengan permintaan uang. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia menetapkan uang primer, yang
terdiri dari uang kartal yang berada di luar Bank Indonesia dan simpanan
giro bank umum serta sektor swasta yang ada di Bank Indonesia, sebagai
sasaran operasional. Pencapaian sasaran uang primer diharapkan akan
mempengaruhi sasaran antara, yaitu likuiditas perekonomian, baik dalam
bentuk uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2),
yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan laju
inflasi (Gambar 1). Sebagaimana yang dilakukan oleh bank sentral
beberapa negara, pada awalnya Bank Indonesia menggunakan instrumen
langsung sebagai instrumen pengendalian moneter. Namun, mengingat
kebijakan tersebut kurang efektif, sejak 1983 instrumen pengendalian
langsung ditinggalkan dan digantikan dengan instrumen tidak langsung.
Secara operasional, instrumen utama dalam OPT adalah penerbitan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selain SBI, instrumen lain yang

1
Dalam sistem ini transaksi barang dan jasa dapat dikonversi sepenuhnya dengan transaksi
lalu-lintas modal.

3
OPERASI PASAR TERBUKA

dipergunakan dalam OPT ialah intervensi rupiah, yang pada tahun 2002
diubah menjadi fasilitas simpanan dalam rupiah di Bank Indonesia
(FASBI), dan/atau, apabila perlu, dapat dilakukan melalui seterilisasi
valuta asing.
Buku Seri Kebanksentralan ini akan menguraikan pelaksanaan
operasional pengendalian moneter melalui OPT. Uraian akan didahului
dengan kerangka kebijakan moneter yang merupakan salah satu kebijakan
makro ekonomi yang sangat strategis, dilanjutkan dengan istrumen-
instrumen beserta perkembangan penggunaannya oleh beberapa negara
dalam mencapai sasaran kebijakan moneter. Selanjutnya, akan dipaparkan
instrumen-instrumen kebijakan moneter yang dipergunakan oleh otoritas
moneter di Indonesia selama ini dan sebelum diuraikan bagaimana OPT
dilaksanakan di Indonesia akan dijelaskan terlebih dahulu apa itu OPT.
Dalam bagian akhir buku ini akan dipaparkan instrumen operasional OPT
yang dilaksanakan di Indonesia.

Kerangka Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan ekonomi yang


strategis mengingat kebijakan moneter dapat digunakan oleh pengambil
kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare)
yang umumnya tercermin pada pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga,
keseimbangan neraca pembayaran, dan perluasan lapangan kerja. Peranan
kebijakan moneter dalam mempengaruhi perkembangan beberapa
indikator ekonomi makro utama tersebut diyakini karena terdapat
keterkaitan yang cukup erat antara perkembangan variabel indikator
kebijakan moneter, uang beredar, dan suku bunga dengan perkembangan
kegiatan sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan kebijakan moneter
dapat ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB)
yang antara lain merupakan hasil dari pengeluaran konsumsi masyarakat,
investasi di sektor riil, dan sektor eksternal, yaitu neraca pembayaran.
Perkembangan kegiatan di sektor riil tersebut pada dasarnya sangat

4
Kerangka Kebijakan Moneter

tergantung pada perkembangan likuiditas dan suku bunga di pasar


keuangan. Selain itu, mengingat perkembangan inflasi dalam jangka
panjang dianggap sebagai fenomena moneter maka dinamika
perkembangannya juga tergantung pada ketersediaan likuiditas, yang
sesuai dengan kebutuhan, dalam suatu perekonomian. Ketika tingkat
pertumbuhan penawaran uang melebihi pemintaan akan uang, laju inflasi
akan mengalami kenaikan. Dengan mengendalikan pertumbuhan jumlah
uang beredar atau tingkat likuiditas perekonomian, bank sentral akan dapat
mengendalikan kestabilan harga.
Di sektor eksternal, sasaran akhir kebijakan moneter dapat juga
diarahkan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Dalam kaitan
ini, pertumbuhan jumlah uang beredar yang terlalu besar dapat
meningkatkan pengeluaran di dalam negeri, yang pada gilirannya akan
meningkatkan harga. Peningkatan harga di dalam negeri yang terlalu tinggi
dapat mengakibatkan turunnya daya saing barang ekspor dan, sebaliknya,
akan meningkatkan daya saing barang impor. Secara keseluruhan, kondisi
tersebut akan mempengaruhi keseimbangan neraca pembayaran. Dalam
kaitan ini, kebijakan moneter yang diambil diharapkan secara langsung
akan mempengaruhi neraca modal melalui pengendalian jumlah
penawaran uang dan nilai tukar.
Pada praktiknya, semua sasaran akhir kebijakan moneter tersebut tidak
selalu dapat dicapai secara bersamaan, bahkan kebijakan yang diambil
dapat saling kontradiktif. Sebagai contoh, pada saat bank sentral
menerapkan kebijakan uang ketat untuk menjaga kestabilan harga yang
disebabkan oleh berlebihnya penawaran uang, bank sentral akan
mengurangi jumlah uang beredar sehingga terjadi kelangkaan dana di
pasar keuangan dan selanjutnya akan mendorong kenaikan suku bunga.
Sementara itu, kenaikan suku bunga akan mengakibatkan investasi
terhambat, yang pada gilirannya mempengaruhi produksi dan
pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini telah mendorong bank sentral pada
umumnya cenderung untuk menetapkan sasaran kebijakan moneter pada
sasaran tunggal, yaitu menjaga kestabilan nilai mata uang yang tercermin
pada tingkat inflasi dan nilai tukar (external and internal values).
Secara umum, kerangka kebijakan moneter yang diterapkan oleh
bank sentral terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional.

5
OPERASI PASAR TERBUKA

Kerangka strategis kebijakan moneter meliputi dua sasaran, yaitu sasaran


akhir yang biasanya diarahkan untuk mencapai stabilitas harga dan/atau
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sementara itu, kerangka
operasional meliputi penetapan sasaran operasional dan instrumen yang
akan digunakan. Sasaran operasional yang ditetapkan oleh bank sentral
meliputi likuiditas bank (bank reserves) dan suku bunga pasar uang jangka
pendek (short-term money interest rates). Sementara itu, instrumen yang
dipergunakan dapat berupa instrumen langsung atau instrumen tidak
langsung (Gambar 2).
Gambar 2
Kerangka Kebijakan Moneter

IMPLEMENTASI S T R AT E G I

SASARAN ANTARA
TARGET INDIKATOR SASARAN
INSTRUMEN SASARAN VARIABEL BARANG
& AKHIR
OPERASIONAL
ARAH KEBIJAKAN

¥ SUKU BUNGA ¥ SUKU BUNGA PASAR ¥ NILAI TUKAR ¥ STABILITAS HARGA


¥ GIRO WAJIB MINIMUM UANG JK PENDEK ¥SUKU BUNGA JANGKA ¥ PERTUMBUHAN
¥ OPERASI PASAR ¥ LIKUIDITAS BANK PENDEK JANGKA PANJANG
¥ PENGENDALIAN ¥ UANG/KREDIT
LANGSUNG ¥ HARGA ASET

Perlu dikemukakan bahwa instrumen moneter tidak langsung, seperti


OPT, fasilitas diskonto, giro wajib minimum, dan imbauan, merupakan
instrumen kebijakan moneter yang biasa digunakan untuk mempengaruhi
uang primer (reserve money, base money) dan jumlah uang beredar,
terutama di negara dengan ekonomi terbuka dan peranan sektor swasta
cukup dominan. Sementara itu, walaupun cenderung untuk ditinggalkan,
instrumen-instrumen langsung, seperti pagu kredit, pengendalian suku
bunga, kredit langsung, rasio likuiditas (statutory liquidity ratios), dan
kuota rediskonto (rediscount quotas), juga digunakan.2
2
Untuk memperdalam pemahaman mengenai instrumen pengendalian moneter silakan
membaca Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya, Buku Seri
Kebanksentralan No. 3, PPSK Bank Indonesia (2002)

6
Instrumen Kebijakan Moneter

Instrumen Kebijakan Moneter

Secara umum, dalam melaksanakan kebijakan moneter bank sentral dapat


menggunakan instrumen langsung (direct instrument), yaitu dengan
mengeluarkan ketentuan sesuai dengan wewenangannya, dan instrumen
tidak langsung (indirect instrument), yaitu dengan mempengaruhi kondisi
pasar uang. Instrumen langsung ditujukan untuk mengendalikan baik harga
maupun jumlah besaran moneter dan terutama ditujukan untuk
mempengaruhi neraca bank-bank komersial, misalnya penetapan pagu
kredit (credit controls). Sementara itu, instrumen tidak langsung
merupakan usaha untuk mengendalikan besaran moneter dengan cara
mempengaruhi neraca bank sentral. Satu hal yang penting dalam instrumen
tidak langsung ialah bahwa bank sentral dapat mempengaruhi posisi uang
primer atau likuiditas bank yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
kredit dan penawaran uang (Alexander et al., 1995).
Secara umum, baik instrumen kebijakan moneter langsung maupun
tidak langsung mempunyai berbagai macam bentuk dan masing-masing
memiliki karakteristik dan kelebihan atau kekurangan. Bentuk instrumen
langsung yang banyak dipergunakan adalah pengendalian suku bunga
(interest rate ceilings), pagu kredit, dan kredit program/kredit khusus
(directed credits) bank sentral. Sementara itu, secara umum, terdapat tiga
bentuk utama instrumen tidak langsung, yaitu OPT, cadangan wajib
minimum (reserve requirement), dan fasilitas pendanaan jangka pendek
atau fasilitas diskonto.3
Secara garis besar, OPT didefinisikan sebagai pembelian atau
penjualan surat-surat berharga oleh bank sentral baik pada pasar perdana
maupun pasar sekunder dengan tujuan untuk mempengaruhi kondisi
likuiditas pasar uang. Surat-surat berharga yang biasanya dipergunakan
untuk keperluan OPT antara lain ialah surat berharga yang diterbitkan
oleh pemerintah (treasury bills atau T-bills), surat berharga yang
diterbitkan oleh bank sentral (central bank bills), dan surat berharga yang

3
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya, PPSK Bank Indonesia (2002)

7
OPERASI PASAR TERBUKA

diterbitkan oleh sektor swasta (prime commercial papers). Cadangan wajib


merupakan jumlah minimum cadangan giro yang ada di bank sentral,
yang wajib disediakan oleh lembaga keuangan. Fasilitas pendanaan jangka
pendek dapat diberikan dalam berbagai bentuk, pada umumnya berbentuk
rediskonto surat berharga yang berkualitas tinggi, seperti T-bills, pinjaman
dengan jaminan surat berharga, atau kredit melalui lelang.
Dibandingkan dengan kedua instrumen lainnya, OPT merupakan
instrumen yang paling sering dipergunakan oleh otoritas moneter dalam
melaksanakan kebijakan moneternya mengingat instrumen ini lebih
berorientasi pasar, keterlibatan peserta OPT (bank dan pialang) tidak
mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap oleh pasar, dan tidak
membebankan pajak kepada bank (Gray, et al., 1995). Selain itu, bank
sentral dapat mengontrol frekuensi OPT dan jumlah/kuantitas lelang yang
diinginkan sehingga OPT merupakan instrumen yang sangat bermanfaat
untuk menstabilkan uang primer atau suku bunga jangka pendek.
Dengan menggunakan instrumen tidak langsung, bank sentral
memiliki kemampuan untuk menentukan besarnya penawaran uang primer
meskipun kemampuan mengendalikan penawaran dalam jangka panjang
hanya dapat dilakukan oleh negara yang melaksanakan sistem nilai tukar
mengambang penuh (flexible exchange rate). Namun, bagi negara yang
melaksanakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) atau sistem
nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate),
kebijakan bank sentral pada umumnya dapat mempengaruhi uang primer,
paling tidak untuk jangka pendek (Alexander, et al., 1995).

Perkembangan Penggunaan Instrumen Kebijakan Pengendalian


Moneter di Beberapa Negara
Pada akhir 1970-an bank sentral negara-negara industri mulai
meninggalkan instrumen langsung dalam pengendalian moneternya dan
mulai menggunakan serta mengandalkan instrumen tidak langsung.
Kecenderungan ini pada tahun-tahun berikutnya juga diikuti oleh bank
sentral negara-negara berkembang dan negara-negara sedang berkembang.
Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian dunia yang
semakin terbuka dan semakin banyaknya negara yang menganut sistem

8
Instrumen Kebijakan Moneter

external current and capital account convertibility, yang menyebabkan


instrumen langsung menjadi kurang effektif dan menyebabkan inefisiensi
dan disintermediasi sektor keuangan.
Sejak 1990-an mulai terlihat adanya kecenderungan bank-bank sentral
untuk mengadopsi kerangka strategis pelaksanaan kebijakan moneter yang
relatif baru, yaitu penetapan sasaran inflasi (inflation targeting). Bahkan,
pada dekade 1990-an, sekitar 58% bank sentral menggunakan kerangka
strategis tersebut dibandingkan dengan hanya 5% pada tahun 1990,
sementara beberapa negara masih menggunakan sasaran lebih dari satu.4
Sementara itu, di negara-negara ASEAN yang terkena krisis ekonomi
di pertengahan 1997, hampir semua bank sentralnya telah pula
mengalihkan kebijakan dari penetapan sasaran besaran moneter (monetary
targeting) ke sasaran inflasi. Korea beralih ke sasaran inflasi pada tahun
1998, Thailand pada tahun 2000, dan Filipina pada tahun 2001. Negara-
negara lain yang beralih ke penetapan sasaran inflasi antara lain ialah
Selandia Baru, Australia, dan Brazil. Peralihan ke penetapan sasaran inflasi
dilatarbelakangi antara lain oleh semakin diyakininya pandangan bahwa
pengendalian inflasi merupakan salah satu prasyarat bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Selain itu, fakta empiris
menunjukkan bahwa semakin banyak negara penganut kerangka strategis
kebijakan penetapan sasaran inflasi yang telah berhasil mengatasi
permasalahan tingginya laju inflasi yang terjadi selama ini. Perkembangan
tersebut didukung oleh beberapa kondisi, antara lain (i) beralihnya rezim
nilai tukar dari sistem nilai tukar tetap atau mengambang terkendali ke
sistem nilai tukar fleksibel sehingga dibutuhkan nominal anchor yang
baru, (ii) semakin cepatnya perubahan perekonomian dunia dan
lingkungan finansial, (iii) tumbuhnya kesadaran masyarakat akan
informasi dan berita, dan (iv) kurang jelasnya kerangka kebijakan moneter
yang sebelumnya dianut oleh banyak bank sentral.
Peralihan kebijakan moneter negara-negara tersebut dari penetapan
sasaran moneter ke penetapan sasaran inflasi pada umumnya tidak
mengubah operasi pengendalian moneternya. Yang berubah hanya sasaran
4
Gray Simon, Glenn Hoggarth, Joanna Place, Introduction to Monetary Operations, revised,
2nd edition, Handbooks in Central Banking No. 10. Centre for Central Banking Studies,
Bank of England

9
OPERASI PASAR TERBUKA

operasionalnya sehingga modifikasi yang berhubungan dengan perubahan


sasaran operasional saja yang diperlukan dan biasanya dilakukan secara
bertahap.
Sementara itu, instrumen-instrumen kebijakan moneter yang
digunakan pada umumnya meliputi instrumen-instrumen tidak langsung
yang lazim digunakan, seperti OPT, cadangan wajib minimum, dan fasilitas
diskonto. Instrumen-instrumen lain yang juga masih digunakan antara
lain ialah fasilitas rediskonto, lelang kredit, dan operasi valuta asing
(swaps). Sebagian besar bank sentral menggunakan OPT sebagai
instrumen utamanya. Di samping itu, ada pula beberapa bank sentral yang
menggunakan instrumen selain OPT sebagai instrumen utamanya, seperti
bank sentral Brazil yang menggunakan fasilitas diskonto. Sementara itu,
instrumen utama OPT yang digunakan pada umumnya adalah surat
berharga pemerintah (Korea, Selandia Baru, Australia, dan Brazil) dan
dilengkapi dengan surat berharga bank sentral (Korea, Selandia Baru,
dan Brazil) (Lampiran 2).

Instrumen Kebijakan Pengendalian Moneter di Indonesia


Pada awal 1980-an kebijakan moneter di Indonesia yang saat itu
menggunakan instrumen kebijakan langsung (direct control) mulai
menunjukkan kecenderungan tidak efektif meskipun sampai dengan tahun
1978 kebijakan tersebut tampak cukup berhasil mengendalikan
pertumbuhan uang beredar dan inflasi. Hal ini dapat dilihat dari
pertumbuhan base money yang sejak 1979 mulai menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat, yaitu dari 10% pada tahun 1978
menjadi 34% pada tahun 1980. Di samping itu, pada periode yang sama,
inflasi naik dari 8,3% pada tahun 1978 menjadi 34% pada tahun 1980.
Penyebab utama ketidakefektifan tersebut menurut McLeod (1993) dan
Woo (1995) antara lain adalah pertumbuhan kredit likuiditas yang cukup
tinggi sehingga memberikan kontribusi utama terhadap pertumbuhan yang
cukup tinggi pula pada uang primer, sistem penentuan pagu kredit sangat
susah untuk diubah, terdapatnya kebocoran mengingat perusahaan besar
sangat mudah mendapatkan kredit dari luar negeri pada periode tersebut
sehubungan dengan terjadinya oil boom.

10
Instrumen Kebijakan Moneter

Menghadapi kondisi tersebut, pada tahun 1983 pemerintah mulai


mengeluarkan rangkaian kebijakan deregulasi di bidang keuangan dan
perbankan. Sejalan dengan itu, dilakukan perubahan instrumen kebijakan
moneter dari langsung menjadi tidak langsung, antara lain melalui
penghapusan pagu kredit, penghapusan pengendalian suku bunga (interest
rate control), pengurangan kredit likuiditas dari Bank Indonesia, dan
pengenalan pertama kali penggunaan SBI dan surat berharga pasar uang
(SBPU) sebagai instrumen operasional kebijakan moneter. Mulai saat itu
Bank Indonesia telah beralih dari kebijakan penggunaan instrumen
langsung, yaitu terutama melakukan pengendalian kredit perbankan, ke
penggunaan instrumen pengendalian tidak langsung, yaitu dengan
berusaha mengendalikan jumlah uang beredar. Hal ini sesuai dengan
pendekatan penetapan sasaran besaran moneter yang diterapkan oleh Bank
Indonesia.
Instrumen kebijakan moneter yang saat ini dipergunakan oleh Bank
Indonesia dalam mencapai sasaran-sasaran moneter ialah (i) Giro Wajib
Minimum (reserve requirement), (ii) OPT, (iii) fasilitas diskonto atau
fasilitas pendanaan jangka pendek, dan (iv) imbauan. Dari keempat
instrumen tersebut, meskipun Bank Indonesia menggunakan ketiga
instrumen lainnya, secara operasional instrumen utama untuk mencapai
sasaran moneter adalah OPT mengingat OPT merupakan instrumen yang
paling fleksibel baik dalam penentuan jangka waktu, jumlah dana yang
harus dikendalikan, maupun waktu penetapan pelaksanaannya. Sementara
itu, Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan dana yang wajib disimpan
oleh bank-bank dalam bentuk giro di Bank Indonesia. Kewajiban dalam
GWM ini akan mempengaruhi jumlah likuiditas yang ada di bank-bank.
Berbeda dengan OPT dan fasilitas pendanaan jangka pendek yang disediakan
oleh Bank Indonesia, GWM merupakan instrumen yang kurang fleksibel
mengingat terhadap kebijakan ini tidak dapat dilakukan perubahan setiap
saat baik volume, jangka waktu maupun jumlah dana yang diserap. Hal ini
mengingat GWM tidak dapat dipergunakan sebagai instrumen operasional
sehari-hari karena selain diberlakukan untuk waktu yang tidak dapat setiap
saat dilakukan perubahan, juga ditetapkan sebesar persentase tertentu dari
dana yang di simpan masyarakat di bank (dana pihak ketiga), sehingga
jumlah dana yang diserap dapat tidak sesuai dengan yang diperlukan. Selain

11
OPERASI PASAR TERBUKA

itu, instrumen ini juga mengikat terhadap bank karena merupakan kewajiban,
yang pada gilirannya kebijakan ini juga dapat mempengaruhi fungsi
intermediasi perbankan.
Dalam pada itu, OPT yang merupakan instrumen utama kebijakan moneter
adalah transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
bank dan pihak lain dalam rangka mencapai sasaran jumlah uang primer. OPT
oleh Bank Indonesia dilakukan melalui penjualan atau pembelian SBI secara
bilateral, antara Bank Indonesia dengan bank atau pialang dengan maksud untuk
mempengaruhi likuiditas pasar uang sehingga akan memberikan pengaruh
kontraksi pada saat Bank Indonesia menjual SBI dan ekspansi pada saat Bank
Indonesia membelinya kembali (SBI repurchase agreement). Sementara itu,
guna lebih menjaga terkendalinya likuiditas pasar uang, sejak 1998 Bank
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan fasilitas simpanan
dalam rupiah di Bank Indonesia (FASBI) — sebelumnya sering disebut dengan
intervensi rupiah (IR) —yang pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai
instrumen baik kontraksi maupun ekspansi oleh Bank Indonesia melalui kegiatan
pinjam-meminjam di pasar uang antarbank. Selain itu, meskipun secara
operasional tidak selalu digunakan, dalam OPT Bank Indonesia juga
menggunakan instrumen lain, yaitu jual-beli surat berharga dalam rupiah dan
jual-beli valuta asing terhadap rupiah — lebih dikenal dengan intervensi atau
sterilisasi valuta asing — serta imbauan.

Operasi Pasar Terbuka

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, OPT merupakan instrumen yang


paling banyak dipergunakan oleh otoritas moneter dalam melaksanakan
kebijakan moneter mengingat instrumen ini lebih berorientasi pasar, keterlibatan
peserta OPT tidak mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap pasar, dan
tidak membebankan pajak pada bank (Gray, et al., 1995). Selain itu, dengan
menggunakan OPT, bank sentral dapat mengendalikan frekuensi dilakukannya
OPT dan menetapkan jumlah/kuantitas lelang yang diinginkan sehingga OPT
dapat diandalkan untuk dapat mengendalikan jumlah uang beredar. Dengan
menyesuaikan likuiditas dalam sistem perbankan, bank sentral mendorong

12
Operasi Pasar Terbuka

terjadinya pergeseran dana (funds) secara berkala atau secara bersiklus sehingga
akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek dan perkembangan penawaran
uang. Dalam operasinya, bank sentral membeli dan menjual surat berharga
pemerintah di pasar sekunder atau surat berharga bank sentral dengan tujuan
untuk mempengaruhi tingkat likuiditas yang ada pada sistem moneter.5
Selaku otoritas moneter dalam mengendalikan likuiditas perbankan melalui
OPT bank sentral dapat melakukan penjualan atau pembelian surat berharga.
Apabila likuiditas perbankan melebihi permintaan maka bank sentral dapat
melakukan penjualan surat berharga. Secara teori, penjualan surat berharga
oleh bank sentral akan mengakibatkan uang primer mengalami penurunan.
Sementara itu, penjualan surat berharga akan membawa suku bunga jangka
pendek mengalami kenaikan dan pada gilirannya M1 dan M2 sebagai indikator
pencapaian kebijakan akan mengalami penurunan. Demikian pula sebaliknya,
apabila likuiditas perbankan lebih rendah dibandingkan dengan permintaan,
bank sentral dapat melakukan pembelian. Dengan pembelian surat berharga,
uang primer akan meningkat. Disamping itu, dengan pembelian surat berharga,
suku bunga jangka pendek akan menurun dan, pada akhirnya, M1 dan M2 akan
meningkat (Gambar 3).

Gambar 3
Operasi Pasar Terbuka

i
Penjualan Surat Mo
Berharga
M1 & M2
OPT Harga
(inflasi)
i
Pembelian Surat Mo
Berharga
M1 & M2

5
Sistem moneter adalah lembaga pencipta uang kartal, giral, dan uang kuasi. Di Indonesia
lembaga ini terdiri dari bank sentral dan bank-bank pencipta uang giral (bank umum).

13
OPERASI PASAR TERBUKA

Operasi pasar yang bersifat kontraktif tentunya akan menimbulkan


konsekuensi finansial berupa biaya yang akan menjadi beban otoritas
moneter. Penanggung beban OPT tersebut sangat tergantung dari jenis
instrumen yang dipergunakan dalam OPT. Apabila bank sentral
melakukan OPT dengan menggunakan surat utang (sertifikat) yang
diterbitkan oleh bank sentral sebagaimana yang dilakukan saat ini oleh
Bank Indonesia maka beban dari OPT ini akan ditanggung oleh bank
sentral. Namun, apabila instrumen operasional yang digunakan adalah
T-bills atau obligasi pemerintah maka beban OPT akan menjadi beban
anggaran negara. Sementara itu, apabila bank sentral menggunakan
intervensi valuta asing atau sterilisasi valuta asing sebagai instrumen
operasional, sepanjang bank sentral ditunjuk sebagai pengelola cadangan
devisa negara, maka biaya yang timbul akan menjadi beban bank sentral;
apabila tetap dikelola oleh pemerintah maka beban tersebut akan
ditanggung oleh anggaran negara.
Dalam pada itu, beban yang ditimbulkan dalam OPT dengan
menggunakan instrumen T-bills sangat tergantung selain pada volume
T-bills yang dipergunakan dalam OPT, juga pada besarnya kupon yang
harus dibayarkan. Sementara itu, beban sertifikat bank sentral selain
tergantung pada besarnya volume, juga pada besarnya discount rate (suku
bunga) yang harus dibayarkan. Besarnya volume sebagaimana
dikemukakan sebelumnya sangat tergantung pada besarnya likuiditas yang
harus diserap, sementara besarnya suku bunga atau kupon yang harus
dibayar antara lain ditentukan oleh besarnya inflasi dan interest rate
differential (Gambar 4).6
Selanjutnya, dalam hal operasi pasar bersifat ekspansif, konsekuensi
finansial yang timbul akan merupakan kebalikan dari operasi pasar yang
bersifat kontraktif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

6
Secara teoritis besarnya inflasi akan berpengaruh searah terhadap suku bunga nominal;
demikian juga interest rate differential.

14
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

Gambar 4
Mekanisme Pelaksanaan Kebijakan Moneter

Operating
Target
T - Bill / Repo Rate
SUN Inflasi
Currency
Demand Base
for Money Suku Bunga Interest Rate
Money Bank Reserve Diff / Kurs

Lelang Biaya*
Discount
GWM OPT SBI / IR
Facility OPT
Instrumen kebijakan

Obligasi
Volume
Rekap

Lending
Bank
Sterilisasi
Valas NFA/IRFCL

* Biaya = konsekuensi finansial (positif atau negatif)


GWM : giro wajib minimum
T-Bill : treasury bill = obligasi pemerintah
SUN : surat utang negara
IR : intervensi rupiah
Valas : valuta asing
NFA/IRFCL : net foreign assets/international reserve of foreign currency liabilities =
cadangan devisa bersih

Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank


Indonesia, keberadaan Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen
dalam melaksanakan kebijakan moneternya mulai terwujud, terutama
dalam aspek fungsional dan penggunaan instrumen kebijakan moneter
dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan (instrument independence).

15
OPERASI PASAR TERBUKA

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sasaran yang ditetapkan


sesuai dengan undang-undang adalah menjaga stabilitas nilai rupiah.
Dalam melaksanakan tugas untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan
tersebut Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter antara lain dengan
menggunakan OPT sebagai instrumen operasionalnya. Secara umum, OPT
bertujuan mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter yang ditetapkan.
Sasaran operasional kebijakan moneter dapat ditetapkan berupa sasaran
kuantitas uang primer (atau komponennya) atau sasaran suku bunga pasar
jangka pendek. Dalam hal kebijakan moneter diarahkan pada pengendalian
sasaran kuantitas atau jumlah uang beredar maka uang primer atau
komponennya ditetapkan sebagai sasaran operasional dan jumlah uang
beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) merupakan sasaran
antara. Sementara itu, dalam hal kebijakan moneter diarahkan untuk
mengendalikan suku bunga maka suku bunga jangka pendek ditetapkan
sebagai sasaran operasional.
Sasaran operasional yang ditetapkan dalam kebijakan moneter adalah
jumlah uang primer. Untuk mencapai sasaran operasional kebijakan
moneter tersebut Bank Indonesia menempuh cara mempengaruhi likuiditas
perbankan melalui kontraksi moneter atau ekspansi moneter. Dalam
menetapkan seberapa besar kontraksi atau ekspansi yang akan dilakukan
harus diperhatikan komponen atau faktor-faktor yang mempengaruhi dan
komponen jumlah uang primer yang dalam hal ini adalah likuiditas
perbankan.
Dilihat dari sisi aktiva neraca Bank Indonesia, faktor-faktor yang
mempengaruhi uang primer terdiri dari dua kelompok besar, yaitu : 7
a) Cadangan devisa bersih (net international reserves) yang likuid atau
cadangan devisa setelah dikurangi kewajiban jangka pendek, yang
dimiliki Bank Indonesia; dan
b) Aktiva domestik bersih (net domestic assets) atau tagihan bersih Bank
Indonesia (otoritas moneter) kepada sektor swasta dalam negeri
(domestik). Tagihan ini terdiri dari tagihan bersih (setelah dikurangi
kewajiban) kepada pemerintah pusat, bantuan likuiditas, kredit

7
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, tabel 2

16
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

likuiditas, tagihan lainnya, instrumen OPT, dan lainnya (net other


items)
Sementara itu, dilihat dari sisi pasiva neraca Bank Indonesia, uang
primer terdiri dari tiga komponen besar, yaitu :
a) Uang kartal, yaitu uang logam dan kertas yang beredar di masyarakat
dan yang ada di kas bank,
b) Saldo giro bank, yaitu simpanan bank-bank dalam rupiah di Bank
Indonesia, dan
c) Saldo giro atau simpanan sektor swasta dalam rupiah di Bank Indonesia.
Dari komponen-komponen uang primer tersebut, yang berada dalam
kendali Bank Indonesia selaku otoritas moneter adalah uang kartal yang
ada di kas bank dan saldo giro perbankan di Bank Indonesia. Sementara
itu, jumlah uang kartal yang beredar di masyarakat hampir sekitar 70%
dari komponen uang primer, merupakan kebutuhan masyarakat yang harus
selalu dipenuhi dan yang pada dasarnya tidak dapat dikendalikan secara
langsung oleh Bank Indonesia (Boediono, 1998). Dengan demikian,
sasaran operasional yang diharapkan dapat dipengaruhi oleh OPT yang
dilakukan oleh Bank Indonesia hanyalah di luar uang yang beredar di
masyarakat yang sebagian besar berupa saldo giro perbankan di Bank
Indonesia.

Mekanisme Operasi Pasar Terbuka


Secara umum, OPT dilakukan dengan cara menjual atau membeli surat
berharga dalam rupiah di pasar primer atau sekunder melalui mekanisme
lelang atau nonlelang. Surat berharga dalam rupiah ini meliputi SBI, Surat
Utang Negara (SUN), dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan.8 Selain jual-beli surat berharga, OPT dapat juga
dilakukan dengan instrumen lain, berupa jual-beli valuta asing terhadap
rupiah dan penyediaan fasilitas simpanan bank sentral. Dilihat dari

8
Yang dimaksudkan dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain
yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga peringkat yang
berkompeten dan sewaktu-waktu mudah dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.

17
OPERASI PASAR TERBUKA

dampaknya terhadap kondisi moneter, OPT dapat bersifat kontraksi atau


menyerap kelebihan likuiditas yang ada di pasar dan bersifat ekspansi
atau menambah likuiditas di pasar. Dengan demikian, kegiatan OPT dapat
dilakukan melalui a) penerbitan surat berharga Bank Indonesia (SBI), b)
jual-beli surat berharga dalam rupiah, c) penyediaan fasilitas simpanan
Bank Indonesia dalam rupiah (intervensi rupiah/FASBI), dan d) jual-beli
valuta asing terhadap rupiah. Di antara beberapa instrumen OPT tersebut,
saat ini yang aktif digunakan adalah SBI, SWBI, intervensi rupiah, dan
FASBI. Dalam kaitan ini, baik SBI maupun intervensi rupiah kontraksi
pada dasarnya merupakan instrumen OPT yang bersifat kontraktif,
sementara SBI-Repo (repurchase agreement) dan intervensi rupiah
ekspansi dan FASBI bersifat ekspansif.

Penerbitan SBI
SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen OPT.
SBI merupakan surat pengakuan utang berjangka waktu pendek dalam
rupiah dengan menggunakan sistem diskonto. SBI diterbitkan melalui
meknisme lelang dan/atau nonlelang. SBI hanya dapat dibeli di pasar
perdana oleh bank atau pihak lain nonbank, seperti pialang yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, SBI yang telah dibeli di pasar perdana
dapat diperdagangkan di pasar sekunder. (Uraian lebih lanjut mengenai
SBI dapat dilihat pada Boks 1 : Sertifikat Bank Indonesia).

Jual-beli surat berharga dalam rupiah


Surat berharga yang diperjualbelikan di sini harus likuid. Artinya, surat
berharga tersebut memenuhi syarat : (i) diperdagangkan di pasar sekunder
dengan harga yang wajar, (ii) volume surat berharga memadai untuk
keperluan OPT, dan syarat yang juga penting ialah (iii) diterbitkan secara
kontinyu serta selalu tersedia setiap saat. Surat berharga yang tersedia di
pasar dan dapat memenuhi ketiga persyaratan tersebut saat ini adalah
SBI. Sementara itu, surat berharga lainnya yang pada umumnya
dipergunakan oleh bank-bank sentral, yaitu obligasi pemerintah atau SUN
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan atau
likuid, saat ini belum memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Meskipun

18
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

SUN sudah diperdagangkan di pasar sekunder, volumenya untuk


keperluan OPT belum memadai. Demikian juga surat berharga lainnya,
meskipun sudah diperdagangkan di pasar sekunder, volume dan
kesediaannya di pasar untuk keperluan OPT belum memadai. Mengingat
kedua instrumen terakhir ini belum sepenuhnya memenuhi ketiga
persyaratan tersebut maka keberadaannya belum dapat dipergunakan
sebagai instrumen OPT. Sebagai perbandingan, instrumen yang saat ini
banyak dipergunakan di sebagian negara maju dan beberapa negara
berkembang, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Argentina, dan
Korea, adalah obligasi pemerintah.

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)


Selain itu, terdapat satu instrumen OPT yang didasarkan pada prinsip
syariah, yaitu Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang merupakan
fasilitas penitipan dana bagi bank-bank syariah. Dilihat dari fungsinya,
SWBI merupakan instrumen pengendalian moneter yang bersifat
kontraksi. Dilihat dari sisi bank yang mengalami kelebihan likuiditas,
SWBI dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek dengan prinsip
bagi hasil atau imbalan atau bonus yang mengacu pada prinsip wadiah
yad dhamanah. Fasilitas ini memiliki jangka waktu dan window time yang
ditentukan oleh Bank Indonesia

Penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI)


Pada awal diterapkannya, Desember 1997, instrumen ini lebih dikenal
dengan nama intervensi rupiah (IR). Instrumen ini dipergunakan oleh Bank
Indonesia untuk melakukan kontraksi dan ekspansi moneter melalui
kegiatan pinjam-meminjam dana secara langsung di pasar uang antarbank
(PUAB). Intervensi rupiah pada awal dilaksanakannya dimaksudkan
sebagai pengganti SBI bilateral, dengan tujuan untuk membantu
penyerapan kelebihan likuiditas perbankan di luar SBI dengan jangka
waktu yang lebih pendek. Fasilitas ini diberikan oleh Bank Indonesia
kepada bank-bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia pada
saat yang dianggap perlu mengingat jangka waktu SBI terpendek adalah
1 bulan, sementara manajemen likuiditas perbankan cenderung berjangka

19
OPERASI PASAR TERBUKA

waktu lebih pendek. Selain itu, fasilitas ini tidak dapat diperdagangkan
dan hanya berjangka waktu pendek9 dengan tingkat bunga sesuai dengan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.10 Dalam perkembangannya, setelah
diterapkannya instrumen ini, suku bunga yang ditetapkan dipergunakan
oleh pasar sebagai signal arah perkembangan suku bunga yang diinginkan
oleh otoritas moneter. Dengan tersedianya fasilitas ini, bank-bank dapat
menyimpan kelebihan dana jangka pendeknya di Bank Indonesia apabila
berdasarkan perhitungan bank, dana jangka pendek yang dimilikinya
diperkirakan tidak dapat ditransaksikan ke pasar uang antarbank karena
rendahnya permintaan.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia akan mengumumkan
penyedian IR pada hari pelaksanaan penyediaan IR, antara lain meliputi
jangka waktu, tingkat diskonto, dan waktu pelaksanaan dibukanya
kesempatan mengajukan transaksi. Sebagaimana peserta lelang SBI,
peserta transaksi IR terdiri dari peserta langsung, yaitu bank untuk
kepentingannya sendiri dan pialang untuk kepentingan pihak lain, dan
peserta tidak langsung, yaitu bank yang mengajukan penawaran melalui
pialang.
Sebagaimana halnya dengan SBI, IR juga merupakan salah satu
instrumen operasional kebijakan moneter. IR yang merupakan instrumen
pendukung SBI dapat dipergunakan sebagai piranti fine tuning apabila
sasaran pengendalian uang primer belum tercapai melalui transaksi jual-
beli SBI atau realisasi jumlah uang beredar (uang primer) berada di atas
sasaran yang ditetapkan dalam pengendalian moneter. Dengan demikian,
fasilitas ini dapat merupakan instrumen fine tuning kebijakan
pengendallian uang primer dalam jangka waktu yang lebih pendek
daripada jangka waktu SBI.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 2002 IR diubah menjadi FASBI.
Fungsi IR sebagai instrumen pendukung SBI masih melekat pada FASBI
namun salah satu fungsi IR, yaitu untuk mendukung operasi kebijakan

9
Semula FASBI diberikan dengan jangka waktu dari 1 hari (overnight) hingga 7 hari.
Saat ini jangka waktu ditetapkan hanya untuk jangka waktu 1 hari.
10
FASBI dibuka untuk penempatan oleh bank pada pagi hari dan sore hari dengan jangka
waktu penempatan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Suku bunga FASBI untuk sore
hari ditetapkan 50% di bawah suku bunga FASBI pagi hari .

20
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

ekspansi moneter, dalam FASBI mulai ditanggalkan dan selanjutnya untuk


penggantinya, sebagaimana kebijakan sebelumnya, digunakan SBI Repo.
Secara umum, FASBI mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Penawaran jumlah atau kuantitas dan jangka waktu transaksi FASBI
ditetapkan oleh Bank Indonesia11
2. FASBI, sebagaimana SBI, ditransaksikan dengan sistem diskonto
3. Nilai tunai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true
discount) dan nilai diskonto dihitung sama dengan nilai nominal
dikurangi dengan nilai tunai (lihat Boks tentang SBI)
4. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak
dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.

Jual-beli valuta asing terhadap rupiah


Instrumen ini lebih dikenal sebagai intervensi valuta asing di pasar
keuangan. Pada dasarnya, intervensi di pasar keuangan selain dapat
dipergunakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, juga dapat
menambah atau mengurangi jumlah uang beredar di pasar keuangan dalam
mendukung pencapaian sasaran-sasaran moneter. Dalam kaitannya dengan
OPT, instrumen ini dapat dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk
melakukan kontraksi atau ekspansi moneter. Transaksi ini dilakukan
melalui jual-beli valuta asing terhadap rupiah secara langsung di pasar
uang, antara lain melalui transaksi spot dan swap. Apabila menurut Bank
Indonesia terdapat kelebihan atau kekurangan likuiditas di pasar uang
rupiah, Bank Indonesia selain dapat menjual atau membeli surat berharga,
dapat juga menjual atau membeli valuta asing di pasar secara langsung.
Mengingat kebijakan intervensi dapat memiliki dua pengaruh, yaitu
terhadap volatilitas nilai tukar rupiah dan mengurangi jumlah uang beredar
di pasar keuangan, maka dalam pelaksanaan operasi pembelian atau
penjualan valuta asing harus diperhatikan tiga hal, yaitu; (a) jumlah/
kecukupan cadangan devisa; (b) kondisi likuiditas di pasar keuangan; dan
11
Penawaran jumlah atau kuantititas saat ini ditetapkan sekurang-kurangnya
Rp1.000.000.000,00 dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00. Jangka waktu
FASBI saat ini maksimum 1 hari (overnight), dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi
sampai dengan tanggal jatuh waktu.

21
OPERASI PASAR TERBUKA

(c) juga harus mempertimbangkan kondisi di pasar valuta asing. Hal ini
dimaksudkan agar kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dengan
menjual atau membeli valuta asing tidak mengganggu nilai tukar rupiah
dan jumlah kecukupan cadangan devisa. Sebagai contoh, apabila Bank
Indonesia akan melakukan kontraksi rupiah, sementara nilai tukar rupiah
sedang dalam kondisi menguat yang berarti Bank Indonesia seharusnya
membeli valuta asing, maka kebijakan kontraksi dalam rangka penyerapan
uang beredar yang seharusnya dilakukan dengan menjual valuta asing di
satu sisi akan berhasil namun, di sisi lain, dapat mengganggu kestabilan
nilai tukar. Dengan demikian, kebijakan ini kurang fleksibel karena tidak
dapat diterapkan setiap saat diperlukan.

Pelaksanaan OPT
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam rangka mencapai sasaran
kebijakan moneter Bank Indonesia dapat menerapkan kerangka kebijakan
moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar (sasaran kuantitas)
atau suku bunga (sasaran suku bunga). Dalam hal kebijakan moneter
difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar sebagaimana yang
dilaksanakan saat ini, Bank Indonesia menetapkan uang primer atau
komponennya sebagai sasaran operasional dan jumlah uang beredar baik
dalam arti sempit maupun luas sebagai sasaran antara (Gambar 3). Dalam
hal kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian suku bunga, Bank
Indonesia menetapkan suku bunga pasar uang jangka pendek sebagai
sasaran operasional. Untuk mencapai sasaran operasinal tersebut baik
dalam kerangka kebijakan moneter berdasarkan sasaran kuantitas maupun
sasaran suku bunga, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian
moneter melalui OPT yang bersifat kontraksi atau ekspansi.
Saat ini OPT dilaksanakan oleh Bank Indonesia melalui instrumen
operasional utama berupa penerbitan SBI melalui lelang SBI dan
penyediaan fasilitas simpanan yang dikenal dengan FASBI.

Prosedur Pelaksanaan Lelang Sertifikat Bank Indonesia


Lelang SBI merupakan penjualan SBI di pasar perdana kepada peserta
lelang yang terdiri dari bank, pialang pasar uang, dan pialang pasar modal

22
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Masyarakat, seperti perorangan atau


perusahaan yang ingin membeli SBI, dapat ikut lelang melalui salah satu
peserta lelang SBI. SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki
satuan unit dan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai
penerbit.
Sementara itu, jumlah SBI yang akan diterbitkan disesuaikan dengan
sasaran lelang yang ditentukan berdasarkan sasaran jumlah atau kuantitas
dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan. Sistem ini disebut
sistem stop-out rate (SOR),12 tingkat diskonto tertinggi yang dihasilkan
dari lelang dalam rangka mencapai sasaran jumlah/kuantitas SBI yang
akan dijual oleh Bank Indonesia.
Lelang SBI diadakan pada hari Rabu13 atau hari kerja berikutnya
apabila hari Rabu merupakan hari libur. Rencana sasaran lelang yang
merupakan sasaran indikatif diumumkan oleh Bank Indonesia selambat-
lambatnya satu hari sebelum pelaksanaan lelang. Penawaran lelang SBI
oleh peserta lelang diajukan pada hari pelaksanaan lelang ke Bank
Indonesia dan pada hari yang sama Bank Indonesia akan menetapkan
pemenang lelang.
Sementara itu, sebagai salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh
Dewan Gubernur Bank Indonesia, setiap minggu Dewan Gubernur
melakukan rapat yang disebut Rapat Dewan Gubernur (RDG).14 Dalam
RDG mingguan anggota Dewan melakukan evaluasi mengenai
pelaksanaan kebijakan moneter dan menetapkan kebijakan lain yang
bersifat prinsipiil dan strategis. Salah satu pembahasan dalam RDG selain
mengenai perkembangan kondisi moneter, juga mengenai laporan hasil
OPT yang dilaksanakan pada minggu sebelumnya. Selain itu, RDG juga
membahas perkembangan ekonomi ke depan dan selanjutnya
mengarahkan pelaksanaan OPT minggu yang bersangkutan. Arahan ini
selanjutnya akan dijabarkan dan dilaksanakan dalam lelang berikutnya
oleh Open Market Committee (OMC). OMC dipimpin oleh Deputi

12
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Boks tentang SBI.
13
Sejak 2004 frekuensi lelang SBI yang semula setiap hari Rabu menjadi sebulan hanya 2
kali. Frekuensi lelang dapat dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
14
Saat ini RDG mingguan dilaksanakan setiap Selasa.

23
OPERASI PASAR TERBUKA

Gubernur bidang Pengelolaan Moneter atau Pimpinan Direktorat


Pengelolaan Moneter dengan persetujuan Deputi Gubernur Bidang
Pengelolaan Moneter (Gambar 5). 15

Gambar 5
Lelang Sertifikat Bank Indonesia

Dewan Gubernur
Bank

Deputi Gubernur Dir. Pengelolaan


Moneter
Bidang Pengelolaan Moneter
Pimp. Dir. Pengelolaan Target Indikatif dan
Moneter hasil lelang
(dgn persetujuan DG) Biding lelang

Rapat Persiapan Lelang ttg Rapat Penetapan Target dan


Usulan Target Lelang Hasil Lelang ( OMC) Pialang
Anggota : Anggota :
- Dir. Pengelolaan Moneter - Dir. Pengelolaan Moneter
- Dir. Pengelolaan Devisa - Dir. Pengelolaan Devisa
- Dir. Riset Ekonomi & Keb. - Dir. Riset Ekonomi & Keb.
Mon. Mon.
- Dir. Statistik Ekonomi & - Dir. Statistik Ekonomi &
Mon Mon
- Dir. Penelitian & - Dir. Penelitian &
Pengaturan Perbankan Pengaturan Perbankan
- Biro Kredit - Biro Kredit
- Dir. Pengawasan dan - Dir. Pengawasan dan
- Dir. Pemeriksaan Bank - Dir. Pemeriksaan Bank
Dihadiri : IMF Rep. Office

Sehari sebelum pelaksanaan lelang, OMC mengadakan Rapat


Penetapan Sasaran Lelang yang akan melakukan evaluasi kondisi likuiditas
rupiah dan selanjutnya menetapkan besarnya sasaran lelang yang harus
dilaksanakan pada minggu yang bersangkutan. Setelah diputuskan
besarnya sasaran lelang, sasaran lelang berupa sasaran indikatif
diumumkan satu hari sebelum pelaksanaan lelang melalui sarana untuk
mengajukan penawaran lelang SBI kepada bank dan pialang melalui sarana
Bank Indonesia -Scripless Security Settlement System (BI-SSSS) dan atau

15
Selain Direktorat Pengelolaan Moneter, anggota OMC juga meliputi beberapa direktorat
yang terkait di bidang moneter, perbankan, dan kredit, yaitu Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter, Pengelolaan Devisa, Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Pemeriksaan dan
Pengawasan Bank, Kredit, dan Statistik Moneter.

24
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).16 Secara garis besar, besarnya sasaran
lelang tergantung pada perkiraan besarnya perubahan likuiditas perbankan
yang akan terjadi pada minggu pelaksanaan lelang. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan likuiditas perbankan meliputi tiga
kelompok besar, yaitu :
1. Perubahan faktor-faktor otonom (autonomous factors), antara lain
jumlah uang kartal baik yang beredar di masyarakat maupun yang
ada di kas bank (cash in vault) serta perubahan rekening pemerintah
yang ada di Bank Indonesia yang diperhitungkan sebagai tagihan
bersih Bank Indonesia kepada pemerintah. Beberapa perubahan
rekening pemerintah yang dapat mempengaruhi faktor otonom dari
sisi penerimaan antara lain ialah penerimaan pajak dan hasil program
penjualan aset oleh BPPN, sementara dari sisi pengeluaran antara
lain pembayaran gaji pegawai dan/atau dana alokasi umum (DAU)
serta pembayaran kupon obligasi pemerintah. Tagihan bersih kepada
pemerintah ini diperhitungkan sebagai faktor otonom mengingat
besar/kecilnya tagihan bersih ini akan menunjukkan besarnya
ekspansi atau kontraksi pengeluaran pemerintah terhadap uang
beredar.
2. Posisi jatuh tempo instrumen OPT yang terdiri dari SBI, SBI-Repo,
SWBI, dan intervensi rupiah (FASBI)
3. Sterilisasi/intervensi valuta asing.
Contoh penetapan sasaran lelang SBI :
Misalnya perkiraan kondisi likuiditas perbankan pada saat akan
dilaksanakannya lelang adalah sebagai berikut.
- Faktor-faktor otonom yang mempengaruhi likuiditas perbankan secara
neto memberikan pengaruh kontraksi sebesar Rp15 triliun
- SBI dan IR/FASBI yang jatuh tempo tercatat sebesar Rp35 triliun
Dengan demikian, likuiditas perbankan akan mengalami penambahan
sebesar Rp20 triliun. Untuk itu, sasaran lelang SBI dapat ditetapkan sebesar
Rp20 triliun. Selanjutnya, OMC akan mengajukan usulan besarnya sasaran

16
Pengumuman sasaran indikatif lelang saat ini disampaikan pada hari Selasa. Apabila
libur, diumumkan pada hari sebelumnya.

25
OPERASI PASAR TERBUKA

lelang sesuai dengan besarnya perubahan perhitungan likuiditas tersebut


untuk mendapatkan keputusan.
Pada hari lelang, peserta lelang mengajukan penawaran lelang yang
mencakup jumlah dan besarnya tingkat diskonto melalui sarana BI-SSSS.
Setelah waktu penawaran lelang yang ditetapkan berakhir OMC
mengadakan rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota dan juga dapat
dihadiri oleh perwakilan dari IMF untuk membahas pengajuan penawaran
lelang SBI dan menetapkan pemenang lelang. Penetapan pemenang lelang
bagi peserta lelang SBI yang didasarkan pada sistem SOR memperhatikan
hal-hal sebagai berikut.
a) Dalam hal penawaran yang diajukan tingkat diskontonya lebih rendah
dari SOR yang ditentukan, peserta lelang yang bersangkutan akan
memperoleh seluruh jumlah SBI yang diajukan.
b) Dalam hal penawaran yang diajukan tingkat diskontonya sama dengan
SOR yang ditentukan, peserta lelang yang bersangkutan dapat
memperoleh seluruh jumlah SBI yang diajukan. Namun, apabila peserta
lelang yang mengajukan penawaran pada tingkat diskonto yang sama
dengan SOR lebih dari satu peserta maka jumlah yang diperoleh hanya
sebesar hasil perhitungan secara proporsional.
c) Kuantitas hasil lelang SBI dapat dilakukan penyesuaian dari sasaran
kuantitas atau dibatalkan seluruhnya dalam hal SOR yang akan
terbentuk dari penawaran lelang berada di luar batas kewajaran.
Selanjutnya, seluruh penawaran yang disampaikan ke Bank Indonesia
dikompilasi berdasarkan urutan besarnya diskonto dari yang paling rendah
sampai dengan yang paling tinggi. Dengan sistem SOR dan
memperhatikan sasaran indikatif yang telah ditentukan sebelumnya,
pemenang lelang akan ditentukan pada jumlah penawaran yang berada
pada atau lebih rendah daripada tingkat SOR. Dengan demikian, bila
tingkat diskonto yang ditawarkan lebih rendah daripada SOR yang
ditentukan, peserta lelang yang bersangkutan akan memperoleh seluruh
jumlah/nominal SBI yang diajukan.
Contoh penetapan pemenang lelang :
Setiap peserta lelang, yaitu bank dan pialang, pada hari dan waktu
pengajuan lelang yang ditentukan harus menyampaikan penawaran kepada

26
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

Bank Indonesia. Penawaran antara lain memuat besarnya nilai nominal


lelang yang diajukan dengan tingkat diskonto tertentu. Penawaran tidak
harus dengan nilai nominal dan tingkat diskonto yang sama, dengan catatan
masing-masing diajukan sesuai dengan persyaratan minimum dan nilai
kelipatan yang ditentukan.
Misalnya, sasaran lelang yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah
sebesar Rp100 miliar. Adapun penawaran yang diajukan oleh bank-bank :
Bank A sebesar Rp30 miliar dengan tingkat diskonto 6%, Bank B Rp50
miliar dengan tingkat dikonto 6,5%, Bank C Rp20 miliar dengan tingkat
diskonto 7%, Bank D Rp20 miliar dengan tingkat diskonto 7%, dan
Bank E Rp15 miliar dengan tingkat diskonto 7,25%.
Pemenang lelang adalah Bank A sebesar Rp30 miliar dengan tingkat
diskonto 6%, Bank B Rp50 miliar dengan tingkat diskonto 6,5%, dan
Bank C serta Bank D masing-masing Rp10 miliar dengan tingkat diskonto
7%. Tingkat diskonto rata-rata tertimbang dari lelang adalah sebesar
6,45%.
Sementara itu, apabila tingkat diskonto yang ditawarkan oleh beberapa
peserta berada sama dengan tingkat diskonto pada SOR yang ditentukan
maka masing-masing penawar tersebut akan memenangkan lelang secara
proporsional sesuai dengan bobot penawaran masing-masing
dibandingkan dengan jumlah penawaran untuk tingkat diskonto yang
sama dengan SOR dimaksud (lihat Lampiran 1).
Setelah pemenang lelang SBI diputuskan Direktorat Pengelolaan
Moneter mengumumkan penetapan pemenang lelang kepada peserta
lelang. Pengumuman hasil lelang SBI yang disampaikan sehari sebelum
hari eksekusi lelang oleh Bank Indonesia tersebut mencakup kuantitas
dan rata-rata tertimbang tingkat diskonto pemenang lelang.
Pada RDG minggu berikutnya OMC melaporkan hasil lelang SBI,
sekaligus melaporkan kondisi likuiditas perbankan pada minggu yang
bersangkutan. Selain melaporkan seluruh hasil lelang SBI, OMC juga
melaporkan posisi jumlah SBI dan FASBI pada minggu yang
bersangkutan.

27
OPERASI PASAR TERBUKA

Prosedur pelaksanaan fasilitas simpanan Bank Indonesia dalam


rupiah (FASBI)
Selain SBI, instrumen utama OPT lainnya adalah FASBI. Fasilitas ini
disediakan oleh Bank Indonesia kepada bank untuk menempatkan dananya
di Bank Indonesia hanya pada saat dianggap perlu oleh Bank Indonesia
dalam kerangka OPT. Berbeda dengan SBI, FASBI memiliki karakteristik
sebagai berikut.
1. Tidak dapat diperdagangkan,
2. Tidak dapat dipergunakan sebagai agunan,
3. Tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu, dan
4. Bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
Selain itu, jangka waktu ditetapkan maksimum 7 hari17 dan tingkat
diskonto ditetapkan oleh Bank Indonesia. Perhitungan diskonto didasarkan
pada diskonto murni sebagaimana dipergunakan pada perhitungan
diskonto SBI, yaitu Nilai Nominal dikurangi Nilai Tunai, sementara nilai
tunai diperhitungkan sebagai berikut.

(Nilai Nominal) x 360


Nilai Tunai =
360 + (Tingkat Diskonto x Jangka Waktu )

Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan OPT, apabila Bank Indonesia


menganggap masih diperlukannya penyediaan fasilitas FASBI, maka Bank
Indonesia akan mengumumkan rencana penyediaan FASBI pada hari yang
sama sebelum pelaksanaan transaksi dimulai. Pengumuman disampaikan
kepada bank melalui sarana Scripless Securities Settlement System (BI-
SSSS), yaitu sarana transaksi dengan Bank Indonesia secara on-line, dan
Pusat Informasi Pasar Uang18 dan meliputi antara lain jangka waktu,
tingkat diskonto, hari, dan waktu pelaksanaan transaksi.
Bank yang akan memanfaatkan fasilitas ini dapat mengajukan
penawaran dalam jumlah minimal sesuai dengan yang ditetapkan oleh
17
Saat ini jangka waktu ditetapkan hanya untuk 1 hari (overnight).
18
Atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

28
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia

Bank Indonesia. Apabila semua persyaratan terpenuhi, pada hari yang


sama Bank Indonesia akan mengumumkan penawaran yang diterima
kepada peserta melalui sarana BI-SSSS dan selanjutnya rekening giro19
bank penawar akan didebet sejumlah penawaran yang telah diterima. Pada
saat transaksi FASBI jatuh waktu Bank Indonesia akan mengkredit
rekening giro bank yang bersangkutan.

Prosedur pelaksanaan penitipan dana wadiah atau Sertifikat Wadiah


Bank Indonesia (SWBI)
Sebagaimana SBI dan FASBI, SWBI juga merupakan salah satu
instrumen OPT, tetapi didasarkan pada prinsip syariah. Fasilitas ini dapat
dimanfaatkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) untuk
menitipkan kelebihan dananya di Bank Indonesia.19 Fasilitas penitipan
dana ini, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, merupakan penitipan
dana dalam jangka pendek dengan mempergunakan prinsip wadiah yad
dhamanah yang artinya kepada Bank Syariah atau UUS yang menitipkan
dananya dapat diberikan bonus bila ada. Fasilitas ini memiliki jangka
waktu dan window time (kesempatan penitipan) yang setiap saat dapat
diubah oleh Bank Indonesia sesuai kebutuhan OPT.20
Sebelum penitipan dilaksanakan, Bank Indonesia menyampaikan
pengumuman melalui sarana BI-SSSS yang mencakup informasi
mengenai rencana dan persyaratan penitipan dana wadiah serta daftar
peserta BI-SSSS yang dapat mengajukan SWBI. Penetapan daftar peserta
SWBI ini mengacu pada kecukupan saldo rekening giro rupiah Bank
Syariah atau UUS yang ada di Bank Indonesia. Selanjutnya, Bank Syariah
atau UUS dapat mengajukan permohonan penitipan, dan pada hari yang
sama Bank Indonesia menyampaikan pengumuman persetujuan penitipan
SWBI. Pada saat SWBI jatuh waktu, pembayaran SWBI diberikan sebesar
nilai nominal SWBI dan bonus (bila ada).

19
Rekening giro rupiah milik bank di Bank Indonesia.
20
Fatwa Dewan Syariah No.36/DSN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002
21
Saat ini, window dibuka setiap hari, yaitu dari pukul l0.00 sampai dengan 14.00 WIB,
dan tenor atau jangka waktu yang disediakan oleh Bank Indonesia adalah 7, 14, dan 28
hari.

29
OPERASI PASAR TERBUKA

Boks 1:
Sertifikat Bank Indonesia

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam mata


uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan
utang jangka pendek dengan menggunakan sistem diskonto. SBI ini
merupakan salah satu instrumen OPT yang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia dalam rangka mengendalikan jumlah uang beredar dan/
atau suku bunga. Di beberapa negara lain, instrumen OPT dapat pula
berupa surat utang negara atau obligasi yang dikeluarkan pemerintah
atau surat berharga lainnya. Namun, mengingat belum semua surat
berharga memenuhi persyaratan sebagai instrumen OPT, di Indonesia
hanya SBI yang dipergunakan sebagai surat berharga yang dapat
dipergunakan sebagai instrumen OPT. Persyaratan surat berharga yang
dapat dipergunakan sebagai instrumen OPT antara lain ialah
berkualitas tinggi, mudah atau sewaktu-waktu dapat dicairkan, dan
jumlahnya mencukupi untuk keperluan OPT.
Sebagai instrumen OPT, pada dasarnya penerbitan SBI oleh Bank
Indonesia dapat dilakukan baik melalui lelang maupun nonlelang.
SBI dapat dimiliki oleh bank atau pihak lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia melalui pembelian SBI di pasar perdana. Selain itu,
SBI dapat pula diperdagangkan di pasar sekunder dan dipergunakan
sebagai agunan.
SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia pertama kali pada bulan
April 1970. Pada saat itu SBI diterbitkan tanpa melalui lelang dan
dimaksudkan untuk mendorong usaha pengerahan dana, sekaligus
mendorong perkembangan pasar uang dan pasar modal di Indonesia.
SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tersebut
disalurkan melalui bank pemerintah, bank swasta nasional, dan cabang
bank asing serta lembaga nonbank.22 Namun, dengan pertimbangan

22
Bank Indonesia, Laporan Tahunan, 1970/1971

30
Boks 1: Sertifikat Bank Indonesia

utama bahwa beberapa bank telah mengeluarkan sertifikat deposito,


maka pada bulan September 1971 penerbitan SBI dihentikan.23
Pada tanggal 1 Februari 1984 Bank Indonesia kembali menerbitkan
SBI namun dengan tujuan yang lebih luas, yaitu: 1) untuk mendorong
perkembangan pasar uang dan pasar modal; 2) sebagai instrumen
moneter yang lebih efektif dalam mempengaruhi perkembangan
moneter; dan 3) sebagai alternatif penanaman kelebihan sementara
likuiditas yang dimiliki bank.24 Selain SBI yang lebih merupakan
instrumen kontraksi moneter, pada tahun 1985 Bank Indonesia mulai
melakukan pembelian surat berharga pasar uang (SBPU) berjangka
waktu pendek yang pada dasarnya dapat merupakan instrumen untuk
melakukan ekspansi moneter.
Dalam hal SBI, sejak mulai diterbitkannya kembali pada tahun
1984, penentuan tingkat diskonto atau suku bunga didasarkan pada
sistem cut-off rate (COR), yaitu tingkat suku bunga SBI yang
ditentukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan sasaran moneter yang
ingin dicapai. Dalam kaitan ini, penerbitan SBI yang saat itu sudah
menggunakan sistem lelang hanya ditujukan kepada bank peserta
lelang yang diputuskan memenangkan lelang SBI, yaitu bank-bank
yang melakukan penawaran dengan tingkat bunga sesuai dengan atau
lebih rendah daripada tingkat bunga yang diinginkan oleh Bank
Indonesia. Dalam sistem COR, suku bunga SBI yang ingin dicapai
oleh Bank Indonesia tidak diumumkan dan bank-bank bebas untuk
melakukan penawaran sesuai dengan perhitungan bank-bank.
Sejak saat penerbitan kembali SBI pada tahun 1984 transaksi
lelang tidak dilaksanakan langsung oleh Bank Indonesia melainkan
oleh lembaga swasta, Ficorinvest, sebagai agen pelaksana lelang.
Jangka waktu penerbitan SBI untuk lelang mingguan secara reguler
adalah 30 dan 90 hari dan sejak 1988 diterbitkan SBI dengan jangka

23
Bank Indonesia, Laporan Tahunan,1971/1972
24
Bank Indonesia, Laporan tahunan, 1983/1984 dan Binhadi, Financial Sector
Deregulation, Banking Development and Monetary Policy, the Indonesian Experience,
1983-1993, 1995

31
OPERASI PASAR TERBUKA

waktu 3 bulan. Pada tahun 1989 transaksi lelang SBI mulai


dilaksanakan langsung oleh Bank Indonesia. Pada saat tersebut
terdapat dua macam lelang, yaitu lelang mingguan secara reguler dan
lelang harian. Lelang mingguan secara reguler dimaksudkan untuk
menjaga tetap tersedianya SBI di pasar, sementara lelang harian
dimaksudkan untuk pengendalian moneter. Dalam pada itu, untuk
keperluan ekspansi moneter, Bank Indonesia dapat melakukan lelang
harian dengan membeli kembali SBI (SBI repurchase agreement atau
SBI-Repo).
Dalam rangka memperbesar ruang gerak dalam mengatur jumlah
uang beredar, sejak Juni 1993 operasi pengendalian moneter yang
dilakukan oleh Bank Indonesia telah mengubah titik berat
pengendalian uang beredar dari suku bunga ke sasaran jumlah atau
volume. Dalam kaitan ini, sistem lelang SBI sekaligus diubah dari
COR ke stop-out rate (SOR) yang lebih menitikberatkan pengendalian
uang beredar pada jumlah atau volume, sementara suku bunga
merupakan variabel yang dapat berfluktuasi. Dalam sistem SOR ini,
sebelum melakukan lelang Bank Indonesia akan mengumumkan
sasaran indikatif jumlah atau volume SBI yang akan diterbitkan melalui
lelang. Bank Indonesia menetapkan volume lelang dengan
memperhatikan kondisi likuiditas di pasar. Sistem lelang dengan SOR
ini adalah penentuan pemenang lelang dengan memperhitungkan
tingkat diskonto tertinggi yang dihasilkan dari lelang dalam rangka
mencapai sasaran kuantitas SBI yang akan dijual oleh Bank Indonesia.
Sementara itu, dalam perhitungan diskonto SBI dipergunakan
perhitungan diskonto murni (true discount) dan pemberian atau
pembebanan diskonto diperhitungkan di muka, yaitu pada saat transaksi
dilakukan. Adapun rumus perhitungan nilai diskonto murni yang
dipergunakan oleh Bank Indonesia adalah Nilai Nominal dikurangi Nilai
Tunai, sementara nilai tunai diperhitungkan sebagai berkut.

(Nilai Nominal) x 360


Nilai Tunai =
360 + (Tingkat Diskonto x Jangka Waktu )

32
Boks 1: Sertifikat Bank Indonesia

Contoh perhitungan diskonto SBI berdasarkan diskonto murni :


Misalnya, lelang SBI dengan jangka waktu 1 bulan atau 28 hari,
nilai nominal SBI Rp500 miliar dengan tingkat diskonto 15%, maka
nilai tunainya adalah :

Rp500.000.000 x 360
= Rp494.233.937,40
360 + (15% x 28)
Dengan demikian, nilai diskonto = Rp500.000.000 –
Rp494.233.937,40 = Rp5.766.062,60
Peserta lelang SBI terdiri dari peserta langsung, yaitu bank untuk
kepentingannya sendiri dan pialang untuk kepentingan pihak lain,
serta peserta tidak langsung, yaitu bank yang mengajukan penawaran
melalui pialang. Secara umum, tata cara penerbitan SBI melalui
lelang tidak mengalami perubahan, kecuali antara lain untuk
penetapan jangka waktu, penetapan satuan unit, dan
penatausahaannya.
SBI saat ini memiliki 5 karakteristik utama, yaitu :
a. Mempunyai satuan unit tertentu;25
b. Berjangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;26
c. Diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
d. Diterbitkan tanpa warkat, artinya bukti kepemilikan hanya
pencatatan secara elektronis (scripless); dan
e. Dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan (negotiable) di
pasar sekunder.
Selain itu, terdapat beberapa prinsip yang melekat pada SBI,27
yaitu antara lain :

25
Saat ini satuan unit ditetapkan sebesar Rp1.000.000,00.
26
Saat ini jangka waktu SBI minimum 1 bulan dan maksimum 12 bulan.
27
Peraturan Bank Indonesia No. 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia.

33
OPERASI PASAR TERBUKA

1. Diterbitkan melalui mekanisme lelang dan nonlelang;


2. Dapat ditransaksikan secara Repurchase Agreement (Repo),
artinya pihak penjual SBI mempunyai kewajiban untuk membeli
kembali SBI yang diperdagangkan sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang ditetapkan;28
3. Dapat dibeli dan dimiliki melalui pasar perdana atau pada saat
diterbitkan hanya oleh bank umum dan lembaga nonbank yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
4. Dapat diperdagangkan di pasar sekunder secara Repo atau
pembelian/penjualan lepas, yaitu tanpa kewajiban menjual atau
membeli kembali; dan
5. Dapat dipergunakan sebagai agunan.

28
Perdagangan SBI secara Repo dapat dilakukan antara bank dengan Bank Indonesia
atau antarbank. Saat ini jangka waktu Repo ditetapkan 1 hari dan jumlah SBI yang
di-repo-kan ditetapkan maksimum 25% dari rata-rata seri SBI yang dimenangkan
bank untuk kepentingannya sendiri dari lelang SBI terakhir. Sementara itu, prinsip
dan tata cara pelaksanaan perdagangan SBI-Repo antarbank tergantung pada para
pelaku yang bersangkutan.

34
Lampiran

Contoh Perhitungan Hasil Lelang SBI

Misalkan target indikatif ditetapkan sebesar Rp. 6 triliun, sementara


rincian penawaran yang diajukan adalah sebagai berikut:

Penawaran Hasil

NO Nomonal Kumulatif Diskonto RRT Nominal Kumulatif


(Rp Miliar) (Rp Miliar) (%) (%) Dimenangkan (Rp Miliar)
(A) (B) (C) (D) (Rp Miliar)

1 50 50 13.625 13.625 50 50
2 450 500 13.750 13.738 450 500
3 250 750 13.750 13.742 250 750
4 1.250 2.000 14.000 13.903 1.193 1.943
5 500 2.500 14.000 13.923 477 2.420
6 2.000 4.500 14.000 13.957 1.909 4.330
7 250 4.750 14.000 13.959 239 4.568
8 1.500 6.250 14.000 13.969 1.423 6.000
9 750 7.000 14.250 13.999 0 6.000
10 250 7.250 14.375 14.012 0 6.000

∑ [ A(i) xC(i)]
i =1
*) Rata-rata tertimbang
*) RRT (n) =
A(n)

Mengingat jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif,


maka tidak semua peserta memenangkan lelang. Pemenang lelang
ditentukan sebagai berikut :
1. Pemenang lelang sesuai target Rp6 triliun adalah peserta yang
mengajukan penawaran dengan diskonto yang sama atau lebih kecil dari
SOR (stop-out rate) yaitu 14%. Dengan demikian pemenang lelang
adalah peserta yang mengajukan penawaran diskonto sama atau lebih
kecil dari 14%, yaitu peserta nomor 1 sampai dengan peserta nomor 8.
Namun demikian mengingat apabila seluruh jumlah nominal penawaran
pada tingkat diskonto 14% diambil maka jumlah tersebut akan
melampaui target indikatif jumlah yang ditetapkan yaitu sebesar Rp.6
triliun, maka;

35
OPERASI PASAR TERBUKA

2. Peserta nomor 4 s.d. peserta nomor 8 tetap memenangkan lelang namun


diperhitungkan secara proporsional sesuai bobot jumlah penawaran
masing-masing dibandingkan jumlah penawaran untuk diskonto 14%.
Rincian jumlah yang dimenangkan secara proporsional dapat dilihat
dalam tabel kanan atas. Nilai Nominal yang dimenangkan peserta lelang
secara proporsional dapat dirumuskan sebagai berikut:

N(n)
HNM(n) = x [TI - ∑N(d-1)]
∑ N(d)

dimana :
N(n) = Nilai nominal penawaran peserta masing-masing (n)
d = tingkat diskonto tertinggi
d-1 = tingkat diskonto di bawah tingkat diskonto tertinggi
∑N(d) = jumlah nilai nominal penawaran dengan tingkat diskonto
tertinggi
∑N(d-1) = jumlah nilai nominal penawaran dengan tingkat diskonto
dibawah tingkat diskonto tertinggi
TI = Target indikatif
HNM = Hasil nominal lelang yang dimenangkan
Contoh perhitungan untuk nilai nominal yang dimenangkan peserta nomor
4 adalah:
(1.250 ÷ 5.500) x (6.000 – 750) = Rp1.193 milyar

36
Daftar Pustaka

Alexander, William E., Thomas J.T. Balino, and Charles Enoch, The
Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional
Paper No. 126, Washington, DC : International Monetary Fund, 1995.
Ascarya, Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, Seri
Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK), Bank Indonesia, Desember 2002.
Axilrod, Stephen H., Transformation of Market and Policy Instruments
for Open Market Operations, IMF Working Paper No. WP/95/146,
Washington, DC : International Monetary Fund, December 1995.
Bank for International Settlements, Monetary Policy Operating
Procedures in Emerging Market Economies, BIS Policy Papers No. 5,
March 1999, Basle : Monetary and Economic Department, Bank for
International Settlements, 1999.
Bank Indonesia, Laporan Tahunan (beberapa tahun penerbitan).
Bank of Korea, Monetary Policy in Korea, Bank of Korea, January 16,
2003.
Binhadi, Financial Deregulation, Banking Development, and Monetary
Policy : the Indonesian Experience, 1983 – 1993, Jakarta : Institut
Bankir Indonesia, 1995.
Boediono, Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di
Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1,
Jakarta : Bank Indonesia, 1998.
Borio, Claudio E.V., The Implementation of Monetary Policy in Industrial
Countries : a Survey, BIS Economic Papers No. 47, July 1997, Basle :
Monetary and Economic Department, Bank for International
Settlements, 1997.

37
OPERASI PASAR TERBUKA

Fajardo, Feliciano R., and Manansala, Manuel M., Central Banking,


revised edition, Manila : Navotas, 1994.
Gray, Simon, Glenn Hoggarth, and Joanna Place, Introduction to Monetary
Operations, revised, 2nd edition, Handbooks in Central Banking No.
10, Centre for Central Banking Studies, Bank of England, 2000.
McLeod, R.H., Analysis and Management of Indonesian Money Supply
Growth, Bulletin of Indonesia Economic Studies, 29 (2), 1993.
Warjiyo, Perry and Yuda Agung (ed.), Transmission Mechanisms of
Monetary Policy in Indonesia, Jakarta : Directorate of Economic
Research and Monetary Policy, Bank Indonesia, (2001).
Warjiyo, Perry dan Solikin, Kebijakan Moneter di Indonesia, Seri
Kebanksentralan No. 6, Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia, Desember 2003.
Woo, W.T., Stephan Hagard, and Chung H. Lee (ed), Financial System
and Economic Policy in Developing Countries, Cornell University
Press, 1995.

38
Seri Kebanksentralan

No. 11 BANK INDONESIA

Mekanisme Transmisi Kebijakan


Moneter Di Indonesia

Perry Warjiyo

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)

BANK INDONESIA
Seri Kebanksentralan No. 11

Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter
Di Indonesia

Perry Warjiyo

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN (PPSK)


BANK INDONESIA

Jakarta, Mei 2004


i
Warjiyo, Perry
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di
Indonesia/ Perry Warjiyo. - - J a k a r t a :
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK) BI, 2004.
i-vii; 47 hlm.; 15,2 cm x 22,8 cm. – (Seri
Kebanksentralan; 11)

Bibliografi: hlm. – 44
ISBN 979-3363-10-X
332.11

ii
Sambutan

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,


pada kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK),
Bank Indonesia kembali menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Penerbitan buku ini sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-
Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya Bank Indonesia senantiasa
berupaya untuk mewujudkan transparansi kepada masyarakat luas. Selain
itu, sebagai sumbangsih dalam kegiatan peningkatan wawasan dan
pembelajaran kepada masyarakat, Bank Indonesia juga terus berupaya
meningkatkan kualitas publikasi yang ditujukan untuk memperkaya
khazanah ilmu kebansentralan.
Buku seri kebanksentralan merupakan rangkaian tulisan mengenai
ilmu kebanksentralan ditinjau dari aspek teori maupun praktek, yang ditulis
oleh para penulis dari kalangan Bank Indonesia sendiri. Buku seri ini
dimaksudkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan mengenai
berbagai aspek kebansentralan terutama yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Sebagai bacaan masyarakat
umum, buku seri ini ditulis dalam bahasa yang cukup sederhana dan mudah
dipahami, serta sejauh mungkin menghindari penggunaan istilah-istilah
teknis yang kiranya dapat mempersulit pembaca dalam memahami isi
buku.
Penulisan buku seri kebanksentralan ini diorganisir secara sistematis
dengan terlebih dahulu menerbitkan buku seri mengenai aspek-aspek
pokok kebansentralan, yaitu: (1) bidang moneter, (2) bidang perbankan,
(3) bidang sistem pembayaran, dan (4) bidang organisasi dan managemen
bank sentral. Selanjutnya masing-masing bidang dirinci dengan topik-
topik khusus yang lebih fokus pada tema tertentu yang tercakup pada
salah satu bidang tugas bank sentral. Dengan demikian sistematika
publikasi buku seri kebanksentralan ini analog dengan pohon yang terdiri
dari batang yang memiliki cabang dan ranting-ranting. Sebagai
kelanjutan buku seri sebelumnya, pada kesempatan ini diterbitkan buku
seri yang terkait dengan bidang moneter dengan topik Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Didalamnya dibahas

iii
mengenai bagaimana kebijakan moneter bank sentral pada umumnya dan
Bank Indonesia khususnya mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi
dan keuangan, yang akhirnya dikomunikasikan pada pertumbuhan
ekonomi dan inflasi.
Akhirnya, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal
serta pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah
khazanah pengetahuan kita.

Jakarta, Mei 2004


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Perry Warjiyo
Direktur

iv
Pengantar

Kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral selalu menarik perhatian


masyarakat. Pada waktu bank sental menaikkan suku bunga, misalnya,
perbankan dan para pelaku pasar keuangan akan meresponnya dengan
kenaikan suku bunga di pasar maupun penyesuaian portfolio investasinya.
Demikian pula, kalangan dunia usaha akan perlu menghitung kembali
biaya produksi bagi penentuan harga produknya. Pada akhirnya berbagai
pengaruh kebijakan moneter ini akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir dari kebijakan moneter.
Fenomena seperti ini menunjukkan suatu proses yang dikenal dengan
mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Buku Seri Kebanksentralan Nomor .... ini membahas mengenai
transmisi kebijakan moneter secara umum dan kondisinya di Indonesia.
Di dalamnya akan diuraikan bagaimana proses suatu kebijakan moneter
itu berpengaruh terhadap berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, yang
pada akhirnya ditransmisikan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Secara khusus, berbagai saluran yang biasanya dilalui dalam mekanisme
transmisi ini, yaitu saluran uang beredar, kredit, suku bunga, nilai tukar,
harga aset, dan ekspektasi, akan dijelaskan prosesnya dan bukti empirisnya
di Indonesia. Dengan pembahasan demikian, buku ini diharapkan dapat
lebih meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bagaimana
bekerjanya kebijakan moneter secara umum dan di Indonesia.
Banyak rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
Direktorat Pengelolaan Moneter, dan Direktorat Statistik Ekonomi
Moneter yang telah memberikan kontribusi beharga dalam penulisan ini,
dan untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih. Secara khusus,
ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sdr. Ascarya, Sdr. Solikin,
Sdr. Erwin Riyanto, Sdr.Anwar Bashori, dan Sdr Priyanto B. Nugroho
serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas
partisipasinya dan masukan dalam penyelesaian buku ini.

v
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan buku
ini, dan untuk itu kritik dan masukan akan sangat diharagai. Akhirnya,
semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan
kita.

Jakarta, Mei 2004


Penulis

vi
Daftar Isi

Sambutan iii
Pengantar v

1. Pendahuluan 1
2. Gambaran Umum Mekanisme Transmisi Moneter 3
a. Apa itu Mekanisme Transmisi Moneter? 3
b. Transmisi Moneter dan Proses Perputaran Uang 6
c. Pentingnya Bagi Teori dan Kebijakan Moneter 11

3. Saluran-saluran Transmisi Moneter 13


a. Saluran uang 15
b. Saluran kredit 17
c. Saluran suku bunga 19
d. Saluran nilai tukar 20
e. Saluran harga aset 22
f. Saluran ekspektasi 23

4. Transmisi Moneter di Indonesia 25


a. Pemetaan mekanisme transmisi moneter 28
b. Saluran uang 31
c. Saluran kredit 33
d. Saluran suku bunga 35
e. Saluran nilai tukar 38
f. Saluran harga aset 40
g. Saluran ekspektasi 40

5. Perspektif ke Depan 42
Daftar Pustaka 44

vii
SERI KEBANKSENTRALAN

Seri Kebanksentralan Bank Indonesia

1. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian,


oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
2. Penyusunan Statistik Uang Beredar,
oleh Solikin dan Suseno, Desember 2002.
3. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter,
oleh Ascarya, Desember 2002.
4. Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penerapan,
oleh F.X. Sugiyono, Desember 2002.
5. Kelembagaan Bank Indoesia,
oleh F.X. Sugiyono dan Ascarya, Desember 2003.
6. Kebijakan Moneter di Indonesia,
oleh Perry Warjiyo dan Solikin, Desember 2003.
7. Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia,
oleh Suseno dan Piter Abdullah, Desember 2003.
8. Kebijakan Sistem Pembayaran di Indonesia,
oleh Sri Mulyati Tri Subari dan Ascarya, Desember 2003.
9. Organisasi Bank Indonesia,
oleh Suarpika Bimantoro dan Syahrul Bahroen, Desember 2003.
10. Instrumen Pengendalian Moneter, Operasi Pasar Terbuka
oleh F.X. Sugiyono, Mei 2004.
11. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia
oleh Perry Warjiyo, Mei 2004.

Seri Kebanksentralan ini diterbitkan oleh:


Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
BANK INDONESIA
Jl. MH. Thamrin No. 2, Gd. A lt. 18, Jakarta 10010
No. Telepon: 021-3817628, No. Fax: 021-3501912
e-mail: PPSK@bi.go.id

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter di Indonesia

Pendahuluan

Pemberitaan mengenai kebijakan moneter bank sentral pada umumnya


selalu menarik perhatian masyarakat. Pernyataan Alan Greenspan, Ketua
The Federal Reserve System Amerika Serikat (AS), pada tanggal 6 Mei
2004 mengenai kemungkinan akan adanya kenaikan suku bunga karena
indikasi meningkatnya tekanan inflasi sehubungan dengan tingginya harga
minyak dunia dan terlalu cepatnya kenaikan ekonomi AS, misalnya, telah
disambut dengan turunnya harga saham di Wall Street dan menguatnya
nilai tukar dolar di pasar valuta asing. Perkembangan itu kemudian dengan
segera diikuti pula oleh penurunan harga saham dan pelemahan nilai tukar
mata uang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sementara itu, di
Indonesia pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah,
pada tanggal 18 Mei 2004 bahwa beberapa bank asing pelaku pasar valuta
asing telah diberi peringatan dan bahwa suku bunga SBI dapat saja naik
apabila pelemahan rupiah terus berlangsung dan tekanan inflasi meningkat,
telah diiikuti dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan peningkatan
kembali harga saham di Indonesia yang melemah setelah pernyataan
Greenspan.
Gambaran di atas menunjukkan besarnya pengaruh kebijakan moneter
terhadap berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan. Hal demikian tidak
mengherankan karena kebijakan moneter memang ditempuh bank sentral
untuk mempengaruhi dan mengarahkan berbagai aktivitas ekonomi dan

1
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

keuangan tersebut kepada tujuan yang ingin dicapai, yang pada umumnya
kestabilan harga, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi.1
Pertanyaannya adalah bagaimana proses pengaruh kebijakan moneter ini
terjadi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter
berpengaruh pada perputaran uang dalam ekonomi, yang tercermin pada
perkembangan jumlah uang beredar, suku bunga, kredit, nilai tukar, serta
berbagai variabel ekonomi dan keuangan lainnya. Bahkan kebijakan
moneter berpengaruh pula pada ekspektasi para pelaku ekonomi di pasar
keuangan dan di berbagai aktvitas ekonomi seperti ditunjukkan dengan
pelemahan mata uang di seluruh dunia setelah pernyataan Greenspan di
atas. Proses seperti ini menggambarkan suatu mekanisme yang dalam
teori ekonomi moneter dikenal dengan sebutan transmisi kebijakan
moneter.
Dalam tataran teori ekonomi moneter dan prakteknya di berbagai bank
sentral, transmisi kebijakan moneter juga selalu menjadi topik yang penting
dan menarik perhatian para ekonom dan otoritas moneter. Hal ini antara
lain tercermin pada dua pertanyaan yang dikemukakan Bernanke dan
Blinder (1992, hlm. 901), yaitu: (i) apakah kebijakan moneter dapat
mempengaruhi ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga, dan
(ii) jika ya, melalui mekanisme transmisi seperti apa pengaruh kebijakan
moneter terhadap ekonomi tersebut terjadi. Kedua pertanyaan ini
merupakan permasalahan yang penting dan kontroversial baik dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter oleh bank sentral maupun
dalam pembahasan teori ekonomi moneter oleh para ekonom.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan mengenai bagaimana
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter dapat mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi
dan keuangan juga sering muncul di masyarakat. Sesuai UU No. 23 Tahun
1999 yang telah diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004, tujuan Bank
Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu
kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah. Dalam melaksanakan

1
Untuk penjelasan lebih rinci mengenai kebijakan moneter dan penerapannya di Indonesia,
lihat Perry Warjiyo dan Solikin, Kebijakan Moneter di Indonesia, Buku Seri
Kebanksentralan No. 6, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia,
Desember 2003.

2
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

kebijakan moneter Bank Indonesia mempunyai instrumen moneter antara


lain Operasi Pasar Terbuka (OPT), intervensi rupiah, sterilisasi valuta
asing, fasilitas diskonto, Giro Wajib Minimum (GWM), dan Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).2 Pertanyaannya adalah bagaimana
mekanisme transmisi yang terjadi dari sejak instrumen moneter ini
ditempuh Bank Indonesia hingga kemudian mempengaruhi berbagai
kegiatan ekonomi dan keuangan dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan
akhir kebijakan moneter tersebut.
Buku ini menguraikan mekanisme transmisi kebijakan moneter di
Indonesia. Pembahasannya terdiri dari lima bagian. Setelah bagian
pendahuluan, bagian kedua akan mengemukakan gambaran umum
mengenai transmisi moneter, yaitu pengertian transmisi moneter, kaitannya
dengan proses perputaran uang, dan pentingnya bagi teori dan kebijakan
moneter. Bagian ketiga akan membahas secara rinci saluran-saluran yang
umumnya dilalui dalam transmisi moneter, yaitu saluran uang, suku bunga,
kredit, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi. Bagian keempat menguraikan
transmisi moneter di Indonesia, terutama berkaitan dengan hasil-hasil studi
empiris yang telah dilakukan selama ini untuk berbagai saluran tersebut.
Sebagai penutup, pada bagian kelima dan terakhir dari buku ini akan
disampaikan beberapa aspek penting yang perlu dipikirkan dalam
perspektif ke depan mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

Hakekat Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter


Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan
bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi
berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat
mencapai tujuan akhir yang ditetapkan. Secara spesifik, Taylor (1995)

2
Uraian lengkap mengenai instrumen moneter dibahas oleh Ascarya, Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter, Buku Seri Kebansentralan No. 3, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesi, 2002.

3
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the


process through which monetary policy decisions are transmitted into
changes in real GDP and inflation”.
Mekanisme transmisi moneter dimulai dari tindakan bank sentral
dengan menggunakan instrumen moneter, apakah OPT atau yang lain,
dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Tindakan itu kemudian
berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai
saluran transmisi kebijakan moneter, yaitu saluran uang, kredit, suku
bunga, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi.3 Di bidang keuangan,
kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga, nilai
tukar, dan harga saham di samping volume dana masyarakat yang disimpan
di bank, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman
dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya. Sementara itu, di
sektor ekonomi riil kebijakan moneter selanjutnya mempengaruhi
perkembangan konsumsi, investasi, ekspor dan impor, hingga
pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan
moneter.
Dalam kenyataannya, mekanisme transmisi kebijakan moneter
merupakan proses yang kompleks, dan karenanya dalam teori ekonomi
moneter sering disebut dengan “black box” (Mishkin, 1995) seperti
digambarkan dalam skema berikut. Hal ini terutama karena transmisi
dimaksud banyak dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (i) perubahan perilaku
bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas
ekonomi dan keuangannya, (ii) lamanya tenggat waktu (lag) sejak
Skema 1:
Mekanisme Transmisi Moneter sebagai “Black Box”

Kebijakan Inflasi
Moneter ? Output

3
Secara rinci bekerjanya berbagai saluran transmisi kebijakan moneter ini akan diuraikan
dalam bagian ketiga dalam buku ini.

4
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

kebijakan moneter ditempuh sampai sasaran inflasi tercapai, serta (iii)


terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter itu sendiri
sesuai dengan perkembangan ekonomi dan keuangan di negara yang
bersangkutan.
Perubahan perilaku bank sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta
pelaku ekonomi, jelas akan berpengaruh pada interaksi yang dilakukannya
dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, dan karenanya akan
membawa perubahan pula pada mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Bahkan dalam banyak hal, karena menyangkut perubahan perilaku dan
ekspektasi, mekanisme transmisi kebijakan moneter dimaksud diliputi
oleh ketidakpastian dan relatif sulit diprediksi (Blinder, 1998). Setiap
perubahan kebijakan bank sentral akan diiikuti atau telah diantisipasi
dengan perubahan perilaku perbankan, sektor keuangan dan para pelaku
ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya. Bagaimana
pernyataan Alan Greenspan berpengaruh pada ekspektasi para pelaku pasar
keuangan serta nilai tukar dan harga saham di berbagai belahan dunia
seperti dikemukakan pada awal buku ini merupakan contoh yang jelas
mengenai hal ini. Demikian pula, perubahan perilaku perbankan dalam
operasi dan inovasi produk keuangan yang dilakukannya, seperti
keengganan bank menyalurkan kredit ataupun maraknya produk derivatif
dalam transaksi valuta asing, juga akan berpengaruh dan harus
dipertimbangkan oleh bank sentral dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter.
Transmisi kebijakan moneter ke pertumbuhan ekonomi dan inflasi
telah lama diakui berlangsung dengan tenggat waktu yang lama dan
bervariasi (Friedman dan Schwartz, 1963). Hal ini disebabkan transmisi
moneter banyak berkaitan dengan pola hubungan antara berbagai variabel
ekonomi dan keuangan yang selalu berubah sejalan dengan perkembangan
ekonomi negara bersangkutan. Pada kondisi ekonomi yang masih
tradisional dan tertutup dengan perbankan sebagai satu-satunya lembaga
keuangan, hubungan antara uang beredar dengan aktivitas ekonomi riil
pada umumnya masih relatif erat. Dengan semakin majunya sektor
keuangan, keterkaitan uang beredar dengan sektor riil dapat merenggang.
Sebagian dana yang dimobilisasi oleh lembaga keuangan dapat terus
berputar di sektor keuangan saja dan tidak berpengaruh pada sektor riil.

5
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Pola hubungan variabel-variabel ekonomi dan keuangan yang berubah


dan semakin tidak erat tersebut jelas akan berpengaruh pada lamanya
tenggat waktu mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Kompleksitas mekanisme transmisi juga berkaitan dengan perubahan
pada peran dan cara bekerjanya saluran-saluran transmisi moneter dalam
perekonomian. Pada perekonomian yang tradisional dengan peran
perbankan yang masih dominan dan produknya yang relatif belum
berkembang, biasanya peranan saluran uang juga masih dominan dengan
pola hubungan antara berbagai aktivitas ekonomi yang relatif stabil pula.
Namun demikian, dengan semakin berkembangnya perbankan dan pasar
keuangan, semakin banyak pula produk keuangan yang ditransaksikan
dengan jenis transaksi keuangan yang semakin bervariasi pula. Demikian
pula pada perekonomian yang terbuka, perkembangan ekonomi dan
keuangan di suatu negara akan dipengaruhi pula oleh perkembangan
ekonomi dan keuangan di negara lain yang terjadi antara lain melalui
perubahan nilai tukar, volume ekspor dan impor, ataupun besarnya arus
dana masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan. Pada kondisi
demikian, peranan saluran yang lain, seperti suku bunga, kredit, dan nilai
tukar juga menjadi semakin penting dalam transmisi kebijakan moneter.
Peranan saluran harga aset lainnya, seperti obligasi dan saham, dan saluran
ekspektasi juga semakin perlu diperhatikan.

Transmisi Moneter dan Proses Perputaran Uang


Pemahanan mengenai pengertian dan kompleksitas transmisi kebijakan
moneter barangkali akan lebih jelas apabila ditempatkan pada proses
perputaran uang dalam perekonomian.4 Dalam kaitan ini, transmisi
kebijakan moneter pada dasarnya menunjukkan interaksi antara bank
sentral, perbankan dan lembaga keuangan lain, dan pelaku ekonomi di
sektor riil melalui dua tahap proses perputaran uang. Pertama, interaksi
yang terjadi di pasar keuangan, yaitu interaksi antara bank sentral dengan
perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam berbagai aktivitas
transaksi keuangan. Kedua, interaksi yang berkaitan dengan fungsi
4 Untuk memahami peranan uang dalam perekonomian, baca Solikin dan Suseno, Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian, Buku Seri Kebansentralan
No. 1, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesi, 2002.

6
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

intermediasi, yaitu interaksi antara perbankan dan lembaga keuangan


lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi
di sektor riil. Kedua tahap interaksi transmisi kebijakan moneter dalam
proses perputaran uang tersebut dapat digambarkan dengan skema berikut.

Skema 2:
Transmisi Moneter dalam Proses Perputaran Uang

BANK SENTRAL PERBANKAN


Pasar Uang
NFA Uang Primer Rupiah NFA Uang Beredar
NCG (B) Reserves (M1, M2)
NCB OPT
SB & PAB
NOI Modal
Pasar Uang Kredit
Valas

Pasar Dana
dan Kredit

Pasar Modal
PELAKU Konsumsi Output
EKONOMI
Investasi Inflasi
Ekspor-Impor Employment
Keterangan
NFA = Net Foreign Assets OPT = Operasi Pasar Terbuka
NCG = Net Claims to Goverment NOI = Net Other Items
NFB = Net Claims to Banks SB = Surat-surat berharga
B = Base money PAB = Pinjaman Antar Bank

Interaksi di pasar keuangan


Interaksi melalui pasar keuangan terjadi karena di satu sisi bank sentral
melakukan pengendalian moneter melalui transaksi keuangan yang
dilakukan dengan perbankan sesuai dengan arah dan sasaran kebijakan
moneter yang telah ditetapkannya. Sementara di sisi lain, perbankan dan
lembaga keuangan lainnya melakukan transaksi keuangan untuk portfolio
investasinya baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
nasabahnya. Interaksi ini dapat terjadi baik melalui pasar uang rupiah,

7
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

pasar uang valuta asing, maupun pasar modal. Adanya interaksi antara
bank sentral dengan perbankan seperti ini akan berpengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan volume maupun
harga-harga (suku bunga, nilai tukar, yield obligasi ataupun harga saham)
yang terjadi di ketiga pasar keuangan tersebut.
Secara lebih rinci terjadinya interaksi antara bank sentral dengan
perbankan dan pengaruhnya terhadap pasar keuangan dapat dijelaskan
sebagai berikut. Interaksi di pasar uang rupiah terjadi ketika bank sentral,
dalam melaksanakan kebijakan moneternya untuk mencapai sasaran akhir,
melakukan operasi moneter untuk mencapai sasaran operasional yang
ditetapkan, apakah target uang primer atau suku bunga jangka pendek.5
Sementara itu, bank-bank dalam pengelolaan likuiditasnya melakukan
transaksi di pasar uang rupiah untuk menjaga posisi rekeningnya di bank
sentral (bank reserve position) sesuai dengan ketentuan GWM yang
ditetapkan, penanaman dana dalam surat-surat berharga, maupun untuk
pinjam-meminjam antarbank (PUAB). Interaksi demikian akan
berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga jangka pendek seperti
suku bunga PUAB dan SBI, posisi uang primer dan bank reserve, transaksi
dan posisi investasi pada sekuritas jangka pendek seperti volume PUAB,
SBI, dan Treasury bills. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral ingin
melakukan pelonggaran kebijakan moneternya, ekspansi moneter yang
dilakukannya akan meningkatkan likuiditas di pasar uang rupiah sehingga
suku bunga SBI dan PUAB akan menurun.
Interaksi di pasar uang valuta asing terjadi ketika di satu sisi bank
sentral dalam kondisi tertentu perlu melakukan sterilisasi atau intervensi
di pasar valuta asing sebagai bagian dari operasi moneter untuk mencapai
sasaran operasional yang ditetapkan dan sekaligus dalam rangka upaya
stabilisasi nilai tukar. Di sisi lain, bank-bank dalam operasinya melakukan
transaksi valuta asing baik untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk
memenuhi permintaan nasabahnya. Interaksi antara bank sentral dan
perbankan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar dan
volume transaksi valuta asing maupun posisi cadangan devisa yang
dimiliki bank sentral dan perbankan. Sebagai contoh, apabila bank sentral
5
Untuk penjelasan mengenai sasaran akhir, sasaran antara, sasaran operasional, dan
instrumen dalam kerangka operasional kebijakan moneter, lihat Perry Warjiyo dan Solikin,
op. cit., hal. 23-25.

8
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

ingin menstabilkan nilai tukar yang sedang melemah, intervensi yang


dilakukannya akan menambah pasokan valuta asing di pasar sehingga
nilai tukar dapat kembali menguat dan stabil.
Interaksi antara bank sentral dengan perbankan di pasar uang rupiah
dan valuta asing tersebut akan berpengaruh pula terhadap perkembangan
di pasar modal. Hal ini terjadi karena investor pada umumnya menanamkan
dananya dalam suatu portfolio investasi yang terdiri dari instrumen atau
produk yang ditransaksikan di pasar uang, pasar valas, dan pasar modal.
Portfolio investasi dimaksud meliputi tidak saja saham dan obligasi
korporasi, tetapi juga simpanan di bank baik dalam rupiah maupun valuta
asing, SBI, obligasi pemerintah ataupun Treasury bills. Dengan demikian,
pergerakan likuiditas, volume transaksi, suku bunga, dan nilai tukar di
pasar uang berpengaruh pula pada perkembangan harga dan volume
perdagangan saham dan obligasi korporasi di pasar modal.

Interaksi melalui fungsi intermediasi


Tahap kedua dari transmisi kebijakan moneter dalam proses perputaran
uang melibatkan interaksi antara perbankan dengan para pelaku ekonomi.
Hal ini terjadi karena fungsi intermediasi perbankan dalam memobilisasi
simpanan dari masyarakat dan dalam menyalurkan kredit dan bentuk
pembiayaan lain kepada dunia usaha. Pertama-tama interaksi ini akan
berpengaruh pada perkembangan volume dan suku bunga di pasar dana
dan kredit. Di sisi mobilisasi dana, interaksi tersebut berpengaruh terhadap
volume dan suku bunga giro, tabungan dan deposito sehingga bepengaruh
pula terhadap perkembangan uang beredar (M1 dan M2), permintaan uang,
dan tabungan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hal perbankan ingin
meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat, suku bunga simpanan
akan naik dan demikian pula minat dan volume simpanan masyarakat di
perbankan. Sementara di sisi penyaluran dana, interaksi tersebut akan
berpengaruh pada perkembangan kredit perbankan yang disalurkan kepada
dunia usaha untuk pembiayaan investasi dan produksinya. Sebagai contoh,
dalam hal perbankan ingin meningkatkan ekspansi kredit, suku bunga
kredit akan cenderung turun dan demikian pula minat dan volume
permintaan kredit dari dunia usaha.

9
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Intermediasi perbankan juga berpengaruh terhadap perkembangan


pasar modal baik ditinjau dari sisi penanaman dana oleh para investor
maupun dari sisi sumber pembiayaan oleh perusahaan emiten. Seperti
disinggung di atas, penanaman dana oleh investor dalam portfolio
investasinya tidak saja terdiri dari saham dan obligasi korporasi tetapi
mencakup pula simpanan di perbankan, dan karenanya perkembangan
volume dan suku bunga simpanan perbankan akan berpengaruh pula
terhadap volume perdagangan dan harga saham dan obligasi. Sebagai
contoh, apabila suku bunga simpanan di bank cenderung menurun, investor
akan mengalihkan sebagian simpanannya di bank ke penanaman dalam
bentuk saham dan obligasi. Sementara itu, pengaruh intermediasi
perbankan terhadap penyediaan pembiayaan kepada dunia usaha melalui
pasar modal terjadi karena dunia usaha memenuhi kebutuhan
pembiayaannya tidak hanya dari kredit perbankan tetapi juga dari emisi
saham dan obligasi di pasar modal. Misalnya, dalam hal suku bunga kredit
relatif tinggi atau perbankan membatasi ekspansi kreditnya, maka dunia
usaha akan meningkatkan usahanya dengan pembiayaan dari emisi saham
atau obligasi melalui pasar modal.
Interaksi antara perbankan/pasar keuangan dengan para pelaku
ekonomi baik secara langsung melalui fungsi intermediasi perbankan
maupun secara tidak langsung melalui pasar modal seperti digambarkan
di atas jelas akan berpengaruh besar terhadap perkembangan berbagai
aktivitas perekonomian. Dari sisi produksi, perkembangan pembiayaan
dalam bentuk kredit perbankan maupun emisi saham dan obligasi korporasi
akan berpengaruh terhadap kemampuan produksi dunia usaha sehingga
akan menentukan tingkat output riil dari berbagai sektor ekonomi.
Sementara itu, dari sisi permintaan, perkembangan suku bunga kredit
perbankan, harga saham, dan yield obligasi akan menentukan besarnya
biaya modal (cost of capital) dan karenanya akan berpengaruh pada minat
investasi dunia usaha. Pengaruhnya terhadap konsumsi masyarakat dapat
terjadi baik melalui pendapatan yang diperoleh dari penanaman dana dalam
deposito perbankan, saham dan obligasi (income effect) maupun biaya
yang harus dikeluarkan apabila konsumsi tersebut dibiayai dari kredit
perbankan (substitution effect). Demikian pula pengaruhnya terhadap
ekspor-impor terjadi baik melalui perkembangan nilai tukar maupun
volume dan suku bunga kredit, emisi saham dan obligasi yang diperlukan

10
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter

untuk pembiayaan kegiatan ekspor-impor dimaksud. Dengan demikian,


secara keseluruhan interaksi antara perbankan dan pasar keuangan dengan
pelaku ekonomi tersebut pada akhirnya akan menentukan tingkat inflasi,
output riil, dan kesempatan kerja dalam perekonomian.

Pentingnya Transmisi Moneter bagi Teori dan Kebijakan Moneter.


Kompleksitas mekanisme transmisi kebijakan moneter seperti diuraikan
di atas menuntut perlunya analisis dan riset untuk memetakan bekerjanya
berbagai saluran transmisi yang ada, apakah saluran uang beredar, kredit,
suku bunga, nilai tukar, harga aset ataupun ekspektasi, sesuai dengan
perkembangan ekonomi dan keuangan yang terjadi. Dalam kaitannya
dengan teori dan kebijakan moneter, studi mengenai transmisi moneter
seperti ini biasanya bertujuan untuk mengkaji dua aspek penting. Yang
pertama adalah untuk mengetahui saluran transmisi mana yang paling
dominan dalam ekonomi untuk dipergunakan sebagai dasar bagi
perumusan strategi kebijakan moneter. Apabila saluran uang beredar masih
paling dominan, misalnya, maka strategi kebijakan moneter dengan
penargetan uang beredar masih relevan dipergunakan. Namun demikian,
apabila saluran suku bunga atau saluran nilai tukar menjadi yang paling
dominan, maka perlu dipertimbangkan penargetan suku bunga atau
penargetan nilai tukar sebagai strategi kebijakan moneter.
Yang kedua adalah untuk mengetahui seberapa kuat dan lamanya
tenggat waktu masing-masing saluran transmisi tersebut bekerja, baik dari
sejak tindakan moneter dilakukan bank sentral ke perubahan masing-
masing saluran maupun dari saluran transmisi ke perubahan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Analisis seperti itu penting untuk menentukan
variabel ekonomi dan keuangan mana yang paling kuat dijadikan leading
indicators terhadap pergerakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan
serta variabel mana sebagai indikator untuk penentuan sasaran operasional
kebijakan moneter. Dengan demikian, apabila uang beredar, kredit, suku
bunga dan nilai tukar relatif kuat dalam mempengaruhi pergerakan
ekonomi dan inflasi ke depan, maka variabel-variabel ini perlu
dipergunakan dalam membangun leading indicators. Dari variabel-
variabel ini pula dapat dipilih mana yang paling tepat dipergunakan sebagai
sasaran operasional, misalnya apa uang primer atau suku bunga. Sementara

11
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

itu, analisis mengenai profil tenggat waktu dari saluran-saluran transmisi


tersebut sangat diperlukan untuk menyusun strategi kebijakan moneter
secara forward looking. Dengan memahami lamanya tenggat waktu dari
sejak kebijakan moneter ditempuh hingga pengaruhnya terhadap inflasi
dan pertumbuhan ekonomi, bank sentral dapat lebih mampu mengarahkan
kebijakan moneter yang ditempuhnya saat ini pada sasaran akhir yang
ditetapkan ke depan.
Dengan pemikiran demikian, pemahaman yang utuh dan mendalam
mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter penting baik ditinjau
dari sisi praktek perumusan kebijakan moneter oleh bank sentral maupun
dari sisi pemahaman dan pengembangan teori ekonomi moneter dalam
dunia akademis. Bank sentral jelas akan sulit untuk dapat merumuskan
kebijakan moneter tanpa memahami transmisi moneter secara baik.
Pemahaman mekanisme transmisi kebijakan moneter akan sangat
menentukan efektivitas kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir
yang telah ditetapkan. Sebagian besar otoritas moneter dan para ekonom
sepakat bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi
riil dalam jangka pendek, meskipun dalam jangka panjang kebijakan
moneter hanya berpengaruh terhadap inflasi. Namun demikian, masih
terjadi perdebatan mengenai bagaimana persisnya kebijakan moneter
mempengaruhi ekonomi riil (Friedman, 1995). Dalam kaitan ini,
pemahaman mengenai transmisi moneter dapat memberikan gambaran
bagaimana, seberapa kuat, dan berapa lama kebijakan moneter dapat
berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi riil dan pencapaian sasaran akhir
yang ditetapkan. Demikian sebaliknya, kelemahan dalam memahami
mekanisme transmisi moneter akan menyebabkan kurang efektifnya
kebijakan moneter tidak saja dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi riil
tetapi juga dalam mencapai sasaran akhir yang ditetapkan.
Bagi dunia akademis, studi mengenai mekanisme transmisi kebijakan
moneter akan semakin memperkaya pemahaman mengenai bagaimana
kebijakan moneter berpengaruh terhadap perekonomian dan
pengembangan teori maupun asumsi-asumsi yang melandasinya. Dalam
tataran teoritis, studi mengenai transmisi moneter pada mulanya mengacu
pada peranan uang dalam perekonomian, seperti pertama kali dijelaskan
oleh Quantity Theory of Money (Fisher, 1911) yang mengandung makna

12
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

adanya hubungan langsung dan sistematis antara pertumbuhan uang


beredar dengan inflasi dan output riil. Debat mengenai bagaimana
pengaruh kebijakan moneter terhadap perekonomian dalam konteks
pandangan para ekonom Klasik dengan para ekonom Keynessian juga
mendasarkan pada fungsi uang sebagai media transaksi dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter.
Akan tetapi dengan semakin berkembangnya perbankan dan sektor
keuangan, dewasa ini muncul pandangan yang mengkritisi pendekatan
tradisional dalam teori ekonomi moneter yang mendasarkan pada
permintaan uang untuk transaksi tersebut. Stiglitz dan Greenwald (2003),
misalnya, berpandangan bahwa kunci untuk memahami ekonomi moneter
adalah permintaan dan penawaran dana pinjaman, sehingga memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya peran bank dan
konsekuensi dari ketidaksempurnaan informasi yang sering terjadi di pasar
keuangan. Pasar pinjaman tidak dapat disamakan dengan pasar barang,
dan karenanya tidak dapat diasumsikan bahwa suku bunga yang terjadi
di pasar akan selalu menyeimbangkan besarnya permintaan dan penawaran
pinjaman. Resiko kredit macet, apakah disebabkan oleh debitur yang
mengalami kegagalan usaha ataupun karena kekuranghati-hatian bank
dalam memberikan pinjaman, dapat saja terjadi. Kondisi demikian
memperkuat pandangan bahwa adalah perilaku bank dan pasar pinjaman
yang lebih berperan dalam teori ekonomi moneter, termasuk dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter, sehingga mendorong Stiglitz
dan Greenwald (2003) untuk menyarankan perlunya membangun
paradigma baru dalam teori ekonomi moneter.
Dalam tataran empiris, permasalahan mekanisme transmisi kebijakan
moneter merupakan topik yang menarik bagi dunia akademis. Bukti-bukti
empiris masih perlu terus dikaji tidak saja untuk mempertajam
pengembangan teori ekonomi moneter dalam memberikan penjelasan yang
rasional dan faktual mengenai fenomena yang sedang berkembang, tetapi
juga untuk memberikan masukan bagi bank sentral dalam merumuskan
kebijakan moneter. Secara khusus, semakin berkembangnya sektor
keuangan dan adanya perubahan dalam struktur perekonomian tidak lagi
dapat dijelaskan oleh transmisi moneter melalui saluran uang, suku bunga
ataupun nilai tukar saja, tetapi juga dengan saluran pinjaman bank dan

13
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

perilaku ekspektasi masyarakat. Berbagai perkembangan ini memerlukan


pengembangan teknik-teknik pemodelan maupun bukti-bukti empiris yang
mampu menjelaskan dengan lebih baik berbagai mekanisme transmisi
kebijakan moneter yang terjadi dalam perekonomian.

Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Seperti disinggung di atas, kajian mengenai mekanisme transmisi


kebijakan moneter pada mulanya mengacu pada peranan uang dalam
perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Quantity Theory of
Money (Fisher, 1911). Dalam perkembangan lanjutan, dengan kemajuan
di bidang keuangan dan perubahan dalam struktur perekonomian, terdapat
lima saluran mekanisme transmisi kebijakan moneter (monetary policy
transmission channels) yang sering dikemukakan dalam teori ekonomi
moneter (Mishkin, 1995, 1996; Bank for International Settlement, 1997;
Kakes, 2000; De Bondt, 2000; Bofinger, 2001). Kelima saluran transmisi
moneter dimaksud adalah saluran moneter langsung (direct monetary
channel), saluran suku bunga (interest rate channel), saluran harga aset
(asset price channel), saluran kredit (credit channel), dan saluran
ekspektasi (expectation channel). Secara lebih jelas kelima saluran
transmisi moneter tersebut dapat digambarkan pada skema 3.

Saluran Uang
Seperti dikemukakan di atas, transmisi kebijakan moneter melalui saluran
uang (money channel) mengacu pada dominasi peranan uang dalam
perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Quantity Theory of
Money (Fisher, 1911). Teori ini pada dasarnya menggambarkan kerangka
kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis
antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi, yang dinyatakan dalam suatu
identitas yang dikenal sebagai “The Equation of Exchange” sebagai
berikut:
MV = PT

14
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Skema 3:
Saluran Transmisi Moneter—Inside the Black Box

Direct Monetary transmission

Money Money Supply-Demand

Credit channels
Bank lending Loan Supply-Demand

Firms balance sheet Ext. Financing, Leverage

Interest rate channel


Cost of capital
Monetary Final
Policy Real interest rate Substitution effect Objective:
Base Prices
money Income effect Real
Interest Output

Asset price channel


Net exports-cap.flows
Exchange rate
Imported prices

Tobin’s q
Equity-Property prices
Wealth effect

Expection Channel

Expectation Real interest rate

Uncertainty Moral hazard,


Adverse selection

Sumber : De Bondt (2000, hal, 30), dimodifikasi.

dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran


uang atau income velocity (V) sama dengan jumlah output atau transaksi
ekonomi/output riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata
lain, dalam keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan dalam

15
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output


nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam
ekonomi (PT).
Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan
para pelaku ekonomi seperti diuraikan di atas, mekanisme transmisi
moneter melalui saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari
proses perputaran uang dalam perekonomian. Dalam kaitan ini, bank
sentral melakukan operasi moneter untuk pengendalian uang beredar (M1,
M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer atau base money
(B). Di sisi lain, bank-bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk
cadangan dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu (bank reserves)
dari sisi aset dan pendanaan dari simpanan masyarakat dalam bentuk uang
beredar (M1, M2) dari sisi liabilities. Selanjutnya para pelaku ekonomi
menyimpan dan menggunakan uang beredar (M1, M2) untuk kegiatan
ekonominya. Mekanisme ini dapat digambarkan pada skema 4 berikut
ini.
Skema 4:
Mekanisme Transmisi Saluran Uang

BANK SENTRAL PERBANKAN

NFA Uang Primer (B) NFA Uang Beredar


NCG OPT Pasar Uang Reserves (M1, M2)
NCB NOI Rupiah SB &
PUAB Modal
Kredit

Kegiatan Ekonomi PELAKU


EKONOMI Giro, Tabungan, Deposito

Secara matematis, mekanisme transmisi saluran uang dalam dua tahap


proses perputaran uang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada
tahap pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan pada pasar
uang rupiah ditunjukkan dengan money multiplier (m) antara Base Money
(B) dengan Uang Beredar (M), yaitu:
m = M/B

16
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Pada tahap kedua, interaksi melalui fungsi intermediasi antara


perbankan dan pelaku ekonomi ditunjukkan dengan hubungan antara uang
beredar dengan transaksi ekonomi seperti pada Quantity Theory of Money
di atas.6 Dalam hubungan ini, jumlah uang beredar yang diperlukan dalam
ekonomi dapat dihitung sebagai berikut:
M = PT/V
Dengan demikian, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui
saluran uang dimulai dengan tindakan bank sentral mengendalikan uang
primer atau base money (B) sesuai dengan sasaran akhir yang ingin dicapai.
Kemudian uang primer ini, dengan proses money multiplier, ditransmisikan
ke jumlah uang beredar (M1, M2) sesuai dengan permintaan masyarakat.
Pada akhirnya uang beredar akan mempengaruhi berbagai kegiatan
ekonomi, khususnya inflasi dan output riil karena peranannya untuk
pemenuhan kebutuhan transaksi ekonomi oleh para pelaku ekonomi.

Saluran Kredit
Seperti dijelaskan di atas, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui
saluran uang secara implisit beranggapan bahwa semua dana yang
dimobilisasi perbankan dari masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1,
M2) dipergunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran
kredit perbankan. Dalam kenyataannya, anggapan seperti tidak selamanya
benar. Selain dana yg tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga
dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi
perbankan itu sendiri seperti pemodalan (CAR), jumlah kredit macet
(NPL), dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua
permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank-bank, khususnya
karena kondisi keuangan debitur yang dinilai oleh bank tidak feasibel
antara lain karena tingginya rasio utang terhadap modal (leverage), risiko
kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak
simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu
dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.

6
Cara lain yang dapat ditempuh untuk menentukan jumlah uang beredar adalah dengan
memperkirakan permintaan uang oleh masyarakat, misalnya dengan fungsi: M/P = h (Y, r,
e) dimana Y=output riil, r=suku bunga, dan e=nilai tukar.

17
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Berdasarkan pertimbangan di atas, tidak seperti pada saluran uang,


mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan
pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang
beredar (M1, M2) oleh perbankan selalu disalurkan sebagai kredit kepada
dunia usaha. Dengan kata lain, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu
berjalan normal, dalam arti bahwa kenaikan simpanan masyarakat tidak
selalu diiikuti dengan kenaikan secara proporsional pada kredit yang
disalurkan oleh perbankan. Oleh karena itu, yang lebih berpengaruh terhadap
ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukanlah simpanan masyarakat
yang tercermin dalam jumlah uang beredar. Mekansime transmisi melalui
saluran kredit dapat digambarkan pada skema 5 berikut ini.

Skema 5:
Mekanisme Transmisi Saluran Kredit

BANK SENTRAL PERBANKAN

NFA Uang Primer (B) NFA Uang Beredar


NCG OPT Pasar Uang Reserves (M1, M2)
NCB NOI Rupiah SB &
PUAB Modal
Kredit

Kegiatan Ekonomi PELAKU


EKONOMI Kredit Modal Kerja & Investasi

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan


para pelaku ekonomi dalam tahapan proses perputaran uang dalam
ekonomi, mekanisme transmisi moneter melalui saluran kredit dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap pertama, interaksi antara bank
sentral dengan perbankan terjadi di pasar uang rupiah. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, interaksi ini terjadi karena di satu sisi bank sentral
melakukan operasi moneter untuk pencapaian sasaran operasionalnya baik
berupa uang primer (B) ataupun suku bunga jangka pendek, sementara di
sisi lain bank-bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan
likuiditasnya. Interaksi ini akan mempengaruhi tidak saja perkembangan
suku bunga jangka pendek di pasar uang tetapi juga besarnya dana yang

18
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

akan dialokasikan bank-bank dalam bentuk instrumen likuiditas maupun


untuk penyaluran kreditnya.
Perbedaan antara saluran uang dengan saluran kredit terletak pada
tahapan selanjutnya dari proses perputaran uang dalam ekonomi. Saluran
kredit lebih menekankan pentingnya pasar kredit dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter yang tidak selalu berada dalam kondisi
keseimbangan karena adanya assymetric information atau sebab-sebab lain.
Dalam kaitan ini, terdapat dua jenis saluran kredit yang akan mempengaruhi
transmisi moneter dari sektor keuangan ke sektor riil, yaitu saluran kredit
bank (bank lending channel) dan saluran neraca perusahaan (firms balance
sheet channel). Saluran kredit bank lebih menekankan pada perilaku bank
yang cenderung melakukan seleksi kredit karena informasi asimetris atau
sebab-sebab lain tersebut. Di sisi lain, saluran neraca perusahaan lebih
menekankan pada kondisi keuangan perusahaan yang berpengaruh dalam
penyaluran kredit, khususnya kondisi leverage perusahaan.
Saluran kredit manapun yang diyakini lebih berperan, yang jelas
tahapan selanjutnya transmisi kebijakan moneter dari perbankan ke sektor
riil melalui saluran kredit dipengaruhi oleh kondisi pada pasar kredit.
Perkembangan kredit perbankan selanjutnya akan berpengaruh pada inflasi
dan sektor riil (output) melalui dua hal. Yang pertama adalah melalui
perkembangan investasi, yaitu pengaruh volume kredit perbankan dan
pengaruh suku bunga kredit sebagai bagian dari biaya modal (cost of
capital) terhadap permintaan investasi dan aktivitas produksi perusahaan.
Dan yang kedua adalah melalui perkembangan konsumsi, yaitu pengaruh
volume kredit konsumsi perbankan, di samping pengaruh suku bunga
kredit, terhadap konsumsi sektor rumah tangga baik karena efek substitusi
(substitution effect) maupun efek pendapatan (income effect). Pengaruh
melalui investasi dan konsumsi tersebut akan berdampak pada besarnya
permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat inflasi
dan output riil dalam ekonomi.

Saluran Suku Bunga


Berbeda dengan saluran uang dan kredit yang mementingkan aspek
kuantitas dari proses perputaran uang dalam ekonomi, saluran suku bunga

19
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

(interest rate channel) lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar


keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan
ini, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh
terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan
selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Secara
jelas, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran suku bunga
digambarkan pada skema 6 berikut ini.

Skema 6:
Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga

Suku Bunga
Kebijakan Suku Bunga Deposito
• SBI
Moneter Transmisi di
• PUAB
Sektor Keuangan
Suku Bunga Kredit

Konsumsi Inflasi
Transmisi di
Permintaan
Sektor Riil Agregat
Output
Investasi Gap

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan


para pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui saluran suku bunga dapat diterangkan sebagai
berikut. Pada tahap pertama, kebijakan moneter yang ditempuh bank
sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga jangka
pendek (misalnya suku bunga SBI dan PUAB) di pasar uang rupiah.
Perkembangan ini selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito
yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan suku bunga
kredit yang dibebankan bank-bank kepada para debiturnya. Proses
transmisi suku bunga tersebut biasanya tidak berlangsung secara segera,
atau terdapat tenggat waktu, terutama karena kondisi internal perbankan
dalam manajemen aset and kewajibannya (ALMA—Asset and Liability
Management).
Pada tahap kedua, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor
riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan

20
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

investasi dalam perekonomian. Pengaruh suku bunga terhadap permintaan


konsumsi terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen
dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai
pembiayaan konsumsi (substitutsion effect). Sementara itu, pengaruh suku
bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit
merupakan komponene biaya modal (cost of capital), di samping yield
obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi. Pengaruh
melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada
besarnya permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat
inflasi dan output riil dalam ekonomi.

Saluran Nilai Tukar


Seperti halnya saluran suku bunga, mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui saluran nilai tukar (exchange rate channel) menekankan
pentingnya pengaruh perubahan harga aset finansial terhadap berbagai
aktivitas ekonomi. Dalam kaitan ini, pentingnya saluran nilai tukar dalam
transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset finansial dalam
bentuk valuta asing yang timbul dari kegiatan ekonomi suatu negara
dengan negara lain. Pengaruhnya tidak saja terjadi pada perubahan nilai
tukar tetapi juga pada besarnya aliran dana yang masuk dan keluar suatu
negara yang terjadi karena aktivitas perdagangan luar negeri maupun aliran
modal investasi dalam neraca pembayaran. Selanjutnya perkembangan
nilai tukar dan aliran dana luar negeri tersebut akan berpengaruh terhadap
output riil dan inflasi negara yang bersangkutan. Semakin terbuka suatu
perekonomian yang disertai dengan sistem nilai tukar yang mengambang
dan sistem devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh nilai tukar
dan aliran modal luar negeri tersebut. Secara jelas, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar dapat dilihat pada skema 7.
Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan
para pelaku ekonomi proses perputaran uang dalam perekonomian,
mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, kebijakan
moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan nilai tukar di
pasar valuta asing. Pengaruh langsung terhadap nilai tukar terjadi karena

21
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Skema 7:
Mekanisme Transmisi Saluran Nilai Tukar

Kebijakan Perbedaan Suku Aliran Modal LN&


Moneter Bunga DN-LN Supply-Demand Valas

Transmisi di
Risiko Nilai Tukar Sektor Keuangan

Harga-harga Inflasi
Transmisi di Traded Goods
Sektor Riil

Ekspor Neto PDB Output Gap

pasokan valuta asing oleh bank sentral baik dalam kaitannya dengan
operasi pengendalian moneter melalui sterilisasi valuta asing maupun
intervensi dalam rangka upaya stabilisasi nilai tukar. Sementara itu,
pengaruh tidak langsung terhadap nilai tukar terjadi karena kebijakan
moneter tersebut akan mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar,
dan karenanya perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri
(interest rate diffierential), yang selanjutnya berpengaruh terhadap
besarnya aliran dana luar negeri serta permintaan dan penawaran di pasar
valuta asing.
Pada tahap selanjutnya, pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga dapat
terjadi baik secara langsung (direct exchange rate pass-thorugh) maupun
secara tidak langsung (indirect exchange rate pass-through). Pengaruh
secara langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi
pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di
masyarakat, khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor dari luar
negeri baik sebagai barang jadi maupun bahan baku dan barang modal.
Sementara itu, pengaruh secara tidak langsung terjadi karena perubahan
nilai tukar mempengaruhi khususnya komponen ekspor dan impor dalam
permintaan agregat. Perkembangan ini akan berdampak pada besarnya
output riil dalam ekonomi yang pada akhirnya akan menentukan besarnya
tekanan inflasi dari sisi kesenjangan output.

22
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Saluran Harga Aset


Selain pengaruh melalui nilai tukar terhadap aset valuta asing, kebijakan
moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain,
baik harga aset finansial seperti yield obligasi dan harga saham, maupun
harga aset fisik khususnya harga properti dan emas. Transmisi ini terjadi
karena penanaman dana oleh para investor dalam portfolio investasinya
tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen investasi lainnya di
pasar uang rupiah dan valuta asing, tetapi juga dalam bentuk obligasi,
saham, dan aset phisik. Dengan demikian, perubahan suku bunga dan
nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta
asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, saham,
dan aset fisik tersebut. Secara jelas, mekanisme transmisi melalui saluran
harga aset dapat dilihat pada skema 8 berikut ini.

Skema 8:
Mekanisme Transmisi Saluran Harga Aset

Suku Bunga
Kebijakan • SBI Harga Aset Financial Transmisi di
Moneter • PUAB • Yield Obligasi Sektor
• Deposito • Harga Saham Keuangan
• Kredit

Konsumsi Inflasi
Transmisi
Harga Aset Phisik Permintaan
di Sektor
Harga Properti Agregat Output
Riil
Harga Emas Gap
Investasi

Pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan harga aset


tersebut selanjutnya akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor
riil. Mekanisme transmisi melalui saluran harga aset ini terjadi melalui
pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi bagi para investor, baik
karena perubahan kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun
perubahan tingkat pendapatan yang dikonsumsi (disposable income) yang
timbul dari penerimaan hasil penanaman aset finansial dan aset fisik

23
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

tersebut (substitution and income effects). Selain itu, pengaruh harga aset
terhadap sektor riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh perusahaan.
Hal ini disebabakan oleh perubahan harga aset tersebut, baik yield obligasi,
return saham dan harga aset properti, berpengaruh terhadap biaya modal
yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi oleh perusahaan.
Selanjutnya, pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi tersebut
akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan
menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi.

Saluran Ekspektasi
Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan
keuangan, saluran ekspektasi (expectation channel) semakin penting dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Para pelaku
ekonomi, dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan pada
prospek ekonomi dan keuangan ke depan. Mereka akan membentuk
persepsi tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai
indikator ekonomi dan keuangan. Di samping persepsi yang bersifat
individual, eskpektasi para pelaku ekonomi dimaksud biasanya akan
dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai indikator ekonomi dan
keuangan tersebut serta antisipasinya terhadap langkah-langkah kebijakan
ekonomi yang ditempuh pemerintah dan bank sentral.
Berkaitan dengan kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah
ekspektasi inflasi yang timbul di masyarakat. Di samping pengaruh
perkembangan inflasi yang telah terjadi (inertia), ekspektasi inflasi pada
umumnya dipengaruhi juga oleh kebijakan moneter yang ditempuh oleh
bank sentral, yang ditunjukkan pada perkembangan suku bunga dan nilai
tukar. Di sektor keuangan, seperti dijelaskan sebelumnya, kebijakan
moneter bank sentral akan mempengaruhi perkembangan suku bunga
jangka pendek (misalnya SBI dan PUAB), yang selanjutnya melalui
transmisi saluran suku bunga akan berpengaruh pada perkembangan suku
bunga perbankan (deposito dan kredit) serta melalui transmisi saluran
nilai tukar akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar. Semakin
kredibel kebijakan moneter, yang antara lain ditunjukkan pada kemampuan
dalam mengendalikan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar, semakin kuat
pula dampaknya terhadap ekspektasi inflasi masyarakat. Dalam kondisi

24
Transmisi Moneter di Indonesia

Skema 9:
Mekanisme Transmisi Saluran Ekspektasi

Suku Bunga
• SBI
Kebijakan • PUAB Nilai Tukar Transmisi di Sektor
Moneter • Deposito Keuangan
• Kredit

Suku Permintaan Agregat Inflasi


Bunga • Konsumsi
Transmisi Ekspektasi Riil • ˆnvestasi
di Sektor Riil Inflasi Output Gap
Pola Penawaran
Pembentukan Agregat
Harga

demikian, ekspektasi inflasi masyarakat akan cenderung mendekati sasaran


inflasi yang ditetapkan bank sental dalam kebijakan moneternya.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran ekspektasi inflasi
dapat dijelaskan pada skema 9.
Pada tahap selanjutnya, ekspektasi inflasi yang terjadi di masyarakat
akan berpengaruh terhadap berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh
ekspektasi inflasi terhadap permintaan agregat terjadi karena dampaknya
terhadap tingkat suku bunga riil yang dipertimbangkan dalam menentukan
besarnya permintaan konsumsi dan investasi di masyarakat. Sementara
itu, pengaruh ekspektasi inflasi terhadap penawaran agregat terjadi melalui
perubahan pola pembentukan harga produk oleh pihak perusahaan.
Selanjutnya pengaruh ekspektasi inflasi terhadap permintaan dan
penawaran agregat tersebut akan menentukan tingkat inflasi dan output
riil dalam ekonomi. Dengan demikian, semakin kredibel kebijakan
moneter, semakin rendah pula deviasi ekspektasi inflasi masyarakat dari
sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral, dan karenanya semakin kecil
pula distorsi yang ditimbulkannya baik terhadap perkembangan output
riil maupun efektivitas kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran inflasi
tersebut.

25
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Transmisi Moneter di Indonesia

Bagi Indonesia, pemahaman mengenai mekanisme transmisi moneter juga


sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam
mencapai dan menjaga kestabilan harga dan nilai tukar rupiah yang
diperlukan guna mendukung proses pemulihan ekonomi. Kebutuhan ini
semakin mendesak terutama karena dua pertimbangan, yaitu, pertama,
perlunya menjaga stabilitas moneter pasca krisis 1997 dalam mendukung
pemulihan ekonomi nasional dan, kedua, semakin besarnya tuntutan
terhadap pelaksanaan kebijakan moneter dengan berlakunya UU Bank
Indonesia yang baru.
Seperti diketahui bersama, sejak krisis pertengahan tahun 1997 upaya
pemeliharaan stabilitas ekonomi makro untuk mendukung proses
pemulihan ekonomi Indonesia mengalami tantangan dengan adanya
tekanan yang demikian besar terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi. Nilai
tukar rupiah melemah dan cenderung bergejolak terutama karena besarnya
eksposur utang luar negeri Indonesia yang diperberat dengan adanya
spekulasi di pasar valuta asing dan ketidakstabilan kondisi sosial politik
di dalam negeri. Tekanan inflasi meningkat karena kombinasi dari faktor
melemahnya nilai tukar rupiah, kenaikan harga-harga yang diatur
Pemerintah Indonesia (administered prices) dan meningkatnya ekspektasi
inflasi di masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kebijakan
moneter telah diarahkan untuk mengendalikan likuiditas di pasar uang
melalui pengendalian sasaran operasional uang primer (base money) sesuai
dengan program IMF. Namun demikian, efektivitas kebijakan moneter
tersebut sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan
moneter dalam mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan,
khususnya dalam rangka mengendalikan inflasi dan mendukung proses

7
Untuk uraian mengenai penerapan inflation targeting framework di Indonesia, lihat
Alamsyah dkk (2000), Sitorus dkk (2000), Boediono (2000), dan Warjiyo (2002).
8
Seperti dikemukakan, tujuan Bank Indonesia sesuai dengan UU adalah untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dalam artian kestabilan harga (inflasi) dan nilai
tukar. Dalam kaitan ini, sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang ditetapkan,

26
Transmisi Moneter di Indonesia

pemulihan sektor riil. Permasalahan menjadi semakin berat dengan


kebelumnormalan fungsi intermediasi perbankan yang memegang peran
penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Pemahaman mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter juga
semakin diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas
kebijakan moneter sesuai dengan UU Bank Indonesia, yaitu UU No. 23
Tahun 1999 yang telah diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004.
Dalam kaitan ini, secara implisit UU tersebut telah mengamanatkan kepada
Bank Indonesia untuk menerapkan kerangka kerja kebijakan moneter yang
di dalam literatur ekonomi sering disebut Inflation Targeting Framework.7
Hal ini terutama dapat dilihat dengan adanya pengaturan di dalam UU
tersebut bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank
Indonesia serta adanya pengumuman sasaran inflasi dimaksud.8 Untuk
mencapai tujuan tersebut, kepada Bank Indonesia diberikan kewenangan
penuh (instrument independent) dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, seperti disinggung di depan, dalam
melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia mempunyai instrumen
moneter antara lain Operasi Pasar Terbuka (OPT), intervensi rupiah,
sterilisasi valuta asing, fasilitas diskonto, Giro Wajib Minimum (GWM),
dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Dengan dua pertimbangan di atas, pemahaman yang jelas mengenai
mekanisme transmisi moneter sangat penting untuk meningkatkan kualitas
dan efektivitas kebijakan moneter, khususnya dalam rangka penerapan
kerangka kerja inflation targeting. Berdasarkan kerangka kerja inflation
targeting, kebijakan moneter yang ditempuh saat ini harus diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan. Dengan demikian,
dengan mempertimbangkan bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap
inflasi dan output riil memerlukan tenggat waktu, strategi kebijakan
moneter harus dirumuskan secara forward looking agar sasaran inflasi
tersebut dapat dicapai. Permasalahan adalah bahwa pengaruh kebijakan

perkembangan nilai tukar rupiah didasarkan pada permintaan dan penawaran sesuai dengan
mekanisme pasar. Bank Indonesia akan tetap menjaga kestabilan nilai tukar rupiah tersebut
terutama untuk menghindari gejolak yang berlebihan dan dalam rangka mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan, bukan untuk mencapai suatu target nilai tukar rupiah pada tingkat
atau kisaran tertentu.

27
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

moneter tersebut terhadap ekonomi riil dan inflasi, seperti telah dijelaskan
secara panjang lebar dalam bagian sebelumnya, bekerja melalui berbagai
saluran transmisi moneter. Di sinilah letak pentingnya pemahaman yang
jelas dan lengkap mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter untuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara forward looking
tersebut.
Studi mengenai transmisi moneter juga penting untuk memahami
kekuatan relatif dari masing-masing saluran dalam mentransmisikan
kebijakan moneter dalam rangka mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan.
Studi seperti ini sangat berguna dalam menyusun dan memilih berbagai
indikator kunci dari perkembangan ekonomi dan keuangan sebagai dasar
perumusan kebijakan moneter. Seperti ditekankan oleh Svensson (1997),
mengingat penggunaan sasaran antara (selain prakiraan inflasi ke depan)
tidak lagi tepat dalam inflation targeting framework, bank-bank sentral
yang menerapkan inflation targeting framework lebih mengutamakan
penggunaan beberapa indikator ekonomi dan keuangan tertentu sebagai
policy indicators, yaitu indikator yang mengandung informasi mengenai
pergerakan ekonomi dan inflasi ke depan.9 Berbagai policy indicators
tersebut dapat disusun melalui studi mekanisme transmisi moneter karena
studi demikian dapat memberikan petunjuk mengenai indikator-indikator
ekonomi dan keuangan mana yang paling berperan dalam
mentransmisikan kebijakan moneter ke inflasi dan output riil. Sebagai
contoh adalah Monetary Condition Index (MCI) yang pernah diterapkan
di Kanada dan New Zealand ataupun besaran uang beredar dalam arti
luas di Spanyol.

Pemetaan Mekanisme Transmisi Moneter


Mengingat pentingnya bagi kebijakan moneter tersebut, sejumlah
pemikiran dan kajian pernah dikemukakan mengenai bekerjanya

9
Mengingat policy indicators tersebut mengandung informasi yang dapat menunjukkan
pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan, maka penggunaannya lebih ditekankan pada
fungsinya sebagai dasar perumusan kebijakan moneter yang saat ini ditempuh agar dapat
mempengaruhi dan mengarahkan pergerakan inflasi tersebut sesuai sasaran yang ditetapkan.
Dengan kata lain, policy indicators tersebut bukalah berfungsi sebagai sasaran antara
(intermediate target) itu sendiri yang harus dicapai oleh kebijakan moneter.

28
Transmisi Moneter di Indonesia

Skema 10:
Mekanisme Transmisi dan Kebijakan Moneter

Uang
Suku Bunga
Beredar
Pasar
Permintaan
Kredit Bank Domestik

INSTRUMEN Tekanan
Permintaan Inflasi INFLASI
KEBIJAKAN Harga Asset Aggregat
MONETER Domestik

Output
Ekspektasi Permintaan GAP
Eksternal

Nilai Tukar Harga


Traded Goods

mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Secara umum


mekanisme transmisi dimaksud dapat digambarkan dalam skema 10
berikut. Dalam skema itu terlihat bahwa kebijakan moneter yang ditempuh
Bank Indonesia, misalnya melalui OPT dengan lelang SBI, akan
berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga SBI dan uang primer.
Selanjutnya operasi moneter ini akan berpengaruh terhadap perkembangan
uang beredar, suku bunga, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar, dan
ekspektasi inflasi di masyarakat. Berbagai perkembangan yang
mencerminkan bekerjanya saluran-saluran transmisi moneter ini akan
berpengaruh terhadap besarnya konsumsi dan investasi yang merupakan
komponen permintaan domestik, besarnya ekspor dan impor yang
merupakan komponen permintaan eksternal, dan pada akhirnya
keseluruhan permintaan agregat. Akan tetapi, besarnya permintaan agregat
tersebut tidak selalu akan sama dengan besarnya penawaran agregat yang
ditentukan oleh volume produksi barang dan jasa secara nasional.
Kesenjangan output yang terjadi dalam ekonomi akan menimbulkan
tekanan inflasi dari sisi domestik. Selain itu, tekanan inflasi dari sisi
eksternal juga terjadi melalui pengaruh langsung perubahan nilai tukar
terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor dari luar negeri
(traded goods).

29
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Berbagai studi terus dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mengkaji


dan memetakan bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter
tersebut di Indonesia. Sesuai dengan uraian di atas, untuk mendukung
efektivitas kebijakan moneter, studi mengenai hal ini diarahkan pada tiga
aspek, yaitu: (i) mengukur kekuatan pengaruh dari masing-masing saluran
transmisi moneter, (ii) mengidentifikasi profil tenggat waktu dari saat
kebijakan moneter ditempuh hingga sasaran akhir kebijakan moneter
melalui masing-masing saluran transmisi moneter, dan (iii) menganalisis
saluran transmisi mana yang paling kuat dan dominan bekerja di Indonesia.
Dalam kaitan ini, perlu ditekankan bahwa hasil studi mengenai ketiga
aspek ini akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dalam
ekonomi dan keuangan Indonesia, termasuk terjadinya krisis pada tahun
1997 yang lalu.
Studi-studi awal mengenai hal ini dalam periode sebelum krisis
menunjukkan semakin pentingnya saluran suku bunga dalam
mentransmisikan kebijakan moneter (Sarwono dan Warjiyo, 1998; Warjiyo
dan Zulverdi, 1998). Hal ini didasarkan pada pengamatan mengenai
semakin berkembangnya lembaga, produk dan pasar keuangan Indonesia,
khususnya sejak langkah-langkah deregulasi keuangan mulai awal dekade
1980-an. Kemajuan ini telah menyebabkan semakin kurang stabilnya
permintaan uang dan karenanya menurunnya peran saluran uang dalam
transmisi moneter, sementara saluran suku bunga semakin berperan.
Boediono (1998) juga sependapat dengan penilaian mengenai semakin
pentingnya peran saluran suku bunga relatif dibandingkan dengan saluran
uang tersebut, meskipun masih menyarankan penggunaan uang primer
sebagai sasaran operasi moneter terutama selama krisis dengan
pertimbangan lebih praktis dan pasti sebagai pedoman (anchor) dalam
pelaksanaan kebijakan moneter.
Sementara itu, Agung (1998) melakukan studi mengenai peran saluran
kredit dalam transmisi kebijakan moneter untuk periode sebelum krisis.
Sebagai dampak dari kebijakan deregulasi keuangan, saluran kredit bank
hanya bekerja melalui bank-bank yang relatif kecil, sementara transmisi
melalui bank-bank besar baik kurang berjalan karena kemampuannya
dalam memobilisasi dana masyarakat dan memperoleh pinjaman dari luar
negeri. Untuk periode setelah krisis, Agung (2000) menunjukkan

30
Transmisi Moneter di Indonesia

bekerjanya transmisi melalui saluran neraca perusahaan, yaitu bahwa


respons sektor riil terhadap perubahan kebijakan moneter tergantung pada
struktur keuangan perusahaan, segmentasi di pasar keuangan, dan kondisi
pasar modal. Selanjutnya, Agung (2001) menemukan bukti empiris adanya
fenomena kemandegan kredit perbankan (credit crunch) di Indonesia.
Temuan ini dapat menjelaskan bahwa adanya penjatahan kredit (credit
rationing) yang dilakukan oleh perbankan telah memperlemah efektivitas
kebijakan moneter dalam mempengaruhi penyaluran kredit yang
dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Studi yang lebih menyeluruh mengenai mekanisme transmisi moneter
dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2001 dan didokumentasikan dalam
Warjiyo dan Agung (2002). Studi ini memfokuskan pada kajian empiris
mengenai transmisi saluran suku bunga, saluran kredit bank dan kondisi
neraca perusahaan, saluran nilai tukar, saluran harga aset, dan saluran
ekspektasi. Periode yang dikaji mencakup periode sebelum dan sesudah
krisis dengan pendekatan estimasi menggunakan model Vector
Autoregressive (VAR), persamaan struktural, dan survei. Secara
keseluruhan hasil studi-studi tersebut memberikan informasi yang sangat
berharga mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia,
dan bagaimana mekanisme ini mengalami perubahan dengan adanya krisis
tahun 1997. Secara khusus, tidak saja studi tersebut menunjukkan perilaku
dari masing-masing saluran transmisi moneter, tetapi juga
mengindikasikan kekuatan transmisinya baik pada periode sebelum
maupun sesudah krisis.

Saluran Uang
Sebelum menjelaskan hasil temuan dari studi transmisi moneter di atas,
ada baiknya disampaikan terlebih dahulu bagaimana mekanisme transmisi
kebijakan moneter bekerja melalui saluran uang di Indonesia. Transmisi
melalui saluran uang telah sejak lama dijadikan dasar kebijakan moneter
di Indonesia, termasuk selama Indonesia berada dalam Program IMF dari
tahun 1997 hingga tahun 2003 yang lalu. Mekanisme kebijakan
moneternya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awal tahun, Bank
Indonesia menetapkan sasaran inflasi yang akan dicapai pada tahun yang

31
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

bersangkutan beserta prakiraan beberapa variabel makroekonomi seperti


pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan nilai tukar rupiah. Berdasarkan
sasaran inflasi dan prakiraan variabel-variabel makroekonomi ini,
kemudian diperkirakan jumlah uang beredar (M1, M2) sesuai kebutuhan
likuiditas dalam perekonomian berdasarkan estimasi fungsi permintaan
uang.
Sasaran operasional uang primer (base money) ditetapkan berdasarkan
estimasi uang beredar tersebut dengan mempertimbangkan perkiraan
money multiplier dan faktor musiman, khususnya mengenai pola
permintaan masyarakat terhadap uang kartal. Sasaran operasional uang
primer tersebut ditetapkan secara tahunan, triwulanan, bulanan, mingguan.
Dengan demikian, pengendalian moneter yang dilakukan Bank Indonesia
dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) khususnya melalui lelang SBI
mingguan diarahkan untuk mencapai target uang primer tersebut. Dalam
prakteknya, implikasi pengendalian moneter terhadap perkembangan suku
bunga SBI juga dipertimbangkan, dalam arti untuk memberikan
kesinambungan dan kepastian kepada pasar pola pergerakan suku bunga
SBI tersebut.
Dalam perkembangannya, bahkan juga pada periode sebelum krisis,
terdapat beberapa faktor yang diperkirakan telah memperlemah bekerjanya
transmisi moneter melalui saluran uang di Indonesia. Yang pertama terkait
dengan definisi uang beredar yang semakin luas dan lebih sulit
diperkirakan perilakunya dengan kemajuan produk dan operasi perbankan
dan sektor keuangan. Uang beredar tidak lagi hanya mencakup uang kartal,
uang giral maupun tabungan dan deposito saja, tetapi juga meliputi pula
negotiable certificate of deposits (NCDs) dan instrumen pendanaan
lainnya. Bahkan berkembangnya ATMs dan kartu kredit semakin
menyebabkan sulitnya memperkirakan perilaku uang beredar tersebut.
Faktor kedua berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam memegang
uang yang juga semakin sulit diperkirakan. Akibatnya, fungsi permintaan
uang sebagai dasar memperkirakan kebutuhan uang beredar dalam
perekonomian semakin kurang stabil, demikian pula perilaku velocity of
money dan money multiplier.
Dengan perkembangan tersebut, beberapa studi telah dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas pengendalian uang primer sebagai sasaran

32
Transmisi Moneter di Indonesia

operasional dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Evaluasi mengenai


hal ini diletakkan pada dua aspek, yaitu seberapa jauh kestabilan fungsi
permintaan uang masyarakat sebagai dasar penentuan sasaran antara uang
beredar dan sasaran operasional uang primer (stabiliity and predictibility
issues), dan seberapa jauh sasaran operasional uang primer dapat
dikendalikan dengan instrumen moneter yang ada (controllobaility issue).
Astiyah (2002), misalnya, mengkaji perilaku permintaan uang dan
implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dari berbagai definisi
uang beredar, Astiyah menemukan bahwa hubungan antara uang beredar
(M1 dan M2) dengan sasaran akhir inflasi semakin tidak stabil. Bahkan
untuk uang primer telah menjadi variabel yang endogen, dalam arti
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan inflasi, dan karenanya sulit
dikendalikan. Hanya permintaan uang kartal (kertas dan logam) secara
riil yang relatif stabil. Bukti empiris ini mendukung pandangan bahwa
uang beredar merupakan variabel yang semakin lemah untuk dijadikan
sebagai nominal anchor. Berdasar temuan ini, Astiyah menyarankan untuk
beralih pada inflation targeting sebagai kerangka kerja kebijakan moneter
yang baru.
Sementara itu, Anglingkusumo (2002) meneliti perilaku uang dalam
kemampuannya untuk memprediksi pergerakan inflasi ke depan. Dari
berbagai definisi uang, hanya uang kartal (kertas dan logam) yang secara
konsisten mempunyai daya prediksi yang kuat terhadap inflasi.
Transmisinya bekerja baik secara langsung dari uang ke inflasi maupun
melalui pengaruh uang kartal terhadap pergerakan nilai tukar dan
kemudian ke inflasi. Bukti empiris ini menunjukkan besarnya komitmen
Bank Indonesia dalam pengendalian sasaran operasional uang primer
dalam kebijakan moneternya. Namun demikian, ke depan dengan
meningkatnya kecanggihan inovasi dan perilaku agen di pasar keuangan
dan di sektor riil, disarankan agar Bank Indonesia menempuh strategi
kebijakan moneter yang lebih transparan dan menggunakan berbagai
informasi penting yang berkembang. Lebih lanjut, Anglingkusumo (2002)
merekomendasikan strategi dua pilar seperti yang dilakukan oleh European
Central Bank (ECB), yaitu uang beredar pada pilar yang satu dan berbagai
variabel kunci selain uang beredar di pilar yang lain. Dalam kaitan ini,
berbagai variabel selain uang beredar ini dapat dirumuskan dari kajian

33
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

mekanisme transmisi moneter. Dengan kata lain, upaya peningkatan


efektivitas kebijakan moneter memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap bekerjanya saluran-saluran lain dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter.

Saluran Kredit
Studi yang dilakukan Agung dkk (2002) merupakan kelanjutan dari studi
mengenai saluran kredit yang dilakukan sebelumnya (Agung, 1998;
Agung, 2000; Agung dkk, 2001). Secara keseluruhan studi ini memberikan
bukti empiris yang lengkap mengenai bekerjanya saluran kredit perbankan
(banks lending channel) dalam transmisi moneter di Indonesia sebelum
dan sesudah krisis. Mempertimbangkan kenyataan adanya ketergantungan
debitur terhadap kredit perbankan, studi ini lebih memfokuskan pada
pertanyaan apakah kebijakan moneter berpengaruh besar terhadap volume
kredit bank. Tiga metode dipergunakan dalam studi ini. Pertama, dengan
menggunakan analisis VAR, studi ini menganalisis bagaimana perubahan
suku bunga kebijakan moneter berpengaruh terhadap perilaku bank dalam
operasinya, baik terhadap deposito, kredit, maupun surat-surat berharga.
Kedua, permintaan dan penawaran kredit dianalisis untuk menentukan
apakah ketidakseimbangan dalam pasar kredit lebih disebabkan oleh
pasokan kredit sebagaimana diindikasikan oleh saluran kredit. Ketiga,
data panel individual bank diinvestigasi untuk mengetahui apakah
kebijakan moneter berdampak berbeda terhadap karakteristik bank
terutama ditinjau dari kekuatan modal dan besarnya aset.
Bukti dari analisis data agregat menunjukkan bahwa kebijakan moneter
berpengaruh terhadap kredit perbankan dengan tenggat waktu karena
kemampuan bank dalam menghindari penurunan volume deposito dengan
menjual surat-surat berharga yang dimilikinya. Ini dilakukan bank untuk
memenuhi komitmen kredit yang telah dilakukannya sebelum terjadi
perubahan kebijakan moneter tersebut. Bukti empiris lebih jauh
menunjukkan bahwa setelah perubahan kebijakan moneter terdapat “flight
to quality” atas deposito dari bank nasional ke bank asing dan campuran.
Kondisi ini dapat menerangkan mengapa kredit dari bank asing dan
campuran tidak terlalu sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter
dibanding bank swasta nasional.

34
Transmisi Moneter di Indonesia

Disagregasi data kredit perbankan ke dalam kredit individual dan


korporasi menunjukkan bahwa kredit korporasi relatif kurang sensistif
terhadap pengaruh kebijakan moneter, sementara kredit individual
mengalami penurunan yang tajam. Hal ini dapat dijelaskan dengan
fenomena “flight to quality” atas pemilihan debitur oleh perbankan dalam
hal terjadi pengetatan moneter, yaitu hanya perusahaan yang benar-benar
feasibel saja yang mendapatkan kredit jangka pendek sementara
perusahaan yang kurang feasibel dan individual akan menghadapi
penjatahan kredit. Dari sisi kelompok bank menurut besarnya modal, bukti
empiris dari studi ini menunjukkan bahwa pengaruh kebijakan moneter
lebih kuat pada bank-bank yang modalnya relatif kecil.
Lebih jauh lagi, analisis data time series dan panel data dalam studi
ini menunjukkan bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap kredit
perbankan dan investasi perusahaan lebih kuat pada periode setelah krisis,
khususnya dalam hal terjadi pengetatan moneter. Kurang efektifnya
kebijakan moneter dalam mempengaruhi kredit perbankan pada periode
sebelum krisis terutama disebabkan oleh kemampuan bank-bank dalam
mengakses dana luar negeri. Setelah terjadinya krisis, dengan menurunnya
permodalan bank dan tingginya risiko kredit, kenaikan suku bunga yang
timbul dari kontraksi moneter meningkatkan probabilitas kemacetan
kredit, dan karenanya mendorong bank-bank enggan menyalurkan kredit.
Bukti empiris ini mendukung eksistensi pengaruh asimetris kebijakan
moneter yang cenderung lebih kuat dalam kondisi resesi dibandingkan
dalam periode booming.
Sementara itu, studi empiris mengenai saluran neraca perusahaan
(firms balance sheet channel) pada umumnya memfokuskan pada dua
pertanyaan penting dalam transmisi kebijakan moneter. Pertama, apakah
kondisi neraca berperan penting dalam mempengaruhi keputusan investasi
perusahaan. Kedua, bagaimana kebijakan moneter berpengaruh terhadap
kondisi neraca perusahaan dan keputusan investasi mereka. Untuk kasus
Indonesia, beberapa studi telah dilakukan sebelumnya dalam konteks
pengujian kendala keuangan dalam keputusan investasi perusahaan. Hariss
dkk (1994) dan Goeltom (1995) menggunakan model akselerator dalam
perilaku investasi dengan menggunakan data panel perusahaan manufaktur
selama periode 1983-1989 untuk menyelidiki apakah liberalisasi keuangan

35
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

telah mengurangi kendala keuangan dalam keputusan investasi


perusahaan. Dalam konteks yang agak berbeda, dengan menggunakan
data panel dari perusahaan publik untuk periode 1992-1997, Agung (2000)
menyelidiki peran aliran kas dan leverage dalam keputusan investasi
perusahaan untuk membuktikan bekerjanya saluran neraca perusahaan di
Indonesia.
Studi lanjutan mengenai saluran neraca perusahaan dilakukan Agung
dkk (2002) dengan memasukkan pula data untuk periode setelah krisis
dari 1992-1999. Bukti empiris dari studi ini menunjukkan pentingnya
kondisi neraca, khususnya arus kas dan leverage, dalam mempengaruhi
keputusan investasi perusahaan dan pengaruh tersebut lebih besar pada
perusahaan kecil dibandingkan dengan perusahaan besar. Sensitivitas
investasi terhadap kondisi neraca perusahaan ternyata meningkat selama
periode kontraksi moneter dibandingkan dengan periode ekspansi moneter.
Bukti-bukti empiris tersebut menunjukkan pentingnya saluran neraca
perusahaan dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Saluran Suku Bunga


Studi yang dilakukan oleh Kusmiarso dkk (2002) mendokumentasikan
bukti empiris mengenai bekerjanya transmisi saluran suku bunga pada
periode sebelum dan sesudah krisis. Hal ini dilakukan dengan menganalisis
bagaimana biaya modal serta efek subsitusi dan pendapatan
mentransmisikan perubahan suku bunga yang terjadi karena kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Hubungan antara suku bunga
jangka pendek dan variabel sektor riil diinvestigasi dengan menggunakan
uji Granger dan analisis VAR. Lebih dari itu, untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang perilaku bank-bank dalam bereaksi
terhadap perubahan suku bunga jangka pendek, estimasi model struktural
juga dilakukan dengan variabel suku bunga PUAB, suku bunga deposito
dan suku bunga kredit. Studi ini menggunakan data bulanan baik untuk
periode sebelum krisis (Januari 1989 sampai dengan Juni 1997) maupun
untuk periode setelah krisis (Juli 1997 sampai dengan Desember 2000)
untuk menggambarkan pengaruh krisis.
Bukti empiris dari analisis VAR menunjukkan bahwa pada periode
sebelum krisis, suku bunga riil untuk deposito dan kredit investasi

36
Transmisi Moneter di Indonesia

dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan suku bunga PUAB. Namun


demikian, pertumbuhan investasi tidak sensitif terhadap perkembangan
suku bunga kredit terutama karena relatif mudahnya akses perbankan dan
dunia usaha terhadap dana luar negeri pada waktu itu. Demikian pula,
pertumbuhan konsumsi juga tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga
deposito antara lain karena suku bunga yang relatif stabil dan rendah.
Setelah krisis, studi tersebut menunjukkan bahwa respons suku bunga
deposito dan kredit terhadap suku bunga PUAB relatif lebih lemah
dibandingkan dengan periode sebelum krisis, antara lain karena
kekhawatiran perbankan terhadap risiko kredit macet dan kondisi internal
bank lainnya. Di sisi lain, pertumbuhan investasi dipengaruhi secara
signifikan oleh suku bunga kredit, demikian pula konsumsi dipengaruhi
secara signifikan oleh suku bunga deposito.
Estimasi model struktural memberikan bukti empiris lebih lanjut
mengenai perilaku bank dalam penentuan suku bunga, khususnya suku
bunga PUAB, deposito dan kredit modal kerja. Untuk penentuan suku
bunga PUAB, suku bunga SBI dan kondisi likuiditas bank merupakan
faktor dominan pada periode sebelum dan sesudah krisis, dengan pengaruh
yang lebih kuat dari suku bunga SBI pada periode sesudah krisis. Kondisi
likuiditas menjadi faktor yang lebih relevan pada bank-bank swasta
nasional dan BPD, tetapi relatif tidak signifikan pada bank-bank persero
dan bank asing-campuran. Untuk penentuan suku bunga deposito, perilaku
bank lebih dipengaruhi oleh suku bunga PUAB dan kondisi likuiditasnya.
Pengaruh suku bunga PUAB terhadap penentuan suku bunga deposito
semakin besar pada periode setelah krisis, sementara pengaruh likuiditas
menjadi tidak signifikan terutama karena semakin membaiknya kondisi
likuiditas bank-bank.
Sementara itu, penentuan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi
oleh suku bunga deposito dan kondisi likuiditasnya. Sebelum krisis, bank-
bank mempunyia akses dana yang besar dari luar negeri serta dari bank
sentral dan PUAB sehingga likuiditas bukan merupakan faktor dominan
dalam suku bunga kredit. Namun setelah krisis, likuiditas menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi suku bunga kredit, khususnya bagi bank-
bank swasta nasional. Sementara bagi bank asing dan bank campuran,
likuiditas tetap bukan merupakan faktor dominan dalam penentuan suku

37
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

bunga kredit karena kemampuannya dalam mengakses dana dari luar


negeri.
Bukti empiris tersebut juga didukung dari hasil survei yang dilakukan
kepada bank-bank, rumah tangga, dan perusahaan. Secara khusus, survei
menunjukkan bahwa pada periode setelah krisis perubahan suku bunga
SBI ditransmisikan ke berbagai suku bunga ritel perbankan dan ke sektor
riil. Bank-bank bereaksi terhadap perubahan suku bunga SBI dengan
perubahan pada suku bunga deposito dan kreditnya, meskipun dengan
suatu tenggat waktu tertentu. Reaksi bank terhadap perubahan suku bunga
relatif lebih cepat dalam hal terjadi kenaikan suku bunga SBI.
Dari hasil studi tersebut terlihat bahwa saluran suku bunga semakin
berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, terutama
pengaruhnya terhadap sektor riil melalui perkembangan konsumsi dan
investasi. Meskipun demikian, transmisi suku bunga di sektor keuangan
masih belum secepat yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan belum
berfungsinya secara normal intermediasi perbankan. Dalam kondisi
demikian, respons bank-bank terhadap perubahan suku bunga bank sentral
terjadi dengan tenggat waktu dan cenderung asimetris khususnya relatif
lebih cepat reaksinya dalam hal terjadi kenaikan suku bunga. Dengan
semakin pulihnya perbankan dan sektor keuangan, transmisi melalui
saluran suku bunga diyakini akan semakin kuat.

Saluran Nilai Tukar


Siswanto dkk (2002) melakukan studi mengenai bekerjanya transmisi
moneter melalui saluran nilai tukar dengan membaginya ke dalam dua
blok. Blok pertama diarahkan untuk mengukur apakah kebijakan moneter
berperan dominan dalam menentukan pergerakan nilai tukar dibandingkan
dengan faktor risiko. Sementara blok kedua ditujukan untuk mendeteksi
pengaruh nilai tukar ke inflasi baik secara langsung melalui perubahan
harga barang-barang yang diimpor (direct pass-though effect) maupun
secara tidak langsung melalui permintaan agregat dan output (indirect
pass-through effect). Studi dilakukan dengan analisis VAR yang kemudian
dikonfirmasi dengan hasil survei kepada bank-bank, perusahaan, dan
rumah tangga. Data bulanan digunakan dari periode 1990:1 sampai dengan

38
Transmisi Moneter di Indonesia

2001:4 dengan pemisahaan periode sebelum dan sesudah krisis untuk


menggambarkan perubahan sistem nilai tukar di Indonesia pada Juli 1997,
yaitu dari sistem mengambang terkendali (managed floating system) ke
sistem mengambang bebas (free floating system).
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa sebelum terjadinya krisis
tahun 1997 transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar bekerja
sangat lemah. Hal ini terutama disebabkan langkah-langkah Bank
Indonesia untuk menjaga nilai tukar dalam kisaran yang ditetapkan sesuai
sistem mengambang terkendali. Dalam kondisi demikian, perubahan suku
bunga SBI tidak berdampak signifkan terhadap nilai tukar, dan nilai tukar
itu sendiri bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap
inflasi. Perlu dicatat pula bahwa kenaikan perbedaan suku bunga dalam
dan luar negeri sebagai akibat suatu pengetatan moneter cukup efektif
dalam menarik arus dana masuk dari luar negeri (capital inflows).
Setelah krisis, dengan sistem mengambang bebas transmisi kebijakan
moneter melalui saluran nilai tukar menjadi lebih kuat. Hal ini terutama
terlihat dari peran nilai tukar yang semakin meningkat dalam ekonomi.
Pengaruh nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung (melalui
perubahan harga barang-barang yang diimpor) maupun secara tidak
langsung (melalui permintaan agregat) sangat kuat, dengan pengaruh
langsung lebih besar daripada pengaruh tidak langsung. Lebih dari itu,
pengaruh langsung nilai tukar terhadap inflasi terjadi hampir secara instan
sejak bulan pertama terjadinya perubahan nilai tukar, sementara pengaruh
tidak langsung mulai terjadi dengan tenggat waktu dua bulan.
Namun demikian, besarnya premi risiko yang terjadi selama periode
studi ini karena tingginya country risk dan permasalahan perbankan pada
waktu itu telah menyebabkan belum bekerjanya mekanisme pasar dalam
penentuan nilai tukar sesuai dengan sistem mengambang. Dalam kondisi
demikian, kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga SBI saja tidak
cukup untuk mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Kenaikan suku bunga
tersebut tidak mampu menarik masuknya dana dari luar negeri karena
masih tingginya country risk. Lebih dari itu, tingginya premi risiko lebih
banyak disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi sehingga semakin
menyebabkan kurang efektifnya kebijakan moneter dalam mempengaruhi
nilai tukar.

39
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Hasil studi di atas juga dikonfirmasi oleh bukti empiris dari survei
kepada bank-bank, perusahaan, dan rumah tangga. Survei kepada bank-
bank menunjukan bahwa faktor nonekonomi, terbatasnya pasokan
dibanding dengan permintaan valuta asing, dan perkembangan nilai tukar
regional merupakan tiga pengaruh utama pergerakan nilai tukar rupiah.
Kebanyakan bank memandang bahwa intervensi valuta asing yang
dilakukan Bank Indonesia sebagai instrumen kebijakan moneter yang
paling ampuh mempengaruhi nilai tukar rupiah. Hanya beberapa bank
yang berpendapat bahwa suku bunga SBI dapat mempengaruhi nilai tukar.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa dalam kondisi ketika premi risiko
karena faktor nonekonomi masih tinggi, instrumen moneter melalui suku
bunga saja kurang efektif dalam mengendalikan nilai tukar rupiah.
Instrumen moneter ini perlu dibarengi dengan langkah intervensi valuta
asing maupun penerapan prinsip kehati-hatian (regulasi) untuk stabilisasi
nilai tukar rupiah.
Perlu dicatat bahwa dengan menguat dan stabilnya nilai tukar rupiah
sejak akhir tahun 2001 (periode setelah studi di atas), maka pengaruh
nilai tukar terhadap inflasi juga semakin menurun. Hal ini terlihat dengan
cukup rendahnya inflasi khususnya pada tahun 2003 yang lalu. Di samping
karena mulai stabilnya kondisi sosial politik di dalam negeri dan beberapa
perbaikan dalam proses pemulihan ekonomi nasional, menguatnya nilai
tukar rupiah tersebut juga didukung oleh kebijakan moneter yang ditempuh
Bank Indonesia baik melalui intervensi di pasar valuta asing maupun
operasi pengendalian moneter. Analisis tersebut menunjukkan semakin
pentingnya saluran nilai tukar untuk dipantau dan diperhatikan dalam
transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Saluran Harga Aset


Studi mengenai bekerjanya transmisi moneter melalui saluran harga aset
dilakukan oleh Idris dkk (2002). Studi ini diarahkan untuk menyelidiki
apakah saluran harga aset bekerja di indonesia, kandungan informasi apa
yang dimilikinya, dan peranan harga aset dalam perumusan kebijakan
moneter. Harga properti atau harga tanah sebetulnya merupakan indikator
yang lebih baik untuk mengkaji saluran harga aset tersebut. Namun

40
Transmisi Moneter di Indonesia

demikian, ketidaktersediaan data harga properti dan harga tanah


menyebabkan Idris dkk (2002) menggunakan harga saham dalam studinya.
Secara keseluruhan, studi ini menyimpulkan kurang kuatnya bukti
yang menunjukkan pentingnya harga saham dalam mentransmisikan
kebijakan moneter di Indonesia ke sektor riil. Meskipun kebijakan moneter
dapat mempengaruhi perkembangan harga saham dan besarnya portfolio
aset finansial, pengaruh selanjutnya terhadap inflasi tidak terlalu besar.
Dengan kata lain, perubahan harga belum mampu menunjukkan pengaruh
kekayaan (wealth effect) dalam ekonomi. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh masih relatif kecilnya porsi saham dalam portfolio investasi
dibandingkan dengan alternatif penanaman lainnya khususnya dalam
bentuk simpanan di bank maupun dalam aset properti dan tanah. Hasil
survei yang juga dilakukan dalam studi itu menunjukkan bahwa porsi
saham hanya sekitar 5% dari portfolio investasi. Oleh karena itu, studi
lebih lanjut mengenai transmisi moneter melalui saluran harga aset ini
masih diperlukan.

Saluran Ekspektasi
Dengan mempertimbangkan krisis ekonomi telah mengubah perilaku
ekspektasi inflasi di Indonesia, Wuryandani dkk (2002) memfokuskan
studi untuk menganalisis bekerjanya transmisi moneter melalui saluran
ekspektasi inflasi untuk periode setelah krisis. Dengan menggunakan data
ekspektasi inflasi dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang
dilakukan Bank Indonesia untuk periode dari Juli 1997 sampai dengan
Desember 2000, studi tersebut menyimpulkan bahwa ekspektasi inflasi
lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar, inflasi pada periode
yang lalu (inertia), dan perkembangan suku bunga.10 Bukti empiris ini
juga didukung oleh hasil survei pada bank-bank, perusahaan, dan rumah
tangga.

10
Pengujian juga dilakukan dengan menggunakan indikator lain untuk mengukur ekspektasi
inflasi, misalnya dari hasil Survei Ekspektasi Konsumen (SEK) ataupun dengan Teori Fisher.
Hasilnya menunjukkan indikator ekspektasi inflasi dari SKDU yang memberikan perilaku
yang konsisten.

41
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Masih berperannya inflasi periode lalu pada pembentukan ekspektasi


inflasi masyarakat tersebut menunjukkan pentingnya peningkatan
efektivitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi. Studi tersebut
mengindikasikan bahwa masyarakat mempertimbangkan langkah-langkah
kebijakan moneter Bank Indonesia dan membentuk ekspektasi inflasi dari
realisasi inflasi yang terjadi. Dengan demikian, apabila efektifitas
kebijakan moneter tersebut mampu ditingkatkan dan berhasil menekan
inflasi ke tingkat yang rendah, maka ekspektasi inflasi juga akan menurun
dan dengan demikian akan semakin mendukung efektivitas kebijakan
moneter dalam pengendalian inflasi tersebut.
Di sisi lain, pengaruh nilai tukar terhadap pembentukan ekpektasi
inflasi cenderung bersifat asimetris. Bagi perusahaan, terdapat rigiditas
harga ke bawah dalam pola pembentukan harga oleh perusahaan, dalam
arti perusahaan cenderung enggan menurunkan harga dalam hal terjadi
apresiasi nilai tukar rupiah. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar melebihi
suatu tingkat tertentu akan diikuti dengan kenaikan harga oleh perusahaan.
Dari sisi rumah tangga, perilaku asimetris juga terjadi pada pembentukan
ekspektasi inflasinya, dalam arti depresiasi akan diikuti dengan kenaikan
ekpektasi inflasi sementara apresiasi tidak selalu diikuti dengan penurunan
ekpektasi inflasi. Bukti empiris ini semakin menekankan pentingnya bagi
Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, baik karena
pengaruhnya terhadap pembentukan ekpektasi inflasi maupun
pertimbangan pengaruhnya baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap inflasi seperti dalam saluran nilai tukar di atas.

Perspektif ke Depan
Beberapa studi yang telah diuraikan di atas menunjukkan terjadinya
perubahan mendasar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di
Indonesia sejak terjadinya krisis tahun 1997. Seperti telah dijelaskan,
pergerakan nilai tukar menjadi lebih penting dalam mempengaruhi
ekonomi riil dan harga, sementara efektivitas kebijakan moneter dalam
mempengaruhi nilai tukar diperlemah dengan masih besarnya premi risiko
yang berasal dari faktor nonekonomi. Peranan ekspektasi juga semakin
penting dalam mempengaruhi inflasi, ketika perilaku ekspektasi inflasi

42
Perspektif ke Depan

banyak ditentukan oleh perkembangan inflasi yang terjadi (inertia) dan


pergerakan nilai tukar. Sementara itu, saluran suku bunga masih bekerja
cukup baik dalam mentransmisikan kebijakan moneter, meskipun
kekuatannya banyak dipengaruhi oleh belum normalnya fungsi
intermediasi perbankan. Dalam kondisi demikian, pengaruh kebijakan
moneter terhadap kredit perbankan terjadi dengan tenggat waktu
disebabkan kemampuan bank dalam memenuhi komitmen kreditnya dari
pencairan surat-surat berharga yang dimilikinya. Sensitivitas kredit
perbankan terhadap perubahan kebijakan moneter tampak lebih besar pada
bank-bank swasta nasional, bank dengan modal yang rendah, dan kredit
individual.
Perubahan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter tersebut
tidak terlepas dari kondisi ekonomi dan sistem keuangan Indonesia yang
mengalami perubahan struktural sejak terjadinya krisis tahun 1997, di
samping karena diterapkannya sistem nilai tukar mengambang. Ke depan,
transmisi kebijakan moneter akan terus mengalami perubahan sejalan
dengan perkembangan di sektor keuangan dan ekonomi riil. Dalam kaitan
ini, dapat dikemukakan beberapa kemungkinan mengenai kecenderungan
mekanisme transmisi moneter di Indonesia ke depan. Pertama, dengan
semakin normal dan berkembangnya sektor keuangan, diperkirakan
transmisi suku bunga akan semakin penting dibandingkan saluran uang.
Kedua, transmisi kredit menjadi penting untuk selalu dipantau dan
dianalisis karena permasalahan disintermediasi perbankan dan problema
asymetric information dalam pasar kredit. Ketiga, dengan semakin
stabilnya nilai tukar, transmisi nilai tukar juga akan menjadi semakin stabil.
Keempat, saluran ekspektasi inflasi akan semakin membaik dengan
semakin kredibelnya kebijakan moneter bank sentral. Beberapa
kecenderungan ini memerlukan bukti empiris untuk studi-studi lanjutan
mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Oleh
karena itu, transmisi kebijakan moneter akan semakin penting dan menarik
untuk terus dikaji, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk
kepentingan kebijakan moneter.

43
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Daftar Pustaka

Agung, Juda (1998). “Financial deregulation and bank lending


channel of monetary policy in developing countries: The case of
Indonesia”, Asian Economic Journal, Vol. 12, No.3, 273-294.
Agung, Juda (2000). “Financial constraints, firm’s investment and
channel of monetary policy for Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 3, No. 1, pp. 146-178.
Agung, Juda, Bambang Kusmiarso, Bambang Pramono, Erwin G.
Hutapea, Andry Prasmuko, and Nugroho Joko Prastowo (2001), Credit
Crunch in Indonesia in the Aftermath of the Crisis, Bank Indonesia:
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta.
Agung, Juda, Rita Morena, Bambang Pramono, and Nugroho Joko
Prastowo (2002a) “Bank Lending Channel of Monetary Transmission in
Indonesia”, dalam Perry Warjiyo dan Juda Agung (editor). Transmission
Mechanism of Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta,
Juli 2002.
Agung, Juda, Rita Morena, Bambang Pramono, and Nugroho Joko
Prastowo (2002b) “Monetary Policy and Firm Investment: Evidence for
Balance Sheet Channel in Indonesia”, dalam Perry Warjiyo dan Juda
Agung (editor). Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia.
Bank Indonesia: Jakarta, Juli 2002.
Alamsyah, Halim, Charles Joseph, Juda Agung, and Doddy Zulverdy
(2000). “Framework for Implementing Inflation Targeting in Indonesia”
in Charles Joseph and Anton Gunawan (eds.) Monetary Policy and
Inflation Targeting in Emergin Economies. Bank Indonesia, Jakarta.
Anglingkusumo, Reza (2002). “Monetary Policy in Post Crises
Indonesia: Some Lessons Learned” Bulletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan. Vol. 4.
Ascarya (2002). Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Buku
Seri Kebanksentralan No. 3, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK), Bank Indonesia.

44
Daftar Pustaka

Astiyah, Siti (2002). “Demand for Money in Indonesia and Its


Monetary Implications” Bank Indonesia: Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter (tidak dipublikasikan).
Bank for International Settlements (1995). Financial Structure and
the Monetary Transmission Mechanism, BIS Basle.
Bernanke, B. and Blinder, A.S. (1992) “The federal funds rate and
the channel of monetary transmission”, The American Economic Review
September 1992, pp. 901-21.
Blinder, A. (1998). Central Banking in Theory and Practice.
Cambridge, Mass: MIT Press.
Boediono (1998). “Merenungkan kembali mekanisme transmisi
moneter di Indonesi”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1,
No. 1.
Boediono (2000). “Comments on Inflation Targeting in Indonesia”
dalam Charles Joseph and Anton Gunawan (eds.) Monetary Policy and
Inflation Targeting in Emergin Economies. Bank Indonesia, Jakarta.
Bofinger, P. (2001). Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategies,
and Instruments. Oxford University Press.
De Bondt, G.J. (2000). Financial Structure and Monetary
Transmission in Europe. Edward Elgar Publ.
Fisher, Irving (1911). The Purchasing Power of Money, 2nd edition,
1926, repreinted by Augustus Kelley, New York, 1963
Friedman, M and A.J. Schwartz (1963). A Monetary History of the
United States: 1867-1960. Princeton University Press.
Goeltom, M.S. (1995). Indonesia’s Financial Liberalization: An
Empirical Analysis of 1981-1988 Panel Data. Institute of Southeast Asian
Studies. Singapore.
Harris, J.R., Schiantarelli, F., and Siregar, M.G. (1994). “The effect
of financial liberalisation on the capital structure and investment decisions
of Indonesian manufacturing establishments”, The World Bank Economic
Review, 8, pp.17-47.
Idris, Rendra Z., Tri Yanuarti, Clarita L. Iskandar, and Darsono (2001),

45
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

“Asset Price Channel of Monetary Policy Transmission Mechanism in


Indonesia”. dalam Perry Warjiyo dan Juda Agung (editor). Transmission
Mechanism of Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta,
Juli 2002.
Kakes, Janes (2000). Monetary Transmission in Europe: The Role of
Financial Markets and Credit. Edward Elgar: Cheltenham.
Kusmiarso, Bambang, Elizabeth Sukowati, Andry Prasmuko, Sudiro
Pambudi, Dadal Angkoro, Iss Savitri Hafid (2002). “Interest Rate Channel
of Monetary Transmission in Indonesia” dalam Perry Warjiyo dan Juda
Agung (editor). Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia.
Bank Indonesia: Jakarta, Juli 2002.
Mishkin, F. (1995). The Economics of Money, Banking, and Financial
Markets. 4th edition, New York: Harper Collins.
Sarwono, Hartadi.A. and Perry Warjiyo (1998). “Mencari paradigma
baru manajemen moneter dalam Sistem nilai tukar fleksibel: Suatu
pemikiran untuk penerapannya di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, pp. 5-23.
Siswanto, Benny, Yati Kurniati, Gunawan, and Sari H. Binhadi (2002).
“ Exchange Rate Channel of Monetary Transmission in Indonesia” dalam
Perry Warjiyo dan Juda Agung (editor). Transmission Mechanism of
Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta, Juli 2002.
Sitorus, Tarmiden (2000). “Towards the Implementation of Inflation
Targeting in Indonesia: A Review of Operational Issues” dalam Charles
Joseph and Anton Gunawan (eds.) Monetary Policy and Inflation
Targeting in Emergin Economies. Bank Indonesia, Jakarta.
Solikin dan Suseno (2002). Uang: Pengertian, Penciptaan, dan
Peranannya dalam Perekonomian. Buku Seri Kebanksentralan No. 1,
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia.
———— dan Suseno (2002). Penyusunan Statistik Uang Beredar,
Buku Seri Kebanksentralan No. 2, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia.
Svensson, Lars (1997), “Open Economy Inflation Targeting”, Working
Paper, Stockholm University.

46
Daftar Pustaka

Taylor, J.B. (1995). “The Monetary Transmission Mechanism: An


Empirical Framework”. Journal of Economic Perspectives, 9.
Warjiyo, Perry (2002). “Towards Inflation Targeting: The Case of
Indonesia” dalam Inflation Targeting: Theories, Empirical Models and
Implementation in Pacific Basin Countries. Bank of Korea: Seoul, January
2002.
Warjiyo, Perry and Doddy Zulverdi (1998). “Penggunaan Suku Bunga
Sedbagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin
Ekonomi Monter dan Perbankan, Vol. 1, No.1.
Warjiyo, Perry dan Juda Agung (2002). Transmission Mechanism of
Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta, Juli 2002.
Warjiyo, Perry dan Solikin (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia.
Buku Seri Kebanksentralan No. 6, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK, Bank Indonesia.
Wuryandani, Gantiah, Abdul M. Ikram, and Tri Handayani (2001).
“Monetary Policy Transmission through Inflation Expectation Channel”
dalam Perry Warjiyo dan Juda Agung (editor). Transmission Mechanism
of Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta, Juli 2002.

47
Seri Kebanksentralan No. 23

INFLASI DI INDONESIA :
KARAKTERISTIK DAN
PENGENDALIANNYA

Tim Penulis1
G.A. Diah Utari
Retni Cristina S.
Sudiro Pambudi

BANK INDONESIA INSTITUTE


2015

1 Penulis adalah Peneliti di Bank Indonesia Insitute. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Sugeng, Kepala
BI Institute, Sdri Diana Permatasari dari Divisi Inflasi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter dan Sdr.
Handri Adiwilaga dari Divisi Asesmen Ekonomi Regional Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter atas
masukan dan kontribusi bahan dalam penyusunan buku ini. Tulisan dalam buku ini menjadi tanggung jawab
penulis sepenuhnya.

i
UTARI, G.A. Diah ; CRISTINA, Retni ;
PAMBUDI, Sudiro
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan
Pengendaliannya / G.A. Diah Utari,
Retni Cristina S, Sudiro Pambudi. -- Jakarta
: BI Institute, 2016

i-viii, 64 hlm.; 15,2 cm x 22,8 cm. -- (Seri


Kebanksentralan ; 23)

Bibliografi: hlm. 62
ISSN 2528-1933

ii
Sambutan

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,


Bank Indonesia Institute, kembali menerbitkan buku seri kebanksentralan.
Penerbitan buku ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No.23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang
No.3 tahun 2004 dan No. 6 tahun 2009, yaitu dalam rangka meningkatkan
transparansi kepada masyarakat luas. Selain itu penerbitan Buku Seri
Kebanksentralan ini diharapkan dapat membantu mensosialisasikan BI
kepada masyarakat luas, sehingga publik akan lebih memahami tugas Bank
Indonesia
Buku Seri Kebanksentralan “Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan
Upaya Pengendaliannya” merupakan kelanjutan dari BSK mengenai Inflasi
yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Tahun
2009. Melengkapi edisi sebelumya, buku ini mengulas mengenai karakterstik
dan determinan inflasi di Indonesia serta upaya pengendaliannya baik dengan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia maupun melalui koordinasi kebijakan
dengan Kementeria terkait dan Pemerintah Daerah. Koordinasi menjadi kata
kunci dalam pengendalian inflasi di Indonesia mengingat sumber tekanan
inflasi tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank
Indonesia tetapi juga dari sisi penawaran di sektor riil.
Bank Indonesia, berupaya menuangkan bahasan materi buku seri
kebanksentralan dengan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti oleh
seluruh masyarakat. Kami berharap penerbitan buku Seri Kebanksentralan ini
dapat memperkaya khazanah ilmu kebanksentralan. Kami menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan dalam penulisan buku ini. Kami mengharapkan
saran dari berbagai pihak guna perbaikan selanjutnya. Semoga buku ini
bermanfaat dan selamat membaca.

Jakarta, Juni 2016


Bank Indonesia Institute

Dr. Sugeng
Direktur Eksekutif

iii
Pengantar

Inflasi merupakan fenomena moneter yang selalu menjadi perhatian utama


bank sentral atau otoritas moneter. Pasalnya, inflasi yang tidak terkendali
akan menggerus daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa sehingga
kesejahteraan masyarakat menurun. Oleh karena itu, pengendalian inflasi
merupakan tugas penting yang diemban bank sentral atau otoritas moneter
dalam mendukung tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara umum, setiap negara menginginkan terciptanya laju inflasi
yang rendah dan stabil. Bank sentral dapat mengendalikan inflasi dari
sisi permintaan agregat, yaitu dengan kebijakan moneter yang bertujuan
mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar. Namun, kebijakan yang
dapat memengaruhi sisi permintaan agregat tidak hanya berasal dari kebijakan
moneter, tetapi juga dari kebijakan fiskal (pemerintah), seperti kebijakan
perpajakan dan kebijakan terkait pengeluaran belanja pemerintah. Oleh karena
itu, koordinasi yang erat antara otoritas moneter dan otoritas fiskal harus terus
dilakukan agar permintaan agregat dapat dikelola dengan baik. Selain itu,
inflasi juga dapat bersumber dari sisi penawaran agregat. Kelangkaan barang
dan jasa di tengah tingginya permintaan masyarakat dapat mendorong laju
inflasi yang berlebihan. Ketersediaan barang dan jasa dalam jumlah yang
memadai di tempat yang membutuhkan juga merupakan tantangan dalam
pengendalian inflasi.
Buku ini memberikan ulasan singkat tentang teori dan praktek terkait inflasi
dan pengendaliannya. Buku ini mencakup konsep dan teori inflasi yang akan
memberikan pemahaman bagi pembaca tentang dasar-dasar pengetahuan yang
melandasi pentingnya pengendalian inflasi. Untuk menunjang pemahaman
tersebut, buku ini juga mengulas tentang inflasi yang terjadi di Indonesia dan
upaya pengendaliannya. Koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah

iv
dalam pengendalian inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI), baik di
tingkat pusat maupun daerah (TPID), juga diulas di dalam buku ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat, dan selamat membaca.

Jakarta, Desember 2015

Penulis

v
Daftar Isi

PENGANTAR........................................................................................... iv
1. PENDAHULUAN............................................................................... 1
2. KONSEP DAN TEORI INFLASI..................................................... 4
2.1. Pengertian Inflasi............................................................................... 4
2.2. Pengukuran Inflasi............................................................................. 5
2.3. Teori Inflasi........................................................................................ 8
2.4. Komponen Inflasi............................................................................... 15
2.5. Dampak Inflasi................................................................................... 20

3. INFLASI DI INDONESIA................................................................. 24
3.1. Pengukuran Inflasi di Indonesia......................................................... 24
3.2. Dinamika & Karakteristik Inflasi di Indonesia................................. 28
3.3. Inflasi Daerah..................................................................................... 35
3.4. Determinan Inflasi Indonesia............................................................. 37

4. PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA............................... 44


4.1. Kebijakan Moneter untuk Pengendalian Inflasi................................. 44
4.2. Metode Penetapan Sasaran Inflasi di Indonesia................................. 46
4.3. Tantangan Pengendalian Inflasi......................................................... 49
4.4. Mekanisme Kerja Pengendalian Inflasi............................................. 52
4.5. Hasil Koordinasi Pengendalian Inflasi............................................... 57

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 62

vi
Daftar Tabel

Tabel 3.1 Keranjang IHK............................................................................ 25


Tabel 3.2 Struktur Pengelompokan IHK..................................................... 26

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Interaksi Kurva Permintaan dan Penawaran Uang................. 9


Gambar 2.2 Dampak Kebijakan Moneter Bank Sentral............................. 10
Gambar 2.3 Disagregasi Inflasi................................................................... 15
Gambar 3.1 Bobot Inflasi di Indonesia Per Kawasan................................. 28
Gambar 4.1 Alur Penetapan Sasaran Inflasi................................................ 48
Gambar 4.2 Koordinasi Pengendalian Inflasi............................................. 53
Gambar 4.3 Perkembangan Jumlah TPID.................................................. 54
Gambar 4.4 Mekanisme Koordinasi (Skema TPI-Pokjanas TPID)............ 57

Daftar Grafik

Grafik 3.1 Dinamika Inflasi IHK Indonesia................................................ 29


Grafik 3.2 Perkembangan Inflasi IHK 2008-2015...................................... 32
Grafik 3.3. Pergerakan Inflasi Inti Periode 2002-2015............................... 33
Grafik 3.4 Pergerakan Inflasi Volatile Food Periode 2002-2015................ 34
Grafik 3.5 Pergerakan Inflasi Administered Price Periode 2002-2015....... 35
Grafik 3.6 Dinamika Inflasi Daerah Indonesia Per Kawasan Periode
2008-2015................................................................................................... 36
Grafik 3.7 Rerata Inflasi Negara ASEAN-5 Sebelum dan Sesudah
Krisis 1997/1998......................................................................................... 38

vii
Halaman ini sengaja dikosongkan

viii
Pendahuluan

1. PENDAHULUAN

Tujuan akhir dari pembangunan ekonomi adalah terciptanya kesejahteraan


masyarakat. Pembangunan ekonomi harus dapat memberikan manfaat bagi
seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, tingkat pertumbuhan yang tinggi
saja tidak cukup tetapi harus dibarengi dengan kemerataan (inclusiveness).
Inclusiveness memiliki berbagai definisi namun terdapat beberapa poin
penting yang terkandung di dalamnya.2 Pertumbuhan ekonomi dikatakan
inklusif ketika pertumbuhan tersebut dapat menjangkau sektor di mana
golongan berpendapatan rendah bekerja dan tinggal (misalnya, pertanian
di daerah terbelakang), menggunakan faktor produksi unskilled labor, dan
dapat menjaga harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat
berpendapatan rendah Dari definisi ini, maka ketersediaan barang dan jasa
serta keterjangkauan harga bagi masyarakat, khususnya yang berpendapatan
rendah, , menjadi sangat penting. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi
yang menyejahterakan masyarakat harus didukung dengan inflasi yang rendah
dan stabil.
Pada tingkat yang rendah dan stabil, inflasi memberikan efek positif
bagi perekonomian. Konsumen akan lebih mudah melakukan perencanaan
konsumsi dan tergerak menabung karena daya beli tidak akan tergerus oleh
inflasi. Inflasi yang rendah umumnya dibarengi suku bunga yang rendah,
sehingga mendorong dunia usaha berinvestasi untuk peningkatan produksi
yang akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang
tinggi menimbulkan ketidakpastian sehingga mengurangi insentif untuk
investasi dan konsumsi serta menggerus daya saing ekspor domestik. Inflasi
yang tinggi juga menjadi masalah sosial karena dampaknya langsung dirasakan
oleh masyarakat berpendapatan rendah. Masyarakat kelas bawah merupakan
golongan yang paling rentan terhadap inflasi karena pergerakan upah mereka
relatif lamban. Karena itu, tak mengherankan jika sering terjadi aksi buruh
menuntut kenaikan upah, karena kenaikan upah tidak bisa mengejar kenaikan
inflasi. Dengan melihat dampak negatif inflasi yang tinggi tersebut, maka
target untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil hampir pasti menjadi
tujuan dari setiap Pemerintah yang berkuasa.

2 Menurut UNDP’s chief economist, Thangavel Palanivel (2015)

1
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai ketika berbagai hambatan
yang berkontribusi atas terciptanya inflasi dapat diminimalkan. Kendala dan
permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah, di antaranya, adalah biaya
distribusi yang tinggi, rendahnya efisiensi produksi, dan akses pembiayaan
yang mahal. Selain itu, faktor struktur pasar yang tidak sempurna, juga turut
memicu kenaikan harga barang.3 Hambatan-hambatan tersebut pada akhirnya
memengaruhi daya saing produk domestik.
Sesuai dengan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 6 Tahun 2009 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya
disebut UU Bank Indonesia), maka tugas pokok Bank Indonesia (BI) adalah
menjaga kestabilan nilai Rupiah. Kestabilan nilai Rupiah dalam pengertian
ini adalah terhadap barang dan jasa yakni inflasi dan kestabilan terhadap nilai
tukar negara lain. Untuk melakukan tugas tersebut, BI melakukan kebijakan
moneter yaitu mengendalikan jumlah uang beredar yang merupakan besaran
moneter.
Dalam kenyataannya, inflasi di Indonesia, sebagaimana pula di negara
berkembang lainnya, tidak hanya merupakan fenomena moneter saja tetapi juga
banyak dipengaruhi oleh permasalahan struktural di sisi supply. Karena itu,
upaya mengendalikan inflasi tidak cukup hanya dilakukan dengan instrumen
moneter saja yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga harus
disertai pembenahan di sektor riil guna mengeliminasi hambatan-hambatan
struktural yang ada dalam perekonomian nasional. Diperlukan sinergi antara
Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah,
untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil. Mengingat pentingnya
pengelolaan inflasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkualitas,
maka pemahaman inflasi di Indonesia oleh para pemangku kebijakan sangat
penting. Dengan pemahaman yang sama diharapkan upaya pengendaliannya
bisa dilakukan dengan lebih efektif.

3 Prastowo dkk(2010) menyatakan terdapat beberapa faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku
pembentukan harga, khususnya produk manufaktur, yaitu faktor struktur pasar yang cenderung terkonsentrasi
dan dugaan terjadinya tacit collusion, serta marjin keuntungan yang relatif besar. Sementara untuk pembentukan
harga komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor siklus tanam/panen dan faktor alam.

2
Pendahuluan

Diktat pengajaran ini disusun sebagai salah satu referensi dalam pengajaran
Kebanksentralan di tingkat dasar dan merupakan pengkinian atas Buku Seri
Kebanksentralan (BSK) mengenai inflasi.4 Diktat ini mengulas mengenai
konsep dasar inflasi, karakteristik inflasi di Indonesia dan perbandingannya
dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, dibahas pula mengenai
berbagai faktor penyebab inflasi, mekanisme penetapan sasaran inflasi, serta
upaya pengendalian inflasi di Indonesia.

4 Buku Seri Kebanksentralan mengenai Inflasi disusun oleh Suseno dan Siti Astiyah. Buku ini dikeluarkan oleh
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Tahun 2009. Buku ini selanjutnya diperbaharui dan diterbitkan
oleh BI Institute sebagai bahan pengajaran Kebanksentralan.

3
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

2. KONSEP DAN TEORI INFLASI

2.1. Pengertian Inflasi


Fluktuasi harga barang dan jasa adalah hal yang umum kita alami dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, tarif hotel dan tarif angkutan udara
meningkat pada saat akhir minggu atau musim liburan. Kenaikan ini terjadi
karena meningkatnya permintaan (demand) akan jasa transportasi dan
penginapan. Pada saat lainnya, kita mengalami harga beras naik karena
kegagalan panen atau sebaliknya turun karena panen yang melimpah. Fluktuasi
harga, khususnya kenaikan harga pada suatu komoditas, yang terjadi karena
perubahan demand dan supply sesaat tersebut tidak selalu menimbulkan
dampak inflasi.
Dalam konsep makroekonomi, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan
harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus. Sebagaimana ditulis
Suseno dan Astiyah (2009), dalam konteks tersebut terdapat dua pengertian
penting yang merupakan kunci dalam memahami inflasi yaitu kenaikan harga
secara umum dan terus-menerus. Hanya kenaikan harga yang terjadi secara
umum yang dapat disebut inflasi. Kenaikan harga pada komoditas tertentu
yang terjadi karena faktor musiman, misalnya menjelang hari-hari besar atau
karena gangguan supply sesaat dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan, tidak
disebut inflasi.
Inflasi adalah indikator makroekonomi yang sangat penting karena
memengaruhi nilai uang sehingga dampaknya langsung dirasakan oleh
masyarakat. Bahkan, Presiden Gerald Ford dari USA pernah menyatakan:
“Inflation is the number one public enemy”, atau “Inflasi adalah musuh
masyarakat yang utama.”
Konsep nilai dari uang (time value of money) menunjukan seberapa
besar nilai uang pada saat ini memiliki nilai yang sama di masa yang akan
datang, dengan asumsi uang tersebut tidak diinvestasikan dalam surat-surat
berharga atau disimpan dalam tabungan dan sejenisnya yang menghasilkan
bunga. Semakin besar inflasi, maka semakin besar pula penurunan nilai uang.
Dengan kata lain, jumlah barang dan jasa yang bisa dibeli dengan sejumlah
rupiah pada saat ini akan semakin sedikit jika terjadi inflasi di tahun depan.

4
Konsep dan Teori Inflasi

2.2. Pengukuran Inflasi


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, inflasi didefinisikan sebagai
kenaikan harga-harga secara umum. Oleh karenanya, pengukuran inflasi
umumnya diukur dalam ruang lingkup yang luas yaitu total kenaikan harga-
harga atau peningkatan biaya hidup di suatu negara. Namun demikian, inflasi
juga dapat diukur dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu untuk suatu
kelompok komoditas, misalnya komoditas makanan dan jasa. Karenanya,
kita sering mendengar istilah seperti inflasi kelompok bahan makanan dan
inflasi kelompok perumahan. Semakin berkembang suatu perekonomian
dan semakin banyak barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, maka
penghitungan inflasi juga menjadi semakin kompleks.
Untuk mengukur perubahan inflasi dari waktu ke waktu, pada umumnya
digunakan suatu angka indeks. Angka indeks disusun dengan memperhitungkan
sejumlah barang dan jasa yang akan digunakan untuk menghitung besarnya
angka inflasi. Kelompok barang dan jasa yang dipilih tersebut diberi bobot
sesuai tingkat signifikansi serta intensitas penggunaannya oleh masyarakat.
Semakin besar tingkat penggunaan suatu barang dan jasa, semakin besar pula
bobotnya dalam penghitungan indeks. Dengan demikian, perubahan harga
barang dan jasa yang memiliki bobot besar akan memiliki dampak yang lebih
besar pula terhadap inflasi. Perubahan angka indeks dari satu waktu ke waktu
yang lain, yang dinyatakan dalam angka persentase, adalah besarnya angka
inflasi dalam periode tersebut.
Angka indeks yang umum dipakai untuk menghitung besarnya inflasi
adalah:
1) Producer Price Index (PPI)/Indeks Harga Produsen (IHP)
Producer Price Index atau Indeks Harga Produsen (IHP) mengukur
perubahan harga yang diterima produsen domestik untuk barang yang
mereka hasilkan. IHP mengukur tingkat harga yang terjadi pada tingkat
produsen.
2) Wholesale Price Index/Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Indeks Harga Perdagangan Besar mengukur perubahan harga untuk
transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dan pembeli/
pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama. Di
beberapa negara termasuk Indonesia, IHPB merupakan indikator yang

5
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

menggambarkan pergerakan harga dari komoditas-komoditas yang


diperdagangkan di suatu daerah.
3) Consumer Price Index (CPI)/Indeks Harga Konsumen (IHK)
Consumer Price Index adalah indeks yang yang paling banyak digunakan
dalam penghitungan inflasi. Indeks ini disusun dari harga barang dan jasa
yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jumlah barang dan jasa yang digunakan
dalam penghitungan angka indeks tersebut berbeda antarnegara dan
antarwaktu, bergantung pada pola konsumsi masyarakat akan barang dan
jasa tersebut. Sebagai contoh, di Indonesia pada awalnya hanya digunakan
sembilan bahan pokok (meliputi pangan, sandang, dan perumahan) yang
dikonsumsi masyarakat. Dalam perkembangannya, jumlah barang dan
jasa tersebut berkembang menjadi semakin banyak dan tidak hanya
meliputi pangan, sandang, dan papan, tetapi juga mencakup, antara lain,
jasa kesehatan dan pendidikan.
Selain 3 indikator umum inflasi yang telah disebutkan di atas, terdapat
juga dua indikator inflasi lainnya yang dapat dijadikan alat ukur perubahan
tingkat harga, yaitu:
1) PDB Deflator (Produk Domestik Bruto Deflator)
PDB deflator mengukur perubahan harga dalam perekonomian secara
keseluruhan. Cakupan perubahan harga yang diukur dalam PDB deflator
lebih luas dibandingkan dengan IHK dan IHPB. Angka deflator tersebut
dihitung dengan membandingkan PDB nominal pada suatu tahun
tertentu dengan PDB pada tahun tertentu yang ditetapkan. Deflator PDB
menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang
produksi lokal, barang jadi dan jasa.
2) Indeks Harga Aset (HA)
Perilaku pergerakan harga aset, baik aset berupa properti dan saham, dapat
dijadikan indikator adanya tekanan terhadap harga secara keseluruhan.
Dalam hal ini, indeks harga aset (IHA) mencerminkan potensi tekanan
permintaan ke depan melalui jalur wealth effect.5
Angka indeks tersebut dihitung secara periodik dan umumnya dilakukan
secara bulanan, kuartalan, dan tahunan. Selanjutnya, berdasarkan angka

5 Jalur wealth effect melihat sejauh mana belanja konsumen berubah mengikuti nilai kekayaan yang dimiliki

6
Konsep dan Teori Inflasi

indeks tersebut dapat dihitung laju inflasi dengan menghitung perubahan


angka indeks dalam periode tertentu. Untuk angka inflasi bulanan (mtm), laju
inflasi dapat dihitung dari perubahan angka indeks bulanan. Demikian pula
untuk menghitung angka inflasi triwulanan, semesteran, maupun tahunan
dari suatu perekonomian. Penghitungan inflasi secara bulanan sering disebut
sebagai month to month (mtm), kuartalan sebagai quarter to quarter (qtq),
dan tahunan sebagai year on year (yoy).
Ilustrasi berikut ini menggambarkan besarnya inflasi yang dihitung dari
perubahan indeks.

Contoh :
1. Penghitungan inflasi tahunan (yoy)
Apabila indeks harga konsumen dengan tahun dasar 2007=100 pada
September 2012 sebesar 134.45 dan angka indeks tersebut dengan tahun
dasar yang sama pada September 2013 menjadi 145,74, maka inflasi
tahunan pada bulan September 2013 adalah 8,40%.2 Perkembangan
kenaikan harga sejumlah barang dan jasa secara umum dalam suatu
periode waktu ke waktu tersebut disebut sebagai laju inflasi (inflation
rate).
2. Penghitungan inflasi triwulanan (qtq)
Apabila angka indeks harga konsumen pada kuartal I (Maret) 2013 adalah
sebesar 138,78 dan pada kuartal II (Juni) 2013 adalah sebesar 140,03,
maka inflasi kuartalan (qtq) pada kuartal II 2013 adalah sebesar 0,90%
3. Penghitungan inflasi bulanan (mtm)
Apabila angka indeks harga konsumen pada Mei 2014 adalah 111,35
kemudian pada bulan Juni 2014 indeks harga konsumen berubah menjadi
112,01, maka inflasi bulanan (mtm) pada bulan Juni 2014 adalah sebesar
0,43%.

7
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

2.3. Teori Inflasi


Teori yang menerangkan inflasi cukup beragam sejalan dengan perbedaan
pandangan dari para ekonom. Secara garis besar, teori mengenai inflasi dibagi
dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu mereka yang menganut paham monetaris
dan paham non monetaris.
1) Teori Monetarist (Classical Theory on Inflation)
Teori klasik menganut paham monetaris. Teori ini menyatakan bahwa
penawaran (supply) uang atau jumlah uang beredar dalam perekonomian
memiliki hubungan langsung dengan perubahan tingkat harga. Peningkatan
jumlah uang beredar akan mendorong tingkat harga bergerak ke atas,
demikian pula sebaliknya. Dengan alasan inilah Teori Klasik disebut juga
dengan Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory Of Money).6
Secara lebih spesifik, teori klasik menjelaskan bahwa tingkat harga
secara umum ditentukan dari interaksi antara penawaran (supply) dan
permintaan (demand) dari uang. Apabila tingkat harga berada di atas
tingkat keseimbangan, maka jumlah uang yang diminta masyarakat
lebih tinggi dibandingkan jumlah uang yang diterbitkan oleh bank
sentral, sehingga pada akhirnya tingkat harga akan turun menuju tingkat
keseimbangan, begitu pula sebaliknya. Sedangkan pada tingkat harga
keseimbangan, maka jumlah kuantitas uang yang ingin dipegang oleh
masyarakat jumlahnya persis sama dengan tingkat kuantitas uang yang
diedarkan oleh bank sentral.
Hal tersebut disajikan pada Gambar 2-1, di mana sumbu horizontal
menggambarkan kuantitas uang, sumbu vertikal kiri menggambarkan
nilai uang (1/P), dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga
(P). Perlu diperhatikan bahwa sumbu vertikal tingkat harga pada sebelah
kanan merupakan kebalikan dari sumbu vertikal nilai uang pada sebelah
kiri. Keadaan terbalik ini merupakan ilustrasi bahwa ketika nilai uang
tinggi (seperti diperlihatkan pada sumbu vertikal kiri atas) maka dapat
diartikan tingkat harga saat itu rendah (seperti diperlihatkan pada sumbu
vertikal kanan atas).

6 Mankiw (2012)

8
Konsep dan Teori Inflasi

Gambar 2‑1.
Interaksi Kurva Permintaan dan Penawaran Uang

����������� ������������
����������������
���
� �
�������� ��������

��� ����


��� �

������������ ������������
���������� �������������
��� �
������������

� ��������
������������������� ��������������
������������
���������������������

Kedua kurva yang digambarkan dalam grafik di atas adalah kurva


penawaran uang (money supply) dan permintaan uang (money demand).
Kurva penawaran uang digambarkan vertikal karena bank sentral
umumnya telah menentukan tingkat kuantitas uang yang tetap. Sedangkan
kurva permintaan uang digambarkan menurun dari kiri atas ke kanan
bawah menuju sisi kanan sumbu horizontal kurva (downward sloping).
Hal ini mengindikasikan bahwa ketika nilai uang rendah (tingkat harga
tinggi), maka setiap orang harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk
memperoleh barang dan jasa dengan jumlah yang sama dengan pembelian
sebelumnya. Pada tingkat keseimbangan, seperti diperlihatkan pada
titik A, kuantitas uang yang diminta sama dengan kuantitas uang yang
beredar. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran uang inilah
yang menentukan nilai uang dan tingkat harga.
Kebijakan bank sentral untuk meningkatkan kuantitas uang dalam
sirkulasi (mencetak lebih banyak uang) akan meningkatkan jumlah
uang beredar. Bertambahnya jumlah uang beredar akan menggeser
kurva penawaran dari Ms0 ke Ms1 sehingga titik keseimbangan akan
bergeser dari A ke B. Akibatnya, dalam grafik tersebut, nilai uang
menurun dari 1/2 ke 1/4 dan tingkat harga meningkat dari 2 ke 4. Hal

9
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

inilah kunci implikasi dari teori klasikal (monetarist theory) yang


menyatakan bahwa pertumbuhan uang beredar menyebabkan inflasi
seperti yang ditampilkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2‑2.
Dampak Kebijakan Moneter Bank Sentral

����������� ��� ��� �������


��� ��������
� �
�������� ��������
�������������������
�����������

��� ����

��������������� �����������
���� � �������������
��� �


��� �

������������

� ��������
�� ��
��������������
���������������������

Dengan demikian, teori klasik mengenai inflasi memungkinkan kita


untuk membahas inflasi tanpa mengaitkan dengan variabel makro lainnya
seperti suku bunga dan tingkat pengangguran,. Secara sederhana, teori
ini menyatakan bahwa tingkat harga atau laju inflasi hanya akan berubah
apabila jumlah uang beredar tidak sesuai dengan jumlah yang diminta
atau diperlukan oleh suatu perekonomian. Apabila jumlah uang yang
beredar lebih besar dibandingkan dengan jumlah uang yang diminta atau
dibutuhkan oleh masyarakat, maka tingkat harga akan meningkat dan
terjadilah inflasi. Sebaliknya, apabila jumlah uang yang beredar lebih
kecil dibandingkan jumlah uang yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka
tingkat harga akan turun dan terjadi deflasi.
Teori kuantitas uang dinyatakan dengan persamaan Fischer yaitu:

10
Konsep dan Teori Inflasi

Persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi:

Di mana DP / P = tingkat inflasi, DMs / Ms = pertumbuhan jumlah uang


beredar, DV / V = persentase perubahan dalam kecepatan perputaran uang
dan DY / Y = laju pertumbuhan output.
Persamaan di atas adalah elemen penting dalam menjelaskan
keseimbangan tingkat harga dan inflasi. Berdasarkan teori ini, diketahui
bahwa perputaran uang (velocity of money) relatif stabil sepanjang waktu
sehingga dapat dikatakan kecepatan perputaran uang (V) adalah konstan
(DV / V = 0). Dikarenakan perputaran uang bersifat stabil, maka ketika
bank sentral mengubah jumlah uang beredar (Ms) akan menyebabkan
perubahan proporsional dalam nilai nominal barang (PY).
Dalam perekonomian, output barang dan jasa (Y) sangat ditentukan
oleh faktor supply atau penawaran (seperti: tenaga kerja, modal fisik,
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan ketersediaan teknologi
produksi). Jika diasumsikan bahwa perekonomian berada pada tingkat
kesempatan kerja penuh (full employment) sehingga laju pertumbuhan
output akan bernilai konstan (DY / Y = 0), maka dari persamaan tersebut
dapat diketahui bahwa sumber inflasi lebih disebabkan oleh pertumbuhan
jumlah uang beredar.

Berdasarkan teori ini, dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah uang


beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil, tetapi akan
mendorong kenaikan tingkat harga secara proporsional. Oleh karena,
menurut teori ini, inflasi adalah semata-mata fenomena moneter, maka
pengendalian inflasi sepenuhnya dilakukan dengan kebijakan moneter.
Ekonom yang menganut teori kuantitas dalam perkembangannya lebih
dikenal dengan ahli ekonomi yang beraliran monetaris. Salah satu tokoh
aliran monetaris adalah ekonom Milton Friedman dengan pernyataannya
yang sangat terkenal, “Inflation is always and everywhere a monetary

11
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

phenomenon.“ Milton Friedman mendapat hadiah Nobel di bidang ekonomi


pada tahun 1976. Salah satu penelitian yang mampu mendukung teori
kuantitas uang secara meyakinkan dilakukan oleh Sargent (1982). Penelitian
ini difokuskan pada beberapa episode periode hiper inflasi yang terjadi di
beberapa negara. Di dalam setiap episode ketika inflasi melebihi 100%,
selalu diikuti dengan tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar yang sangat
tinggi. Hiper inflasi ini dapat dikendalikan ketika bank sentral melakukan
tindakan untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
Pertanyaan selanjutnya terkait dengan teori kuantitas uang adalah bagaimana
menentukan nilai uang. Nilai uang ditentukan oleh interaksi penawaran dan
permintaan dari uang. Dalam perkembangan ekonomi modern, penawaran
uang tidak sepenuhnya ditentukan oleh otoritas moneter, tetapi ditentukan
pula oleh para partisipan di pasar uang dan kredit perbankan. Dalam
perekonomian terbuka, penawaran uang tidak hanya dipengaruhi oleh
perilaku bank umum dan masyarakat tetapi juga perkembangan neraca
pembayaran internasional.
Teori permintaan uang berkembang sejalan dengan perkembangan dari
fungsi uang yang semula hanya sebagai media pertukaran tetapi juga sebagai
penyimpan nilai (investasi). Permintaan uang di masyarakat secara umum
ditentukan oleh sejumlah variabel ekonomi, di antaranya, pertumbuhan
ekonomi, suku bunga, dan tingkat harga. Sesuai teori permintaan uang,
tingkat harga atau laju inflasi hanya akan berubah apabila jumlah uang
beredar tidak sesuai dengan jumlah yang diminta atau diperlukan oleh suatu
perekonomian. Jumlah uang beredar yang melebihi kebutuhan masyarakat
akan mendorong peningkatan harga dan memicu inflasi. Sebaliknya, apabila
jumlah uang beredar lebih kecil dibandingkan jumlah uang yang dibutuhkan
oleh masyarakat, maka tingkat harga akan turun dan terjadi deflasi.
Meskipun teori ini diterima oleh banyak ekonom dan digunakan untuk
mengendalikan inflasi di masyarakat, namun ekonom yang menganut paham
Keynessian memberikan kritikan yang cukup signifikan. Menurut mereka,
teori ini tidak berlaku dalam jangka pendek ketika harga-harga sangat rigid.
Lebih jauh mereka membuktikan bahwa tingkat perputaran uang tidak
konstan.

12
Konsep dan Teori Inflasi

2. Teori Non Monetarist


Pandangan yang berbeda dari konsep monetaris dapat digolongkan di
antaranya adalah Structuralist Theory dan Post Keynessian Theory. Berbeda
dengan teori klasik mengenai inflasi, teori strukturalis meyakini bahwa inflasi
terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Menurut
Boediono (1998), teori ini bisa disebut teori inflasi jangka panjang, karena
inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian yang
hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang. Penyebab
inflasi berasal dari struktur perekonomian yang tidak mampu mengantisipasi
dengan cepat perkembangan perekonomian. Teori ini menunjukkan bahwa
inflasi bukan semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan
fenomena struktural.
Teori struktural mencoba menganalisis bagaimana fenomena inflasi terjadi,
mencari akar permasalahannya serta menganalisis hubungan di antaranya.
Kebanyakan analisis teori strukturalis mencerminkan kasus inflasi di negara
berkembang. Adanya goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam
negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang
terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya); atau hal-hal yang memiliki
kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of
trade7, kekakuan produksi, utang luar negeri, dan nilai tukar valuta asing,
dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Karena sebab-sebab
struktural ini, pertambahan produksi barang lebih lambat dibandingkan dengan
peningkatan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, penawaran (supply) barang
kurang dari yang dibutuhkan masyarakat, sehingga harga barang dan jasa
meningkat. Penganut teori strukturalis dalam menyelesaikan permasalahan
inflasi seringkali menggunakan pendekatan moneter dan fiskal.
Menurut Teori Keynes, kuantitas uang bukanlah satu-satunya faktor penentu
tingkat harga karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun
tingkat kuantitas uang tetap konstan. Keynesians menyatakan bahwa inflasi
terjadi ketika permintaan total (agregat demand) dari barang dan jasa melebihi
total penawaran (agregat supply) saat keadaan full employment atau melebihi
output potensialnya. Ada banyak faktor lain yang menurut Keynesian dapat
memengaruhi tingkat harga, seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga,

7 Term of trade menggambarkan nilai ekspor suatu negara relatif terhadap nilai impor. TOT dihitung dari nilai
ekspor dibagi dengan nilai impor. Semakin besar perbandingan menunjukkan perokonomian yang lebih sehat
karena negara mendapatkan lebih banyak pendapatan ekspor dibandingkan pengeluaran untuk impor.

13
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

pengeluaran untuk investasi, pengeluaran pemerintah dan pajak. Proses inflasi,


menurut Keynes, adalah proses perebutan pendapatan di antara kelompok-
kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada
yang dapat disediakan oleh masyarakat. Inflasi terjadi karena masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya sehingga menyebabkan
permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat)
melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya
akan menyebabkan celah inflasi (inflationary gap). Proses inflasi akan
terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan. Inflasi akan berhenti
apabila permintaan efektif total pada harga yang berlaku tidak melebihi jumlah
output yang tersedia. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran
agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak serta
merta dapat ditingkatkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.
Oleh karenanya, sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian model
lebih banyak digunakan untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka
pendek. Model ini mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada
pada tingkat full employment yang berarti bahwa tingkat pasokan produk
(penawaran agregat) tidak dapat ditingkatkan lagi.
Menurut Keynes, inflasi permintaan yang benar-benar penting adalah
yang ditimbulkan oleh peningkatan pengeluaran konsumsi, peningkatan
investasi swasta (karena suku bunga kredit murah)serta peningkatan
pengeluaran pemerintah (yang dibiayai dengan pencetakan uang baru)
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka secara umum perbedaan
pendekatan Keynes dibandingkan pendekatan kaum monetarist dapat
dijabarkan sebagai berikut:
(i) Dalam pendekatan monetaris, output aktual (penawaran agregat) selalu
sama dengan output potential (Ya = Yf); sedangkan dalam pendekatan
Keynesian output potensial hanya berfungsi sebagai perkiraan output
maksimum dalam jangka pendek sehingga tidak selalu sama dengan
output aktual.
(ii) Dalam pendekatan monetaris, kelebihan peningkatan kuantitas uang
adalah satu-satunya penyebab terjadinya kenaikan harga atau inflasi;
sedangkan dalam pendekatan Keynesian, kelebihan peningkatan
dalam total expenditure, seperti pengeluaran investasi dan pengeluaran

14
Konsep dan Teori Inflasi

pemerintah, adalah sumber penyebab kelebihan permintaan total sehingga


pada akhirnya menyebabkan inflasi.

2.4. Komponen Inflasi


Umumnya, inflasi dibagi berdasarkan karakteristik atau sifat perubahan harga
dari kelompok barang dan jasa. Beberapa karakteristik atau sifat tersebut
diantaranya apakah barang dan jasa tersebut cenderung sensitif terhadap
kondisi tertentu, apakah perubahan inflasinya cenderung lebih disebabkan
peraturan regulator, dan sebagainya. Jika kita mendengar kalimat “inflasi
tahunan mencapai xx%,” biasanya inflasi dimaksud mengacu pada laju
inflasi umum atau headline inflation (inflasi IHK), atau secara sederhana bisa
dikatakan sebagai inflasi keseluruhan yang merupakan tingkat kenaikan harga
secara umum dalam periode tertentu.
Pada dasarnya, inflasi dapat dirinci menjadi dua komponen yaitu inflasi
inti (core inflation) dan inflasi non inti seperti disajikan pada Gambar 2-3.

Gambar 2.3.
Disagregasi Inflasi

�������
����

�����������
���������
����������

�������
��������

15
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

1. Inflasi Inti
Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran, lingkungan
eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang),
dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Berdasarkan pengertiannya, ada 2 konsep dalam pengertian inflasi inti.
Pertama, inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung “menetap”
atau persisten (persistent component) di dalam setiap pergerakan laju
inflasi. Kedua, inflasi inti sebagai kecenderungan perubahan harga-harga
secara umum (generalized component).
Quah dan Vahey (1995) mendefinisikan inflasi inti sebagai komponen
inflasi yang tidak memiliki pengaruh terhadap output riil dalam jangka
menengah-panjang. Secara implisit mereka ingin mengatakan bahwa
inflasi inti merupakan fenomena moneter. Oleh karena itu, komponen
inflasi yang persisten ini akan tercermin pada ekspektasi masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, maka supply shock yang memberikan
pengaruh permanen terhadap tingkat harga (misalnya, pengenaan tarif
bea masuk atas produk impor oleh pemerintah), namun tidak memberikan
pengaruh terhadap laju inflasi dalam jangka menengah-panjang, tidak
termasuk di dalam pengertian inflasi inti. Oleh karena itu, inflasi inti
terkait dengan inflasi yang dapat diantisipasi; sedangkan inflasi sesaat
terkait dengan unsur inflasi yang tidak dapat diantisipasi kejadiannya.
Inflasi inti atau core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan
underlying inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau
dikendalikan oleh bank sentral, karena lebih mencerminkan karakteristik
perkembangan harga yang bersifat persisten. Hal ini menyebabkan
penggunaan inflasi inti sebagai sasaran operasional dapat memberikan
sinyal yang tepat dalam memformulasikan kebijakan moneter. Sebagai
contoh, dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock) yang
mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan mengetatkan uang
beredar sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Di samping itu, kebijakan
tersebut dapat juga untuk menyesuaikan kembali pertumbuhan ekonomi
pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas perekonomian.

16
Konsep dan Teori Inflasi

Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena terjadinya gangguan penurunan


di sisi penawaran (supply side), misalnya kenaikan harga makanan karena
musim kering, maka kebijakan uang ketat justru dapat memperburuk
tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan
oleh bank sentral adalah kebijakan melonggarkan likuiditas perekonomian
untuk menstimulir peningkatan penawaran.
2. Inflasi Non Inti (Non Core Inflation)
Inflasi non inti adalah komponen inflasi dengan volatilitas cenderung
tinggi karena dipengaruhi faktor non fundamental yang cenderung
bersifat sementara. Inflasi non inti dapat didefinisikan sebagai inflasi yang
disebabkan gangguan dari penawaran dan di luar kendali otoritas moneter
serta bersifat sesaat. Inflasi non inti sering disebut noises inflation.
Okun (1970) dan Fleming (1976), dalam Tjahjono et.all., (2000),
menyatakan bahwa inflasi non inti merupakan komponen perubahan
harga relatif, terutama akibat gangguan-gangguan dari sisi supply (supply
disturbances). Gangguan/perubahan harga relatif dalam hal ini dipandang
sebagai inflasi sesaat karena secara teoritis gangguan/perubahan harga
relatif tidak dapat mendorong terjadinya kecenderungan kenaikan harga-
harga secara umum yang bersifat persisten, kecuali bila diakomodasi oleh
kebijakan moneter. Hal serupa dinyatakan oleh Roger (1998) bahwa
perubahan harga relatif pada umumnya akan terkait dengan laju inflasi
sesaat (noises), sementara komponen kenaikan harga-harga secara umum
akan lebih bersifat menetap atau persisten.
Komponen inflasi non inti sendiri dapat dibagi kedalam dua kelompok
yaitu:
(i) Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh  shocks  (kejutan) dalam
kelompok bahan makanan, seperti: panen, gangguan alam,
atau perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
internasional.   Sebagai contoh: inflasi beras, cabe, dan beberapa
jenis sayuran sering berfluktuasi tajam karena dipengaruhi kondisi
kecukupan pasokan komoditas tersebut, seperti faktor musim panen,
gangguan distribusi, bencana alam maupun hama.

17
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

(ii) Inflasi Komponen  Harga  yang Diatur Pemerintah (Administered


Prices) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh  shocks  (kejutan) kebijakan
harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif
angkutan, dan lain-lain.
Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung
bergejolak, terutama dipengaruhi oleh sisi supply berkenaan dengan
gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Dengan kondisi
tersebut, inflasi tidak dapat hanya direspon oleh kebijakan moneter semata
yang merupakan tugas bank sentral. Untuk menurunkan inflasi pada tingkat
yang rendah dan stabil perlu dukungan dari Pemerintah yang mempunyai
kewenangan untuk mengatasi gangguan dari sisi supply, termasuk terkait
gejolak harga pangan dan harga yang diatur pemerintah.
Secara teoritis, laju inflasi umum atau headline inflation (inflasi IHK)
yang merupakan tingkat kenaikan harga secara umum dalam periode tertentu
(bulan, kuartal, dan tahun) dapat didekomposisikan menjadi sebagai berikut:

Di mana:
p = headline inflation (seperti yang diukur oleh IHK)
π = inflasi inti (core inflation atau komponen yang persisten)
ε = inflasi sesaat (noise atau komponen yang transient)
c = inflasi yang berasal dari perubahan kebijakan pemerintah.
Komponen inflasi inti (π) merupakan pergerakan harga-harga secara
umum yang cenderung persisten dan terkait dengan ekspektasi masyarakat
serta kondisi demand dan supply. Sementara itu, komponen ε merupakan
perkembangan harga-harga yang bersifat sementara, baik yang disebabkan
oleh gejolak unsur musim, maupun gangguan di sisi pasokan (produksi
dan distribusi). Secara teoritis, pengaruh unsur musim dan gangguan di
sisi pasokan dalam jangka panjang akan cenderung saling meniadakan
sehingga diharapkan nilai ε = nol. Sementara itu, komponen c yang berasal
dari perubahan kebijakan pemerintah (baik di bidang pengendalian harga,
perdagangan, maupun perpajakan) akan mengakibatkan terjadinya kenaikan/

18
Konsep dan Teori Inflasi

penurunan tingkat harga. Dalam praktik pengukuran inflasi inti, komponen


c dan ε sering digabungkan dan dianggap menjadi komponen inflasi sesaat
(inflasi non inti).
Secara umum, terdapat beberapa metode pendekatan pengukuran inflasi
inti, antara lain:
1) Metode Trimming
Metode ini merupakan metode pengukuran inflasi inti dengan melakukan
pemangkasan secara acak (random). Taksiran inflasi inti dihasilkan
dengan memangkas proporsi tertentu perubahan harga komoditas pada
kedua ujung distribusi berdasarkan percentile distribusi. Meskipun
dapat menghasilkan taksiran inflasi inti yang cukup terpercaya, namun
metode ini relatif sulit dijelaskan kepada masyarakat. Hal ini karena jenis
komoditi yang dipangkas secara statistik tidak selalu sama pada setiap
periode, sehingga jenis komoditi yang dikeluarkan pada setiap periodenya
menjadi kurang relevan (tidak dapat dibandingkan antara satu periode dan
periode lainnya).
2) Metode Exclusion
Metode ini mengeluarkan sebagian komponen inflasi yang memberikan
shocks temporer dari keranjang IHK, seperti komoditas yang perkembangan
harganya bergejolak (volatile food) dan komoditas yang perkembangan
harganya diatur oleh pemerintah (administered price). Metode ini banyak
digunakan karena cara penghitungannya sederhana, mudah dipahami,
dapat tersedia secara tepat waktu, dan cakupan komoditasnya tetap
sehingga dapat dibandingkan antara satu periode dan periode lainnya.
Metode ini paling banyak digunakan dalam penghitungan inflasi.
3) Metode kedekatan hubungan dengan besaran moneter (Metode
Struktural)
Metode ini melibatkan beberapa variabel yang mempunyai hubungan
erat dengan inflasi dalam suatu sistem persamaan Structural Vector
Autoregression (SVAR). Asumsi dasarnya adalah pergerakan inflasi umum
(IHK) merupakan hasil dari shocks sesaat terhadap harga yang berasal dari
perkembangan pada sisi penawaran dan shocks persisten terhadap harga
yang terjadi dari perkembangan sisi permintaan, kelembaman harga,
dan pembentukan ekspektasi inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan
moneter.

19
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Pemilihan konsep penghitungan inflasi oleh Bank Sentral, apakah


menggunakan inflasi umum (headline inflation) atau inflasi inti (core
inflation), dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predictability, controlability dan
acceptability. Predictability dimaksudkan bahwa sasaran inflasi yang dipilih
mudah untuk diprediksi dengan pendekatan model ekonomi yang tersedia,
sehingga memudahkan dalam melihat kecenderungan inflasi ke depan.
Controlability dalam arti bahwa inflasi dimaksud dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang dapat dikendalikan oleh bank sentral sehingga kebijakan moneter
yang ditempuh dapat secara efektif memengaruhi perkembangan inflasi ke
depan. Acceptability dimaksudkan bahwa inflasi yang dipilih mudah dipahami
oleh masyarakat luas, sehingga tujuan bank sentral dalam mencapai sasaran
inflasi memberikan manfaat dan menjadi perhatian masyarakat luas.

2.5. Dampak Inflasi


Menjaga stabilitas harga atau tingkat inflasi merupakan tugas utama bank
sentral, termasuk Bank Indonesia. Inflasi yang rendah dan stabil merupakan
indikasi perekonomian nasional yang dikelola dengan baik. Bagi masyarakat
umum, inflasi berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup karena memengaruhi
daya beli; dan bagi dunia usaha, laju inflasi merupakan faktor yang penting
dalam membuat berbagai keputusan. Oleh karenanya, faktor inflasi senantiasa
menjadi perhatian pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Seberapa besar batas nilai inflasi (threshold) yang dapat ditolerir dan tidak
memberikan dampak buruk pada perekonomian bergantung pada karakteristik
dari perekonomian. Beberapa penelitian yang mengulas mengenai threshold
tersebut didasarkan atas hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi
yang tidak linier (Fischer, 1993). Khan dan Senhadji (2000) menyatakan
bahwa threshold inflasi untuk negara maju adalah 1-3% dan untuk negara
berkembang adalah 11-12%. Nilai threshold inflasi untuk negara-negara Asia,
menurut Vinayagathasan (2013), adalah 5,45%.
Secara umum dampak dari inflasi yang tinggi dan tidak stabil adalah:
1) Penurunan daya beli (purchasing power)
Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli karena nilai uang yang
semakin rendah. Dengan nilai uang yang sama, jumlah barang dan jasa

20
Konsep dan Teori Inflasi

yang dapat dibeli akan berkurang jumlahnya. Dampak penurunan nilai


mata uang sebagai akibat inflasi tidak sama terhadap seluruh masyarakat.
Kelompok masyarakat yang berpenghasilan tetap dan berpenghasilan
rendah adalah yang paling dirugikan akibat inflasi. Apabila hal ini dibiarkan
dapat menimbulkan masalah sosial, seperti meningkatnya aksi buruh untuk
kenaikan upah dan meningkatnya kemiskinan.
2) Kondisi ketidakpastian
Inflasi yang tinggi dan tidak stabil menimbulkan ketidakpastian bagi
masyarakat. Masyarakat akan kesulitan untuk menentukan alokasi
dananya. Masyarakat cenderung menyimpan dananya dalam bentuk aset
fisik dibandingkan tabungan di bank. Oleh karenanya, inflasi mengurangi
insentif untuk menabung. Bagi dunia usaha, inflasi yang tinggi akan
mengurangi insentif untuk investasi, karena ketidakpastian akan profit
dan biaya di masa depan. Kondisi ketidakpastian ini dalam jangka panjang
akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
3) Berkurangnya daya saing produk nasional
Inflasi yang tinggi membuat biaya produksi juga tinggi sehingga barang
produksi nasional menjadi tidak kompetitif, baik untuk dikonsumsi dalam
negeri maupun diekspor. Hal ini akan mendorong peningkatan impor yang
akan berpengaruh terhadap performa neraca perdagangan dan neraca
pembayaran.
Bagi para ekonom, dampak inflasi dilihat sebagai biaya (cost) yang timbul
terhadap perekonomian makro. Biaya inflasi dari sudut pandang ekonom
dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu: i) cost of expected inflation
atau biaya karena inflasi yang terduga; dan ii) cost of unexpected inflation
atau biaya karena inflasi yang tidak terduga.
Biaya-biaya di bawah ini tergolong jenis biaya karena inflasi yang
terduga.
a. Shoe-leather cost
Pada saat inflasi tinggi, masyarakat cenderung mengurangi jumlah uang
kas yang dipegang dengan harapan agar dananya mendapatkan bunga yang
optimal dari penempatan di bank. Hal ini dikarenakan nilai uang yang terus
menurun. Shoe leather cost merupakan istilah untuk menggambarkan
opportunity cost yang hilang, karena mereka harus melakukan perjalanan

21
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

ke bank lebih sering untuk mengambil uang dibandingkan pada saat


periode inflasi yang rendah.
b. Menu costs
Menu cost menggambarkan biaya ekstra yang timbul karena pemilik
usaha lebih sering mengganti daftar harga (price tag) barang dan jasa
yang dijual pada saat periode inflasi tinggi. Menu cost dapat juga dipahami
sebagai biaya ekstra yang timbul karena perubahan harga tidak stabil.
c. Distorsi pajak
Laju inflasi akan mendistorsi pajak pendapatan atau keuntungan yang
dikenakan oleh pemerintah kepada masyarakat, baik pajak perorangan
maupun badan usaha yang pada umumnya bersifat progresif.8 Sebagaimana
diketahui, pajak umumnya dikenakan pada pendapatan atau laba nominal
yang diperoleh. Dengan adanya inflasi maka kenaikan pendapatan atau
keuntungan tersebut tidak mencerminkan nilai yang sesungguhnya, karena
sebagian pendapatan atau laba tersebut sudah tergerus oleh inflasi.
d. Peningkatan volatilitas harga relatif
Dalam kondisi laju inflasi yang sangat berfluktuasi, maka harga-harga
secara relatif juga berubah terhadap tingkat harga secara umum. Kondisi
ini akan mendistorsi tingkat harga yang merupakan sinyal ekonomi yang
penting dalam perekonomian. Perubahan dan variasi harga relatif yang
timbul karena adanya ketidakpastian harga (inflasi) dapat mengakibatkan
masyarakat (individu dan dunia usaha) memboroskan sumber daya
ekonomi untuk mencari harga yang berbeda-beda.
Salah satu contoh inflasi yang tidak menentu dan tak terkendali adalah
kondisi hiperinflasi, di mana laju inflasi meningkat lebih dari 100%. Dalam
keadaan hiperinflasi, setiap orang akan berusaha untuk membelanjakan
uangnya sampai habis atau menukarkannya dengan mata uang yang lebih
stabil. Akibatnya, terjadi inefisiensi dalam alokasi sumber daya ekonomi.
Selain biaya dari inflasi yang terduga, para ekonom juga menggolongkan
biaya yang terjadi karena inlasi yang tidak terduga, yakni:

8 Pajak progresif adalah pengenaan pajak secara berjenjang sejalan dengan peningkatan pendapatan atau laba
yang diperoleh. Semakin besar pendapatan atau laba maka tarif pajak akan semakin besar.

22
Konsep dan Teori Inflasi

1) Redistribusi Pendapatan
Salah satu biaya inflasi yang tak terduga adalah redistribusi pendapatan
secara arbitrary dari kreditur (lender) kepada debitur (borrower). Dalam
kondisi inflasi, debitur akan lebih diuntungkan dibandingkan kreditur.
Pembayaran kembali pokok dan bunga atas uang yang dipinjam secara
riil menjadi lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Dalam kondisi ini
maka kreditur menjadi pihak yang dirugikan.
2) Biaya lainnya yang tergolong biaya yang tak terduga adalah biaya karena
nominal kontrak yang bersifat tetap. Pada umumnya, kontrak jangka
panjang dibuat dengan memasukkan perkiraan inflasi ke dalamnya.
Masyarakat yang menggunakan kontrak tetap (fixed) akan mengalami
kerugian jika inflasi lebih tinggi dibandingkan perkiraan semula. Sebagai
contoh, pembayaran pensiun yang dibayarkan dengan sistem kontrak
tetap akan merugikan penerimanya ketika inflasi bergerak naik karena
nilai uang yang semakin rendah.

23
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

3. INFLASI DI INDONESIA

3.1. Pengukuran Inflasi di Indonesia


Angka indeks (indikator) yang umum dipakai untuk menghitung inflasi di
Indonesia adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Inflasi IHK di Indonesia
dihitung dengan menggunakan berbagai survei dan sensus, di antaranya,
Sensus Ekonomi untuk penetapan kerangka sampel pasar/toko/outlet; Survei
Biaya Hidup untuk menetapkan basket komoditas; dan Sensus Penduduk serta
Survei Sosial Ekonomi Nasional untuk menetapkan jumlah rumah tangga.
Dalam penghitungan IHK di Indonesia, formula yang digunakan adalah
formula Laspeyres yang dimodifikasi sebagai berikut:
Di mana :
Inflasin = Inflasi periode ke-n
IHKn = Indeks harga konsumen periode ke-n
IHKn-1 = Indeks harga konsumen periode ke-n-1
RHn = Harga relatif periode ke-n
NKn = Nilai konsumsi periode ke-n-1
Pni = Harga barang i pada periode ke-n
P(n-1) i = Harga jenis barang i periode ke-(n-1)
Pn,iQ 0,i = Nilai konsumsi jenis barang i pada periode ke-n
P(n-1),iQ0,I = Nilai konsumsi jenis barang i pada periode ke-(n-1)
K = Jumlah jenis barang paket komoditi
Dalam penghitungan harga komoditas, ukuran yang digunakan adalah
rata-rata aritmatik, tetapi untuk beberapa komoditas, seperti: beras, minyak
goreng, bensin, dan sebagainya, digunakan rata-rata geometri. Angka inflasi
dicatat dalam bentuk indeks: bulanan (mtm), tahun ke tahun (yoy) dan tahun
kalender (ytd). Inflasi bulanan (mtm) mencerminkan persentase perubahan
IHK bulan berjalan terhadap IHK bulan sebelumnya. Sementara itu, inflasi
tahun ke tahun merupakan persentase perubahan IHK pada bulan berjalan
terhadap IHK periode yang sama di tahun sebelumnya. Kemudian untuk
inflasi tahun kalender adalah persentase perubahan IHK bulan berjalan
terhadap IHK bulan Desember pada tahun sebelumnya.

24
Inflasi di Indonesia

Barang dan jasa yang dimasukkan dalam IHK untuk menghitung inflasi
telah mengalami perkembangan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Beberapa
hal yang melatarbelakangi perkembangan penghitungan inflasi di Indonesia, di
antaranya, adalah: i) perubahan pola konsumsi masyarakat akibat perubahan
teknologi, perilaku pendapatan dan selera; ii) terjadinya krisis/shock sehingga
perlu penyesuaian tahun dasar; iii) perkembangan jenis serta kualitas barang
dan jasa; iv) adanya perubahan kemajuan pasar, outlet maupun supermarket.
Pada awal tahun 1950-an, IHK hanya memperhitungkan harga sejumlah
bahan makanan. Daerah yang dipergunakan sebagai wilayah survei juga masih
sangat terbatas, yaitu hanya beberapa kota besar di Indonesia yakni: Jakarta,
Surabaya, Medan, Makasar, dan Pontianak. Dalam perkembangannya, angka
indeks harga konsumen tersebut terus mengalami penyempurnaan. Jumlah
barang dan jasa yang diperhitungkan dalam angka indeks terus mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi konsumen
di Indonesia. Demikian juga dengan cakupan daerah yang diperhitungkan
dalam wilayah survei.
Mulai Januari 2014, IHK disajikan dengan menggunakan tahun dasar
2012=100 (Survei Biaya Hidup 2012) dan mencakup 82 kota yang terdiri
dari 33 ibu kota propinsi dan 49 kota-kota besar di seluruh Indonesia. IHK
sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007=100 (Survei Biaya Hidup 2007)
dan hanya mencakup 66 kota.
Perkembangan jumlah barang dan jasa serta cakupan daerah survei untuk
penghitungan angka indeks dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan
sebagaimana terlihat pada Tabel 3-1.

Tabel 3‑1.
Keranjang IHK

����������� ������������������
������� �����������
��������� ��������
���� ���� ������� �����������
����������� ��������� ������� �����������������������
����������� ������������������ ������� ������������������������
������������������� ����������������� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������

25
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Kelompok barang dan jasa yang diperhitungkan dalam indeks harga


konsumen sejak April 1998 dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: i) bahan
makanan; ii) makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; iii) perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar; iv) sandang; v) kesehatan; vi) pendidikan, rekreasi, dan
olah raga; dan vii) transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Setiap kelompok
terdiri dari beberapa sub kelompok, dan dalam setiap sub kelompok terdapat
beberapa komoditas. Lebih jauh, komoditas-komoditas tersebut memiliki
beberapa kualitas atau spesifikasi.
Untuk memperhitungkan besarnya konsumsi masyarakat atas setiap jenis
barang dan jasa yang termasuk dalam angka indeks tersebut, pemerintah
melakukan survei biaya hidup dari waktu ke waktu. Sejak Februari 2014, paket
barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya
Hidup (SBH) tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian, BPS memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut
secara bulanan di 82 kota sampel, baik di pasar tradisional maupun modern.
Jumlah, tipe, spesifikasi, dan kualitas barang dan jasa yang dipilih untuk
dimasukkan dalam penghitungan IHK adalah barang yang paling banyak
dikonsumsi dan dibeli pada periode survei biaya hidup dilakukan. Survei ini juga
menentukan signifikansi barang dan jasa secara relatif terhadap keranjang IHK
keseluruhan. Masing-masing kelompok barang tersebut mempunyai bobot yang
berbeda sesuai dengan signifikansinya. Tabel 3-2 mempresentasikan bobot
untuk masing-masing kelompok barang dalam IHK.

Tabel 3‑2.
Struktur Pengelompokan IHK

��������������������������� ���������������������������

���� ������
�� ������������� �����
������������������������������������� ����
������������������������� ����
���������� ����
�������������� ����
������������������������������ ����
������������� ����
��������������� ����
����������� ����
������������� ����
���������������� ����
���������������������������
��������������������� ���������������������������
����
��� ����
��������������������������������������� �����
������
�� ������������
������������� �����
�����
�����������������������������
������������������������������������� ����
����
�������������������������������
�������������������������
26 ����
����
���� ������������������������������������������
���������� �����
����
���������������������
�������������� �����
����
�������������������������������
������������������������������ ����
����
�������������������������
������������� ����
����
���� ������
�� ������������� �����
������������������������������������� ����
������������������������� ����
���������� ����
Inflasi di Indonesia
�������������� ����
������������������������������ ����
������������� ����
��������������� Tabel 3‑2. ����
����������� Struktur Pengelompokan IHK Lanjutan ����
������������� ����
����������������
��������������������������� ����
���������������������������
��������������������� ����
��� ����
��������������������������������������� ������
�����
�� �������������
������������ �����
�������������������������������������
����������������������������� ����
�������������������������
������������������������������� ����
���� ����������
������������������������������������������ ����
�����
��������������
��������������������� ����
�����
������������������������������
������������������������������� ����
�������������
������������������������� ����
���������������
���������������������������� ����
��� �����������
������� ����
�������������
����������������� ����
����������������
�������������� ����
���������������������
����������������� ����
��� ���������������������������������������
������������������������������� �����
����
�� ������������
��������� �����
����
�����������������������������
�������������� ����
�������������������������������
����������� ����
���� ����������������������
������������������������������������������ �����
����
���������������������
������������������������������� �����
����
�������������������������������
��� ����������������������������������� ����
�������������������������
��������������� ����
����������������������������
����������������������� ����
��� ���������������������������������
������� ����
�����������������
�������� ����
��������������
��������� ����
�����������������
���� ���������������������������������������� ����
�����
�������������������������������
������������ ����
�����
�� ���������
������������������������� ����
��������������
����������������������������� ����
�����������
������������� ����
���������������������� ����
������������������������������
������������������������������� ����
��� ����������������������������������� ����
��������������� ����
Selain pembobotan terhadap barang dan jasa, pembobotan
����������������������� ����juga dilakukan
terhadap���������������������������������
kota yang disurvei, yaitu 82 kota di Indonesia yang ���� menjadi basis
�������� ����
penghitungan
��������� inflasi nasional. Inflasi Indonesia sebagian besar ���� merupakan
kontribusi inflasi daerah dengan bobot yang mencapai 80,77 %�����
���� ���������������������������������������� (di luar Jakarta).
������������ �����
Mengingat sumbangan inflasi daerah terhadap pembentukan inflasi nasional relatif
������������������������� ����
besar, �����������������������������
upaya pengendalian inflasi dalam rangka menciptakan stabilitas ���� harga di
tingkat nasional hanya dapat diwujudkan jika stabilitas harga terjadi pada tingkat
������������� ����
daerah. BPS menentukan besarnya bobot penimbang kota berdasarkan proporsi
������������������������������

27
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

jumlah rumah tangga ekonomi tipikal9 yang ada di daerah tersebut terhadap
nasional.
Gambar 3-1 menunjukkan pembobotan IHK per kawasan yang
mengindikasikan bahwa bobot penimbang kota terbesar sebagian besar adalah
di Jawa sebesar 64,08%, diikuti oleh kawasan Sumatera sebesar 18,46%,
Kalimantan 5,95%, Sulawesi 5,59%, Bali Nusra 4,12% dan Papua 1,8%.

Gambar 3‑1.
Bobot Inflasi di Indonesia Per Kawasan

������� ������
�������
������������ �����������
����������� ������
�����������

�������
������������ ������
�����������

3.2. Dinamika & Karakteristik Inflasi di Indonesia


Laju inflasi Indonesia mengalami dinamika sejalan dengan perkembangan
perekonomian sebagaimana terlihat pada Grafik 3-1. Indonesia mencatat
beberapa periode dengan inflasi tinggi bahkan tergolong hiperinflasi,10 salah
satunya di tahun 1960-an dengan rata-rata sebesar 294%. Inflasi yang tinggi
pada periode tersebut disebabkan kebijakan defisit anggaran Pemerintah,
sehingga meningkatkan jumlah uang beredar dan pada gilirannya mendorong
laju inflasi. Pemerintah melakukan defisit anggaran untuk membiayai program
angkatan bersenjata terkait politik nasional yaitu pembebasan Irian Barat dan
konfrontasi dengan Malaysia. Selain itu, perhatian Pemerintah juga belum
sepenuhnya terfokus pada perekonomian sehingga investasi belum berjalan
seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, masalah keterbatasan pasokan
bahan pangan dibandingkan permintaan serta spekulasi berlebihan membuat
harga-harga tidak terkendali.

9 Rumah tangga tersebut menerima pendapatan juga sekaligus mengeluarkan untuk kegiatan konsumsinya.
10 Hyperinflasi terjadi ketika nilai inflasi mencapai lebih dari 100%.

28
Inflasi di Indonesia

Pada akhir 1960 dan akhir 1990, Indonesia mengalami periode inflasi
yang cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 10-12% per tahun, kecuali pada
saat terjadi shock eksternal. Di antara periode tersebut, tercatat 3 peristiwa
shock eksternal dan dua di antaranya karena kenaikan harga minyak dunia
yaitu tahun 1973-1974 dan tahun 1979-1980. Kenaikan harga minyak
dunia tersebut membuat penerimaan pemerintah dari minyak meningkat
tinggi sehingga meningkatkan jumlah uang beredar yang mendorong inflasi
meningkat tajam. Pada kedua periode tersebut inflasi masing-masing tercatat
sebesar 35% dan 20% per tahun.
Shock eksternal selanjutnya adalah krisis keuangan Asia pada 1997-1999.
Pada saat puncak krisis di 1998, inflasi Indonesia tercatat sebesar 60%. Pada
saat itu tidak terjadi hiperinflasi karena Pemerintah pada akhirnya melakukan
kebijakan stabilitasi perekonomian yang didukung IMF.

Grafik 3‑1.
Dinamika Inflasi IHK Indonesia
���� �����
��������������������������
����

��� �����������������
�����������������
����������
���

�����������������������
��� ��� ����������������������
��������������������
�����������������
���������
��� ���
��� ��� ��� ���
�� ��
�� �� �� � � �� �� ���� � ���� �� � ���� � � � � � � � � �� � � � � �� � ���� � � ���� � �� � � � � � �


�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
��


























��

������������������

Dengan mengeluarkan semua periode ekstrim tersebut di atas, secara rata-


rata inflasi Indonesia11 tergolong tinggi walaupun masih single digit. Namun
demikian, dari grafik 3-2, dapat kita lihat bahwa rata-rata inflasi mengalami
penurunan dari periode sebelum krisis (1975-1997) sebesar 10,3% menjadi

11 Rata-rata inflasi sejak 1960 hingga 2014 dengan mengeluarkan periode yang memiliki inflasi > 20% adalah
sebesar 9,2%

29
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

sebesar 7,5% (2000-2014). Setelah Bank Indonesia melakukan kebijakan ITF


pada 2005, tingkat inflasi rata-rata Indonesia semakin menurun menjadi 7,2%.
Hal ini juga diikuti dengan penurunan standar deviasinya masing-masing dari
4,2% (1975-1997) menjadi 3% (2000-2014) dan menjadi 2,9% pada periode
setelah ITF (2005-2014). Hal ini menggambarkan bahwa inflasi secara umum
berkurang volatilitasnya.
Pada periode sesudah krisis, inflasi yang cukup tinggi terjadi di tahun
2000-2001, 2005-2006 dan 2008. Tingginya inflasi pada periode awal
sesudah krisis diduga banyak dipengaruhi kondisi sosial politik yang belum
stabil sehingga memengaruhi ekspektasi inflasi masyarakat. Laju inflasi tahun
2005 merupakan laju inflasi tertinggi dalam periode sesudah krisis, yaitu
sebesar 17,1%. Melambungnya harga minyak dunia dan kenaikan harga BBM
domestik pada bulan Oktober 2005 dalam rangka menjaga kesinambungan
fiskal memberikan tekanan kuat terhadap inflasi 2005.12 Selain dampak
tekanan eksternal dan kenaikan harga BBM tersebut, gangguan pasokan dan
distribusi serta depresiasi nilai tukar rupiah juga turut memberikan tekanan
kuat pada inflasi.
Laju inflasi tahun 2008 juga tercatat double digit yaitu sebesar 11,1%
dan merupakan laju inflasi tertinggi kedua setelah tahun 2005. Tingginya laju
inflasi tersebut dipicu oleh kenaikan harga minyak dan pangan dunia. Untuk
merespon kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah kembali menaikkan
harga BBM bersubsidi pada Mei 2008. Kenaikan laju inflasi kelompok
administered price ini berkontribusi cukup besar terhadap laju inflasi 2008.
Kenaikan harga BBM tersebut diperparah dengan kelangkaan minyak tanah
dan LPG di berbagai daerah. Selain dampak langsung, kenaikan harga BBM
juga telah mengakibatkan dampak lanjutan berupa dampak tidak langsung
(second round effect), misalnya kenaikan tarif angkutan. Kenaikan berbagai
harga pangan dunia juga berkontribusi pada kenaikan kelompok barang
volatile food, sehingga laju inflasi menjadi semakin tinggi.
Selama periode 2010-2015, perkembangan inflasi IHK (headline inflation)
di Indonesia relatif terkendali, meskipun terdapat dua kali kebijakan kenaikan

12 Laju inflasi dunia mengalami peningkatan pada tahun 2005 dan tercatat sebesar 3,80% meningkat dari 3,60%
pada tahun 2004. Peningkatan laju inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak. Pada tahun 2005 tercatat
bahwa harga minyak dunia adalah US$56,5 per barel yang meningkat dari US$39,1 per barel pada tahun 2004.
Dalam rangka meredam tekanan laju inflasi ini, beberapa bank sentral melakukan kebijakan moneter yang
cenderung ketat

30
Inflasi di Indonesia

harga BBM oleh Pemerintah. Inflasi IHK berada pada posisi tertinggi di
Agustus 2013 sebesar 8,50% (yoy), sekitar dua bulan pasca kebijakan
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Pemerintah pada 22 Juni
2013.13 Hal itu terlihat dari lonjakan inflasi administered prices (harga yang
diatur pemerintah) mulai bulan Juli-September 2013. Sebelum kebijakan
tersebut, inflasi IHK lebih didorong oleh inflasi volatile food (bahan makanan
bergejolak) pada periode Februari 2010 sampai dengan Maret 2011. Inflasi
IHK kembali meningkat ketika Pemerintah kembali melakukan kebijakan
penaikan harga BBM pada 18 November 2014.14 Dampak dari kenaikan harga
BBM tersebut mencapai puncaknya pada Desember 2014 dengan inflasi IHK
mencapai 8,08% (yoy).
Namun, sejak Januari 2015, Pemerintah telah mencabut subsidi atas
harga bensin premium dan memberikan subsidi harga tetap sebesar Rp1.000/
liter untuk minyak solar. Kebijakan ini menyebabkan harga bensin premium
dan minyak solar dapat berfluktuasi setiap bulannya, karena penetapan harga
kedua BBM tersebut pada mulanya dilakukan setiap bulan oleh Pemerintah.
Ketika harga minyak mentah dunia menurun dan nilai tukar rupiah relatif
stabil, harga kedua jenis BBM tersebut ikut menurun; dan sebaliknya, ketika
harga minyak mentah dunia naik dan nilai tukar rupiah relatif stabil, harga
kedua jenis BBM tersebut dinaikkan. Akibatnya, ketika harga BBM diturunkan
tekanan inflasi IHK berkurang, dan sebaliknya ketika harga BBM dinaikkan
tekanan inflasi IHK meningkat. Hal itu tercermin dari inflasi administered
prices yang fluktuatif pasca pemberlakuan kebijakan tersebut. Namun,
belakangan Pemerintah mengubah mekanisme evaluasi harga kedua jenis
BBM tersebut menjadi 6 bulan sekali untuk mengurangi fluktuasi harga yang
cenderung menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian. Perubahan
harga BBM dan administered prices lainnya, seperti tarif listrik, cenderung
mewarnai perkembangan inflasi IHK, sementara inflasi inti relatif stabil sejak
awal tahun 2015.
Secara umum, dari grafik di bawah ini terlihat bahwa tekanan inflasi
di Indonesia banyak dipengaruhi shocks, terutama gangguan pasokan dan
distribusi pangan (volatile foods) serta kebijakan strategis dari pemerintah

13 Melalui Keputusan Menteri ESDM No.07/PM/12/MEM/2013 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM
Bersubsidi, pemerintah menaikkan harga bensin premium dari Rp4500/liter menjadi Rp6500/liter dan minyak
solar dari Rp4500/liter menjadi Rp5500/liter.
14 Pemerintah menaikkan harga bensin premium dan minyak solar masing-masing sebesar Rp2000/liter dari harga
pada Juni 2013.

31
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

(administered prices). Pola musiman juga berpengaruh signifikan terhadap


pergerakan inflasi khususnya pada saat menjelang hari raya Idul Fitri. Kenaikan
harga pada pola musiman lebaran ditengarai juga akibat dari meningkatnya
ekspektasi inflasi. Namun demikian, peningkatan ekspektasi tersebut bersifat
temporer dan akan terkoreksi menurun pasca hari raya. Pada grafik dapat
terlihat bahwa shocks temporer akan mengembalikan IHK pada tren jangka
panjangnya (inflasi inti).

Grafik 3‑2.
Perkembangan Inflasi IHK 2008-2015

����������� ������������������������
������������������ ������������������
����� �������������������� ��������������
������������������� ��������������������
������������� ������������������ ���������������������� �������������������
����������������� ������������������������� �����������������
����� ��������������� �������������������� ������������������������
������������������� �������������
��������������������� ��������������
�������������������
����� �������������
������������
��������
�����
��������������������
���������������������
����� ��������������
����
����
���� ����

������
��� ���� ������������� �������������������
�������
� �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � ��
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, inflasi dapat


didisagregasi menjadi inflasi inti (core inflation), volatile food, dan
administered price. Untuk penghitungan inflasi inti yang umum digunakan
oleh BPS maupun Bank Indonesia adalah metode exclusion. Di Indonesia,
jumlah komoditas yang masuk dalam penghitungan inflasi inti sebanyak 751
komoditas dengan bobot 6,36 % (SBH 2012). Apabila dilihat pada grafik
3-4, pergerakan laju inflasi inti (core inflation) mengalami penurunan dari
waktu ke waktu terutama sesudah periode penerapan ITF (inflation targeting
framework) oleh Bank Indonesia yaitu sejak 2005-2015. Sejak periode
tersebut, rata-rata inflasi inti berada di kisaran 6,18%, dengan standar deviasi
1,9% dan apabila dibandingkan dengan inflasi IHK secara umum, tingkat
inflasi inti cenderung selalu berada di bawah tingkat inflasi umum (IHK).

32
Inflasi di Indonesia

Berbeda dengan pergerakan inflasi inti, pergerakan inflasi volatile food di


Indonesia cenderung lebih fluktuatif dan hampir selalu lebih tinggi dibanding
inflasi IHK pada umumnya. Gejolak volatile food dapat memengaruhi inflasi
inti, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang pada akhirnya
memengaruhi pergerakan infasi IHK secara signifikan. Secara langsung,
gejolak harga volatile food dapat memengaruhi biaya pada komoditas makanan
jadi, yang menggunakan bahan mentah kelompok volatile food sebagai salah
satu bahan baku, sehingga berdampak pada peningkatan harga makanan jadi.
Secara tidak langsung, kenaikan harga volatile food memberikan dampak
lanjutan melalui ekspektasi inflasi, terutama jika harganya melonjak signifikan
sehingga mendorong kenaikan harga komoditas lainnya. Hal ini menjadi salah
satu alasan pentingnya koordinasi dengan pemerintah dan instansi terkait
terutama dalam menjaga ketersediaan barang-barang volatile food di seluruh
daerah setiap saat.
Berdasarkan SBH 2012, terdapat 85 komoditas dengan bobot sebesar
16,62% yang masuk kedalam perhitungan volatile food, contohnya: beras,
bawang merah, bawang putih, cabe, daging sapi, daging ayam, dan sebagainya.
Berdasarkan grafik 3-5, diketahui bahwa rata-rata inflasi volatile food setelah
periode ITF (2005-2015) cenderung tinggi yaitu sebesar 10,3%. Terjadinya
perubahan iklim yang menganggu produksi pertanian diduga menjadi
penyebab utama tingginya inflasi di kelompok volatile food.

Grafik 3‑3.
Pergerakan Inflasi Inti Periode 2002-2015
��

�� ������� ��������
��

��

��

��


������������������������������������������
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

33
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Grafik 3‑4.
Pergerakan Inflasi Volatile Food Periode 2002-2015

��
������� �����������������
��

��

��

��
� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � �
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

Pada kelompok administered price yang di dalamnya terdiri dari


kelompok komoditas yang harganya diatur pemerintah, seperti BBM, tarif
listrik dan LPG, memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
volatile food. Meskipun tingkat volatilitasnya lebih rendah tetapi tingkat
inflasi kelompok administered price cenderung berada di atas inflasi IHK
pada umumnya. Sama seperti gejolak harga volatile food yang memengaruhi
inflasi, gejolak harga di kelompok administered price juga dapat memengaruhi
pergerakan infasi IHK secara signifikan. Contohnya, kenaikan harga BBM
(bahan bakar minyak) dapat memberikan dampak langsung maupun tidak
langsung terhadap inflasi. Dampak tersebut dapat terjadi melalui jalur tarif
transportasi (cost push), baik untuk angkutan orang maupun barang serta
melalui jalur ekspektasi. Kenaikan ekspektasi inflasi ketika akan terjadi
kenaikan harga BBM umumnya telah timbul bahkan sebelum kebijakan
kenaikan harga diimplementasikan. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam
hal memutuskan kapan dan berapa besaran kenaikan yang mungkin dalam
kelompok administered price.
Pada periode setelah ITF diterapkan (2005-2015) rata-rata inflasi
administered price tergolong cukup tinggi yaitu 9,04%. Hal ini disebabkan
Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait penghapusan ataupun

34
Inflasi di Indonesia

pengurangan subisidi bahan bakar sejak setelah orde baru, juga pengaturan
besaran tarif dasar listrik, dan kebijakan lain yang berpengaruh terhadap
perubahan harga barang dan jasa.

Grafik 3‑5.
Pergerakan Inflasi Administered Price Periode 2002-2015

��
������� ����������������������
��

��

��

��

���
������������������������������������������
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

3.3. Inflasi Daerah


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, inflasi yang rendah dan
stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkesinambungan. Di Indonesia, perkembangan inflasi nasional tidak terlepas
dari dinamika perkembangan inflasi yang terjadi di daerah. Hal ini disebabkan
karena inflasi nasional merupakan hasil penggabungan (agregasi) dari inflasi
di daerah dengan pembobotan tertentu.15 Pada saat ini, penghitungan inflasi
nasional oleh BPS (Badan Pusat Statistik) didasarkan atas inflasi di 82 kota
dengan bobot terbesar berada di Jawa yakni 64,08%.
Di level daerah, sumber tekanan inflasi sangat tergantung dan dipengaruhi
karakteristik daerah masing-masing. Secara umum, inflasi di beberapa daerah
cenderung berada di atas inflasi nasional terutama pada periode 2008-2015.
Perkembangan inflasi di Jawa cenderung berada di bawah inflasi nasional,

15 Pembobotan dihitung berdasarkan dari Nilai Konsumsi (NK) di suatu daerah yang secara sederhana
mencerminkan aktivitas ekonomi di masing-masing daerah.

35
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

sementara daerah di luar Jawa justru berada di atas inflasi nasional, terutama
di Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah-daerah kawasan
Timur, seperti Kalimantan dan Sulampua Bali Nusra (Sulawesi, Papua, Bali
dan Nusa Tenggara), tingkat inflasinya relatif lebih tinggi dibandingkan
tingkat inflasi nasional. Perbedaan inflasi antardaerah mencerminkan
adanya karakteristik sumber tekanan harga yang berbeda, antara lain, karena
perbedaan kualitas infrastruktur logistik, kemampuan produksi pangan lokal,
kebijakan administered price di daerah serta struktur pasar di daerah.

Grafik 3‑6.
Dinamika Inflasi Daerah Indonesia Per Kawasan Periode 2008-2015

�����
���������������� �������� ���������������
����� �����������
��������������������� ����������
���������������
������������������� �������������������
����� ����������������

�����

����

����

����

����

����
� � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � �
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

Grafik 3-6 memperlihatkan pergerakan inflasi di daerah per kawasan


secara umum bergerak searah dengan pergerakan inflasi nasional. Dari
pergerakan inflasi antarperiode waktu terlihat bahwa laju inflasi nasional
cenderung berfluktuasi dengan penyebaran inflasi antardaerah yang relatif
tinggi (heterogen). Pada umumnya, daerah yang terpencil (remote) dan
tertinggal, seperti Kawasan Indonesia Timur maupun daerah yang pernah
mengalami idiosyncratic shocks (bencana alam, konflik komunal, dan
lain lain), menunjukkan kecenderungan inflasi yang relatif lebih tinggi
dibandingkan daerah yang lebih maju dan berlokasi di sentra ekonomi seperti
Jawa. Tingginya inflasi di kawasan Timur merupakan permasalahan yang

36
Inflasi di Indonesia

telah terjadi sejak lama, hal ini dikarenakan tingginya hambatan struktural
dari sisi infrastruktur dan sistem logistik. Sementara itu, relatif tingginya
laju inflasi di beberapa daerah di kawasan Sumatera, yang relatif lebih maju
dan dekat dengan sentra ekonomi, lebih disebabkan oleh faktor lokal yang
spesifik, seperti distribusi barang, terbatasnya infrastruktur dan dampak dari
shock harga komoditas yang menjadi andalan daerah tersebut.

3.4. Determinan Inflasi Indonesia


Mohanty & Klau (2001) menyatakan, umumnya negara-negara emerging
memiliki sejarah tingkat inflasi yang moderat hingga tinggi. Kondisi ini
umumnya terkait dengan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif dan
depresiasi nilai tukar. Selain itu, inflasi di kelompok negara ini memiliki
sensitivitas yang tinggi terhadap berbagai shock dari eksternal dan internal.
Namun, memasuki era 1990-an sebagian besar telah berhasil menurunkan
tingkat inflasinya.
Sebagaimana negara emerging lainnya, tingkat inflasi Indonesia cenderung
tinggi dan secara rata-rata16 mencapai 7,8%.17 Dari Grafik 3-8 terlihat rata-
rata inflasi Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN-5. Sebelum krisis
keuangan Asia, rata-rata inflasi Philipine lebih tinggi dibandingkan Indonesia
(Grafik 3-8). Namun sesudah krisis, rata-rata inflasi Indonesia lebih tinggi.
Rumbaugh (2012) menyatakan terdapat beberapa karakteristik yang
menjelaskan mengapa inflasi Indonesia lebih tinggi dari negara emerging
lainnya di Asia,18 yaitu:

16 Rata-rata seluruh periode dari 1990 s.d 2014 dengan mengeluarkan periode krisis yaitu (1998 dan 1999).
17 Menurut Khan & Senhadji, threshold inflasi yang masih aman untuk negara emerging adalah < 11%, namun nilai
threshold inflasi untuk negara-negara Asia menurut Vinayagathasan (2013) adalah 5,45%.
18 Negara-negara yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Indonesia, Korea, Malaysia, Philipine dan
Thailand.

37
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Grafik 3‑7.
Rerata Inflasi Negara ASEAN-5 Sebelum dan Sesudah Krisis 1997/1998

��
��������������
�� ��� ��������������
���������������
���
��� ���
� ��� ���
���
� ���
��� ���
� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
���
� ���
���


������
���������� ��������� �������� ����������� ��������� �������� �������

1. Inersia / persistensi inflasi yang lebih tinggi


Analisis perilaku inflasi menunjukkan bahwa inflasi Indonesia bersifat
sangat persisten. Perilaku tersebut terutama disebabkan oleh pola
pembentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi inflasi masa lalu
(ekspektasi adaptif). Pembentukan ekspektasi inflasi ini banyak diwarnai
oleh inflasi costpush atau supply shocks yang tinggi dan sering terjadi,
seperti kejutan harga minyak dunia, kenaikan harga BBM, depresiasi dan
fluktuasi nilai tukar rupiah serta kenaikan upah minimum yang melebihi
inflasi (Hutabarat, 2005). Yanuarti (2008) menemukan bahwa persistensi
inflasi menurun pada periode setelah krisis dibandingkan sebelumnya,
namun menurut Gerlach & Tillman (2011) penurunan ini tidak terlalu
signifikan dibandingkan negara-negara lainnya di Asia.
2. Dampak output gap19 terhadap inflasi lebih tinggi
Sebagaimana diketahui output gap merupakan salah satu faktor yang
mendorong inflasi. Dalam kondisi output berada di atas output potensialnya
(output gap positif), kenaikan output gap menggambarkan tekanan inflasi
yang meningkat. Dengan menggunakan data panel 15 negara emerging,

19 Output gap adalah selisih antara output potensial dan output riil. Output gap merupakan indikator untuk
menjelaskan inflasi dari sisi permintaan.

38
Inflasi di Indonesia

termasuk di dalamnya Indonesia, Domac & Yucel (2004) menemukan


bahwa peningkatan output gap meningkatkan probabilitas timbulnya
inflasi. Sementara itu, Rumbaugh (2012) menyatakan untuk peningkatan
output gap yang sama, dampaknya terhadap inflasi lebih tinggi di
Indonesia dibandingkan negara lainnya.
3. Korelasi yang kuat antara faktor stabilitas politik dan institusional dengan
inflasi
Aisen dan Vega (2006)20 menemukan adanya hubungan yang positif antara
stabilitas politik dan volatilitas inflasi. Institusi yang lemah mempersulit
upaya Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan menjaga inflasi yang
rendah secara konsisten. Faktor politik dan institusional memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap inflasi di setiap negara. Rumbaugh
(2012) menemukan bahwa dibandingkan negara-negara Asia lainnya
dalam sampel, faktor politik dan insitusional terhadap inflasi di Indonesia
lebih kuat.
Selain ketiga faktor tersebut di atas, beberapa penelitian juga mengulas
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi Indonesia. Secara umum,
inflasi di Indonesia dapat disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor,
baik dari sisi permintaan, penawaran, maupun dari ekspektasi. Kontribusi dari
masing-masing faktor yang memengaruhi inflasi tersebut tidak selalu sama
dari waktu ke waktu.
Dari sisi permintaan, peningkatan jumlah uang beredar dalam beberapa
periode terbukti memiliki korelasi dengan laju inflasi seperti yang terjadi pada
periode 1960 dan 1970-an. Pada periode 1960, peningkatan jumlah uang beredar
disebabkan oleh kebijakan defisit anggaran. Di awal 1970, peningkatan uang
beredar disumbang oleh meningkatnya penerimaan pemerintah dari minyak.
Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah
uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Indonesia.
Hasil serupa terkait hubungan yang kuat antara pertumbuhan uang beredar dan
inflasi di Indonesia juga dikonfirmasi oleh Listiani (2006) dan Anugrah (2011).
Selain jumlah uang beredar, faktor nilai tukar juga memiliki dampak signifikan
terhadap inflasi di Indonesia. Depresiasi nilai tukar mendorong kenaikan inflasi
melalui peningkatan harga domestik, terutama dari produk dengan konten impor.

20 Aisen dan Vega menggunakan data panel 100 negara di Asia Pacific dan termasuk di dalamnya Indonesia.

39
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Hasil empiris beberapa penelitian membuktikan bahwa determinan utama inflasi


Indonesia adalah nilai tukar (Siregar & Rajaguru 2002; Wimanda 2006; Anugrah
2011). Bahkan, Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) menyatakan bahwa nilai
tukar dan imported inflation adalah kontributor utama inflasi Indonesia dan
dengan daya prediksi yang kuat. Kuatnya pengaruh nilai tukar terhadap inflasi
tercermin dari nilai exchange rate pass-through.21 Walaupun nilai tukar juga
memengaruhi inflasi di beberapa negara Asia lainnya seperti Korea dan Thailand,
namun tingkat pass-through di Indonesia lebih tinggi dibandingkan kedua negara
tersebut (Ito & Sato, 2006).22
Hasil empiris dari penelitian Kurniati (2007) menyatakan bahwa pass-
through tingkat pertama (first stage pass-through) dari nilai tukar kepada
indeks harga barang impor menunjukkan peningkatan pada periode sesudah
krisis.23 Sebaliknya, second stage pass-through yaitu dari indeks harga impor
kepada IHK menunjukkan penurunan cukup signifikan. Menurunnya respon
IHK terhadap indeks harga impor memberikan implikasi bahwa bank sentral
tidak perlu merespond secara agresif shock nilai tukar yang bersifat temporer
dan memberikan ruang yang lebih luas bagi bekerjanya mekanisme pasar untuk
penentuan nilai tukar.
Faktor lain yang memengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi permintaan
adalah permintaan musiman. Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan
Pakistan, Indonesia memiliki dampak inflasi yang lebih tinggi dalam triwulan
di mana Idul Fitri berlangsung (Hutabarat, 2005). Wimanda dkk (2010) juga
mengkonfirmasi bahwa faktor hari raya Idul Fitri menjadi salah satu determinan
inflasi. Berdasarkan survei mekanisme pembentukan harga pada tahun 2001,
tambahan inflasi pada periode Idul Fitri terutama disebabkan oleh tingginya
permintaan dan kecenderungan perilaku permintaan yang kurang elastis terhadap
harga pada periode tersebut. Penyebab lainnya adalah faktor dorongan pesaing
yang menaikan harga. Sementara itu, keterbatasan pasokan bukan penyebab
utama kenaikan harga pada periode tersebut.
Faktor penawaran juga berperan penting dalam pembentukan inflasi di
Indonesia. Termasuk dalam faktor inflasi dari sisi penawaran adalah peningkatan
biaya input (cost push inflation). Kenaikan biaya ini dapat disebabkan oleh

21 Exchange rate pass through adalah transmisi dari pergerakan nilai tukar terhadap tingkat harga domestik.
22 Sampel dari penelitian ini adalah negara-negara di Asia termasuk Indonesia.
23 Nilai dari first-stage pass-through, yaitu dari nilai tukar ke harga import meningkat dari 0,35 sebelum krisis
menjadi 0,45 setelah krisis.

40
Inflasi di Indonesia

kenaikan upah dan juga akibat kenaikan harga barang tertentu yang diatur
Pemerintah (administered price), seperti kenaikan harga BBM dan tarif dasar
listrik. Terkait dengan upah pekerja, Cadarajat dkk (2008) menyatakan bahwa
untuk hasil full sample24 inflasi belum signifikan dipengaruhi oleh upah pekerja
namun inflasi memengaruhi upah pekerja. Dengan menggunakan sampel periode
setelah krisis, ditemukan kausalitas dua arah di mana upah juga memengaruhi
inflasi.
Ridwan dkk (2013) dengan menggunakan data panel propinsi menemukan
bahwa variabel upah turut berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Respon
kenaikan upah terhadap kenaikan inflasi terjadi secara gradual dan memerlukan
waktu. Kenaikan inflasi akan direspon dengan kenaikan upah melalui kebijakan
kenaikan UMR oleh Pemerintah. Kenaikan upah tersebut, sebagaimana hasil
survey terutama mengenai perilaku penetapan harga, pada tahap tertentu akan
direspon oleh perusahaan dengan menaikkan harga jual produknya sehingga
mengkibatkan inflasi kembali meningkat. Dengan tingkat inflasi yang relatif
tinggi akan sulit untuk mempertahankan unit labour cost (ULC) yang rendah.
Selanjutnya, peningkatan ULC tersebut akan kembali memengaruhi tingkat
inflasi pada periode berikutnya (second-round inflation).
Prastowo, dkk (2010) mengelompokkan tiga jenis kebijakan pemerintah
yang berpengaruh terhadap harga jual barang dan jasa. Pertama, kebijakan
administered prices seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar
listrik (TDL), harga telepon dan air bersih. Kedua, kebijakan tarif cukai
(pajak) untuk beberapa komoditas domestik, seperti produk rokok dan produk
audio-video. Kebijakan tarif juga dapat dikenakan kepada komoditas yang
diimpor dari luar negeri melalui penetapan bea masuk dan pajak impor.
Ketiga, kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) terutama untuk
produk farmasi atau obat-obatan. Dari ketiga jenis kebijakan Pemerintah
tersebut kebijakan administered price, khususnya kenaikan harga BBM,
dirasakan paling signifikan karena berpengaruh terhadap seluruh sektor dan
terjadi lebih dari satu putaran. Kenaikan harga BBM juga berdampak pada
biaya produksi listrik yang selanjutnya akan mendesak peningkatan TDL.
Hal itu disebabkan banyaknya penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD) yang berbahan bakar solar. Kenaikan harga BBM secara langsung
akan meningkatkan biaya transportasi dan menaikkan biaya distribusi barang
sehingga mendorong peningkatan harga barang.

24 Full sampel dari 1984 s.d 2007

41
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik terbukti secara empiris
memengaruhi inflasi. Arimurti dkk (2012) dengan menggunakan matriks
Leontief dan model Input Output menghitung perbedaan besaran inflasi
atas dua alternatif kebijakan Pemerintah yaitu peningkatan harga BBM dan
pemberian subsidi tetap kepada konsumen. Keduanya memberikan dampak
inflasi dengan besaran yang berbeda.25 Sementara itu, Utari & Nurliana
(2012)26 menemukan bahwa peningkatan tarif dasar listrik (TDL) akan
berdampak pada inflasi secara langsung akibat peningkatan harga listrik yang
dirasakan konsumen, dan secara tidak langsung akibat peningkatan harga
barang yang dalam proses produksinya menggunakan listrik.
Faktor Inflasi dari sisi penawaran juga dapat disebabkan oleh adanya
gangguan dari sisi penawaran (supply shock), seperti gagal panen, bencana
alam, dan gangguan distribusi sehingga distribusi tidak lancar, serta adanya
kerusuhan sosial yang berakibat terputusnya pasokan dari luar daerah.
Gangguan tersebut akan memengaruhi jumlah barang yang ditawarkan dan
pada akhirnya akan meningkatkan laju inflasi.
Prastowo, dkk (2008) meneliti pergerakan harga 5 komoditas volatile food,
yaitu cabe merah, daging sapi, beras, gula pasir, dan minyak goreng selama
periode 1993-2007. Hasil empiris menyimpulkan bahwa tekanan harga pada
kelompok ini dipicu oleh kelangkaan pasokan karena siklus tanam, gangguan
cuaca, serangan hama penyakit, dan gangguan distribusi. Sifat beberapa
komoditas pertanian yang mudah busuk (perishable) juga menyebabkan
harga jualnya cenderung berfluktuasi. Semakin perishable suatu komoditas,
maka semakin berfluktuasi harganya. Hal ini mengingat komoditas tersebut
tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama untuk stabilisasi stok sehingga
sangat rentan terhadap supply shocks, baik yang berasal dari faktor produksi
maupun distribusi. Di sisi lain, permintaan masyarakat akan produk komoditi
perishable yang diawetkan, seperti dikeringkan atau dibekukan, masih rendah.
Akibatnya, harga jual produk pertanian dan volatilitasnya sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan barang yang terkait erat dengan siklus tanam maupun faktor
cuaca.

25 Arimurti dkk menguji dampak kenaikan harga BBM sebesar Rp1500/l dan pemberian subsidi tetap sebesar
Rp2000/l terhadap inflasi. Kenaikan sebesar Rp1500/l memberikan dampak inflasi sebesar 1,71-3,11%.
Sementara pemberian subsidi tetap berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 1,75 – 3,33%.
26 Hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan TDL sebesar 10% akan meningkatkan inflasi dalam kisaran 0,27-
0,30% dan dampak tidak langsung akibat kenaikan harga adalah sebesar 0,09-0,12%.

42
Pengendalian Inflasi di Indonesia

Ridwan, dkk (2013) menyoroti permasalahan supply shocks dari aspek


distribusi. Secara umum, terdapat kesamaan permasalahan pada komoditas
pangan strategis di Indonesia dilihat dari aspek distribusi. Pertama,
permasalahan distribusi antarwaktu karena komoditas pangan yang pada
umumnya bersifat musiman (seasonal). Dengan kondisi tersebut, harga
komoditas cenderung anjlok saat musim panen raya karena pasokan yang
melimpah. Sebaliknya, dalam masa tidak panen (paceklik) harga akan
melambung tinggi karena pasokan yang menurun. Beberapa komoditas
pangan yang sifat musimannya sangat dipengaruhi oleh perubahan musim/
cuaca, terutama adalah beras, gula pasir dan bawang merah. Oleh karenanya,
untuk komoditas yang bersifat musiman, manajemen stock memegang
peranan penting.
Selain disebabkan oleh faktor permintaan dan penawaran, inflasi juga dapat
disebabkan oleh ekspektasi. Ekspektasi tersebut terkait dengan ekspektasi
masyarakat dalam pembentukan harga dan upah. Seperti telah dijelaskan,
ekspektasi dapat bersifat adaptif (backward expectation) maupun ekspektasi
berdasarkan informasi dan kebijakan ke depan (forward expectation). Sejumlah riset
mengenai ekspektasi inflasi menunjukkan bahwa perilaku ekspektasi sebagian
besar masyarakat, khususnya pelaku pasar barang, masih bersifat adaptif atau
menengok ke belakang (backward looking) dengan mengacu pada inflasi
terkini dan masa lalu.
Ekspektasi inflasi pelaku ekonomi yang bersifat adaptif teramati dari
pergerakan ekspektasi inflasi pengusaha yang di awal tahun cenderung
mendekati target yang diumumkan Bank Indonesia, namun dalam
pergerakannya di sepanjang tahun lebih mengacu pada realisasi inflasi
(Hutabarat, 2005). Sementara itu, Wimanda, dkk (2011) menyatakan bahwa
inflasi IHK Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh ekspektasi adaptif
dan ekspektasi ke depan. Namun demikian, bobot dari ekspektasi adaptif lebih
tinggi dibandingkan ekspektasi ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi
Indonesia tergolong persisten. Hanya saja, Harmanta, dkk (2010) menyatakan
bahwa ekspektasi inflasi masyarakat mengindikasikan kecenderungan yang
bersifat forward looking namun dengan horizon yang singkat.

43
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

4. PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

4.1. Kebijakan Moneter untuk Pengendalian Inflasi


Sebagaimana diketahui, tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan
menjaga stabilitas nilai rupiah yang tercermin dari laju inflasi yang rendah
dan stabil serta nilai tukar yang terkendali. Dalam implementasinya, laju
inflasi yang rendah dan stabil diwujudkan dalam bentuk pencapaian target
inflasi. Dalam hal ini kebijakan moneter diarahkan untuk dapat meminimalkan
berbagai risiko yang berpotensi menimbulkan tekanan inflasi termasuk
tekanan yang berasal dari nilai tukar.
Kerangka kerja kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia
sampai dengan tahun 2004, menggunakan besaran moneter (monetary based)
sebagai sasaran antara (intermediate target), baik itu berupa M1 atau uang
beredar dalam arti sempit maupun M2 atau uang beredar dalam arti luas.
Sementara itu, untuk mencapai target berupa uang beredar (M1 dan atau M2)
tersebut, Bank Indonesia menggunakan uang primer (M0) sebagai sasaran
operasional.
Krisis tahun 1998 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
struktur perekonomian Indonesia, terutama di sektor keuangan dan perbankan.
Perubahan ini terjadi karena inovasi dan perkembangan yang sangat pesat di
sektor keuangan dan perbankan. Dengan perubahan tersebut, berbagai asumsi
yang dipergunakan dalam kerangka kebijakan moneter dengan monetary
based targeting menjadi tidak dapat digunakan lagi, karena kebijakan moneter
menjadi kurang atau tidak efektif lagi.
Dilatarbelakangi keinginan untuk memperkuat kebijakan moneter, pada
pertengahan 2005 diimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter
dengan sasaran akhir kestabilan harga (inflation targeting framework, ITF)
yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter. Penerapan ITF dirasakan mendesak mengingat kerangka kebijakan
base money targeting yang tidak atau kurang efektif dalam mengendalikan
inflasi dan atau base money (uang primer).
Kerangka ITF memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: i) Kebijakan
moneter diarahkan untuk mencapai target inflasi yang diumumkan secara
eksplisit ke masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Dalam kaitan ini

44
Pengendalian Inflasi di Indonesia

target inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan


Bank Indonesia; ii) Kebijakan moneter diterapkan secara forward looking,
dengan merespon terhadap perkembangan inflasi; dan iii) Kebijakan moneter
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
Kerangka kebijakan ini mencakup empat elemen dasar, yaitu: i)
penggunaan BI Rate sebagai suku bunga kebijakan; ii) proses perumusan
kebijakan moneter yang antisipatif; iii) strategi komunikasi yang lebih
transparan; dan iv) penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah.
Sejak penerapannya pada tahun 2005, kerangka kerja Inflation Targeting
(ITF) telah dapat melalui berbagai tantangan yang tidak ringan. Tantangan-
tantangan tersebut diawali dengan mini crisis pada tahun 2005, krisis global
pada tahun 2008, hingga periode aliran masuk modal asing yang deras pasca
krisis global serta diakhiri dengan tekanan aliran keluar modal asing pada
tahun 2011.
Selain itu, pengalaman menghadapi krisis global memberi pelajaran
berharga bagi perumusan kebijakan moneter. Pertama, dalam perekonomian
terbuka, kebijakan moneter dihadapkan pada berbagai tantangan sehingga
instrumen yang digunakan perlu berupa bauran instrumen (instrument mix).
Kedua, krisis global menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi
juga dapat bersumber dari sektor keuangan. Ketiga, perlunya secara jelas
menempatkan posisi nilai tukar dalam kerangka ITF. Berbagai pelajaran
tersebut mendorong perlunya penyempurnaan strategi ITF ke depan.
Penyempurnaan tersebut juga sebagai jawaban atas tuntutan stakeholders
terhadap peningkatan kredibilitas Bank Indonesia dalam mencapai sasaran
inflasi.
Berdasarkan hasil kajian, penerapan enhanced ITF merupakan format
yang ideal untuk perekonomian Indonesia. Bank Indonesia secara tersirat
sebenarnya sudah menerapkan “enhanced” ITF, yang berarti bahwa dalam
jangka pendek Bank Indonesia berupaya untuk menstabilkan perkembangan
inflasi dan ekonomi riil bersama-sama. Susbtansi enhanced dari ITF tercermin
pada orientasi pencapaian tujuan akhir kebijakan yaitu inflasi, namun
dengan tetap memperhitungkan dinamika perkembangan variabel ekonomi
makro dalam jangka pendek, seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan
perkembangan sektor keuangan. Instrumen kebijakan moneter yang dilakukan
Bank Indonesia untuk mencapai sasaran inflasi adalah melalui: i) kebijakan

45
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

suku bunga; ii) kebijakan nilai tukar; iii) bauran kebijakan makroprudensial
dan moneter; serta iv) komunikasi kebijakan moneter.

4.2. Metode Penetapan Sasaran Inflasi di Indonesia


Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan
bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran-
sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran inflasi. Hal itu kemudian
ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sasaran laju inflasi ditetapkan
oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Dalam rangka
pelaksanaan amanat tersebut, Gubernur Bank Indonesia dan Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Keuangan menandatangani Nota Kesepakatan
Mekanisme Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (Siaran
Pers No.6/75/BGub/Humas).
Nota kesepakatan itu dimaksudkan sebagai rujukan bagi penetapan
sasaran inflasi. Selain itu, hal yang paling penting dalam kesepakatan ini
adalah adanya kesepahaman akan pentingnya koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter. Nota kesepakatan ini, antara lain, bertujuan  untuk: i) mengatur proses
koordinasi dan menentukan peran dan tanggung jawab Pemerintah dan Bank
Indonesia dalam penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi; ii)
membentuk dan mengarahkan harapan masyarakat mengenai tingkat inflasi di
masa datang (inflation expectation); iii) memberikan pedoman kepada pelaku
pasar dan pembuat kebijakan dalam rangka mencapai dan mengendalikan
inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan; iv) memberikan keyakinan
kepada masyarakat mengenai komitmen bersama antara Pemerintah dan
Bank Indonesia dalam mencapai dan mengendalikan inflasi pada tingkat
yang rendah dan stabil; dan v) mewujudkan terselenggaranya transparansi
dan akuntabilitas kebijakan ekonomi.
Dalam nota kesepakatan tersebut jenis sasaran inflasi yang akan
ditetapkan Pemerintah dapat berupa inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK)
atau Inflasi Inti (Core Inflation) dengan bentuk dapat berupa: i) kisaran
(range); ii) titik (point); atau iii) titik dengan toleransi (point with deviation). 
Inflasi IHK (headline inflation) adalah kenaikan IHK dari waktu ke waktu

46
Pengendalian Inflasi di Indonesia

tertentu.  Sementara Inflasi Inti (core inflation) adalah bagian Inflasi IHK
yang lebih bersifat persisten. Inflasi Inti diukur dengan mengeluarkan unsur
perubahan harga yang diatur Pemerintah (administered price) dan harga yang
bergejolak (volatile) sebagai akibat gangguan pasokan karena musim, sistem
distribusi, dan bencana alam.
Berdasarkan nota kesepakatan tersebut, Bank Indonesia mengajukan
usulan sasaran inflasi kepada Pemerintah untuk jangka waktu tiga tahun
berikutnya. Setelah dibahas bersama Pemerintah dan Bank Indonesia,
pemerintah menetapkan sasaran inflasi untuk jangka waktu tiga tahun
berikutnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sasaran inflasi
yang telah ditetapkan tersebut diumumkan kepada publik agar dapat menjadi
jangkar (anchor) ekspektasi inflasi bagi masyarakat.
Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun
2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012, sasaran inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk periode 2013-2015, masing-masing sebesar 4,5%,
4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi +1%. Sasaran inflasi untuk tahun
2016, 2017 dan 2018 telah ditetapkan dalam PMK No 93/PMK.011/2014
tanggal 21 Mei 2014 dengan besaran sasaran inflasi masing-masing adalah
4,0%, 4,0%, dan 3,5% masing-masing dengan deviasi +1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku
usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan
sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil.
Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa berkomitmen untuk mencapai
sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang
konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian
inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk
dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor)
pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan.  Angka target atau sasaran inflasi
dapat dilihat pada website Bank Indonesia atau website instansi Pemerintah
lainnya, seperti Kementerian Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau
Bappenas.
Sebelumnya, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Setelah dilakukan amandemen
sehingga menjadi UU No.3 Tahun 2004, kewenangan menetapkan sasaran
inflasi berada di tangan Pemerintah. Amandemen itu dilakukan dalam rangka
meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi.

47
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Secara umum, alur koordinasi penetapan sasaran inflasi nasional oleh


pemerintah dan Bank Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4-1.

Gambar 4‑1.
Alur Penetapan Sasaran Inflasi

������������������������
������������������������������������������

����������������
�����������������������������
��������������������������

��������������������������
���������������������������

�����������������������������
�������������������������

���������������������
������������������������������������������������������������

��������������������������
��������������������������������������������������������������������������

Dalam penetapan sasaran inflasi, terdapat beberapa faktor yang menjadi


pertimbangan pemerintah dan Bank Indonesia yakni:
1) Karakteristik Inflasi
Peran sisi supply sangat dominan dalam memengaruhi inflasi Indonesia.
Dalam 20 tahun terakhir, inflasi terendah mencapai sekitar 5% (kecuali
tahun 2009), didukung oleh (i) terjaganya pasokan bahan pangan pokok,
dan (ii) minimalnya kenaikan administered prices. Inflasi inti yang
mencerminkan sisi demand dalam satu dekade terakhir berada dalam tren
menurun. Selain itu, persistensi inflasi masih cukup tinggi (sekitar 0,8 –
0,9).

48
Pengendalian Inflasi di Indonesia

2) Transmisi Kebijakan Moneter


Pengendalian inflasi dengan kebijakan moneter sangat dipengaruhi oleh
transmisi kebijakan moneter. Hasil empiris menunjukkan sensitivitas
inflasi terhadap BI Rate relatif kecil, terutama dalam situasi ekses
likuiditas. Dinamika inflasi masih dipengaruhi secara signifikan oleh
siklus perkembangan besaran moneter. Lag kebijakan moneter sekitar 4 –
6 triwulan.
3) Faktor Risiko
Inflasi Indonesia dipengaruhi oleh faktor risiko, baik yang berasal dari
eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, faktor risiko berasal dari
tingginya ketidakpastian ekonomi global yang berpengaruh pada harga
komoditas dan nilai tukar. Sementara dari sisi domestik, faktor risiko di
antaranya berasal dari masih tingginya ketidakpastian kebijakan energi
nasional dan proyek infrastruktur
4) Kredibilitas Bank Indonesia
Kemampuan Bank Indonesia untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan memengaruhi kredibilitas kebijakan yang diambil. Dalam
kurun waktu 9 tahun (2005 – 2014) sejak implementasi Inflation Targeting
Framework, sebanyak 2 kali inflasi berada dalam rentang sasarannya,
yaitu 2007 dan 2012. Hasil asesmen menyebutkan secara umum, Bank
Indonesia dipandang cukup kredibel, terkecuali pada periode adanya
kenaikan administered prices (BBM).

4.3. Tantangan Pengendalian Inflasi


Pencapaian suatu target inflasi dengan tingkat fluktuasi yang minimal,
merupakan kerangka dasar tujuan kebijakan ekonomi makro di berbagai negara
maju dan berkembang. Inflasi yang rendah dan stabil mencerminkan stabilitas
kondisi ekonomi makro. Faktor ini sangat penting bagi terselenggaranya proses
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat
penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari sisi
permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral.

49
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Sejauh ini karakteristik inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh


faktor non-moneter. Di tingkat daerah, peran inflasi daerah di luar Jakarta
terhadap inflasi nasional sangat besar dengan karakteristik daerah yang
berbeda. Karakteristik ekonomi yang berbeda antardaerah menyebabkan
adanya implikasi yang berbeda dari setiap kebijakan makro. Selain itu,
disparitas antardaerah juga masih cukup besar dilihat dari sisi harga, inflasi,
pendapatan masyarakat mapun akses terhadap sektor keuangan.
Dari hasil penelitian,27 karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung
bergejolak yang utamanya dipengaruhi oleh sisi supply berkenaan dengan
gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Kebijakan
otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih luas bagi daerah dalam
proses pembangunan, juga berpengaruh dalam perumusan kebijakan moneter
kedepan yang harus semakin mempertimbangkan aspek spasial. Permasalahan
kelancaran distribusi dan pasokan barang kerapkali menjadi pemicu utama
terjadinya gejolak harga. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis nasional
yang belum didukung oleh infrastruktur konektivitas yang memadai.
Di Indonesia, kendala struktural di sektor riil kerap menimbulkan
ketidakstabilan harga. Kendala struktural tersebut seperti disampaikan oleh
Gubernur Bank Indonesia28 adalah:
(i) Terbatasnya kapasitas produksi di dalam negeri, khususnya komoditas
pangan strategis, karena produktivitas yang rendah dan luas lahan yang
semakin menyusut. Beberapa komoditas pangan masih mengandalkan
tambahan impor. Hal ini juga diperburuk dengan belum adanya instrumen
stabilisasi harga strategis.
(ii) Nilai tukar Rupiah yang rentan terhadap gejolak eksternal karena masih
tingginya ketergantungan pada ekspor berbasis sumber daya alam dan
bahan baku impor.
(iii) Produksi pangan yang rentan terhadap gangguan pasokan karena
perubahan iklim yang semakin sulit diantisipasi.
(iv) Masih tingginya ketergantungan energi nasional pada impor BBM dan
LPG.

27 Paper “Dinamika dan Heterogenitas Inflasi Regional di Indonesia”, M.H.A Ridhwan et al, 2013, Kajian Ekonomi
Regional Bank Indonesia.
28 Pidato Gubernur Bank Indonesia dalam Rakornas VI TPID 2015.

50
Pengendalian Inflasi di Indonesia

(v) Pasar yang tidak efisien sebagaimana tercermin pada rantai distribusi
yang panjang dan didominasi oleh segelintir pelaku besar. Di beberapa
kelompok komoditas khususnya bahan pangan, struktur pasar cenderung
kurang kompetitif dengan dominasi pada kelompok pelaku tertentu
sehingga harga di pasar tidak efisien.
(vi) Masih lemahnya konektivitas antardaerah. Logistik belum memadai
sehingga sangat diperlukan infrastruktur pelabuhan yang memadai agar
perdagangan antardaerah semakin intensif terutama karena kondisi
geografis Indonesia berupa kepulauan.
Selain dihadapkan pada berbagai tantangan struktural, permasalahan inflasi
sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah yang unik sehingga seringkali
membutuhkan penanganan tersendiri. Sebagai contoh, masih terbatasnya arus
informasi di antara pelaku ekonomi, tingginya ketergantungan pasokan antara
satu daerah dan daerah lainnya, serta belum optimalnya proses sinkronisasi
perencanaan pembangunan di daerah dalam mendukung pencapaian sasaran
inflasi. Permasalahan serta karakteristik suatu daerah juga saling terkait dengan
daerah lainnya, sehingga penanganannya memerlukan sinergi kebijakan, baik
antara daerah dan daerah lain, daerah dengan pusat, maupun di tingkat pusat
dengan pusat.
Dengan kondisi tersebut, inflasi tidak bisa hanya direspon oleh kebijakan
moneter semata yang merupakan tugas bank sentral. Untuk menurunkan
inflasi pada level yang rendah dan stabil perlu dukungan dari Pemerintah
yang mempunyai kewenangan untuk mengatasi gangguan dari sisi supply,
termasuk terkait gejolak harga pangan dan harga yang diatur pemerintah.
Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut,
untuk mencapai inflasi yang rendah memerlukan kerjasama dan koordinasi
lintas instansi. Diperlukan koordinasi yang intensif dan partisipatif di berbagai
sektor, lintas Kementerian, serta melibatkan Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
Sebagai contoh koordinasi antara kebijakan moneter, fiskal dan sektoral
dapat memengaruhi inflasi inti adalah ketika kebijakan moneter melalui
manajemen sisi permintaan dan stabilisasi kurs didukung penuh oleh
pemerintah melalui kebijakan fiskal dan sektoral yang meningkatkan kapasitas
perekonomian. Pengendalian inflasi administered priced akan sangat efisien
apabila kebijakan fiskal Pemerintah berkoordinasi dengan bank sentral

51
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

terkait besaran dan timing penyesuaian harga BBM, TDL, LPG, rokok, tarif
angkutan, tarif tol, Puskesmas, tarif PAM, dan sebagainya. Sedangkan dari
sisi pengendalian inflasi volatile food sangat perlu didukung oleh kebijakan
sektoral yang mendukung kelancaran pasokan dan distribusi bahan pangan
yang rentan terhadap gejolak/shocks. Koordinasi serta komitmen yang kuat
antar pemegang kebijakan tersebut sangat penting dilakukan, yang pada
akhirnya akan memengaruhi efektivitas pengendalian inflasi yang dilakukan
oleh bank sentral.
Selain perlunya koordinasi antar pemegang kebijakan di level pusat,
pengendalian inflasi di Indonesia secara nasional juga perlu mendapat
dukungan dari daerah. Hal ini mengingat inflasi nasional dibentuk oleh
hampir 81% inflasi daerah (di luar Jakarta), dan merupakan hasil agregasi dari
inflasi sejumlah 82 kota di Indonesia. Bobot yang besar pada kota-kota di luar
Jakarta merupakan cermin dari besarnya peran daerah dalam pembentukan
inflasi nasional. Wilayah Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan
dengan kondisi geografis yang berbeda juga menyebabkan faktor dan pola
yang memengaruhi pembentukan harga antardaerah menjadi beragam. Oleh
karenanya, upaya pengendalian inflasi dalam rangka menciptakan stabilitas
harga di tingkat nasional hanya dapat diwujudkan jika stabilitas harga terjadi
pada tingkat daerah.

4.4. Mekanisme Kerja Pengendalian Inflasi


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara umum, tekanan inflasi di
Indonesia dipengaruhi baik dari sisi supply (cost push inflation), sisi demand
(demand pull inflation) maupun ekspektasi inflasi. Untuk mencapai sasaran
inflasi yang telah ditetapkan diperlukan bauran kebijakan yang komprehensif
dari kebijakan moneter, kebijakan fiskal serta kebijakan sektoral, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Oleh karenanya diperlukan koordinasi yang
kuat antarotoritas, baik ditingkat pusat maupun daerah, seperti yang disajikan
pada Gambar 4-2.
Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi
yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim
Pengendalian Inflasi (TPI) sejak tahun 2005 dan Pokjanas Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) di level pusat sejak tahun 2011. Anggota TPI,
terdiri dari Bank Indonesia dan beberapa kementerian terkait di Pemerintah

52
Pengendalian Inflasi di Indonesia

Pusat, yakni: (1) Kementerian Keuangan, (2) Kementerian Energi dan


Sumber Daya Mineral, (3) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
(4) Badan Urusan Logistik, (5) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
(6) Kementerian Perhubungan, (7) Kementerian Pertanian, (8) Kementerian
Perdagangan, dan (9) Biro Pusat Statistik. Sedangkan Kelompok Kerja
Nasional (Pokjanas) TPID diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat
memperkuat efektivitas peran pengendalian inflasi. Pokjanas TPID merupakan
sinergi dari Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
dan Kementerian Dalam Negeri.

Gambar 4‑2.
Koordinasi Pengendalian Inflasi

�������������������������������������
������������������������������������
�������������������������������
���������������������������������������� ������������
����������������������������������

�����������������
���������������������������������������
�������������������������������������������
������������������������������������ ��������������������������� �����������

�������������������
�����������������������������������
������������������������������������� ���������������������
��������������

Mengingat peran koordinasi tidak hanya penting di level pusat tetapi


juga daerah, maka sejak tahun 2008 koordinasi pengendalian inflasi diperluas
hingga ke level daerah yang beranggotakan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia, beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemerintah
Daerah serta instansi terkait lainnya melalui pembentukan Tim Pengendalian
Inflasi di level daerah (TPID) sejak tahun 2008. Pembentukan TPID didasari
pada kenyataan bahwa pengendalian inflasi daerah memegang peranan
penting untuk mencapai inflasi nasional yang rendah dan stabil.
Sejak dibentuk pada tahun 2008, TPID berkembang sangat pesat dan
jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada saat penyelenggaraan
Rakornas TPID yang pertama di Bali tahun 2010, tercatat 38 kota yang telah

53
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

memiliki TPID. Pada tahun 2011, dari total 66 kota yang menjadi dasar
penghitungan inflasi di Indonesia oleh BPS, telah terbentuk TPID di 55
kota/kabupaten. Pada tahun 2013, jumlah TPID berkembang mencapai 183.
Pertumbuhan TPID di kabupaten/kota di seluruh Indonesia mencapai lebih
dari 2 (dua) kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, telah terbentuk
TPID di 33 provinsi dan 168 kabupaten/kota atau 337 TPID. Perkembangan
tersebut terus berlanjut hingga tahun 2015 jumlah TPID yang telah terbentuk
secara formal (melalui Nota Kesepahaman, Perjanjian Kerja Sama dan Surat
Keputusan Gubernur/Walikota/Bupati) adalah sebanyak 439 TPID (34 TPID
Provinsi dan 405 TPID Kab/Kota) yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan terbitnya Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) Nomor 027/1696/SJ Tanggal 2 April 2013 tentang
Menjaga Keterjangkauan Barang dan Jasa Di Daerah yang menjadi acuan
bagi pembentukan TPID di daerah.

Gambar 4‑3.
Perkembangan Jumlah TPID

�����������������������������
������������������ ������������������

������������� ����������� �����������

�������������������� ������������������ ����������� �����������

������������� ���������� ����������

����������������� ���������������������� ����������������������

�������������� ����������� �����������

�����������
������������������� ����������� �����������
��������

��������������� ����������� ����������

������������������ ���������������������� �������������


��������

�����������������������
������������� ��������������

Semakin luasnya keberadaan TPID memberikan optimisme terhadap


terciptanya stabilitas harga, mengingat kendala-kendala yang kerap memicu
inflasi di daerah hanya dapat diatasi melalui kebijakan yang bersifat lintas
sektor dan lintas daerah. Hal ini perlu diimbangi dengan penguatan koordinasi

54
Pengendalian Inflasi di Indonesia

pusat-daerah sehingga dapat secara efektif mendukung pencapaian sasaran


inflasi nasional.
Dalam rangka mencapai dan menjaga stabilitas inflasi di daerahnya, TPID
bertugas untuk:
1) Menjaga dan meningkatkan produktivitas, ketersediaan pasokan,
kelancaran distribusi hasil pertanian, khususnya bahan pokok;
2) Mendorong pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang
mendukung poin 1;
3) Mendorong terciptanya struktur pasar dan tata niaga yang kompetitif dan
efisien;
4) Mengelola dampak penyesuaian harga barang dan jasa yang ditetapkan
Pemerintah Pusat dan Daerah;
5) Mendorong ketersediaan informasi terkait produksi, stok, dan harga;
6) Melakukan koordinasi intensif antar SKPD, KPw Bank Indonesia, Kantor
K/L terkait di daerah, untuk menjamin produksi, ketersediaan pasokan,
dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok;
7) TPID sebagai wadah koordinasi pengendalian inflasi di daerah.
Setelah terbentuk, TPI dan TPID dalam perjalanannya saling berkoordinasi
dalam rangka pengendalian inflasi di level pusat dan level daerah. Koordinasi
antara tim pengendali inflasi di level pusat dan tim pengendali inflasi daerah
dilakukan melalui kelompok kerja nasional (Pokjanas) TPID. Pokjanas TPID
bertujuan untuk: (i) koordinasi dan sinkronisasi kebijakan untuk mendukung
upaya stabilisasi harga di daerah; (ii) sinergi sumber daya dalam rangka
koordinasi dan pemantauan pelaksanaan pengelolaan inflasi daerah; dan (iii)
pertukaran data dan informasi yang terkait dengan upaya stabilisasi harga di
daerah. Di sisi lain, dengan meningkatnya jumlah TPID secara signifikan,
diperlukan strategi untuk memperkuat koordinasi, baik di antara TPID
maupun antara TPID dan Pokjanas TPID dan TPI.
Dalam rangka pengendalian inflasi di level propinsi, masing-masing TPID
Kabupaten/Kota akan melakukan koordinasi melalui rapat koordinasi daerah.
Hasil rapat koordinasi di level propinsi selanjutnya akan dibawa pada forum
Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) dalam rangka pengendalian inflasi

55
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

di level wilayah. Dalam perkembangannya, sejalan dengan upaya untuk


mendorong kerja sama antardaerah dan dengan memperhatikan keterkaitan
ekonomi antardaerah yang lebih kompleks, maka pertemuan lintas TPID
diarahkan untuk tidak saja dilakukan antar TPID dalam satu wilayah tertentu.
Forum koordinasi juga perlu dilakukan lintas wilayah, misalkan antara
Jakarta dan Lampung, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, dan sebagainya.
Melalui mekanisme koordinasi ini, koordinasi antar TPID provinsi tidak
hanya terbatas pada forum Rakorwil namun disesuaikan dengan kebutuhan
dan program kerja masing-masing TPID provinsi.
Koordinasi serta pertukaran data pengendalian inflasi antara level pusat
dan daerah yang diwakili oleh kelompok kerja nasional (Pokjanas) dan
seluruh TPID dilakukan melalui rapat koordinasi nasional ataupun rapat
koordinasi pusat dan daerah. Rapat koordinasi nasional merupakan forum
koordinasi tertinggi TPID yang terdiri dari seluruh TPID di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, TPI Pusat dan Pokjanas TPID yang nantinya menghasilkan
solusi dan langkah yang perlu ditempuh TPID atas permasalahan terkait
stabilitas harga. Rumusan solusi yang disepakati bersama akan menjadi acuan
dalam menetapkan arah program serta kebijakan TPID kedepan. Rakornas
TPID hingga 2015 telah berlangsung sebanyak 6 kali semenjak dilaksanakan
pertama kali pada tahun 2010.
Peran strategis Pokjanas TPID semakin dirasakan seiring bertambahnya
jumlah TPID dan kompleksitas permasalahan yang memengaruhi stabilitas
harga di daerah. Upaya stabilisasi harga membutuhkan usaha maksimal
sehingga harmonisasi kebijakan lintas sektor, lintas kementerian, pemerintah
pusat maupun daerah menjadi sangat penting. Berkembangnya jumlah TPID,
membutuhkan penguatan mekanisme business process dari tingkat kabupaten/
kota, provinsi, wilayah, hingga di level pusat yang dikoordinasikan oleh
Pokjanas TPID.
Mekanisme koordinasi pengendalian inflasi di Indonesia dapat
digambarkan melalui diagram berikut:

56
Pengendalian Inflasi di Indonesia

Gambar 4‑4.
Mekanisme Koordinasi (Skema TPI-Pokjanas TPID)

Koordinasi TPI
Pokjanas TPID

4.5. Hasil Koordinasi Pengendalian Inflasi


Melalui berbagai forum koordinasi, seperti Rakornas TPID, Rakor Pusat
Daerah, Rakorwil TPID, dan forum-forum lain yang diinisiasi oleh TPID,
berbagai program strategis diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan
pengendalian inflasi daerah, baik masalah jangka pendek maupun yang bersifat
struktural. Beberapa respon TPID tersebut, antara lain: meningkatkan akses
informasi harga, mendorong implementasi kerja sama perdagangan antara
daerah surplus dan daerah defisit, dan mendorong penyelarasan asumsi inflasi
daerah agar sejalan dengan target sasaran inflasi di tingkat nasional. Terkait
dengan kenaikan harga barang kelompok administered price seperti BBM
bersubsidi, TPID mengupayakan pengelolaan dampak lebih lanjut dengan
pengaturan kebijakan pengendalian tarif angkutan darat dan pengaturan

57
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

kelancaran distribusi bahan pokok bagi kelompok volatile food, serta turut
berperan aktif dalam memfasilitasi pelaksanaan program perlindungan sosial
yang diinisiasi oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat.
Di tingkat daerah, berbagai inovasi kebijakan turut berperan besar dalam
pengendalian inflasi. TPI dan Pokjanas TPID bekerja sama dengan seluruh
TPID terus melanjutkan program strategis guna meminimalkan tekanan
inflasi secara berkelanjutan. Secara umum, fokus program pengendalian
inflasi, baik di level pusat maupun daerah, diarahkan pada upaya menjaga dan
melaksanakan 4K, yakni: (i) Ketersediaan barang dan jasa; (ii) Keterjangkauan
harga; (iii) Kelancaran distribusi; dan (iv) Komunikasi yang efektif untuk
mengelola persepsi masyarakat terhadap harga-harga.
Keberadaan TPI, Pokjanas TPID dan TPID telah memberikan dampak
yang besar dalam pengendalian inflasi level nasional maupun daerah. Banyak
terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Tim Pengendali Inflasi yang pada
akhirnya mampu mengatasi permasalahan penyebab inflasi daerah, baik yang
bersifat jangka pendek maupun jangka menengah-panjang.
Hasil-hasil yang telah dicapai oleh TPID dalam pengendalian inflasi
seperti semboyan pengendalian inflasi 4K yang dilaksanakan, antara lain,
adalah:
1. TPID mulai menyentuh upaya untuk mengatasi permasalahan struktural
terkait dengan ketersediaan barang dan jasa. Sebagai contoh, TPID
di Kalimantan Barat mampu memperkuat pasokan padi di daerahnya
dengan cara memelopori perubahan metode penanaman padi yang
menggunakan bibit 20-30 batang perlubang tanam. TPID di Pontianak
mampu memperkuat pasokan bawang dan cabe merah di Pontianak
dengan cara pengembangan kawasan dan pemberian bantuan bibit unggul
bagi para petani. TPID Sumatera Utara mampu meningkatkan pasokan
dan produksi beras setempat melalui pemberian fasilitas pembentukan
lahan panen baru di Pulau Kampai Langkat. Upaya menjaga ketersediaan
pasokan barang ini dilakukan guna pengendalian gejolak harga terutama
menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.
2. TPID mulai menyentuh upaya untuk mengatasi permasalahan terkait
keterjangkauan harga di daerah, contohnya melalui program pasar
penyeimbang. Pasar penyeimbang merupakan pasar alternatif yang sengaja
dibuat di antara pasar yang sudah ada dengan menjual barang menggunakan
harga normal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ekspektasi positif

58
Pengendalian Inflasi di Indonesia

masyarakat dan menjaga kemungkinan terjadinya permainan harga oleh


pedagang. Selain itu, upaya menciptakan keterjangkauan harga dilakukan
melalui program sinergi TPID dengan produsen dan retailer serta kerja
sama TPID dengan sentra produsen (koperasi hortikultura lestari) dan
retailer. Program ini salah satunya berupaya untuk memotong rantai
distribusi pangan.
3. TPID mulai menyentuh permasalahan struktural terkait dengan kelancaran
distribusi barang dan jasa terutama di kawasan Timur Indonesia melalui
program efisiensi bongkar muat pelabuhan. Program ini meningkatkan
jam operasional kegiatan bongkar muat pelabuhan menjadi 24 jam dan
meningkatkan sarana dan prasarana pelabuhan untuk menunjang kegiatan
bongkar muat. Sebagai contoh, TPID NTT mengidentifikasi bahwa
produksi lokal bahan makanan di NTT sangat terbatas dan tergantung
dari daerah lain. Distribusi dari daerah lain juga cenderung terhambat
karena kondisi cuaca yang tidak mendukung mengingat jalur laut adalah
transportasi utama menuju NTT. Selain itu, kapasitas bongkar muat
sangat terbatas (10 box per jam). Dengan bongkar muat yang tidak efisien,
biaya sewa meningkat yang pada akhirnya berimbas kepada harga yang
dibebankan kepada masyarakat. Mengetahui permasalahan tersebut, TPID
NTT melakukan program kerja jangka pendek dan jangka menengah.
Program kerja jangka pendek yaitu berkoordinasi dengan pihak Tenaga
Kerja Bongkar Muat (TKBM) pelabuhan dan pengusaha sehingga dapat
dilakukan penambahan jam kerja dari 10 jam menjadi 18 jam. Sedangkan
program jangka menengah adalah mengajukan permohonan penambahan
infrastruktur pelabuhan, yaitu peralatan bongkar muat di pelabuhan,
kepada pemerintah daerah melalui surat ke Gubernur. Usaha yang
dilakukan oleh TPID NTT pada akhir tahun 2012 sudah sangat dirasakan
yaitu aktivitas Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) meningkat menjadi
18 jam serta terjadi peningkatan kapasitas bongkar muat peti kemas
yang signifikan dengan adanya peralatan baru. Upaya ini pada akhirnya
meningkatkan efisiensi distribusi dan berdampak kepada harga barang
yang sesuai dengan harga keekonomiannya.
4. TPID mendorong peningkatan akses informasi serta transparansi terkait
harga antardaerah melalui pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis (PIHPS). Terbatasnya akses informasi harga pangan merupakan
salah satu faktor pendorong semakin tingginya perbedaan harga barang
antardaerah. Dengan adanya PIHPS, maka transparansi serta pantauan

59
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

harga yang disajikan mampu menjadi panduan bagi TPID dalam


mengambil kebijakan dan mengarahkan ekspektasi masyarakat. Sebagai
contoh, melalui informasi harga bahan pokok, Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dapat memetakan kebutuhan serta meningkatkan distribusi
komoditas bahan pokok dari kabupaten/kota produsen ke kabupaten/kota
konsumen guna menjaga stabilitas harga bahan pokok. Selain itu, dalam
upaya menjaga ekspektasi masyarakat, TPID juga melakukan program
sinergi kebijakan atasi inflasi musiman yang berupa komunikasi intensif
dengan pelaku usaha dan menjaga ekspektasi masyarakat. Hal ini penting
dilakukan mengingat bahwa pengendalian inflasi daerah dihadapkan pada
permasalahan struktural yang membutuhkan solusi jangka menengah-
panjang dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
Antar TPID juga penting untuk melakukan program strategis penguatan
kerjasama antardaerah terkait distribusi, perdagangan serta pertukaran
informasi dalam rangka mencapai serta memelihara kestabilan harga di
daerahnya. Program kerja sama antardaerah akan memberikan manfaat
bagi kedua belah pihak. Sebagai contoh, dalam kerjasama terkait distribusi
dan perdagangan, daerah penerima maupun pengekspor barang akan saling
diuntungkan. Dengan adanya jaminan ketersediaan barang dari daerah
pemasok maka kestabilan harga di daerah konsumen akan relatif terjaga.
Demikian pula bagi daerah pemasok, dengan adanya jaminan ketersediaan
pasar pada daerah tertentu maka kestabilan harga yang wajar pada tingkat
petani juga dapat dijaga.
Inisiatif program kerja sama perdagangan antardaerah dalam rangka
mendorong terwujudnya stabilitas harga mulai diinisiasi oleh beberapa
daerah pada tahun 2014. Pada tahun 2014, Pemda DKI Jakarta sebagai daerah
konsumen yang membutuhkan pasokan komoditas pangan dari daerah lain
telah menginisiasi kerja sama perdagangan dengan provinsi Nusa Tenggara
Timur dan Lampung. Namun, hingga saat ini, belum banyak Pemda yang
memiliki inisiatif untuk menginisiasi pengembangan kerja sama perdagangan
antardaerah. Sejauh ini, praktek aktivitas perdagangan antardaerah masih
sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar yang dilakukan oleh para
pedagang/pebisnis lokal. Ke depan, kerja sama antardaerah dalam rangka
mendorong aktifitas perdagangan perlu lebih dioptimalkan.
Upaya pengendalian inflasi akan semakin efektif apabila setiap daerah
saling bersinergi satu sama lain. Berbagai langkah koordinasi pengendalian

60
Pengendalian Inflasi di Indonesia

inflasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Pemerintah Pusat dan
Daerah melalui TPID sejauh ini telah cukup mampu mencapai tingkat inflasi
yang terkendali. Sebagai contoh, pada tahun 2014 meskipun terjadi reformasi
subsidi energi yang ditandai dengan peningkatan harga BBM, namun dampak
kenaikan harga BBM tersebut dapat diminimalkan. Hal ini tercermin pada
lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013
(8,38%).29
Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari peran aktif daerah
yang semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan masyarakat,
khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga
kelancaran distribusi. Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan
oleh TPID mulai menyentuh persoalan struktural yang perlu diatasi segera
demi lebih terjaminnya stabilitas harga, seperti masalah tata niaga produk
pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerja sama
perdagangan antardaerah. Upaya yang telah ditempuh oleh Pokjanas TPI dan
TPID di berbagai daerah melalui komunikasi secara intensif kepada publik di
berbagai media komunikasi mampu mengelola ekspektasi inflasi masyarakat
sesuai yang diharapkan.
Ke depan tantangan pengendalian inflasi akan semakin besar. Permasalahan
struktural yang dihadapi seperti kapasitas produksi dalam negeri yang terbatas,
kebijakan perdagangan dan tata niaga yang belum efisien, struktur pasar yang
kurang kompetitif khususnya bahan pangan, serta keterbatasan infrastruktur
di Kawasan Timur Indonesia harus segera diatasi. Oleh karena itu, kedepan
peran TPID perlu semakin diperkuat. Tingkat kesadaran dan komitmen daerah
di dalam TPID adalah aspek yang paling penting bagi pengembangan TPID
di daerah itu sendiri. Keterlibatan Kepala Daerah secara aktif di dalam TPID
tidak hanya akan memberikan dorongan bagi seluruh perangkat daerah untuk
bekerja lebih keras, namun yang lebih penting adalah mampu mensinergikan
kebijakan yang dibangun secara parsial atau sektoral. Karakteristik daerah
yang beraneka ragam dengan permasalahan dan tantangan di setiap daerah
yang berbeda-beda, secara tidak langsung berimplikasi pada program dan
aktivitas TPID di daerah yang sangat bervariasi. Oleh karena itu, upaya untuk
mengatasi persoalan struktural perlu dilakukan secara berkesinambungan
melalui kontribusi TPID yang semakin konkrit.

29 Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2014 Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (POKJANAS TPID).

61
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

DAFTAR PUSTAKA

Aisen, A. & Veiga, F.J. (2006). “Does Political Instability Lead to Higher
Inflation? A Panel Data Analysis.” Journal of Money, Credit and Banking
38(5), 1379–1389.
Anugrah, Donni Fajar (2012),’ The Long and Short-term Determinants of
Inflation in Indonesia’s Regions’, http://www.jsrsai.jp/Annual_Meeting/
PROG_49/Resume3/fC06-2%20Donni%20F.%20Anugrah.pdf
Arimurti, Trinil.; Permata, Meily Ika., & Kurniati, Ina Nurmalia (2012),
‘Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Inflasi‘, Catatan Riset DKM
No. 14/6/DKM/BRE/Cat.
Bank Indonesia (2015). “Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Oleh Gubernur
Bank Indonesia”. Disampaikan dalam Rakornas VI TPID di Jakarta 27
Mei 2015.
Bank Indonesia (2014). “Kajian Ekonomi Regional Bank Indonesia”.
Departemen Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Moneter.
Boediono. 1998. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Cadarajat, Yayat; Permata, Meily Ika & Prasmuko, Andry., (2008),’ Apakah
Kenaikan Upah Meningkatkan Inflasi ?’, Working Paper Bank Indonesia
No. WP/03/2008
Domac, Ilker & Yucel, Eray M. (2004), ‘ What Triggers Inflation in Emerging
Market Economies?’ World Bank Policy Research Working Paper No.
3376.
Fischer, S., 1993. “The Role of Macroeconomic Factors in Economic Growth”,
Journal of Monetary Economics, vol. 32, pp. 485-512.
Gerlach, Stefan & Tillman, Peter (2011), ‘Inflation Targeting and Inflation
Persistence in Asia –Pacific’ Hongkong Institute for Monetary Research
Working Paper No. 25/2011.
Hossain, Akhtar (2005), ‘ The Sources and Dynamics of Inflation in Indonesia:
An ECM Model Estimation’. Journal of Applied Econometrics and
International Development. AEID.Vol. 5-4 (2005)

62
Hutabarat, A.R. (2005), Mengapa Inflasi Indonesia Lebih Tinggi dari Inflasi
Negara Tetangga?’, Catatan Riset, Bank Indonesia, No 7/50/DKM/BRE/
Cat.
Hutabarat, A.R. (2005), ‘Determinan Inflasi Indonesia’, Occasional Paper,
Bank Indonesia No. OP/06/2005.
Ito, Takatoshi & Sato, Kiyotaka (2006), ‘ Exchange Rate Changes and Inflation
in Post-Crisis Asian Economies : VAR Analysis of The Exchange Rate
Pass Through’ National Bureau of Economic Research Working Paper
No. 12395
Kurniati, Yati (2007),’ Exchange Rate Pass Through in Indonesia’, Working
Paper Bank Indonesia No. WP/09/2007
Listiani, N 2006, ‘Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi
Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 1970-2004‘, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, Vol. 14, No. 1, pp. 42-73.
Mankiew, Gregory (2012), ’Principles of Macroeconomics”. South-Western
Cengage Learning, USA.
Mohanty, M.S. & Klau, Marc (2001), ‘What Determines Inflation in Emerging
Market Economies ?’. BIS Paper No. 8.
Pokjanas TPID (2014). “Buku Petunjuk TPID”. Kelompok Kerja Nasional
TPID Maret 2014.
Pokjanas TPID (2014). Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2014 Kelompok
Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (POKJANAS TPID)
Prastowo, N.J. (2008), ‘Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga
Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi’, Working Paper, Bank
Indonesia, No. WP/07/2008.
Quah, Danny & Vahey, Shaun P. (1996), ‘Measuring Core Inflation’ The
Economic Journal, Vol. 105, No. 432. (Sep., 1995), pp. 1130-1144.
Ramakhrisnan, Uma & Vamvakidis, Athanasios., ‘Forecasting Inflation in
Indonesia’ International Monetary Fund Working Paper No. WP/02/2011
Ridhwan, Masagus M., Werdaningtyas, Hesti & Grace, Melva Viva., (2013),
‘Dinamika dan Heterogenitas Inflasi di Indonesia’, Working Paper Bank
Indonesia No. WP/06/2013.

63
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya

Roger, S. (1998). “Core Inflation: Concepts, Uses and Measurement”


Discussion Paper G98/9 Reserves Bank of New Zealand.
Rumbaugh, Thomas (2012), ‘Indonesia Sustaining Growth During Global
Volatility’ International Monetary Fund.
Suseno dan Astiyah, Siti (2009), ‘Inflasi’, Buku Seri Kebanksentralan PPSK-
BI,
Siregar, R. and Rajaguru, G. (2002), “Base Money and Exchange Rate:
Sources of Inflation in Indonesia During the Post-1997 Financial Crisis”,
Policy Discussion Paper No. 02/21, Center for International Economic
Studies, University of Adelaide.
Tjahjono, Endy D., Hutabarat, Akhis & Haryono, Erwin., (2000). “Pengukuran
Inflasi Inti (Core Inflation) di Indonesia” Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan (BEMP) Bank Indonesia edisi Maret 2000.
Utari, G A. Diah & Nurliana , Linda P. (2012), ‘Dampak Kenaikan Tarif
Tenaga Listrik Terhadap Inflasi’, Catatan Riset DKM No. 14/5/DKM/
BRE/CR
Vinayagathasan, Thanabalasingam (2013),’ Inflation and Economic Growth :
A Dynamic Panel Threshold Analysis for Asian Economies’, Journal of
Asian Economies Vol. 26, page 31-41
Wimanda, Rizki., Prasmuko, Andri & Oktiyanto, Fajar (2011).’Karakteristik
Inflasi Indonesia: Sebuah Rangkuman Studi yang Komprehensif dan
Pelajaran yang Dapat Dipetik’ Occasional Paper, Bank Indonesia No.
OP/04/2011.
Wimanda, Rizki E., Turner, Paul M., & Hall, Maximilian J.B. (2011),
‘Expectations and The Inertia Of Inflation : The Case of Indonesia’
Journal of Policy Modelling No. 22 pp. 426-438
Yanuarti, T. (2007), ‘Has Inflation Persistence in Indonesia Changed?’,
Working Paper, Bank Indonesia, No. WP/10/2007.

64
Seri Kebanksentralan No. 24

KONSEP, DINAMIKA DAN


RESPON KEBIJAKAN NILAI TUKAR
DI INDONESIA

Dr. Ferry Syarifuddin

BANK INDONESIA INSTITUTE


2015

i
Syarifuddin, Ferry
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai
Tukar Di Indonesia / Ferry Syarifuddin -- Jakarta
: BI Institute, 2016.

i-x, 91 hlm.; 15,2 cm x 22,8 cm. -- (Seri


Kebanksentralan ; 24)

Bibliografi: hlm. 90
ISSN 2528-1933

ii
Sambutan
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bank
Indonesia kembali menerbitkan publikasi seri kebanksentralan. Penerbitan
publikasi ini sejalan dengan amanat Undang-Undang kepada Bank Indonesia,
yaitu dalam rangka meningkatkan transparansi kepada masyarakat luas.
Selain itu, penerbitan seri kebanksentralan ini diharapkan bisa membantu BI
dalam mensosialisasikan tugas-tugas BI kepada masyarakat luas, sehingga
masyaakat dapat lebih memahami tugas-tugas yang diamanatkan Bank
Indonesia.
Lingkup materi yang dibahas dalam publikasi Seri Kebanksentralan
cukup luas meliputi berbagai disiplin ilmu ekonomi makro-moneter, sistem
pembayaran, lembaga keuangan, dan bidang-bidang lain terkait dengan tugas
yang diamanatkan kepada bank sentral. Pada terbitan ini, ruang lingkup
publikasi Seri Kebanksentralan akan meliputi aspek yang berkaitan dengan
konsepsi pokok, dinamika, dan respon kebijakan nilai tukar. Sebagaimana
diketahui Bank Indonesia memiliki tugas pokok menjaga kestabilan nilai
rupiah yang tercermin pada kestabilan harga dan nilai tukar. Nilai tukar dalam
berbagai kajian empiris di Indonesia menunjukkan peran yang signifikan
dalam mempengaruhi harga barang/jasa di pasar domestik. Sedemikian
pentingnya nilai tukar terhadap pembentukan harga domestik, maka Bank
Indonesia memiliki tanggung jawab menjaga kestabilan nilai tukar demi
mendukung pencapaian target inflasi yang telah dimandatkan setiap tahun
oleh pemerintah.
Untuk memudahkan masyarakat memahami materi buku ini, Penulis
berupaya menuangkannya dengan bahasa yang sederhana. Kami berharap
penerbitan buku seri kebanksentralan ini dapat memperkaya khazanah ilmu
kebanksentralan. Semoga karya ini dapat bermanfaat. Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2015


Bank Indonesia Institute

Dr. Sugeng
Direktur Eksekutif

iii
Pengantar

Dalam perekonomian terbuka dan semakin mudahnya aliran dana


antarnegara, dinamika nilai tukar yang semakin berfluktuatif menjadi
perhatian yang sangat besar bagi seluruh pihak, baik masyarakat, investor,
dan regulator kebijakan moneter. Selain sangat berpengaruh terhadap kinerja
perekonomian, nilai tukar menjadi dasar pertimbangan pergerakan investasi
keuangan antarnegara. Selain itu, semakin besarnya pelaku spekulan mata
uang, menjadikan pergerakan nilai tukar tidak semata-mata dipengaruhi oleh
pengaruh fundamental. Dengan demikian, peran regulator moneter sangat
penting untuk mencegah pergerakan nilai tukar overshoots dari kondisi
fundamentalnya. Kebijakan pengendalian nilai tukar yang didukung oleh
kebijakan devisa di berbagai negara dilakukan bervariasi dan berevolusi
bergantung kepada karakteristik ekonomi dan prioritas tujuan yang ingin
dicapai oleh masing-masing negara. Selain itu, kondisi dan sifat mikrostruktur
pasar valas juga menjadi pertimbangan jenis dan sifat kebijakan nilai tukar
yang diambil.
Pentingnya stabilitas nilai tukar bagi perekonomian dan telah menjadi
tugas Bank Indonesia untuk menjaga stabilitasnya, mendorong penulis untuk
menuangkan dan membahas nilai tukar dari sisi konsepsi pokok, dinamika,
maupun respon kebijakan oleh bank sentral. Pembahasan ini dimaksudkan
agar pembaca bisa mendapatkan gambaran hal-hal terkait nilai tukar dan bisa
memahami apa yang dilakukan bank sentral sebagai otoritas yang bertanggung
jawab menjaga stabilitas nilai tukar.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengungkapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan publikasi ini,
khususnya kepada rekan-rekan di Bank Indonesia yang telah memberikan
kontribusi dalam bahan maupun diskusi terkait penulisan materi ini. Secara
khusus, penulis menyampaian rasa terimakasih kepada Dr. Sugeng, Dr.
Solikin, Dr. Sahminan, Dr. Iskandar Simorangkir, dan Prof. Noer Azam, atas
materi, diskusi, maupun masukan berguna sehingga tersedianya publikasi ini
dalam konten maupun format yang lebih baik.

iv
Penulis menyadari publikasi ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran
dari berbagai pihak untuk penyempurnaan publikasi ini tentulah akan sangat
berharga. Akhirnya, penulis mengharapkan publikasi akan sangat berguna
bagi semua pihak, khususnya dalam pengembangan studi kebanksentralan.

Jakarta, Desember 2015

Penulis

v
Daftar Isi

Sambutan..................................................................................................... iii
Pengantar..................................................................................................... iv
Daftar Isi..................................................................................................... vi

BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1. Pengelolaan Dinamika Arus Modal dan Nilai Tukar......................... 3
1.2. Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka............................ 4
1.3. Sistem Nilai Tukar dan Devisa.......................................................... 5
1.3.1. Sistem Nilai Tukar................................................................. 6
1.3.2. Sistem Devisa........................................................................ 9

BAB 2. LANDASAN TEORI NILAI TUKAR....................................... 10


2.1. Pendekatan Fundamental atas Nilai Tukar........................................ 10
2.2. Purchasing Power Parity (PPP)........................................................ 13
2.3. Interest Rate Parity (IRP).................................................................. 14
2.3.1. Uncovered interest rate parity (UIP)..................................... 15
2.3.2. Covered interest rate parity (CIP)......................................... 15
2.4. Teori Penentuan Nilai Tukar.............................................................. 16
2.4.1. Model Mundell-Fleming........................................................ 17
2.4.1.1. Kebijakan moneter dan nilai tukar dalam model
Mundell-Fleming..................................................... 17
2.4.1.2. Kebijakan fiskal dan nilai tukar dalam model
Mundell-Fleming..................................................... 18
2.5. Model Moneter Harga Kaku (The Sticky Prices Monetary
Model/SPMM)................................................................................... 19
2.6. Model Moneter Harga Fleksibel (The Flexible Prices Monetary
Model/FPMM)................................................................................... 22
2.7. Model Keseimbangan dan Model Likuiditas..................................... 22
2.8. Model Keseimbangan Portofolio (Portofolio Balance Model/PBM) 24

vi
2.8.1. Penentuan nilai tukar jangka pendek dan kebijakan moneter
dalam model PBM................................................................. 24
2.8.2. Penyesuaian dinamis dan keseimbangan jangka panjang
dalam model PBM................................................................. 27
2.9. Konsep Permintaan dan Penawaran Valuta Asing dan Nilai Tukar... 28
2.10. Nilai Tukar Nominal, Dinamika Nilai Tukar, dan Riil...................... 29
2.11. Pendekatan Harga Aset Sebagai Penentu Nilai Tukar....................... 31
2.12. Analisis Teknikal............................................................................... 32
2.12.1. Analisis Grafis (Charting)...................................................... 34
2.12.2. Indikator - Indikator Teknis................................................... 34
2.13. Faktor Penentu Nilai Tukar: Sentimen Pasar..................................... 35
2.14. Dinamika Nilai Tukar: Overshooting................................................ 38
2.15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar – Survey Literatur. 39

BAB 3. MIKROSTRUKTUR DALAM PASAR VALAS...................... 45


3.1. Struktur Kelembagaan\Institusional Pasar Valas............................... 46
3.2. Lokasi dan Regulasi Pasar Valas....................................................... 47
3.3. Ekspektasi Nilai Tukar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 47
3.4. Peran Informasi dan Order Flow....................................................... 48
3.5. Time-Varying Volatility...................................................................... 49
3.6. Perilaku Market-Makers dan Penentuan Bid-Ask Spread.................. 50
3.7. Intensitas Perdagangan: Hot Potatoes vs. Event Uncertainty........... 51

BAB 4. REZIM NILAI TUKAR DALAM


SEJARAH INTERNASIONAL............................................................... 53
4.1. Sistem Nilai Tukar Tetap Murni........................................................ 54
4.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Penuh........................................... 55
4.3. Fixed but Adjustable Rate (FBAR).................................................... 56
4.3.1. Sistem nilai tukar terpatok (peg)........................................... 58
4.3.2. Sistem nilai tukar target zone (band)..................................... 60
4.3.3. Sistem nilai tukar mengambang terkendali........................... 61

vii
BAB 5. VOLATILITAS NILAI TUKAR DAN RESPON
BANK SENTRAL: STUDI KASUS BEBERAPA NEGARA................ 62
5.1. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara Maju.......... 62
5.1.1. Amerika Serikat..................................................................... 62
5.1.2. Australia................................................................................. 63
5.1.3. Jepang.................................................................................... 64
5.1.4. Kanada................................................................................... 64
5.1.5. Korea Selatan......................................................................... 65
5.1.6. Swiss...................................................................................... 65
5.2. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara
Berkembang....................................................................................... 66
5.2.1. Afrika Selatan........................................................................ 67
5.2.2. Argentina............................................................................... 67
5.2.3. Brasil...................................................................................... 69
5.2.4. Cina........................................................................................ 69
5.2.5. India....................................................................................... 70
5.2.6. Malaysia................................................................................. 71
5.2.7. Meksiko................................................................................. 72
5.2.8. Rusia...................................................................................... 73
5.2.9. Thailand................................................................................. 74
5.3. Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Empiris...... 75

BAB 6. KEBIJAKAN NILAI TUKAR DAN DEVISA


DI INDONESIA......................................................................................... 78
6.1. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia................................................... 79
6.2. Kebijakan Devisa di Indonesia.......................................................... 83
6.3. Sejarah Sistem Nilai Tukar dan Sistem Devisa di Indonesia............. 86
6.4. Kebijakan Nilai Tukar Terkini........................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 90

viii
Daftar Gambar

Gambar 1 Dampak Volatilitas dan Misalignment Nilai Tukar.......................... 2


Gambar 2 Pendekatan Penentuan Nilai Tukar.................................................. 11
Gambar 3 Pendekatan Fundamental Nilai Tukar.............................................. 13
Gambar 4 Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia......................... 16
Gambar 5 Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming....................... 18
Gambar 6 Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming....................... 19
Gambar 7 Overshooting Nilai Tukar dalam Model Harga Kaku...................... 21
Gambar 8 Penentuan Nilai Tukar Riil dalam Model Ekuilibrium.................... 23
Gambar 9 Stabilitas Global dalam Keseimbangan Jangka Pendek.................. 26
Gambar 10 Penawaran – Permintaan Valuta Asing ......................................... 28
Gambar 11 Dinamika Nilai Tukar Beberapa Negara Kawasan........................ 30
Gambar 12 Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Kawasan ................................. 31
Gambar 13 Dinamika Nilai Tukar Jangka Pendek dan Tren Jangka Panjang... 32
Gambar 14 Analisis Moving Average Microsoft . ............................................ 33
Gambar 15 Metode Pendekatan Teknis ........................................................... 34
Gambar 16 Dinamika Mata Uang Israel Saat Isu 911...................................... 36
Gambar 17 Dinamika Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Regional................. 37
Gambar 18 Nilai Tukar Harian: Argentina Peso per U.S. Dollar...................... 38
Gambar 19 Fenomena Overshooting................................................................ 39
Gambar 20 Sistem Nilai Tukar......................................................................... 53
Gambar 21 Keseimbangan Nilai Tukar Tetap................................................... 54
Gambar 22 Keseimbangan Nilai Tukar Mengambang...................................... 56
Gambar 23 Perkembangan Rezim Nilai Tukar di Berbagai Negara................. 60
Gambar 24 Proses Perubahan Rezim Nilai Tukar............................................. 73
Gambar 25 Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia....................... 86
Gambar 26 Perkembangan Nilai Tukar Menuju Sistem Mengambang
Fleksibel............................................................................................................ 87
Gambar 27 Sejarah Sistem Devisa di Indonesia .............................................. 87
Gambar 28 Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia............................................... 88

ix
Daftar Tabel

Tabel 1 Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional................................. 57


Tabel 2 Klasifikasi Rezim Nilai Tukar De Jure................................................ 59
Tabel 3 Perubahan Rezim Nilai Tukar di Afrika Selatan.................................. 67
Tabel 4 Respon Kebijakan Moneter Policy Mix............................................... 89

x
Pendahuluan

BAB 1 PENDAHULUAN

Nilai tukar mulai muncul sejak terjadinya transaksi jual beli barang/jasa
antarpenduduk di negara berbeda yang menggunakan mata uang berbeda pada
sistem perekonomian terbuka. Penggunaan mata uang penduduk negara lain
dilakukan pada saat penduduk suatu negara melakukan pembelian barang/jasa
dari negara lain. Sementara di sisi negara penjual akan menerima mata uang
yang diterima dari negara pembeli tersebut, baik dalam bentuk mata uang
negara bersangkutan atau mata uang negara lainnya yang sudah disepakati
sebagai mata uang internasional. Perbedaan dan perubahan harga barang yang
diperdagangkan dari waktu ke waktu yang dihitung berdasarkan mata uang
asing akan menentukan perubahan nilai tukar mata uang antarnegara yang
melakukan transaksi perdagangan.
Selanjutnya, transaksi yang melibatkan mata uang asing semakin
berkembang melalui transaksi keuangan/investasi internasional. Dalam
perekonomian global yang semakin terintegrasi, perpindahan mata uang
asing yang diterima dalam transaksi internasional, bergerak sangat cepat
dan semakin mengarah pada perpindahan non-fisik dan komposisinya terus
mendominasi transaksi internasional. Seiring perkembangan tersebut, maka
nilai tukar akan semakin besar dipengaruhi oleh pergerakan mata uang non-
fisik, baik berupa portofolio maupun investasi asing (yang kemudian lebih
dikenal dengan aliran modal asing). Dengan perkembangan nilai tukar yang
semakin cepat tersebut, maka negara-negara yang menganut sistem nilai tukar
tetap atau dengan variasinya sangat rentan terhadap arus balik modal dan
kegiatan spekulasi. Hal ini sebagaimana dialami pada era krisis nilai tukar
yang terjadi di negara-negara Amerika Latin pada awal 1990-an dan negara-
negara Asia Tenggara pada tahun 1997/98.
Teori yang mendasari perubahan nilai tukar terus mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu dalam rangka memahami dinamika perubahan nilai
tukar. Ilmu nilai tukar merupakan bagian dari ilmu ekonomi moneter yang
sangat banyak dibahas dan diteliti oleh berbagai kalangan akademis maupun
bisnis dikarenakan sangat signifikan memengaruhi aktivitas ekonomi dan
bisnis dalam konteks lokal, nasional, regional, maupun global. Sebagaimana
diketahui, nilai tukar memengaruhi perekonomian dan aktivitas bisnis melalui
saluran langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, nilai tukar akan
memengaruhi perekonomian suatu negara melalui harga barang ekspor dan

1
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

impor suatu negara (Gambar 1). Sementara secara tidak langsung, nilai tukar
dapat memengaruhi perekonomian melalui kegiatan ekspor dan impor suatu
negara.
Perubahan nilai tukar yang sangat cepat dan tidak stabil diyakini akan
mengganggu kestabilan kegiatan perdagangan internasional dan berimbas pada
pelarian modal internasional. Kondisi ini pada akhirnya akan mengganggu
kinerja sektor riil domestik, baik perdagangan, produksi, dan stabilitas harga
domestik. Pada puncaknya, hal ini akan mengganggu iklim bisnis sehingga
berpotensi membahayakan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Oleh karena itu, upaya bersama menjaga stabilitas nilai tukar, baik oleh
otoritas moneter maupun pelaku pasar keuangan, adalah mutlak diperlukan.
Dalam menjalankan kebijakan nilai tukar, otoritas moneter kadang kala
mengalami keuntungan atau bahkan kerugian jika dihitung transaksi tersebut
dengan menggunakan mata uang lokal secara marking to market. Namun
demikian, hal tersebut adalah lazim dan merupakan common practice terjadi
di berbagai otoritas moneter sepanjang dilakukan dengan prinsip tata kelola
yang baik (good corporate governance). Dalam menerapkan tata kelola yang
baik, kebijakan nilai tukar otoritas moneter harus konsisten mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, seperti menjaga kestabilan nilai tukar jangka pendek,
mengarahkan nilai tukar sesuai target inflasi menengah dan panjang, serta
mendukung competitiveness dengan negara peer. Di beberapa negara lain,

Gambar 1.
Dampak Volatilitas dan Misalignment Nilai Tukar

���������������������������
����������������� ������������������������
����������� �������������������������������
������

�������������������������� ����������������������
������������ �������������������������� ���������������������������
���������������������� ������������������������������ �������������������������
����������������� ������ �����������������������������

��������������������������
��������� ���������������������
���������������������������
���������������� �������������
�����
���������������

��������������������������

2
Pendahuluan

kebijakan nilai tukar juga diarahkan untuk mendukung kinerja perekonomian


domestik. Pada prinsipnya, kebijakan nilai tukar yang dilakukan oleh otoritas
moneter adalah untuk mendukung kepentingan ekonomi domestik.
Sedemikian besarnya pengaruh nilai tukar terhadap aktivitas bisnis,
terdapat dua kubu utama yang mempunyai pendapat berbeda terkait perlunya
pengaturan atas dinamika nilai tukar. Kubu pertama beranggapan bahwa nilai
tukar sebaiknya dibiarkan bergerak sesuai dengan mekanisme penawaran dan
permintaan valuta asing di pasar valuta asing. Kubu ini beranggapan, bahwa
pergerakan nilai tukar diperlukan guna mengembalikan ketidakseimbangan
ekonomi yang terjadi saat ini menuju kondisi keseimbangannya. Campur
tangan otoritas dalam mengatur nilai tukar dianggap bisa mengganggu proses
penyesuaian (adjustment) tersebut. Sementara itu, kubu lainnya beranggapan
bahwa pergerakan nilai tukar harus diatur oleh otoritas dikarenakan pergerakan
nilai tukar tidak selalu mendorong perekonomian ke arah yang seimbang
(equilibrium). Kubu ini beranggapan bahwa pergerakan nilai tukar pada
umumnya bergerak liar dan justru akan memperburuk kondisi perekonomian
dan aktivitas bisnis.

1.1. Pengelolaan Dinamika Arus Modal dan Nilai Tukar


Semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan perekonomian global
serta derasnya aliran masuk modal asing, akan meningkatkan kompleksitas
manajemen makroekonomi, khususnya kebijakan moneter dan nilai tukar.
Penguatan pengelolaan dinamika arus modal dan nilai tukar dilakukan dengan
beberapa prinsip dasar sebagai berikut. Pertama, koordinasi penerapan bauran
instrumen kebijakan menjadi bagian strategi yang penting dalam menerapkan
‘possible trinity” yang optimal. Kedua, di sisi aliran modal, dengan tetap
menganut rezim devisa bebas, langkah-langkah makroprudensial di bidang
arus modal merupakan opsi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi arus
modal jangka pendek yang berlebihan. Memberikan ruang/kemungkinan nilai
tukar untuk menguat, akumulasi cadangan devisa dan penggunaan kebijakan
moneter dan fiskal lainnya. Senantiasa mempertimbangkan kebijakan-
kebijakan yang bersifat prudensial dan struktural untuk mengelola aliran
modal masuk.
Ketiga, di sisi nilai tukar, menghadapi arus modal, nilai tukar dikelola
untuk tetap fleksibel dan memberi ruang gerak untuk terapresiasi, namun dijaga

3
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

agar jangan sampai terlalu melenceng jauh dari nilai tukar fundamentalnya
(overvalued). Pengelolaan nilai tukar yang sejalan dengan kondisi fundamental
dilakukan melalui intervensi di pasar valas secara simetris, yang memberikan
ruang gerak apresiatif dalam hal terjadi aliran modal asing yang tinggi. Di
sisi kebijakan moneter, kompleksitas kebijakan moneter melalui suku bunga
sebagian dapat teratasi dengan menerapkan kebijakan makroprudensial.
Keempat, kebijakan moneter didukung oleh kebijakan makroprudensial
yang bertujuan meminimalisir dampak aliran modal masuk pada aset price
bubble dan pertumbuhan kredit yang berlebihan, yang dapat menimbulkan
risiko kestabilan moneter dan kestabilan sistem keuangan, termasuk kebijakan
capital flow management (CFM).

1.2. Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka


Dalam era perekonomian global, interaksi ekonomi antarnegara merupakan
salah satu aspek penting dari perkembangan ekonomi suatu negara yang
semakin terbuka. Dengan semakin besarnya keterkaitan antarnegara, semakin
terbuka pula perekonomian negara yang bersangkutan, seperti tercermin pada
peningkatan transaksi perdagangan dan arus dana antarnegara. Sebuah negara
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa tertentu dari produksi
di dalam negeri dapat mengimpor barang dan jasa tersebut dari negara lain. Di
sisi lain, suatu negara dapat mengekspor barang dan jasa yang diproduksinya
kepada negara lain yang membutuhkan. Demikian pula arus dana antarnegara
semakin meningkat dengan semakin terbukanya perekonomian dan globalisasi
keuangan. Pendanaan investasi pada suatu negara tidak hanya terbatas pada
kredit perbankan ataupun penjualan saham dan obligasi di pasar modal dalam
negeri, tetapi dapat pula berasal dari penanaman modal asing, pinjaman luar
negeri, atau surat-surat berharga yang dibeli oleh investor asing.
Keterbukaan ekonomi suatu negara akan membawa konsekuensi pada
perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk kebijakan
moneternya. Hal itu karena semakin besar transaksi perdagangan dan keuangan
internasional yang dilakukan oleh suatu negara, semakin besar pula aliran
dana luar negeri yang masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan. Aliran
dana luar negeri tersebut selanjutnya akan memengaruhi jumlah uang yang
beredar, suku bunga, dan nilai tukar dalam perekonomian, yang pada akhirnya
akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Mekanisme dan

4
Pendahuluan

besarnya pengaruh aliran dana luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh
sistem nilai tukar dan sistem devisa yang dianut negara yang bersangkutan.
Mengingat besarnya dampak sistem perekonomian terbuka pada indikator
ekonomi dan moneter khususnya dalam nilai tukar dan inflasi domestik,
maka setiap otoritas moneter akan menyesuaikan kebijakan moneter yang
akan diambil dengan memperhitungkan arus dana valuta asing keluar/masuk.
Dengan kebijakan yang tepat diharapkan nilai tukar dan inflasi domestik bisa
bergerak pada kisaran yang diharapkan.

1.3. Sistem Nilai Tukar dan Devisa


Pada dasarnya, pemilihan sistem nilai tukar dan sistem devisa, serta
independensi kebijakan moneter dari pengaruh perkembangan luar negeri
merupakan tiga isu strategis dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter dalam perekonomian terbuka.1 Umumnya, dalam hal diterapkan
sistem devisa terkontrol, mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri
cenderung terkendali, sehingga dampaknya terhadap perkembangan jumlah
uang beredar di dalam negeri juga relatif tidak besar. Sementara itu, dalam hal
diterapkan sistem devisa bebas, mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri
akan semakin meningkat, baik dalam jumlah maupun fluktuasinya. Sebagai
akibatnya, perkembangan jumlah uang beredar di dalam negeri akan banyak
dipengaruhi oleh aliran dana luar negeri tersebut.
Seberapa jauh kemampuan kebijakan moneter dalam mengatasi pengaruh
aliran dana luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh sistem nilai tukar
yang dianut. Apabila suatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap,
kebijakan moneter harus diarahkan untuk mempertahankan nilai tukar pada
tingkat yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan moneter sulit
dilaksanakan secara independen karena aliran dana luar negeri yang terjadi
akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan jumlah uang beredar,
pertumbuhan ekonomi, dan inflasi di dalam negeri. Sebaliknya, apabila suatu
negara menerapkan sistem nilai tukar mengambang, aliran dana luar negeri

1 Yang dimaksud indenpendensi di sini adalah kemampuan bank sentral dalam melaksankan kebijakan moneter
tanpa gangguan-gangguan yang bersumber dari perkembangan faktor-faktor eksternal, seperti mobilitas dana
luar negeri dan perkembangan ekonomi global. Pengertian independensi di sini berbeda dengan independensi
bank sentral yang terkait dengan pengaturan kelembagaan dan kewenangan penuh dalam pelaksanaan tugas
yang ditetapkan dalam undang-undang, terlepas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain, seperti diba-
has dalam bagian lain dari bab ini maupun bab-bab lain di buku ini.

5
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan nilai tukar di pasar. Oleh


karena itu, kebijakan moneter dapat lebih independen untuk difokuskan pada
pengendalian jumlah uang beredar dan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi dan inflasi di dalam negeri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam perekonomian terbuka,
stabilitas nilai tukar, kebebasan mobilitas dana luar negeri, dan independensi
pelaksanaan kebijakan moneter tidak dapat dicapai secara bersamaan. Kondisi
tersebut dalam literatur ekonomi dikenal dengan istilah impossible trinity.2
Yang dapat dicapai oleh bank sentral hanyalah dua dari tiga kondisi di atas. Jadi,
apabila diinginkan stabilitas nilai tukar dengan penerapan sistem nilai tukar
tetap, independensi kebijakan moneter mengharuskan pembatasan mobilitas
dana luar negeri melalui penerapan sistem devisa terkontrol. Sebaliknya,
apabila dikehendaki kebebasan mobilitas dana luar negeri dengan penerapan
sistem devisa bebas, maka independensi kebijakan moneter mengharuskan
dianutnya sistem nilai tukar mengambang. Hal ini agar pengaruh mobilitas
dana luar negeri tersebut dapat terserap oleh perubahan nilai tukar (dengan
konsekuensi nilai tukar tidak selalu stabil) dan jumlah uang beredar di dalam
negeri tetap terkendali.
Namun, terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa otoritas moneter
sebaiknya bisa mengupayakan possible trinity semaksimal mungkin dengan
menggunakan berbagai instrumen kebijakannya. Dengan demikian, kestabilan
nilai tukar dan aliran modal bebas bisa dipertahankan, sementara bank sentral
tetap bisa menjadi lembaga yang independen. Hal ini memang cukup berat dan
menantang di era sistem keuangan secara global semakin terintegrasi. Oleh
karena itu, peran dukungan kebijakan lain selain kebijakan moneter, seperti
kebijakan makroprudential dan kebijakan pemerintah, sangatlah diperlukan
untuk mewujudkan hal tersebut.

1.3.1. Sistem Nilai Tukar


Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata
uang terhadap mata uang lainnya. Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai
tukar, yaitu (1) fixed exchange rate atau sistem nilai tukar tetap; (2) managed

2 Istilah ini dikemukakan oleh Robert Mundell (1968) dalam bukunya International Economics, untuk menjelas-
kan ketidakmungkinan pencapaian tujuan stabilitas nilai tukar, kebebasan mobilitas dana luar negeri, dan inde-
pendensi kebijakan moneter secara bersamaan. “Overtime, the three goals cannot be attained simultaneously”
(hlm. 147).

6
Pendahuluan

floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang terkendali; dan (3)
floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang.
Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu mata uang
terhadap mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu, misalnya, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang dolar Amerika dipatok Rp 8.000,- per dolar. Pada
nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk menjual atau membeli kebutuhan
devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan. Apabila nilai
tukar tersebut tidak lagi dapat dipertahankan, bank sentral dapat melakukan
devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan.3
Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai
dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan
demikian, nilai tukar akan menguat apabila terjadi kelebihan penawaran
valuta asing dan sebaliknya nilai tukar mata uang domestik akan melemah
apabila terjadi kelebihan permintaan valuta asing.4
Bank sentral dapat saja melakukan intervensi di pasar valuta asing, yaitu
dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan pasokan atau membeli
devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak
nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi, intervensi dimaksud tidak
diarahkan untuk mencapai target tingkat nilai tukar tertentu atau dalam kisaran
tertentu.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem yang berada
di antara kedua sistem nilai tukar di atas. Dalam sistem nilai tukar ini, bank
sentral menetapkan batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar
yang disebut intervention band atau batas pita intervensi. Nilai tukar akan
ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar sepanjang berada di dalam batas
kisaran pita intervensi tersebut. Apabila nilai tukar menembus batas atas atau
batas bawah dari kisaran tersebut, maka bank sentral akan secara otomatis

3 Devaluasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara untuk secara sepihak menentukan nilai
tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya. Misalnya, nilai tukar yang semula ditetapkan Rp
8.000 per dolar AS diturunkan menjadi Rp 9.000 per dolar AS. Sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaik-
kan nilai tukar negara tersebut terhadap mata uang lain. Kebijakan devaluasi atau revaluasi biasanya dilakukan
dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara. Sebagai contoh, kebijakan devalu-
asi dalam jangka pendek dapat meningkatkan daya saing sehingga merangsang kegiatan ekspor, dengan asumsi
negara lain tidak membalas dengan melakukan tindakan devaluasi dan eksportir dapat meningkatkan efisiensi
produksi untuk pemenuhan permintaan ekspornya.
4 Nilai tukar dikatakan melemah apabila diperlukan nilai uang yang lebih banyak untuk membeli valuta asing
dalam jumlah yang sama. Misalnya, nilai tukar rupiah melemah dari semula per dolar (dapat dibeli dengan) Rp
8.000 menjadi Rp 9.000 per dolar.

7
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

melakukan intervensi di pasar valuta asing sehingga nilai tukar bergerak


kembali ke dalam pita intervensi.5
Setiap sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pemilihan
sistem yang diterapkan akan tergantung pada situasi dan kondisi perekonomian
negara yang bersangkutan, khususnya besarnya cadangan devisa yang dimiliki,
keterbukaan ekonomi, sistem devisa yang dianut (bebas, semi terkontrol, atau
terkontrol), dan besarnya volume pasar valuta asing domestik. Sistem nilai
tukar tetap mempunyai kelebihan karena adanya kepastian nilai tukar bagi
pasar. Akan tetapi, sistem ini membutuhkan cadangan devisa yang besar karena
keharusan bagi bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada level
yang ditetapkan. Selain itu, sistem ini dapat mendorong kecenderungan dunia
usaha untuk tidak melakukan hedging (perlindungan nilai) valuta asingnya
terhadap risiko perubahan nilai tukar. Sistem ini umumnya diterapkan di
negara yang mempunyai cadangan devisa besar, dengan sistem devisa yang
masih relatif terkontrol.
Sistem nilai tukar mengambang mempunyai kelebihan dengan tidak
perlunya cadangan devisa yang besar, karena bank sentral tidak harus
mempertahankan nilai tukar pada suatu level tertentu. Akan tetapi, nilai tukar
yang terlalu berfluktuasi dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha.
Sistem ini umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa
relatif kecil sementara sistem devisa yang dianut cenderung bebas.6
Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental
dan non-fundamental. Faktor fundamental tercermin dari variabel-variabel
ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan perkembangan
ekspor impor.7 Sementara itu, faktor non-fundamental, antara lain, berupa
sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi para
pelaku pasar dalam memperhitungkan informasi, rumor, atau perkembangan
lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari.

5 Apabila nilai tukar menembus batas atas atau batas bawah dari pita intervensi, secara otomatis bank sentral akan
menjual atau membeli devisa yang diperlukan oleh pasar, sehingga nilai tukar bergerak kembali dalam batas
kisaran pita intervensi. Penetapan lebarnya kisaran intervensi tergantung pada besarnya cadangan devisa yang
dimiliki bank sentral serta kemungkinan kebutuhan yang terjadi di pasar. Umumnya, hal ini akan disesuaikan
dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan cadangan devisa dan volume transaksi di pasar valuta asing.
6 Untuk sistem nilai tukar mengambang terkendali, kelebihan dan kekurangannya terletak di antara sistem nilai
tukar tetap dan mengambang.
7 Ada berbagai pendekatan dalam teori keuangan internasional untuk menentukan nilai tukar secara fundamental,
antara lain: Teori Purchasing Power Parity (PPP), Real Effective Exchange Rate (REER), dan Fundamental
Effective Exchange Rate (FEER). Untuk selengkapnya, baca Iskandar (2005), Sistem Nilai Tukar, buku Seri
Kebanksentralan, PPSK Bank Indonesia.

8
Pendahuluan

1.3.2. Sistem Devisa


Devisa merupakan aset keuangan yang digunakan dalam transaksi
internasional. Penetapan sistem devisa pada suatu negara ditujukan untuk
mengatur pergerakan lalu lintas devisa antara penduduk dan bukan penduduk
dari suatu negara ke negara lain. Pada dasarnya ada tiga sistem devisa, yaitu
(i) sistem devisa terkontrol; (ii) sistem devisa semi terkontrol; dan (iii) sistem
devisa bebas. Pemilihan sistem devisa mana yang dianut akan tergantung
pada kondisi negara yang bersangkutan, khususnya keterbukaan ekonominya,
dalam arti seberapa jauh negara yang bersangkutan ingin mengintegrasikan
ekonominya dengan ekonomi global.
Pada sistem devisa terkontrol, devisa pada dasarnya dimiliki oleh negara.
Oleh karena itu, setiap perolehan devisa oleh masyarakat harus diserahkan
kepada negara dan setiap penggunaan devisa harus memperoleh izin dari
negara. Pada sistem devisa semi terkontrol, kewajiban penyerahan dan
izin dari negara diterapkan untuk perolehan dan penggunaan devisa-devisa
tertentu, sementara jenis devisa lainnya dapat secara bebas diperoleh dan
dipergunakan. Pada sistem devisa bebas, masyarakat dapat secara bebas
memperoleh dan menggunakan devisa.8
Hingga kini, semua sistem tersebut masih digunakan di berbagai
negara dengan berbagai kombinasi kebijakan lainnya. Pada intinya, setiap
negara memiliki tujuan agar arus devisa, baik yang keluar atau masuk,
tidak mengganggu kinerja ekonomi domestik maupun dampaknya terhadap
nilai tukar yang diarahkan pada persaingan internasional. Penerapan sistem
devisa tertentu akan memiliki implikasi pada kebijakan ekonomi/moneter
lainnya. Yang pasti, pilihan sistem devisa tertentu sudah mempertimbangkan
karakteristik ekonomi domestik yang ditujukan untuk pencapaian kestabilan
harga dan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi domestik.

8 Meskipun demikian, dalam praktek di kebanyakan negara yang menerapkan sistem devisa bebas, masih terdapat
kewajiban bagi masyarakat untuk melaporkan perolehan dan penggunaan devisa.

9
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI NILAI TUKAR

Teori nilai tukar terus berkembang sejak sistem Bretton Woods tidak lagi
diadopsi oleh berbagai negara untuk mengatur pencetakan mata uangnya.
Kondisi tersebut menyebabkan nilai tukar antar mata uang akan sangat
bergantung pada permintaan dan penawaran mata uang dimaksud. Teori
yang melandasi pergerakan nilai tukar dapat dibagi menjadi tiga besaran
pendekatan, yaitu: pendekatan fundamental, pendekatan teknikal, dan
pendekatan mikrostruktur. Meskipun mengalami banyak perdebatan atas
pendekatan mikrostruktur, namun pendekatan tersebut ternyata memiliki
kemampuan menjelaskan fenomena dinamika nilai tukar yang tidak bisa
dijelaskan dengan baik oleh pendekatan konvensional fundamental maupun
teknikal.

2.1. Pendekatan Fundamental atas Nilai Tukar


Pada intinya, pergerakan nilai tukar seharusnya dipengaruhi oleh faktor
fundamental ekonomi. Dalam pasar modal sebagai contoh, kondisi fundamental
ekonomi akan memengaruhi perolehan dividen yang akan diterima ke
depan. Sementara itu, di pasar obligasi, kondisi fundamental ekonomi
akan mendorong pemberian kupon dan harga surat berharga dimaksud.
Setidaknya, terdapat dua faktor utama terkait fundamental ekonomi dalam
konteks nilai tukar. Pertama, adalah kondisi fundamental yang menentukan
nilai tukar berdasarkan kondisi dinamis di pasar barang yang melahirkan
konsep Purchasing Power Parity (PPP). Konsep PPP menekankan asumsi
bahwa pada dasarnya semua mata uang memiliki daya beli yang sama di
berbagai negara. Namun, perubahan agregat penawaran dan permintaan
di masing-masing negara yang akan mengubah daya beli mata uang suatu
negara relatif terhadap mata uang negara lainnya. Kedua, konsep yang berasal
dari dinamika di pasar aset yang melahirkan konsep Uncovered Interest Rate
Parity (UIP). UIP mengasumsikan bahwa imbal hasil atas kepemilikan aset
akan menyamakan nilai mata uang yang berbeda jika dikonversi ke dalam
mata uang yang sama.

10
Landasan Teori Nilai Tukar

Gambar 2.
Pendekatan Penentuan Nilai Tukar

���������������

����������������������� ��������������������� ������������������������

���������������� ���������������� ���������������� ����������������


������� ������� �������������������� �������������
���������

��� ��������� ��

�����������������������

Kemudian, dalam konteks literatur modern, faktor fundamental juga


memasukkan pendekatan baru yaitu pendekatan mikrostruktur. Konsep
fundamental penentu nilai tukar berdasarkan konsep ini menekankan
pentingnya memerhatikan faktor informasi dan institusional dalam
menganalisa pergerakan nilai tukar. Jika dilihat pada Gambar 2, penentu
nilai tukar secara fundamental dipengaruhi oleh ketiga pendekatan tersebut,
meskipun pendekatan mikrostruktur masih menimbulkan perdebatan jika
dikategorikan sebagai faktor fundamental. Sebagaimana pendekatan pasar
barang melahirkan konsep PPP, pendekatan pasar aset juga melahirkan
konsep nilai tukar yang dikenal dengan UIP, Flexible Price Model (FPM),
Sticky Price Model (SPM), Portofolio Balance Approach (PBM), dan General
Equilibrium (GE). Sementara itu, konsep mikrostruktur melahirkan konsep
nilai tukar noise trader, dan lain-lain.
Dalam konteks secara umum, memang konsep PPP paling banyak dikenal
dan pada era terdahulu paling tepat menerangkan perubahan nilai tukar
yang diakibatkan oleh perubahan harga barang antarnegara. Selanjutnya
adalah konsep neraca pembayaran (balance of payments/BoP). Konsep ini
pada intinya menerangkan perubahan nilai tukar akibat dinamika arus dana
melalui neraca berjalan dan modal. Sementara itu, the monetary approach
adalah konsep yang paling sederhana untuk menjelaskan bahwa nilai tukar
ditentukan oleh interaksi antara permintaan versus penawaran mata uang
domestik, dan perkiraan kedepan mengenai level dan pertumbuhan dari stok
agregat moneter.

11
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Faktor aset surat berharga juga ditengarai memengaruhi perubahan


nilai tukar dengan asumsi terjadi substitusi sempurna antara aset domestik
maupun luar negeri. Perubahan permintaan/penawaran suatu aset berharga
akan memengaruhi nilai tukar sepanjang pergerakan tidak dihambat oleh
faktor-faktor non-fundamental. Namun demikian, pendekatan fundamental
ekonomi semakin sulit menjelaskan fenomena dinamika nilai tukar beberapa
waktu terakhir. Hal ini mendorong timbulnya pendekatan baru berupa analisis
teknikal untuk memberikan alternatif metode untuk menjelaskan dinamika
nilai tukar. Asumsi pendekatan teknikal ini adalah bahwa pergerakan nilai
tukar selama ini selalu mengikuti pola tren tertentu.
Dinamika nilai tukar juga sangat dipengaruhi oleh faktor pelaku pasar valas
dan kondisi institusinya. Hal ini kemudian melahirkan konsep penentuan nilai
tukar berdasarkan pendekatan mikrostruktur. Meskipun demikian, pendekatan
ini tidak berarti mengabaikan faktor fundamental sebagaimana disebutkan
di atas. Pendekatan ini hanya bersifat suplemental dalam menjelaskan nilai
tukar.
Dalam rangka memahami lebih dalam mengenai nilai tukar, juga perlu di
tambah informasi yang memadai mengenai:
• Kompleksitas ekonomi politik internasional;
• Infrastruktur sosial dan ekonomi; dan
• Karakteristik ekonomi, sosial, psikologis dan hal lain terkait pasar valuta
asing domestik.
Berbagai faktor fundamental termasuk pendekatan mikrostruktur yang
memengaruhi dinamika nilai tukar dapat diilustrasikan pada Gambar 3 di
bawah ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada tiga pendekatan utama
secara fundamental beserta indikatornya yang memengaruhi nilai tukar, yaitu:
kondisi paritas, pasar aset, dan neraca pembayaran.

12
Landasan Teori Nilai Tukar

Gambar 3.
Pendekatan Fundamental Nilai Tukar

����������������
�� �����������������������
�� ��������������������������
�� �������������������
�� ������������������

������������������������������ �������������������������������
��������������������������������� �������������������������
������������������������ ����� �������������������������������
���������� ����������

����������� ������������������
�� ������������������������������ �� ���������������
�� ��������������������������� �� ��������������������
�� ����������������������������� �� ���
�� �������������������������� �� �����������������
�� ������������������������ �� ���������������������
�� ��������������������������

���������������������

2.2. Purchasing Power Parity (PPP)


Mengacu pada “the law of one price” dan diasumsikan barang homogen
bergerak secara bebas antarnegara sehingga tidak timbul biaya transportasi,
dan lain-lain.
Adapun konsep absolute PPP menyatakan bahwa daya beli (purchasing
power) dua mata uang terhadap suatu barang adalah sama. Dengan demikian,
PPP adalah perbandingan (rasio) tingkat harga di kedua negara.

E = 1/(P/P*) = P/P*

Di mana: E= nilai tukar, P = harga barang di DN, P* = harga barang yang


sama di LN
Contoh:
Harga 1 Big Mac di US = $1
Harga 1 Big Mac di Indonesia = Rp10.000,-
Kurs Rupiah = Rp 10.000/USD (absolute PPP).

13
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Sementara itu, konsep PPP relatif adalah persentase perubahan nilai tukar
dua negara dalam suatu periode sama dengan perbedaan inflasi di kedua
negara.

pd - pf = e
Di mana: pd = inflasi domestik; pf = inflasi luar negeri, e = perubahan nilai
tukar (apresiasi/depresiasi).
Asumsi:
• Barang yang diperdagangkan bersifat homogen dan harga barang non-
traded bersifat fleksibel;
• Tidak ada hambatan perdagangan internasional;
• Biaya transportasi yang relatif rendah atau tidak ada; dan
• Tingkat inflasi yang setara.
Contoh:
Jika inflasi di AS naik 5% dan inflasi di Indonesia naik 10%, maka
berdasarkan PPP relatif (dalam kondisi paritas) rupiah akan terdepresiasi
sebesar 5% terhadap USD.
PPP relatif memiliki asumsi sebagai berikut: i) PPP relatif (cenderung
berlaku dalam jangka panjang); ii) Perhitungan nilai tukar berdasarkan PPP
cenderung hanya bersifat teori dasar dan common sense.
PPP memiliki berbagai kelemahan: i) adanya variabel penentu lain di luar
inflasi; dan ii) sulit terpenuhinya asumsi yang mendasari teori.

2.3. Interest Rate Parity (IRP)


Definisi Interest Rate Parity (IRP) yaitu perbedaan suku bunga antara dua
negara adalah sama dengan perubahan yang diharapkan (ekspektasi) dalam
nilai tukar dua mata uang. Dalam pendekatan IRP, penentuan nilai tukar
dipecah menjadi dua, yaitu uncovered interest parity (IRP), dan covered
interest parity (CIP).

14
Landasan Teori Nilai Tukar

2.3.1. Uncovered interest rate parity (UIP)


Konsep ini ingin menjelaskan bahwa nilai tukar kedepan akan ditentukan oleh
besaran perbedaan suku bunga antarnegara mata uang yang diperbandingkan.
Formula ini lazim digunakan jika tidak ada risiko lain yang diperkirakan akan
timbul. Jika ada potensi risiko yang dipersepsikan investor ke depan, maka
formula ini tidak lagi berlaku. Formula UIP adalah sebagai berikut:

id - if = E(e)

Di mana: id = suku bunga domestik (risk free); if = suku bunga luar negeri
(risk free);
E(e) = ekspektasi perubahan nilai tukar (apresiasi/depresiasi).
Contoh:
Jika suku bunga di AS adalah 2.5% dan suku bunga di Indonesia sebesar
7.5%, maka berdasarkan IRP (dalam kondisi paritas), rupiah diekspektasikan
terdepresiasi sebesar 5% terhadap USD. Persamaan mengasumsikan bahwa
premi risiko adalah nol, yang merupakan kasus jika investor risiko netral. Jika
investor tidak risiko netral, maka rupiah bisa terdepresiasi lebih besar dari 5%
karena ada tambahan imbal hasil yang diinginkan investor untuk menutupi
potensi kerugian akan tambahan risiko yang tidak netral tersebut.

2.3.2. Covered interest rate parity (CIP)


Dalam konsep CIP, nilai tukar tidak hanya dipengaruhi perbedaan suku bunga
antarnegara yang diperbandingkan, tapi juga oleh besaran risiko yang terkait
(risk premium).

id - if = E(e) + risk premium

Asumsi yang diterapkan dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut:


1. Aset finansial antar negara bersifat homogeny;
2. Pasar valas efisien;
3. Tidak adanya kontrol terhadap modal;
4. Risiko melekat relatif kecil.

15
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Pembuktian IRP sangat sulit, terkait dengan pemenuhan asumsi yang


mendasari teori. Gambar 4 adalah grafik yang ingin menunjukkan hubungan
nilai tukar, pergerakan suku bunga dan premi risiko di Indonesia sebagai
contoh dalam menjelaskan konsep CIP.

Gambar 4.
Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia

�� ���
��������������
���
�� �������
��������
��
��
��

�� ��

��


���
���

��� ���
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������

����������������������

2.4. Teori Penentuan Nilai Tukar


Teori mengenai penentuan gerakan nilai tukar pada awalnya dikembangkan
oleh para pendukung Keynesian, seperti Lerner (1936), Metzler (1942a,
1942b), Harberger (1950), Laursen dan Metzler (1950) dan Alexander (1952).
Sebagian besar studi ini fokus pada pentingnya elastisitas permintaan dan
pasokan ekspor dan impor, permintaan dan penawaran mata uang asing, dan
kondisi di mana devaluasi mungkin efektif dalam meningkatkan keseimbangan
perdagangan. Hal tersebut memunculkan adanya beberapa pandangan terkait
dengan pendekatan penentuan nilai tukar. Bab ini akan membahas mengenai
teori-teori yang digunakan dalam penentuan nilai tukar yang dikembangkan
sejak tahun 1960-an, seperti model Mundell-Fleming, sticky-prices monetary
model, dan model keseimbangan portofolio (portofolio balance model).

16
Landasan Teori Nilai Tukar

2.4.1. Model Mundell-Fleming


Model Mundel-Fleming merupakan model yang banyak digunakan dalam
teori penentuan nilai tukar. Model Mundel-Fleming dapat dikatakan sebagai
perpanjangan dari model IS-LM dan kedua model tersebut menekankan
interaksi antara pasar barang dan pasar uang. Perbedaan keduanya adalah
model IS-LM digunakan pada sistem ekonomi tertutup, sementara model
Mundell-Fleming digunakan pada sistem ekonomi terbuka. Model Mundell-
Fleming pada dasarnya mengasumsikan bahwa harga bersifat tetap dan
perfect foresight. Model Mundell-Flemming menerapkan tiga persamaan
yaitu: persamaan kurs, permintaan uang, dan pendapatan nasional.
Tiga persamaan dasar dalam model Mundell-Fleming adalah sebagai
berikut:

dan

Keterangan: (semua variabel dalam bentuk logaritma, kecuali variable suku


bunga).
s = perubahan kurs di mana kurs dinyatakan harga domestik untuk
mata uang asing
i dan i* = suku bunga domestik dan luar negeri
m = tingkat penawaran uang
y = pendapatan domestic.
Model Mundel-Fleming memiliki sejumlah implikasi penting terkait
dengan keefektifan kebijakan fiskal dan moneter dalam menciptakan
keseimbangan ekonomi, baik internal maupun eksternal.

2.4.1.1. Kebijakan moneter dan nilai tukar dalam model Mundell-Fleming


Diasumsikan bahwa penawaran uang secara eksogen ditentukan oleh otoritas
moneter. Karena tingkat harga diasumsikan tetap, maka kenaikan jumlah

17
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

uang beredar berarti kenaikan dalam keseimbangan uang riil. Peningkatan


penawaran uang akan menyebabkan pergeseran kurva LM ke kanan (LM’)
dan tingkat keseimbangan baru bergeser menuju C. Nilai tukar jangka panjang
akan terdepresiasi secara proporsional (s menjadi lebih tinggi dari poin A ke
poin C). Pada awalnya, karena perekonomian tidak mampu menyesuaikan
produksi barang/jasa secara langsung, menyebabkan nilai tukar melonjak
(overshoot) di atas tingkat keseimbangan jangka panjangnya (dari poin A
ke poin B). Selanjutnya, nilai tukar yang terdepresiasi menyebabkan tingkat
ekspor bertambah dan impor berkurang sehingga output nasional dan harga
meningkat (kurs terapresiasi) secara perlahan dan perekonomian bergerak
dari poin B ke keseimbangan baru C. Secara singkat dapat disimpulkan
bahwa efek bersih dari peningkatan penawaran uang adalah depresiasi jangka
panjang dari nilai tukar (poin C), dengan adanya overshooting pada awalnya
(poin B), dan peningkatan output dalam jangka panjang. Hal ini ditunjukkan
pada Gambar 5.

Gambar 5.
Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming

� ��



���

��

�������������������������������

2.4.1.2. Kebijakan fiskal dan nilai tukar dalam model Mundell-Fleming


Berikut akan dibahas efek dari perubahan kebijakan fiskal dalam model
Mundell-Fleming. Dimisalkan, perubahan fiskal (peningkatan pengeluaran
pemerintah) menyebabkan ekspansi dalam perekonomian sehingga kurva

18
Landasan Teori Nilai Tukar

IS bergeser ke kanan (IS’) dan tingkat keseimbangan baru bergeser menuju


poin D. Hal ini menyebabkan nilai tukar jangka panjang akan terapresiasi
secara proporsional ke poin D (s menjadi lebih rendah). Namun demikian,
pada awalnya, karena perekonomian tidak mampu menyesuaikan harga
barang/jasa dalam jangka pendek atau secara langsung ke poin D, hal ini
menyebabkan nilai tukar menurun ke poin E di atas tingkat keseimbangan
jangka panjangnya (poin D). Selanjutnya, nilai tukar yang terapresiasi
menyebabkan tingkat ekspor berkurang dan impor bertambah. Selanjutnya,
dengan berjalannya waktu, nilai tukar terdepresiasi sehingga mendorong
ekspor meningkat/impor turun (total output bertambah) menyesuaikan
secara perlahan dan perekonomian bergerak dari E ke keseimbangan baru D.
Secara singkat dapat disimpulkan, bahwa efek bersih dari adanya ekspansi
kebijakan fiskal adalah apresiasi nilai tukar jangka panjang, dengan adanya
undershooting pada awalnya, dan peningkatan output dalam jangka panjang.
Hal ini ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6.
Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming

� ��

���


��


�������������������������������

2.5. Model Moneter Harga Kaku (The Sticky Prices Monetary Model/
SPMM)
Model harga kaku ini diperkenalkan oleh Dornbusch (1976) dan
memperbolehkan adanya overshooting jangka pendek pada nilai tukar

19
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

nominal dan riil di atas tingkat keseimbangan jangka panjangnya. Model ini
mengasumsikan adanya variabel-variabel fleksibel dalam sistem, yaitu nilai
tukar dan suku bunga sebagai sebuah kompensasi atas kakunya variabel lain,
terutama harga barang. Karakteristik dasar model ini dituangkan ke dalam
persamaan struktural berikut (asumsi variabel luar negeri dan pendapatan
domestik adalah konstan).

dan

Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa model Mundell-


Fleming dan harga kaku sedikit memiliki kesamaan. Akan tetapi, tidak seperti
model Mundell-Fleming, dalam model harga kaku, output tidak lagi ditentukan
oleh permintaan, atau dengan kata lain, kelebihan dalam permintaan agregat
lebih berpengaruh kepada inflasi daripada peningkatan output.
Karena harga diasumsikan bersifat kaku dalam jangka pendek, maka
penurunan penawaran uang berimplikasi pada penurunan penawaran uang
riil. Hal ini menyebabkan peningkatan suku bunga untuk menyeimbangkan
pasar uang. Peningkatan suku bunga tersebut kemudian menarik para investor
untuk berinvestasi di dalam negeri dan menyebabkan mata uang domestik
terapresiasi. Tentunya para investor menyadari apresiasi nilai tukar ini dapat
berubah menjadi depresiasi saat pembayaran kewajiban luar negeri mereka.
Namun, para investor masih akan terus membeli aset domestik selama
perbedaan tingkat suku bunga masih lebih besar daripada kerugian akibat
depresiasi nilai tukar.
Hal tersebut menggambarkan keseimbangan jangka pendek dalam model
ini tercapai jika perbedaan suku bunga sama dengan tingkat depresiasi nilai
tukar domestik yang diharapkan. Namun demikian, dalam jangka menengah,
harga-harga barang domestik mulai menurun seiring dengan menurunnya
jumlah uang dalam perekonomian. Hal ini menyebabkan tekanan pada pasar
uang karena penawaran uang riil meningkat dan mendorong terjadinya
penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga tersebut berakibat pada

20
Landasan Teori Nilai Tukar

terjadinya arus modal keluar sehingga nilai tukar pun bergerak menuju ke
keseimbangan jangka panjang.
Penentuan nilai tukar berdasarkan model ini diilustrasikan dalam gambar
7 berikut:

Gambar 7.
Overshooting Nilai Tukar dalam Model Harga Kaku

� �
��


��

���

�� �� �� �
�������������������������������

Asumsikan terjadi penurunan dalam jumlah penawaran uang nominal.


Dalam jangka panjang, karena model harga kaku mengasumsikan netralitas
uang, penurunan dalam jumlah penawaran uang nominal menyebabkan
tingkat harga menjadi lebih rendah (P0 menjadi P1). Karena model ini
mengasumsikan paritas daya beli jangka panjang adalah tetap dan harga luar
negeri adalah konstan, maka nilai tukar jangka panjang akan terapresiasi
secara proporsional dan bergeser dari S0 ke S1 sejajar dengan 45 derajat.
Keseimbangan baru pun bergeser menjadi C. Karena harga menyesuaikan
dengan perlahan, perekonomian tidak dapat bergerak ke C secara langsung.
Agar perekonomian dapat menyesuaikan dengan keseimbangan baru C, nilai
tukar bergeser ke S2. Kemudian harga pun bergeser perlahan dan perekonomian
bergeser dari B menuju keseimbangan jangka panjang C. Dapat disimpulkan
bahwa efek bersih dari penurunan penawaran uang adalah apresiasi nilai tukar
jangka panjang (S0 ke S1) dengan fenomena overshoot pada awalnya (S2 ke
S1).

21
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

2.6. Model Moneter Harga Fleksibel (The Flexible Prices Monetary


Model/FPMM)
Pendekatan moneter terhadap nilai tukar muncul sebagai model nilai tukar
yang dominan sejak permulaan implementasi rezim nilai tukar mengambang
pada awal tahun 1970. Pendekatan moneter dimulai dari definisi nilai tukar
sebagai harga relatif antara dua mata uang dan berusaha memodelkan harga
relatif tersebut dengan pendekatan permintaan dan penawaran relatif untuk
mata uang dimaksud.
Perbedaan dasar antara model Mundell-Fleming, model harga kaku,
dan harga fleksibel dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam model Mundel-
Fleming, output ditentukan oleh permintaan dan harga bersifat tetap. Dalam
model harga kaku Dornbush, output berada pada tingkat alamiahnya dalam
jangka panjang dan harga menyesuaikan secara kaku terhadap kelebihan
permintaan. Sedangkan dalam model harga fleksibel, ouput juga berada pada
tingkat alamiahnya, namun harga bersifat fleksibel dan merespon kelebihan
permintaan secara langsung.
Model harga fleksibel mengasumsikan tingkat suku bunga domestik
bersifat eksogen dalam jangka panjang dan ditentukan oleh pasar dunia
berdasarkan asumsi mobilitas modal sempurna. Model harga fleksibel juga
mengasumsikan adanya paritas daya beli. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut,
dalam model harga fleksibel, kenaikan dalam penawaran uang relatif terhadap
pasokan mata uang asing menyebabkan mata uang domestik terdepresiasi.
Peningkatan dalam pendapatan domestik riil menyebabkan kelebihan
permintaan terhadap mata uang domestik, ceteris paribus. Dalam rangka
meningkatkan keseimbangan uang riil, penduduk domestik memilih untuk
mengurangi pengeluaran sehingga harga-harga pun mengalami penurunan
sampai keseimbangan pasar uang tercapai. Berdasarkan asumsi paritas daya
beli, maka penurunan harga domestik berimplikasi pada nilai tukar mata uang
domestik yang terapresiasi terhadap mata uang asing. Demikianlah nilai tukar
ditentukan berdasarkan model harga fleksibel.

2.7. Model Keseimbangan dan Model Likuiditas


Model keseimbangan merupakan generalisasi dari model FPMM di mana
terdapat banyak barang yang diperdagangkan dan guncangan nyata lintas

22
Landasan Teori Nilai Tukar

negara. Model ekuilibrium ini secara sederhana dapat diilustrasikan pada


gambar 8 sebagai berikut. Asumsikan terdapat dua negara, dua barang, satu
periode di mana harga bersifat fleksibel dan pasar berada dalam keseimbangan,
seperti dalam model FPMM. Namun, berbeda dengan model FPMM, para
agen dalam pasar dapat membedakan barang-barang domestik dan luar
negeri. Kemudian, untuk menyederhanakan, diasumsikan bahwa semua
agen, baik domestik maupun luar negeri, memiliki preferensi yang identik
dan rumah tangga di kedua negara memiliki tingkat kesejahteraan yang sama
dan memiliki bagian yang sama dalam kepemilikan saham dalam perusahaan
apapun. Penawaran uang, baik domestik maupun luar negeri, bersifat eksogen
dan ditentukan oleh pemerintah atau otoritas moneter di kedua negara. Seperti
halnya dalam model moneter (FPMM), ekspansi dalam kebijakan moneter
dalam model ekuilibrium juga menyebabkan nilai tukar mata uang domestik
terdepresiasi.

Gambar 8.
Penentuan Nilai Tukar Riil dalam Model Ekuilibrium

��������
�����

���

�������
��� �������������
�������������������������������

Sementara model likuiditas merupakan perpanjangan dari model


ekuilibrium di mana para investor disyaratkan untuk memegang uang tunai,
tidak hanya untuk melakukan pembelian barang tapi juga pembelian aset. Hal
tersebut berimplikasi pada keputusan para investor mengenai seberapa banyak
mata uang, baik domestik maupun asing, yang harus dipegang untuk dapat
melakukan pembelian barang dan aset, baik domestik maupun asing. Ketika

23
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

para investor sudah membuat keputusan, maka guncangan dalam obligasi dan
penawaran uang akan memengaruhi tingkat suku bunga nominal dan tingkat
suku bunga riil. Hal ini pada akhirnya dapat berpengaruh pada tingkat nilai
tukar nominal maupun riil. Model likuiditas ini hampir sama dengan model
SPMM. Namun, berbeda dengan model SPMM, model likuiditas ini pada
dasarnya mengasumsikan bahwa portofolio melakukan penyesuaian terhadap
guncangan secara perlahan dan harga-harga barang bersifat fleksibel.

2.8. Model Keseimbangan Portofolio (Portofolio Balance Model/


PBM)
Pada model keseimbangan portofolio (PBM) ini, faktor yang menentukan
nilai tukar adalah permintaan dan penawaran aset finansial, setidaknya dalam
jangka pendek. Fitur khusus dari model PBM ini dibandingkan dengan model
penentuan nilai tukar lainnya adalah asumsi bahwa aset domestik dan aset
luar negeri memiliki sifat substitusi tidak sempurna. Asumsi tersebut dapat
diartikan bahwa investor/pelaku pasar valuta akan memilih portofolio yang
optimal di antara berbagai aset, baik domestik maupun asing. Pemilihan
tersebut dimaksudkan untuk menghindari/mengurangi resiko kerugian dari
transaksi valas, atau untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.
Perubahan neraca berjalan juga merupakan faktor penting dalam model
PBM. Hal tersebut berimplikasi pada surplus (defisit) dalam neraca berjalan
akan berhubungan dengan kenaikan (penurunan) dalam kepemilikan domestik
bersih terhadap aset luar negeri. Hal tersebut kemudian akan memengaruhi
tingkat kekayaan dan memengaruhi tingkat permintaan terhadap aset yang
pada akhirnya dapat memengaruhi nilai tukar. Secara singkat, model PBM
merupakan model dinamis yang menentukan nilai tukar berdasarkan interaksi
pasar aset, neraca berjalan, harga dan tingkat akumulasi aset.

2.8.1. Penentuan nilai tukar jangka pendek dan kebijakan moneter


dalam model PBM
Asumsikan kekayaan finansial yang dimiliki oleh sektor swasta terbagi
menjadi tiga komponen, yaitu uang (M), obligasi domestik (B), obligasi
yang dipegang oleh penduduk domestik berdenominasi mata uang asing
(B*). Kemudian, penentuan nilai tukar dalam jangka pendek dapat dijelaskan
dengan persamaan-persamaan berikut:

24
Landasan Teori Nilai Tukar

(1)
(2)
(3)

(4)

(5)

Persamaan pertama adalah persamaan identitas kekayaan (W). Persamaan


kedua, ketiga dan keempat merupakan fungsi permintaan aset. Sementara
persamaan kelima menjelaskan mengenai tingkat perubahan B* yaitu neraca
modal adalah sama dengan neraca berjalan, yang pada gilirannya sama dengan
jumlah neraca perdagangan (T) dan net debt service receipts (i*B*). Neraca
perdagangan dipengaruhi secara positif oleh tingkat nilai tukar (S), dengan
asumsi bahwa harga barang tidak ditentukan dalam model ini. Hal tersebut
berarti bahwa devaluasi dapat meningkatkan neraca perdagangan.
Pengaruh kebijakan moneter terhadap nilai tukar dalam jangka pendek
berdasarkan model PBM diilustrasikan dalam Gambar 9 di bawah ini.
Asumsikan terjadi kenaikan penawaran uang di dalam negeri sehingga
membuat para investor menyesuaikan kepemilikan obligasi domestik dan
luar negerinya. Hal tersebut menyebabkan FE bergeser ke atas, sementara
BE bergeser ke bawah dan keseimbangan baru pun tercapai pada tingkat
suku bunga yang lebih rendah dan tingkat nilai tukar nominal yang lebih
tinggi. Namun, kenaikan B* menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran
mata uang asing disebabkan oleh para investor yang berusaha menyesuaikan
keseimbangan portofolionya. Hal tersebut menyebabkan, baik BE maupun
FE, bergeser ke kiri dan bertemu pada titik di mana keseimbangan tercapai
pada tingkat suku bunga awal namun dengan tingkat nilai tukar nominal yang
lebih rendah.
Pada akhirnya, kenaikan B menyebabkan tingkat suku bunga meningkat
dikarenakan kelebihan penawaran obligasi domestik sehingga menekan harga
pasar obligasi tersebut. Hal tersebut tergambar pada BE yang bergeser ke
atas.

25
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Gambar 9.
Stabilitas Global dalam Keseimbangan Jangka Pendek

��

��

��

�������������������������������

Akibatnya, FE juga bergeser ke atas dikarenakan permintaan terhadap aset


asing juga meningkat. Jika B dan B* bersifat substitusi, maka efek substitusi
lebih mendominasi daripada efek kekayaan. Hal tersebut berimplikasi pada
meningkatnya kepemilikan obligasi domestik dan penjualan obligasi luar
negeri sehingga menyebabkan tekanan pada nilai tukar nominal dan mata
uang domestik pun mengalami apresiasi. Sebaliknya, jika B dan B* tidak
bersifat substitusi, maka efek kekayaan lebih mendominasi daripada efek
substitusi. Hal tersebut menyebabkan nilai tukar nominal meningkat dan mata
uang domestik terdepresiasi dikarenakan kenaikan kepemilikan obligasi luar
negeri oleh para investor.
Asumsikan operasi pasar terbuka berupa pembelian obligasi domestik
oleh pemerintah melalui pencetakan uang baru. Aktivitas pembelian tersebut
memengaruhi pasar uang dan pasar obligasi domestik secara langsung dan
menyebabkan tingkat suku bunga menurun. Hal tersebut memaksa sektor
swasta untuk memegang uang dan para pemegang obligasi untuk melepas
aset domestiknya, ceteris paribus. Kemudian, ME dan BE pun bergeser ke
kiri. Oleh karena tingkat keseimbangan harus berada pada titik pertemuan
antara ME, BE dan FE (dalam kasus ini diasumsikan tidak berubah) dan garis
FE diasumsikan memiliki slope miring ke bawah dan lebih datar daripada
garis BE, hal tersebut berimplikasi pada tingkat suku bunga yang menurun
dan nilai tukar nominal terdepresiasi.

26
Landasan Teori Nilai Tukar

Kemudian, asumsikan pembelian obligasi luar negeri oleh pemerintah


melalui pencetakan uang baru. Hal tersebut menyebabkan tingkat suku bunga
meningkat karena adanya kelebihan penawaran uang dalam perekonomian.
Garis ME pun bergeser ke kiri. Pembelian aset luar negeri dalam bentuk mata
uang asing oleh pemerintah menyebabkan nilai tukar nominal terapresiasi dan
garis FE pun bergeser ke kanan. Titik keseimbangan baru tercapai pada tingkat
suku bunga yang lebih rendah dan tingkat nilai tukar yang lebih tinggi.
Secara kualitatif, efek dari adanya operasi pasar terbuka adalah sama,
baik pencetakan uang oleh pemerintah digunakan untuk pembelian obligasi
domestik maupun luar negeri. Namun, secara kuantitatif, efek tersebut
berbeda. Hal tersebut dikarenakan garis FE lebih datar daripada garis BE
sehingga perubahan nilai tukar yang disebabkan oleh operasi pasar terbuka
terkait aset domestik lebih rendah daripada operasi pasar terbuka terkait aset
asing. Namun sebaliknya, dampak terhadap tingkat suku bunga lebih besar
disebabkan oleh operasi pasar terbuka terkait aset domestik daripada operasi
pasar terbuka terkait aset asing. Singkatnya, dampak operasi pasar terbuka
oleh pemerintah terhadap tingkat suku bunga dan nilai tukar tergantung
pada kombinasi aset domestik dan aset asing yang dibeli pemerintah dalam
aktivitas tersebut.

2.8.2. Penyesuaian dinamis dan keseimbangan jangka panjang dalam


model PBM
Bagian ini membahas bagaimana dampak kebijakan moneter terhadap nilai
tukar melalui dampaknya terhadap perubahan harga yang diasumsikan
berubah dalam jangka panjang. Bagian ini juga membahas dinamika interaksi
(stockflow) antara nilai tukar, neraca berjalan dan tingkat kekayaan. Pada
dasarnya, kenaikan dalam penawaran uang akan menyebabkan peningkatan
dalam harga, yang kemudian akan memengaruhi ekspor bersih dan
keseimbangan neraca berjalan. Hal ini pada akhirnya dapat memengaruhi
tingkat kekayaan yang kemudian memengaruhi pasar aset dan pada
gilirannya akan memengaruhi nilai tukar menuju ke keseimbangan jangka
panjang. Seperti halnya dalam model SPMM, dalam model PBM ini, nilai
tukar juga mengalami overshooting. Namun, berbeda dengan model SPMM,
dalam model PBM overshooting tetap dapat terjadi meski tidak ada kekakuan
harga.

27
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Perubahan kurs, suku bunga, kekayaan, perkiraan mengenai nilai suatu


aset di masa mendatang akan mengubah ekuilibrium pasar aset keuangan dan
mendorong setiap investor untuk merelokasikan segenap aset finansialnya demi
mencapai ekuilibrium atau keseimbangan portofolio yang baru, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Perbedaan mencolok dalam ukuran
dan kecepatan penyesuaian antara stok finansial dan sektor riil memberikan
suatu implikasi yang sangat penting terhadap proses pembentukan kurs dan
perubahan-perubahan atau dinamikanya dari waktu ke waktu.

2.9. Konsep Permintaan dan Penawaran Valuta Asing dan Nilai


Tukar
Secara umum, nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lain, ditentukan oleh keseimbangan yang terjadi pada permintaan dan
penawaran valuta asing mata uang yang diperdagangkan di pasar valuta asing
domestik. Apabila terjadi perubahan atas faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan atau penawaran, maka akan terjadi pergeseran kurva permintaan
dan penawaran, yang selanjutnya akan mengubah nilai tukar dari kondisi
sebelumnya. Gambar 10 mengilustrasikan perubahan nilai tukar suatu mata

Gambar 10.
Penawaran – Permintaan Valuta Asing

�������������������
�����������
������
� � ���������
�� �����

������
���������

����������������

������������
����������������������

28
Landasan Teori Nilai Tukar

uang terhadap mata uang asing akibat terjadinya perubahan/pergeseran kurva


permintaan dan penawaran valas. Peningkatan penawaran valuta asing yang
ditunjukkan dengan adanya pergeseran kurva penawaran dari S menjadi S’
menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi. Begitu pun sebaliknya.

2.10. Nilai Tukar Nominal, Dinamika Nilai Tukar, dan Riil


Nilai tukar nominal (nominal exchange rate), E, adalah harga suatu mata uang
terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah,
Q = E. P*/P
Di mana: Q = nilai tukar riil, E = nilai tukar nominal, P = tingkat harga dalam
negeri, dan
P*= tingkat harga di LN.
Real Effective Exchange Rate (REER) adalah indeks nilai tukar suatu
negara terhadap nilai tukar negara mitra dagangnya, yang diukur berdasarkan
bobot dari traded goods (eskpor dan impor) negara tersebut. Bilateral Real
Effective Exchange Rate (BREER) adalah nilai tukar riil suatu negara terhadap
negara lain yang dihitung dengan membandingkan tingkat inflasi dan nilai
tukar nominal antar kedua negara.
Apresiasi: Penguatan nilai tukar suatu negara secara gradual terhadap
nilai tukar negara lain (market driven). Depresiasi: Pelemahan nilai tukar
suatu negara secara gradual terhadap nilai tukar negara lain (market driven).
Revaluasi: Kebijakan memperkuat nilai tukar suatu negara secara signifikan
terhadap nilai tukar negara lain. Devaluasi: Kebijakan memperlemah nilai
tukar suatu negara secara signifkan terhadap nilai tukar negara lain.9
Dinamika nilai tukar yang tercermin pada pergerakan apresiasi atau
depresiasi sangatlah penting bagi suatu Negara, terutama bila dikaitkan
dengan tingkat persaingan perdagangan antarnegara. Nilai tukar riil bisa
mencerminkan tingkat competitiveness suatu negara dengan negara lain
dalam kaitannya dengan perdagangan internasional. Suatu negara yang

9 Adapun formula perhitungan apresiasi/depresiasi nilai tukar adalah sebagai berikut:

29
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

sangat mengandalkan kinerja ekonominya melalui perdagangan internasional


berusaha menjaga level nilai tukar riil tidak berada pada kondisi overvalued.
Di bawah ini adalah contoh dinamika nilai tukar nominal dan riil beberapa
negara di kawasan regional pada tahun 2013.

Gambar 11.
Dinamika Nilai Tukar Beberapa Negara Kawasan

�����������������
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
����
��� ����
����
��� �������������� ������� ����
����
��� ����
������������������ ����
��� ����

������ ������ ������ ������ ������ ����� ����


�����������������

Gambar 11 menunjukkan dinamika nilai tukar beberapa negara di kawasan


Asia pada tahun 2015 hingga 30 November. Pada tahun 2015 ini, nilai tukar
rupiah melemah cukup tajam sekitar 10,5% (point to point) atau 11,1% (rata-
rata) dibadingkan periode yang sama tahun 2014. Hingga November 2015,
rupiah secara rata-rata melemah 11,05% ke level Rp13.351/USD. Pelemahan
tersebut dipengaruhi faktor eksternal, antara lain, ketidakpastian kenaikan
Fed Fund Rate (FFR), kekhawatiran negosiasi fiskal Yunani, serta yuan
yang terus terdepresiasi. Dari sisi domestik, meningkatnya permintaan valas
untuk pembayaran utang/deviden, serta kekhawatiran terhadap melambatnya
ekonomi domestik. Sementara Gambar 12 menunjukkan perkembangan nilai
tukar riil beberapa negara di kawasan Asia hingga Desember 2012. Bagi
Indonesia, penting menjaga nilai tukar riil agar tidak overvalued karena
dikhawatirkan akan mengganggu kinerja ekspor. Untuk itu Bank Indonesia,
berupaya menjaga indeks nilai tukar riil berada sedikit dibawah angka 100.

30
Landasan Teori Nilai Tukar

Gambar 12.
Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Kawasan
����������������
������������������������������������
��� ������

���

���

���

���

�� ��� ��� ��� ���


��� ��� ���
��
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ��
���� ���� ����
����������������������

2.11. Pendekatan Harga Aset Sebagai Penentu Nilai Tukar


Pendekatan aset merupakan salah satu pendekatan fundamental nilai tukar
yang mengasumsikan bahwa investor asing berminat memegang aset dalam
mata uang domestik yang dilandasi atas beberapa faktor yang dijadikan
pertimbangan seperti: suku bunga riil relatif, prospek pertumbuhan ekonomi,
likuiditas pasar keuangan, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial,
kestabilan politik, penerapan prinsip tata kelola yang baik, risiko sistemik,
dan spekulasi.
Berdasarkan keseluruhan faktor di atas, investor asing berminat
memegang aset atau surat berharga domestik atau berinvestasi di suatu
negara negara maju lebih didasari oleh perbedaan suku bunga riil dan prospek
pertumbuhan ekonomi/profit. Sementara bagi kepemilikan surat berharga
negara berkembang, masih perlu menjadi pertimbangan mengenai kondisi
likuiditas dan faktor risiko lainnya.

31
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

2.12. Analisis Teknikal


Analisis teknikal dalam penentuan nilai tukar tetap menjadi pegangan banyak
pelaku ekonomi khususnya para pedagang mata uang. Analisis teknikal
melandasi penentuan nilai tukar berdasarkan pola tren yang terjadi pada masa
lalu yang bisa terjadi berulang-ulang di masa depan. Tren nilai tukar bisa
berulang terjadi polanya berdasarkan periode waktu seperti: harian, jangka
pendek (beberapa hari hingga satu bulan), jangka panjang.
Semakin panjang periode proyeksi, biasanya semakin tidak akurat
level nilai tukar dibandingkan dengan apa yang terjadi. Namun demikian,
biasanya dalam jangka panjang, dinamika nilai tukar akan mendekati kondisi
fundamental ekonomi dan ini banyak dibuktikan oleh berbagai penelitian di
berbagai negara. Bahkan, dalam konteks terkini, pergerakan nilai tukar jangka
pendek justru lebih sering mengalami fluktuasi yang berlebihan dikarenakan
oleh berbagai faktor seperti shock ekonomi, friksi institusional dan teknikal
menyebabkan nilai tukar tersebut meninggalkan level fundamentalnya.
Namun demikian, justru fluktuasi nilai tukar jangka pendek tersebut bisa
dimodelkan karena memiliki pola berulang dan bertauran dalam suatu kurun
tertentu. Berikut Gambar 13 yang menggambarkan pergerakan nilai tukar
sesuai tren jangka panjang dan dinamika jangka pendeknya.

Gambar 13.
Dinamika Nilai Tukar Jangka Pendek dan Tren Jangka Panjang

�������������������
������������������
���������������������������
������������������������������ ��������
��������������������������� ������������
������� ��������������

������������������������
������������������������
����������������������������
�������������������������������

�����
����������������������

32
Landasan Teori Nilai Tukar

Untuk melakukan analisis nilai tukar berdasarkan pendekatan teknikal,


beberapa cara dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yang dikenal
sebagai berikut: Rata-rata bergerak (moving averages), Bollinger bands,
Moving Average Convergence/Divergence (MACD), Indikator stokastik
(oversold/bought) RSI – Ressitance Strenght Index, Volume, dan Rata-rata
terhitung saat hari terakhir atau waktu berjangka, seperti 200 hari atau 50
hari.
Analisis teknikal mencoba memprediksi pergerakan kurs/harga aset
berdasarkan tren dan pola historis. Asumsi dasar: (1) pergerakan kurs memiliki
pola atau tidak random; (2) seluruh informasi pergerakan kurs telah tercermin
pada pola historis; (3) sejarah berulang dengan sendirinya. Half science half
art, tiap orang dapat memiliki interpretasi yang berbeda. Contoh dari analisis
nilai tukar menggunakan pendekatan teknikal adalah pada Gambar 14 yang
menggunakan data saham Microsoft selama setahun. Analisis teknikal di
sini adalah menggunakan teknikal moving average 50 hari untuk melihat
kecenderungan (trend) nilai tukar ke depan.

Gambar 14.
Analisis Moving Average Microsoft

������������ �����������������

��
����

���������
��

��

��
���
��� ������
��������

���������
���

������ ������ ������ ������ ������ ������
�����������������������

33
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

2.12.1. Analisis Grafis (Charting)


Dalam melakukan analisis nilai tukar berdasarkan analisis grafis, beberapa
teknis bisa dilakukan, di antaranya: menganalisis pola dan tren yang berulang,
dan Trenline, support/resistance, dll.

2.12.2. Indikator - Indikator Teknis


Selain itu, dalam memanfaatkan pendekatan teknikal, beberapa data indikator
ekonomi/statistik bisa digunakan melalui teknis pengolahan secara statistik.
Beberapa pendekatan statistik yang terkenal dan lazim digunakan oleh para
analis dan pelaku di pasar valuta asing adalah MACD (Moving Average
Convergence Divergence) atau RSI (Resistance Strenght Index), Bolinger
bands, dan lain-lain. Metode ini cukup populer digunakan bagi para pelaku
pasar valas dikarenakan memiliki kemampuan yang cukup baik untuk
melihat kecenderungan pergerakan nilai tukar ke depan dengan berbasiskan
pada trend perkembangan nilai tukar di masa lalu. Berbagai visualisasi trend
perkembangan nilai tukar yang dijadikan alat analisa teknikal di antaranya
terlihat pada Gambar 15 di bawah ini.

Gambar 15.
Metode Pendekatan Teknis

����������

��������

�������������
��������

34
Landasan Teori Nilai Tukar

��������

����������
�������

Sumber: Krugman (2009)

2.13. Faktor Penentu Nilai Tukar: Sentimen Pasar


Seluruh otoritas moneter sangat peduli dengan perkembangan nilai tukar
karena akan berpengaruh terhadap kinerja ekonominya melalui transaksi
perdagangan barang/jasa atau aliran modal asing. Jika terjadi tekanan nilai
tukar yang tajam maka dimungkinkan suatu negara akan jatuh ke lembah
krisis keuangan. Dalam beberapa periode terakhir, tekanan terhadap nilai
tukar ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental. Tindakan
transaksi mata uang asing yang mendadak dan besar akibat didorong oleh
tekanan spekulasi para investor yang dipicu oleh faktor sentimen, ternyata
semakin berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar yang cepat
dan terkadang diakhiri dengan kondisi krisis nilai tukar. Sentimen pasar
menjadi sangat populer dalam beberapa dekade terakhir, sehubungan dengan
kegagalan pendekatan fundamental dalam menerangkan perubahan nilai
tukar.
Sentimen pasar pada awalnya tidak begitu diandalkan dalam proyeksi
nilai tukar, namun sejak krisis nilai tukar terjadi dan dinamika nilai tukar yang
sangat cepat pada saat isu negatif terjadi, sentimen pasar menjadi andalan bagi
analis nilai tukar untuk menjelaskan hal tersebut. Sentimen pasar merupakan
kondisi atau kejadian yang memengaruhi persepsi pasar yang memicu minat
beli atau jual dari pelaku pasar, yang akan semakin kuat pengaruhnya pada
saat isu negatif mendapat respon yang semakin besar dari pelaku pasar valas
domestik. Sentimen pasar dapat dicetuskan dari indikator ekonomi dan pasar

35
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

keuangan yang baru dikeluarkan, pernyataan tokoh kunci pasar keuangan,


serta kondisi geo-politik yang terkait langsung maupun tidak langsung.
Sentimen pasar terkadang sulit diprediksi dan diukur pengaruhnya.
Gambar 16 mengilustrasikan pengaruh sentimen terhadap dinamika yang
cepat pada nilai tukar mata uang Israel pada saat terjadi peristiwa 911 di
Amerika Serikat. Peristiwa 911 di Amerika Serikat ternyata berpengaruh
pula ke negara Israel yang secara geografis jauh dari Amerika Serikat. Hal
ini dikarenakan adanya isu yang berkembang bahwa negara Israel juga akan
mendapat serangan teroris Al Qaeda karena menjadi musuh bangsa Palestina
maupun Islam secara luas. Mata uang Israel akibatnya mengalami tekanan
jual dan melemah cukup tajam pada saat itu seperti terlihat pada Gambar 16
di bawah ini.

Gambar 16.
Dinamika Mata Uang Israel Saat Isu 911

• Mata uang Israeli Shekel (ILS) mengalami pelemahan harian ternggi pd tahun 2011 (-1.7%)
pada tanggal 11 September 2001
• Periswa 9/11 terjadi di AS, jauh dari Israel, namun sebagai sekutu dekat AS di Timteng,
Israel dipersepsikan dlm kondisi yg rawan secara geopolik
• Pelaku pasar merespon dengan menjual ILS secara besar-besaran pd 9/11/2001

Sumber: Krugman (2009)

Demikian pula sebagaimana yang terjadi di Argentina dan Asia beberapa


waktu lalu. Pada saat krisis keuangan di ASEAN tahun 1997/1998, asal mula
krisis pada saat terjadinya perubahan struktural negara-negara kebanyakan
di kawasan tersebut dari net exporter menjadi net importer sehingga
menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada pasokan valas.

36
Landasan Teori Nilai Tukar

Pelajaran yang dapat diambil contoh kasus krisis ekonomi yang bermula
dari Thailand di tahun 1996/1997. Pada saat itu, fenomena gelembung aset
(asset bubble) meledak di Thailand sehingga mencetuskan pelarian modal
yang sangat besar. Kondisi ini mengakibatkan nilai tukar Baht Thailand
merosot tajam meskipun pemerintah Thailand telah mengambil beberapa
langkah penyelamatan nilai tukar melalui intervensi valas maupun menaikkan
suku bunga Baht Thai. Kondisi yang tidak baik tersebut ternyata semakin
memburuk dan bahkan merebak menjadi isu sentimen negatif ke berbagai
negara sekitar sehingga mengakibatkan mata uang negara sekitar mengalami
tekanan depresiasi yang sangat tajam. Tercatat mata uang Peso Filipina,
Ringgit Malaysia dan Rupiah Indonesia terus mengalami tekanan setelah
Baht Thailand. Bahkan kondisi ini diperparah dengan berlanjutnya krisis
mata uang ke krisis politik.

Gambar 17.
Dinamika Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Regional
���
��� ��������������� ���������
���������������� ����������������
���
��
��
��
��
��
��
��
��
��
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
���� ����
����������������������

Banyak faktor yang ditengarai menjadi pencetus krisis itu terjadi, di


antaranya, kurangnya penerapan tata kelola yang baik, manajemen perusahaan
yang buruk, aksi spekulasi, dan lemahnya pengawasan otoritas atas perilaku
pasar uang khususnya perbankan. Merosotnya mata uang regional Asia
tersebut terlihat pada Gambar 17.
Meskipun sedikit berbeda, kasus tekanan mata uang Peso Argentina
juga tidak bisa dilepaskan akibat adanya isu sentiment negatif yang memicu
penjualan mata uang Peso Argentina. Pada tahun 1991, pemerintah Argentina

37
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

mematok mata uang peso sebesar 1:1 terhadap dolar AS. Kebijakan ini
diambil dalam rangka mengurangi tekanan inflasi yang terjadi sejak masa
lalu. Namun, sampai dengan tahun 2001, peso ternyata mengalami overvalued
karena kondisi ekonomi dan budget deficit yang semakin besar. Oleh karena
itu, peso didevaluasi pada tahun 2002, akibat semakin besarnya tekanan
sosial dan merebaknya fenomena bank-run yang cukup signifikan. Namun,
kebijakan tersebut tidak cukup untuk mengatasi permasalahan ekonomi
saat itu, dikarenakan perekonomian yang semakin memburuk dan kondisi
bank yang semakin pailit yang menyeret harga aset juga merosot tajam. Isu
devaluasi ini ternyata diperburuk dengan sentiment negatif kekhawatiran akan
terjadi pelemahan peso yang akan berlanjut ke depan. Berdasarkan kondisi
tersebut, pemerintah menyatakan kondisi ekonomi dalam keadaan krisis dan
mata uang peso terus merosot cukup tajam sebagaimana terlihat pada Gambar
18 di bawah ini.

Gambar 18.
Nilai Tukar Harian: Argentina Peso per U.S. Dollar
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
�� � � �� �� �� � �� �� �� � �� ��
�������� �������� ��������
����������������������

2.14. Dinamika Nilai Tukar: Overshooting


Pada saat nilai tukar bergerak sangat dinamis dikarenakan berbagai faktor,
khususnya isu/sentimen pasar, biasanya nilai tukar suatu mata uang akan
bergerak sangat cepat melampaui kondisi fundamentalnya. Biasanya hal
ini berlangsung tidak terlalu lama bergantung kepada kondisi pasar valas
domestik dan meredanya faktor spekulasi. Dengan berjalannya waktu, secara

38
Landasan Teori Nilai Tukar

normal nilai tukar yang berfluktuasi melebihi kondisi fundamentalnya, akan


kembali kepada kondisi keseimbangan fundamentalnya setelah mekanisme
penyesuaian terjadi sebagaimana teori ekonomi berjalan sebagaimana
mestinya.
Gambar 19 menunjukkan fenomena overshooting mata uang dolar AS
terhadap Euro yang terjadi pada saat dilakukan pengumuman bahwa FEDRES
akan mengambil kebijakan akomodatif dengan menambah likuiditas ke dalam
sistem keuangan AS. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar AS melemah cukup
tajam melebihi kondisi fundamentalnya dikarenakan terjadinya rigiditas pada
harga yang tidak bisa menyesuaikan dengan segera pada saat penawaran
mata uang AS meningkat. Sebagai kompensasinya, suku bunga AS menurun.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu di mana harga mulai meningkat,
suku bunga akan menurun, dan nilai tukar akan kembali menguat meskipun
tidak sekuat level sebelum kebijakan FEDRES diterapkan.

Gambar 19.
Fenomena Overshooting
�����������������������

��

������������

�� ��

��

�� ��
����

�����������������������

2.15. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar – Survey


Literatur
Pencapaian nilai tukar yang stabil dan kompetitif serta laju inflasi yang
terkendali sangat diperlukan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi
kegiatan ekonomi domestik. Perubahan nilai tukar memiliki efek luas dan

39
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

memiliki konsekuensi terhadap harga, upah, suku bunga, tingkat produksi, dan
kesempatan kerja serta perekonomian secara luas. Penelitian yang menganalisis
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan dan stabilitas nilai
tukar sudah banyak dilakukan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Faktor-
faktor yang memengaruhi nilai tukar dapat berupa faktor ekonomi, politik,
psikologis, dan juga faktor jangka pendek atau jangka panjang. Perilaku nilai
tukar juga memungkinkan untuk dipelajari melalui variabel makro dan/atau
variabel mikro (Saeed et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
tersebut, beragam faktor yang memengaruhi nilai tukar pun sudah ditemukan.
Demikian pula dengan implikasi kebijakan bagi otoritas berwenang sebagai
bagian dari saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian tersebut. Sub-
bagian berikut akan membahas beberapa literatur yang menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi nilai tukar dan implikasi kebijakan yang disarankan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.
Saeed et al. (2012) melakukan analisis ekonometrik terhadap faktor-faktor
penentu nilai tukar Rupee Pakistan terhadap dolar AS dengan menggunakan
kerangka pendekatan moneter. Data yang digunakan dalam studi tersebut
adalah data bulanan mulai dari Januari 1982 sampai dengan April 2010.
Hasil penelitian mendukung peran faktor ekonomi dan non-ekonomi
dalam penentuan nilai tukar di Pakistan. Hasil empiris juga menunjukkan
bahwa pergerakan nilai tukar sangat terkait dengan rasio cadangan uang
nominal masing-masing mata uang. Cadangan uang relatif dan utang berkaitan
positif dan signifikan dengan nilai tukar. Ketidakstabilan politik berpengaruh
negatif terhadap nilai mata uang dalam kasus Pakistan. Variabel-variabel
seperti tingkat suku bunga relatif jangka pendek dan PDB riil relatif tidak
berhubungan signifikan dengan penentuan nilai tukar PKR terhadap dolar AS,
tetapi kedua variabel tersebut menunjukkan tanda negatif yang sesuai dengan
model moneter harga kaku (sticky price monetary model).
Rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil studi Saeed et al. (2012) adalah
bahwa sektor yang berorientasi ekspor harus dibiayai berdasarkan urutan
prioritas. Langkah-langkah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan
dan defisit transaksi berjalan sangat diperlukan. Selanjutnya, pelepasan
diri dari utang harus direncanakan dan beban utang harus dikurangi. Untuk
mengoptimalkan penggunaan dari keterbatasan dana yang tersedia untuk
sektor swasta, kebijakan kredit harus dilaksanakan sebagai solusi untuk
meningkatkan ketersediaan dana untuk kebutuhan bisnis sektor swasta.

40
Landasan Teori Nilai Tukar

Yang paling utama adalah menjaga tingkat nilai tukar asing yang stabil
dan lingkungan ekonomi makro yang kondusif untuk mempertahankan tingkat
harga yang relatif stabil. Disiplin fiskal dan moneter merupakan prasyarat
penting untuk stabilitas tingkat harga. Perilaku independen dan profesional
dari bank sentral dan pemerintah, bersamaan dengan stabilitas politik, sangat
penting dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencapai
tingkat harga dan nilai tukar yang stabil.
Atif et al. (2012) menganalisis perilaku nilai tukar dolar Australia dan
faktor-faktor yang memengaruhinya dan membedakan antara faktor-faktor
ekonomi dan non-ekonomi. Analisis yang digunakan adalah analisis runtut
waktu dengan metode analisis berupa autoregressive (AR) dan kointegrasi
Engle-Granger. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, antara
lain, suku bunga, neraca modal, penawaran uang, indeks inflasi, ekspor
bersih, net foreign assets, share price index dan dummy stabilitas politik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komponen perdagangan dalam perekonomian
dan indikator-indikator ekonomi yang fundamental, seperti output ekonomi
relatif dan tingkat likuiditas domestik terhadap negara asing, memiliki
peran yang signifikan dalam penentuan nilai tukar. Namun, bertentangan
dengan literatur yang ada, variabel suku bunga dan inflasi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dalam penentuan nilai tukar. Penelitian tersebut
juga menekankan signifikansi peran faktor-faktor yang tidak teramati, seperti
peristiwa politik dan guncangan eksternal, dalam memengaruhi nilai tukar.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Atif et al., (2012) menegaskan bahwa
perdagangan sangat berguna sebagai indikator kebijakan. Kekuatan ekspor
Australia dapat dijadikan indikator untuk mengukur tekanan non-spekulasi
dari pihak asing terhadap dolar Australia.
Penelitian yang dilakukan oleh Oriavwote dan Oyovwi (2012)
menyajikan model dinamis penentuan nilai tukar riil dan juga secara empiris
menguji implikasi dari perubahan faktor-faktor penentu nilai tukar riil di
Nigeria dari tahun 1970 sampai dengan 2010. Metode yang digunakan adalah
parsimonious error correction model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tingkat harga, arus masuk modal, akumulasi modal dan
keterbukaan perdagangan berpengaruh terhadap apresiasi nilai tukar efektif
riil Nigeria. Sebaliknya, peningkatan nilai tukar efektif nominal dan output
membuat nilai tukar efektif riil Nigeria justru terdepresiasi.

41
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Implikasi kebijakan dari penelitian Oriavwote dan Oyovwi (2012),


antara lain, adalah pentingnya peningkatan kebijakan ekonomi domestik
untuk mengurangi tingkat inflasi karena peningkatan tingkat harga domestik
berpengaruh pada apresiasi nilai tukar riil efektif. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa akumulasi modal dapat membuat nilai tukar efektif
riil terapresiasi. Oleh karena itu, perlu adanya penciptaan lingkungan yang
kondusif yang mendorong investasi ke sektor barang tradable, dibandingkan
investasi ke sektor barang non-tradable. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan reformasi di sektor pertanian dan industri Nigeria untuk menarik
investasi untuk tujuan ekspor dan mereformasi sektor pertambangan untuk
meningkatkan investasi di sektor tersebut. Integrasi ekonomi Nigeria dengan
negara-negara lain di sub-kawasan Afrika Barat juga sangat diperlukan.
Hasil penelitian juga membuktikan bahwa output riil memiliki dampak
positif terhadap nilai tukar efektif riil. Oleh karena itu, kebijakan dari sisi
penawaran yang dapat meningkatkan produktivitas akan sangat berguna di
Nigeria. Kebijakan ini mencakup pengembangan sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan kesehatan, serta peningkatan infrastruktur fasilitas
dasar seperti listrik, air, jalan, dan lain-lain.
Secara empiris, Kohlscheen (2013) membuktikan bahwa perilaku nilai
tukar efektif riil jangka panjang, Real Brasil, secara substantif dapat dijelaskan
oleh variasi harga sekeranjang (lima) komoditas utama yang menyumbang
51 persen dari pendapatan ekspor Brasil pada tahun 2011. Hasil penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan suku bunga tidak menjelaskan
pergerakan nilai tukar real, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,
selama periode penelitian. Lebih jauh, pergerakan nilai tukar efektif riil real
ke depannya masih akan dipengaruhi oleh perkembangan harga kelima
komoditas utama dalam aktivitas perdagangan Brasil.
Dari sisi kebijakan moneter, penelitian tersebut menemukan bahwa
strategi intervensi yang dilakukan oleh bank sentral dapat membuat volatilitas
nilai tukar efektif riil real menjadi lebih rendah. Akan tetapi, efektivitas dari
strategi intervensi tersebut diperkirakan tidak akan bertahan lama, karena
dalam jangka panjang, pergerakan nilai tukar efektif riil real Brasil akan lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental, salah satunya seperti
yang telah dibahas dalam penelitian tersebut.

42
Landasan Teori Nilai Tukar

Studi yang dilakukan oleh Syarifuddin et al. (2014) bertujuan untuk


mengukur seberapa persisten fluktuasi nilai tukar di Indonesia, dan bagaimana
bank sentral dapat melakukan kebijakan moneter yang tepat, terutama dalam
menentukan kebijakan suku bunga, atau untuk melakukan intervensi valuta
asing guna menstabilkan nilai tukar rupiah. Metode analisis yang digunakan
adalah Threshold Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity
(TGARCH). Dengan menggunakan data harga harian penutupan (closing rate
daily price) rupiah terhadap dolar AS dimulai dari 3 Januari 2008 sampai
dengan 31 Desember 2013, hasil studi mengkonfirmasi teori IRP (interest
rate parity), yang menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga paritas riil
menyebabkan apresiasi mata uang domestik. Kemudian, strategi intervensi
berupa penjualan mata uang asing oleh Bank Indonesia menyebabkan tingkat
pengembalian (return) nilai tukar sedikit menurun. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa tingkat pengembalian NDF (NDF return) berdampak
positif terhadap tingkat pengembalian nilai tukar on-shore (on-shore exchange
rate return). Oleh karena itu, penting bagi bank sentral untuk memperkenalkan
kebijakan baru yang disebut JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate),
untuk mengurangi peran NDF dalam memengaruhi kurs on-shore (on-shore
exchange rate).
Beberapa rekomendasi kebijakan yang disarankan oleh Syarifuddin et al.
(2014) adalah sebagai berikut: Volatilitas valuta asing harus diminimalkan
melalui beberapa tindakan. Intervensi valuta asing merupakan tindakan yang
paling memungkinkan dan relevan untuk memecahkan masalah dalam horizon
yang pendek. Berdasarkan hasil studi yang terkait dengan aktivitas intervensi,
Bank Indonesia harus memiliki strategi yang tepat ketika mengintervensi pasar
valuta asing. Bank Indonesia harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti
kondisi likuiditas pasar, omset transaksi (turnover transaction), dan kondisi
psikologi pasar setiap kali memasuki pasar nilai tukar domestik. Pelaksanaan
kebijakan intervensi mata uang asing juga harus mempertimbangkan waktu
dan besarnya (magnitude), untuk menghindari prediktabilitas. Operasi
intervensi juga harus dilakukan dengan cara yang terukur dan hati-hati,
mengingat pentingnya kecukupan cadangan devisa dalam negeri.
Penerapan tingkat suku bunga kebijakan yang tepat sehingga pergerakan
nilai tukar dapat mendorong inflasi aktual menuju titik target dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Namun, untuk mencapai sasaran

43
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

inflasi dan menjaga stabilitas, tidak cukup bagi Bank Indonesia hanya
mengandalkan kebijakan suku bunga saja. Bank Indonesia juga perlu
memasukkan aspek nilai tukar ke dalam kebijakan moneter dan bauran
kebijakan makroprudensial yang terdiri dari lima instrumen kebijakan, yaitu
suku bunga, nilai tukar, pengelolaan arus modal, makroprudensial, dan
komunikasi kebijakan moneter.

44
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas

BAB 3 MIKROSTRUKTUR DALAM


PASAR VALAS

Berbagai literatur dan penelitian telah banyak membahas dan menganalisis


mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar. Sebagian
besar hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa variabel-variabel
fundamental makroekonomi, seperti penawaran uang relatif, kecepatan
perputaran uang relatif, suku bunga relatif merupakan faktor-faktor penting
yang menentukan pergerakan nilai tukar dalam jangka panjang. Namun,
dalam beberapa kondisi, pergerakan nilai tukar tidak selalu dapat dijelaskan
oleh variabel-variabel fundamental makroekonomi, seperti saat perekonomian
mengalami krisis atau hiperinflasi. Selain itu, fenomena lain yang tidak dapat
dijelaskan oleh pendekatan fundamental makro, antara lain, tingginya volume
transaksi harian yang terjadi dalam pasar valas, perilaku excess returns,
prediksi nilai tukar dalam jangka pendek dan volatilitas nilai tukar itu sendiri.
Hal tersebut memunculkan asumsi bahwa kelemahan fundamental makro
tersebut dapat diperbaiki dengan cara menguraikan struktur pasar valas
menjadi lebih akurat dan realistis. Bermula dari asumsi tersebut kemudian
muncul pendekatan mikrostruktur (Frankel, Galli, dan Giovannini, 1996).
Pendekatan mikrostruktur dalam pasar valas merupakan pendekatan yang
relatif baru dan sangat banyak digunakan dalam berbagai literatur terkait
dengan penentuan nilai tukar, terutama dalam jangka pendek. Pendekatan
yang digunakan dalam literatur mikrostruktur terhadap pemodelan nilai tukar
sangat berbeda dengan pendekatan makroekonomi pada umumnya, baik
dalam asumsi maupun metodologi (Taylor dan Sarno, 2004). Terkait dengan
asumsi, tidak seperti pendekatan makroekonomi konvensional, pendekatan
mikrostruktur umumnya tidak mengasumsikan bahwa hanya informasi publik
yang relevan terhadap nilai tukar di mana agen-agen dalam pasar valuta asing
bersifat homogen, dan mekanisme transaksi valas yang digunakan dalam
perdagangan valas tidak harus berurutan. Dalam hal metodologi, pendekatan
mikrostruktur biasanya menggunakan pendekatan dasar-dasar mikroekonomi
(microeconomic approach) dengan menganalisis pergerakan nilai tukar.
Aspek-aspek mikroekonomi tersebut berasal dari pasar valas itu sendiri,
seperti perilaku dan interaksi para peserta dalam pasar valas, arus informasi
antar peserta, lokasi pasar valas serta struktur kelembagaan/institusional pasar
valas.

45
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

3.1. Struktur Kelembagaan\Institusional Pasar Valas


Pasar valuta asing merupakan pasar internasional di mana para pembeli
dan penjual mata uang bertemu. Beberapa fitur khusus yang membedakan
pasar valas dengan pasar keuangan lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
(Evans, 2010)
1. Pasar valas merupakan pasar dua tingkat (two-tier) yang terdiri dari pasar
antarbank (interbank market) dan pasar retail. Perdagangan valas terjadi
antara dealer yang bekerja diperbankan di pasar antarbank, dan antara
bank dan nasabah non-bank di pasar retail.
2. Pasar valas secara umum merupakan pasar yang terdesentralisasi. Pasar
yang terdesentralisasi adalah pasar di mana para pesertanya, seperti
dealers, broker, dan nasabah/klien secara umum terpisah satu sama lain
secara fisik dan transaksi di antara mereka dilakukan melalui telepon,
teleks atau kontak jaringan komputer. Perbedaan antara pasar yang
tersentralisasi dan pasar yang terdesentralisasi adalah dalam pasar yang
tersentralisasi, perdagangan dilakukan di tempat yang mengumumkan
harga secara terbuka sehingga semua pelaku pasar memiliki kesempatan
perdagangan yang sama. Sebaliknya, dalam pasar yang terdesentralisasi,
harga-harga dikuotakan (quoted price) dan transaksi dilakukan secara
pribadi (biasanya berlangsung melalui sarana elektronik).
3. Dealer perbankan memperjualbelikan mata uang satu sama lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui broker. Secara langsung,
aktivitas jual beli mata uang terjadi melalui percakapan, umumnya melalui
perantara elektronik, antara dealer satu bank dan dealer dari bank lain.
Secara tidak langsung, aktivitas jual beli mata uang dilakukan dengan
cara dealer mengajukan limit order kepada broker, yaitu pemesanan
untuk membeli atau menjual suatu mata uang sejumlah tertentu dan pada
harga tertentu. Kemudian, broker akan mencocokkan limit order yang
masuk dengan harga bid dan ask terbaik yang ada dalam data mereka.
4. Dealer tidak memiliki informasi yang lengkap terkait dengan kondisi
pasar valas, terutama pasar valas antarbank. Berbeda dengan broker yang
memiliki informasi yang luas terkait dengan harga transaksi valas, dealer
hanya memiliki informasi terkait dengan transaksi yang mereka lakukan.
5. Dealer yang bekerja pada bank yang memiliki banyak nasabah dan
jaringan pasar yang meliputi seluruh dunia memiliki keuntungan

46
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas

dalam hal informasi daripada pelaku pasar valas lainnya. Hal tersebut
dikarenakan dealer memenuhi aktivitas jual beli mata uang dari nasabah
di pasar retail dalam area yang sangat luas. Aktivitas tersebut merupakan
sumber informasi pribadi (private information) yang hanya dimiliki oleh
dealer.
6. Aktivitas perdagangan mata uang oleh nasabah dapat didasari oleh motif
likuiditas, spekulasi, dan manajemen resiko.

3.2. Lokasi dan Regulasi Pasar Valas


Faktor mikro lain yang dapat memengaruhi perbedaan penentuan nilai tukar
adalah lokasi pasar valas. Penentuan nilai tukar di pasar valas yang berlokasi
di Eropa, New York, Tokyo tentunya akan berbeda dengan penentuan nilai
tukar di pasar valas yang berlokasi di Indonesia, India, China dan Korea
Selatan, misalnya. Perbedaan tersebut terutama berasal dari jumlah atau
kualitas informasi yang menjangkau pasar, atau perbedaan waktu yang cukup
bagi para pelaku pasar untuk memproses informasi baru secara penuh. Tingkat
efisiensi dan teknologi suatu pasar valas juga menentukan cepat atau tidaknya
suatu informasi sampai kepada peserta pasar valas. Selain itu, penentuan nilai
tukar juga dapat berbeda karena adanya perbedaan regulasi. Pada dasarnya,
tidak ada regulasi yang mengatur aktivitas jual beli mata uang dalam pasar
valas. Namun, beberapa negara membuat aturan terkait dengan arus valas
dan arus masuk modal asing. Perbedaan aturan tersebut dapat memengaruhi
penentuan nilai tukar di masing-masing negara. Sebagai contoh, penentuan
nilai tukar di negara yang relatif ketat dalam regulasi valas dan arus masuk
modal asing seperti China akan berbeda dengan negara yang lebih bebas
aturan seperti Amerika Serikat.

3.3. Ekspektasi Nilai Tukar dan Faktor-Faktor yang


Memengaruhinya
Pergerakan nilai tukar juga dapat dipengaruhi oleh ekspektasi para pelaku
pasar terhadap nilai tukar itu sendiri di masa depan. Faktor-faktor yang
memengaruhi perubahan ekspektasi tersebut, antara lain, adanya informasi,
berita atau bahkan rumor mengenai perubahan fundamental di masa depan,
dan adanya spekulasi mengenai perubahan nilai tukar di masa depan. Jika

47
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

harapan atau ekspektasi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan
berubah, maka nilai tukar hari ini akan berubah meski variabel-variabel lain
tidak berubah.
Ekspektasi juga dibedakan menjadi ekspektasi jangka pendek dan jangka
panjang. Ketidaksesuaian antara ekspektasi nilai tukar jangka pendek dan
jangka panjang dapat dijelaskan oleh perbedaan teknik-teknik ramalan yang
digunakan oleh para peserta pasar valas untuk horison waktu yang berbeda.
Sebagai contoh, teknik utama yang digunakan untuk peramalan nilai tukar
dalam jangka pendek adalah analisis chartist. Analisis chartist atau teknikal
melibatkan penggunaan grafik-grafik (chart) dari pergerakan harga aset
keuangan, dan terkadang juga menggunakan statistik deskriptif untuk
mencoba meramal kemungkinan-kemungkinan harga suatu mata uang di masa
depan dan menentukan strategi-strategi perdagangan. Sementara itu, teknik
yang digunakan untuk peramalan jangka panjang biasanya didasarkan pada
analisis fundamental atau model-model penentuan nilai tukar konvensional.
Perbedaan teknik ramalan ini dapat memengaruhi ekspektasi para pelaku
pasar valas dan pada akhirnya dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar.

3.4. Peran Informasi dan Order Flow


Salah satu asumsi dalam pendekatan mikrostruktur adalah bahwa para
pelaku dalam pasar apapun bersifat heterogen, yaitu para pelaku pasar
memiliki perbedaan, salah satunya dalam hal informasi. Perbedaan informasi
yang dimiliki antarpelaku dalam pasar valas, baik itu informasi yang
bersifat publik maupun pribadi, dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar.
Salah satu bentuk informasi publik adalah pengumuman (news) kebijakan
makroekonomi oleh otoritas berwenang, baik yang diantisipasi maupun yang
tidak diantisipasi. Pengumuman berita makro tersebut biasanya menyebabkan
terjadinya lonjakan dalam volume perdagangan dan volatilitas nilai tukar.
Heterogenitas informasi juga muncul antara jenis pelaku pasar valas
yang berbeda dan lokasi pasar yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa
literatur secara konsisten menyimpulkan bahwa pelaku keuangan memiliki
informasi yang lebih banyak dan lebih baik jika dibandingkan dengan pelaku
nonkeuangan. Namun, penentuan nilai tukar tidak hanya dipengaruhi oleh
heterogenitas informasi yang dimiliki oleh para pelaku pasar valas, tapi juga
dipengaruhi oleh perbedaan interpretasi antar para pelaku pasar valas terhadap

48
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas

informasi yang diterima (Evans, 2010). Sebagai contoh, terdapat berita yang
menyatakan bahwa rupiah mengalami apresiasi terhadap dolar AS. Namun,
terdapat perbedaan opini antar para pelaku pasar valas terkait dengan seberapa
jauh rupiah terapresiasi terhadap dolar AS. Dalam kondisi ini, apresiasi nilai
rupiah terhadap dolar AS dapat dinilai besar oleh sebagian pelaku dan dinilai
kecil oleh sebagian lainnya. Pelaku pasar valas yang menilai apresiasi tersebut
terlalu kecil, akan melakukan tindakan untuk menjual rupiah. Sedangkan
pelaku lainnya yang menilai apresiasi tersebut cukup besar, akan melakukan
tindakan untuk membeli rupiah. Perbedaan opini para pelaku pasar valas ini
berpengaruh pada tingkat keakuratan ramalan dan kemudian memengaruhi
volume perdagangan pasar valas (King, Osler dan Rime, 2012).
Beberapa literatur mikrostruktur juga membuktikan bahwa informasi
pribadi dan order flow memiliki kaitan erat dalam menentukan pergerakan
nilai tukar. Order flow dapat didefinisikan sebagai kliring permintaan bersih
atas suatu mata uang dikarenakan kebutuhan likuiditas para pelaku dalam pasar
valas. Implikasi dari pentingnya peran order flow adalah bahwa perubahan
harga mata uang atau nilai tukar terjadi hanya jika terdapat transaksi dalam
pasar valas, dan bukan disebabkan oleh adanya perubahan dalam variabel-
variabel fundamental. Atau dengan kata lain, adanya perubahan dalam
variabel fundamental tidak membuat pergerakan dalam nilai tukar jika tidak
ada transaksi yang terjadi dalam pasar valas. Transaksi tersebut dapat terjadi
karena adanya perubahan dalam informasi pribadi yang dimiliki oleh para
pelaku pasar valas, terutama market makers dan dealer, yang berhubungan
langsung dengan permintaan dan penawaran suatu mata uang oleh nasabah/
klien. Perubahan informasi tersebut kemudian memengaruhi perubahan order
flow oleh market makers dan dealer. Pengaruh order flow terhadap nilai tukar
juga menjadi bahan pertimbangan para dealer dalam melakukan strategi
perdagangannya yang pada akhirnya dapat memengaruhi pergerakan nilai
tukar.

3.5. Time-Varying Volatility


Salah satu karakteristik dari pasar valas adalah volatilitas berdasarkan variasi
waktu (time-varying volatility) atau fluktuasi volatilitas sepanjang waktu.
Volatilitas itu sendiri didefinisikan sebagai variasi perubahan harga atau
nilai. Volatilitas umumnya diukur dengan menggunakan standar deviasi atau

49
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

varians dari tingkat pengembalian suatu mata uang atau instrumen keuangan
lainnya. Volatilitas tersebut dapat digunakan untuk mengukur resiko dari
instrumen terkait. Adanya volatilitas ini tentunya dapat memengaruhi
penentuan nilai tukar suatu mata uang.

3.6. Perilaku Market-Makers dan Penentuan Bid-Ask Spread


Literatur mikrostruktur juga telah menaruh perhatian mengenai bagaimana
perilaku dari market-makers mampu memengaruhi tingkat efisiensi pasar.
Seperti namanya, market makers adalah pihak yang membuat pasar untuk
satu atau lebih mata uang dengan cara menetapkan harga bid dan ask
sesuai dengan permintaan terhadap mata uang terkait. Market makers bisa
merupakan suatu divisi tertentu dari suatu bank umum atau bank investasi
atau pihak di luar perbankan yang dibayar untuk melakukan transaksi, seperti
dealer. Penentuan bid-ask spread dan perlakuan terhadap informasi harga
menggambarkan dua hal yang utama yang lazim menjadi perhatian terkait
dengan perilaku market makers. Salah satu karakteristik dalam aktivitas jual
beli mata uang adalah satu mata uang memiliki dua harga, yaitu harga bid
dan ask. Harga bid adalah harga tertinggi yang bersedia dibayar oleh pembeli
(buyer) untuk suatu mata uang. Sedangkan harga ask adalah harga terendah
yang bersedia diterima oleh pembeli untuk suatu mata uang. Perbedaan antara
harga bid dan ask disebut dengan bid-ask spread. Spread ini mencerminkan
likuiditas suatu mata uang. Biasanya, semakin kecil spread untuk suatu mata
uang, berarti mata uang tersebut semakin likuid. Perbedaan penentuan nilai
tukar juga dapat disebabkan oleh perbedaan penentuan bid-ask spread oleh
market-makers.
Teori keuangan mengidentifikasi tiga faktor utama penentu bid-ask
spread, yaitu biaya jasa dealer (cost of dealer services), biaya dari kesalahan
seleksi (cost of adverse selection), dan biaya inventaris (inventory holding
cost).
Biaya jasa dealer dapat berupa, sebagai contoh, biaya perolehan
keterampilan dan biaya untuk mendapatkan akses ke agen khusus informasi
elektronik dan sistem trading (contoh: Reuters). Biaya jasa dealer ini
kemudian dimasukkan sebagai pertimbangan dalam penentuan bid-ask spread
oleh market-makers hingga pada gilirannya akan memengaruhi pergerakan
nilai tukar.

50
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas

Terkait dengan biaya adverse selection, umumnya, pihak-pihak yang


bertransaksi dengan market-makers dalam pasar valas terdiri dari dua, yaitu
mereka yang didasari motif likuiditas dan yang didasari motif spekulasi. Para
transaktor yang didasari motif likuiditas umumnya bersedia membayar harga
spread kepada market-makers sebagai syarat pertukaran untuk kesegeraan
informasi untuk melakukan prediksi. Sedangkan para transaktor yang
didasari motif spekulasi melakukan spekulasi terhadap market-maker dengan
menggunakan beberapa informasi dari orang-dalam (insider information).
Permasalahan adverse selection ini muncul secara jelas karena market-makers
tidak dapat membedakan antara transaktor yang didasari motif likuiditas dan
motif spekulasi, hingga kemudian menyebabkan spread antara kedua kategori
tersebut menjadi lebih lebar. Perubahan spread ini akan memengaruhi
penentuan bid-ask spread oleh market makers dan pada gilirannya dapat
memengaruhi penentuan nilai tukar.
Kemudian, biaya inventory holding memengaruhi penentuan bid-ask
spread melalui seberapa besar market-makers ingin memegang suatu mata
uang ke dalam cadangan inventaris mereka. Akumulasi cadangan inventaris
suatu mata uang umumnya dipengaruhi oleh kebutuhan market-makers
terhadap mata uang tersebut, terutama terkait dengan aktivitas perdagangan
internasional. Berdasarkan model optimisasi dinamis (dynamic optimization
model), market makers akan mengoptimalkan harga bid dan ask mereka
sepanjang waktu, terutama karena adanya order flow. Hal tersebut dapat
menggeser, baik tingkat harga bid maupun ask, ke bawah (ke atas) dan
lebar spread semakin melebar apabila inventaris positif (negatif) sudah
terakumulasi. Perubahan spread tersebut pada akhirnya dapat memengaruhi
pergerakan nilai tukar.

3.7. Intensitas Perdagangan: Hot Potatoes vs. Event Uncertainty


Lyons (1996) membagi fenomena intensitas atau frekuensi perdagangan
nilai tukar menjadi dua, yaitu fenomena event uncertainty dan hot potatoes.
Fenomena event uncertainty menyatakan bahwa perdagangan menjadi lebih
informatif pada saat intensitas perdagangan tinggi. Sedangkan, fenomena
hot potatoes menganggap bahwa perdagangan menjadi lebih informatif pada
saat intensitas perdagangan rendah. Fenomena hot potatotoes terjadi lebih
disebabkan oleh adanya operan pemesanan berulang antardealer karena

51
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

adanya ketidakseimbangan persediaan/inventaris suatu mata uang di antara


para dealer. Fenomena hot potatoes sering digunakan sebagai salah satu
penjelasan terkait dengan tingginya turnover antardealer di pasar valas.
Tingginya turnover antardealer tersebut bisa menjadi salah satu faktor
penentu nilai tukar.

52
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

BAB 4 REZIM NILAI TUKAR DALAM


SEJARAH INTERNASIONAL

Setiap negara di dunia harus menetapkan mata uang negaranya terhadap mata
uang negara lain sebagai patokan untuk memudahkan aktivitas perdagangan
antarnegara. Penetapan nilai tukar suatu negara memiliki dampak yang
signifikan terhadap aktivitas neraca pembayaran dan efektivitas kebijakan
moneter yang pada gilirannya mendorong kegiatan perekonomian negara
tersebut. Nilai tukar mata uang yang menguat secara signifikan dapat
mengurangi daya saing ekspor barang domestik dan membuat harga barang
impor menjadi relatif lebih murah. Hal ini kemudian dapat menyebabkan defisit
neraca perdagangan dari waktu ke waktu. Terkait dengan kebijakan moneter,
depresiasi nilai tukar yang berlebihan dapat mengganggu berjalannya fungsi
kebijakan moneter dan pada akhirnya mengganggu tercapainya kestabilan
harga dalam negeri.
Setelah runtuhnya sistem nilai tukar Bretton Woods, berbagai jenis
sistem nilai tukar telah digunakan oleh berbagai negara. Corden (2002)
mengklasifikasikan sistem nilai tukar ke dalam tiga kelompok, yaitu: i)
sistem nilai tukar tetap murni (absolutely fixed exchange rate); ii) sistem nilai

Gambar 20.
Sistem Nilai Tukar

������������ ���� ������������


����������� �����
����� ����������

������� �������

�������������� ������ ��������������� ����������


����������

������������ ������������

����������� �����
����������

�������������������������������������

53
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

tukar mengambang murni (pure floating regime); iii) sistem nilai tukar tetap
tetapi dapat disesuaikan (fixed but adjustable rate/FBAR) yang merupakan
kombinasi sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Selain itu, ada juga
beberapa sistem nilai tukar yang merupakan kombinasi dari sistem nilai
tukar mengambang. Gambar 20 merangkum semua jenis sistem nilai tukar
tersebut.

4.1. Sistem Nilai Tukar Tetap Murni


Pada sistem nilai tukar tetap ini, besaran nilai tukar mata uang domestik
terhadap mata uang negara lain ditetapkan pada tingkat tertentu oleh otoritas
moneter/bank sentral tanpa melihat aktivitas penawaran dan permintaan di
pasar uang. Apabila terjadi pergerakan nilai tukar yang menjauhi besaran
yang telah ditetapkan, maka dalam hal ini otoritas moneter/bank sentral akan
melakukan intervensi dengan membeli atau menjual mata uang di pasar valas
untuk mendorong nilai tukar ke tingkat yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu, di bawah rejim ini, bank sentral melakukan intervensi aktif di pasar
valas dalam penetapan nilai tukar. Gambar 21 di bawah ini menunjukkan
bagaimana kondisi nilai tukar suatu mata uang dalam sistem nilai tukar tetap.
K1 merupakan kondisi mata uang suatu negara yang terlalu tinggi daripada
nilai yang ditetapkan. Sebaliknya, kondisi mata uang suatu negara yang terlalu
rendah ditunjukkan oleh K2.

Gambar 21.
Keseimbangan Nilai Tukar Tetap
����
��

��
��

�� �����
����
��

�� ��

�������������������
�������������������������������������

54
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods, sistem nilai tukar tetap telah
ditinggalkan oleh banyak negara sehingga hanya sebagian kecil negara
saja yang masih menerapkan sistem ini. Dua penyebab utama suatu negara
meninggalkan sistem ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sistem
nilai tukar tetap dapat mengganggu neraca perdagangan, terutama jika nilai
tukar dinilai overvalued. Nilai tukar yang overvalued menyebabkan nilai tukar
mata uang domestik menjadi lebih mahal dari nilai sebenarnya. Kondisi ini
mengakibatkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal di luar negeri
dan harga barang impor menjadi lebih murah sehingga dapat memperburuk
neraca perdagangan domestik. Demikian sebaliknya dengan nilai tukar yang
undervalued.
Kedua, ketidakcukupan cadangan devisa untuk mempertahankan sistem
ini. Untuk dapat mempertahankan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang lain pada tingkat tertentu, suatu negara dipersyaratkan untuk memiliki
cadangan devisa yang lebih dari cukup. Negara-negara yang mempunyai
sedikit cadangan devisa akan rentan terhadap serangan spekulasi nilai tukar
karena tidak mampu mengintervensi pasar valas untuk mempertahankan nilai
tukar.

4.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Penuh


Dalam sistem nilai tukar mengambang penuh, nilai tukar suatu mata uang tidak
ditetapkan pada tingkat/besaran tertentu melainkan dibiarkan berfluktuasi
berdasarkan banyaknya permintaan dan penawaran mata uang tersebut relatif
terhadap mata uang lainnya. Jika permintaan valas relatif terhadap mata uang
domestik lebih besar dari penawarannya, maka nilai tukar mata uang domestik
akan menurun. Sebaliknya, nilai tukar domestik yang menguat menunjukkan
bahwa penawaran valas relatif terhadap mata uang domestik lebih besar dari
permintaannya (Gambar 22).
Dua alasan mengapa banyak negara yang menggunakan sistem nilai
tukar mengambang adalah sebagai berikut. Pertama, sistem nilai tukar
ini memberikan kebebasan kepada negara yang menerapkannya untuk
mengeluarkan kebijakan yang independen karena sistem ini memungkinkan
negara penggunanya untuk memisahkan kebijakan ekonominya dari dampak
kebijakan eksternal. Kedua, sistem nilai tukar ini tidak mewajibkan negara
penggunanya untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu,
sehingga suatu negara memiliki kewajiban untuk mengumpulkan cadangan

55
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Gambar 22.
Keseimbangan Nilai Tukar Mengambang

����
��


��

��


��
��
��


��
� � �� ��

����������������
�������������������������������������

devisa sebanyak-banyaknya. Namun, sistem ini juga mempunyai kelemahan,


yaitu penetapan nilai tukar yang berdasarkan mekanisme pasar menyebabkan
nilai tukar mudah berfluktuasi sehingga dapat memengaruhi stabilitas
perekonomian domestik.

4.3. Fixed but Adjustable Rate (FBAR)


Sistem nilai tukar FBAR disebut juga dengan sebutan adjustable peg dan
merupakan perpaduan antara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar
mengambang murni. Salah satu ciri dari sistem nilai tukar ini adalah komitmen
untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu oleh bank sentral.
Oleh karena itu, dalam sistem ini, tingkat nilai tukar juga ditentukan oleh
pembuat kebijakan/bank sentral dan bank sentral akan melakukan intervensi
langsung dengan menjual dan membeli mata uang dengan harga tetap di pasar
valas untuk mempertahankan tingkat nilai tukar tersebut.
Yang membedakan FBAR dengan nilai tukar tetap murni adalah tingkat
nilai tukar yang dapat berubah. Namun pada kenyataannya, perubahan
tersebut tidak selalu dilakukan oleh bank sentral dengan tujuan untuk menjaga
kredibilitas. Hal tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran terkait dengan
reaksi pasar, karena adanya perubahan tingkat nilai tukar dapat mencerminkan

56
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

perubahan fundamental ekonomi atau terjadinya tekanan pasar yang kuat


yang memengaruhi cadangan devisa yang pada akhirnya dapat memengaruhi
stabilitas perekonomian.
Keunggulan dari sistem ini adalah dapat mendorong terciptanya kebijakan
moneter dan nilai tukar yang independen, terutama jika diterapkan oleh
negara dengan mobilitas arus modal yang rendah. Arus modal yang rendah
mempermudah otoritas moneter untuk menyusun dan mengimplementasikan
kebijakannya tanpa perlu mengkhawatirkan arus masuk dan keluar modal.
Demikian halnya dengan kebijakan nilai tukar, otoritas moneter dapat
melakukan penyesuaian berdasarkan faktor fundamental ekonomi dan kondisi
pasar valas. Sebaliknya, otoritas moneter di negara dengan arus modal yang
tinggi tidak dapat melakukan kebijakan moneternya secara independen. Hal
itu disebabkan arus modal yang tinggi memberikan tekanan yang tinggi
juga terhadap nilai tukar sehingga kebijakan bank sentral lebih banyak
diarahkan untuk menjaga kestabilan nilai tukar. Secara singkat, karakteristik
dan implikasi kebijakan moneter dari masing-masing rezim nilai tukar yang
berbeda diilustrasikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

����� ������� ��������


����������������������� �������������� ���������������
������������������ ������������������ ����������������
������������������� �������������������� ��������������
���������������������� ����� ���������������
������ ����������������� �������������������� ���������������
������������������� �������������
�������������������� ���������������������
����������������
������
�������������������� ������������������� �����������������������
����������������������� ������������������ ������������������
��������������������� ����������������������� ������������������������
����������������������� ����������������� �����������
��������� ����������������������� ������������������������ ����������������
��������������������� ����������������
�������������������� ��������������������
���������������������� �����������������
�����������������

57
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

4.3.1. Sistem nilai tukar terpatok (peg)


Sistem nilai tukar terpatok (pegged exchange rate system) merupakan varian
dari sistem nilai tukar FBAR dan mengambang. Sistem nilai tukar terpatok
adalah suatu sistem nilai tukar di mana mata uang suatu negara dipatokkan
atau dikaitkan ke suatu mata uang asing atau ke sekeranjang mata uang asing
(multi-currency pegging). Sistem ini terbagi menjadi dua sebagai berikut:
• Flexible peg
Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral mematok atau mengaitkan
(peg) nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing sebesar
besaran tertentu dalam jangka waktu yang pendek. Dalam sistem ini,
otoritas moneter tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai
tukar pada tingkat tertentu atau mempertahankan nilai tukar riil tertentu.
Penetapan peg nilai tukar mata uang tersebut dapat dilakukan, baik melalui
intervensi maupun mekanisme pasar. Kurs atau nilai tukar dengan sistem
ini dengan cepat dan sering disesuaikan sebagai respon terhadap kekuatan
pasar atau perubahan fundamental ekonomi. Keunggulan dari sistem ini
yaitu dapat mencegah terjadinya ketidakstabilan atau volatilitas nilai
tukar dalam jangka pendek. Sistem ini memiliki kelemahan yaitu tidak
dapat digunakan sebagai jangkar nominal. Namun demikian, kelemahan
tersebut membuat sistem ini memiliki fleksibilitas yang dapat mendorong
pelaksanaan kebijakan moneter yang independen.
• Crawling peg
Sistem nilai tukar crawling peg terbagi menjadi dua, yaitu active crawling
peg dan passive crawling peg. Dalam sistem nilai tukar crawling peg
aktif, pemerintah atau bank sentral menetapkan nilai tukar pada besaran
tertentu dan secara berkala besaran tersebut disesuaikan berdasarkan
perkembangan indikator-indikator ekonomi tertentu, seperti perbedaan
inflasi dengan negara mitra dagang utama. Penetapan nilai tukar terhadap
mata uang asing tersebut dilakukan di depan (pre-announced rate). Sistem
nilai tukar crawling peg yang aktif umumnya digunakan sebagai jangkar
nominal untuk menurunkan laju inflasi, seperti yang dilakukan beberapa
negara Amerika Latin guna memerangi inflasi yang tinggi. Sementara itu,
sistem nilai tukar crawling peg pasif dilandasi pada pendekatan target
riil, yaitu nilai tukar riil. Dalam sistem ini, nilai tukar nominal pada suatu

58
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

waktu tertentu disesuaikan sejalan dengan perkembangan inflasi pada


masa lalu atau inflasi saat ini dan inflasi negara mitra dagang dan negara
pesaing utama. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga target nilai tukar
riil konstan. Berbeda dengan sistem nilai tukar crawling peg aktif, dalam
sistem ini tidak ada penetapan nilai tukar di depan (pre-announced).
Kelemahan sistem crawling peg pasif ini adalah tidak kredibel sehingga
rentan terhadap serangan spekulasi.

Tabel 2.
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar De Jure

�������
������� ������� �������
�������
�������������� ���� ���� ���� ����
�� ��������� ���� ���� ���� ����
�� �������������������� ���� ���� ���� ����
�� ����������� ���� ���� ���� ����
�������������������� ���� ���� ���� ����
�� ����������������������������������� ��� ��� ��� ���
�� �������������������������������������� ���� ��� ���� ����
���������������� ���� ��� ��� ����
�� ��������������������������������������

�������������������������������������������
����������������������

Tabel 2 dan Gambar 23 menunjukkan negara yang menerapkan rezim


peg mengalami penurunan, yaitu dari 84,8% pada periode 1970-79 menjadi
hanya 46,6% pada 1990-99. Sementara itu, negara yang menganut rezim nilai
tukar yang fleksibel semakin banyak, yaitu 26,4% untuk rezim pertengahan
(intermediate) dan 27,0% untuk rezim mengambang pada periode 1990-99.
Di antara rezim peg terdapat kecenderungan pergeseran dari peg terhadap
satu mata uang menjadi hard-peg atau peg terhadap sekeranjang mata uang.
Demikian pula dengan rezim nilai tukar fleskibel, terdapat kecenderungan
mengarah ke rezim fleksibel dengan intervensi secara tersamar, atau dengan
jumlah yang relatif kecil, atau tanpa intervensi sama sekali.

59
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Gambar 23.
Perkembangan Rezim Nilai Tukar di Berbagai Negara

�����������������������
�����������������������������
����
��������
�� ��������
��������

��
��
��
�����������

������������
������������������
�� ����
��������
�� ������
�������������
��
������ ���
����������� ��
��
���� ����
�������������������� �������������������
�� ��������
��������
���������

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
����������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������������������������������������������
���������������������������������������������������������
����������������������

4.3.2. Sistem nilai tukar target zone (band)


Secara definisi, nilai tukar mata uang dalam sistem ini dibiarkan mengambang
dalam target daerah tertentu (band) dengan penetapan rentang band berupa
batas atas dan batas bawah. Dalam sistem ini, bank sentral berkewajiban
untuk menjaga nilai tukar dalam rentang band tersebut. Oleh karena itu,
dalam sistem ini penetapan besarnya rentang band menjadi salah satu faktor
penting yang harus diperhatikan. Sistem ini menjadi mirip dengan sistem
nilai tukar mengambang murni apabila rentang band yang ditetapkan terlalu
lebar. Sebaliknya, sistem ini menjadi mirip dengan FBAR apabila rentang
band yang ditetapkan terlalu sempit. Namun demikian, adanya rentang band
tersebut menjadikan sistem ini memiliki banyak fleksibilitas. Rentang band
yang ditetapkan juga dapat disesuaikan atau dibiarkan tetap pada waktu
tertentu.

60
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional

4.3.3. Sistem nilai tukar mengambang terkendali


Penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali oleh suatu negara
ditandai dengan adanya intervensi di pasar valas oleh bank sentral, namun tidak
ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu atau
pada suatu batasan (target zone) tertentu. Intervensi di pasar valas merupakan
sejenis batasan target yang tidak resmi (unannounced target zone). Perbedaan
mendasar antara sistem ini dengan FBAR dan standard (announced) target
zone adalah tidak adanya komitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada
tingkat tertentu. Dengan demikian, dalam sistem ini tidak ada usaha dari bank
sentral untuk memengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap pergerakan nilai
tukar atau permasalahan kredibilitas.
Berbeda dengan sistem nilai tukar mengambang murni, sistem nilai tukar
mengambang terkendali tidak melarang adanya intervensi di pasar valas.
Namun demikian, intervensi tersebut tidaklah ditujukan untuk mengarahkan
nilai tukar pada tingkat tertentu, melainkan untuk menstabilkan nilai tukar
secara berkala atau setidaknya mengurangi volatilitas pada tingkat yang
moderat, serta mencegah pergerakan nilai tukar yang terlampau besar. Salah
satu alasan penggunaan sistem ini oleh pembuat kebijakan adalah adanya
kebebasan bagi otoritas moneter untuk melakukan intervensi atau kebijakan
lain, seperti suku bunga, untuk mencapai nilai tukar yang diharapkan sesuai
dengan kebutuhan ekonomi tanpa harus kehilangan kredibilitas. Namun
demikian, sistem ini juga memiliki kelemahan, yaitu dapat mendorong
kegiatan spekulasi dan (jika) bank sentral atau pemerintah tidak mempunyai
cadangan devisa yang cukup, hal tersebut dapat menyebabkan ambruknya
sistem nilai tukar ini.

61
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

BAB 5 VOLATILITAS NILAI TUKAR DAN


RESPON BANK SENTRAL:
STUDI KASUS BEBERAPA NEGARA

Pencapaian nilai tukar yang stabil dan kompetitif serta laju inflasi yang
terkendali sangat diperlukan untuk menciptakan situasi yang kondusif
bagi kegiatan ekonomi domestik. Volatilitas nilai tukar yang berlebihan
dapat menimbulkan beban biaya riil pada perekonomian domestik melalui
dampaknya terhadap perdagangan internasional, investasi dan pelaksanaan
kebijakan moneter. Selain itu, perubahan nilai tukar juga memiliki konsekuensi
terhadap harga, upah, suku bunga, tingkat produksi, dan kesempatan kerja
serta perekonomian secara luas. Berdasarkan hal ini, terdapat kepentingan
yang besar di antara pembuat kebijakan dan akademisi untuk mengeksplorasi
ruang kebijakan yang tersedia bagi bank sentral di setiap negara untuk
menangani setiap volatilitas tajam dalam pasar keuangan, terutama pasar
valuta asing. Sub-bagian berikut membahas praktik kebijakan pengendalian
nilai tukar di beberapa negara maju, antara lain, Amerika Serikat, Australia,
Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan Swiss. Pemilihan negara-negara tersebut
didasarkan pada kemajuan perekonomian, pasar keuangan, dan sistem nilai
tukar.

5.1. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara Maju


5.1.1. Amerika Serikat
Amerika Serikat menekankan sistem nilai tukar yang berbasis mekanisme
pasar. Namun dalam praktiknya, pergerakan nilai tukar tidak sepenuhnya
disebabkan oleh mekanisme pasar, sehingga otoritas moneter AS terkadang
tetap melakukan campur tangan dalam transaksi di pasar valas. Sejak runtuhnya
sistem Bretton Woods pada tahun 1971, Amerika Serikat telah menggunakan
intervensi nilai tukar, baik untuk memperlambat nilai tukar yang cepat,
maupun untuk memberikan sinyal mengenai pandangan otoritas moneter AS
bahwa nilai tukar tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi dalam
negeri. Intervensi nilai tukar oleh otoritas moneter AS menjadi jauh lebih
jarang dilakukan pada akhir tahun 1990-an.

62
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

Departemen Keuangan AS, berkonsultasi dengan Federal Reserve


System, memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan nilai tukar
AS, sementara the Fed New York bertanggung jawab untuk melakukan
intervensi nilai tukar tersebut. Mata uang asing yang digunakan untuk
melakukan intervensi biasanya berasal dari kepemilikan bersama antara the
Fed dan Bursa Dana Stabilisasi Keuangan Treasury AS. The Fed New York
terkadang berhubungan langsung secara simultan dengan banyak dealer besar
antarbank untuk membeli dan menjual mata uang di pasar nilai tukar dengan
transaksi spot (spot exchange rate market). The Fed, secara historis, belum
pernah terlibat dalam transaksi forward atau transaksi derivatif lainnya.

5.1.2. Australia
Australia saat ini sudah mengadopsi rezim nilai tukar mengambang. Kebijakan
nilai tukar Australia bergeser melalui beberapa rezim sebelum dolar Australia
akhirnya dibiarkan mengambang pada tahun 1983. Dari tahun 1931, mata
uang Australia dipatok (peg) ke mata uang poundsterling Inggris, sebelum
akhirnya dipatok terhadap dolar AS pada tahun 1971. Pada sebagian besar
periode ini -- dari tahun 1944 ke awal tahun 1970-an -- sistem nilai tukar
Australia yang terpatok dioperasikan sebagai bagian dari sistem global nilai
tukar terpatok (pegged exchange rate system), yang dikenal sebagai sistem
Bretton Woods.
Ketika sistem Bretton Woods runtuh di awal tahun 1970-an, negara-
negara maju mengambangkan nilai tukar mata uang mereka. Namun,
Australia tetap menerapkan sistem nilai tukar yang dipatok dengan dolar
AS. Penerapan ini mempertimbangkan sektor keuangan Australia yang saat
itu relatif masih terbelakang. Kemudian, dimulai dari sekitar pertengahan
tahun 1970-an, dolar Australia menjadi semakin lebih fleksibel. Pada tahun
1974, dolar Australia dipatok terhadap TWI (Trade Weight Index). TWI
adalah rata-rata tertimbang dari sekeranjang mata uang yang mencerminkan
pentingnya jumlah ekspor dan impor barang Australia ke setiap negara.
Pada tahun 1976, sistem patokan tersebut kemudian diubah dari hard peg
menjadi crawling peg. Crawling peg melibatkan penyesuaian berkala untuk
tingkat nilai tukar. Dalam perkembangannya, Australia mengambangkan
nilai tukarnya pada akhir tahun 1983. Hal ini sebagai akibat adanya tekanan
spekulatif pada nilai dolar Australia. Terdapat arus modal yang sangat besar
masuk ke perekonomian Australia yang berasal dari spekulan yang bertaruh

63
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

pada apresiasi dolar Australia. Hal ini kemudian memaksa pemerintah untuk
memilih kebijakan antara pengetatan kontrol modal atau pengambangan nilai
tukar. Penerapan rezim nilai tukar mengambang telah memberikan manfaat
bagi perekonomian, antara lain, penurunan volatilitas output selama dua
dekade terakhir ini. Rezim nilai tukar mengambang juga memungkinkan
Reserve Bank Australia untuk menetapkan kebijakan moneter yang paling
sesuai untuk kondisi perekonomian domestik. Dengan demikian, terdapat
independensi pada kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi.

5.1.3. Jepang
Saat ini, Jepang masih mempertahankan rezim nilai tukar mengambang. Sejak
tahun 2013, Jepang tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing.
Dalam pernyataan G-7 pada Februari 2013, Jepang berjanji akan mendasarkan
kebijakan ekonomi untuk tujuan-tujuan domestik dan menghindari kebijakan
penargetan nilai tukar. Hal ini juga dipertegas oleh Gubernur Bank Sentral
G-20, pada pertemuan yang diadakan di Moskow pada Februari 2013, yang
menyatakan bahwa negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk
Jepang, tidak akan menargetkan nilai tukar untuk tujuan kompetitif. Sejak
Februari 2013, pejabat Jepang telah jelas mengesampingkan pembelian aset
asing sebagai alat kebijakan moneter.

5.1.4. Kanada
Kanada mengadopsi sistem nilai tukar mengambang. Baik pemerintah
maupun bank sentral Kanada tidak menargetkan tingkat tertentu untuk dolar
Kanada. Bank sentral Kanada dapat mengintervensi nilai tukar di pasar valuta
asing atas nama pemerintah federal untuk mengantisipasi arus modal masuk
jangka pendek yang mengganggu dolar Kanada. Intervensi tersebut diatur
oleh kebijakan intervensi yang ditentukan oleh pemerintah melalui konsultasi
dengan bank sentral Kanada. Kebijakan intervensi Kanada dalam pasar
valuta asing dilakukan secara diskresi (discretionary), di mana bank sentral
hanya akan mengintervensi jika perekonomian dalam keadaan luar biasa.
Ketika intervensi terjadi, terdapat pengumuman yang menunjukkan adanya
intervensi pada website bank sentral Kanada. Informasi mengenai jumlah
intervensi yang dilakukan pemerintah tersedia untuk umum di press release
bulanan resmi pemerintah mengenai cadangan internasional.

64
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

5.1.5. Korea Selatan


Korea Selatan secara resmi mempertahankan rezim nilai tukar yang ditentukan
oleh pasar, dan otoritas terkait melakukan intervensi dengan tujuan untuk
mengurangi volatilitas pada won. Tidak seperti kebanyakan negara berkembang
dan negara industri besar lainnya, Korea Selatan tidak terbuka terkait dengan
laporan intervensi pasar valuta asing. Pada Februari 2013, Korea bergabung
dengan negara-negara G-20 lainnya dan berkomitmen untuk menahan diri
dari devaluasi mata uang dan tidak menargetkan nilai tukar untuk tujuan
kompetitif. Bank sentral Korea telah melakukan intervensi di kedua sisi pasar,
baik onshore maupun offshore, tapi terbatas hanya untuk menekan apresiasi
won. Namun, intervensi Korea tersebut dapat dimanifestasikan sebagai
kenaikan cadangan devisa utama atau sebagai kenaikan posisi forward bank
sentral. Long forward position menunjukkan arus masuk cadangan devisa di
masa depan dan terdiri dari long position dalam forwards dan futures dalam
mata uang asing, termasuk forward leg dari swap mata uang.

5.1.6. Swiss
Pada tahun 2011, akibat adanya tekanan dari krisis global dan Eropa, Swiss
mulai mengadopsi nilai tukar terpatok (pegged exchange rate) terhadap euro.
Oleh karena itu, mata uang Swiss, franc, terkenal di kalangan para investor
sebagai mata uang yang paling aman. Pada bulan September 2011, dalam
konteks deflasi, Bank Nasional Swiss (Swiss National Bank/ SNB) menetapkan
tingkat minimum nilai tukar (floor) sebesar 1,20 franc Swiss per euro. Per
September 2014, SNB secara berkala menegaskan kembali komitmennya
untuk mengelola nilai tukar, dengan menyatakan bahwa SNB telah siap untuk
membeli mata uang asing dalam jumlah tak terbatas untuk mencapai tingkat
nilai tukar franc Swiss sebesar 1,20. Namun, kondisi perekonomian global
yang tidak kunjung membaik serta adanya tekanan politik, memaksa bank
sentral Swiss mengambangkan nilai tukarnya pada 15 Januari 2015. Hal
tersebut menyebabkan panik di kalangan investor dan pelaku pasar keuangan
dan mendorong apresiasi franc Swiss dari 1.2 menjadi 0.85 franc per euro.

65
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

5.2. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara


Berkembang
Pasca terjadinya krisis global di tahun 2008 hingga awal tahun 2009, negara-
negara berkembang mengalami pemulihan yang kuat terkait dengan arus
modal asing yang masuk ke dalam negeri. Arus modal masuk tersebut bahkan
mencapai tingkat yang sebanding dengan puncak sebelum terjadinya krisis.
Masuknya arus modal ini didorong oleh kombinasi fundamental negara-negara
berkembang yang relatif menguntungkan dan motif para investor luar negeri
untuk mencari selisih yang menguntungkan (yield) dikarenakan rendahnya
suku bunga di negara maju.
Bagi negara berkembang, arus modal masuk diharapkan dapat memberikan
banyak manfaat, membantu peluang investasi keuangan, menyerap guncangan
terhadap konsumsi, dan memfasilitasi transfer teknologi dalam kasus FDI.
Namun, disadari bahwa arus modal masuk juga dapat membawa risiko.
Salah satunya adalah, bahwa arus masuk besar-besaran dapat menyebabkan
nilai tukar domestik mengalami apresiasi yang kuat, yang pada gilirannya
dapat melemahkan daya saing ekspor. Arus modal masuk yang besar juga
dapat mempersulit kebijakan makroekonomi dengan mendorong aktivitas
ekonomi yang sudah terlalu terkontraksi (overheat). Masuknya arus modal
dapat mengganggu penerapan kebijakan moneter yang ketat dalam upaya
menekan tingkat inflasi. Dari sisi kehati-hatian, terdapat kekhawatiran bahwa
arus modal masuk terkait dengan struktur liabilitas eksternal yang berisiko,
dan secara umum arus modal masuk tersebut mungkin tidak diarahkan untuk
penggunaan produktif, sehingga kemudian memicu ledakan konsumsi dan
gelembung harga aset (Chamon dan Garcia, 2014).
Ekspektasi nilai tukar merupakan salah satu faktor penting dalam
keputusan kebijakan moneter di negara-negara berkembang. Sementara itu,
salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi ekspektasi nilai tukar adalah
fundamental makroekonomi. Prospek pertumbuhan ekonomi yang positif
atau persepsi kerentanan ekonomi domestik terhadap guncangan eksternal
yang rendah, dapat menarik arus masuk modal asing dan memperkuat nilai
tukar. Selain itu, intervensi di pasar valas oleh bank sentral juga berpotensi
memengaruhi ekspektasi nilai tukar.
Berikut ini akan dibahas bagaimana kebijakan pengendalian nilai tukar di
beberapa negara berkembang, di antaranya Afrika Selatan, Argentina, Brasil,
China, India, Malaysia, Meksiko, Rusia dan Thailand. Pemilihan negara-

66
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

negara berkembang tersebut didasarkan pada pengalaman krisis yang pernah


dialami, perubahan kebijakan pengendalian nilai tukar dan perkembangan
perekonomian negara terkait pasca krisis.

5.2.1. Afrika Selatan


Tabel 3 menunjukkan kebijakan nilai tukar Afrika Selatan yang berevolusi
dari rezim nilai tukar tetap pada tahun 1970 menjadi rezim nilai tukar
mengambang terkendali dari pertengahan tahun 1979 sampai dengan
pertengahan tahun 1999. Pada Maret 1995, otoritas moneter Afrika Selatan
melakukan penyatuan nilai tukar (unified exchange rate) dengan sistem nilai
tukar mengambang di bawah mekanisme kebijakan moneter berupa penargetan
inflasi (inflation targeting). Kebijakan nilai tukar Afrika Selatan saat ini adalah
membiarkan nilai tukar mata uang rand ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran dalam pasar, meski tidak menutup kemungkinan bagi bank
sentral Afrika Selatan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
meredam volatilitas nilai tukar yang berlebihan dan memastikan stabilitas
ekonomi dan keuangan.

Tabel 3.
Perubahan Rezim Nilai Tukar di Afrika Selatan

������� ����� ��������������������


� ������������� �����������
� ������������� ���������������������������������������
� ������������� ������������������������������������������������������������
� ������������� �������������������������������
� ������������� �����������������������������������������������������������������
���������������������������
� ������������� �����������������������������������������
� ������������� �������������������������
� ������������� �����������������������������������������
� ������� ����������������������������������������������

���������������������������

5.2.2. Argentina
Otoritas bank sentral dan pemerintah pusat Argentina telah mengenalkan
beberapa langkah dan kebijakan untuk mengatur pasar nilai tukar. Mengenai
ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) setelah runtuhnya rezim

67
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

dewan mata uang (currency board regime) pada tahun 2001, bank sentral
Argentina menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya masalah. Langkah-langkah tersebut termasuk di antaranya adalah
mempromosikan penurunan risiko mata uang, misalnya dengan menetapkan
aturan kecukupan modal untuk ketidaksesuaian mata uang (currency
mismatch), bersama-sama dengan kerangka peraturan yang menetapkan bahwa
deposito dalam dolar di bank lokal harus digunakan hanya untuk pinjaman
dalam dolar. Demikian pula dengan kredit berdenominasi dolar yang hanya
boleh diberikan saat kapasitas pembayaran debitur berkaitan dengan dolar
(misalnya, kegiatan sektor tradable).
Dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukar, Argentina juga melakukan
peraturan arus masuk modal jangka pendek dan mencegah kemungkinan
terjadinya arus modal keluar secara tiba-tiba. Untuk mengurangi efek
negatif dari arus modal jangka pendek, Argentina telah berhasil mengambil
serangkaian tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejak
pertengahan 2005, otoritas ekonomi Argentina telah menerapkan langkah-
langkah yang bertujuan untuk mengatur dan mengurangi arus masuk modal
jangka pendek. Pinjaman keuangan yang baru dibuat yang diperdagangkan
di pasar valuta asing domestik, dan arus modal balik (rollover capital) yang
berasal dari sektor swasta non-keuangan, serta liabilitas eksternal yang berasal
dari aktivitas keuangan penduduk, harus dibuat dan disimpan dalam sistem
keuangan negara untuk setidaknya 365 hari berturut-turut (di mana dalam
regulasi pertama, syaratnya hanya 180 hari). Pinjaman ini tidak dapat dibayar
sebelum tanggal jatuh tempo, terlepas dari adanya modalitas pembayaran
(settlement modality) dan apakah modalitas tersebut melibatkan akses ke
pasar valuta asing domestik atau tidak.
Lebih lanjut, jika ekonomi Argentina kembali menerima peningkatan
jumlah arus modal yang masuk, berdasarkan peraturan Executive Order
616/2005 dan BCRA Communication A 4359, otoritas ekonomi Argentina
menyediakan deposito bebas bunga selama satu tahun yang setara dengan
30 persen dari arus masuk modal tertentu (sektor keuangan dan liabilitas
keuangan sektor swasta non-finansial). Deposito ini pada dasarnya berlaku
untuk investasi portofolio di pasar sekuritas sekunder dan pinjaman luar negeri
untuk investasi dalam aset keuangan, dan bertujuan untuk mengurangi bagian
keuntungan (yield) dari aset lokal sebagai cara untuk menghalangi investasi
keuangan jangka pendek. Sebaliknya, sama sekali tidak ada aturan pembatasan

68
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

pada arus masuk FDI dan pembiayaan luar negeri yang diperuntukkan bagi
aktivitas perdagangan eksternal (impor atau ekspor).

5.2.3. Brasil
Sejak tahun 1999, Brasil mulai mengimplementasikan kebijakan nilai tukar
mengambang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, otoritas moneter
Brasil telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan volatilitas
mata uang Brasil, yaitu real. Pada bulan Maret 2015, bank sentral Brasil
menangguhkan program intervensi resmi, yang sebenarnya telah dimulai
pada Agustus 2013, untuk memenuhi permintaan sektor swasta terkait
dengan lindung nilai (hedging) terhadap depresiasi real. Akan tetapi, program
intervensi resmi tersebut kembali mulai dilakukan pada bulan September
2015 dan dilakukan sesuai kebutuhan. Pihak berwenang Brasil juga telah
menggunakan intervensi pasar valuta asing -- terutama melalui pasar derivatif
valuta asing -- serta ajakan melalui lisan dan langkah-langkah manajemen
arus modal untuk meredam pergerakan arah mata uang yang berlebihan.

5.2.4. China
Sebelum berkembang menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di
lingkup global, pemerintah China selalu bersikap berhati-hati terhadap proyek
modal asing. Namun, sikap demikianlah yang kemudian menyelamatkan China
dan Hong Kong dari krisis keuangan Asia tahun 1998. Saat ini, banyak pihak
yang meminta pemerintah China untuk melakukan deregulasi modal (capital
deregulation). Meskipun secara alami China akan melakukan deregulasi,
namun pemerintah China masih mengadopsi cara yang konservatif dalam
mengejar ekonomi berbasis pasar bebas. Saat ini, China masih menerapkan
kebijakan kontrol devisa, baik menyangkut manajemen giro, manajemen
neraca modal, dan manajemen nilai tukar.
Terkait dengan kebijakan kontrol current account, hal yang paling
banyak dibicarakan saat ini adalah jumlah pembatasan pertukaran mata uang
per tahun, yaitu sebesar USD 50.000. Dengan pembatasan ini, penduduk
dalam negeri hanya dapat membeli valuta asing dengan jumlah nilai sebesar
USD 50.000 per individu per tahun. Sementara itu, terkait dengan capital
account, strategi kontrol yang cukup ketat di masa lalu secara bertahap mulai

69
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

berkurang dilakukan, seperti di pasar modal, misalnya. Lebih lanjut, melalui


QDII (Qualified Domestic Institutional Investor), lembaga keuangan dapat
berinvestasi di pasar offshore (offshore market) produk keuangan (seperti surat
berharga dan obligasi) yang sebelumnya tidak diperkenankan. Kemudian,
sejak tahun 2002, melalui program QFII (Qualified Foreign Institutional
Investor), investor asing berlisensi dimungkinkan untuk membeli dan menjual
saham berlabel “A” berdenominasi yuan di bursa saham China daratan
(baik di Shanghai maupun Shenzhen) di bawah kuota yang telah disetujui.
Dahulu, bursa saham China tertutup untuk investor asing karena China
mengimplementasikan kontrol modal yang ketat yang membatasi pergerakan
aset di- dan ke- luar negeri. Terkait dengan kebijakan pengendalian nilai tukar
Yuan, sejak tahun 2008, China mengadopsi sistem mata uang tetap. Kemudian,
antara tahun 1988 sampai dengan tahun 1993, China mengadopsi sistem nilai
tukar ganda (dual exchange rate system), yaitu nilai tukar resmi dan nilai
tukar yang ditentukan pasar dalam pasar valas khusus yang disebut ‘swap
center’. Pada tahun 1995, kebijakan nilai tukar China secara resmi dikaitkan
terhadap dolar AS. Sejak 21 Juli 2005, China mereformasi kebijakan nilai
tukarnya dan mengadopsi sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan
fluktuasi maksimum nilai tukar adalah sebesar 1 persen di batas atas dan batas
bawah per hari (Cappielo dan Ferucci, 2008). Lebih lanjut, seiring dengan
perkembangan ekonomi China, yuan juga menjadi salah satu mata uang terkuat
di dunia. Hal ini dibuktikan dengan keputusan IMF pada 30 November 2015
untuk memasukkan yuan ke dalam daftar mata uang utama dunia, Special
Drawing Rights (SDR).

5.2.5. India
Pasar valuta asing India telah melalui proses liberalisasi secara bertahap
selama dua dekade terakhir. Proses liberalisasi tersebut dilakukan sudah jauh
sejak awal tahun 1978 ketika bank-bank di India diizinkan untuk melakukan
perdagangan intraday di pasar valuta asing (Prakash, 2012). Namun demikian,
pasar valuta asing India baru mencapai perubahan secara signifikan sejak tahun
1990-an bersamaan dengan pergeseran rezim mata uang India dari rezim nilai
tukar terpatok (pegged) menjadi rezim nilai tukar mengambang. Lebih jauh,
krisis neraca pembayaran pada tahun 1991 yang kemudian menandai awal
terjadinya proses reformasi ekonomi di India dan menyebabkan implementasi
kebijakan Liberalized Exchange Rate Management System (LERMS) pada

70
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

tahun 1992. LERMS merupakan langkah transisi atau peralihan (transitional


measure) dan mensyaratkan sistem nilai tukar ganda. Pada Maret 1993, LERMS
dihapuskan dan India mulai mengadopsi rezim nilai tukar mengambang.
Implementasi rezim nilai tukar berbasis pasar di tahun 1993, pengadopsian
konvertibilitas transaksi neraca berjalan pada tahun 1994, dan liberalisasi
neraca modal secara bertahap selama bertahun-tahun, merupakan dasar-dasar
penting untuk berkembangnya pasar valuta asing di India (Prakash, 2012).
Manajemen nilai tukar India dan kebijakan moneter sangat terkait erat. Hal
tersebut dikarenakan bank sentral India (Reserve Bank India/ RBI) merupakan
pihak yang bertanggung jawab untuk mengintervensi pasar valuta asing
dan merupakan pelaksana undang-undang devisa India (Foreign Exchange
Regulation Act/ FEMA) dengan mandat mempromosikan pengembangan
dan pemeliharaan pasar valuta asing yang teratur di India (Hutchison dan
Pasricha, 2015). Selain melakukan intervensi di pasar valuta asing, RBI juga
menggunakan kebijakan pengendalian modal (capital control policy) guna
menstabilkan nilai tukar dan memberikan ruang bagi kebijakan moneter untuk
merespon kondisi perekonomian domestik. Pelaksanaan kebijakan nilai tukar
oleh RBI sebagian besar diaplikasikan dengan tujuan untuk mempertahankan
kondisi pasar valuta asing yang teratur, mencegah munculnya destabilisasi dan
aktivitas-aktivitas spekulasi, dan menjadikan nilai tukar sebagai pencerminan
dari kondisi fundamental makroekonomi dalam negeri.

5.2.6. Malaysia
Krisis keuangan Asia tahun 1998 memaksa Malaysia mengaitkan ringgit
terhadap dolar AS. Namun, pada bulan Juli 2005, Malaysia mulai mengadopsi
rezim nilai tukar mengambang terkendali. Implikasi dari kebijakan ini adalah
ringgit direferensikan terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama
negara dan dibiarkan bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Sejak saat
itu, fokus intervensi Bank Negara Malaysia (BNM) di pasar valuta asing
terbatas hanya untuk menjaga kondisi pasar valuta asing agar tetap dalam
aturan dan untuk menghindari gerakan nilai tukar ringgit yang ekstrim yang
bisa menggoyahkan ekonomi riil domestik (Aziz, 2013).
Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi Malaysia, intervensi di
pasar valuta asing telah jauh lebih jarang dilakukan. Pada saat yang sama,
otoritas moneter Malaysia jauh lebih terfokus untuk mengidentifikasi periode-

71
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

periode terjadinya penyelewengan fungsi pasar (dysfunction market). BNM


hanya melakukan intervensi ketika arus masuk atau arus keluar telah mencapai
tingkat ekstrim dengan tujuan untuk mengurangi volatilitas, mempertahankan
berfungsinya aturan pasar dan mengurangi efek destabilisasi pada ekonomi
riil (Aziz, 2013).
Malaysia secara bertahap juga mulai meliberalisasi aturan-aturan
Administrasi Devisa (Foreign Exchange Administration/FEA) yang
kebanyakan berupa tindakan kehati-hatian untuk mendukung tujuan
makroekonomi secara keseluruhan, yaitu menjaga stabilitas moneter dan
keuangan. BNM juga berkomitmen untuk memastikan aturan-aturan FEA
selalu mendukung dan meningkatkan daya saing perekonomian melalui
penciptaan lingkungan yang lebih mendukung dan fasilitatif untuk kegiatan
perdagangan, bisnis dan investasi. Pengembangan pasar keuangan dan
liberalisasi aturan administrasi valuta asing secara terus-menerus telah efektif
mengurangi aktivitas intervensi BNM di pasar valuta asing (Aziz, 2013).

5.2.7. Meksiko
Sebelum tahun 1954, kondisi mata uang Meksiko yakni peso, relatif stabil
terhadap dolar AS pada besaran 8.65 peso per dolar AS. Namun, pada tahun
1954, kondisi yang tidak menguntungkan terjadi di Meksiko sehingga
perekonomian domestik mengalami ketidakstabilan. Dalam rangka untuk
memperbaiki ketidakstabilan tersebut, pada 19 April 1954, peso didevaluasi
dan ditetapkan pada besaran 12,50 peso per dolar AS. Nilai tersebut
dipertahankan hingga September 1976 (Banco de Mexico, 2009). Pada 1
September 1976, Meksiko mengubah sistem nilai tukar tetap dengan sistem
nilai tukar mengambang terkendali (managed floating). Dalam praktiknya,
terdapat dua nilai tukar, yaitu satu untuk transaksi mata uang dan satu lagi
untuk transaksi dengan menggunakan dokumen.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 24, hingga tahun 1994, rezim nilai tukar
di Meksiko telah mengalami beberapa penyesuaian seiring dengan kondisi
perekonomian domestik yang terjadi pada saat itu. Pada akhir tahun 1994,
perekonomian Meksiko mengalami guncangan yang menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan pasar dan mengakibatkan serangan spekulatif pada cadangan
devisa bank sentral Meksiko. Hal tersebut memaksa bank sentral Meksiko
untuk mengambangkan nilai tukarnya (Banco de Mexico, 2009). Hingga saat

72
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

ini, Meksiko mempertahankan kebijakan nilai tukar yang fleksibel, dengan


tetap melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menyediakan likuiditas
selama periode volatilitas.

Gambar 24.
Proses Perubahan Rezim Nilai Tukar

��������
��������
���������� ������ ��������
���� ������� ��������

�������� ����

������������� ��������� ������������ �������������������

����� ������� ���������� ����� ����������

������������ ����

�������
��������� ��������� ������ ��������
���� ������� ������� ��������

���������
�������

�����������������������������������������

�����������������������������������

Namun, pada Desember 2014, Komisi Devisa (FEC) Meksiko yang


bertanggung jawab untuk kebijakan devisa, mengumumkan program berbasis
aturan (ruled-based program) terkait dengan intervensi valuta asing sebagai
respon atas depresiasi peso yang tajam selama kuartal keempat tahun 2014.
FEC menyatakan tujuannya adalah untuk menyediakan likuiditas dan
mengurangi volatilitas di pasar valuta asing. Sejak 30 Juli 2015, bank sentral
Meksiko telah melakukan beberapa lelang tambahan yang didasarkan pada
perdagangan intraday.

5.2.8. Rusia
Sejak tahun 1999, bank sentral Rusia telah menerapkan rezim nilai tukar
mengambang terbatas (managed floating exchange rate regime) dengan tidak
mengatur tingkat target (band) nilai tukar rubel. Hal ini berarti bahwa bank
sentral Rusia tidak menghalangi adanya campur tangan pasar dalam dinamika

73
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

nilai tukar rubel yang disebabkan oleh fundamental ekonomi makro. Namun,
disisi lain, bank sentral Rusia juga melakukan intervensi untuk mengurangi
volatilitas berlebihan pada rubel dan memastikan proses adaptasi agen-agen
ekonomi secara bertahap terhadap fluktuasi nilai tukar.
Pada tahun 2005, bank sentral Rusia memperkenalkan keranjang mata
uang ganda (dual-currency basket), yang terdiri dari dolar AS dan euro
sebagai indikator operasional kebijakan nilai tukarnya. Untuk membatasi
fluktuasi berlebihan pada keranjang mata uang ganda tersebut, Bank sentral
Rusia menetapkan koridor untuk indikator operasional ini (operational band)
dan melakukan intervensi nilai tukar berupa operasi konversi rubel/dolar AS
dan rubel/euro di dalam bursa serta pasar OTC. Pergeseran pada batas band
operasional ini dilakukan dengan memperhitungkan keseimbangan dinamika
neraca pembayaran dan perkembangan pasar valuta asing dalam negeri.
Pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009, perekonomian Rusia
menghadapi guncangan eksternal skala besar yang disebabkan oleh perubahan
tajam di pasar keuangan dan komoditas global. Dalam situasi ini, bank sentral
Rusia memodifikasi kerangka kebijakan nilai tukarnya. Pada Februari 2009,
bank sentral Rusia menetapkan aturan pergeseran otomatis band operasional
terkait dan menetapkan lebar band mengambang ini sebesar 2 rubel. Sejak
itu, lebar band operasional mengambang tersebut telah ditingkatkan secara
bertahap untuk memastikan perubahan ke rezim nilai tukar yang lebih
fleksibel.
Pada Oktober 2010, bank sentral Rusia mengumumkan telah meninggalkan
kebijakan band terbatas atas rubel terhadap keranjang mata uang ganda.

5.2.9. Thailand
Seperti halnya Indonesia, Thailand juga merupakan salah satu negara yang
mengalami krisis ekonomi di Asia pada tahun 1998. Bahkan, awal terjadinya
krisis tersebut dimulai dari Thailand. Setelah krisis keuangan Asia tersebut,
Thailand berhasil membangun kembali produktivitas perekonomiannya,
sambil terus membuktikan bahwa ekonomi Thailand tidak rentan terhadap
berbagai guncangan. Sejak 2011, kerangka manajemen nilai tukar di Thailand
telah bergerak ke arah yang lebih fleksibel dalam pergerakan nilai tukarnya
sesuai dengan fundamental ekonomi. Meskipun mengimplementasikan rezim
nilai tukar mengambang, dalam keadaan tertentu otoritas moneter Thailand

74
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

dapat melakukan intervensi nilai tukar untuk menghindari volatilitas yang


berlebihan. Pada awalnya, tujuan utama intervensi nilai tukar oleh bank
sentral Thailand (Bank of Thailand/BoT) adalah untuk mengekang spekulasi
nilai tukar yang berlebihan. Namun, tujuan tersebut telah bergeser dalam
beberapa tahun terakhir. Tujuan intervensi baru-baru ini lebih difokuskan
untuk melemahkan arus masuk modal yang tajam dan untuk mempertahankan
daya saing eksternal.
Dalam kondisi tertentu, di mana Thailand menghadapi arus masuk modal
yang besar, strategi lain yang juga diterapkan oleh BoT adalah Unremunerated
Reserve Requirement (URR). Namun, efektivitas strategi URR tidak bertahan
lama. Efek dari URR ini berkurang karena arus masuk modal jangka pendek
digantikan oleh pembelian dalam valas oleh penduduk, yang memicu
apresiasi lebih lanjut dari baht. Oleh karena itu, sejak tahun 2010, BoT mulai
melonggarkan kebijakan nilai tukar dalam rangka mendorong arus modal
keluar. Tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan antara aliran
modal masuk dan arus keluar di pasar, menciptakan counterflows sambil
membantu untuk mempromosikan investasi langsung dari luar (ODI) dan
mendorong investasi Thailand di luar negeri.
Seperti bank sentral lainnya, ketika pergerakan baht tidak sejalan dengan
kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Moneter
(MPC), BoT biasanya melakukan intervensi melalui dua cara, yaitu secara
verbal dan aktual. Intervensi yang dilakukan BoT dapat berupa transaksi
outright spot atau outright forward baht/dolar AS yang dieksekusi dengan
menjual atau membeli dolar AS terhadap baht. BoT juga melakukan campur
tangan dalam transaksi nilai tukar antarbank, baik onshore maupun offshore,
menggunakan agen yang ditunjuk oleh bank untuk menjaga anonimitas.
Sejauh ini, BoT tidak pernah menggunakan intervensi di pasar nilai tukar
derivatif.

5.3. Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Empiris
Studi terkait volatilitas nilai tukar diantaranya dilakukan di India.Pasar valuta
asing India telah melalui proses liberalisasi bertahap selama dua dekade
terakhir. Akibat dari penerapan rezim nilai tukar yang ditentukan oleh pasar
pada tahun 1993, rupee telah menghadapi episode volatilitas yang tinggi.
Prakash (2013) menganalisa enam fase utama dari volatilitas di pasar valas

75
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

India selama periode 1993-2013, yang disebabkan oleh faktor-faktor eksogen


atau endogen ataupun kombinasi keduanya, dan respon bank sentral India
(reserve bank of India/RBI) terhadap volatilitas tersebut.
Terkait dengan peristiwa terbaru dari volatilitas Rupee, yaitu volatilitas
yang disebabkan oleh isu kebijakan quantitative easing (QE) Amerika Serikat
pada 22 Mei 2013, sehingga menyebabkan volatilitas yang tinggi di pasar
keuangan dan depresiasi tajam dari mata uang negara-negara berkembang,
termasuk Rupee India. Depresiasi tajam tersebut merupakan salah satu
prestasi terburuk dari Rupee selama periode paruh kedua dari Mei 2013
sampai dengan Agustus 2013.
Adapun langkah-langkah yang diambil oleh RBI dalam menghadapi
volatilitas nilai tukar tersebut, antara lain (Prakash, 2013):
1. Mengkalibrasi ulang tingkat Marginal Standing Facility (MSF) sebesar
300 basis poin di atas tingkat REPO, yaitu dari 8.25 persen menjadi
10.25 persen dan kebijakan tersebut berlaku secara langsung (immediate
effect);
2. Membatasi keseluruhan alokasi dana liquidity adjustment facility (LAF)
menjadi 1 persen dari net demand and time liabilities (NDTL) sistem
perbankan, atau setara dengan Rs. 75.000 crore dan berlaku mulai 17 Juli
2013;
3. Pengumuman melakukan pasar terbuka untuk penjualan sekuritas
pemerintah bernilai Rs. 12.000 crore pada 18 Juli 2013.
Tidak hanya langkah-langkah di atas, pada 23 Juli 2013, RBI memutuskan
untuk memodifikasi langkah-langkah pengetatan likuiditas, di antaranya
(Prakash, 2013):
1. Mengatur batas keseluruhan akses LAF sebesar 0,5 persen dari NDTL
outstanding masing-masing individu bank dan efektif berlaku mulai 24
Juli 2013;
2. Mulai 27 Juli 2013, bank-bank juga diwajibkan untuk menjaga
keseimbangan cash reserve ratio (CRR) harian minimum sebesar 99
persen dari rata-rata fortnightly requirement.
Selain langkah-langkah penyesuaian moneter, RBI juga mengambil
sejumlah langkah-langkah administrasi lain untuk mengurangi tekanan
terhadap rupee, seperti menganulir perdagangan hak milik (proprietary

76
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara

trading) dalam bentuk currency futures atau exchange traded options,


membatasi impor emas oleh lembaga tertentu, mengubah batasan pinjaman
luar negeri dari 50 persen menjadi 100 persen sesuai dengan modal Tier I
(Tier I capital) dari masing-masing bank.
Ringkasnya, berdasarkan analisis Prakash (2013), respon kebijakan
bank sentral India dalam menghadapi berbagai episode volatilitas pasar
valas adalah dengan mengkombinasikan strategi intervensi dengan langkah-
langkah moneter dan administratif untuk mengendalikan stabilitas keuangan,
sementara kebijakan pelengkap atau parallel recourse juga telah diambil
dengan komunikasi melalui pidato-pidato kebanksentralan dan press release.
Prakash (2013) menilai bahwa berbagai kebijakan yang diambil
oleh RBI, baik kebijakan moneter maupun administrasi, dibantu dengan
perkembangan ekonomi eksternal dan internal yang positif, memiliki dampak
positif terhadap stabilitas pasar valas India. Bahkan, meski ada kekhawatiran
mengenai kebijakan quantitative easing (QE) AS, rupee tetap bertahan relatif
stabil dibandingkan dengan mata uang negara-negara berkembang lainnya,
seperti rupiah Indonesia, real Brasil, lira Turki, rand Afrika Selatan dan rouble
Rusia.
Di Turki bank sentral Turki (CRBT) telah merancang dan meluncurkan
alat kebijakan makroprudensial baru yang disebut dengan Reserve Options
Mechanism (ROM) yang bertujuan untuk mendukung pengelolaan cadangan
valas dalam sistem perbankan Turki, meningkatkan cadangan devisa CBRT
dan membatasi efek samping dari volatilitas aliran modal yang berlebihan
terhadap stabilitas makroekonomi dan keuangan ekonomi. ROM memberikan
pilihan bagi perbankan Turki untuk menyimpan valas atau emas cadangan
sebagai ganti atas porsi tertentu persyaratan cadangan Lira Turki. Mekanisme
ini dirancang untuk beroperasi sebagai penstabil otomatis ketika terjadi
perubahan arus modal dan memberikan fleksibilitas kepada perbankan Turki
untuk menyesuaikan cadangan devisa mereka secara endogen sesuai dengan
kebutuhan likuiditas masing-masing bank.
Oduncu, Yasin, and Ermisoglu (2013) menganalisis efektivitas kebijakan
ROM terhadap volatilitas Lira Turki. Menggunakan generalized autoregressive
conditional heteroskedastic (GARCH), Oduncu, Yasin, and Ermisoglu (2013)
menemukan bukti bahwa kebijakan ROM mampu mengurangi volatilitas nilai
tukar Lira Turki selama periode waktu penelitian.

77
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

BAB 6 KEBIJAKAN NILAI TUKAR DAN


DEVISA DI INDONESIA

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan sistem nilai tukar


dan sistem devisa sangat memengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Dalam kondisi suatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap, apabila
terjadi aliran dana luar negeri masuk/keluar, maka hal tersebut berpengaruh
langsung terhadap jumlah uang beredar di dalam negeri dan sebagai akibatnya
berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan moneter dalam memengaruhi
kegiatan ekonomi dan inflasi. Karena itu, sistem nilai tukar tetap biasanya
disertai dengan penerapan sistem devisa terkontrol, karena mobilitas aliran
dana dari dan ke luar negeri cenderung berkurang sehingga dapat mendukung
pelaksanaan kebijakan moneter yang lebih efektif.
Kondisi sebaliknya terjadi untuk sistem nilai tukar mengambang dan
sistem devisa bebas, ketika aliran dana luar negeri yang lebih bebas dapat
diserap melalui pergerakan nilai tukar yang mengambang sesuai mekanisme
pasar, sehingga kebijakan moneter dapat lebih independen diarahkan pada
pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi dan inflasi di dalam negeri.
Dalam konteks Indonesia, sistem dan kebijakan nilai tukar dan devisa
yang dianut, selain ditujukan untuk mendukung kesinambungan pelaksanaan
pembangunan ekonomi, juga diarahkan guna mendukung efektivitas
pelaksanaan kebijakan moneter. Sesuai dengan amanat UU No.23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia jo
UU No 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(untuk selanjutnya disebut UU Bank Indonesia), maka Bank Indonesia (BI)
melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah
ditetapkan. Undang-Undang dimaksud juga memberikan kewenangan bagi
Bank Indonesia untuk mengelola cadangan devisa serta menerima pinjaman
luar negeri dalam rangka pengelolaan cadangan devisa.
Pengaturan lebih lanjut mengenai sistem nilai tukar dan lalu lintas devisa
dimuat dalam Undang-Undang No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar. Undang-Undang ini menegaskan sistem devisa yang

78
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

dianut di Indonesia adalah sistem devisa bebas, sementara sistem nilai tukar
ditetapkan oleh Pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi dari
Bank Indonesia.
Dengan demikian, dalam hal pengelolaan nilai tukar dan devisa, BI
menjalankan wewenangnya dengan berdasarkan pada UU Bank Indonesia.
Beberapa hal penting yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut
adalah:
• Tujuan kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, utamanya inflasi.
• Bank Indonesia memiliki independensi dalam cara mencapai inflasi
(instrumen moneter), dan kelembagaan (tidak ada campur tangan,
intervensi dan anggaran). Sementara sasaran inflasi ditetapkan oleh
pemerintah bekerjasama dengan BI.
• Penguatan kerangka kebijakan melalui prinsip-prinsip akuntabilitas dan
transparansi.
• Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar memberikan landasan sistem nilai tukar (mengambang)
dan lalu lintas devisa (bebas) di Indonesia.
• Tujuan kebijakan nilai tukar dan devisa.
• Mendukung kesinambungan pelaksanaan pembangunan.
• Mendukung efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Kewenangan BI atas cadangan devisa mencakup beberapa hal seperti
berikut:
• Pengelolaan cadangan devisa,
• Pengembangan pasar valuta asing, dan
• Pengelolaan nilai tukar.

6.1. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia


Semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan perekonomian
global serta derasnya aliran masuk modal asing meningkatkan kompleksitas
manajemen makroekonomi, khususnya kebijakan moneter dan nilai tukar.
Penguatan pengelolaan dinamika arus modal dan nilai tukar dilakukan dengan
beberapa prinsip dasar sebagai berikut: Pertama, koordinasi penerapan bauran

79
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

instrumen kebijakan menjadi bagian strategi yang penting dalam menerapkan


possible trinity yang optimal. Kedua, di sisi aliran modal, dengan tetap
menganut rezim devisa bebas, langkah-langkah makroprudensial di bidang
arus modal merupakan opsi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi arus
modal jangka pendek yang berlebihan. Memberikan ruang/kemungkinan nilai
tukar untuk menguat, akumulasi cadangan devisa dan penggunaan kebijakan
moneter dan fiskal lainnya. Senantiasa mempertimbangkan kebijakan-
kebijakan yang bersifat prudensial dan struktural untuk mengelola aliran
modal masuk.
Ketiga, di sisi nilai tukar, menghadapi arus modal, nilai tukar dikelola
untuk tetap fleksibel dan memberi ruang gerak untuk terapresiasi, namun
tetap dijaga agar jangan sampai terlalu melenceng jauh dari nilai tukar
fundamentalnya (overvalued). Pengelolaan nilai tukar yang sejalan dengan
kondisi fundamental dilakukan melalui intervensi di pasar valas secara
simetris, yang memberikan ruang gerak apresiatif dalam hal terjadi aliran
modal asing yang tinggi. Di sisi kebijakan moneter, kompleksitas kebijakan
moneter melalui suku bunga sebagian dapat teratasi dengan menerapkan
kebijakan makroprudensial.
Keempat, kebijakan moneter didukung oleh kebijakan makroprudensial
yang bertujuan meminimalisir dampak aliran modal masuk pada asset price
bubble dan pertumbuhan kredit yang berlebihan yang dapat menimbulkan
risiko kestabilan moneter dan kestabilan sistem keuangan, termasuk kebijakan
capital flow management (CFM).
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, sistem nilai tukar tetap, sistem
mengambang terkendali, dan sistem mengambang bebas pernah diterapkan
di Indonesia. Sistem nilai tukar tetap dianut pada periode tahun 1973 hingga
Maret 1983.10 Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara
ketat diterapkan pada periode Maret 1983 – September 1986. Dalam periode
ini, pemerintah pernah melakukan beberapa kebijakan devaluasi atas nilai
tukar rupiah sebagai berikut:

10 Sebelum 1973, Indonesia pernah menggunakan multiple exchange rate system ‘sistem nilai tukar berganda’
melalui penerapan Sistem Bukti Ekspor sejak tahun 1957. Peraturan-peraturan yang terkait dalam penerapan
sistem ini menyangkut pembatasan-pembatasan di bidang perdagangan dan lalu lintas devisa. Kemudian, pada
tahun 1967 mulai diberlakukan Sistem Bonus Ekspor yang bertujuan untuk menggairahkan ekspor, dengan
memperbolehkan masyarakat memindahtangankan atau memperjualbelikan devisa hasil ekspor di pasar bebas
dengan harga yang berubah setiap waktu (floating exchange rate system).

80
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

• Devaluasi Nopember 1978 dari Rp. 425 per USD menjadi Rp. 625 per
USD;
• Devaluasi Maret 1983 dari Rp. 625 per USD menjadi Rp. 825 per USD;
dan
• Devaluasi September 1986 dari Rp. 1134 per USD menjadi Rp. 1644 per
USD.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara lebih
fleksibel pernah diterapkan di Indonesia dari September 1986 – Januari 1994
dan dengan mekanisme pita intervensi dari Januari 1994 – Agustus 1997.
Dalam periode ini dilakukan kebijakan nilai tukar sebagai berikut:
• Bank Indonesia setiap hari mengeluarkan nilai tukar (kurs) tengah
harian;
• Pita intervensi pernah dilakukan pelebaran sebanyak 8 kali, yaitu dari
Rp. 6 (0,25%) menjadi Rp. 10 (0,5%) pada September 1992, menjadi
Rp. 20 (1%) pada Januari 1994, menjadi Rp. 30 (1,5%) pada September
1994, menjadi Rp. 44 (2%) pada Mei 1995, menjadi Rp. 66 (3%) pada
Desember 1995, menjadi Rp. 118 (5%) pada Juni 1996, menjadi Rp. 192
(8%) pada September 1996, dan menjadi Rp. 304 (12%) pada Juli 1997;
• Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga
agar nilai tukar rupiah bergerak dalam batas-batas pita intervensi yang
ditetapkan, dengan cara membeli valuta asing apabila nilai tukar bergerak
mendekati batas bawah dan menjual valuta asing apabila nilai tukar
mendekati batas atas dalam pita intervensi yang telah ditetapkan.
Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang diterapkan di Indonesia
sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
sistem ini ditempuh sebagai reaksi Pemerintah dalam menghadapi demikian
besarnya gejolak dan cepatnya pelemahan nilai tukar pada sekitar Juli –
Agustus 1997. Serangan spekulasi terhadap rupiah yang dipicu oleh dampak
menjalar serangan spekulasi terhadap mata uang baht Thailand telah
menyebabkan gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah, yang selanjutnya
mendorong investor luar negeri menarik dananya secara besar-besaran dan
pada waktu bersamaan dari Indonesia. Kepanikan kemudian terjadi di pasar
valuta asing karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri memborong
valuta asing untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari
risiko nilai tukar, sementara sebagian para pelaku pasar berspekulasi untuk
mencari keuntungan pribadi.

81
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Pada awalnya, pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya


menstabilkan nilai tukar rupiah, antara lain dengan intervensi di pasar valuta
asing dan beberapa kali memperlebar kisaran pita intervensi nilai tukar
rupiah sesuai sistem nilai tukar mengambang terkendali yang dianut pada
saat itu. Akan tetapi, tekanan yang sangat besar dan demikian cepat terhadap
pelemahan nilai tukar rupiah yang disertai dengan penurunan cadangan
devisa yang terus berlangsung memaksa Pemerintah mengubah sistem nilai
tukar rupiah menjadi sistem mengambang. Apabila sistem mengambang
terkendali tetap dipertahankan, maka cadangan devisa negara yang mulai
menipis dikhawatirkan dapat terkuras habis dan menimbulkan krisis neraca
pembayaran yang berat. Sejumlah negara tetangga, seperti Korea Selatan dan
Thailand, juga melakukan hal yang sama dengan menerapkan sistem nilai
tukar mengambang.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang tersebut dikukuhkan dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar. Sesuai dengan undang-undang tersebut, sistem nilai
tukar di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mempertimbangkan
rekomendasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia. Hal ini mengingat
perubahan sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas, tidak saja terhadap
kegiatan di bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga terhadap
kegiatan ekonomi riil baik konsumsi, investasi maupun perdagangan luar
negeri. Karena itu, perubahan sistem nilai tukar harus melalui pemikiran dan
penelitian yang matang, mempertimbangkan berbagai aspek, baik ekonomi,
politik, maupun sosial. Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu memberikan
rekomendasi mengenai rencana perubahan sistem nilai tukar tersebut, apabila
akan dilakukan, terutama karena pengalaman dan pengetahuannya di bidang
ini maupun karena pengaruhnya terhadap kebijakan moneter, perbankan, dan
sistem pembayaran.
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia diberi kewenangan
untuk melakukan kebijakan nilai tukar sesuai dengan sistem nilai tukar yang
ditetapkan pemerintah tersebut. Secara umum kebijakan nilai tukar yang
ditempuh Bank Indonesia dapat berupa:
• Devaluasi atau revaluasi mata uang rupiah terhadap mata uang asing
dalam sistem nilai tukar tetap;
• Intervensi di pasar valuta asing dalam sistem nilai tukar mengambang;
dan

82
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

• Penetapan nilai tukar harian dan lebar kisaran intervensi dalam sistem
nilai tukar mengambang terkendali.
Dengan dianutnya sistem nilai tukar mengambang sejak Agustus 1997,
pergerakan nilai tukar rupiah pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan valuta asing di pasar. Dalam kaitan ini, kebijakan
nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia berupa intervensi di pasar valuta
asing lebih diarahkan untuk menstabilkan atau menghindari gejolak nilai
tukar rupiah di pasar. Intervensi dimaksud tidak dimaksudkan untuk mencapai
atau mengarahkan pergerakan nilai tukar rupiah pada tingkat atau kisaran
tertentu.

6.2. Kebijakan Devisa di Indonesia


Dalam sejarah perekonomian Indonesia, beberapa kebijakan mengenai
pengaturan devisa telah dilaksanakan sesuai dengan sistem devisa yang
telah diterapkan. Sistem devisa terkontrol pernah diterapkan di Indonesia
berdasarkan UU No. 32 Tahun 1964 Tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa.
Pada waktu itu, devisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu Devisa Hasil
Ekspor (DHE) dan Devisa Umum (DU).
Sesuai dengan undang-undang, pada waktu itu setiap perolehan devisa,
baik DHE maupun DU, wajib diserahkan kepada negara, yaitu melalui Bank
Indonesia atau bank-bank yang ditunjuk. Demikian pula setiap penggunaan
devisa, baik untuk impor maupun keperluan lainnya, harus mendapat
izin dari Bank Indonesia. Dengan kewajiban seperti ini, Bank Indonesia
mengadministrasikan pergerakan devisa yang masuk dan keluar Indonesia
sehingga jumlah cadangan devisa, besarnya arus lalu lintas devisa, dan
penggunaannya dapat dipantau dan diperkirakan secara lebih pasti.
Sistem devisa semi terkontrol pernah diterapkan di Indonesia berdasarkan
Perpu No. 64 Tahun 1970 menggantikan UU No. 32 Tahun 1964. Pada waktu
itu, perolehan DHE wajib diserahkan ke Bank Indonesia dan penggunaan
harus mendapat izin dari Bank Indonesia, sementara untuk DU dapat secara
bebas diperoleh dan dipergunakan oleh masyarakat. Administrasi perolehan
dan penggunaan DHE dilakukan oleh Bank Indonesia, sementara lalu lintas
devisa untuk jenis DU mulai tidak dapat diadministrasikan dan dipantau
secara baik.

83
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

Sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia dengan PP No. 1 Tahun


1982 menggantikan baik UU No. 32 Tahun 1964 maupun Perpu No. 64 Tahun
1970. Dengan peraturan ini, setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki
dan menggunakan devisa. Ini berlaku, baik bagi devisa dalam bentuk DHE
maupun DU. Tidak ada pengaturan mengenai kewajiban bagi penduduk untuk
melaporkan devisa yang diperoleh dan dipergunakannya. Kebebasan sistem
devisa kemudian diartikan juga tidak wajib lapor, meskipun di negara-negara
lain kewajiban pelaporan ini masih diberlakukan.
Penerapan PP No 1 Tahun 1982 tersebut menimbulkan permasalahan.
Dari sisi hukum, timbul kerancuan dalam stratifikasi hukum nasional, karena
PP No. 1 Tahun 1982 menganulir pengaturan yang lebih tinggi, yaitu UU No.
32 Tahun 1964 dan Perpu No. 64 Tahun 1970. Dari sisi kebijakan ekonomi,
PP No 1 Tahun 1982 tidak mengatur adanya kewajiban pelaporan atau
pemantauan lalu lintas devisa. Tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai
kewajiban pelaporan lalu lintas devisa telah menyebabkan monitoring devisa,
baik dalam bentuk hutang maupun lalu lintas dana luar negeri jangka pendek,
tidak dapat secara efektif dilakukan. Berapa besarnya kewajiban luar negeri
Indonesia, khususnya untuk swasta, tidak dapat diketahui jumlahnya dan
juga penggunaannya secara jelas dan rinci. Ini yang kemudian sebagai salah
satu sebab sulitnya penanganan krisis, baik dalam memperkirakan besarnya
kebutuhan devisa untuk pembayaran kewajiban luar negeri maupun dalam
menangani negosiasi penjadwalan kembali dan langkah-langkah penyelesaian
hutang luar negeri swasta.
Namun, sejak 17 Mei 1999, kedua permasalahan tersebut diselesaikan
dengan berlakunya UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar. Berkaitan dengan sistem devisa, dalam undang-undang
tersebut ditegaskan dianutnya sistem devisa bebas di Indonesia. Dalam arti,
bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan
devisa. Namun, undang-undang tersebut juga menegaskan kewajiban bagi
setiap penduduk untuk memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan
lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Lebih lanjut lagi, diatur kewenangan
Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan atas berbagai jenis transaksi
devisa yang dilakukan oleh bank dalam rangka penerapan prinsip kehati-
hatian dalam pelaksanaan kebijakan devisa di Indonesia.

84
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

Dengan berlakunya UU No. 24 Tahun 1999 tersebut, dapat dicegah


dampak negatif yang timbul atas penerapan sistem devisa bebas, yang tanpa
diikuti dengan kebijakan pemantauan dan penerapan prinsip kehati-hatian
dalam lalu lintas devisa seperti yang terjadi di masa sebelumnya. Undang-
undang ini sekaligus menggantikan UU No. 32 Tahun 1964.11
Kebijakan terbaru di bidang devisa yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
adalah mengenai Kebijakan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Utang Luar
Negeri pada September 2011. Kebijakan tersebut didasari atas perlunya
ketersediaan valas yang memadai, khususnya bilamana terjadi sudden
capital reversal. Dengan adanya kestabilan ketersediaan pasokan valas untuk
memenuhi kebutuhan permintaan valas di pasar domestik diharapkan dapat
mendukung upaya menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya stabilitas
nilai tukar. Terdapat dua sumber dana yang potensial untuk menambah
pasokan valas di pasar domestik yaitu penarikan devisa hasil ekspor (DHE),
dan penarikan devisa utang luar negeri (DULN).
Sehubungan dengan hal tersebut, BI mewajibkan agar penerimaan DHE
dan penarikan DULN dilakukan melalui bank devisa. Kewajiban tersebut
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/PBI/2011. Ketentuan
PBI tersebut tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang selama ini
telah berlaku. Meskipun BI mewajibkan, baik eksportir yang menerima
DHE dan debitur utang luar negeri yang menarik DULN melalui bank
devisa di Indonesia, tetapi setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan
menggunakan devisanya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Selain itu, BI juga mengeluarkan peraturan terkait pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa (LLD) bank. Hal itu diatur dalam peraturan mengenai
Pemantauan Lalu Lintas Devisa Bank dalam PBI No.13/21/PBI/2011
tanggal 30 September 2011 dan peraturan mengenai Kewajiban Pelaporan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri dalam PBI No.13/22/PBI/2011 tanggal
30 September 2011. Peraturan LLD bank diterbitkan untuk mendukung

11 Berdasarkan ketentuan dalam UU No.24 Tahun 1999 tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan
untuk monitoring lalu lintas devisa, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.1/9/1999 tanggal 28 Oktober 1999.
Dalam PBI tersebut diatur kewajiban pelaporan bagi setiap lalu lintas devisa oleh dan melalui bank dan lembaga
keuangan lainnya mulai 1 Maret 2000. Untuk transaksi di atas USD10.000 dilaporkan per transaksi, sementara
untuk transaksi di bawah USD 10.000 dilaporkan secara gabungan. Dalam laporan tersebut dicantumkan tujuan
transaksi devisa yang bersangkutan (ekspor/impor, utang luar negeri, dan sebagainya).

85
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

PBI, DHE dan DULN, sehingga apabila bank melaporkan adanya transaksi
oleh nasabahnya, bank wajib menyampaikan rincian transaksi ekspor dan
dokumennya kepada Bank Indonesia.

6.3. Sejarah Sistem Nilai Tukar dan Sistem Devisa di Indonesia


Dalam sejarah perkembangan nilai tukar di Indonesia, Bank Indonesia sebagai
otoritas pengatur nilai tukar telah menerapkan berbagai sistem nilai tukar
sebagaimana terlihat pada Gambar 25 di bawah ini:

Gambar 25.
Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia

�����������������������������������
������������������������ �����������������������������������
������������������� ����������������������������������
��������������������������������
�����������������������������������
�����������
������������������
�������������������������
�����
����������������������������������
�����������������������
���������������������������������
��������������������������������
������������������ �������������������������������������
��������������������
�����������������������

������������������ ���������������������������������������
���������������� ���������������������
�����������������

����������������

Berikut Gambar 26 yang menunjukkan perkembangan kebijakan nilai


tukar yang diterapkan Bank Indonesia dalam rangka merespon gejolak
ekonomi dan keuangan global yang memiliki imbas terhadap nilai tukar
rupiah. Pun, ditunjukkan gambar perubahan sistem devisa di Indonesia guna
mendukung perubahan dinamika nilai tukar dan respon atas ekonomi global.

86
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

Gambar 26.
Perkembangan Nilai Tukar Menuju Sistem Mengambang Fleksibel

����
�����������������
���� ����������������������

���� �������������������� �������������������������


���������������������� ���������������������
���� �������������������� �����������������

��������������������
����
���������������������
���������������������
����

����

����

����
� �� � �� � �� �� � �� � �� � �� � ��
������ ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ���
����������������������

Sementara itu, perjalanan sistem devisa di Indonesia, sebagaimana terlihat


pada Gambar 27, dimulai dari sistem devisa kontrol di tahun 1964 dan terus
berevolusi ke sistem devisa hingga sekarang ini, karena menyesuaikan dengan
dinamika perekonomian dan kepentingan Indonesia.

Gambar 27.
Sejarah Sistem Devisa di Indonesia

����������������������������������
����������������������
�����������������������������������
�������������� ����������������������������������
����������������������������������
��������������������������� �����������������������������������
�������������� ��������������������������������
�������������

�������������������
��������������������
����������������������������������
�������������
���������������������������
�������������������������

������������������������������
��������������

�����������������������������

87
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

6.4. Kebijakan Nilai Tukar Terkini

Gambar 28.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

�������
����������� ������������
����������������� �����������������������
������������
���������
���������������
������������ ����������� ���
�������������� ������
���
������ �������
������������� ���
�������
������������� ��������
����������
�������������������� ���������
���
������������
����������

����������������������

Secara berkala dan hati-hati, Bank Indonesia menerapakan kebijakan


moneter dan kebijakan pendukung lainnya (policy mix) dalam rangka merespon
gejolak ekonomi domestik dan global guna mendukung tercapainya stabilitas
nilai tukar dalam upaya mencapai target inflasi yang diinginkan. Dalam
Gambar 28, Bank Indonesia menggabungkan penerapan berbagai kebijakan
moneter dan makroprudensial, baik di pasar valas maupun pasar rupiah,
untuk kestabilan moneter dan sistem keuangan domestik. Berbagai instrumen
kebijakan tersebut diimplementasikan secara terukur dan pada waktu yang
tepat. Tujuan dari kebijakan tersebut selama ini cukup baik mendorong
kestabilan khususnya di pasar valas yaitu cukup stabilnya nilai tukar, dan juga
mendukung kestabilan di pasar uang dengan terjaganya likuiditas perbankan
dan kestabilan suku bunga di pasar.

88
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia

Sementara itu, dalam jangka pendek berbagai instrumen kebijakan yang


mendukung nilai tukar, khususnya intervensi valas, menjadi andalan Bank
Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai tukar jangka pendek. Selain itu,
koridor suku bunga kebijakan berupa standing fasilities diharapkan juga bisa
diandalkan mendukung kestabilan nilai tukar, selain juga menjaga kestabilan
likuiditas sistem keuangan di pasar domestik. Adapun ringkasan kebijakan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Kebijakan makroprudential seperti LTV,
GWM, dan pengawasan SIPS yang tujuan utamanya menjaga kestabilan
sistem kuangan secara keseluruhan juga secara tidak langsung (mencegah
krisis) juga diharapkan bisa mendukung kestabilan nilai tukar dalam jangka
menengah-panjang.

Tabel 4.
Respon Kebijakan Moneter Policy Mix

�� ����������������� ������
� �����������������
�������������������������������������������������������
� ��������������������������������������
��������������������������������������������
� ��������������������������
�����������������������������������������������������
�� ���������������������������������������������������
��������������������������������������������������
�� ���������������������������������
�� ����������������������������������������������
�������������
� ������������������������������
� ������������������ ��������������������������������
� ��������������������������������������������������� ������������������������������������������������������
��������������������������������������������������������� �����������������������������������������������
�������������������������������������������������������������
� �������
�������������������������
� ��������������������������
������������������������������������������������������������
� ���������������������������
� �������������������������
� ���������������������������������� ���������������������������������������������������������
���������������������������������������������������������
� ������������������ ��������������������������������������������������������������������
�������������������������������
�������������������������������������������������������
� ������������������������
��������������������������������

����������������������

89
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Atif, Syed Muhammad, Sauytbekova, M., and Macdonald, James. 2012. The
Determinants of Australian Exchange Rate - A Time Series Analysis.
Munich Personal Repec Archive (MPRA) Paper No. 42309.
https://mpra.ub.uni-muenchen.de/42309/1/MPRA_paper_42309.pdf
Aziz, N.A. 2013. Foreign Exchange Intervention in Malaysia. Bank for
International Settlements (BIS) Paper No. 73. https://www.bis.org/publ/
bppdf/bispap73p.pdf
Banco de Mexico. 2009. Exchange Rate Regimes in Mexico since 1954.
Banco de Mexico Publicaciones.
http://www.banxico.org.mx/sistema-financiero/material-educativo/
basico/%7BA363683E-9B8D-C3A9-610C-E2153395E4B8%7D.pdf
Carbaugh, RJ. 1992. International Economics. 4th edition. Wadsworth
Publishing Company.
Cappiello, L. and Ferrucci, G. 2008. The Sustainability of China’s Exchange
Rate Policy and Capital Account Liberalisation. European Central Bank
Occasional Paper Series No. 82.
https://www.ecb.europa.eu/pub/pdf/scpops/ecbocp82.pdf?74a63da94d97182
0faf0131e81d8e62e
Hassan, S. 2015. Speculative Flows, Exchange Rate Volatility and Monetary
Policy: The South African Experience. South African Reserve Bank
Working Paper Series WP/15/02.
https://www.resbank.co.za/Lists/News%20and%20Publications/
Attachments/6610/WP1502.pdf
Hutchison, M.M., and Pasricha, G. 2015. Exchange Rate Trends and
Management in India.
http://people.ucsc.edu/~hutch/Hutchison-Pasricha%20Exchange%20
Rates%20and%20Exchange%20Rate%20Management%20in%20
India%20May%2031%202015.pdf.

90
Krugman, PR and Obstfeld, M. 2009. International Economics: Theory &
Policy. 8th edition. Pearson International Edition.
http://ijbssnet.com/journals/Vol_3_No_6_Special_Issue_March_2012/23.pdf
Oduncu, A., Akcelik, Y., and Ermisoglu, E. 2013. Reserve Options Mechanism:
A New Macroprudential Tool to Limit the Adverse Effects of Capital Flow
Volatility on Exchange Rates. Central Bank Review Vol. 13, pp. 45-60.
Oriavwote, V.E. and Oyovwi, D.O. The Determinants of Real Exchange Rate
in Nigeria. International Journal of Economics and Finance 4 (8), pp.
150-160.
Prakash, A. 2012. Major Episodes of Volatility in the Indian Foreign Exchange
Market in the Last Two Decades (1993-2013): Central Bank’s Response.
Reserve Bank of India Occasional Papers 33 (1 & 2).
http://rbidocs.rbi.org.in/rdocs/Content/PDFs/8MEVIF270614.pdf
Saeed, A., Awan, R.U., Sial, M.H., Sher, F. 2012. An Econometric Analysis
of Determinants of Exchange Rate in Pakistan. International Journal of
Business and Social Science 3 (6), pp. 184-196.
Sarno, L., and Taylor, M. 2002. The Economics of Exchange Rate. Cambridge
University Press, New York.
Simorangkir, I., dan Suseno. 2004. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Seri
Kebanksentralan No.12. Bank Indonesia.
Pugel, TA. 2007. International Economics. 13th edition. McGraw-Hill Irwin.
Mundell, R. 1968. International Economics. Pearson International Edition.
Syarifuddin, F., Achsani, N.A., Hakim, D.B., Bakhtiar, T. 2014. Monetary
Policy Response on Exchange Rate Volatility in Indonesia. Journal of
Contemporary Economic and Business Issues 1 (2), pp. 35 - 54.
http://www.eccf.ukim.edu.mk/ArticleContents/JCEBI/JCEBI_2/spisanie%20
Ferry%20Syarifuddin.pdf
http://www.eccf.ukim.edu.mk/ArticleContents/JCEBI/JCEBI_2/spisanie%20
Ferry%20Syarifuddin.pdf

91

Anda mungkin juga menyukai