Seri Kebanksentralan
No. 1
UANG
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian
Solikin
Suseno
BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN
Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan - Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Seri Kebanksentralan No. 1
UANG
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian
Solikin
Suseno
Bibliografi : hlm. 54
ISBN 979-3363-00-2
ii
Sambutan
Halim Alamsyah
Direktur
iii
Pengantar
Uang beredar merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam
perumusan kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, uang beredar senantiasa
menjadi perhatian, baik oleh para pengambil kebijakan di bidang ekonomi
moneter, para pengamat ekonomi, maupun masyarakat pada umumnya.
Namun, uang beredar masih merupakan istilah yang relatif belum banyak
dipahami atau dimengerti oleh masyarakat luas. Seri kebanksentralan no.
1 ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang
berminat memahami berbagai hal yang terkait dengan masalah-masalah
moneter di Indonesia, khususnya uang beredar dan hal-hal yang terkait
dengannya.
Banyak rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
dan Direktorat Statistik Moneter yang telah membantu kelancaran
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada Sdr. Halim Alamsyah, Sdr. Iskandar, Sdri. Susmiyati,
Sdr. M. Anwar Bashori, Sdr. Nunu Hendrawanto, Sdr. Erwin Haryono
atas partisipasinya dalam diskusi dan pemberian saran dalam penyelesaian
tulisan ini. Demikian juga kepada Sdr. P. Iman Soesanto dari Direktorat
Pemeriksaan Bank 1 dan Tubagus Feridhanusetyawan dari CSIS atas
masukannya pada tahap akhir penulisan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan dan menghargai
semua kritik dan saran demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya, mudah-
mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.
Penulis
iv
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar iv
Uang 1
Apa itu Uang ? 1
Sekilas Perkembangan Penggunaan Uang 3
Otorita Penciptaan Uang 9
Uang beredar 10
Pengertian Uang Beredar 10
Jenis-jenis Uang Beredar 13
Perkembangan Pengertian Uang Beredar 15
Daftar pustaka 54
Lampiran 55
Tabel 1. Perkembangan Uang Beredar 56
Tabel 2. Perkembangan Angka Pelipat Ganda Uang 57
Tabel 3. Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang 58
v
Uang
Uang:
Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya
dalam Perekonomian
Uang
1
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
1
Dalam buku-buku teks ekonomi-moneter tradisional, dua fungsi pertama, yaitu uang
sebagai alat tukar dan satuan hitung dianggap sebagai fungsi asli uang, sementara fungsi-
fungsi lainnya dianggap sebagai fungsi turunan uang. Sementara itu, Glyn Davies dalam
bukunya, A History of Money from Ancient Times to the Present Day (2002), mendefinisikan
fungsi uang dengan lebih detail lagi, yaitu fungsi khusus dan fungsi umum. Fungsi khusus
meliputi keempat fungsi di atas ditambah fungsi lainnya, yaitu sebagai alat pembayaran
(means of exchange) dan sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common
measure of value). Adapun fungsi umum meliputi fungsi-fungsi uang sebagai: (i) aset likuid
(liquid asset), (ii) faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market
allocative system), (iii) faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the
economy), dan (iv) faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy).
Tentunya, tidak semua benda yang dapat digunakan sebagai uang dapat menjalankan semua
fungsi tersebut. Dalam hal ini, fungsi benda tertentu yang dapat digunakan sebagai uang
mungkin dapat berubah, sejalan dengan perkembangan zaman.
2
Uang
3
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
4
Uang
4
Glyn Davies (2002).
5
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
5
Penerapan standar barang yang sangat terkenal dan berlaku cukup lama (berlaku hampir
satu abad di Inggris) adalah standar emas. Ronald I. McKinnon. “The Rules of the Game:
International Money in Historical Perspective”, Journal of Economic Literature, Vol. 31,
Issue 1, March 1993.
6
Dalam istilah ilmu ekonomi moneter terdapat pernyataan yang dikenal sebagai hukum
Gresham yang berbunyi : “bad money tends to drive out good money out of circulation”.
7
Cikal bakal sistem perbankan sudah dikenal sebelum digunakannya pecahan logam sebagai
uang. Perkembangan awal “perbankan” tersebut dimulai di masyarakat Mesopotamia kuno.
Pada saat itu istana dan kuil banyak digunakan sebagai tempat untuk menyimpan dan
mengamankan gandum dan komoditas lainnya. Bukti penyimpanan yang diterbitkan dapat
digunakan untuk membayar upeti kepada penguasa dan transaksi lain, seperti pembayaran
utang dan pajak. Setelah dikenalkannnya pecahan logam sebagai uang, fungsi “bank
gandum” tersebut berevolusi sebagai tempat untuk menyimpan uang. Sementara itu, sistem
perbankan dengan bentuk seperti yang dikenal saat ini mulai berkembang sejak abad ke-
18 di Inggris. Glyn Davies (2002).
6
Uang
8
Penggunaan uang kertas sebagai tanda setuju sebenarnya mempunyai perjalanan sejarah
yang panjang. Pertama kali uang kertas digunakan sebagai pengganti sementara dari tembaga
(awal abad ke-9 di Cina). Masyarakat Barat mulai ikut mencetak uang kertas pada abad ke-
17, yang kemudian diikuti pula oleh masyarakat Timur hingga saat ini. Glyn Davies (2002).
Robert Temple dalam bukunya The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery,
and Invention (1986) menyebutkan bahwa uang kertas tersebut pada awalnya dinamai “uang
terbang” (flying money) karena begitu ringan sehingga dapat terbang apabila tertiup angin.
Contoh uang fiat di Indonesia adalah uang kertas pecahan Rp100.000,00. Dalam hal ini,
nilai nominal uang kertas tersebut adalah Rp100.000,00, sementara nilai intrinsik yang
meliputi harga kertas dan biaya cetak untuk membuat selembar uang Rp100.000,00 tersebut
tentu jauh lebih rendah daripada nilai nominalnya. Dalam kondisi tertentu, karena begitu
rendah nilai intrinsiknya, beberapa ahli juga menganggap uang fiat kertas sebagai uang
“hampa”. Contoh sederhana: seandainya seseorang menyimpan satu peti uang kertas pecahan
seratus ribuan dan, karena sesuatu hal Pemerintah menetapkan aturan bahwa nilai uang
seratus ribu menjadi seribu, maka secara otomatis nilai semua uang tersebut berkurang
secara drastis, menjadi seperseratus dari nilai semula. Belum lagi, seandainya Pemerintah
menyatakan uang tersebut tidak berlaku lagi, maka uang satu peti yang semula bernilai
ratusan juta tersebut menjadi tidak bernilai lagi. Kalau pun dijual kiloan di pasar barang
bekas, paling-paling uang tersebut cuma dihargai dengan harga yang sangat rendah.
7
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Dengan tidak berlakunya standar emas tersebut, sampai saat ini masya-
rakat dunia memasuki era yang pengelolaan uangnya bergantung sepenuh-
nya kepada kemampuan, kesadaran, dan tanggung jawab setiap negara
da-lam mengelola perekonomian masing-masing. Dalam standar ini, setiap
negara berupaya untuk mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masing-
masing.
Penggunaan uang yang telah diuraikan di atas pada dasarnya terbatas
pada lingkup pengertian uang dalam bentuk fisiknya, yaitu uang tunai
yang berupa kertas dan logam yang beredar di masyarakat. Bagaimana
dengan penggunaan uang tidak tunai? Dalam perkembangannya,
penggunaan uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal
secara terbatas pada abad ke-18, pada saat dimulainya evolusi sistem
perbankan moderen. Sejalan dengan evolusi sistem perbankan tersebut,
proses giralisasi, yaitu penyim-panan uang dalam bentuk rekening giro
(demand deposit) baru dikenal secara luas pada awal pertengahan abad
ke-20. Dalam pada itu, masyarakat mempunyai keleluasaan untuk meng-
gunakan baik warkat perintah penarikan maupun cek untuk melakukan
transaksi. Dalam perkembangannya, simpanan giro begitu populer
sehingga jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang diguna-
kan pada waktu itu. Sejalan dengan perkembangan tersebut, simpanan
tabungan (savings deposit) juga mulai dikenal. Bahkan, pada tahun 1950-
an, perubahan praktik perbankan telah mendorong semakin besarnya
jumlah simpanan tabungan dibandingkan dengan simpanan giro.9
Perkembangan dan inovasi sistem perbankan yang pesat selanjutnya
mengarahkan penggunaan uang sebagai suatu komoditas yang tidak
berbentuk secara konkrit (intangible money). Hal ini terkait dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat
meningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta mengurangi waktu dan
biaya yang diperlukan untuk melakukan transaksi dengan menggunakan
cek. Sejak tahun 1990-an hingga kini terdapat kecenderungan masyarakat
untuk menggunakan “uang eloktronis” (electronic money atau E-money),
seperti internet banking, debit cards, dan automatic teller machine (ATM)
cards. Evolusi uang tidak berhenti di sini. “Uang elektronis” juga muncul
9
Pada perkembangannya, proses giralisasi ini mempengaruhi perkembangan pengertian
(definisi) uang beredar. Jagdish Handa, Monetary Economics, London: ECAP 4EE, 2002.
Pembahasan mengenai pengertian uang beredar akan dipaparkan pada bab berikutnya.
8
Uang
dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips pada sebuah kartu.
Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu dengan “mengisi” chips
dengan sejumlah uang tertentu yang dikehen-daki, dan selanjutnya
menggunakannya untuk melakukan transaksi. 10
9
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Uang Beredar
10
Uang Beredar
Uang
16
Dalam praktik, selain cek, dalam bertransaksi masyarakat dapat menggunakan bilyet
giro (BG) melalui pemindahbukuan dana dari rekening giro ke rekening lainnya. Namun,
walaupun digolongkan juga sebagai komponen uang giral, menurut ketentuan yang berlaku
BG tidak dianggap sebagai alat pembayaran tunai seperti halnya cek.
17
Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 tahun 1998, bank perkreditan rakyat (BPR) termasuk dalam pengertian bank. Namun,
karena BPR tidak diperbolehkan menerima simpanan masyarakat dalam bentuk rekening
giro maka BPR tidak dapat digolongkan sebagai bank umum (BPUG).
11
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Dengan uang kartal dan uang giral masyarakat dapat melakukan pem-
bayaran tunai secara langsung. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan simpanan uang tunai dalam bentuk tabungan (savings deposits)
dan/atau deposito berjangka (time deposits) di bank? Sebagaimana
diketahui, penarikan simpanan berupa tabungan dan deposito berjangka
tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu. Lazimnya, penarikan rekening
tabungan dan deposito berjangka adalah sesuai dengan yang telah
diperjanjikan antara penabung dengan bank, misalnya dalam jangka waktu
1 bulan atau 3 bulan.18 Karena penarikannya tidak dapat dilakukan
sewaktu-waktu, pemilik rekening tabungan dan deposito berjangka
tersebut untuk sementara tidak dapat melakukan pembayaran secara
langsung karena harus menunggu sampai rekening tabungan atau deposito
berjangka tersebut jatuh tempo.19 Uang yang disimpan dalam rekening
tabungan dan deposito berjangka tersebut disebut sebagai uang kuasi.
Dari ketiga jenis uang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat dua
perbedaan pokok. Yang pertama, apabila dilihat dari lembaga yang
mengeluarkan dan mengedarkan, terlihat bahwa uang kartal dikeluarkan
dan diedarkan bank sentral, sementara uang giral dan uang kuasi diciptakan
dan diedarkan oleh bank umum. Perbedaan yang kedua, apabila dilihat
dari penggunaanya, uang kartal dan uang giral dapat dipergunakan
langsung sebagai alat pembayaran sedangkan uang kuasi tidak dapat
langsung dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dengan kata lain, uang
kartal dan uang giral lebih likuid dibandingkan dengan uang kuasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa otoritas
moneter (bank sentral) dan bank umum adalah lembaga yang dapat
menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang
kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral
serta uang kuasi. Kedua lembaga ini disebut sebagai lembaga yang
termasuk dalam sistem moneter. Disebut demikian karena kedua lembaga
18
Yang dimaksud dengan tabungan di sini adalah tabungan berjangka. Dalam
perkembangannya, pada saat ini terdapat banyak skim tabungan yang memungkinkan
penarikan tabungan tersebut sewaktu-waktu, antara lain dengan menggunakan kartuATM.
Di Indonesia jenis tabungan ini masih digolongkan sebagai uang kuasi.
19
Selain itu, berbeda dengan penarikan rekening giro yang menggunakan cek, penarikan
tabungan dan deposito berjangka pada umumnya menggunakan slip penarikan umum
(kuitansi) yang tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
12
Uang Beredar
Uang
20
Sektor swasta domestik lebih merupakan istilah teknis. Untuk mempermudah pemahaman
praktis, istilah masyarakat juga digunakan pada beberapa penyampaian ulasan dalam buku
ini.
21
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia.
13
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
- Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol M1,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D).
- Uang beredar dalam arti luas, yang sering juga disebut sebagai
likuiditas perekonomian dan diberi simbol M2, didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri
dari uang kartal (C), uang giral (D), dan uang kuasi (T). Dengan kata
lain M2 adalah M1 ditambah dengan uang kuasi (T).
Sementara itu, definisi uang beredar di berbagai negara dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi sektor keuangan dan perbankan serta kebutuhan
otoritas moneter negara yang bersangkutan. Di Amerika Serikat misalnya,
definisi uang beredar tidak hanya mengenal istilah M1 dan M2 saja, namun
juga M3. Sebagai ilustrasi, perkembangan uang beredar di Indonesia dalam
dua dekade terakhir dapat dilihat grafik di bawah ini.
Grafik 1.
Perkembangan M1 dan Komponennya
Triliun Rp
200
M1
Uang Giral
150 Uang Kartal
100
50
0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
14
Uang Beredar
Uang
Grafik 2.
Perkembangan M2 dan Komponennya
Triliun Rp
1000
M2
Uang Kuasi
800
Uang M1
600
400
200
0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
15
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
16
Mekanisme Penciptaan Uang
Dalam bab satu telah dibahas pengertian uang menurut fungsinya, perkem-
bangan penggunaan uang, dan otoritas yang mempunyai wewenang untuk
megeluarkan serta mengedarkan uang. Adapun dalam bab dua telah di-
bahas pula pengertian uang beredar, jenis-jenis uang beredar, dan perkem-
bangan pengertian uang beredar dari waktu ke waktu. Selanjutnya, akan
dibahas bagaimana uang beredar itu diciptakan.
Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu duraikan terlebih dahulu siapa
saja pelaku dalam proses penciptaan uang. Berdasarkan pengelompokan
peranannya, secara umum dikenal tiga pelaku utama, yaitu (i) otoritas
moneter, (ii) bank umum, dan (iii) masyarakat atau sektor swasta domestik.
Pada dasarnya, ketiga pelaku tersebut berinteraksi sedemikian rupa sehingga
penyediaan (penawaran) uang oleh otoritas moneter dan bank sesuai dengan
kebutuhan (permintaan) masyarakat akan uang tersebut. Secara sederhana
dapat diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank
umum menciptakan uang giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan
menggunakan uang yang diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum
tersebut untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.
23
Jagdish Handa (2000)
17
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
juga mulai dikenal. Pada tahap ini hak monopoli untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang pada umumnya berada pada bank sentral.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab dua, sebagai
pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal yang terdiri dari uang
kertas dan uang logam. Dalam praktik, ternyata bank sentral juga menerima
simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan giro bank umum
di bank sentral tersebut selanjutnya disebut sebagai uang primer atau
uang inti karena jenis uang ini merupakan inti atau “biang” dalam proses
penciptaan uang beredar yang sudah dikenal dari uraian sebelumnya, yaitu
uang kartal, uang giral, dan uang kuasi.
Di Indonesia uang primer didefinisikan sebagai kewajiban otoritas
moneter (Bank Indonesia) terhadap sektor swasta domestik dan bank
umum, yang berupa uang kertas dan uang logam yang berada di luar
Bank Indonesia serta simpanan giro bank umum di Bank Indonesia. Ilus-
trasi mengenai perkembangan uang primer dan uang beredar di Indonesia
dalam dua dekade terakhir dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 3.
Perkembangan Uang Primer dan Uang Beredar
Triliun Rp
1000
M2
M1
800
M0
600
400
200
0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
18
Mekanisme Penciptaan Uang
24
Berbeda dengan konsep yang dianut oleh beberapa negara lain, cakupan saldo giro yang
diperhitungkan sebagai uang primer di Indonesia adalah saldo giro dalam rupiah saja. Hal
ini mengingat saldo giro dalam valuta asing tidak digunakan untuk keperluan transaksi
namun hanya sebagai pemenuhan ketentuan/kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam perkembangannya, pada beberapa kurun waktu neraca otoritas moneter juga
menampung saldo rekening giro rupiah milik masyarakat
19
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
M2
M1 M0
25
Penjelasan detail mengenai penyusunan Neraca Otoritas Moneter akan disampaikan
dalam buku Seri Kebanksentralan berikutnya (Penyusunan Statistik Uang Beredar).
20
Mekanisme Penciptaan Uang
21
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Penciptaan uang giral dan uang kuasi tersebut secara umum dapat
melalui beberapa cara sebagai berikut.
(i) Substitusi, melalui proses substitusi ini seseorang dapat menyetorkan
uang kartal ke bank umum untuk dimasukkan ke dalam simpanan
giro, simpanan tabungan, atau sebagai deposito.
(ii) Transformasi, melalui proses transformasi ini bank umum dapat
membeli surat-surat berharga dan kemudian membukukan surat-surat
berharga yang dibeli ke dalam simpanan giro atas nama yang
bersangkutan atau membukukan ke dalam simpanan tabungan atau
deposito.
(iii) Pemberian kredit, melalui proses ini bank-bank umum dapat
memberikan kredit kepada nasabahnya dan membukukan kredit
tersebut ke rekening giro atas nama debitur yang menerima kredit
tersebut.
Perlu diketahui bahwa dalam proses substitusi dan transformasi
terdapat kemungkinan terjadinya perpindahan bentuk dari uang giral ke
uang kuasi melalui pemindahbukuan. Hal tersebut dapat terjadi karena
dalam praktik suku bunga deposito berjangka pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan jasa giro. Namun, pergeseran tersebut tergantung
pada daya tarik simpanan dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka
dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk giro. Sementara itu, dalam
proses pemberian kredit pada umumnya tidak dibukukan sebagai tabungan
atau deposito karena, pada umumnya, suku bunga pinjaman lebih tinggi
dibandingkan dengan suku bunga tabungan atau deposito.
22
Mekanisme Penciptaan Uang
26
Sebagaimana diatur, bank umum wajib memelihara GWM atas simpanan masyarakat di
bank baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing. GWM dalam rupiah ditetapkan
sebesar 5% dari total dana yang disimpan masyarakat di bank (dana pihak ketiga), yang
23
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
24
Mekanisme Penciptaan Uang
M0 = C + R …. (1)
M1 = C + D …. (2)
M2 = C + D + T …. (3)
25
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
c + 1
mm1 = M1/M0 = …. (4)
c + [r x (t + 1)]
c+t+1
mm2 = M2/M0 = …. (5)
c + [r x (t + 1)]
29
Penghitungan angka pelipat ganda uang dapat dilakukan melalui beberapa cara
(algoritma). Salah satunya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, membagi M1 dan
M2 masing-masing dengan M0 untuk mendapatkan hubungan sebagai berikut.
Untuk M1:
M1/M0 = (C + D)/(C + R)
= ((C/D) + (D/D)) / ((C/D) + (R/D))
= ((C/D) + 1) / ((C/D) + ((R/D) x ((D + T)/(D + T)))
= ((C/D) + 1) / ((C/D) + ((R/(D + T)) x ((T/D)+1))) ……. (4a)
M2 = c + t + 1 x M0 ……... (5b)
c + [r x (t + 1)]
Persamaan (4b) dan (5b) di atas pada hakikatnya menunjukkan hubungan antara uang
beredar dengan uang primer dan suatu fraksi faktor pengali, yaitu yang dikenal sebagai
angka pelipat ganda uang atau money multiplier (mm).
26
Mekanisme Penciptaan Uang
rasio cadangan bank terhadap total simpanan yang meliputi uang giral
dan uang kuasi atau sering disebut sebagai reserve ratio. Apabila dikaitkan
dengan contoh sebelumnya yang hanya mempertimbangkan perilaku
otoritas moneter, penghitungan angka pelipat ganda uang hanya
mempertimbangkan determinan reserve ratio (r), yaitu dalam bentuk rasio
ketentuan GWM. Setelah mempertimbangkan interaksi antara otoritas
moneter, bank umum, dan masyarakat, tidak hanya reserve ratio (r) yang
diperhitungkan namun juga determinan lain, yaitu currency ratio (c) dan
time and savings deposit ratio (t).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pelipat ganda
uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pelipat ganda uang, yaitu
currency ratio, time and savings deposit ratio, dan reserve ratio. Perlu
dikemukakan bahwa perkembangan angka pelipat ganda uang tidaklah
bersifat konstan. Angka tersebut senantiasa berubah-ubah sejalan dengan
pola interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat. Angka
pelipat ganda uang di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat
pada grafik di bawah.
Grafik 4.
Perkembangan Angka Pelipatganda Uang
10
mm2
mm1
8
0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
27
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Currency Ratio ( c )
Tinggi rendahnya currency ratio pada dasarnya dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dalam memilih memegang uang kartal atau uang giral. Dalam
hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat
tersebut, antara lain biaya pemegangan, kenyamanan, dan keamanan dalam
menggunakan uang kartal atau uang giral.
a. Biaya penggunaan uang giral
Dalam hal memilih untuk menggunakan uang kartal atau uang giral,
masyarakat tentunya akan memperhitungkan biaya-biaya yang timbul
dari penggunaan uang tersebut, antara lain biaya transportasi menuju
ke bank dan biaya pemeliharaan rekening giro yang dikenakan oleh
bank. Dalam perekonomian yang kurang maju, khususnya di daerah
yang tidak didukung oleh sektor perbankan dengan baik, biaya tersebut
bisa jadi merupakan faktor utama yang dipertimbangkan oleh
masyarakat, terutama kalau mengingat pemeliharaan rekening giro yang
umumnya tidak diberikan bunga; kalau pun ada, bunga atau jasa giro
yang diberikan sangat rendah.30 Dalam hal terdapat bunga atau jasa
giro, masyarakat akan memperhitungkan biaya penggunaan yang
timbul, yaitu biaya pemeliharaan rekening dikurangi jasa giro. Dalam
kasus ini, biasanya biaya pemegangan uang giral lebih tinggi dibanding-
kan dengan bunga atau jasa giro sehingga masyarakat cenderung
memegang uang kartal daripada uang giral. Dapat disimpulkan bahwa
rasio uang kartal terhadap uang giral berubah searah dengan biaya
penggunaan uang giral.
30
Dalam beberapa analis, biaya untuk menahan uang kuasi relatif terhadap biaya menahan
uang kartal dan uang giral (yang dikaitkan dengan adanya bunga/jasa giro yang diberikan
oleh bank) juga dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi perilaku masyarakat
dalam memegang uang kartal atau uang giral. Namun, hal ini harus diperhitungkan dengan
hati-hati mengingat kedekatan karakteristik uang giral dan uang kartal sebagai alat
pembayaran tunai. Dengan pertimbangan ini, isyu mengenai suku bunga giro menjadi
kurang relevan.
28
Mekanisme Penciptaan Uang
Grafik 5a.
Perkembangan Currency Ratio
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
29
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
31
Suku bunga pasar yang dimaksud adalah suku bunga yang umumnya dikenakan dalam
penggunaan produk keuangan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
penanaman dana.
30
Mekanisme Penciptaan Uang
Grafik 5b.
Perkembangan Time and Savings Deposit Ratio
10
0
70 75 80 85 90 95 00
Sumber : Bank Indonesia
31
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Reserve ratio ( r )
Dalam pelaksanaan operasional kegiatan bank, jumlah uang tunai yang
dicadangan secara total sebenarnya susah untuk dihitung. Hal ini me-
ngingat jumlah cadangan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen dengan jumlah tetap dan komponen lainnya yang merupakan
kelebihan dari jumlah tetap. Komponen pertama yang tentunya dapat
diperkirakan jumlahnya dikenal sebagai cadangan resmi (legal reserve).
Sementara itu, komponen kedua adalah kelebihan cadangan (excess
reserve). Dengan demikian, reserve ratio dapat dibagi menjadi dua
komponen juga, yaitu rasio cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat
(legal reserve ratio) yang dipengaruhi oleh ketentuan otoritas moneter
dan rasio kelebihan cadangan terhadap simpanan masyarakat (excess
reserve ratio) yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan likuiditas jangka
pendek.
a. Ketentuan otoritas moneter
Perubahan legal reserve ratio hanya terjadi apabila bank sentral atau
otoritas moneter menghendakinya dalam rangka pengaturan uang beredar.
Berlainan dengan currency ratio dan time deposit ratio yang berubah
secara berarti hanya dalam jangka panjang sebagai akibat pengaruh
perubahan struktur dan perkembangan ekonomi umunya serta tingkat
pendapatan masyarakat khususnya, legal reserve ratio dapat sewaktu-
waktu diubah oleh bank sentral, baik rasio maupun komponennya.
b. Likuiditas bank
Perubahan excess reserve ratio sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
likuiditas atau kekayaan yang dapat digunakan sewaktu-waktu oleh
32
Mekanisme Penciptaan Uang
Grafik 5c.
Perkembangan Reserve Ratio
Persen
40
30
20
10
0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
33
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Reserve ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada
grafik di bawah. Perkembangan reserve ratio sangat terkait dengan
perkembangan kebijakan penetapan reserve requirement (RR) oleh Bank
Indonesia. Rasio ini mengalami peningkatan pada pertengahan tahun
1970-an sebagai akibat kebijakan penetapan RR sebesar 30% pada tahun
1973 (pada saat oil boom). Penurunan rasio secara berarti terus terjadi,
sejalan dengan penurunan RR menjadi 15% pada tahun 1977 dan 2%
pada tahun 1988. Peningkatan reserve rasio selanjutnya terjadi sejalan
dengan peningkatan RR (GWM dalam rupiah) secara berturut-turut
menjadi 3% pada tahun 1996 dan 5% pada tahun 1997.
M1 = mm1 x M0
M2 = mm2 x M0
34
Mekanisme Penciptaan Uang
35
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
36
Mekanisme Penciptaan Uang
Boks:
Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
di Indonesia
37
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Tabel 1.
Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
di Indonesia
Grafik 6.
Perkembangan Tingkat Penggunaan Uang
0.7
M2/PDB
0.6 M1/PDB
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
38
Mekanisme Penciptaan Uang
Grafik 7.
Perkembangan Tingkat Perputaran Uang
16
PDB/M1
14
PDB/M2
12
10
0
70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
39
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
40
Peranan Uang dalam Perekonomian
41
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
dasarnya dapat diamati dari dua sektor yang saling berkaitan, yaitu sektor
riil (barang dan jasa) dan sektor moneter (uang). Sektor riil dan sektor
moneter tidak hanya berkaitan erat, kedua sektor tersebut bahkan seperti
dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis,
sektor yang satu merupakan cerminan dari sektor lainnya. Sebagai contoh,
dalam suatu transaksi jual-beli akan terdapat penjual yang memiliki barang
dan pembeli yang memiliki uang. Pembeli memiliki uang tetapi mem-
butuhkan barang, sementara penjual memiliki barang tetapi membutuhkan
uang. Dengan demikian, apabila transaksi tersebut dilakukan maka nilai
transaksi jual-beli barang dan jasa harus sama dengan nilai uang yang
diserahterimakan.32
Ilustrasi sederhana mengenai aliran atau arus perputaran barang dan
uang terjadi dalam suatu perekonomian dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesuai dengan fungsi uang sebagaimana telah diuraikan dalam bab
pertama, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat membutuhkan uang
untuk memperlancar kegiatan ekonominya baik berupa kegiatan produksi,
investasi, maupun konsumsi. Sebagaimana diketahui, dalam setiap
kegiatan ekonomi tersebut selalu terdapat dua macam aliran, yaitu aliran
barang dan aliran uang atau dana. Sebagai contoh, dalam suatu kegiatan
produksi, untuk menghasilkan suatu produk perusahaan membutuhkan
input, misalnya berupa bahan baku dan tenaga kerja. Dalam proses tersebut
perusahaan akan membeli bahan baku dan menyewa tenaga (keahlian)
dari masyarakat sehingga akan terjadi aliran barang dan jasa berupa bahan
baku dan tenaga kerja dari masyarakat. Pada saat yang sama juga terjadi
aliran uang dari perusahaan untuk pembayaran bahan baku yang dibeli
32
Dalam ilmu ekonomi moneter, hubungan tersebut dijelaskan melalui teori Teori Kuantitas
Uang. Fokus utama teori aliran Klasik ini adalah hubungan antara perubahan jumlah uang
beredar dan tingkat harga. Irving Fisher menjelaskan hubungan tersebut melalui persamaan:
M x V = P x T. Dalam hal ini, M adalah jumlah uang dalam masyarakat, V adalah tingkat
rata-rata perputaran uang dari satu tangan ke tangan lain (transaction velocity of circulation
atau income velocity), P adalah harga rata-rata suatu barang, dan T adalah volume transaksi.
Yang menjadi perhatian di sini adalah kondisi V dan T yang dianggap konstan (tidak
berubah) dalam jangka waktu pendek. Variabel-veriabel tersebut sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat. Salah satu implikasi yang
terpenting ialah bahwa dalam jangka pendek tingkat harga umum (P) berubah secara
proposional dengan perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah. Dalam jangka
panjang, sejalan dengan perubahan T, perubahan uang beredar mempunyai pengaruh
terhadap tingkat output (nominal) masyarakat.
42
Peranan Uang dalam Perekonomian
tersebut. Aliran uang keluar tersebut bagi perusahaan akan menjadi pos
biaya, sementara bagi masyarakat, aliran uang masuk tersebut merupakan
pos pendapatan. Sementara itu, setelah perusahaan menghasilkan suatu
produk dan menjualnya ke masyarakat akan terjadi aliran uang keluar
dari masyarakat dan sebaliknya terjadi aliran uang masuk yang merupakan
pendapatan perusahan. Mekanisme yang serupa juga terjadi pada kegiatan
investasi dan kegiatan ekonomi lainnya. Berdasarkan contoh tersebut,
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perekonomian aliran uang akan
sebanding dengan aliran barang dan jasa.
33
Dalam ilmu ekonomi moneter, motif masyarakat yang beragam dalam memegang uang
tersebut merupakan landasan Teori Permintaan Uang (Demand for Money Theory).
34
Dalam ilmu ekonomi moneter, salah satu teori yang menjelaskan keterkaitan antara
suku bunga dengan permintaan/penyediaan dana (uang) adalah Teori Dana yang Dapat
Dipinjamkan (the Loanable Fund Theory).
43
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
minta melebihi jumlah uang yang disediakan maka akan dapat mengaki-
batkan kenaikan harga uang atau suku bunga. Perlu dikemukakan bahwa
suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga keseimbangan pasar, yiatu
suku bunga yang mencerminkan kesesuaian antara suku bunga simpanan
(sisi penawaran uang) dan suku bunga pinjaman (sisi permintaan uang).
Dari hubungan di atas dapat dipahami bahwa perubahan suku bunga
dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan jumlah uang beredar yang
mencerminkan interaksi antara sisi permintaan dan sisi penawaran.
Bagaimana hubungan antara uang dan suku bunga yang terjadi pada
perekonomian Indonesia? Hubungan tersebut dapat dilihat pada grafik
pertumbuhan tahunan uang beredar dan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) di bawah ini.35 Dalam hal ini diasumsikan bahwa perkem-
bangan suku bunga SBI menjadi acuan bagi perkembangan suku-suku
bunga lainnya, baik suku bunga simpanan, suku pinjaman, maupun suku
bunga untuk transaksi di pasar uang (dengan tenggang waktu atau time
lag tertentu).36
Grafik 8a.
Pertumbuhan M1 dan Suku Bunga SBI (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan M1
Suku Bunga SBI
60
40
20
0
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01
Sumber : Bank Indonesia
44
Peranan Uang dalam Perekonomian
Grafik 8b.
Pertumbuhan M2 dan Suku Bunga SBI (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan M2
Suku Bunga SBI
60
40
20
0
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01
Sumber : Bank Indonesia
35
Pertumbuhan tahunan dihitung berdasarkan perubahan jumlah pada periode saat ini
terhadap jumlah pada periode 1 tahun sebelumnya. Dapat dituliskan sebagai berikut:
[Pertumbuhan tahunan Uang saat ini ] = {[jumlah Uang Beredar saat ini] : [jumlah Uang
Beredar 1 tahun lalu] – 1} x 100. Misalnya, jika jumlah uang beredar tahun 2000 dan 2001
masing-masing adalah 1000 dan 1100 maka pertumbuhan uang beredar tahun 2001 adalah
{(1100 : 1000) – 1} x 100 = 10 %.
Dalam rangka mengatur jumlah uang yang beredar, Bank Indonesia dapat mempengaruhi
suku bunga SBI yang ditetapkan dalam rangka operasi pasar terbuka oleh Bank Indonesia.
Pembahasan lebih detail mengenai operasi pasar terbuka dapat dilihat pada buku Seri
Kebanksentralan yang lain: Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter.
36
Beberapa penelitian yang dilakukan di Bank Indonesia mendukung pernyataan ini.
Pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain biasanya terasa setelah beberapa tenggang
waktu tertentu, misalnya tiga bulan. Tenggang waktu (time lag) ini antara lain berkaitan
dengan proses pengambilan keputusan para pelaku ekonomi dalam merespon perkembangan
yang terjadi.
45
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
perkembangan uang beredar yang pesat disertai dengan suku bunga yang
juga tinggi.37
37
Mengapa hal ini dapat terjadi? Seperti telah diketahui, pada saat krisis ekonomi mencapai
puncaknya pada tahun 1998 lalu kelangkaan dana pada perbankan yang terjadi begitu besar
sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat. Ditambah dengan semakin melemahnya
nilai rupiah terhadap dolar AS, kepercayaan masyarakat terhadap rupiah semakin melemah.
Untuk mengatasi hal ini bank-bank umumnya menaikkan suku bunga secara drastis untuk
menarik dana masyarakat. Kekhawatiran akan semakin memburuknya kondisi
perekonomian mendorong Pemerintah (Bank Indonesia) untuk menyuntik dana ke pasar
dalam jumlah yang sangat besar, yang menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar
secara drastis.
38
Keterkaitan antara uang dan kegiatan ekonomi paling tidak terjadi dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, terdapat keragaman pandangan mengenai pengaruh uang terhadap
kegiatan ekonomi. Umumnya, disepakati bahwa dalam jangka panjang uang tidak
mempengaruhi tingkat output riil (neutrality of money) namun hanya mempengaruhi tingkat
output nominal dan harga. Hubbard, R. Glenn (2000).
46
Peranan Uang dalam Perekonomian
Grafik 9a.
Pertumbuhan M1 dan PDB (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan PDB
Pertumbuhan M1
60
40
20
0
72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik
39
Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator yang mencerminkan perkembangan
kegiatan ekonomi suatu masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDB dapat
dihitung dari sisi penggunaan, nilai tambah produksi dalam sektor-sektor ekonomi, dan
pendapatan. Dari sisi penggunaan, nilai PDB dihitung dengan menjumlahkan nilai
konsumsi, investasi, dan transaksi ekspor-impor.
47
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Grafik 9b.
Pertumbuhan M2 dan PDB (Tahunan)
Persen
80
Pertumbuhan PDB
Pertumbuhan M2
60
40
20
0
72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik
48
Peranan Uang dalam Perekonomian
49
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
50
Peranan Uang dalam Perekonomian
Tabel 2.
Rata-rata Pertumbuhan Uang Beredar dan Inflasi (Tahunan)
1997.3 – 1997.4 16 % 23 % 8%
1998.1 – 1998.4 49 % 63 % 58 %
1999.1 – 1999.2 5% 29 % 44 %
1999.3 – 2001.4 19 % 13 % 7%
Keterangan : Inflasi dihitung dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik
51
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
41
Sejalan dengan semakin berat dan kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam
pengendalian moneter di Indonesia, kebijakan moneter juga menggunakan pencapaian
target harga (suku bunga) sebagai salah satu aspek dalam paradigma kebijakan moneter.
52
Peranan Uang dalam Perekonomian
42
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, secara konseptual hubungan antara
uang primer dan uang beredar tercermin pada keberadaan angka pelipat ganda uang (money
multiplier). Hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai: Ms = mm x M0. Dalam hal ini,
Ms adalah uang beredar, mm adalah angka pelipat ganda uang, dan M0 adalah uang primer.
53
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Daftar Pustaka
54
LAMPIRAN
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Tabel 1.
Perkembangan Uang Beredar
(dalam triliun rupiah)
Tahun C D M1 T M2 M0
1970 0.15 0.09 0.24 0.08 0.32 0.19
1971 0.20 0.12 0.31 0.15 0.46 0.24
1972 0.27 0.21 0.47 0.22 0.70 0.38
1973 0.38 0.30 0.67 0.32 0.99 0.53
1974 0.50 0.45 0.94 0.51 1.45 0.82
1975 0.65 0.62 1.27 0.75 2.02 1.10
1976 0.78 0.82 1.60 1.05 2.65 1.34
1977 0.98 1.03 2.01 1.13 3.13 1.67
1978 1.24 1.25 2.49 1.33 3.82 1.83
1979 1.55 1.77 3.32 1.84 5.16 2.40
1980 2.17 2.84 5.01 2.70 7.71 3.27
1981 2.55 3.93 6.47 3.23 9.71 3.80
1982 2.93 4.19 7.12 3.95 11.07 3.98
1983 3.33 4.24 7.57 7.09 14.66 4.89
1984 3.71 4.87 8.58 9.36 17.94 5.47
1985 4.44 5.66 10.10 13.05 23.15 6.44
1986 5.34 6.34 11.68 15.98 27.66 7.81
1987 5.78 6.90 12.69 21.20 33.89 8.67
1988 6.25 8.15 14.39 27.61 42.00 8.18
1989 7.43 12.69 20.11 38.59 58.70 10.32
1990 9.09 14.73 23.82 60.81 84.63 12.01
1991 9.35 17.00 26.34 72.72 99.06 12.36
1992 11.48 17.30 28.78 90.27 119.05 14.74
1993 14.43 22.37 36.81 108.40 145.20 17.61
1994 18.63 26.74 45.37 129.14 174.51 22.16
1995 20.81 32.41 53.22 169.42 222.64 25.85
1996 21.87 42.22 64.09 224.54 288.63 34.41
1997 28.42 49.92 78.34 277.30 355.64 46.69
1998 41.39 59.57 100.96 476.18 577.15 75.12
1999 58.35 66.28 124.63 521.57 646.21 101.79
2000 72.37 89.81 162.19 584.84 747.03 125.62
2001 76.34 101.39 177.73 666.32 844.05 127.80
Sumber: Bank Indonesia
56
Lampiran
Tabel 2.
Perkembangan Angka Pelipatganda Uang
57
UANG : PENGERTIAN, PENCIPTAAN, DAN PERANANNYA DALAM PEREKONOMIAN
Tabel 3.
Perkembangan Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
Tingkat Penggunaan Uang Tingkat Perputaran Uang
Tahun
M1/PDB M2/PDB PDB/M1 PDB/M2
1970 0.07 0.09 14.15 10.62
1971 0.08 0.12 12.36 8.44
1972 0.10 0.14 10.14 6.91
1973 0.09 0.14 10.60 7.16
1974 0.08 0.13 11.97 7.76
1975 0.10 0.15 10.45 6.59
1976 0.10 0.16 10.18 6.15
1977 0.10 0.16 9.98 6.39
1978 0.10 0.16 9.63 6.27
1979 0.10 0.15 10.17 6.54
1980 0.10 0.16 9.76 6.35
1981 0.11 0.16 9.35 6.24
1982 0.11 0.17 9.42 6.06
1983 0.10 0.19 10.26 5.29
1984 0.10 0.20 10.38 4.97
1985 0.10 0.24 9.74 4.25
1986 0.11 0.25 9.48 4.00
1987 0.10 0.26 10.14 3.80
1988 0.10 0.28 10.38 3.56
1989 0.11 0.33 8.93 3.06
1990 0.11 0.40 8.85 2.49
1991 0.11 0.40 9.49 2.52
1992 0.10 0.42 9.81 2.37
1993 0.11 0.44 8.96 2.27
1994 0.12 0.46 8.42 2.19
1995 0.12 0.49 8.50 2.03
1996 0.12 0.55 8.21 1.82
1997 0.12 0.57 8.01 1.76
1998 0.11 0.60 9.47 1.66
1999 0.11 0.59 8.82 1.70
2000 0.13 0.58 7.90 1.72
2001 0.12 0.57 8.39 1.77
Sumber : Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik
58
Seri Kebanksentralan
No. 2
PENYUSUNAN STATISTIK
UANG BEREDAR
Solikin
Suseno
BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN
Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan - Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Seri Kebanksentralan No. 2
PENYUSUNAN STATISTIK
UANG BEREDAR
Solikin
Suseno
Bibliografi : hlm. 19
ISBN 979-3363-01-0
ii
Sambutan
Halim Alamsyah
Direktur
iii
Pengantar
Uang beredar merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam
perumusan kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, uang beredar senantiasa
menjadi perhatian, baik oleh para pengambil kebijakan di bidang ekonomi
moneter, para pengamat ekonomi, maupun masyarakat pada umumnya.
Seluk-beluk tentang uang, mulai dari konsep dasar sampai dengan
peranannya dalam kehidupan masyarakat telah dibahas dalam buku seri
kebanksentralan no. 1. Buku tersebut juga telah memaparkan beberapa
aspek yang berkaitan dengan penciptaan uang beredar secara ringkas.
Sejalan dengan penyusunan buku tersebut, buku seri kebanksentralan no.
2 ini menyajikan hal-hal pokok yang bersifat lebih teknis, yaitu aspek-
aspek yang berkaitan dengan penyusunan statistik uang beredar.
Banyak rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
dan Direktorat Statistik Moneter yang telah membantu kelancaran
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada Sdr. Halim Alamsyah, Sdr. Iskandar, Sdr. Eddy Susanto,
Sdr. M. Anwar Bashori, Sdr. Nunu Hendrawanto, Sdr. Erwin Haryono,
dan Sdri. Diana Yumanita atas partisipasinya dalam diskusi dan pemberian
saran dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan dan menghargai
semua kritik dan saran demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya, mudah-
mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.
Penulis
iv
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar iv
Pendahuluan 1
Daftar Pustaka 19
Lampiran 20
Neraca Sistem Moneter Tahun 2001 21
Neraca Otoritas Moneter Tahun 2001 22
Neraca Gabungan Bank Umum Tahun 2001 23
Tabel 1. Tabel Publikasi Neraca Sistem Moneter 24
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter 25
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum 27
v
Pendahuluan
Penyusunan Statistik
Uang Beredar
Pendahuluan
1
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
2
Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan Statistik Uang
Pendahuluan
Beredar
5
Seri Kebanksentralan No.1, Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam
Perekonomian, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) - Bank Indonesia,
Jakarta, Desember 2002.
3
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
4
Neraca Otoritas
Pendahuluan
Moneter
Skema 1.
Alur Penyusunan Neraca Sistem Moneter
Neraca Analitis
Otoritas Moneter
Neraca
Bank Indonesia - Uang Primer (M0)
- Faktor-Faktor yang Neraca
Mempengaruhi Sistem Moneter
- M1, M2
- Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Neraca Analitis
Neraca Gabungan
Gabungan
Bank Umum
Bank Umum
5
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
Worksheet uang primer itu sendiri adalah suatu lembar kerja yang diguna-
kan sebagai alat bantu penyusunan uang primer dengan cara melakukan
pengelompokan rekening-rekening kekayaan dan kewajiban Bank Indonesia.
Rekening kekayaan dan kewajiban tersebut disusun dengan memilah-milah
rekening berdasarkan status kepemilikannya, sehingga diperoleh komponen
uang primer dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.
Secara singkat, pos-pos neraca Bank Indonesia dapat disusun dalam
bentuk neraca seperti di bawah ini.
Aktiva Pasiva
1. Emas dan Valuta Asing 1. Kewajiban Moneter
a. Emas a. Uang kartal dalam peredaran
b. Valuta asing b. Giro bank
c. Penyisihan penghapusan c. Giro pemerintah
Aktiva valuta asing d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
2. Special Drawing Rights (SDR) e. Lainnya
3. Surat Berharga 2. Pinjaman dalam valuta asing
4. Tagihan pada Pemerintah a. Pinjaman sindikasi
a. Dalam rupiah b. Pinjaman bilateral
b. Dalam valuta asing c. Pinjaman kepada pemerintah
c. Penyisihan penghapusan 3. Pasiva Lainnya
Tagihan pada pemerintah a. Dalam rupiah
5. Kredit dan Pembiayaan b. Dalam valuta asing
a. Perbankan 4. Ekuitas
b. Lainnya a. Modal dan cadangan
c. Penyisihan penghapusan b. Laba tahun lalu
Piutang ragu-ragu c. Surplus tahun berjalan
6. Penyertaan d. Cadangan revaluasi harga pasar
a. Penyertaan e. Cadangan selisih kurs
b. Penyisihan penghapusan
Penyertaan
7. Aktiva Lainnya
a. Aktiva tetap
b. Akumulasi penyusutan
Aktiva tetap
c. Lainnya
Keterangan : format standar penyusunan neraca singkat ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Laporan Tahunan Bank Indonesia.
6
Neraca Otoritas
Pendahuluan
Moneter
Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri (Aa) 1. Uang Primer (Ap)
2. Tagihan pada Pemerintah Pusat (Ba) - Uang Kartal (A1p)
3. Tagihan pada Lembaga - Kas Bank (A2p)
dan Perusahaan Pemerintah (Ca) - Saldo Giro Bank (A3p)
4. Tagihan pada Perusahaan - Saldo Giro Perusahaan dan
dan Perorangan (Da) Perorangan (A4p)
5. Tagihan pada Bank (Ea) 2. Setoran Jaminan Bank (Bp)
6. Aktiva Lainnya (Fa) 3. Jaminan Impor (Cp)
4. Pasiva Luar Negeri (Dp)
5. Rekening Pemerintah (Ep)
6. Modal dan Cadangan (Fp)
7. Pasiva Lainnya (Gp)
Keterangan : Angka dalam kurung merupakan simbol yang ditujukan semata-mata untuk
mempermudah analisis
8
SDR merupakan alat likuid yang dikeluarkan dan didukung penuh dengan dana cadangan
dan emas oleh IMF sebagai bankir internasional. Penerbitan SDR dianggap sebagai salah
satu cara yang ekonomis untuk menyediakan likuiditas yang mantap bagi perekonomian
dunia, terutama untuk menyangga transaksi perdagangan dunia.
9
Perlu diinformasikan bahwa baik tagihan maupun kewajiban kepada Luar Negeri bisa
juga dalam bentuk mata uang domestik.
7
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri Bersih (Aba) Uang Primer (Ap)
2. Tagihan Bersih pada 1. Uang Kartal (A1p)
Pemerintah Pusat (Bba) 2. Kas Bank (A2p)
3. Tagihan pada Lembaga 3. Saldo Giro Bank (A3p)
dan Perusahaan Pemerintah (Ca) 4. Saldo Giro Perusahaan
4. Tagihan Bersih pada Perusahaan dan Perorangan (A4p)
dan Perorangan (Da)
5. Tagihan pada Bank (Ea)
6. Lainnya Bersih (Eba)
Keterangan : Format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
Penjelasan simbol:
Aba = (Aa – Dp)
Bba = (Ba – Cp – Ep)
Eba = (Fa – Bp – Fp – Gp ),
Ca, Da, dan Ea : tetap seperti halnya yang ada pada Neraca Analitis Bank Indonesia
10
Neraca otoritas moneter pada dasarnya dapat disusun menurut format lain, yang
disesuaikan menurut tujuan analisis.
8
NeracaPendahuluan
Bank Umum
(ii) saldo rekening giro rupiah milik bank-bank umum (dan perusahaan
dan perorangan) di Bank Indonesia.11
Sementara itu, pos-pos yang berada pada sisi aktiva merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang primer, yaitu: (i) Aktiva
luar negeri bersih (ii) Tagihan bersih pada pemerintah pusat, (iii) Tagihan
pada lembaga dan perusahaan pemerintah, (iv) Tagihan pada perusahaan
dan perorangan, (v) Tagihan pada Bank, dan (vi) Lainnya bersih. Posisi
neraca otoritas moneter tersebut dapat pula ditulis dalam bentuk
persamaan:
Seperti halnya pada neraca bank sentral, prinsip penyusunan neraca bank
umum yang dilakukan adalah dengan memperhatikan dua kepentingan,
utamanya yaitu kepentingan bank umum sebagai suatu badan usaha.
Namun demikian, untuk kepentingan penyusunan neraca analitis moneter,
Bank Indonesia menyusun kembali pos-pos neraca berdasarkan status
kepemilikannya. Secara singkat, pos-pos neraca bank umum sebagai suatu
badan usaha adalah sebagai berikut.
11
Di beberapa negara, selain rekening giro dalam mata uang domestik, rekening giro
dalam mata uang asing juga termasuk sebagai komponen uang primer. Di Indonesia, saat
ini hanya rekening giro dalam rupiah saja yang diperhitungkan sebagai komponen uang
primer. Hal ini karena rekening giro dalam valuta asing di Bank Indonesia tidak digunakan
untuk keperluan transaksi, tetapi untuk memenuhi ketentuan/kebijakan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Dalam perkembangannya, pada beberapa kurun waktu neraca otoritas
moneter juga menampung saldo rekening giro rupiah milik masyarakat.
9
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
Aktiva Pasiva
1. Kas (aa) 1. Saldo Rekening Giro (ap)
2. Giro pada Bank Indonesia (ba) 2. Simpanan Berjangka dan Tabungan (bp)
3. Aktiva Luar Negeri (ca) 3. Rekening Valuta Asing (cp)
4. Tagihan pada Pemerintah Pusat (da) 4. Pasiva Luar Negeri (dp)
5. Tagihan pada Lembaga 5. Rekening Pemerintah (ep)
dan Perusahaan Pemerintah (ea) 6. Jaminan Impor (fp)
6. Tagihan pada Perusahaan 7. Utang pada Bank Indonesia (gp)
dan Perorangan (fa) 8. Modal (hp)
7. Aktiva Lainnya (ga) 9. Pasiva Lainnya (ip)
Keterangan : format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
10
Neraca Sistem
Pendahuluan
Moneter
Aktiva Pasiva
1. Kas (aa) 1. Uang Giral
2. Giro pada Bank Indonesia (ba) - Saldo Rekening Giro (ap)
3. Aktiva Luar Negeri Bersih (bba) 2. Uang Kuasi (bbp)
4. Tagihan Bersih pada
Pemerintah Pusat (cba)
5. Tagihan pada Lembaga
dan Perusahaan Pemerintah (ea)
6. Tagihan pada Perusahaan
dan Perorangan (fa)
7. Lainnya Bersih (gba)
Penjelasan simbol:
bba = (ca – dp) gba = ga – (fp + gp + hp + ip)
cba = (da – ep) bbp = (bp + cp)
11
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
moneter dan bank umum. Dalam penggabungan itu pos-pos yang bersifat
intra akan saling menghapus, misalnya pos Kas dan Giro bank umum di
Bank Indonesia (reserve bank-bank). Sementara itu, pos-pos yang bersifat
sama akan digabungkan sebagai suatu pos aktiva/pasiva dari sistem
moneter.
Di sisi Aktiva, pos-pos ini adalah : (i) Aktiva Luar Negeri Bersih, (ii)
Tagihan Bersih pada Pemerintah Pusat, (iii) Tagihan pada Lembaga dan
Perusahaan Pemerintah, (iv) Tagihan pada Perusahaan dan Perorangan,
dan (v) Lainnya Bersih. Di sisi Pasiva, pos Uang Kartal dan Saldo Giro
Perusahaan dan Perorangan pada Neraca Otoritas Moneter, bersama-sama
dengan pos-pos Uang Giral dan Uang Kuasi pada Neraca Analitis Bank
Umum akan membentuk pos komponen uang beredar (M1 dan M2),
yaitu: (i) Uang Kartal, (ii) Uang Giral, dan (iii) Uang Kuasi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun neraca
sistem moneter sebagai berikut.
Aktiva Pasiva
1. Aktiva Luar Negeri Bersih (ALNB) Uang Beredar (M2)
2. Tagihan Bersih pada
Pemerintah Pusat (TBPP) 1. M1
3. Tagihan pada Lembaga dan - Uang Kartal (UKT)
Perusahaan Pemerintah (TLPP) - Uang Giral (UGR)
4. Tagihan pada Perusahaan 2. Uang Kuasi (UKS)
dan Perorangan (TPP)
5. Lainnya Bersih (LB)
Keterangan : format standar penyusunan neraca analitis ini adalah seperti yang dipublikasikan
kepada masyarakat dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
Penjelasan simbol:
ALNB = Aba + bba aa – A2p =0
TBPP = Bba + cba ba – A3p =0
TLPP = Ca + ea UKT = A1p
TPP = Da + fa UGR = A4p + ap
LB = Eba + Ea + gba + aa + ba – A2p – A3p UKS = bbp
12
Neraca Sistem
Pendahuluan
Moneter
12
Cadangan devisa bersih merupakan alat pembayaran internasional yang bersifat segera
dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Yang termasuk dalam cadangan devisa bersih
adalah emas dan mata uang emas, rekening koran pada bank-bank luar negeri, simpanan
dan deposito berjangka di bank-bank luar negeri, deposito on call dan call money pada
bank-bank di luar negeri, kertas-kertas perbendaharaan negara lain serta uang kertas dan
uang logam asing pada kas-kas bank sentral.
13
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
Lainnya bersih
Lainnya bersih merupakan pos/kelompok yang disediakan untuk
menampung berbagai pos yang tidak dimasukkan/digolongkan ke dalam
kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Kelompok
lainnya bersih antara lain terdiri dari :
• Jaminan impor, yaitu yang merupakan jaminan impor yang diterima
oleh bank-bank devisa.13 Jumlah jaminan impor yang terdapat pada
neraca sistem moneter, tidak termasuk jaminan impor yang ada pada
Bank Indonesia, mengingat jaminan impor pada bank sentral sudah
diperhitungkan di dalam rekening pemerintah pusat. Mengingat
jaminan impor merupakan kewajiban dari bank, maka penempatan
14
Neraca Sistem Moneter
Pendahuluan
jaminan impor pada pos lainnya bersih akan dicatat dengan tanda
negatif (-).
• Rekening modal, terdiri dari modal, laba/rugi dan berbagai cadangan
baik yang dimiliki oleh bank sentral maupun oleh bank umum. Reke-
ning modal ini mempunyai tanda negatif (-) dalam kelompok lainnya
bersih.
• Hubungan keuangan antara bank sentral dengan bank umum. Sub ke-
lompok ini menggabungkan beberapa pos tertentu pada neraca otoritas
moneter dengan beberapa pos tertentu pada neraca gabungan bank
umum. Pos-pos tersebut pada neraca otoritas moneter yaitu Tagihan
pada Bank, Saldo Giro Bank dan Setoran Wajib Bank. Sedangkan pos-
pos yang terdapat pada neraca bank umum ialah Utang pada Bank
Indonesia, Kas, dan Giro pada Bank Indonesia. Pos lainnya adalah
Rupa-rupa, yang merupakan penggabungan antara aktiva lainnya
dengan pasiva lainnya, baik yang ada pada neraca otoritas moneter
maupun yang ada pada neraca gabungan bank umum. Apabila semua
sub kelompok tersebut digabungkan, maka akan diperoleh jumlah
kelompok lainnya bersih.
Sisi Pasiva
Sisi pasiva neraca sistem moneter mencerminkan kewajiban moneter dari
sistem moneter yang berupa uang beredar yang terdiri dari uang kartal,
uang giral, dan uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik.
Uang kartal yang dimaksud adalah uang kartal yang beredar di masyarakat
(tidak termasuk uang kartal yang ada di kas BI dan bank umum).14 Uang
giral diperoleh dengan menambahkan saldo giro milik sektor swasta do-
mestik yang ada pada BI dan bank umum. Sementara itu, uang kuasi di-
peroleh dengan menggabungkan simpanan berjangka dan tabungan, serta
rekening valuta asing lainnya milik sektor swasta domestik pada bank
umum maupun BI.
13
Bank devisa merupakan bank yang dalam kegiatan operasionalnya dapat melakukan
pengelolaan devisa, antara lain untuk keperluan ekspor-impor.
14
Uang kartal diperoleh dengan mengurangkan rekening pencetakan uang dengan uang
kas yang ada di BI dan bank umum.
15
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
16
Pendahuluan
Boks:
Penafsiran Statistik Uang Beredar sebagai Akibat
Gejolak Nilai Tukar
17
PENYUSUNAN STATISTIK UANG BEREDAR
18
Pendahuluan
Daftar Pustaka
19
LAMPIRAN
20
Neraca Sistem Moneter Tahun 2001
(miliar rupiah)
AK T I VA PA S I VA
21
Neraca Otoritas Moneter Tahun 2001
(miliar rupiah)
AKTIVA PA S I VA
Aktiva Luar Negeri 301.351 Uang Kertas & Uang Logam yg diedarakan
Tagihan pada Sektor Pemerintah - Uang Kuartal 76.342
- Pemerintah Pusat 252.055 - Kas Bank 14.934
- Lemb.& Persh. Pemerintah 0 (Sub Total) 91.276
(Sub Total) 252.055 Saldo Giro Bank 34.847
Tagihan pada Persh.Swasta
& Perorangan Saldo Giro Persh. dan Perorangan 1.673
- Pinjaman yg diberikan 34 (Sub Total) 127.796
- Tagihan Lainnya 7.760 Rekening Valuta Asing & Rek. Lainnya 126
(Sub Total) 7.794 Rekening Valuta Asing Bank Devisa 7.460
Tagihan pada Bank 17.711 Pasiva Luar Negeri 108.744
Aktiva Lainnya 22.228 Rekening Pemerintah
- Jaminan Impor 505
- Rekening Berjalan 90.500
- Rekening Khusus Pemerintah 0
- Dana Nilai Lawan 288
- Lainnya 0
(Sub Total) 91.293
Modal dan Cadangan 14.709
Pasiva Lainnya 251.011
22
Neraca Gabungan Bank Umum Tahun 2001
(miliar rupiah)
AK T I VA PA S I VA
23
Tabel 1. Tabel Publikasi Neraca Sistem Moneter
(miliar rupiah)
Uang Beredar/Money Supply Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar
Akhir M2 Aktiva Tagihan Tagihan pd Tagihan pd
Periode M1 Luar Bersih pd Lembaga Prsh. Jaminan Lainnya
Jumlah Uang
Jumlah Uang Uang Negeri Pemerintah dan BUMN Swasta & Import Bersih
Total Kuasi
Total kartal Giral Bersih Pusat Perorangan
1997 355.643 78.343 28.424 49.919 277.300 67.985 -45.543 20.612 432.232 -1.419 -118.224
1998 577.381 101.197 41.394 59.803 476.184 141.677 -28.030 27.001 525.264 -2.417 -86.114
1999 646.205 124.633 58.353 66.280 521.572 129.096 397.257 18.862 233.714 -1.658 -131.066
2000 747.028 162.186 72.371 89.815 584.842 210.733 520.317 14.357 280.566 -4.783 -274.162
2001 844.053 177.731 76.342 101.389 666.322 233.975 529.706 18.337 310.816 -7.966 -240.815
2001
Jan. 738.731 145.345 59.540 85.805 593.386 207.581 520.692 12.596 276.856 -4.570 -274.424
Feb. 755.898 149.879 59.525 90.354 606.019 226.194 527.242 13.550 285.489 -5.016 -291.561
Mar. 766.812 148.375 60.114 88.261 618.437 248.254 521.187 14.056 295.244 -5.805 -306.124
Apr. 792.227 154.297 61.429 92.868 637.930 296.722 514.277 14.890 317.095 -6.650 -344.107
Mei 788.320 155.791 63.131 92.660 632.529 283.884 429.147 14.375 312.741 -6.763 -245.064
Jun. 796.440 160.142 66.201 93.941 636.298 293.223 502.508 14.998 315.643 -7.554 -322.378
Jul. 771.135 162.154 66.312 95.842 608.981 232.702 522.672 13.685 299.351 -6.776 -290.499
Ags. 774.037 166.851 69.136 97.715 607.186 180.293 520.874 14.296 297.179 -6.379 -232.226
Sep. 783.104 164.237 69.047 95.190 618.867 203.671 503.471 14.245 313.385 -6.902 -244.766
Okt. 808.514 169.963 68.325 101.638 638.551 229.202 510.876 16.080 326.125 -7.431 -266.338
Nov. 821.691 171.383 73.139 98.244 650.308 231.748 524.037 15.887 308.050 -7.427 -250.604
Des. 844.053 177.731 76.342 101.389 666.322 233.975 529.706 18.337 310.816 -7.966 -240.815
24
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter
(miliar rupiah)
Tagihan pd Sektor Tagihan pd Persh &
Akhir Aktiva Pemerintah Perorangan Tagihan pd Aktiva Aktiva =
Periode Luar Bank Lainnya Pasiva
Pemerintah Lemb & Persh Pinjaman yg Tagihan
Negeri
Pusat Pemerintah diberikan Lainnya
1997 100.003 4.996 0 50 45.455 24.957 13.295 188.756
1998 194.260 34.847 0 40 12.602 26.912 153.262 421.923
1999 193.174 242.791 0 38 7.222 26.308 21.136 490.669
2000 289.489 252.055 0 36 7.610 18.576 37.690 579.446
2001 301.351 252.055 0 34 7.760 17.711 22.228 601.139
2001
Jan. 286.289 225.857 0 36 7.643 18.428 12.458 550.711
Feb. 295.884 239.893 0 36 7.318 18.359 21.479 582.969
Mar. 308.296 239.895 0 36 7.352 18.324 21.888 595.791
Apr. 346.807 239.901 0 36 7.406 18.254 23.813 636.217
Mei. 326.973 239.871 0 36 7.406 18.257 23.847 616.390
Jun. 339.298 239.858 0 36 7.680 17.916 28.553 633.341
Jul. 285.066 252.758 0 36 7.718 18.155 28.193 591.926
Ags. 262.024 252.183 0 36 7.737 17.867 27.931 567.778
Sep. 289.460 252.083 0 36 7.775 17.815 28.059 595.228
Okt. 309.760 252.081 0 36 7.773 17.706 29.130 616.486
Nov. 303.281 252.075 0 36 7.758 17.701 28.188 609.039
Des. 301.351 252.055 0 34 7.760 17.711 22.228 601.139
25
Tabel 2. Tabel Publikasi Neraca Otoritas Moneter (Lanjutan)
(miliar rupiah)
Uang Kertas &Uang Rekening Rekening Rekening Pemerintah
Saldo Valuta Valuta Pasiva
Logam yg diedarkan Saldo Modal Pasiva
Giro Persh Jumlah Asing & Asing Luar
Uang Kas
Giro
dan Rekening Bank Negeri Jaminan Rekening Rekening Dana dan Lainnya
Bank Kusus Nilai Lainnya Cadangan
Perorangan Lainnya Devisa Impor Berjalan
Kecil Bank Pemerintah Lawan
28.424 5.274 12.012 376 46.086 17 5.175 8.393 267 36.385 0 1.624 0 2.898 87.911
41.394 7.111 26.191 424 75.120 57 6.562 70.397 660 42.818 0 389 0 6.993 218.927
58.353 14.216 28.088 1.133 101.790 151 5.828 83.913 244 92.595 0 355 0 2.606 203.187
72.371 17.334 33.925 1.985 125.615 192 7.636 88.261 290 91.713 0 321 0 11.793 253.625
76.342 14.934 34.847 1.673 127.796 126 7.460 108.744 505 90.500 0 288 0 14.709 251.011
59.540 10.263 31.378 2.068 103.249 207 7.522 88.261 241 90.909 0 313 0 11.793 248.216
59.525 9.753 31.291 2.202 102.771 103 7.683 85.377 370 96.844 0 313 0 11.793 277.715
60.114 9.791 30.918 2.431 103.254 265 8.220 85.303 346 104.824 0 313 0 11.793 281.473
61.429 10.811 31.404 2.541 106.185 97 9.253 85.303 351 112.179 0 306 0 11.793 310.750
63.131 11.075 30.805 2.725 107.736 40 8.532 81.215 392 111.217 0 306 0 11.793 295.159
66.201 10.690 30.854 2.859 110.604 136 8.787 81.220 469 113.446 0 304 0 11.793 306.582
66.312 12.193 30.608 2.989 112.102 51 7.086 81.220 431 102.557 0 296 0 14.368 273.815
69.136 11.970 31.414 3.178 115.698 68 6.913 110.957 476 102.080 0 296 0 14.368 216.922
69.047 11.769 31.614 2.803 115.233 25 7.245 115.558 510 115.776 0 296 0 14.368 226.217
68.325 12.618 32.506 2.979 116.428 82 7.702 114.195 474 108.728 0 289 0 14.709 253.879
73.139 12.739 32.221 3.068 121.167 96 7.504 108.744 396 107.091 0 288 0 14.709 249.044
76.342 14.934 34.847 1.673 127.796 126 7.460 108.744 505 90.500 0 288 0 14.709 251.011
26
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum
(miliar rupiah)
Alat Likuid Aktiva Alat Likuid
Akhir Tagihan pd
Luar Aktiva Aktiva =
Periode Kas Giro Jumlah Pemerintah Lembaga &
Persh. & Lainnya Pasiva
pada BI Negeri Pusat Persh.
Perorangan
Pemerintah
1997 5.274 12.095 17.369 46.810 1.018 20.562 386.777 56.339 528.875
1998 7.111 27.110 34.221 115.657 690 26.923 512.662 72.275 762.428
1999 14.216 27.859 42.075 94.457 268.677 18.785 226.492 138.870 789.356
2000 17.334 32.374 49.708 102.179 429.702 14.284 272.956 115.671 984.500
2001 14.934 34.049 48.983 109.774 408.908 18.266 303.056 150.938 1.039.925
2001
Jan. 10.263 32.005 42.268 91.956 426.387 12.523 269.213 152.288 994.635
Feb. 9.753 32.427 42.180 94.963 426.653 13.477 278.171 164.194 1.019.638
Mar. 9.791 31.840 41.631 106.971 426.703 13.983 287.892 159.354 1.036.534
Apr. 10.811 32.324 43.135 128.097 429.083 14.817 309.689 161.169 1.085.990
Mei. 11.075 31.690 42.765 124.200 424.729 14.302 305.335 138.736 1.050.067
Jun. 10.690 28.341 39.031 121.485 418.430 14.925 307.963 156.158 1.057.992
Jul. 12.193 30.089 42.282 101.433 411.840 13.612 291.633 138.205 999.005
Ags. 11.970 30.779 42.749 92.804 409.363 14.223 289.442 125.543 974.124
Sep. 11.769 30.813 42.582 99.062 406.375 14.172 305.610 126.245 994.046
Okt. 12.618 31.741 44.359 106.581 408.231 16.007 318.352 134.318 1.027.848
Nov. 12.739 31.085 43.824 107.347 416.032 15.814 300.292 138.483 1.021.792
Des. 14.934 34.049 48.983 109.774 408.908 18.266 303.056 150.938 1.039.925
27
Tabel 3. Tabel Publikasi Neraca Gabungan Bank Umum (Lanjutan)
(miliar rupiah)
28
Seri Kebanksentralan
No. 3
INSTRUMEN-INSTRUMEN
PENGENDALIAN MONETER
Ascarya
BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN
INSTRUMEN-INSTRUMEN
PENGENDALIAN MONETER
Ascarya
Bibliografi : hlm. 48
ISBN 979-3363-02-9
ii
Sambutan
Halim Alamsyah
Direktur
iii
Pengantar
Penulis
iv
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar iv
v
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan 27
Sesudah 1983
1. Periode 1983 – 1997 37
2. Periode Pasca 1997 41
Daftar Gambar
Gambar 1: Perbandingan Sistem Operasi Kebijakan Moneter 3
Daftar Tabel
Tabel 1: Instrumen Langsung Pengendalian Moneter 11
Tabel 2: Instrumen Tidak Langsung Pengendalian Moneter 22
Tabel 3: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter Yang
Digunakan oleh Negara-negara Lain 29
Tabel 4: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1945-1965 33
Tabel 5: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1965-1983 36
Tabel 6: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode 1983-1997 40
Tabel 7: Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Periode Pasca 1997 yang Ditambahkan 43
Boks:
Prosedur Lelang SBI 40
Daftar Pustaka 48
vi
Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter
1
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
2 Lag ada bermacam-macam, yaitu inside lag dan outside lag. Inside lag terdiri dari
recognition lag, decision lag, dan action lag. Untuk lebih jelasnya lihat Boediono, 1987,
hal.151-55.
2
Gambaran Umum Kerangka Kebijakan Moneter
sasaran yang bersifat antara yang biasa disebut sasaran antara. Sasaran
antara (ada pada pendekatan kuantitas) dipilih yang memiliki keterkaitan
stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat dikendalikan otoritas
moneter, tersedia relatif cepat, akurat, dan tidak sering direvisi. Beberapa
pilihan sasaran antara yang dapat digunakan antara lain ialah M1, M2
(dari sisi pasiva neraca sistem moneter), kredit perbankan (dari sisi aktiva
neraca sistem moneter), dan suku bunga.
Gambar 1
Perbandingan Sistem Operasi Kebijakan Moneter
Variabel–variabel Informasi
- Langsung - Sk.bunga PUAB - Stabilitas harga
- Tidak langsung
Sumber: Junggun Oh. “Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules in Korea”,
Economic Paper, Vol.2, No.1, March 1999, Bank of Korea (dimodifikasi).
3
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
operasional yang dapat digunakan antara lain adalah uang primer (M0),
reserve bank-bank (bagian dari M0), dan suku bunga (antarbank atau
jangka pendek).
Selanjutnya, untuk dapat mencapai sasaran operasional bank sentral
memerlukan alat-alat yang dapat secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah ditetapkan. Alat-
alat yang dimaksud biasa disebut instrumen pengendalian moneter, atau
(singkatnya) instrumen. Instrumen-instrumen inilah yang sehari-hari
dipergunakan oleh bank sentral (yang merupakan sarana yang dapat
dikontrol, meskipun tidak sepenuhnya) untuk mengarahkan kebijakan
moneter ke tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Instrumen-
instrumen ini dapat dipergunakan untuk mempengaruhi jumlah uang
beredar.
Secara garis besar, instrumen ini dapat digolongkan menurut cara yang
berbeda:
1) menurut cara instrumen tersebut mempengaruhi sasaran operasional,
dapat dibagi langsung atau tidak langsung,
2) menurut orientasinya di pasar keuangan, dapat dibagi berorientasi pasar
(market oriented/based) dan tidak berorientasi pasar (non-market
oriented/based),
3) menurut diskresinya3, dapat dibagi diskresinya berada di bank sentral
atau di peserta pasar.
Pada umumnya, instrumen langsung berupa ketentuan yang ditetapkan
oleh otoritas moneter sehingga tidak berorientasi pasar dan diskresinya
ada di bank sentral sebagai otoritas moneter. Instrumen tidak langsung
dapat berorientasi pasar atau tidak dan diskresinya dapat berada di bank
sentral atau di peserta pasar.
Dari penjelasan secara umum mengenai kerangka kebijakan moneter
tersebut diatas, topik yang akan dibahas lebih mendalam di dalam seri
kebanksentralan kali ini adalah mencakup instrumen-instrumen pengendalian
moneter yang digolongkan kedalam langsung dan tidak langsung.
3
Diskresi (discretion) adalah lawan dari aturan (rule). Diskresi merupakan kebijakan yang
dilakukan dengan memperhitungkan penyesuaian secara bertahap sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada pada saat itu.
4
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
5
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
6
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
instrumen tidak langsung antara lain adalah bahwa instrumen ini tidak
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh bank sentral (lihat Tabel 2 untuk
masing-masing instrumen).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
instrumen langsung digunakan oleh negara-negara yang sedang
berkembang sedangkan instrumen tidak langsung digunakan oleh negara-
negara maju. Dalam proses perkembangan tersebut, instrumen kebijakan
moneter yang digunakan juga berkembang ke arah yang lebih berdasar
pada mekanisme pasar (market based), yaitu instrumen tidak langsung,
sejalan dengan berkembangnya pasar-pasar keuangan di negara tersebut.
Instrumen Langsung
Jenis instrumen langsung ada bermacam-macam, dengan berbagai variasi,
antara lain:
1. Penetapan Suku Bunga
2. Pagu Kredit
3. Rasio Likuiditas (Statutory Liquidity Ratios)
4. Kredit Langsung (‘Directed’, ‘Selected’, Prioritas, dan yang sejenisnya)
5. Kuota Rediskonto
6. Instrumen Lain
6.1. Pengguntingan Uang
6.2. Pembersihan Uang (Monetary Purge)
6.3. Penetapan Uang Muka Impor
7
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
2. Pagu Kredit
Pagu kredit merupakan instrumen langsung berupa penetapan jumlah atau
kuantitas maksimum kredit yang dapat disalurkan oleh perbankan.
Mengapa kredit yang dipatok? Penyebabnya ialah, dalam hal ini, bank
sentral ingin mengendalikan jumlah atau kuantitas uang beredar dengan
secara langsung mempengaruhi jumlah kredit domestik yang dapat
disalurkan oleh perbankan yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah uang
beredar. Pada umumnya, pagu kredit untuk suatu bank ditetapkan
berdasarkan kuota. Sementara itu, kuota setiap bank ini dapat didasarkan
pada modal, simpanan, dan/atau pinjamannya. Pagu kredit ini digunakan
di negara-negara Eropa barat sampai akhir 1980an dan masih digunakan
oleh beberapa negara Afrika, Asia, dan negara-negara dalam transisi.
Penerapan instrumen ini menimbulkan distorsi alokasi sumber-sumber
daya dan mengurangi insentif bagi bank untuk memobilisasi dana
masyarakat dan menyalurkannya kepada sektor-sektor produktif.
8
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
5. Kuota Rediskonto3
Pada dasarnya, kuota rediskonto merupakan instrumen langsung yang
mirip dengan kredit langsung (namun dijamin dengan surat berharga pasar
uang) melalui kuota untuk memberikan insentif pengembangan sektor
tertentu. Dalam hal ini bank sentral menetapkan jumlah kuota surat-surat
berharga sektor tertentu yang dapat di re-diskonto-kan dengan suku bunga
di bawah harga pasar. Instrumen ini digunakan di negara-negara industri
secara terbatas, yang suku bunganya di bawah suku bunga PUAB (Jerman
dan Amerika), dan di negara-negara lain untuk memberikan insentif ke
sektor tertentu (Tunisia dan Cina). Suku bunga rediskonto ini sangat visibel
dan dapat dijadikan sebagai sinyal perubahan kebijakan yang efektif
(Alexander, et al., 1995).
6. Instrumen Lain
Selain instrumen-instrumen langsung yang disebutkan di atas, terdapat
pula beberapa instrumen langsung yang pada masa dahulu (di Indonesia
khususnya) pernah digunakan untuk mengendalikan uang beredar atau
money supply. Instrumen-instrumen tersebut antara lain:
3
Rediskonto adalah penjualan kembali surat-surat berharga yang belum jatuh waktu kepada pihak
lain dengan suku bunga rediskonto yang pada umumnya berbeda dengan suku bunga diskonto
awalnya. Untuk memberikan insentif, suku bunganya ditetapkan di bawah suku bunga pasar.
9
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
10
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
4
Alexander, et al. “The Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy”, Occasional
Paper, No. 126. Washington, DC: IMF, June 1995. (Dimodifikasi)
11
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
12
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
13
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
3. Fasilitas Rediskonto
4. Operasi Pasar Terbuka
4.1 Lelang Surat Berharga Bank Sentral
4.2 Lelang Surat Berharga Pemerintah
4.3 Operasi Pasar Sekunder
5. Fasilitas Simpanan Bank Sentral
6. Intervensi Valuta Asing
7. Fasilitas Overdraft
8. Simpanan Sektor Pemerintah
9. Lelang Kredit
10. Imbauan
11. Instrumen Lain
14
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
15
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
2. Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah fasilitas kredit (dan/atau simpanan) yang
diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank dengan jaminan surat-
surat berharga dan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh bank sentral
sesuai dengan arah kebijakan moneter. Tinggi rendahnya tingkat diskonto
akan mempengaruhi permintaan kredit dari bank. Dalam hal bank sentral
menginginkan terjadinya kenaikan suku bunga maka bank sentral dapat
memberikan sinyal melalui kenaikan tingkat diskonto (bunga) fasilitas
ini.
Di beberapa negara tingkat diskonto yang ditetapkan untuk fasilitas
ini ada yang berada di atas suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan
ada pula yang berada di bawah suku bunga PUAB. Pada umumnya,
penggunaan fasilitas diskonto ini oleh bank-bank akan dikenakan penalti
agar mereka tidak seringkali menggunakan fasilitas diskonto dari bank
sentral mengingat fasilitas ini berfungsi sebagai mekanisme katup
pengaman dalam menjaga stabilitas di pasar uang.
Bentuk fasilitas diskonto ini pada umumnya berupa pinjaman dengan
jaminan kepada sistem perbankan dan suku bunga di atas suku bunga
intervensi bank sentral (atau berupa simpanan dengan suku bunga di bawah
16
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
pasar) sehingga suku bunga fasilitas diskonto ini akan menjadi patokan
suku bunga pinjaman tertinggi (ceiling), atau suku bunga simpanan
terendah (floor). Contoh instrumen ini diantaranya fasilitas repo (late repo
facility di Inggris), fasilitas pinjaman dan simpanan (di ECB), dan fasilitas
diskonto (di Amerika Serikat).
3. Fasilitas Rediskonto
Fasilitas rediskonto adalah instrumen tidak langsung serupa dengan
fasilitas diskonto dalam bentuk fasilitas pinjaman jangka pendek (hanya
berbeda pada surat berharga yang digunakan bukan surat berharga bank
sentral melainkan surat berharga pasar uang) yang merupakan ketentuan
bank sentral dalam menetapkan tingkat rediskonto surat-surat berharga
pasar uang (SBPU) yang dapat digunakan dan dirediskontokan ke (dibeli
oleh) bank sentral.
Pada umumnya, penerapan fasilitas ini ditujukan untuk
mengembangkan pasar surat-surat berharga pasar uang dan juga
bermanfaat pada saat OPT masih terbatas dan belum berjalan dengan baik
antara lain sebagai akibat terbatasnya surat-surat berharga yang dapat
dipergunakan sebagai instrumen operasionalnya.
17
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
18
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
19
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
7. Fasilitas Overdraft
Fasilitas overdraft adalah instrumen tidak langsung berupa fasilitas pem-
berian pinjaman (dengan atau tanpa jaminan) yang berjangka sangat
pendek kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka
sangat pendek (kalah kliring). Oleh karena itu, fasilitas ini pada umumnya
memiliki suku bunga di atas suku bunga sumber-sumber dana lainnya di
pasar uang.
Cara kerja instrumen ini dapat digambarkan sebagai berikut. Pada
saat kliring akan ada bank yang menang dan kalah kliring. Menang kliring
berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada bank-bank
lain, atau sebaliknya. Bank yang kalah kliring berarti harus menyediakan
dana likuid sebesar kekalahan tersebut. Bank yang bersangkutan dapat
menyediakannya dari dananya sendiri, meminjam ke bank lain, atau, kalau
tidak ada alternatif lain, meminjam ke bank sentral melalui fasilitas
overdraft.
20
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
9. Lelang Kredit
Lelang kredit merupakan instrumen sementara yang dipergunakan dalam
masa awal transisi ke penggunaan instrumen tidak langsung untuk
mengubah dari pemberian kredit langsung ke alokasi pasar. Oleh karena
itu, instrumen ini biasanya hanya digunakan ketika pasar-pasar keuangan
belum berkembang dan suku bunga patokan antarbank belum ada.
Dengan sistem lelang, alokasi kredit dapat sesuai dengan kebutuhan
pasar, dan suku bunga pasar dapat terbentuk. Apabila surat-surat berharga
pasar uang sudah mulai berkembang, operasi lelang kredit ini dapat
direstrukturisasi kembali menjadi lelang repo.
10. Imbauan
Imbauan juga dapat dipergunakan sebagai instrumen tidak langsung dalam
pengendalian moneter oleh bank sentral. Imbauan akan menjadi efektif
21
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
6
Alexander, et al., “The Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy”, Occasional
Paper, No. 126. Washington, DC: IMF, June 1995. (Dimodifikasi)
22
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
23
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
4.1 Lelang SB Bank sentral melakukan • Instrumen yang fleksibel • Bank sentral dapat
Bank Sentral lelang untuk menjual/ untuk manajemen menanggung kerugian
sebagai membeli SB bank likuiditas jangka pendek apabila terjadi
instrumen OPT sentral kepada karena bank sentral yang penerbitan/penjualan
perbankan dan/atau menerbitkan dan yang cukup besar.
BI: Penjualan SBI peserta lain di pasar berbagai format lelang/ • Jika SB bank sentral
primer. tender dapat digunakan digunakan bersama
untuk mengarahkan dengan SB
suku bunga. pemerintah (T-Bills),
• Bermanfaat khususnya permasalahan akan
pada saat bank sentral muncul jika tidak ada
tidak punya cukup SB koordinasi yang kuat
pemerintah untuk antarpenerbit SB.
melaksanakan OPT.
4.3 Operasi Pasar Bank sentral melakukan • Dapat dilaksanakan • Memerlukan pasar
Sekunder jual-beli surat-surat secara terus- menerus sekunder yang matang
(Secondary berharga secara outright sehingga memberikan dan likuid dan bank
Market atau repo (repurchase fleksibilitas yang tinggi. sentral harus memiliki
Operations) agreement) dalam • Transparan. cadangan aset yang
BI: — rangka OPT. dapat dipasarkan
24
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter
6. Operasi Valuta Bank sentral melakukan • Jika pasar valas • Bank sentral dapat
Asing (dapat jual-beli valuta asing di berkembang sedangkan mengalami kerugian
digunakan pasar valuta asing untuk pasar SB pemerintah jika operasi valas
sebagai mempengaruhi jumlah tidak aktif, swap dapat digunakan dengan
instrumen OPT) uang beredar dan nilai menggantikan operasi maksud untuk menjaga
atau tukar. repo SB pemerintah. nilai tukar yang tidak
Foreign • Penjualan dan “sustainable”.
Exchange pembelian valas secara
Operation spot (“outright”) dapat
bermanfaat ketika pasar
BI: Intervensi valas lebih berkembang
Valuta Asing daripada pasar uangnya.
25
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
11. Penjualan SB Bank sentral membuka • Instrumen yang dapat • Bank sentral hanya
Wadiah Bank window (seperti dijadikan sebagai dapat mengendalikan
Sentral sebagai fasilitas simpanan bank komplemen SB bank kuantitas dan tidak
instrumen OPT sentral namun sentral di sektor dapat mengendalikan
menggunakan sistem perbankan syariah suku bunga karena
BI: Penjualan mudharabah) khusus • Bermanfaat khususnya ketentuan syariahnya.
SWBI untuk penempatan bagi pada saat bank sentral • Memiliki kekurangan
bank-bank syariah. tidak punya cukup SB seperti fasilitas
pemerintah untuk simpanan bank sentral.
melaksanakan OPT. • Akan tidak terlalu
• Memiliki keuntungan efektif kalau volume
seperti fasilitas penjualan kecil.
simpanan bank sentral.
• Memberikan
kesempatan yang sama
bagi bank syariah untuk
ikut berpartisipasi di
26
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan
Pada akhir tahun 1970an bank sentral negara-negara industri maju mulai
meninggalkan instrumen langsung dalam pengendalian moneternya dan
mulai menggunakan serta mengandalkan instrumen tidak langsung.
Kecenderungan ini dalam tahun-tahun berikutnya juga diikuti oleh negara-
negara berkembang dan negara-negara transisi.7 Hal ini terjadi terutama
karena kondisi perekonomian dunia yang semakin terbuka berpengaruh
terhadap semakin berkembangnya pasar-pasar keuangan, yang kemudian
menyebabkan instrumen langsung menjadi kurang efektif karena dapat
mengakibatkan inefisiensi dan disintermediasi.
Instrumen-instrumen langsung yang biasa digunakan antara lain pagu
kredit, pengendalian suku bunga, kredit langsung, rasio likuiditas (statutory
liquidity ratios), dan kuota rediskonto (rediscount quotas). Adapun
instrumen-instrumen tidak langsung yang biasa digunakan antara lain
cadangan primer, fasilitas diskonto, dan operasi pasar terbuka (OPT).
Instrumen-instrumen lain yang juga masih umum digunakan antara lain
fasilitas rediskonto, lelang kredit, dan operasi valuta asing (swaps). Namun,
instrumen utama yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kebijakan
moneter agak sedikit berbeda. Sebagian besar bank sentral menggunakan
OPT sebagai instrumen utamanya. Di samping itu, ada pula negara yang
7
Alexander, et al. (1995)
27
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
28
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter yang Umum Digunakan
b. Negara
Berkembang:
- Amerika Latin:
- Asia Tenggara:
29
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
- Neg. Berkembg
Lain:
c. Negara Transisi
Keterangan:
Repo: Pembelian kembali surat berharga oleh penerbitnya sebelum jatuh waktu
LOLR: Lender of last resort, yaitu salah satu fungsi bank sentral sebagai tumpuan akhir pada saat bank
menghadapi kesulitan dana
SB pemerintah: Surat berharga pemerintah (T-bills)
SB bank sentral: Surat berharga bank sentral
SB pasar uang: Surat berharga pasar uang
SB swasta: Surat berharga swasta
CDs: Certificate of Deposits atau sertifikat deposito
30
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
CETES: Surat berharga pemerintah, seperti T-bills yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan Meksiko.
BONOS: Bonds yang dikeluarkan oleh pemerintah Meksiko
MSBs: Monetary Stabilization Bonds yang diterbitkan oleh Bank of Korea (seperti SB bank sentral)
SLR: Statutory Liquidity Ratio (definisi lihat di sub-bab Instrumen Langsung dan Tabel 1)
FXW: Foreign exchange window. Di sini BOT mengadministrasikan exchange equalization fund (EEF) yang
siap menjual dan membeli USD/Baht dengan nilai tukar yang telah diumumkan sebelumnya
FXO: Foreign Exchange Operation atau intervensi rupiah (definisi lihat sub-bab Instrumen Tidak Langsung
dan Tabel 2)
Sebelum 1983
Sebelum tahun 1983 perkembangan perekonomian Indonesia dapat dibagi
ke dalam dua periode yang berbeda, yaitu periode orde lama tahun 1945-
1965 yang masih memprioritaskan untuk mempertahankan keutuhan dan
kedaulatan negara dan tahun 1965-1983 yang mulai memprioritaskan pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
31
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
1. Periode 1945-1965
Periode ini mempunyai ciri kebijakan moneter longgar, yang berarti bank
sentral (dalam hal ini Bank Indonesia), yang baru didirikan pada
pertengahan tahun 1953, melakukan kebijakan ekspansi moneter dengan
penambahan uang beredar, yang dilakukan dengan monetisasi atau
pencetakan uang baru. Pencetakan uang baru dilakukan untuk menutup
defisit anggaran belanja negara yang terus membengkak.
Sebelum tahun 1957, instrumen-instrumen pengendalian moneter
Bank Indonesia berupa penetapan suku bunga, OPT (meskipun pasar uang
masih bersifat sederhana), pagu kredit, dan kredit langsung. Sementara
itu, instrumen pengendalian moneter yang dipakai setelah tahun 1957 itu
pada umumnya ditujukan untuk mengendalikan atau mengurangi money
supply yang berlebihan yang diakibatkan oleh kebijakan moneter longgar
tersebut, dan pada umumnya hanya berlaku sebentar.
Tiga instrumen pertama, yaitu pengguntingan uang, pembersihan uang
(monetary purge), dan penetapan uang muka impor ditujukan untuk
mengendalikan dan/atau mengurangi uang beredar sedangkan instrumen
terakhir yang diperkenalkan pada periode ini, yaitu cadangan primer
(sebagai likuiditas minimum atau cadangan wajib minimum), dimaksud-
kan bukan untuk mengendalikan uang beredar melainkan sebagai alat
prudential instrument untuk memastikan bahwa bank-bank mempunyai
likuiditas yang cukup setiap saat nasabah melakukan penarikan simpanan-
nya. Tabel 4 memberikan penjelasan secara umum.
32
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
2. Fasilitas rediskonto Instrumen tidak langsung yang Sebelum tahun 1957, penetapan suku
merupakan ketentuan bank sentral bunga rediskonto terhadap promes atau
dalam menetapkan tingkat surat-surat utang (jarang dilakukan)
rediskonto surat-surat berharga
yang diperbolehkan
3. Operasi pasar terbuka Instrumen tidak langsung yang - Sebelum tahun 1957, dilakukan oleh
merupakan kegiatan jual-beli surat- Bank Indonesia meskipun pasar
surat berharga oleh bank sentral uang yang sudah berjalan masih
dengan pelaku pasar baik di pasar bersifat sederhana
primer maupun sekunder - Tahun 1970, diperkenalkan SBI
sebagai instrumen operasional OPT
untuk mendorong perkembangan
pasar uang
4. Pagu kredit Pemberian kredit kepada sektor Sebelum tahun 1957, berlaku untuk
tertentu dibatasi untuk setiap bank bank-bank komersial langsung atau
sesuai dengan kriteria yang dihubungkan dengan besarnya kredit
ditetapkan, yang dimaksudkan jumlah kekayaan tertentu.
untuk mengendalikan jumlah kredit Pengendalian kredit juga berlaku
yang disalurkan dan, dengan kata sektoral (mana yang boleh diberi
lain, mengendalikan money supply kredit)
8
Kebijakan moneter penting lainnya yang terjadi dalam periode ini adalah devaluasi. Devaluasi bukan
merupakan instrumen pengendalian moneter namun kebijakan ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya. Dalam periode ini devaluasi telah dilaksanakan pada:
- Maret 1946: kurs US$1,00 diubah dari Rp1,88 rp menjadi Rp2,6525
- September 1949: kurs US$1,00 menjadi Rp3,80
- Februari 1952: kurs US$1,00 menjadi Rp11,40
- Agustus 1959: kurs US$1,00 menjadi Rp45,00
- April 1964: kurs US$1,00 menjadi Rp250,00
33
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
7. Pembersihan uang Penurunan nilai mata uang ke nilai - 6 Maret 1946, satu rupiah menjadi
(monetary purge) nominal lebih rendah, tiga sen
dimaksudkan untuk mengurangi - 23 Oktober 1949, seratus rupiah
uang beredar Jepang = satu rupiah ORI di luar
Jawa dan Madura. Di Jawa dan
Madura kurs penukaran 100 : 1
- 24 Agustus 1959, nilai uang
diturunkan menjadi 10% untuk
pecahan 1.000 dan 500
- 13 Desember 1965, nilai uang
diturunkan 999%, 1.000 rupiah
menjadi 1 rupiah
2. Periode 1965-1983
Awal periode ini ditandai dengan kebijakan moneter ketat dengan program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, terutama disebabkan oleh adanya
mismanajemen dan hyperinflasi sebagai akibat kebijakan moneter longgar
pada periode sebelumnya. Oleh karena itu, pengendalian stabilitas harga
menjadi sasaran akhir utama kebijakan moneter yang diambil, disertai
dengan pemeliharaan cadangan devisa yang cukup, rehabilitasi sistem
perbankan, dan rekonstruksi sistem ekonomi. Sementara itu, di sisi kebija-
kan fiskal diterapkan anggaran belanja berimbang (balanced budget
policy). Instrumen pengendalian moneter yang digunakan saat itu berupa
34
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
35
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
9
Kebijakan moneter penting lainnya pada periode ini antara lain ialah:
1. Perubahan sistem devisa ‘ketat’ menjadi ‘bebas’, yaitu jual-beli valuta asing yang sebelumnya diawasi
ketat oleh bank sentral dilonggarkan/dibebaskan, dilaksanakan pada tahun 1970.
2. Perubahan sistem nilai tukar dari ‘tetap’ ke “mengambang terkendali’, yaitu sistem nilai tukar tetap
yang mengacu pada satu mata uang asing diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali
yang mengacu kepada sejumlah mata uang asing mitra dagang utama.
3. Devaluasi, dilaksanakan pada:
- Desember 1970: kurs US$1,00 diubah dari Rp250,00 menjadi Rp378,00
- Agustus 1971: kurs US$1,00 menjadi Rp415,00
- November 1978: dengan KNOP-15, kurs US$1,00 menjadi Rp625,00
Ketiga kebijakan moneter di atas bukan merupakan instrumen pengendalian moneter namun
kebijakan-kebijakan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya.
36
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
Sesudah 1983
Sesudah tahun 1983, perkembangan perekonomian Indonesia dapat dibagi
ke dalam dua periode yang berbeda, yaitu periode 1983-1987 yang ditandai
dengan deregulasi sistem keuangan dan perbankan sejak 1 Juni 1983
sampai saat terjadinya krisis keuangan dan perbankan pada pertengahan
1997 dan periode pasca 1997 yang sarat dengan program pemulihan sistem
keuangan dan perbankan.
1. Periode 1983-1997
Dengan adanya oil boom kedua pada tahun 1979/80 dan kemudian resesi
yang melanda dunia pada awal 1980, pemerintah mengambil langkah
berani dengan memulai deregulasi di sektor moneter dan perbankan dengan
37
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
38
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
39
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
4. Fasilitas Rediskonto Instrumen tidak langsung yang - Pernah digunakan pada periode
merupakan ketentuan bank sentral sebelumnya
dalam menetapkan tingkat - Tahun 1993, ketentuan tingkat
rediskonto surat-surat berharga rediskonto wesel ekspor berjangka
yang diperbolehkan. ditetapkan sama dengan SIBOR
5. Operasi Pasar Instrumen tidak langsung yang - Pernah digunakan pada periode
Terbuka merupakan kegiatan jual beli surat- sebelumnya
surat berharga oleh bank sentral - Juni 1983, diperkenalkan kembali
dengan pelaku pasar baik di pasar sebagai instrumen tidak langsung
primer maupun sekunder utama pengendalian moneter. SBI
dan SBPU dipergunakan sebagai
instrumen operasionalnya
10
Kebijakan moneter penting lainnya yang terjadi dalam periode ini adalah devaluasi. Devaluasi bukan
merupakan instrumen pengendalian moneter namun kebijakan ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan moneter sesudahnya. Dalam periode ini devaluasi dilaksanakan pada:
- Maret 1983: kurs US$1,00 diubah dari Rp702,50 menjadi Rp970,00
- September 1986: kurs US$1,00 diubah lagi dari Rp1.134,00 menjadi Rp1.644,00
40
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
8. Simpanan Sektor Merupakan instrumen tidak - Juni 1987 (Gebrakan Sumarlin I),
Pemerintah Pusat/ langsung: bank sentral dan/atau pemerintah dan Bank Indonesia
BUMN pemerintah merealokasi simpanan memerintahkan kepada beberapa
pemerintah yang berada di bank BUMN besar, seperti PN Taspen,
sentral dan di bank-bank PLN, PT Pusri, dan Pertamina,
pelaksana/umum untuk menarik giro dan deposito
mereka di bank-bank pemerintah
sekitar Rp1,3 triliun untuk
membeli SBI, untuk mencegah
berlanjutnya pelarian modal ke
luar negeri
- Februari 1991 (Gebrakan Sumarlin
II), pemerintah mewajibkan 12
BUMN untuk mengalihkan
deposito mereka dari bank-bank
sekitar Rp8 triliun kepada SBI,
untuk mencegah spekulasi devisa
dan menurunkan inflasi
9. Kebijakan Kredit Pengaturan sektor dan jumlah Tahun 1995, kredit untuk sektor
Selektif (Selective kredit yang boleh disalurkan oleh properti dibatasi dengan pertumbuhan
Credit Policy) bank dalam rangka prudential tidak melebihi pertumbuhan total
banking atau kehati-hatian dalam kredit
penyaluran kredit, dan dapat juga
digunakan untuk mengendalikan
uang beredar
41
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
42
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter di Indonesia
2. Sertifikat Wadiah Instrumen yang diterbitkan Bank Instrumen ini saat ini masih digunakan
Bank Indonesia Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai penempatan bagi bank-
(SWBI) *) ditujukan sebagai fasilitas bank syariah. Imbalannya diberi nama
penempatan bagi bank-bank “bonus” sebesar imbalan PUAS (Pasar
syariah namun tidak menutup Uang Antarbank Syariah) atau
kemungkinan di masa datang dapat investasi (deposito) mudharabah
pula digunakan sebagai salah satu
instrumen operasional OPT.
Pelaksanaannya tidak dilakukan
melalui lelang melainkan dengan
membuka window sehingga
mempunyai kemiripan dengan
fasilitas simpanan bank sentral
11
Kebijakan moneter penting lainnya pada periode ini antara lain ialah:
1. Perubahan sistem nilai tukar dari ‘mengambang terkendali’ ke “mengambang penuh’, yaitu sistem nilai
tukar mengambang terkendali yang mengacu kepada sejumlah mata uang asing mitra dagang utama
ditinggalkan dan nilai tukar dibebaskan mengambang penuh sesuai dengan keadaan pasar,
dilaksanakan pada Agustus 1997.
2. Fasilitas Likuiditas Intra-hari (FLI). Dengan diterapkannya RTGS (real time gross settlements), untuk
mengatasi grid-lock (berhentinya proses karena suatu bank kekurangan dana), bank diberi fasilitas FLI
tanpa dikenakan bunga namun tetap dengan jaminan (SBI atau SB yang lain). Apabila pada akhir hari
bank tetap mengalami kekurangan dana, bank tersebut harus memanfaatkan fasilitas lain, seperti
fasilitas pinjaman jangka panjang/FPJP atau fasilitas diskonto yang berjangka ≥ overnight. FLI
disediakan sejak diterapkannya RTGS pada tahun 2000.
Kedua kebijakan moneter di atas bukan merupakan instrumen pengendalian moneter namun
kebijakan-kebijakan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter
sesudahnya.
43
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
Boks:
Prosedur Lelang SBI12
44
lelang, yang disebut cut-out rate (COR), yang dimenangkan peserta,
setelah target harga atau suku bunga yang diinginkan terpenuhi. Target
indikatif suku bunga tidak diumumkan sebelumnya.
Peserta lelang terdiri dari peserta langsung dan tidak langsung.
Peserta langsung terdiri dari bank, atas nama bank sendiri atau atas
nama bank lain, dan pialang pasar uang, atas nama bank, yang
memiliki sarana ABS. Peserta tidak langsung terdiri dari bank yang
tidak memiliki sarana ABS. Pada hari lelang peserta langsung dapat
mengajukan penawaran yang terdiri dari nominal dan diskonto yang
diinginkan antara pukul 10.00-14.00 WIB, melalui sarana ABS ke
Bagian Operasi Pasar Uang (OPU). Peserta tidak langsung dapat
mengajukan penawarannya melalui peserta langsung.
Jumlah penawaran yang dapat diajukan perbankan minimum
1.000 (seribu) unit atau Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),
dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tingkat diskonto yang
diajukan harus dalam kelipatan 6,5 basis point atau 0,0625% untuk
semua peserta.
Sesuai dengan sistem SOR, pemenangnya ditentukan berdasarkan
kuantitas yang masuk. Pengumuman pemenang lelang dilakukan
melalui sarana ABS, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau sarana
lainnya pada hari pelaksanaan lelang selambat-lambatnya pukul 16.30
WIB. Apabila jumlah seluruh penawaran yang masuk melebihi
sasaran kuantitas, Bank Indonesia harus mengambil pemenang
dimulai dari yang mengajukan tingkat diskonto terendah sampai
dengan jumlah kumulatif penawaran mencapai sasaran tersebut.
Apabila jumlah penawaran lebih rendah daripada sasaran kuantitas
maka Bank Indonesia harus mengambil seluruhnya.
Dengan sistem SOR, pemenangnya adalah peserta yang
mengajukan penawaran di bawah atau sama dengan SOR. Apabila
tidak semua penawaran pada SOR memenangkan lelang maka, sesuai
dengan metoda penghitungan multiple price (American procedure)
yang dianut:
45
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
46
Tingkat diskonto BI repo adalah rata-rata tertimbang suku bunga
PUAB overnight pagi hari pada satu hai kerja sebelum transaksi
ditambah 200 (dua ratus) basis points; atau rata-rata tertimbang
tingkat diskonto SBI jangka waktu satu bulan pada lelang terakhir
ditambah 200 (dua ratus) basis points.
47
INSTRUMEN-INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER
Daftar Pustaka
Alexander, William E., Tomas J.T. Balino, and Charles Enoch. The
Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional
Paper No.126, Washington: International Monetary Fund, 1995.
Axilrod, Stephen H. Transformation of Markets and Policy Instruments
for Open Market Operations, IMF Working Paper No. WP/95/146,
Washington: International Monetary Fund, December, 1995
Bank Indonesia. Kumpulan Materi Pengajaran Interen, beberapa
penerbitan.
Bank Indonesia. Laporan Tahunan Bank Indonesia, beberapa tahun
penerbitan.
Bagian Moneter, Urusan Ekonomi dan Statistik, Bank Indonesia. Teori
dan Kebijaksanaan Moneter, Bahan Kuliah Diklat Lanjutan Angkatan
XI, 1993.
Bank for International Settlements Monetary Policy Operating Procedures
in Emerging Market Economies, BIS Policy Papers, No. 5 – March
1999, Monetary and Economic Department, Bank For International
Settlements, Basle, Switzerland, 1999.
Blinder, Alan S. Central Banking in Theory and Practice, The MIT Press,
Cambridge, MA, 2000.
Borio, Claudio E.V. The Implementation of Monetary Policy in Industrial
Countries: A Survey, BIS Economic Papers, No. 47 – July 1997,
Monetary and Economic Department, Bank For International
Settlements, Basle, Switzerland, 1997.
Budiono. Ekonomi Moneter, edisi 3, Seri Sinopsis Pengantar Ekonomi
No.5, Yogyakarta: BPFE, 1994.
Djalins, Yura A. Operasi Pasar Terbuka di Indonesia, draft, Juli, 2002.
48
Gray, Simon, Glenn Hoggarth, and Joanna Place. Introduction to Monetary
Operations, revised, 2nd edition, Handbook in Central Banking No.10,
Centre for Central Banking Studies Bank of England, 2000.
Haryono Erwin, Wahyu A. Nugroho, dan Wahyu Pratomo. “Mekanisme
Pengendalian Moneter dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal,” dalam
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, vol.2, no.4, pp.68-122,
Maret, 2000.
LP3ES. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, PT Pustaka
LP3ES, Jakarta, Agustus, 1995.
Urusan Hukum, Bank Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia,
Jakarta, 1999.
49
Seri Kebanksentralan
No. 6
Kebijakan Moneter
di Indonesia
Perry Warjiyo
Solikin
BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN
Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Seri Kebanksentralan No. 6
Kebijakan Moneter
di Indonesia
Perry Warjiyo
Solikin
Bibliografi : hlm. 70
ISBN 979-3363-06-1
336
ii
Sambutan
iii
Akhirnya, mengiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah,
pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal serta pihak-
pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam penyusunan
buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah khazanah
pengetahuan kita.
F.X. Sugiyono
Peneliti Utama Senior
iv
Pengantar
Bank sentral memiliki fungsi dan peranan yang strategis dalam mendukung
perkembangan pasar keuangan dan perekonomian suatu negara. Hal ini
antara lain karena kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral dapat
mempengaruhi perkembangan suku bunga, jumlah kredit, dan jumlah uang
beredar, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tidak hanya
perkembangan pasar keuangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, inflasi,
dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan yang
diterapkan oleh bank sentral tersebut dikenal secara umum sebagai
kebijakan moneter. Walaupun dampak dari pelaksanaan kebijakan moneter
tersebut dapat dirasakan, baik langsung maupun tidak langsung,
masyarakat umumnya belum memahami hakikat atau keberadaan dari
kebijakan moneter itu sendiri. Seri kebanksentralan nomor 6 ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang
berminat memahami berbagai hal yang terkait dengan masalah-masalah
moneter di Indonesia, khususnya kebijakan moneter dan hal-hal yang
terkait dengannya.
Banyak rekan-rekan yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
rangka penyusunan buku ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan dan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter yang telah membantu kelancaran penyusunan buku ini. Ucapan
terima kasih secara khusus juga penulis sampaikan kepada Sdr. FX.
Sugiyono, Sdr. Suseno, Sdr. Hotbin Sigalingging, Sdr. Iskandar, Sdr. Erwin
Haryono, dan Sdr. Arief Hartawan, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, atas partisipasinya dalam diskusi maupun
pemberian saran dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penulisan buku ini. Untuk itu kritik dan saran akan sangat dihargai.
Akhirnya, mudah-mudahan karya sederhana ini bermanfaat dan
menambah khasanah pengetahuan kita.
Penulis
v
vi
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar v
vii
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting 52
Daftar Pustaka 63
viii
Kebijakan Moneter di Indonesia
1
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu gambaran umum kebijakan
moneter, kebijakan moneter di Indonesia, dan arah penerapan kebijakan
moneter dengan sasaran kestabilan harga. Secara berurutan, bagian
pertama akan menjelaskan beberapa substansi umum dari pelaksanaan
kebijakan moneter, terutama yang terkait dengan siklus kegiatan ekonomi,
keberadaan kebijakan ekonomi makro lain, dan keterbukaan ekonomi.
Selanjutnya, akan dipaparkan pula kerangka strategis, mekanisme
transmisi, dan kerangka operasional kebijakan moneter. Setelah itu, bagian
kedua akan menguraikan pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia,
mulai dari periode setelah awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga
saat ini. Akhirnya, pada bagian ini akan disinggung pula beberapa aspek
penting kebijakan moneter yang dilaksanakan saat ini, yaitu kerangka
umum, mekanisme transmisi, dan proses perumusan kebijakan moneter.
Sebagai penutup, bagian ketiga akan mengetengahkan kerangka dasar
inflation targeting serta arah penerapannya di Indonesia.
2
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada
perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan trasmisi yang
dipilih, maka dirumuskan kerangka operasional kebijakan moneter.
3
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
4
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
Output
Fase ekspansif G
C trend
E
A
D
Waktu
Grafik 1
Siklus Kegiatan Ekonomi
5
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
6
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan yang terkait dengan aspek pengelolaan anggaran
pemerintah. Kebijakan fiskal diyakini sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting
yang dapat dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah dalam memelhara kestabilan
ekonomi.
7
Dengan asumsi bahwa sumber dana otoritas fiskal berasal dari sumber di luar uang beredar.
6
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
8
Dalam literatur ilmu ekonomi, fenomena ketika kegiatan investasi masyarakat berkurang
sebagai akibat ekspansi kegiatan pemerintah dikenal sebagai fenomena crowding-out
‘desakan keluar’
7
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
8
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
9
Untuk selengkapya, baca Buku Seri Kebanksentralan No. 2, Statistik Penyusunan Uang
Beredar, oleh Solikin dan Suseno, PPSK Bank Indonesia (2002).
10
Yang dimaksud independensi di sini adalah independensi bank sentral dalam melaksanakan
kebijakan moneter tanpa gangguan-gangguan yang bersumber dari perkembangan faktor-
faktor eksternal. Independensi tersebut berbeda dengan independensi bank sentral yang
dikaitan dengan kerangka kerja kelembagaan.
9
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
10
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
11
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Sistem Devisa
Devisa merupakann aset keuangan yang digunakan dalam transaksi
internasional. Penetapan sistem devisa pada suatu negara ditujukan untuk
mengatur pergerakan lalu lintas devisa antara penduduk dan bukan
penduduk dari suatu negara ke negara lain. Pada dasarnya ada tiga sistem
devisa, yaitu: (i) sistem devisa terkontrol, (ii) sistem devisa semi terkontrol,
dan (iii) sistem devisa bebas. Pemilihan sistem devisa mana yang dianut
akan tergantung pada kondisi negara yang bersangkutan, khususnya
keterbukaan ekonominya dalam arti seberapa jauh negara yang
bersangkutan ingin mengintegrasikan ekonominya dengan ekonomi
global.
Pada sistem devisa terkontrol, devisa pada dasarnya dimiliki oleh
negara. Karena itu, setiap perolehan devisa oleh masyarakat harus
diserahkan kepada negara, dan setiap penggunaan devisa harus
memperoleh izin dari negara. Pada sistem devisa semi terkontrol,
kewajiban penyerahan dan izin dari negara diterapkan untuk perolehan
dan penggunaan devisa-devisa tertentu, sementara jenis devisa lainnya
13
Ada berbagai pendekatan dalam teori keuangan internasional untuk menentukan nilai
tukar secara fundamental, antara lain:
• Teori Purchasing Power Parity (PPP). Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar suatu
mata uang dengan mata uang negara lain pada dasarnya menggambarkan perbedaan tingkat
inflasi di kedua negara. Dengan kata lain, teori PPP menyatakan PPP = e P*/P = 1, dimana
e adalah nilai tukar, P* adalah inflasi negara lain, dan P adalah inflasi dalam negeri.
• Real Effective Exchange Rate (REER), yang menyatakan bahwa nilai tukar suatu mata
uang dipengaruhi oleh perkembangan inflasi dari negara-negara mitra dagang utama.
Dengan kata lain, teori REER menyatakan REER = S w e P*/P = 1, dimana w merupakan
bobot perdagangan dengan masing-masing negara mitra dagang utama.
• Fundamental Effective Exchange Rate (FEER), yang menggunakan pendekatan model
ekonomi makro struktural untuk menghitung nilai tukar keseimbangan yang sesuai dengan
perkembangan variabel-variabel ekonomi lainnya.
12
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
dapat secara bebas diperoleh dan dipergunakan. Pada sistem devisa bebas,
masyarakat dapat secara bebas memperoleh dan menggunakan devisa.14
14
Namun demikian, dalam praktek di kebanyakan negara-negara yang menerapkan sistem
devisa bebas, masih terdapat kewajiban bagi masyarakat untuk melaporkan perolehan dan
penggunaan devisa.
13
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
15
Menurut asumsi teoritis yang dikemukakan Robert Mundell dalam bukunya International
Economics (1968), terdapat impossible trinity ‘ketidaksesuaian antara pencapaian tiga
trinitas secara bersamaan’, yaitu stabilitas nilai tukar, mobilitas aliran dana luar negeri,
dan independensi kebijakan moneter. “Overtime, the three goals cannot be attained
simultaneously” (hlm. 147). Pengamatan empiris umumnya juga membuktikan bahwa hanya
dua saja dari tiga faktor tersebut yang dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya kecenderungan/konsensus internasional yang
mendorong mobilitas aliran dana luar negeri, maka terdapat trade-off antara pencapaian
stabilitas nilai tukar dan independensi kebijakan moneter.
16
Secara teoritis, apabila diterapkan sistem nilai tukar yang tetap dalam kondisi
perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi,
kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara independen, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Dengan kata lain, untuk dapat melaksanakan kebijakan moeneter secara
independen dalam kondisi derajat keterbukaan perekonomian sangat tinggi, perkembangan
nilai tukar harus cukup fleksibel. Apabila sistem nilai tukar tetap yang menjadi pilihan,
kebijakan moneter dapat dilaksanakan secara independen; namun, hal tersebut harus
didukung oleh upaya pengendalian aliran dana luar negeri yang sedemikian ketat sehingga
mobilitas dana luar negeri dapat dibatasi agar dapat tidak mengganggu pelaksanaan
kebijakan moneter.
14
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
15
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
16
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
c. Penargetan inflasi
Dengan melemahnya hubungan antara besaran moneter dan sasaran
akhir dari kebijakan moneter, banyak negara mulai mengadopsi penargetan
inflasi dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Penargetan inflasi
dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi
jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas
harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Dengan
mentargetkan inflasi sebagai jangkar nominal, bank sentral dapat menjadi
lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai
tujuan akhir.18
Walaupun penargetan dilakukan pada inflasi, strategi ini tidak
mengabaikan pencapaian tujuan kebijakan moneter lainnya seperti
perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral
senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan
output dan kesempatan kerja (pada tingkat tertentu) dalam jangka pendek.
Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan
output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi
jangka menengah menuju ke arah sasaran laju inflasi jangka panjang yang
lebih rendah.
18
Uraian lebih detail mengenai kerangka kerja inflation targeting akan disampaikan secara
khusus pada bagian lain dari buku ini.
17
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
18
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
19
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Diagram 1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Suku Bunga
perubahan suku bunga. Dalam hal ini, pengaruh perubahan suku bunga
jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah/panjang
melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaan dan penawaran di
pasar uang.21 Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi
cost of capital ‘biaya modal’, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari
permintaan agregat.
21
Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky prices), perubahan suku
bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral akan
mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan demikian,
dengan kekakuan harga tersebut, kebijakan moneter ekspansif akan mendorong penurunan
suku bunga riil jangka pendek, yang selanjutnya mendorong penurunan suku bunga riil
jangka panjang.
20
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
d. Jalur kredit
Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi
dua jalur. Pertama, bank lending channel ‘jalur pinjaman bank’ yang
menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank,
khususnya sisi aset. Kedua, balance sheet channel ‘jalur neraca perusahaan’
yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan
22
Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui
perubahan permintaan agregat (indirect pass-through).
21
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Diagram 4.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Kredit
22
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
e. Jalur ekspektasi
Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan
ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut
mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan
konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan
permintaan agregat dan inflasi.
Diagram 5.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Ekspektasi
23
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
indikasi kebijakan yang biasa disebut sasaran antara. Sasaran antara yang
dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran akhir.
Beberapa pilihan sasaran antara yang dapat digunakan antara lain besaran
moneter seperti M1 , M2, atau kredit dan suku bunga.
Selanjutnya, untuk mencapai sasaran antara bank sentral memerlukan
sasaran-sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat
berjalan sesuai dengan rencana. Sasaran operasional yang dipilih harus
memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara dapat dikendalikan
otoritas moneter, dan informasi tersedia lebih awal daripada sasaran antara.
Beberapa pilihan sasaran operasional yang dapat digunakan antara lain
adalah uang primer (M0) dan suku bunga jangka pendek.
Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh
bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah
ditetapkan. Beberapa pilihan instrumen yang digunakan antara lain adalah
open market operation ‘operasi pasar terbuka’, reserve requirement
‘cadangan wajib minimum’, discount facility ‘fasilitas diskonto’, dan
moral suasion ‘imbauan’.25
Rangkaian langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan
sasaran akhir, pemantauan variabel-variabel ekonomi-keuangan yang
dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter, hingga pelaksanaan
pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir tersebut
disebut kerangka operasional kebijakan moneter. Perlu dikemukakan
bahwa dalam praktek, penggunaan sasaran antara tergantung pada
pendekatan oprasional apa yang digunakan oleh bank sentral, yaitu apakah
pendekatan berdasarkan kuantitas besaran moneter (quantity-based
approach) atau pendekatan berdasarkan harga besaran moneter/suku bunga
(price-based approach). Umumnya, pendekatan berdasarkan kuantitas
menggunakan sasaran antara secara tegas. Sementara itu, pendekatan
berdasarkan harga umumnya tidak menggunakan sasaran antara secara
tegas; namun, pengaruh perubahan sasaran operasional ditransmisikan
pada perubahan sasaran akhir melalui perkembangan beragam information
25
Uraian yang lebih komprehensif mengenai keberadaan instrumen pengendalian moneter
terdapat pada Buku Seri Kebenksentralan No. 3: Instrumen-instrumen Pengendalian
Moneter, oleh Ascarya, PPSK Bank Indonesia (2002)
24
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
Diagram 6.
Kerangka Transmisi Operasional dengan Pendekatan Kuantitas
- Operasi pasar terbuka - Uang primer (M0) - Besaran moneter - Stabilitas harga
- Cadangan wajib minimum - Reserve bank (M1, M2, kredit) - Pertumbuhan Ek.
- Fasilitas diskonto - Suku bunga - Kesempatan kerja
- Imbauan
Diagram 7.
Kerangka Operasional dengan Pendekatan Harga
26
Junggun Oh., ”Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules
in Korea”, Economic Paper, Vol.2, No.1, March 1999, Bank of Korea (dimodifikasi).
25
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
26
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
27
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
28
Gambaran Umum Kebijakan Moneter
27
Kajian komprehensif mengenai keberadaan policy rules dalam pelaksanaan kebijakan
moneter disampaikan dalam Monetary Policy Rules, NBER Conference Report, J.B. Taylor
(Ed.)The University of Chicago Press, 1999.
28
Dalam perkembangannya, sejak awal tahun 1980an debat “rules versus discretion” lebih
mengacu pada argumen baru yang mengetengahkan adanya permasalahan
“ketidakkonsistenan” (“time inconsistency” problem) dalam penerapan strategi kebijakan.
Time-inconsistency problem merujuk pada adanya perbedaan langkah kebijakan (yang
optimal) yang telah diumumkan oleh bank sentral kepada masyarakat — jika bank sentral
mempunyai kredibilitas yang baik — dengan langkah kebijakan yang akan dilakukan oleh
bank sentral setelah masyarakat mengambil suatu keputusan berdasarkan ekspektasinya.
Misalnya, bank sentral mengumumkan janjinya untuk mencapai target inflasi tertentu, dan
masyarakat melakukan kontrak atau kesepakatan kerja berdasarkan pengumuman tersebut.
Dalam kondisi ini, bank sentral mempunyai insentif untuk tidak memenuhi janjinya dengan
mencari kemungkinan untuk mencapai pertumbuhan output yang lebih besar, dengan
29
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
30
Kebijakan Moneter di Indonesia
31
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
32
Kebijakan Moneter di Indonesia
33
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
34
Kebijakan Moneter di Indonesia
35
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto. Jadi, setiap tahun Bank
Indonesia menyusun rencana ekspansi kredit secara nasional dengan
menghitung berapa jumlah uang beredar yang sesuai dengan perkiraan
laju inflasi dan pertumbuhan output. Kemudian bank-bank diminta untuk
menyampaikan rencana kredit kepada Bank Indonesia untuk kemudian
ditetapkan pagu kredit setahun ke depan untuk masing-masing bank. Pagu
individual bank tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar untuk
penyaluran kredit likuiditas yang disediakan Bank Indonesia sesuai dengan
sektor/program yang sudah ditetapkan.
Meskipun kehidupan sektor perbankan kurang bergairah akibat
kelangkaan sumber dana karena menurunnya penghimpunan dana
masyarakat dan adanya pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan
investasi terus berlanjut, khusunya yang dilakukan oleh pemerintah.
Selanjutnya, untuk memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada bank-
bank dalam pemanfaatan dana terutama dalam pemberian kreditnya kepada
sektor swasta, Bank Indonesia pada tahun 1978 menurunkan reserve
requirement bank-bank dari 30% menjadi 15%.
36
Kebijakan Moneter di Indonesia
37
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
29
Perkembangan ekonomi yang kurang sehat sempat terjadi pada tahun 1987, saat
masyarakat melakukan spekulasi mata uang asing karena memperkirakan akan dilakukan
devaluasi oleh pemerintah. Untuk mengatasi perkembangan tersebut pemerintah mengambil
langkah kebijakan yang dikenal dengan “Gebrakan Sumarlin”, yang mengakibatkan
penurunan likuiditas perbankan yang tajam dan meredanya kegiatan spekulasi.
38
Kebijakan Moneter di Indonesia
39
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
30
Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral
yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam
mencapai multiple objectives ‘beberapa tujuan’, yaitu mengatur, menjaga, dan memelihara
stabilitas nilai rupiah, dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
40
Kebijakan Moneter di Indonesia
31
Secara teoritis, stabilitas nilai rupiah mempunyai makna ganda, yaitu stabilitas harga
barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga mata uang domestik (nilai
tukar). Sebagian pendapat menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pencapaian stabilitas
harga pada gilirannya akan mendorong stabilitas nilai tukar.
41
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
32
Uraian lengkap mengenai kebijakan dan sistem pengawasan perbankan serta kebijakan
dan sistem pembayaran di Indonesia akan disampaikan pada buku seri kebank sentralan
lain.
42
Kebijakan Moneter di Indonesia
43
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
dimaksud. Perkembangan sektor fiskal (realisasi APBN) dan neraca pembayaran juga
dipantau terus. Selain analisis terhadap perkembangan atau kecenderungan yang terjadi,
penyusunan proyeksi juga dilakukan dengan sejumlah model-model ekonomi makro yang
dikembangkan di Bank Indonesia. Kesemuanya dilakukan untuk menentukan
kecenderungan tekanan-tekanan yang terjadi terhadap perkembangan output, khususnya
output gap ‘kesenjangan output’, yaitu perbedaan antara permintaan dan penawaran
aggregat.
44
Kebijakan Moneter di Indonesia
45
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
36
Sejalan dengan hasil tersebut Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan
antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara
uang beredar dengan inflasi. Penelitian lain yang pernah dilakukan pada periode sebelum
krisis menunjukkan bahwa jalur suku bunga merupakan channel yang penting untuk
perekonomian Indonesia dan menyarankan penggunaan paradigma baru bagi kerangka
kebijakan moneter berdasarkan jalur suku bunga (baca Sarwono dan Warjiyo, 1998, atau
Warjiyo dan Zulverdi, 1998). Namun, meski jalur suku bunga lebih efektif mempengaruhi
inflasi dibanding dengan jalur agregat moneter, penelitian yang sama masih mengakui
eksistensi jalur kuantitas agregat moneter. Kedua jalur utama transmisi tersebut tidak harus
dilihat sebagai suatu substitusi. Artinya, penyusunan kerangka kebijakan moneter
berdasarkan suatu jalur transmisi tertentu tidak berarti harus mengabaikan sama sekali
jalur transmisi yang lain. Karena itu, Bank Indonesia terus melakukan berbagai penelitian
untuk mengkaji mekanisme transmisi yang paling efektif untuk diterapkan.
37
Dalam penyusunan program moneter, penentuan sasaran operasional dilakukan dengan
memperhitungkan beberapa asumsi sebagai berikut:
46
Kebijakan Moneter di Indonesia
Diagram 8.
a) Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan investasi, dll.)
akan berjalan seperti yang ditetapkan;
b) Adanya hubungan yang stabil antara uang beredar (sebagai sasaran antara) dengan
kegiatan ekonomi riil (sebagai sasaran akhir). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas
perkembangan income velocity ‘kecepatan perputaran uang’ dan demand for money
‘permintaan uang’;
c) Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional) dengan
uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas
perkembangan money multiplier ‘angka pelipat ganda uang’.
38
Pemikiran untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional telah
dikemukakan sejak sebelum terjadinya krisis tahun 1997.
47
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
48
Kebijakan Moneter di Indonesia
49
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
50
Kebijakan Moneter di Indonesia
51
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
52
Kebijakan Moneter di Indonesia
devisa dimaksud. Pengaturan lebih lanjut mengenai sistem nilai tukar dan
lalu lintas devisa dimuat dalam UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
53
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
44
Dengan dianutnya sistem nilai tukar mengambang (bebas), nilai tukar rupiah bergerak
sesuai kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Dengan besarnya hutang luar negeri
swasta Indonesia, semakin berat dan kompleksnya krisis yang kemudian merambah pula
di sektor perbankan, perusahaan, maupun sektor ekonomi secara keseluruhan, apalagi
dibarengi dengan kondisi sosial politik dalam negeri yang tidak menentu, maka
perkembangan nilai tukar rupiah sejak dianutnya sistem mengambang menjadi merosot
tajam dan sering bergejolak. Perkembangan nilai tukar rupiah tidak lagi menggambarkan
kondisi fundamental ekonomi-keuangan, tetapi sering dipengaruhi oleh faktor-faktor non-
ekonomi yang begitu bergejolak di Indonesia. Sebagai upaya untuk menstabilkan
perkembangan nilai tukar rupiah, pada waktu-waktu tertentu Bank Indonesia melakukan
intervensi di pasar valuta asing. Langkah ini khususnya ditempuh apabila terjadi gejolak
nilai tukar yang berlebihan dan/atau pergerakan nilai tukar diperkirakan dapat
mempengaruhi perkembangan inflasi. Namun, intervensi valuta asing tersebut tidak
dimaksudkan oleh Bank Indonesia untuk mencapai suatu target tertentu dari perkembangan
nilai tukar yang terjadi di pasar.
54
Kebijakan Moneter di Indonesia
negara tetangga, seperti Korea Selatan dan Thailand, juga melakukan hal
yang sama dengan menerapkan sistem nilai tukar mengambang.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang tersebut dikukuhkan
dengan Undang-Undang Nomor 23 dan 24 tahun 1999. Sesuai dengan
undang-undang tersebut, sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh
Pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi yang disampaikan
oleh Bank Indonesia. Hal ini mengingat perubahan sistem nilai tukar akan
berdampak sangat luas, tidak saja terhadap kegiatan di bidang moneter
dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan ekonomi riil baik konsumsi,
investasi maupun perdagangan luar negeri. Karena itu, perubahan sistem
nilai tukar harus melalui pemikiran dan penelitian yang matang,
mempertimbangkan berbagai aspek baik ekonomi, politik, maupun sosial.
Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu memberikan rekomendasi mengenai
rencana perubahan sistem nilai tukar tersebut, apabila akan dilakukan,
terutama karena pengalaman dan pengetahuannya di bidang ini maupun
karena pengaruhnya terhadap kebijakan moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran.
Dalam kaitan ini, kebijakan nilai tukar sesuai dengan sistem nilai tukar
yang telah ditetapkan dapat berupa:
(i) devaluasi atau revaluasi mata uang rupiah terhadap mata uang asing
dalam sistem nilai tukar tetap;
(ii) intervensi di pasar valuta asing dalam sistem nilai tukar mengambang;
dan
(iii) penetapan nilai tukar harian dan lebar kisaran intervensi dalam sistem
nilai tukar mengambang terkendali.
Kebijakan Devisa
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, beberapa kebijakan mengenai
pengaturan devisa telah dilaksanakan sesuai dengan sistem devisa yang
telah diterapkan di Indonesia. Sistem devisa terkontrol pernah diterapkan
di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 1964. Pada waktu itu, devisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa
Umum (DU). Sesuai dengan undang-undang pada waktu itu setiap
55
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
56
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
57
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Sumber: Bofinger, Peter, Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategies, and Instruments, Oxford
University Press, 2001, Hal 259.
58
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
46
Munculnya Kurva Phillips pertama kali didasarkan pada hasil studi ekonom Inggris,
A.W. Phillips, yang pada tahun 1958 menyimpulkan terdapatnya hubungan terbalik (inverse
relationship atau trade-off) antara tingkat pengangguran dan perubahan tingkat upah dalam
bentuk sebuah kurva. Semula, para ekonom menganggap temuan di atas sebagai salah
satu bagian yang selama ini hilang dalam struktur income-expenditure model, dan setelah
menerapkan sedikit modifikasi (perubahan tingkat upah menjadi tingkat harga), kurva
tersebut menjadi salah satu kurva yang paling banyak dikenal dalam ilmu ekonomi;
selanjutnya dikenal dengan Kurva Phillips (Phillips Curve).
59
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
60
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
61
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
62
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
Boks 3 :
Penentuan Sasaran Inflasi
Seperti telah diketahui, secara teoretis, pengertian inflasi merujuk
pada perubahan tingkat harga (barang dan jasa) umum yang terjadi
secara terus menerus. Data mengenai perkembangan harga dapat
didasarkan pada cakupan barang dan jasa sebagai komponen
pembentuk PDB (deflator PDB), cakupan barang dan jasa yang
diperdagangkan antara produsen dengan pedagang besar atau antar
pedangang besar (Indeks Harga Perdagangan Besar/IHPB), ataupun
cakupan barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi
oleh sebagian besar masyarakat (Indeks Harga Konsumen/IHK).
Dalam kaitan ini, cara penghitungan inflasi didasarkan pada
perubahan indeks pada periode tertentu dengan indeks pada periode
sebelumnya.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia
atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan perkembangan
dan prospek ekonomi makro. Untuk itu, sejak tahun 2000 Bank
Indonesia menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan
dicapainya untuk tahun yang bersangkutan. Sasaran ditetapkan untuk
inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan
mengeluarkan dampak dari kenaikan harga-harga yang disebabkan
oleh kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan
(administered prices and income policy).47 Sebagai contoh, sasaran
inflasi ditetapkan sebesar 3-5% untuk tahun 2000 dan 4-6% untuk
tahun 2001. Pada periode yang sama, dampak administered prices
and income policy terhadap inflasi diperkirakan untuk tahun 2000
dan 2001 masing-masing sekitar 2% and 2-2.5%. Dengan demikian,
47
Sejak bulan Oktober 1999, IHK gabungan dihitung dari43 kota, setelah kota
Dili dikeluarkan. Jumlah komoditas yang dicakup sebanyak 249 – 353 komoditas
yang terdiri atas tujuh kelompok, yaitu: (i) bahan makanan; (ii) makanan jadi,
minuman, rokok, dan tembakau; (iii) perumahan; (iv) sandang; (v) kesehatan, (vi)
pendidikan, rekreasi, dan olah raga; dan (vii) transpor dan komunikasi.
63
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
64
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
65
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Boks 4:
Sasaran Inflasi: Headline vs Inti
66
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
67
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Boks 5:
Kebijakan Moneter Forward Looking
48
Hasil kajian pendahuluan mengenai metode penghitungan inflasi inti dapat dilihat di
Madjardi, F. dkk, Penyempurnaan Perhitungan Inflasi Inti (Core Inflation), Laporan Hasil
Penelitian, Bagian Studi Sektor Riil, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
2001.
68
Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Sasaran Kestabilan Harga:
Menuju Inflation Targeting
49
Hasil kajian dari negara lain, seperti Kanada dan Selandia Baru juga menghasilkan lag
sekitar 2 tahun. Sementara, lag di Brazil justru lebih cepat, sekitar 6 kuartal.
69
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Daftar Pustaka
70
Laidler, David E.W. (1997), The Demand for Money, Harper &Row, Publ.
Inc.
Madjardi, F. dkk. (2001), Penyempurnaan Perhitungan Inflasi Inti (Core
Inflation), Laporan Hasil Penelitian, Bagian Studi Sektor Riil,
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Miskhin, F.S.(1999), ‘International Experiences with Different Monetary
Policy Regimes’, Journal of Monetary Economics, 43.
Parkin, M. and Bade R. (1988), Modern Macroeconomics, Philip Alan
Publishers Ltd.
Rothenberg, Alexander D.(2002), The Monetary-Fiscal policy Mix:
Empirical Analysis and Theoretical Implications, Working paper.
Samuelson, Paul.A. and William D. Nordhaus (2002), Economics, 7th
Edition, The McGraw-Hill/Irwin.
Sarwono, Hartadi A. (1996), Mencari Paradigma Baru Manajemen
Moneter di Indonesia, Makalah SESPIBI Angkatan XXI, Bank
Indonesia.
___________ dan Warjiyo, P. (1998), ‘Mencari Paradigma Baru
Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu
Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia’, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 1, Bank Indonesia.
Solikin (1998), The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and
Money Multiplier in Indonesia, 1971-1996, Unpublished Working
Paper, Department of Economics, The University of Michigan, August.
___________ dan Suseno (2002), Uang: Pengertian, Pencipataan, dan
Peranannya dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan No.1, PPSK,
Bank Indonesia.
___________ dan Suseno (2002), Penyusunan Statistik Uang Beredar,
Buku Seri Kebanksentralan No.2, PPSK, Bank Indonesia.
Taylor, J.B. (1993), “Discretion Versus Policy Rules in Practice”,
Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy, 39.
__________ (1995), ‘The Monetary Transmision Mechanism: An
Empirical Framework’, Journal of Economic Perspectives, 9.
71
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
72
Seri Kebanksentralan
Operasi
Pasar Terbuka
F.X. Sugiyono
BANK INDONESIA
SERI KEBANKSENTRALAN
Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Seri Kebanksentralan No. 10
Operasi
Pasar Terbuka
F.X. Sugiyono
Bibliografi: hlm. – 37
ISBN 979-3363-11-8
332.11
ii
Sambutan
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada
kesempatan ini Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank
Indonesia kembali menerbitkan buku seri kebanksentralan. Penerbitan
buku ini sejalan dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk
mewujudkan transparansi kepada masyarakat luas. Selain itu, sebagai
sumbangsih dalam kegiatan peningkatan wawasan dan pembelajaran
kepada masyarakat, Bank Indonesia juga terus berupaya meningkatkan
kualitas publikasi yang ditujukan untuk memperkaya khazanah ilmu
kebansentralan.
Buku seri kebanksentralan merupakan rangkaian tulisan mengenai
ilmu kebanksentralan ditinjau dari aspek teori maupun praktek, yang ditulis
oleh para penulis dari kalangan Bank Indonesia sendiri. Buku seri ini
dimaksudkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan mengenai
berbagai aspek kebansentralan terutama yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Sebagai bacaan masyarakat
umum, buku seri ini ditulis dalam bahasa yang cukup sederhana dan mudah
dipahami, serta sejauh mungkin menghindari penggunaan istilah-istilah
teknis yang kiranya dapat mempersulit pembaca dalam memahami isi
buku.
Penulisan buku seri kebanksentralan ini diorganisir secara sistematis
dengan terlebih dahulu menerbitkan buku seri mengenai aspek-aspek
pokok kebansentralan, yaitu: (1) bidang moneter, (2) bidang perbankan,
(3) bidang sistem pembayaran, dan (4) bidang organisasi dan managemen
bank sentral. Selanjutnya masing-masing bidang dirinci dengan topik-
topik khusus yang lebih fokus pada tema tertentu yang tercakup pada
salah satu bidang tugas bank sentral. Dengan demikian sistematika
publikasi buku seri kebanksentralan ini analog dengan pohon yang terdiri
dari batang yang memiliki cabang dan ranting-ranting. Sebagai
kelanjutan buku seri sebelumnya, pada kesempatan ini diterbitkan buku
seri yang terkait dengan bidang moneter dengan topik Instrumen
Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka. Buku ini membahas
iii
jenis-jenis instrumen moneter yang lazim digunakan oleh otoritas moneter,
dan bagaimana Bank Indonesia melaksanakan Operasi Pasar Terbuka
sebagai instrumen kebijakan moneter di Indonesia.
Akhirnya, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal
serta pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah
khazanah pengetahuan kita.
Perry Warjiyo
Direktur
iv
Pengantar
v
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam buku ini. Untuk itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran
untuk penyempurnaan buku ini. Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita.
Penulis
vi
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar v
Daftar Isi vii
Pendahuluan 1
Boks
Sertifikat Bank Indonesia 30
Lampiran
Contoh Perhitungan hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia 35
Daftar Pustaka 37
vii
Instrumen Pengendalian Moneter
Operasi
Pasar Terbuka
Pendahuluan
1
OPERASI PASAR TERBUKA
Gambar 1
Kebijakan Moneter
2
Pendahuluan
1
Dalam sistem ini transaksi barang dan jasa dapat dikonversi sepenuhnya dengan transaksi
lalu-lintas modal.
3
OPERASI PASAR TERBUKA
dipergunakan dalam OPT ialah intervensi rupiah, yang pada tahun 2002
diubah menjadi fasilitas simpanan dalam rupiah di Bank Indonesia
(FASBI), dan/atau, apabila perlu, dapat dilakukan melalui seterilisasi
valuta asing.
Buku Seri Kebanksentralan ini akan menguraikan pelaksanaan
operasional pengendalian moneter melalui OPT. Uraian akan didahului
dengan kerangka kebijakan moneter yang merupakan salah satu kebijakan
makro ekonomi yang sangat strategis, dilanjutkan dengan istrumen-
instrumen beserta perkembangan penggunaannya oleh beberapa negara
dalam mencapai sasaran kebijakan moneter. Selanjutnya, akan dipaparkan
instrumen-instrumen kebijakan moneter yang dipergunakan oleh otoritas
moneter di Indonesia selama ini dan sebelum diuraikan bagaimana OPT
dilaksanakan di Indonesia akan dijelaskan terlebih dahulu apa itu OPT.
Dalam bagian akhir buku ini akan dipaparkan instrumen operasional OPT
yang dilaksanakan di Indonesia.
4
Kerangka Kebijakan Moneter
5
OPERASI PASAR TERBUKA
IMPLEMENTASI S T R AT E G I
SASARAN ANTARA
TARGET INDIKATOR SASARAN
INSTRUMEN SASARAN VARIABEL BARANG
& AKHIR
OPERASIONAL
ARAH KEBIJAKAN
6
Instrumen Kebijakan Moneter
3
Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, oleh Ascarya, PPSK Bank Indonesia (2002)
7
OPERASI PASAR TERBUKA
8
Instrumen Kebijakan Moneter
9
OPERASI PASAR TERBUKA
10
Instrumen Kebijakan Moneter
11
OPERASI PASAR TERBUKA
itu, instrumen ini juga mengikat terhadap bank karena merupakan kewajiban,
yang pada gilirannya kebijakan ini juga dapat mempengaruhi fungsi
intermediasi perbankan.
Dalam pada itu, OPT yang merupakan instrumen utama kebijakan moneter
adalah transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
bank dan pihak lain dalam rangka mencapai sasaran jumlah uang primer. OPT
oleh Bank Indonesia dilakukan melalui penjualan atau pembelian SBI secara
bilateral, antara Bank Indonesia dengan bank atau pialang dengan maksud untuk
mempengaruhi likuiditas pasar uang sehingga akan memberikan pengaruh
kontraksi pada saat Bank Indonesia menjual SBI dan ekspansi pada saat Bank
Indonesia membelinya kembali (SBI repurchase agreement). Sementara itu,
guna lebih menjaga terkendalinya likuiditas pasar uang, sejak 1998 Bank
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan fasilitas simpanan
dalam rupiah di Bank Indonesia (FASBI) — sebelumnya sering disebut dengan
intervensi rupiah (IR) —yang pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai
instrumen baik kontraksi maupun ekspansi oleh Bank Indonesia melalui kegiatan
pinjam-meminjam di pasar uang antarbank. Selain itu, meskipun secara
operasional tidak selalu digunakan, dalam OPT Bank Indonesia juga
menggunakan instrumen lain, yaitu jual-beli surat berharga dalam rupiah dan
jual-beli valuta asing terhadap rupiah — lebih dikenal dengan intervensi atau
sterilisasi valuta asing — serta imbauan.
12
Operasi Pasar Terbuka
terjadinya pergeseran dana (funds) secara berkala atau secara bersiklus sehingga
akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek dan perkembangan penawaran
uang. Dalam operasinya, bank sentral membeli dan menjual surat berharga
pemerintah di pasar sekunder atau surat berharga bank sentral dengan tujuan
untuk mempengaruhi tingkat likuiditas yang ada pada sistem moneter.5
Selaku otoritas moneter dalam mengendalikan likuiditas perbankan melalui
OPT bank sentral dapat melakukan penjualan atau pembelian surat berharga.
Apabila likuiditas perbankan melebihi permintaan maka bank sentral dapat
melakukan penjualan surat berharga. Secara teori, penjualan surat berharga
oleh bank sentral akan mengakibatkan uang primer mengalami penurunan.
Sementara itu, penjualan surat berharga akan membawa suku bunga jangka
pendek mengalami kenaikan dan pada gilirannya M1 dan M2 sebagai indikator
pencapaian kebijakan akan mengalami penurunan. Demikian pula sebaliknya,
apabila likuiditas perbankan lebih rendah dibandingkan dengan permintaan,
bank sentral dapat melakukan pembelian. Dengan pembelian surat berharga,
uang primer akan meningkat. Disamping itu, dengan pembelian surat berharga,
suku bunga jangka pendek akan menurun dan, pada akhirnya, M1 dan M2 akan
meningkat (Gambar 3).
Gambar 3
Operasi Pasar Terbuka
i
Penjualan Surat Mo
Berharga
M1 & M2
OPT Harga
(inflasi)
i
Pembelian Surat Mo
Berharga
M1 & M2
5
Sistem moneter adalah lembaga pencipta uang kartal, giral, dan uang kuasi. Di Indonesia
lembaga ini terdiri dari bank sentral dan bank-bank pencipta uang giral (bank umum).
13
OPERASI PASAR TERBUKA
6
Secara teoritis besarnya inflasi akan berpengaruh searah terhadap suku bunga nominal;
demikian juga interest rate differential.
14
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
Gambar 4
Mekanisme Pelaksanaan Kebijakan Moneter
Operating
Target
T - Bill / Repo Rate
SUN Inflasi
Currency
Demand Base
for Money Suku Bunga Interest Rate
Money Bank Reserve Diff / Kurs
Lelang Biaya*
Discount
GWM OPT SBI / IR
Facility OPT
Instrumen kebijakan
Obligasi
Volume
Rekap
Lending
Bank
Sterilisasi
Valas NFA/IRFCL
15
OPERASI PASAR TERBUKA
7
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, tabel 2
16
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
8
Yang dimaksudkan dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain
yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga peringkat yang
berkompeten dan sewaktu-waktu mudah dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.
17
OPERASI PASAR TERBUKA
Penerbitan SBI
SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen OPT.
SBI merupakan surat pengakuan utang berjangka waktu pendek dalam
rupiah dengan menggunakan sistem diskonto. SBI diterbitkan melalui
meknisme lelang dan/atau nonlelang. SBI hanya dapat dibeli di pasar
perdana oleh bank atau pihak lain nonbank, seperti pialang yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, SBI yang telah dibeli di pasar perdana
dapat diperdagangkan di pasar sekunder. (Uraian lebih lanjut mengenai
SBI dapat dilihat pada Boks 1 : Sertifikat Bank Indonesia).
18
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
19
OPERASI PASAR TERBUKA
waktu lebih pendek. Selain itu, fasilitas ini tidak dapat diperdagangkan
dan hanya berjangka waktu pendek9 dengan tingkat bunga sesuai dengan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.10 Dalam perkembangannya, setelah
diterapkannya instrumen ini, suku bunga yang ditetapkan dipergunakan
oleh pasar sebagai signal arah perkembangan suku bunga yang diinginkan
oleh otoritas moneter. Dengan tersedianya fasilitas ini, bank-bank dapat
menyimpan kelebihan dana jangka pendeknya di Bank Indonesia apabila
berdasarkan perhitungan bank, dana jangka pendek yang dimilikinya
diperkirakan tidak dapat ditransaksikan ke pasar uang antarbank karena
rendahnya permintaan.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia akan mengumumkan
penyedian IR pada hari pelaksanaan penyediaan IR, antara lain meliputi
jangka waktu, tingkat diskonto, dan waktu pelaksanaan dibukanya
kesempatan mengajukan transaksi. Sebagaimana peserta lelang SBI,
peserta transaksi IR terdiri dari peserta langsung, yaitu bank untuk
kepentingannya sendiri dan pialang untuk kepentingan pihak lain, dan
peserta tidak langsung, yaitu bank yang mengajukan penawaran melalui
pialang.
Sebagaimana halnya dengan SBI, IR juga merupakan salah satu
instrumen operasional kebijakan moneter. IR yang merupakan instrumen
pendukung SBI dapat dipergunakan sebagai piranti fine tuning apabila
sasaran pengendalian uang primer belum tercapai melalui transaksi jual-
beli SBI atau realisasi jumlah uang beredar (uang primer) berada di atas
sasaran yang ditetapkan dalam pengendalian moneter. Dengan demikian,
fasilitas ini dapat merupakan instrumen fine tuning kebijakan
pengendallian uang primer dalam jangka waktu yang lebih pendek
daripada jangka waktu SBI.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 2002 IR diubah menjadi FASBI.
Fungsi IR sebagai instrumen pendukung SBI masih melekat pada FASBI
namun salah satu fungsi IR, yaitu untuk mendukung operasi kebijakan
9
Semula FASBI diberikan dengan jangka waktu dari 1 hari (overnight) hingga 7 hari.
Saat ini jangka waktu ditetapkan hanya untuk jangka waktu 1 hari.
10
FASBI dibuka untuk penempatan oleh bank pada pagi hari dan sore hari dengan jangka
waktu penempatan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Suku bunga FASBI untuk sore
hari ditetapkan 50% di bawah suku bunga FASBI pagi hari .
20
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
21
OPERASI PASAR TERBUKA
(c) juga harus mempertimbangkan kondisi di pasar valuta asing. Hal ini
dimaksudkan agar kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dengan
menjual atau membeli valuta asing tidak mengganggu nilai tukar rupiah
dan jumlah kecukupan cadangan devisa. Sebagai contoh, apabila Bank
Indonesia akan melakukan kontraksi rupiah, sementara nilai tukar rupiah
sedang dalam kondisi menguat yang berarti Bank Indonesia seharusnya
membeli valuta asing, maka kebijakan kontraksi dalam rangka penyerapan
uang beredar yang seharusnya dilakukan dengan menjual valuta asing di
satu sisi akan berhasil namun, di sisi lain, dapat mengganggu kestabilan
nilai tukar. Dengan demikian, kebijakan ini kurang fleksibel karena tidak
dapat diterapkan setiap saat diperlukan.
Pelaksanaan OPT
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam rangka mencapai sasaran
kebijakan moneter Bank Indonesia dapat menerapkan kerangka kebijakan
moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar (sasaran kuantitas)
atau suku bunga (sasaran suku bunga). Dalam hal kebijakan moneter
difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar sebagaimana yang
dilaksanakan saat ini, Bank Indonesia menetapkan uang primer atau
komponennya sebagai sasaran operasional dan jumlah uang beredar baik
dalam arti sempit maupun luas sebagai sasaran antara (Gambar 3). Dalam
hal kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian suku bunga, Bank
Indonesia menetapkan suku bunga pasar uang jangka pendek sebagai
sasaran operasional. Untuk mencapai sasaran operasinal tersebut baik
dalam kerangka kebijakan moneter berdasarkan sasaran kuantitas maupun
sasaran suku bunga, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian
moneter melalui OPT yang bersifat kontraksi atau ekspansi.
Saat ini OPT dilaksanakan oleh Bank Indonesia melalui instrumen
operasional utama berupa penerbitan SBI melalui lelang SBI dan
penyediaan fasilitas simpanan yang dikenal dengan FASBI.
22
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
12
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Boks tentang SBI.
13
Sejak 2004 frekuensi lelang SBI yang semula setiap hari Rabu menjadi sebulan hanya 2
kali. Frekuensi lelang dapat dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
14
Saat ini RDG mingguan dilaksanakan setiap Selasa.
23
OPERASI PASAR TERBUKA
Gambar 5
Lelang Sertifikat Bank Indonesia
Dewan Gubernur
Bank
15
Selain Direktorat Pengelolaan Moneter, anggota OMC juga meliputi beberapa direktorat
yang terkait di bidang moneter, perbankan, dan kredit, yaitu Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter, Pengelolaan Devisa, Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Pemeriksaan dan
Pengawasan Bank, Kredit, dan Statistik Moneter.
24
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).16 Secara garis besar, besarnya sasaran
lelang tergantung pada perkiraan besarnya perubahan likuiditas perbankan
yang akan terjadi pada minggu pelaksanaan lelang. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan likuiditas perbankan meliputi tiga
kelompok besar, yaitu :
1. Perubahan faktor-faktor otonom (autonomous factors), antara lain
jumlah uang kartal baik yang beredar di masyarakat maupun yang
ada di kas bank (cash in vault) serta perubahan rekening pemerintah
yang ada di Bank Indonesia yang diperhitungkan sebagai tagihan
bersih Bank Indonesia kepada pemerintah. Beberapa perubahan
rekening pemerintah yang dapat mempengaruhi faktor otonom dari
sisi penerimaan antara lain ialah penerimaan pajak dan hasil program
penjualan aset oleh BPPN, sementara dari sisi pengeluaran antara
lain pembayaran gaji pegawai dan/atau dana alokasi umum (DAU)
serta pembayaran kupon obligasi pemerintah. Tagihan bersih kepada
pemerintah ini diperhitungkan sebagai faktor otonom mengingat
besar/kecilnya tagihan bersih ini akan menunjukkan besarnya
ekspansi atau kontraksi pengeluaran pemerintah terhadap uang
beredar.
2. Posisi jatuh tempo instrumen OPT yang terdiri dari SBI, SBI-Repo,
SWBI, dan intervensi rupiah (FASBI)
3. Sterilisasi/intervensi valuta asing.
Contoh penetapan sasaran lelang SBI :
Misalnya perkiraan kondisi likuiditas perbankan pada saat akan
dilaksanakannya lelang adalah sebagai berikut.
- Faktor-faktor otonom yang mempengaruhi likuiditas perbankan secara
neto memberikan pengaruh kontraksi sebesar Rp15 triliun
- SBI dan IR/FASBI yang jatuh tempo tercatat sebesar Rp35 triliun
Dengan demikian, likuiditas perbankan akan mengalami penambahan
sebesar Rp20 triliun. Untuk itu, sasaran lelang SBI dapat ditetapkan sebesar
Rp20 triliun. Selanjutnya, OMC akan mengajukan usulan besarnya sasaran
16
Pengumuman sasaran indikatif lelang saat ini disampaikan pada hari Selasa. Apabila
libur, diumumkan pada hari sebelumnya.
25
OPERASI PASAR TERBUKA
26
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
27
OPERASI PASAR TERBUKA
28
Operasi Pasar Terbuka di Indonesia
19
Rekening giro rupiah milik bank di Bank Indonesia.
20
Fatwa Dewan Syariah No.36/DSN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002
21
Saat ini, window dibuka setiap hari, yaitu dari pukul l0.00 sampai dengan 14.00 WIB,
dan tenor atau jangka waktu yang disediakan oleh Bank Indonesia adalah 7, 14, dan 28
hari.
29
OPERASI PASAR TERBUKA
Boks 1:
Sertifikat Bank Indonesia
22
Bank Indonesia, Laporan Tahunan, 1970/1971
30
Boks 1: Sertifikat Bank Indonesia
23
Bank Indonesia, Laporan Tahunan,1971/1972
24
Bank Indonesia, Laporan tahunan, 1983/1984 dan Binhadi, Financial Sector
Deregulation, Banking Development and Monetary Policy, the Indonesian Experience,
1983-1993, 1995
31
OPERASI PASAR TERBUKA
32
Boks 1: Sertifikat Bank Indonesia
Rp500.000.000 x 360
= Rp494.233.937,40
360 + (15% x 28)
Dengan demikian, nilai diskonto = Rp500.000.000 –
Rp494.233.937,40 = Rp5.766.062,60
Peserta lelang SBI terdiri dari peserta langsung, yaitu bank untuk
kepentingannya sendiri dan pialang untuk kepentingan pihak lain,
serta peserta tidak langsung, yaitu bank yang mengajukan penawaran
melalui pialang. Secara umum, tata cara penerbitan SBI melalui
lelang tidak mengalami perubahan, kecuali antara lain untuk
penetapan jangka waktu, penetapan satuan unit, dan
penatausahaannya.
SBI saat ini memiliki 5 karakteristik utama, yaitu :
a. Mempunyai satuan unit tertentu;25
b. Berjangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;26
c. Diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
d. Diterbitkan tanpa warkat, artinya bukti kepemilikan hanya
pencatatan secara elektronis (scripless); dan
e. Dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan (negotiable) di
pasar sekunder.
Selain itu, terdapat beberapa prinsip yang melekat pada SBI,27
yaitu antara lain :
25
Saat ini satuan unit ditetapkan sebesar Rp1.000.000,00.
26
Saat ini jangka waktu SBI minimum 1 bulan dan maksimum 12 bulan.
27
Peraturan Bank Indonesia No. 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia.
33
OPERASI PASAR TERBUKA
28
Perdagangan SBI secara Repo dapat dilakukan antara bank dengan Bank Indonesia
atau antarbank. Saat ini jangka waktu Repo ditetapkan 1 hari dan jumlah SBI yang
di-repo-kan ditetapkan maksimum 25% dari rata-rata seri SBI yang dimenangkan
bank untuk kepentingannya sendiri dari lelang SBI terakhir. Sementara itu, prinsip
dan tata cara pelaksanaan perdagangan SBI-Repo antarbank tergantung pada para
pelaku yang bersangkutan.
34
Lampiran
Penawaran Hasil
1 50 50 13.625 13.625 50 50
2 450 500 13.750 13.738 450 500
3 250 750 13.750 13.742 250 750
4 1.250 2.000 14.000 13.903 1.193 1.943
5 500 2.500 14.000 13.923 477 2.420
6 2.000 4.500 14.000 13.957 1.909 4.330
7 250 4.750 14.000 13.959 239 4.568
8 1.500 6.250 14.000 13.969 1.423 6.000
9 750 7.000 14.250 13.999 0 6.000
10 250 7.250 14.375 14.012 0 6.000
∑ [ A(i) xC(i)]
i =1
*) Rata-rata tertimbang
*) RRT (n) =
A(n)
35
OPERASI PASAR TERBUKA
N(n)
HNM(n) = x [TI - ∑N(d-1)]
∑ N(d)
dimana :
N(n) = Nilai nominal penawaran peserta masing-masing (n)
d = tingkat diskonto tertinggi
d-1 = tingkat diskonto di bawah tingkat diskonto tertinggi
∑N(d) = jumlah nilai nominal penawaran dengan tingkat diskonto
tertinggi
∑N(d-1) = jumlah nilai nominal penawaran dengan tingkat diskonto
dibawah tingkat diskonto tertinggi
TI = Target indikatif
HNM = Hasil nominal lelang yang dimenangkan
Contoh perhitungan untuk nilai nominal yang dimenangkan peserta nomor
4 adalah:
(1.250 ÷ 5.500) x (6.000 – 750) = Rp1.193 milyar
36
Daftar Pustaka
Alexander, William E., Thomas J.T. Balino, and Charles Enoch, The
Adoption of Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional
Paper No. 126, Washington, DC : International Monetary Fund, 1995.
Ascarya, Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, Seri
Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK), Bank Indonesia, Desember 2002.
Axilrod, Stephen H., Transformation of Market and Policy Instruments
for Open Market Operations, IMF Working Paper No. WP/95/146,
Washington, DC : International Monetary Fund, December 1995.
Bank for International Settlements, Monetary Policy Operating
Procedures in Emerging Market Economies, BIS Policy Papers No. 5,
March 1999, Basle : Monetary and Economic Department, Bank for
International Settlements, 1999.
Bank Indonesia, Laporan Tahunan (beberapa tahun penerbitan).
Bank of Korea, Monetary Policy in Korea, Bank of Korea, January 16,
2003.
Binhadi, Financial Deregulation, Banking Development, and Monetary
Policy : the Indonesian Experience, 1983 – 1993, Jakarta : Institut
Bankir Indonesia, 1995.
Boediono, Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di
Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1,
Jakarta : Bank Indonesia, 1998.
Borio, Claudio E.V., The Implementation of Monetary Policy in Industrial
Countries : a Survey, BIS Economic Papers No. 47, July 1997, Basle :
Monetary and Economic Department, Bank for International
Settlements, 1997.
37
OPERASI PASAR TERBUKA
38
Seri Kebanksentralan
Perry Warjiyo
BANK INDONESIA
Seri Kebanksentralan No. 11
Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter
Di Indonesia
Perry Warjiyo
Bibliografi: hlm. – 44
ISBN 979-3363-10-X
332.11
ii
Sambutan
iii
mengenai bagaimana kebijakan moneter bank sentral pada umumnya dan
Bank Indonesia khususnya mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi
dan keuangan, yang akhirnya dikomunikasikan pada pertumbuhan
ekonomi dan inflasi.
Akhirnya, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis yang telah berusaha secara maksimal
serta pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi berharga dalam
penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menambah
khazanah pengetahuan kita.
Perry Warjiyo
Direktur
iv
Pengantar
v
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan buku
ini, dan untuk itu kritik dan masukan akan sangat diharagai. Akhirnya,
semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan
kita.
vi
Daftar Isi
Sambutan iii
Pengantar v
1. Pendahuluan 1
2. Gambaran Umum Mekanisme Transmisi Moneter 3
a. Apa itu Mekanisme Transmisi Moneter? 3
b. Transmisi Moneter dan Proses Perputaran Uang 6
c. Pentingnya Bagi Teori dan Kebijakan Moneter 11
5. Perspektif ke Depan 42
Daftar Pustaka 44
vii
SERI KEBANKSENTRALAN
Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia
Isi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter di Indonesia
Pendahuluan
1
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
keuangan tersebut kepada tujuan yang ingin dicapai, yang pada umumnya
kestabilan harga, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi.1
Pertanyaannya adalah bagaimana proses pengaruh kebijakan moneter ini
terjadi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter
berpengaruh pada perputaran uang dalam ekonomi, yang tercermin pada
perkembangan jumlah uang beredar, suku bunga, kredit, nilai tukar, serta
berbagai variabel ekonomi dan keuangan lainnya. Bahkan kebijakan
moneter berpengaruh pula pada ekspektasi para pelaku ekonomi di pasar
keuangan dan di berbagai aktvitas ekonomi seperti ditunjukkan dengan
pelemahan mata uang di seluruh dunia setelah pernyataan Greenspan di
atas. Proses seperti ini menggambarkan suatu mekanisme yang dalam
teori ekonomi moneter dikenal dengan sebutan transmisi kebijakan
moneter.
Dalam tataran teori ekonomi moneter dan prakteknya di berbagai bank
sentral, transmisi kebijakan moneter juga selalu menjadi topik yang penting
dan menarik perhatian para ekonom dan otoritas moneter. Hal ini antara
lain tercermin pada dua pertanyaan yang dikemukakan Bernanke dan
Blinder (1992, hlm. 901), yaitu: (i) apakah kebijakan moneter dapat
mempengaruhi ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga, dan
(ii) jika ya, melalui mekanisme transmisi seperti apa pengaruh kebijakan
moneter terhadap ekonomi tersebut terjadi. Kedua pertanyaan ini
merupakan permasalahan yang penting dan kontroversial baik dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter oleh bank sentral maupun
dalam pembahasan teori ekonomi moneter oleh para ekonom.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan mengenai bagaimana
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter dapat mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi
dan keuangan juga sering muncul di masyarakat. Sesuai UU No. 23 Tahun
1999 yang telah diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004, tujuan Bank
Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu
kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah. Dalam melaksanakan
1
Untuk penjelasan lebih rinci mengenai kebijakan moneter dan penerapannya di Indonesia,
lihat Perry Warjiyo dan Solikin, Kebijakan Moneter di Indonesia, Buku Seri
Kebanksentralan No. 6, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia,
Desember 2003.
2
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter
2
Uraian lengkap mengenai instrumen moneter dibahas oleh Ascarya, Instrumen-instrumen
Pengendalian Moneter, Buku Seri Kebansentralan No. 3, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesi, 2002.
3
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Inflasi
Moneter ? Output
3
Secara rinci bekerjanya berbagai saluran transmisi kebijakan moneter ini akan diuraikan
dalam bagian ketiga dalam buku ini.
4
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter
5
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
6
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter
Skema 2:
Transmisi Moneter dalam Proses Perputaran Uang
Pasar Dana
dan Kredit
Pasar Modal
PELAKU Konsumsi Output
EKONOMI
Investasi Inflasi
Ekspor-Impor Employment
Keterangan
NFA = Net Foreign Assets OPT = Operasi Pasar Terbuka
NCG = Net Claims to Goverment NOI = Net Other Items
NFB = Net Claims to Banks SB = Surat-surat berharga
B = Base money PAB = Pinjaman Antar Bank
7
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
pasar uang valuta asing, maupun pasar modal. Adanya interaksi antara
bank sentral dengan perbankan seperti ini akan berpengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan volume maupun
harga-harga (suku bunga, nilai tukar, yield obligasi ataupun harga saham)
yang terjadi di ketiga pasar keuangan tersebut.
Secara lebih rinci terjadinya interaksi antara bank sentral dengan
perbankan dan pengaruhnya terhadap pasar keuangan dapat dijelaskan
sebagai berikut. Interaksi di pasar uang rupiah terjadi ketika bank sentral,
dalam melaksanakan kebijakan moneternya untuk mencapai sasaran akhir,
melakukan operasi moneter untuk mencapai sasaran operasional yang
ditetapkan, apakah target uang primer atau suku bunga jangka pendek.5
Sementara itu, bank-bank dalam pengelolaan likuiditasnya melakukan
transaksi di pasar uang rupiah untuk menjaga posisi rekeningnya di bank
sentral (bank reserve position) sesuai dengan ketentuan GWM yang
ditetapkan, penanaman dana dalam surat-surat berharga, maupun untuk
pinjam-meminjam antarbank (PUAB). Interaksi demikian akan
berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga jangka pendek seperti
suku bunga PUAB dan SBI, posisi uang primer dan bank reserve, transaksi
dan posisi investasi pada sekuritas jangka pendek seperti volume PUAB,
SBI, dan Treasury bills. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral ingin
melakukan pelonggaran kebijakan moneternya, ekspansi moneter yang
dilakukannya akan meningkatkan likuiditas di pasar uang rupiah sehingga
suku bunga SBI dan PUAB akan menurun.
Interaksi di pasar uang valuta asing terjadi ketika di satu sisi bank
sentral dalam kondisi tertentu perlu melakukan sterilisasi atau intervensi
di pasar valuta asing sebagai bagian dari operasi moneter untuk mencapai
sasaran operasional yang ditetapkan dan sekaligus dalam rangka upaya
stabilisasi nilai tukar. Di sisi lain, bank-bank dalam operasinya melakukan
transaksi valuta asing baik untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk
memenuhi permintaan nasabahnya. Interaksi antara bank sentral dan
perbankan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar dan
volume transaksi valuta asing maupun posisi cadangan devisa yang
dimiliki bank sentral dan perbankan. Sebagai contoh, apabila bank sentral
5
Untuk penjelasan mengenai sasaran akhir, sasaran antara, sasaran operasional, dan
instrumen dalam kerangka operasional kebijakan moneter, lihat Perry Warjiyo dan Solikin,
op. cit., hal. 23-25.
8
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter
9
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
10
Gambaran Umum Transmisi Kebijakan Moneter
11
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
12
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
13
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Saluran Uang
Seperti dikemukakan di atas, transmisi kebijakan moneter melalui saluran
uang (money channel) mengacu pada dominasi peranan uang dalam
perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Quantity Theory of
Money (Fisher, 1911). Teori ini pada dasarnya menggambarkan kerangka
kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis
antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi, yang dinyatakan dalam suatu
identitas yang dikenal sebagai “The Equation of Exchange” sebagai
berikut:
MV = PT
14
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
Skema 3:
Saluran Transmisi Moneter—Inside the Black Box
Credit channels
Bank lending Loan Supply-Demand
Tobin’s q
Equity-Property prices
Wealth effect
Expection Channel
15
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
16
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
Saluran Kredit
Seperti dijelaskan di atas, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui
saluran uang secara implisit beranggapan bahwa semua dana yang
dimobilisasi perbankan dari masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1,
M2) dipergunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran
kredit perbankan. Dalam kenyataannya, anggapan seperti tidak selamanya
benar. Selain dana yg tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga
dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi
perbankan itu sendiri seperti pemodalan (CAR), jumlah kredit macet
(NPL), dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua
permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank-bank, khususnya
karena kondisi keuangan debitur yang dinilai oleh bank tidak feasibel
antara lain karena tingginya rasio utang terhadap modal (leverage), risiko
kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak
simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu
dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.
6
Cara lain yang dapat ditempuh untuk menentukan jumlah uang beredar adalah dengan
memperkirakan permintaan uang oleh masyarakat, misalnya dengan fungsi: M/P = h (Y, r,
e) dimana Y=output riil, r=suku bunga, dan e=nilai tukar.
17
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Skema 5:
Mekanisme Transmisi Saluran Kredit
18
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
19
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Skema 6:
Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga
Suku Bunga
Kebijakan Suku Bunga Deposito
• SBI
Moneter Transmisi di
• PUAB
Sektor Keuangan
Suku Bunga Kredit
Konsumsi Inflasi
Transmisi di
Permintaan
Sektor Riil Agregat
Output
Investasi Gap
20
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
21
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Skema 7:
Mekanisme Transmisi Saluran Nilai Tukar
Transmisi di
Risiko Nilai Tukar Sektor Keuangan
Harga-harga Inflasi
Transmisi di Traded Goods
Sektor Riil
pasokan valuta asing oleh bank sentral baik dalam kaitannya dengan
operasi pengendalian moneter melalui sterilisasi valuta asing maupun
intervensi dalam rangka upaya stabilisasi nilai tukar. Sementara itu,
pengaruh tidak langsung terhadap nilai tukar terjadi karena kebijakan
moneter tersebut akan mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar,
dan karenanya perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri
(interest rate diffierential), yang selanjutnya berpengaruh terhadap
besarnya aliran dana luar negeri serta permintaan dan penawaran di pasar
valuta asing.
Pada tahap selanjutnya, pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga dapat
terjadi baik secara langsung (direct exchange rate pass-thorugh) maupun
secara tidak langsung (indirect exchange rate pass-through). Pengaruh
secara langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi
pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di
masyarakat, khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor dari luar
negeri baik sebagai barang jadi maupun bahan baku dan barang modal.
Sementara itu, pengaruh secara tidak langsung terjadi karena perubahan
nilai tukar mempengaruhi khususnya komponen ekspor dan impor dalam
permintaan agregat. Perkembangan ini akan berdampak pada besarnya
output riil dalam ekonomi yang pada akhirnya akan menentukan besarnya
tekanan inflasi dari sisi kesenjangan output.
22
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
Skema 8:
Mekanisme Transmisi Saluran Harga Aset
Suku Bunga
Kebijakan • SBI Harga Aset Financial Transmisi di
Moneter • PUAB • Yield Obligasi Sektor
• Deposito • Harga Saham Keuangan
• Kredit
Konsumsi Inflasi
Transmisi
Harga Aset Phisik Permintaan
di Sektor
Harga Properti Agregat Output
Riil
Harga Emas Gap
Investasi
23
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
tersebut (substitution and income effects). Selain itu, pengaruh harga aset
terhadap sektor riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh perusahaan.
Hal ini disebabakan oleh perubahan harga aset tersebut, baik yield obligasi,
return saham dan harga aset properti, berpengaruh terhadap biaya modal
yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi oleh perusahaan.
Selanjutnya, pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi tersebut
akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan
menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi.
Saluran Ekspektasi
Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan
keuangan, saluran ekspektasi (expectation channel) semakin penting dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Para pelaku
ekonomi, dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan pada
prospek ekonomi dan keuangan ke depan. Mereka akan membentuk
persepsi tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai
indikator ekonomi dan keuangan. Di samping persepsi yang bersifat
individual, eskpektasi para pelaku ekonomi dimaksud biasanya akan
dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai indikator ekonomi dan
keuangan tersebut serta antisipasinya terhadap langkah-langkah kebijakan
ekonomi yang ditempuh pemerintah dan bank sentral.
Berkaitan dengan kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah
ekspektasi inflasi yang timbul di masyarakat. Di samping pengaruh
perkembangan inflasi yang telah terjadi (inertia), ekspektasi inflasi pada
umumnya dipengaruhi juga oleh kebijakan moneter yang ditempuh oleh
bank sentral, yang ditunjukkan pada perkembangan suku bunga dan nilai
tukar. Di sektor keuangan, seperti dijelaskan sebelumnya, kebijakan
moneter bank sentral akan mempengaruhi perkembangan suku bunga
jangka pendek (misalnya SBI dan PUAB), yang selanjutnya melalui
transmisi saluran suku bunga akan berpengaruh pada perkembangan suku
bunga perbankan (deposito dan kredit) serta melalui transmisi saluran
nilai tukar akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar. Semakin
kredibel kebijakan moneter, yang antara lain ditunjukkan pada kemampuan
dalam mengendalikan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar, semakin kuat
pula dampaknya terhadap ekspektasi inflasi masyarakat. Dalam kondisi
24
Transmisi Moneter di Indonesia
Skema 9:
Mekanisme Transmisi Saluran Ekspektasi
Suku Bunga
• SBI
Kebijakan • PUAB Nilai Tukar Transmisi di Sektor
Moneter • Deposito Keuangan
• Kredit
25
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
7
Untuk uraian mengenai penerapan inflation targeting framework di Indonesia, lihat
Alamsyah dkk (2000), Sitorus dkk (2000), Boediono (2000), dan Warjiyo (2002).
8
Seperti dikemukakan, tujuan Bank Indonesia sesuai dengan UU adalah untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dalam artian kestabilan harga (inflasi) dan nilai
tukar. Dalam kaitan ini, sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang ditetapkan,
26
Transmisi Moneter di Indonesia
perkembangan nilai tukar rupiah didasarkan pada permintaan dan penawaran sesuai dengan
mekanisme pasar. Bank Indonesia akan tetap menjaga kestabilan nilai tukar rupiah tersebut
terutama untuk menghindari gejolak yang berlebihan dan dalam rangka mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan, bukan untuk mencapai suatu target nilai tukar rupiah pada tingkat
atau kisaran tertentu.
27
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
moneter tersebut terhadap ekonomi riil dan inflasi, seperti telah dijelaskan
secara panjang lebar dalam bagian sebelumnya, bekerja melalui berbagai
saluran transmisi moneter. Di sinilah letak pentingnya pemahaman yang
jelas dan lengkap mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter untuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara forward looking
tersebut.
Studi mengenai transmisi moneter juga penting untuk memahami
kekuatan relatif dari masing-masing saluran dalam mentransmisikan
kebijakan moneter dalam rangka mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan.
Studi seperti ini sangat berguna dalam menyusun dan memilih berbagai
indikator kunci dari perkembangan ekonomi dan keuangan sebagai dasar
perumusan kebijakan moneter. Seperti ditekankan oleh Svensson (1997),
mengingat penggunaan sasaran antara (selain prakiraan inflasi ke depan)
tidak lagi tepat dalam inflation targeting framework, bank-bank sentral
yang menerapkan inflation targeting framework lebih mengutamakan
penggunaan beberapa indikator ekonomi dan keuangan tertentu sebagai
policy indicators, yaitu indikator yang mengandung informasi mengenai
pergerakan ekonomi dan inflasi ke depan.9 Berbagai policy indicators
tersebut dapat disusun melalui studi mekanisme transmisi moneter karena
studi demikian dapat memberikan petunjuk mengenai indikator-indikator
ekonomi dan keuangan mana yang paling berperan dalam
mentransmisikan kebijakan moneter ke inflasi dan output riil. Sebagai
contoh adalah Monetary Condition Index (MCI) yang pernah diterapkan
di Kanada dan New Zealand ataupun besaran uang beredar dalam arti
luas di Spanyol.
9
Mengingat policy indicators tersebut mengandung informasi yang dapat menunjukkan
pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan, maka penggunaannya lebih ditekankan pada
fungsinya sebagai dasar perumusan kebijakan moneter yang saat ini ditempuh agar dapat
mempengaruhi dan mengarahkan pergerakan inflasi tersebut sesuai sasaran yang ditetapkan.
Dengan kata lain, policy indicators tersebut bukalah berfungsi sebagai sasaran antara
(intermediate target) itu sendiri yang harus dicapai oleh kebijakan moneter.
28
Transmisi Moneter di Indonesia
Skema 10:
Mekanisme Transmisi dan Kebijakan Moneter
Uang
Suku Bunga
Beredar
Pasar
Permintaan
Kredit Bank Domestik
INSTRUMEN Tekanan
Permintaan Inflasi INFLASI
KEBIJAKAN Harga Asset Aggregat
MONETER Domestik
Output
Ekspektasi Permintaan GAP
Eksternal
29
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
30
Transmisi Moneter di Indonesia
Saluran Uang
Sebelum menjelaskan hasil temuan dari studi transmisi moneter di atas,
ada baiknya disampaikan terlebih dahulu bagaimana mekanisme transmisi
kebijakan moneter bekerja melalui saluran uang di Indonesia. Transmisi
melalui saluran uang telah sejak lama dijadikan dasar kebijakan moneter
di Indonesia, termasuk selama Indonesia berada dalam Program IMF dari
tahun 1997 hingga tahun 2003 yang lalu. Mekanisme kebijakan
moneternya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awal tahun, Bank
Indonesia menetapkan sasaran inflasi yang akan dicapai pada tahun yang
31
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
32
Transmisi Moneter di Indonesia
33
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Saluran Kredit
Studi yang dilakukan Agung dkk (2002) merupakan kelanjutan dari studi
mengenai saluran kredit yang dilakukan sebelumnya (Agung, 1998;
Agung, 2000; Agung dkk, 2001). Secara keseluruhan studi ini memberikan
bukti empiris yang lengkap mengenai bekerjanya saluran kredit perbankan
(banks lending channel) dalam transmisi moneter di Indonesia sebelum
dan sesudah krisis. Mempertimbangkan kenyataan adanya ketergantungan
debitur terhadap kredit perbankan, studi ini lebih memfokuskan pada
pertanyaan apakah kebijakan moneter berpengaruh besar terhadap volume
kredit bank. Tiga metode dipergunakan dalam studi ini. Pertama, dengan
menggunakan analisis VAR, studi ini menganalisis bagaimana perubahan
suku bunga kebijakan moneter berpengaruh terhadap perilaku bank dalam
operasinya, baik terhadap deposito, kredit, maupun surat-surat berharga.
Kedua, permintaan dan penawaran kredit dianalisis untuk menentukan
apakah ketidakseimbangan dalam pasar kredit lebih disebabkan oleh
pasokan kredit sebagaimana diindikasikan oleh saluran kredit. Ketiga,
data panel individual bank diinvestigasi untuk mengetahui apakah
kebijakan moneter berdampak berbeda terhadap karakteristik bank
terutama ditinjau dari kekuatan modal dan besarnya aset.
Bukti dari analisis data agregat menunjukkan bahwa kebijakan moneter
berpengaruh terhadap kredit perbankan dengan tenggat waktu karena
kemampuan bank dalam menghindari penurunan volume deposito dengan
menjual surat-surat berharga yang dimilikinya. Ini dilakukan bank untuk
memenuhi komitmen kredit yang telah dilakukannya sebelum terjadi
perubahan kebijakan moneter tersebut. Bukti empiris lebih jauh
menunjukkan bahwa setelah perubahan kebijakan moneter terdapat “flight
to quality” atas deposito dari bank nasional ke bank asing dan campuran.
Kondisi ini dapat menerangkan mengapa kredit dari bank asing dan
campuran tidak terlalu sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter
dibanding bank swasta nasional.
34
Transmisi Moneter di Indonesia
35
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
36
Transmisi Moneter di Indonesia
37
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
38
Transmisi Moneter di Indonesia
39
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Hasil studi di atas juga dikonfirmasi oleh bukti empiris dari survei
kepada bank-bank, perusahaan, dan rumah tangga. Survei kepada bank-
bank menunjukan bahwa faktor nonekonomi, terbatasnya pasokan
dibanding dengan permintaan valuta asing, dan perkembangan nilai tukar
regional merupakan tiga pengaruh utama pergerakan nilai tukar rupiah.
Kebanyakan bank memandang bahwa intervensi valuta asing yang
dilakukan Bank Indonesia sebagai instrumen kebijakan moneter yang
paling ampuh mempengaruhi nilai tukar rupiah. Hanya beberapa bank
yang berpendapat bahwa suku bunga SBI dapat mempengaruhi nilai tukar.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa dalam kondisi ketika premi risiko
karena faktor nonekonomi masih tinggi, instrumen moneter melalui suku
bunga saja kurang efektif dalam mengendalikan nilai tukar rupiah.
Instrumen moneter ini perlu dibarengi dengan langkah intervensi valuta
asing maupun penerapan prinsip kehati-hatian (regulasi) untuk stabilisasi
nilai tukar rupiah.
Perlu dicatat bahwa dengan menguat dan stabilnya nilai tukar rupiah
sejak akhir tahun 2001 (periode setelah studi di atas), maka pengaruh
nilai tukar terhadap inflasi juga semakin menurun. Hal ini terlihat dengan
cukup rendahnya inflasi khususnya pada tahun 2003 yang lalu. Di samping
karena mulai stabilnya kondisi sosial politik di dalam negeri dan beberapa
perbaikan dalam proses pemulihan ekonomi nasional, menguatnya nilai
tukar rupiah tersebut juga didukung oleh kebijakan moneter yang ditempuh
Bank Indonesia baik melalui intervensi di pasar valuta asing maupun
operasi pengendalian moneter. Analisis tersebut menunjukkan semakin
pentingnya saluran nilai tukar untuk dipantau dan diperhatikan dalam
transmisi kebijakan moneter di Indonesia.
40
Transmisi Moneter di Indonesia
Saluran Ekspektasi
Dengan mempertimbangkan krisis ekonomi telah mengubah perilaku
ekspektasi inflasi di Indonesia, Wuryandani dkk (2002) memfokuskan
studi untuk menganalisis bekerjanya transmisi moneter melalui saluran
ekspektasi inflasi untuk periode setelah krisis. Dengan menggunakan data
ekspektasi inflasi dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang
dilakukan Bank Indonesia untuk periode dari Juli 1997 sampai dengan
Desember 2000, studi tersebut menyimpulkan bahwa ekspektasi inflasi
lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar, inflasi pada periode
yang lalu (inertia), dan perkembangan suku bunga.10 Bukti empiris ini
juga didukung oleh hasil survei pada bank-bank, perusahaan, dan rumah
tangga.
10
Pengujian juga dilakukan dengan menggunakan indikator lain untuk mengukur ekspektasi
inflasi, misalnya dari hasil Survei Ekspektasi Konsumen (SEK) ataupun dengan Teori Fisher.
Hasilnya menunjukkan indikator ekspektasi inflasi dari SKDU yang memberikan perilaku
yang konsisten.
41
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Perspektif ke Depan
Beberapa studi yang telah diuraikan di atas menunjukkan terjadinya
perubahan mendasar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di
Indonesia sejak terjadinya krisis tahun 1997. Seperti telah dijelaskan,
pergerakan nilai tukar menjadi lebih penting dalam mempengaruhi
ekonomi riil dan harga, sementara efektivitas kebijakan moneter dalam
mempengaruhi nilai tukar diperlemah dengan masih besarnya premi risiko
yang berasal dari faktor nonekonomi. Peranan ekspektasi juga semakin
penting dalam mempengaruhi inflasi, ketika perilaku ekspektasi inflasi
42
Perspektif ke Depan
43
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Daftar Pustaka
44
Daftar Pustaka
45
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
46
Daftar Pustaka
47
Seri Kebanksentralan No. 23
INFLASI DI INDONESIA :
KARAKTERISTIK DAN
PENGENDALIANNYA
Tim Penulis1
G.A. Diah Utari
Retni Cristina S.
Sudiro Pambudi
1 Penulis adalah Peneliti di Bank Indonesia Insitute. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Sugeng, Kepala
BI Institute, Sdri Diana Permatasari dari Divisi Inflasi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter dan Sdr.
Handri Adiwilaga dari Divisi Asesmen Ekonomi Regional Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter atas
masukan dan kontribusi bahan dalam penyusunan buku ini. Tulisan dalam buku ini menjadi tanggung jawab
penulis sepenuhnya.
i
UTARI, G.A. Diah ; CRISTINA, Retni ;
PAMBUDI, Sudiro
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan
Pengendaliannya / G.A. Diah Utari,
Retni Cristina S, Sudiro Pambudi. -- Jakarta
: BI Institute, 2016
Bibliografi: hlm. 62
ISSN 2528-1933
ii
Sambutan
Dr. Sugeng
Direktur Eksekutif
iii
Pengantar
iv
dalam pengendalian inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI), baik di
tingkat pusat maupun daerah (TPID), juga diulas di dalam buku ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat, dan selamat membaca.
Penulis
v
Daftar Isi
PENGANTAR........................................................................................... iv
1. PENDAHULUAN............................................................................... 1
2. KONSEP DAN TEORI INFLASI..................................................... 4
2.1. Pengertian Inflasi............................................................................... 4
2.2. Pengukuran Inflasi............................................................................. 5
2.3. Teori Inflasi........................................................................................ 8
2.4. Komponen Inflasi............................................................................... 15
2.5. Dampak Inflasi................................................................................... 20
3. INFLASI DI INDONESIA................................................................. 24
3.1. Pengukuran Inflasi di Indonesia......................................................... 24
3.2. Dinamika & Karakteristik Inflasi di Indonesia................................. 28
3.3. Inflasi Daerah..................................................................................... 35
3.4. Determinan Inflasi Indonesia............................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 62
vi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Grafik
vii
Halaman ini sengaja dikosongkan
viii
Pendahuluan
1. PENDAHULUAN
1
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai ketika berbagai hambatan
yang berkontribusi atas terciptanya inflasi dapat diminimalkan. Kendala dan
permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah, di antaranya, adalah biaya
distribusi yang tinggi, rendahnya efisiensi produksi, dan akses pembiayaan
yang mahal. Selain itu, faktor struktur pasar yang tidak sempurna, juga turut
memicu kenaikan harga barang.3 Hambatan-hambatan tersebut pada akhirnya
memengaruhi daya saing produk domestik.
Sesuai dengan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 6 Tahun 2009 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya
disebut UU Bank Indonesia), maka tugas pokok Bank Indonesia (BI) adalah
menjaga kestabilan nilai Rupiah. Kestabilan nilai Rupiah dalam pengertian
ini adalah terhadap barang dan jasa yakni inflasi dan kestabilan terhadap nilai
tukar negara lain. Untuk melakukan tugas tersebut, BI melakukan kebijakan
moneter yaitu mengendalikan jumlah uang beredar yang merupakan besaran
moneter.
Dalam kenyataannya, inflasi di Indonesia, sebagaimana pula di negara
berkembang lainnya, tidak hanya merupakan fenomena moneter saja tetapi juga
banyak dipengaruhi oleh permasalahan struktural di sisi supply. Karena itu,
upaya mengendalikan inflasi tidak cukup hanya dilakukan dengan instrumen
moneter saja yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga harus
disertai pembenahan di sektor riil guna mengeliminasi hambatan-hambatan
struktural yang ada dalam perekonomian nasional. Diperlukan sinergi antara
Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah,
untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil. Mengingat pentingnya
pengelolaan inflasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkualitas,
maka pemahaman inflasi di Indonesia oleh para pemangku kebijakan sangat
penting. Dengan pemahaman yang sama diharapkan upaya pengendaliannya
bisa dilakukan dengan lebih efektif.
3 Prastowo dkk(2010) menyatakan terdapat beberapa faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku
pembentukan harga, khususnya produk manufaktur, yaitu faktor struktur pasar yang cenderung terkonsentrasi
dan dugaan terjadinya tacit collusion, serta marjin keuntungan yang relatif besar. Sementara untuk pembentukan
harga komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor siklus tanam/panen dan faktor alam.
2
Pendahuluan
Diktat pengajaran ini disusun sebagai salah satu referensi dalam pengajaran
Kebanksentralan di tingkat dasar dan merupakan pengkinian atas Buku Seri
Kebanksentralan (BSK) mengenai inflasi.4 Diktat ini mengulas mengenai
konsep dasar inflasi, karakteristik inflasi di Indonesia dan perbandingannya
dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, dibahas pula mengenai
berbagai faktor penyebab inflasi, mekanisme penetapan sasaran inflasi, serta
upaya pengendalian inflasi di Indonesia.
4 Buku Seri Kebanksentralan mengenai Inflasi disusun oleh Suseno dan Siti Astiyah. Buku ini dikeluarkan oleh
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Tahun 2009. Buku ini selanjutnya diperbaharui dan diterbitkan
oleh BI Institute sebagai bahan pengajaran Kebanksentralan.
3
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
4
Konsep dan Teori Inflasi
5
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
5 Jalur wealth effect melihat sejauh mana belanja konsumen berubah mengikuti nilai kekayaan yang dimiliki
6
Konsep dan Teori Inflasi
Contoh :
1. Penghitungan inflasi tahunan (yoy)
Apabila indeks harga konsumen dengan tahun dasar 2007=100 pada
September 2012 sebesar 134.45 dan angka indeks tersebut dengan tahun
dasar yang sama pada September 2013 menjadi 145,74, maka inflasi
tahunan pada bulan September 2013 adalah 8,40%.2 Perkembangan
kenaikan harga sejumlah barang dan jasa secara umum dalam suatu
periode waktu ke waktu tersebut disebut sebagai laju inflasi (inflation
rate).
2. Penghitungan inflasi triwulanan (qtq)
Apabila angka indeks harga konsumen pada kuartal I (Maret) 2013 adalah
sebesar 138,78 dan pada kuartal II (Juni) 2013 adalah sebesar 140,03,
maka inflasi kuartalan (qtq) pada kuartal II 2013 adalah sebesar 0,90%
3. Penghitungan inflasi bulanan (mtm)
Apabila angka indeks harga konsumen pada Mei 2014 adalah 111,35
kemudian pada bulan Juni 2014 indeks harga konsumen berubah menjadi
112,01, maka inflasi bulanan (mtm) pada bulan Juni 2014 adalah sebesar
0,43%.
7
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
6 Mankiw (2012)
8
Konsep dan Teori Inflasi
Gambar 2‑1.
Interaksi Kurva Permintaan dan Penawaran Uang
����������� ������������
����������������
���
� �
�������� ��������
��� ����
�
��� �
������������ ������������
���������� �������������
��� �
������������
� ��������
������������������� ��������������
������������
���������������������
9
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Gambar 2‑2.
Dampak Kebijakan Moneter Bank Sentral
��� ����
��������������� �����������
���� � �������������
��� �
�
��� �
������������
� ��������
�� ��
��������������
���������������������
10
Konsep dan Teori Inflasi
11
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
12
Konsep dan Teori Inflasi
7 Term of trade menggambarkan nilai ekspor suatu negara relatif terhadap nilai impor. TOT dihitung dari nilai
ekspor dibagi dengan nilai impor. Semakin besar perbandingan menunjukkan perokonomian yang lebih sehat
karena negara mendapatkan lebih banyak pendapatan ekspor dibandingkan pengeluaran untuk impor.
13
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
14
Konsep dan Teori Inflasi
Gambar 2.3.
Disagregasi Inflasi
�������
����
�����������
���������
����������
�������
��������
15
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
1. Inflasi Inti
Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran, lingkungan
eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang),
dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Berdasarkan pengertiannya, ada 2 konsep dalam pengertian inflasi inti.
Pertama, inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung “menetap”
atau persisten (persistent component) di dalam setiap pergerakan laju
inflasi. Kedua, inflasi inti sebagai kecenderungan perubahan harga-harga
secara umum (generalized component).
Quah dan Vahey (1995) mendefinisikan inflasi inti sebagai komponen
inflasi yang tidak memiliki pengaruh terhadap output riil dalam jangka
menengah-panjang. Secara implisit mereka ingin mengatakan bahwa
inflasi inti merupakan fenomena moneter. Oleh karena itu, komponen
inflasi yang persisten ini akan tercermin pada ekspektasi masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, maka supply shock yang memberikan
pengaruh permanen terhadap tingkat harga (misalnya, pengenaan tarif
bea masuk atas produk impor oleh pemerintah), namun tidak memberikan
pengaruh terhadap laju inflasi dalam jangka menengah-panjang, tidak
termasuk di dalam pengertian inflasi inti. Oleh karena itu, inflasi inti
terkait dengan inflasi yang dapat diantisipasi; sedangkan inflasi sesaat
terkait dengan unsur inflasi yang tidak dapat diantisipasi kejadiannya.
Inflasi inti atau core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan
underlying inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau
dikendalikan oleh bank sentral, karena lebih mencerminkan karakteristik
perkembangan harga yang bersifat persisten. Hal ini menyebabkan
penggunaan inflasi inti sebagai sasaran operasional dapat memberikan
sinyal yang tepat dalam memformulasikan kebijakan moneter. Sebagai
contoh, dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock) yang
mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan mengetatkan uang
beredar sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Di samping itu, kebijakan
tersebut dapat juga untuk menyesuaikan kembali pertumbuhan ekonomi
pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas perekonomian.
16
Konsep dan Teori Inflasi
17
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Di mana:
p = headline inflation (seperti yang diukur oleh IHK)
π = inflasi inti (core inflation atau komponen yang persisten)
ε = inflasi sesaat (noise atau komponen yang transient)
c = inflasi yang berasal dari perubahan kebijakan pemerintah.
Komponen inflasi inti (π) merupakan pergerakan harga-harga secara
umum yang cenderung persisten dan terkait dengan ekspektasi masyarakat
serta kondisi demand dan supply. Sementara itu, komponen ε merupakan
perkembangan harga-harga yang bersifat sementara, baik yang disebabkan
oleh gejolak unsur musim, maupun gangguan di sisi pasokan (produksi
dan distribusi). Secara teoritis, pengaruh unsur musim dan gangguan di
sisi pasokan dalam jangka panjang akan cenderung saling meniadakan
sehingga diharapkan nilai ε = nol. Sementara itu, komponen c yang berasal
dari perubahan kebijakan pemerintah (baik di bidang pengendalian harga,
perdagangan, maupun perpajakan) akan mengakibatkan terjadinya kenaikan/
18
Konsep dan Teori Inflasi
19
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
20
Konsep dan Teori Inflasi
21
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
8 Pajak progresif adalah pengenaan pajak secara berjenjang sejalan dengan peningkatan pendapatan atau laba
yang diperoleh. Semakin besar pendapatan atau laba maka tarif pajak akan semakin besar.
22
Konsep dan Teori Inflasi
1) Redistribusi Pendapatan
Salah satu biaya inflasi yang tak terduga adalah redistribusi pendapatan
secara arbitrary dari kreditur (lender) kepada debitur (borrower). Dalam
kondisi inflasi, debitur akan lebih diuntungkan dibandingkan kreditur.
Pembayaran kembali pokok dan bunga atas uang yang dipinjam secara
riil menjadi lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Dalam kondisi ini
maka kreditur menjadi pihak yang dirugikan.
2) Biaya lainnya yang tergolong biaya yang tak terduga adalah biaya karena
nominal kontrak yang bersifat tetap. Pada umumnya, kontrak jangka
panjang dibuat dengan memasukkan perkiraan inflasi ke dalamnya.
Masyarakat yang menggunakan kontrak tetap (fixed) akan mengalami
kerugian jika inflasi lebih tinggi dibandingkan perkiraan semula. Sebagai
contoh, pembayaran pensiun yang dibayarkan dengan sistem kontrak
tetap akan merugikan penerimanya ketika inflasi bergerak naik karena
nilai uang yang semakin rendah.
23
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
3. INFLASI DI INDONESIA
24
Inflasi di Indonesia
Barang dan jasa yang dimasukkan dalam IHK untuk menghitung inflasi
telah mengalami perkembangan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Beberapa
hal yang melatarbelakangi perkembangan penghitungan inflasi di Indonesia, di
antaranya, adalah: i) perubahan pola konsumsi masyarakat akibat perubahan
teknologi, perilaku pendapatan dan selera; ii) terjadinya krisis/shock sehingga
perlu penyesuaian tahun dasar; iii) perkembangan jenis serta kualitas barang
dan jasa; iv) adanya perubahan kemajuan pasar, outlet maupun supermarket.
Pada awal tahun 1950-an, IHK hanya memperhitungkan harga sejumlah
bahan makanan. Daerah yang dipergunakan sebagai wilayah survei juga masih
sangat terbatas, yaitu hanya beberapa kota besar di Indonesia yakni: Jakarta,
Surabaya, Medan, Makasar, dan Pontianak. Dalam perkembangannya, angka
indeks harga konsumen tersebut terus mengalami penyempurnaan. Jumlah
barang dan jasa yang diperhitungkan dalam angka indeks terus mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi konsumen
di Indonesia. Demikian juga dengan cakupan daerah yang diperhitungkan
dalam wilayah survei.
Mulai Januari 2014, IHK disajikan dengan menggunakan tahun dasar
2012=100 (Survei Biaya Hidup 2012) dan mencakup 82 kota yang terdiri
dari 33 ibu kota propinsi dan 49 kota-kota besar di seluruh Indonesia. IHK
sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007=100 (Survei Biaya Hidup 2007)
dan hanya mencakup 66 kota.
Perkembangan jumlah barang dan jasa serta cakupan daerah survei untuk
penghitungan angka indeks dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan
sebagaimana terlihat pada Tabel 3-1.
Tabel 3‑1.
Keranjang IHK
����������� ������������������
������� �����������
��������� ��������
���� ���� ������� �����������
����������� ��������� ������� �����������������������
����������� ������������������ ������� ������������������������
������������������� ����������������� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
������������������� ���� ������� ������������������������
25
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Tabel 3‑2.
Struktur Pengelompokan IHK
��������������������������� ���������������������������
���� ������
�� ������������� �����
������������������������������������� ����
������������������������� ����
���������� ����
�������������� ����
������������������������������ ����
������������� ����
��������������� ����
����������� ����
������������� ����
���������������� ����
���������������������������
��������������������� ���������������������������
����
��� ����
��������������������������������������� �����
������
�� ������������
������������� �����
�����
�����������������������������
������������������������������������� ����
����
�������������������������������
�������������������������
26 ����
����
���� ������������������������������������������
���������� �����
����
���������������������
�������������� �����
����
�������������������������������
������������������������������ ����
����
�������������������������
������������� ����
����
���� ������
�� ������������� �����
������������������������������������� ����
������������������������� ����
���������� ����
Inflasi di Indonesia
�������������� ����
������������������������������ ����
������������� ����
��������������� Tabel 3‑2. ����
����������� Struktur Pengelompokan IHK Lanjutan ����
������������� ����
����������������
��������������������������� ����
���������������������������
��������������������� ����
��� ����
��������������������������������������� ������
�����
�� �������������
������������ �����
�������������������������������������
����������������������������� ����
�������������������������
������������������������������� ����
���� ����������
������������������������������������������ ����
�����
��������������
��������������������� ����
�����
������������������������������
������������������������������� ����
�������������
������������������������� ����
���������������
���������������������������� ����
��� �����������
������� ����
�������������
����������������� ����
����������������
�������������� ����
���������������������
����������������� ����
��� ���������������������������������������
������������������������������� �����
����
�� ������������
��������� �����
����
�����������������������������
�������������� ����
�������������������������������
����������� ����
���� ����������������������
������������������������������������������ �����
����
���������������������
������������������������������� �����
����
�������������������������������
��� ����������������������������������� ����
�������������������������
��������������� ����
����������������������������
����������������������� ����
��� ���������������������������������
������� ����
�����������������
�������� ����
��������������
��������� ����
�����������������
���� ���������������������������������������� ����
�����
�������������������������������
������������ ����
�����
�� ���������
������������������������� ����
��������������
����������������������������� ����
�����������
������������� ����
���������������������� ����
������������������������������
������������������������������� ����
��� ����������������������������������� ����
��������������� ����
Selain pembobotan terhadap barang dan jasa, pembobotan
����������������������� ����juga dilakukan
terhadap���������������������������������
kota yang disurvei, yaitu 82 kota di Indonesia yang ���� menjadi basis
�������� ����
penghitungan
��������� inflasi nasional. Inflasi Indonesia sebagian besar ���� merupakan
kontribusi inflasi daerah dengan bobot yang mencapai 80,77 %�����
���� ���������������������������������������� (di luar Jakarta).
������������ �����
Mengingat sumbangan inflasi daerah terhadap pembentukan inflasi nasional relatif
������������������������� ����
besar, �����������������������������
upaya pengendalian inflasi dalam rangka menciptakan stabilitas ���� harga di
tingkat nasional hanya dapat diwujudkan jika stabilitas harga terjadi pada tingkat
������������� ����
daerah. BPS menentukan besarnya bobot penimbang kota berdasarkan proporsi
������������������������������
27
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
jumlah rumah tangga ekonomi tipikal9 yang ada di daerah tersebut terhadap
nasional.
Gambar 3-1 menunjukkan pembobotan IHK per kawasan yang
mengindikasikan bahwa bobot penimbang kota terbesar sebagian besar adalah
di Jawa sebesar 64,08%, diikuti oleh kawasan Sumatera sebesar 18,46%,
Kalimantan 5,95%, Sulawesi 5,59%, Bali Nusra 4,12% dan Papua 1,8%.
Gambar 3‑1.
Bobot Inflasi di Indonesia Per Kawasan
������� ������
�������
������������ �����������
����������� ������
�����������
�������
������������ ������
�����������
9 Rumah tangga tersebut menerima pendapatan juga sekaligus mengeluarkan untuk kegiatan konsumsinya.
10 Hyperinflasi terjadi ketika nilai inflasi mencapai lebih dari 100%.
28
Inflasi di Indonesia
Pada akhir 1960 dan akhir 1990, Indonesia mengalami periode inflasi
yang cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 10-12% per tahun, kecuali pada
saat terjadi shock eksternal. Di antara periode tersebut, tercatat 3 peristiwa
shock eksternal dan dua di antaranya karena kenaikan harga minyak dunia
yaitu tahun 1973-1974 dan tahun 1979-1980. Kenaikan harga minyak
dunia tersebut membuat penerimaan pemerintah dari minyak meningkat
tinggi sehingga meningkatkan jumlah uang beredar yang mendorong inflasi
meningkat tajam. Pada kedua periode tersebut inflasi masing-masing tercatat
sebesar 35% dan 20% per tahun.
Shock eksternal selanjutnya adalah krisis keuangan Asia pada 1997-1999.
Pada saat puncak krisis di 1998, inflasi Indonesia tercatat sebesar 60%. Pada
saat itu tidak terjadi hiperinflasi karena Pemerintah pada akhirnya melakukan
kebijakan stabilitasi perekonomian yang didukung IMF.
Grafik 3‑1.
Dinamika Inflasi IHK Indonesia
���� �����
��������������������������
����
��� �����������������
�����������������
����������
���
�����������������������
��� ��� ����������������������
��������������������
�����������������
���������
��� ���
��� ��� ��� ���
�� ��
�� �� �� � � �� �� ���� � ���� �� � ���� � � � � � � � � �� � � � � �� � ���� � � ���� � �� � � � � � �
�
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
�� �
��
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
��
������������������
11 Rata-rata inflasi sejak 1960 hingga 2014 dengan mengeluarkan periode yang memiliki inflasi > 20% adalah
sebesar 9,2%
29
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
12 Laju inflasi dunia mengalami peningkatan pada tahun 2005 dan tercatat sebesar 3,80% meningkat dari 3,60%
pada tahun 2004. Peningkatan laju inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak. Pada tahun 2005 tercatat
bahwa harga minyak dunia adalah US$56,5 per barel yang meningkat dari US$39,1 per barel pada tahun 2004.
Dalam rangka meredam tekanan laju inflasi ini, beberapa bank sentral melakukan kebijakan moneter yang
cenderung ketat
30
Inflasi di Indonesia
harga BBM oleh Pemerintah. Inflasi IHK berada pada posisi tertinggi di
Agustus 2013 sebesar 8,50% (yoy), sekitar dua bulan pasca kebijakan
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Pemerintah pada 22 Juni
2013.13 Hal itu terlihat dari lonjakan inflasi administered prices (harga yang
diatur pemerintah) mulai bulan Juli-September 2013. Sebelum kebijakan
tersebut, inflasi IHK lebih didorong oleh inflasi volatile food (bahan makanan
bergejolak) pada periode Februari 2010 sampai dengan Maret 2011. Inflasi
IHK kembali meningkat ketika Pemerintah kembali melakukan kebijakan
penaikan harga BBM pada 18 November 2014.14 Dampak dari kenaikan harga
BBM tersebut mencapai puncaknya pada Desember 2014 dengan inflasi IHK
mencapai 8,08% (yoy).
Namun, sejak Januari 2015, Pemerintah telah mencabut subsidi atas
harga bensin premium dan memberikan subsidi harga tetap sebesar Rp1.000/
liter untuk minyak solar. Kebijakan ini menyebabkan harga bensin premium
dan minyak solar dapat berfluktuasi setiap bulannya, karena penetapan harga
kedua BBM tersebut pada mulanya dilakukan setiap bulan oleh Pemerintah.
Ketika harga minyak mentah dunia menurun dan nilai tukar rupiah relatif
stabil, harga kedua jenis BBM tersebut ikut menurun; dan sebaliknya, ketika
harga minyak mentah dunia naik dan nilai tukar rupiah relatif stabil, harga
kedua jenis BBM tersebut dinaikkan. Akibatnya, ketika harga BBM diturunkan
tekanan inflasi IHK berkurang, dan sebaliknya ketika harga BBM dinaikkan
tekanan inflasi IHK meningkat. Hal itu tercermin dari inflasi administered
prices yang fluktuatif pasca pemberlakuan kebijakan tersebut. Namun,
belakangan Pemerintah mengubah mekanisme evaluasi harga kedua jenis
BBM tersebut menjadi 6 bulan sekali untuk mengurangi fluktuasi harga yang
cenderung menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian. Perubahan
harga BBM dan administered prices lainnya, seperti tarif listrik, cenderung
mewarnai perkembangan inflasi IHK, sementara inflasi inti relatif stabil sejak
awal tahun 2015.
Secara umum, dari grafik di bawah ini terlihat bahwa tekanan inflasi
di Indonesia banyak dipengaruhi shocks, terutama gangguan pasokan dan
distribusi pangan (volatile foods) serta kebijakan strategis dari pemerintah
13 Melalui Keputusan Menteri ESDM No.07/PM/12/MEM/2013 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM
Bersubsidi, pemerintah menaikkan harga bensin premium dari Rp4500/liter menjadi Rp6500/liter dan minyak
solar dari Rp4500/liter menjadi Rp5500/liter.
14 Pemerintah menaikkan harga bensin premium dan minyak solar masing-masing sebesar Rp2000/liter dari harga
pada Juni 2013.
31
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Grafik 3‑2.
Perkembangan Inflasi IHK 2008-2015
����������� ������������������������
������������������ ������������������
����� �������������������� ��������������
������������������� ��������������������
������������� ������������������ ���������������������� �������������������
����������������� ������������������������� �����������������
����� ��������������� �������������������� ������������������������
������������������� �������������
��������������������� ��������������
�������������������
����� �������������
������������
��������
�����
��������������������
���������������������
����� ��������������
����
����
���� ����
������
��� ���� ������������� �������������������
�������
� �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� �� � ��
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
32
Inflasi di Indonesia
Grafik 3‑3.
Pergerakan Inflasi Inti Periode 2002-2015
��
�� ������� ��������
��
��
��
��
�
������������������������������������������
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
33
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Grafik 3‑4.
Pergerakan Inflasi Volatile Food Periode 2002-2015
��
������� �����������������
��
��
��
��
� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � ���� � �
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
34
Inflasi di Indonesia
pengurangan subisidi bahan bakar sejak setelah orde baru, juga pengaturan
besaran tarif dasar listrik, dan kebijakan lain yang berpengaruh terhadap
perubahan harga barang dan jasa.
Grafik 3‑5.
Pergerakan Inflasi Administered Price Periode 2002-2015
��
������� ����������������������
��
��
��
��
���
������������������������������������������
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
15 Pembobotan dihitung berdasarkan dari Nilai Konsumsi (NK) di suatu daerah yang secara sederhana
mencerminkan aktivitas ekonomi di masing-masing daerah.
35
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
sementara daerah di luar Jawa justru berada di atas inflasi nasional, terutama
di Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah-daerah kawasan
Timur, seperti Kalimantan dan Sulampua Bali Nusra (Sulawesi, Papua, Bali
dan Nusa Tenggara), tingkat inflasinya relatif lebih tinggi dibandingkan
tingkat inflasi nasional. Perbedaan inflasi antardaerah mencerminkan
adanya karakteristik sumber tekanan harga yang berbeda, antara lain, karena
perbedaan kualitas infrastruktur logistik, kemampuan produksi pangan lokal,
kebijakan administered price di daerah serta struktur pasar di daerah.
Grafik 3‑6.
Dinamika Inflasi Daerah Indonesia Per Kawasan Periode 2008-2015
�����
���������������� �������� ���������������
����� �����������
��������������������� ����������
���������������
������������������� �������������������
����� ����������������
�����
����
����
����
����
����
� � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � � ���� � � � �
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
36
Inflasi di Indonesia
telah terjadi sejak lama, hal ini dikarenakan tingginya hambatan struktural
dari sisi infrastruktur dan sistem logistik. Sementara itu, relatif tingginya
laju inflasi di beberapa daerah di kawasan Sumatera, yang relatif lebih maju
dan dekat dengan sentra ekonomi, lebih disebabkan oleh faktor lokal yang
spesifik, seperti distribusi barang, terbatasnya infrastruktur dan dampak dari
shock harga komoditas yang menjadi andalan daerah tersebut.
16 Rata-rata seluruh periode dari 1990 s.d 2014 dengan mengeluarkan periode krisis yaitu (1998 dan 1999).
17 Menurut Khan & Senhadji, threshold inflasi yang masih aman untuk negara emerging adalah < 11%, namun nilai
threshold inflasi untuk negara-negara Asia menurut Vinayagathasan (2013) adalah 5,45%.
18 Negara-negara yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Indonesia, Korea, Malaysia, Philipine dan
Thailand.
37
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Grafik 3‑7.
Rerata Inflasi Negara ASEAN-5 Sebelum dan Sesudah Krisis 1997/1998
��
��������������
�� ��� ��������������
���������������
���
��� ���
� ��� ���
���
� ���
��� ���
� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
���
� ���
���
�
������
���������� ��������� �������� ����������� ��������� �������� �������
19 Output gap adalah selisih antara output potensial dan output riil. Output gap merupakan indikator untuk
menjelaskan inflasi dari sisi permintaan.
38
Inflasi di Indonesia
20 Aisen dan Vega menggunakan data panel 100 negara di Asia Pacific dan termasuk di dalamnya Indonesia.
39
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
21 Exchange rate pass through adalah transmisi dari pergerakan nilai tukar terhadap tingkat harga domestik.
22 Sampel dari penelitian ini adalah negara-negara di Asia termasuk Indonesia.
23 Nilai dari first-stage pass-through, yaitu dari nilai tukar ke harga import meningkat dari 0,35 sebelum krisis
menjadi 0,45 setelah krisis.
40
Inflasi di Indonesia
kenaikan upah dan juga akibat kenaikan harga barang tertentu yang diatur
Pemerintah (administered price), seperti kenaikan harga BBM dan tarif dasar
listrik. Terkait dengan upah pekerja, Cadarajat dkk (2008) menyatakan bahwa
untuk hasil full sample24 inflasi belum signifikan dipengaruhi oleh upah pekerja
namun inflasi memengaruhi upah pekerja. Dengan menggunakan sampel periode
setelah krisis, ditemukan kausalitas dua arah di mana upah juga memengaruhi
inflasi.
Ridwan dkk (2013) dengan menggunakan data panel propinsi menemukan
bahwa variabel upah turut berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Respon
kenaikan upah terhadap kenaikan inflasi terjadi secara gradual dan memerlukan
waktu. Kenaikan inflasi akan direspon dengan kenaikan upah melalui kebijakan
kenaikan UMR oleh Pemerintah. Kenaikan upah tersebut, sebagaimana hasil
survey terutama mengenai perilaku penetapan harga, pada tahap tertentu akan
direspon oleh perusahaan dengan menaikkan harga jual produknya sehingga
mengkibatkan inflasi kembali meningkat. Dengan tingkat inflasi yang relatif
tinggi akan sulit untuk mempertahankan unit labour cost (ULC) yang rendah.
Selanjutnya, peningkatan ULC tersebut akan kembali memengaruhi tingkat
inflasi pada periode berikutnya (second-round inflation).
Prastowo, dkk (2010) mengelompokkan tiga jenis kebijakan pemerintah
yang berpengaruh terhadap harga jual barang dan jasa. Pertama, kebijakan
administered prices seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar
listrik (TDL), harga telepon dan air bersih. Kedua, kebijakan tarif cukai
(pajak) untuk beberapa komoditas domestik, seperti produk rokok dan produk
audio-video. Kebijakan tarif juga dapat dikenakan kepada komoditas yang
diimpor dari luar negeri melalui penetapan bea masuk dan pajak impor.
Ketiga, kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) terutama untuk
produk farmasi atau obat-obatan. Dari ketiga jenis kebijakan Pemerintah
tersebut kebijakan administered price, khususnya kenaikan harga BBM,
dirasakan paling signifikan karena berpengaruh terhadap seluruh sektor dan
terjadi lebih dari satu putaran. Kenaikan harga BBM juga berdampak pada
biaya produksi listrik yang selanjutnya akan mendesak peningkatan TDL.
Hal itu disebabkan banyaknya penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD) yang berbahan bakar solar. Kenaikan harga BBM secara langsung
akan meningkatkan biaya transportasi dan menaikkan biaya distribusi barang
sehingga mendorong peningkatan harga barang.
41
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik terbukti secara empiris
memengaruhi inflasi. Arimurti dkk (2012) dengan menggunakan matriks
Leontief dan model Input Output menghitung perbedaan besaran inflasi
atas dua alternatif kebijakan Pemerintah yaitu peningkatan harga BBM dan
pemberian subsidi tetap kepada konsumen. Keduanya memberikan dampak
inflasi dengan besaran yang berbeda.25 Sementara itu, Utari & Nurliana
(2012)26 menemukan bahwa peningkatan tarif dasar listrik (TDL) akan
berdampak pada inflasi secara langsung akibat peningkatan harga listrik yang
dirasakan konsumen, dan secara tidak langsung akibat peningkatan harga
barang yang dalam proses produksinya menggunakan listrik.
Faktor Inflasi dari sisi penawaran juga dapat disebabkan oleh adanya
gangguan dari sisi penawaran (supply shock), seperti gagal panen, bencana
alam, dan gangguan distribusi sehingga distribusi tidak lancar, serta adanya
kerusuhan sosial yang berakibat terputusnya pasokan dari luar daerah.
Gangguan tersebut akan memengaruhi jumlah barang yang ditawarkan dan
pada akhirnya akan meningkatkan laju inflasi.
Prastowo, dkk (2008) meneliti pergerakan harga 5 komoditas volatile food,
yaitu cabe merah, daging sapi, beras, gula pasir, dan minyak goreng selama
periode 1993-2007. Hasil empiris menyimpulkan bahwa tekanan harga pada
kelompok ini dipicu oleh kelangkaan pasokan karena siklus tanam, gangguan
cuaca, serangan hama penyakit, dan gangguan distribusi. Sifat beberapa
komoditas pertanian yang mudah busuk (perishable) juga menyebabkan
harga jualnya cenderung berfluktuasi. Semakin perishable suatu komoditas,
maka semakin berfluktuasi harganya. Hal ini mengingat komoditas tersebut
tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama untuk stabilisasi stok sehingga
sangat rentan terhadap supply shocks, baik yang berasal dari faktor produksi
maupun distribusi. Di sisi lain, permintaan masyarakat akan produk komoditi
perishable yang diawetkan, seperti dikeringkan atau dibekukan, masih rendah.
Akibatnya, harga jual produk pertanian dan volatilitasnya sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan barang yang terkait erat dengan siklus tanam maupun faktor
cuaca.
25 Arimurti dkk menguji dampak kenaikan harga BBM sebesar Rp1500/l dan pemberian subsidi tetap sebesar
Rp2000/l terhadap inflasi. Kenaikan sebesar Rp1500/l memberikan dampak inflasi sebesar 1,71-3,11%.
Sementara pemberian subsidi tetap berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 1,75 – 3,33%.
26 Hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan TDL sebesar 10% akan meningkatkan inflasi dalam kisaran 0,27-
0,30% dan dampak tidak langsung akibat kenaikan harga adalah sebesar 0,09-0,12%.
42
Pengendalian Inflasi di Indonesia
43
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
44
Pengendalian Inflasi di Indonesia
45
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
suku bunga; ii) kebijakan nilai tukar; iii) bauran kebijakan makroprudensial
dan moneter; serta iv) komunikasi kebijakan moneter.
46
Pengendalian Inflasi di Indonesia
tertentu. Sementara Inflasi Inti (core inflation) adalah bagian Inflasi IHK
yang lebih bersifat persisten. Inflasi Inti diukur dengan mengeluarkan unsur
perubahan harga yang diatur Pemerintah (administered price) dan harga yang
bergejolak (volatile) sebagai akibat gangguan pasokan karena musim, sistem
distribusi, dan bencana alam.
Berdasarkan nota kesepakatan tersebut, Bank Indonesia mengajukan
usulan sasaran inflasi kepada Pemerintah untuk jangka waktu tiga tahun
berikutnya. Setelah dibahas bersama Pemerintah dan Bank Indonesia,
pemerintah menetapkan sasaran inflasi untuk jangka waktu tiga tahun
berikutnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sasaran inflasi
yang telah ditetapkan tersebut diumumkan kepada publik agar dapat menjadi
jangkar (anchor) ekspektasi inflasi bagi masyarakat.
Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun
2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012, sasaran inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk periode 2013-2015, masing-masing sebesar 4,5%,
4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi +1%. Sasaran inflasi untuk tahun
2016, 2017 dan 2018 telah ditetapkan dalam PMK No 93/PMK.011/2014
tanggal 21 Mei 2014 dengan besaran sasaran inflasi masing-masing adalah
4,0%, 4,0%, dan 3,5% masing-masing dengan deviasi +1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku
usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan
sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil.
Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa berkomitmen untuk mencapai
sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang
konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian
inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk
dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor)
pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Angka target atau sasaran inflasi
dapat dilihat pada website Bank Indonesia atau website instansi Pemerintah
lainnya, seperti Kementerian Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau
Bappenas.
Sebelumnya, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Setelah dilakukan amandemen
sehingga menjadi UU No.3 Tahun 2004, kewenangan menetapkan sasaran
inflasi berada di tangan Pemerintah. Amandemen itu dilakukan dalam rangka
meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi.
47
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
Gambar 4‑1.
Alur Penetapan Sasaran Inflasi
������������������������
������������������������������������������
����������������
�����������������������������
��������������������������
��������������������������
���������������������������
�����������������������������
�������������������������
���������������������
������������������������������������������������������������
��������������������������
��������������������������������������������������������������������������
48
Pengendalian Inflasi di Indonesia
49
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
27 Paper “Dinamika dan Heterogenitas Inflasi Regional di Indonesia”, M.H.A Ridhwan et al, 2013, Kajian Ekonomi
Regional Bank Indonesia.
28 Pidato Gubernur Bank Indonesia dalam Rakornas VI TPID 2015.
50
Pengendalian Inflasi di Indonesia
(v) Pasar yang tidak efisien sebagaimana tercermin pada rantai distribusi
yang panjang dan didominasi oleh segelintir pelaku besar. Di beberapa
kelompok komoditas khususnya bahan pangan, struktur pasar cenderung
kurang kompetitif dengan dominasi pada kelompok pelaku tertentu
sehingga harga di pasar tidak efisien.
(vi) Masih lemahnya konektivitas antardaerah. Logistik belum memadai
sehingga sangat diperlukan infrastruktur pelabuhan yang memadai agar
perdagangan antardaerah semakin intensif terutama karena kondisi
geografis Indonesia berupa kepulauan.
Selain dihadapkan pada berbagai tantangan struktural, permasalahan inflasi
sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah yang unik sehingga seringkali
membutuhkan penanganan tersendiri. Sebagai contoh, masih terbatasnya arus
informasi di antara pelaku ekonomi, tingginya ketergantungan pasokan antara
satu daerah dan daerah lainnya, serta belum optimalnya proses sinkronisasi
perencanaan pembangunan di daerah dalam mendukung pencapaian sasaran
inflasi. Permasalahan serta karakteristik suatu daerah juga saling terkait dengan
daerah lainnya, sehingga penanganannya memerlukan sinergi kebijakan, baik
antara daerah dan daerah lain, daerah dengan pusat, maupun di tingkat pusat
dengan pusat.
Dengan kondisi tersebut, inflasi tidak bisa hanya direspon oleh kebijakan
moneter semata yang merupakan tugas bank sentral. Untuk menurunkan
inflasi pada level yang rendah dan stabil perlu dukungan dari Pemerintah
yang mempunyai kewenangan untuk mengatasi gangguan dari sisi supply,
termasuk terkait gejolak harga pangan dan harga yang diatur pemerintah.
Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut,
untuk mencapai inflasi yang rendah memerlukan kerjasama dan koordinasi
lintas instansi. Diperlukan koordinasi yang intensif dan partisipatif di berbagai
sektor, lintas Kementerian, serta melibatkan Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
Sebagai contoh koordinasi antara kebijakan moneter, fiskal dan sektoral
dapat memengaruhi inflasi inti adalah ketika kebijakan moneter melalui
manajemen sisi permintaan dan stabilisasi kurs didukung penuh oleh
pemerintah melalui kebijakan fiskal dan sektoral yang meningkatkan kapasitas
perekonomian. Pengendalian inflasi administered priced akan sangat efisien
apabila kebijakan fiskal Pemerintah berkoordinasi dengan bank sentral
51
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
terkait besaran dan timing penyesuaian harga BBM, TDL, LPG, rokok, tarif
angkutan, tarif tol, Puskesmas, tarif PAM, dan sebagainya. Sedangkan dari
sisi pengendalian inflasi volatile food sangat perlu didukung oleh kebijakan
sektoral yang mendukung kelancaran pasokan dan distribusi bahan pangan
yang rentan terhadap gejolak/shocks. Koordinasi serta komitmen yang kuat
antar pemegang kebijakan tersebut sangat penting dilakukan, yang pada
akhirnya akan memengaruhi efektivitas pengendalian inflasi yang dilakukan
oleh bank sentral.
Selain perlunya koordinasi antar pemegang kebijakan di level pusat,
pengendalian inflasi di Indonesia secara nasional juga perlu mendapat
dukungan dari daerah. Hal ini mengingat inflasi nasional dibentuk oleh
hampir 81% inflasi daerah (di luar Jakarta), dan merupakan hasil agregasi dari
inflasi sejumlah 82 kota di Indonesia. Bobot yang besar pada kota-kota di luar
Jakarta merupakan cermin dari besarnya peran daerah dalam pembentukan
inflasi nasional. Wilayah Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan
dengan kondisi geografis yang berbeda juga menyebabkan faktor dan pola
yang memengaruhi pembentukan harga antardaerah menjadi beragam. Oleh
karenanya, upaya pengendalian inflasi dalam rangka menciptakan stabilitas
harga di tingkat nasional hanya dapat diwujudkan jika stabilitas harga terjadi
pada tingkat daerah.
52
Pengendalian Inflasi di Indonesia
Gambar 4‑2.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
�������������������������������������
������������������������������������
�������������������������������
���������������������������������������� ������������
����������������������������������
�����������������
���������������������������������������
�������������������������������������������
������������������������������������ ��������������������������� �����������
�������������������
�����������������������������������
������������������������������������� ���������������������
��������������
53
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
memiliki TPID. Pada tahun 2011, dari total 66 kota yang menjadi dasar
penghitungan inflasi di Indonesia oleh BPS, telah terbentuk TPID di 55
kota/kabupaten. Pada tahun 2013, jumlah TPID berkembang mencapai 183.
Pertumbuhan TPID di kabupaten/kota di seluruh Indonesia mencapai lebih
dari 2 (dua) kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, telah terbentuk
TPID di 33 provinsi dan 168 kabupaten/kota atau 337 TPID. Perkembangan
tersebut terus berlanjut hingga tahun 2015 jumlah TPID yang telah terbentuk
secara formal (melalui Nota Kesepahaman, Perjanjian Kerja Sama dan Surat
Keputusan Gubernur/Walikota/Bupati) adalah sebanyak 439 TPID (34 TPID
Provinsi dan 405 TPID Kab/Kota) yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan terbitnya Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) Nomor 027/1696/SJ Tanggal 2 April 2013 tentang
Menjaga Keterjangkauan Barang dan Jasa Di Daerah yang menjadi acuan
bagi pembentukan TPID di daerah.
Gambar 4‑3.
Perkembangan Jumlah TPID
�����������������������������
������������������ ������������������
�����������
������������������� ����������� �����������
��������
�����������������������
������������� ��������������
54
Pengendalian Inflasi di Indonesia
55
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
56
Pengendalian Inflasi di Indonesia
Gambar 4‑4.
Mekanisme Koordinasi (Skema TPI-Pokjanas TPID)
Koordinasi TPI
Pokjanas TPID
57
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
kelancaran distribusi bahan pokok bagi kelompok volatile food, serta turut
berperan aktif dalam memfasilitasi pelaksanaan program perlindungan sosial
yang diinisiasi oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat.
Di tingkat daerah, berbagai inovasi kebijakan turut berperan besar dalam
pengendalian inflasi. TPI dan Pokjanas TPID bekerja sama dengan seluruh
TPID terus melanjutkan program strategis guna meminimalkan tekanan
inflasi secara berkelanjutan. Secara umum, fokus program pengendalian
inflasi, baik di level pusat maupun daerah, diarahkan pada upaya menjaga dan
melaksanakan 4K, yakni: (i) Ketersediaan barang dan jasa; (ii) Keterjangkauan
harga; (iii) Kelancaran distribusi; dan (iv) Komunikasi yang efektif untuk
mengelola persepsi masyarakat terhadap harga-harga.
Keberadaan TPI, Pokjanas TPID dan TPID telah memberikan dampak
yang besar dalam pengendalian inflasi level nasional maupun daerah. Banyak
terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Tim Pengendali Inflasi yang pada
akhirnya mampu mengatasi permasalahan penyebab inflasi daerah, baik yang
bersifat jangka pendek maupun jangka menengah-panjang.
Hasil-hasil yang telah dicapai oleh TPID dalam pengendalian inflasi
seperti semboyan pengendalian inflasi 4K yang dilaksanakan, antara lain,
adalah:
1. TPID mulai menyentuh upaya untuk mengatasi permasalahan struktural
terkait dengan ketersediaan barang dan jasa. Sebagai contoh, TPID
di Kalimantan Barat mampu memperkuat pasokan padi di daerahnya
dengan cara memelopori perubahan metode penanaman padi yang
menggunakan bibit 20-30 batang perlubang tanam. TPID di Pontianak
mampu memperkuat pasokan bawang dan cabe merah di Pontianak
dengan cara pengembangan kawasan dan pemberian bantuan bibit unggul
bagi para petani. TPID Sumatera Utara mampu meningkatkan pasokan
dan produksi beras setempat melalui pemberian fasilitas pembentukan
lahan panen baru di Pulau Kampai Langkat. Upaya menjaga ketersediaan
pasokan barang ini dilakukan guna pengendalian gejolak harga terutama
menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.
2. TPID mulai menyentuh upaya untuk mengatasi permasalahan terkait
keterjangkauan harga di daerah, contohnya melalui program pasar
penyeimbang. Pasar penyeimbang merupakan pasar alternatif yang sengaja
dibuat di antara pasar yang sudah ada dengan menjual barang menggunakan
harga normal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ekspektasi positif
58
Pengendalian Inflasi di Indonesia
59
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
60
Pengendalian Inflasi di Indonesia
inflasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Pemerintah Pusat dan
Daerah melalui TPID sejauh ini telah cukup mampu mencapai tingkat inflasi
yang terkendali. Sebagai contoh, pada tahun 2014 meskipun terjadi reformasi
subsidi energi yang ditandai dengan peningkatan harga BBM, namun dampak
kenaikan harga BBM tersebut dapat diminimalkan. Hal ini tercermin pada
lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013
(8,38%).29
Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari peran aktif daerah
yang semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan masyarakat,
khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga
kelancaran distribusi. Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan
oleh TPID mulai menyentuh persoalan struktural yang perlu diatasi segera
demi lebih terjaminnya stabilitas harga, seperti masalah tata niaga produk
pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerja sama
perdagangan antardaerah. Upaya yang telah ditempuh oleh Pokjanas TPI dan
TPID di berbagai daerah melalui komunikasi secara intensif kepada publik di
berbagai media komunikasi mampu mengelola ekspektasi inflasi masyarakat
sesuai yang diharapkan.
Ke depan tantangan pengendalian inflasi akan semakin besar. Permasalahan
struktural yang dihadapi seperti kapasitas produksi dalam negeri yang terbatas,
kebijakan perdagangan dan tata niaga yang belum efisien, struktur pasar yang
kurang kompetitif khususnya bahan pangan, serta keterbatasan infrastruktur
di Kawasan Timur Indonesia harus segera diatasi. Oleh karena itu, kedepan
peran TPID perlu semakin diperkuat. Tingkat kesadaran dan komitmen daerah
di dalam TPID adalah aspek yang paling penting bagi pengembangan TPID
di daerah itu sendiri. Keterlibatan Kepala Daerah secara aktif di dalam TPID
tidak hanya akan memberikan dorongan bagi seluruh perangkat daerah untuk
bekerja lebih keras, namun yang lebih penting adalah mampu mensinergikan
kebijakan yang dibangun secara parsial atau sektoral. Karakteristik daerah
yang beraneka ragam dengan permasalahan dan tantangan di setiap daerah
yang berbeda-beda, secara tidak langsung berimplikasi pada program dan
aktivitas TPID di daerah yang sangat bervariasi. Oleh karena itu, upaya untuk
mengatasi persoalan struktural perlu dilakukan secara berkesinambungan
melalui kontribusi TPID yang semakin konkrit.
29 Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2014 Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (POKJANAS TPID).
61
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
DAFTAR PUSTAKA
Aisen, A. & Veiga, F.J. (2006). “Does Political Instability Lead to Higher
Inflation? A Panel Data Analysis.” Journal of Money, Credit and Banking
38(5), 1379–1389.
Anugrah, Donni Fajar (2012),’ The Long and Short-term Determinants of
Inflation in Indonesia’s Regions’, http://www.jsrsai.jp/Annual_Meeting/
PROG_49/Resume3/fC06-2%20Donni%20F.%20Anugrah.pdf
Arimurti, Trinil.; Permata, Meily Ika., & Kurniati, Ina Nurmalia (2012),
‘Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Inflasi‘, Catatan Riset DKM
No. 14/6/DKM/BRE/Cat.
Bank Indonesia (2015). “Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Oleh Gubernur
Bank Indonesia”. Disampaikan dalam Rakornas VI TPID di Jakarta 27
Mei 2015.
Bank Indonesia (2014). “Kajian Ekonomi Regional Bank Indonesia”.
Departemen Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Moneter.
Boediono. 1998. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Cadarajat, Yayat; Permata, Meily Ika & Prasmuko, Andry., (2008),’ Apakah
Kenaikan Upah Meningkatkan Inflasi ?’, Working Paper Bank Indonesia
No. WP/03/2008
Domac, Ilker & Yucel, Eray M. (2004), ‘ What Triggers Inflation in Emerging
Market Economies?’ World Bank Policy Research Working Paper No.
3376.
Fischer, S., 1993. “The Role of Macroeconomic Factors in Economic Growth”,
Journal of Monetary Economics, vol. 32, pp. 485-512.
Gerlach, Stefan & Tillman, Peter (2011), ‘Inflation Targeting and Inflation
Persistence in Asia –Pacific’ Hongkong Institute for Monetary Research
Working Paper No. 25/2011.
Hossain, Akhtar (2005), ‘ The Sources and Dynamics of Inflation in Indonesia:
An ECM Model Estimation’. Journal of Applied Econometrics and
International Development. AEID.Vol. 5-4 (2005)
62
Hutabarat, A.R. (2005), Mengapa Inflasi Indonesia Lebih Tinggi dari Inflasi
Negara Tetangga?’, Catatan Riset, Bank Indonesia, No 7/50/DKM/BRE/
Cat.
Hutabarat, A.R. (2005), ‘Determinan Inflasi Indonesia’, Occasional Paper,
Bank Indonesia No. OP/06/2005.
Ito, Takatoshi & Sato, Kiyotaka (2006), ‘ Exchange Rate Changes and Inflation
in Post-Crisis Asian Economies : VAR Analysis of The Exchange Rate
Pass Through’ National Bureau of Economic Research Working Paper
No. 12395
Kurniati, Yati (2007),’ Exchange Rate Pass Through in Indonesia’, Working
Paper Bank Indonesia No. WP/09/2007
Listiani, N 2006, ‘Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi
Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 1970-2004‘, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, Vol. 14, No. 1, pp. 42-73.
Mankiew, Gregory (2012), ’Principles of Macroeconomics”. South-Western
Cengage Learning, USA.
Mohanty, M.S. & Klau, Marc (2001), ‘What Determines Inflation in Emerging
Market Economies ?’. BIS Paper No. 8.
Pokjanas TPID (2014). “Buku Petunjuk TPID”. Kelompok Kerja Nasional
TPID Maret 2014.
Pokjanas TPID (2014). Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2014 Kelompok
Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (POKJANAS TPID)
Prastowo, N.J. (2008), ‘Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga
Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi’, Working Paper, Bank
Indonesia, No. WP/07/2008.
Quah, Danny & Vahey, Shaun P. (1996), ‘Measuring Core Inflation’ The
Economic Journal, Vol. 105, No. 432. (Sep., 1995), pp. 1130-1144.
Ramakhrisnan, Uma & Vamvakidis, Athanasios., ‘Forecasting Inflation in
Indonesia’ International Monetary Fund Working Paper No. WP/02/2011
Ridhwan, Masagus M., Werdaningtyas, Hesti & Grace, Melva Viva., (2013),
‘Dinamika dan Heterogenitas Inflasi di Indonesia’, Working Paper Bank
Indonesia No. WP/06/2013.
63
Inflasi di Indonesia : Karakteristik dan Pengendaliannya
64
Seri Kebanksentralan No. 24
i
Syarifuddin, Ferry
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai
Tukar Di Indonesia / Ferry Syarifuddin -- Jakarta
: BI Institute, 2016.
Bibliografi: hlm. 90
ISSN 2528-1933
ii
Sambutan
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bank
Indonesia kembali menerbitkan publikasi seri kebanksentralan. Penerbitan
publikasi ini sejalan dengan amanat Undang-Undang kepada Bank Indonesia,
yaitu dalam rangka meningkatkan transparansi kepada masyarakat luas.
Selain itu, penerbitan seri kebanksentralan ini diharapkan bisa membantu BI
dalam mensosialisasikan tugas-tugas BI kepada masyarakat luas, sehingga
masyaakat dapat lebih memahami tugas-tugas yang diamanatkan Bank
Indonesia.
Lingkup materi yang dibahas dalam publikasi Seri Kebanksentralan
cukup luas meliputi berbagai disiplin ilmu ekonomi makro-moneter, sistem
pembayaran, lembaga keuangan, dan bidang-bidang lain terkait dengan tugas
yang diamanatkan kepada bank sentral. Pada terbitan ini, ruang lingkup
publikasi Seri Kebanksentralan akan meliputi aspek yang berkaitan dengan
konsepsi pokok, dinamika, dan respon kebijakan nilai tukar. Sebagaimana
diketahui Bank Indonesia memiliki tugas pokok menjaga kestabilan nilai
rupiah yang tercermin pada kestabilan harga dan nilai tukar. Nilai tukar dalam
berbagai kajian empiris di Indonesia menunjukkan peran yang signifikan
dalam mempengaruhi harga barang/jasa di pasar domestik. Sedemikian
pentingnya nilai tukar terhadap pembentukan harga domestik, maka Bank
Indonesia memiliki tanggung jawab menjaga kestabilan nilai tukar demi
mendukung pencapaian target inflasi yang telah dimandatkan setiap tahun
oleh pemerintah.
Untuk memudahkan masyarakat memahami materi buku ini, Penulis
berupaya menuangkannya dengan bahasa yang sederhana. Kami berharap
penerbitan buku seri kebanksentralan ini dapat memperkaya khazanah ilmu
kebanksentralan. Semoga karya ini dapat bermanfaat. Selamat membaca.
Dr. Sugeng
Direktur Eksekutif
iii
Pengantar
iv
Penulis menyadari publikasi ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran
dari berbagai pihak untuk penyempurnaan publikasi ini tentulah akan sangat
berharga. Akhirnya, penulis mengharapkan publikasi akan sangat berguna
bagi semua pihak, khususnya dalam pengembangan studi kebanksentralan.
Penulis
v
Daftar Isi
Sambutan..................................................................................................... iii
Pengantar..................................................................................................... iv
Daftar Isi..................................................................................................... vi
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1. Pengelolaan Dinamika Arus Modal dan Nilai Tukar......................... 3
1.2. Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka............................ 4
1.3. Sistem Nilai Tukar dan Devisa.......................................................... 5
1.3.1. Sistem Nilai Tukar................................................................. 6
1.3.2. Sistem Devisa........................................................................ 9
vi
2.8.1. Penentuan nilai tukar jangka pendek dan kebijakan moneter
dalam model PBM................................................................. 24
2.8.2. Penyesuaian dinamis dan keseimbangan jangka panjang
dalam model PBM................................................................. 27
2.9. Konsep Permintaan dan Penawaran Valuta Asing dan Nilai Tukar... 28
2.10. Nilai Tukar Nominal, Dinamika Nilai Tukar, dan Riil...................... 29
2.11. Pendekatan Harga Aset Sebagai Penentu Nilai Tukar....................... 31
2.12. Analisis Teknikal............................................................................... 32
2.12.1. Analisis Grafis (Charting)...................................................... 34
2.12.2. Indikator - Indikator Teknis................................................... 34
2.13. Faktor Penentu Nilai Tukar: Sentimen Pasar..................................... 35
2.14. Dinamika Nilai Tukar: Overshooting................................................ 38
2.15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar – Survey Literatur. 39
vii
BAB 5. VOLATILITAS NILAI TUKAR DAN RESPON
BANK SENTRAL: STUDI KASUS BEBERAPA NEGARA................ 62
5.1. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara Maju.......... 62
5.1.1. Amerika Serikat..................................................................... 62
5.1.2. Australia................................................................................. 63
5.1.3. Jepang.................................................................................... 64
5.1.4. Kanada................................................................................... 64
5.1.5. Korea Selatan......................................................................... 65
5.1.6. Swiss...................................................................................... 65
5.2. Praktik Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar di Negara
Berkembang....................................................................................... 66
5.2.1. Afrika Selatan........................................................................ 67
5.2.2. Argentina............................................................................... 67
5.2.3. Brasil...................................................................................... 69
5.2.4. Cina........................................................................................ 69
5.2.5. India....................................................................................... 70
5.2.6. Malaysia................................................................................. 71
5.2.7. Meksiko................................................................................. 72
5.2.8. Rusia...................................................................................... 73
5.2.9. Thailand................................................................................. 74
5.3. Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Empiris...... 75
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 90
viii
Daftar Gambar
ix
Daftar Tabel
x
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN
Nilai tukar mulai muncul sejak terjadinya transaksi jual beli barang/jasa
antarpenduduk di negara berbeda yang menggunakan mata uang berbeda pada
sistem perekonomian terbuka. Penggunaan mata uang penduduk negara lain
dilakukan pada saat penduduk suatu negara melakukan pembelian barang/jasa
dari negara lain. Sementara di sisi negara penjual akan menerima mata uang
yang diterima dari negara pembeli tersebut, baik dalam bentuk mata uang
negara bersangkutan atau mata uang negara lainnya yang sudah disepakati
sebagai mata uang internasional. Perbedaan dan perubahan harga barang yang
diperdagangkan dari waktu ke waktu yang dihitung berdasarkan mata uang
asing akan menentukan perubahan nilai tukar mata uang antarnegara yang
melakukan transaksi perdagangan.
Selanjutnya, transaksi yang melibatkan mata uang asing semakin
berkembang melalui transaksi keuangan/investasi internasional. Dalam
perekonomian global yang semakin terintegrasi, perpindahan mata uang
asing yang diterima dalam transaksi internasional, bergerak sangat cepat
dan semakin mengarah pada perpindahan non-fisik dan komposisinya terus
mendominasi transaksi internasional. Seiring perkembangan tersebut, maka
nilai tukar akan semakin besar dipengaruhi oleh pergerakan mata uang non-
fisik, baik berupa portofolio maupun investasi asing (yang kemudian lebih
dikenal dengan aliran modal asing). Dengan perkembangan nilai tukar yang
semakin cepat tersebut, maka negara-negara yang menganut sistem nilai tukar
tetap atau dengan variasinya sangat rentan terhadap arus balik modal dan
kegiatan spekulasi. Hal ini sebagaimana dialami pada era krisis nilai tukar
yang terjadi di negara-negara Amerika Latin pada awal 1990-an dan negara-
negara Asia Tenggara pada tahun 1997/98.
Teori yang mendasari perubahan nilai tukar terus mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu dalam rangka memahami dinamika perubahan nilai
tukar. Ilmu nilai tukar merupakan bagian dari ilmu ekonomi moneter yang
sangat banyak dibahas dan diteliti oleh berbagai kalangan akademis maupun
bisnis dikarenakan sangat signifikan memengaruhi aktivitas ekonomi dan
bisnis dalam konteks lokal, nasional, regional, maupun global. Sebagaimana
diketahui, nilai tukar memengaruhi perekonomian dan aktivitas bisnis melalui
saluran langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, nilai tukar akan
memengaruhi perekonomian suatu negara melalui harga barang ekspor dan
1
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
impor suatu negara (Gambar 1). Sementara secara tidak langsung, nilai tukar
dapat memengaruhi perekonomian melalui kegiatan ekspor dan impor suatu
negara.
Perubahan nilai tukar yang sangat cepat dan tidak stabil diyakini akan
mengganggu kestabilan kegiatan perdagangan internasional dan berimbas pada
pelarian modal internasional. Kondisi ini pada akhirnya akan mengganggu
kinerja sektor riil domestik, baik perdagangan, produksi, dan stabilitas harga
domestik. Pada puncaknya, hal ini akan mengganggu iklim bisnis sehingga
berpotensi membahayakan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Oleh karena itu, upaya bersama menjaga stabilitas nilai tukar, baik oleh
otoritas moneter maupun pelaku pasar keuangan, adalah mutlak diperlukan.
Dalam menjalankan kebijakan nilai tukar, otoritas moneter kadang kala
mengalami keuntungan atau bahkan kerugian jika dihitung transaksi tersebut
dengan menggunakan mata uang lokal secara marking to market. Namun
demikian, hal tersebut adalah lazim dan merupakan common practice terjadi
di berbagai otoritas moneter sepanjang dilakukan dengan prinsip tata kelola
yang baik (good corporate governance). Dalam menerapkan tata kelola yang
baik, kebijakan nilai tukar otoritas moneter harus konsisten mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, seperti menjaga kestabilan nilai tukar jangka pendek,
mengarahkan nilai tukar sesuai target inflasi menengah dan panjang, serta
mendukung competitiveness dengan negara peer. Di beberapa negara lain,
Gambar 1.
Dampak Volatilitas dan Misalignment Nilai Tukar
���������������������������
����������������� ������������������������
����������� �������������������������������
������
�������������������������� ����������������������
������������ �������������������������� ���������������������������
���������������������� ������������������������������ �������������������������
����������������� ������ �����������������������������
��������������������������
��������� ���������������������
���������������������������
���������������� �������������
�����
���������������
��������������������������
2
Pendahuluan
3
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
agar jangan sampai terlalu melenceng jauh dari nilai tukar fundamentalnya
(overvalued). Pengelolaan nilai tukar yang sejalan dengan kondisi fundamental
dilakukan melalui intervensi di pasar valas secara simetris, yang memberikan
ruang gerak apresiatif dalam hal terjadi aliran modal asing yang tinggi. Di
sisi kebijakan moneter, kompleksitas kebijakan moneter melalui suku bunga
sebagian dapat teratasi dengan menerapkan kebijakan makroprudensial.
Keempat, kebijakan moneter didukung oleh kebijakan makroprudensial
yang bertujuan meminimalisir dampak aliran modal masuk pada aset price
bubble dan pertumbuhan kredit yang berlebihan, yang dapat menimbulkan
risiko kestabilan moneter dan kestabilan sistem keuangan, termasuk kebijakan
capital flow management (CFM).
4
Pendahuluan
besarnya pengaruh aliran dana luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh
sistem nilai tukar dan sistem devisa yang dianut negara yang bersangkutan.
Mengingat besarnya dampak sistem perekonomian terbuka pada indikator
ekonomi dan moneter khususnya dalam nilai tukar dan inflasi domestik,
maka setiap otoritas moneter akan menyesuaikan kebijakan moneter yang
akan diambil dengan memperhitungkan arus dana valuta asing keluar/masuk.
Dengan kebijakan yang tepat diharapkan nilai tukar dan inflasi domestik bisa
bergerak pada kisaran yang diharapkan.
1 Yang dimaksud indenpendensi di sini adalah kemampuan bank sentral dalam melaksankan kebijakan moneter
tanpa gangguan-gangguan yang bersumber dari perkembangan faktor-faktor eksternal, seperti mobilitas dana
luar negeri dan perkembangan ekonomi global. Pengertian independensi di sini berbeda dengan independensi
bank sentral yang terkait dengan pengaturan kelembagaan dan kewenangan penuh dalam pelaksanaan tugas
yang ditetapkan dalam undang-undang, terlepas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain, seperti diba-
has dalam bagian lain dari bab ini maupun bab-bab lain di buku ini.
5
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
2 Istilah ini dikemukakan oleh Robert Mundell (1968) dalam bukunya International Economics, untuk menjelas-
kan ketidakmungkinan pencapaian tujuan stabilitas nilai tukar, kebebasan mobilitas dana luar negeri, dan inde-
pendensi kebijakan moneter secara bersamaan. “Overtime, the three goals cannot be attained simultaneously”
(hlm. 147).
6
Pendahuluan
floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang terkendali; dan (3)
floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang.
Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu mata uang
terhadap mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu, misalnya, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang dolar Amerika dipatok Rp 8.000,- per dolar. Pada
nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk menjual atau membeli kebutuhan
devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan. Apabila nilai
tukar tersebut tidak lagi dapat dipertahankan, bank sentral dapat melakukan
devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan.3
Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai
dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan
demikian, nilai tukar akan menguat apabila terjadi kelebihan penawaran
valuta asing dan sebaliknya nilai tukar mata uang domestik akan melemah
apabila terjadi kelebihan permintaan valuta asing.4
Bank sentral dapat saja melakukan intervensi di pasar valuta asing, yaitu
dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan pasokan atau membeli
devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak
nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi, intervensi dimaksud tidak
diarahkan untuk mencapai target tingkat nilai tukar tertentu atau dalam kisaran
tertentu.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem yang berada
di antara kedua sistem nilai tukar di atas. Dalam sistem nilai tukar ini, bank
sentral menetapkan batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar
yang disebut intervention band atau batas pita intervensi. Nilai tukar akan
ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar sepanjang berada di dalam batas
kisaran pita intervensi tersebut. Apabila nilai tukar menembus batas atas atau
batas bawah dari kisaran tersebut, maka bank sentral akan secara otomatis
3 Devaluasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara untuk secara sepihak menentukan nilai
tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya. Misalnya, nilai tukar yang semula ditetapkan Rp
8.000 per dolar AS diturunkan menjadi Rp 9.000 per dolar AS. Sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaik-
kan nilai tukar negara tersebut terhadap mata uang lain. Kebijakan devaluasi atau revaluasi biasanya dilakukan
dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara. Sebagai contoh, kebijakan devalu-
asi dalam jangka pendek dapat meningkatkan daya saing sehingga merangsang kegiatan ekspor, dengan asumsi
negara lain tidak membalas dengan melakukan tindakan devaluasi dan eksportir dapat meningkatkan efisiensi
produksi untuk pemenuhan permintaan ekspornya.
4 Nilai tukar dikatakan melemah apabila diperlukan nilai uang yang lebih banyak untuk membeli valuta asing
dalam jumlah yang sama. Misalnya, nilai tukar rupiah melemah dari semula per dolar (dapat dibeli dengan) Rp
8.000 menjadi Rp 9.000 per dolar.
7
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
5 Apabila nilai tukar menembus batas atas atau batas bawah dari pita intervensi, secara otomatis bank sentral akan
menjual atau membeli devisa yang diperlukan oleh pasar, sehingga nilai tukar bergerak kembali dalam batas
kisaran pita intervensi. Penetapan lebarnya kisaran intervensi tergantung pada besarnya cadangan devisa yang
dimiliki bank sentral serta kemungkinan kebutuhan yang terjadi di pasar. Umumnya, hal ini akan disesuaikan
dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan cadangan devisa dan volume transaksi di pasar valuta asing.
6 Untuk sistem nilai tukar mengambang terkendali, kelebihan dan kekurangannya terletak di antara sistem nilai
tukar tetap dan mengambang.
7 Ada berbagai pendekatan dalam teori keuangan internasional untuk menentukan nilai tukar secara fundamental,
antara lain: Teori Purchasing Power Parity (PPP), Real Effective Exchange Rate (REER), dan Fundamental
Effective Exchange Rate (FEER). Untuk selengkapnya, baca Iskandar (2005), Sistem Nilai Tukar, buku Seri
Kebanksentralan, PPSK Bank Indonesia.
8
Pendahuluan
8 Meskipun demikian, dalam praktek di kebanyakan negara yang menerapkan sistem devisa bebas, masih terdapat
kewajiban bagi masyarakat untuk melaporkan perolehan dan penggunaan devisa.
9
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Teori nilai tukar terus berkembang sejak sistem Bretton Woods tidak lagi
diadopsi oleh berbagai negara untuk mengatur pencetakan mata uangnya.
Kondisi tersebut menyebabkan nilai tukar antar mata uang akan sangat
bergantung pada permintaan dan penawaran mata uang dimaksud. Teori
yang melandasi pergerakan nilai tukar dapat dibagi menjadi tiga besaran
pendekatan, yaitu: pendekatan fundamental, pendekatan teknikal, dan
pendekatan mikrostruktur. Meskipun mengalami banyak perdebatan atas
pendekatan mikrostruktur, namun pendekatan tersebut ternyata memiliki
kemampuan menjelaskan fenomena dinamika nilai tukar yang tidak bisa
dijelaskan dengan baik oleh pendekatan konvensional fundamental maupun
teknikal.
10
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 2.
Pendekatan Penentuan Nilai Tukar
���������������
��� ��������� ��
�����������������������
11
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
12
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 3.
Pendekatan Fundamental Nilai Tukar
����������������
�� �����������������������
�� ��������������������������
�� �������������������
�� ������������������
������������������������������ �������������������������������
��������������������������������� �������������������������
������������������������ ����� �������������������������������
���������� ����������
����������� ������������������
�� ������������������������������ �� ���������������
�� ��������������������������� �� ��������������������
�� ����������������������������� �� ���
�� �������������������������� �� �����������������
�� ������������������������ �� ���������������������
�� ��������������������������
���������������������
E = 1/(P/P*) = P/P*
13
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Sementara itu, konsep PPP relatif adalah persentase perubahan nilai tukar
dua negara dalam suatu periode sama dengan perbedaan inflasi di kedua
negara.
pd - pf = e
Di mana: pd = inflasi domestik; pf = inflasi luar negeri, e = perubahan nilai
tukar (apresiasi/depresiasi).
Asumsi:
• Barang yang diperdagangkan bersifat homogen dan harga barang non-
traded bersifat fleksibel;
• Tidak ada hambatan perdagangan internasional;
• Biaya transportasi yang relatif rendah atau tidak ada; dan
• Tingkat inflasi yang setara.
Contoh:
Jika inflasi di AS naik 5% dan inflasi di Indonesia naik 10%, maka
berdasarkan PPP relatif (dalam kondisi paritas) rupiah akan terdepresiasi
sebesar 5% terhadap USD.
PPP relatif memiliki asumsi sebagai berikut: i) PPP relatif (cenderung
berlaku dalam jangka panjang); ii) Perhitungan nilai tukar berdasarkan PPP
cenderung hanya bersifat teori dasar dan common sense.
PPP memiliki berbagai kelemahan: i) adanya variabel penentu lain di luar
inflasi; dan ii) sulit terpenuhinya asumsi yang mendasari teori.
14
Landasan Teori Nilai Tukar
id - if = E(e)
Di mana: id = suku bunga domestik (risk free); if = suku bunga luar negeri
(risk free);
E(e) = ekspektasi perubahan nilai tukar (apresiasi/depresiasi).
Contoh:
Jika suku bunga di AS adalah 2.5% dan suku bunga di Indonesia sebesar
7.5%, maka berdasarkan IRP (dalam kondisi paritas), rupiah diekspektasikan
terdepresiasi sebesar 5% terhadap USD. Persamaan mengasumsikan bahwa
premi risiko adalah nol, yang merupakan kasus jika investor risiko netral. Jika
investor tidak risiko netral, maka rupiah bisa terdepresiasi lebih besar dari 5%
karena ada tambahan imbal hasil yang diinginkan investor untuk menutupi
potensi kerugian akan tambahan risiko yang tidak netral tersebut.
15
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 4.
Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia
�� ���
��������������
���
�� �������
��������
��
��
��
�� ��
��
�
�
���
���
��� ���
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
������
����������������������
16
Landasan Teori Nilai Tukar
dan
17
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 5.
Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming
� ��
�
�
�
���
��
�������������������������������
18
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 6.
Kebijakan Moneter dalam Model Mundell-Fleming
� ��
���
�
�
��
�
�������������������������������
2.5. Model Moneter Harga Kaku (The Sticky Prices Monetary Model/
SPMM)
Model harga kaku ini diperkenalkan oleh Dornbusch (1976) dan
memperbolehkan adanya overshooting jangka pendek pada nilai tukar
19
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
nominal dan riil di atas tingkat keseimbangan jangka panjangnya. Model ini
mengasumsikan adanya variabel-variabel fleksibel dalam sistem, yaitu nilai
tukar dan suku bunga sebagai sebuah kompensasi atas kakunya variabel lain,
terutama harga barang. Karakteristik dasar model ini dituangkan ke dalam
persamaan struktural berikut (asumsi variabel luar negeri dan pendapatan
domestik adalah konstan).
dan
20
Landasan Teori Nilai Tukar
terjadinya arus modal keluar sehingga nilai tukar pun bergerak menuju ke
keseimbangan jangka panjang.
Penentuan nilai tukar berdasarkan model ini diilustrasikan dalam gambar
7 berikut:
Gambar 7.
Overshooting Nilai Tukar dalam Model Harga Kaku
� �
��
�
��
���
�� �� �� �
�������������������������������
21
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
22
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 8.
Penentuan Nilai Tukar Riil dalam Model Ekuilibrium
��������
�����
���
�������
��� �������������
�������������������������������
23
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
para investor sudah membuat keputusan, maka guncangan dalam obligasi dan
penawaran uang akan memengaruhi tingkat suku bunga nominal dan tingkat
suku bunga riil. Hal ini pada akhirnya dapat berpengaruh pada tingkat nilai
tukar nominal maupun riil. Model likuiditas ini hampir sama dengan model
SPMM. Namun, berbeda dengan model SPMM, model likuiditas ini pada
dasarnya mengasumsikan bahwa portofolio melakukan penyesuaian terhadap
guncangan secara perlahan dan harga-harga barang bersifat fleksibel.
24
Landasan Teori Nilai Tukar
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
25
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 9.
Stabilitas Global dalam Keseimbangan Jangka Pendek
�
��
��
��
�
�������������������������������
26
Landasan Teori Nilai Tukar
27
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 10.
Penawaran – Permintaan Valuta Asing
�������������������
�����������
������
� � ���������
�� �����
������
���������
����������������
������������
����������������������
28
Landasan Teori Nilai Tukar
29
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 11.
Dinamika Nilai Tukar Beberapa Negara Kawasan
�����������������
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
�����
��� �����
����
��� ����
����
��� �������������� ������� ����
����
��� ����
������������������ ����
��� ����
30
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 12.
Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Kawasan
����������������
������������������������������������
��� ������
���
���
���
���
31
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 13.
Dinamika Nilai Tukar Jangka Pendek dan Tren Jangka Panjang
�������������������
������������������
���������������������������
������������������������������ ��������
��������������������������� ������������
������� ��������������
������������������������
������������������������
����������������������������
�������������������������������
�����
����������������������
32
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 14.
Analisis Moving Average Microsoft
������������ �����������������
��
����
�
���������
��
��
��
���
��� ������
��������
���������
���
�
������ ������ ������ ������ ������ ������
�����������������������
33
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 15.
Metode Pendekatan Teknis
����������
��������
�������������
��������
34
Landasan Teori Nilai Tukar
��������
����������
�������
35
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 16.
Dinamika Mata Uang Israel Saat Isu 911
• Mata uang Israeli Shekel (ILS) mengalami pelemahan harian ternggi pd tahun 2011 (-1.7%)
pada tanggal 11 September 2001
• Periswa 9/11 terjadi di AS, jauh dari Israel, namun sebagai sekutu dekat AS di Timteng,
Israel dipersepsikan dlm kondisi yg rawan secara geopolik
• Pelaku pasar merespon dengan menjual ILS secara besar-besaran pd 9/11/2001
36
Landasan Teori Nilai Tukar
Pelajaran yang dapat diambil contoh kasus krisis ekonomi yang bermula
dari Thailand di tahun 1996/1997. Pada saat itu, fenomena gelembung aset
(asset bubble) meledak di Thailand sehingga mencetuskan pelarian modal
yang sangat besar. Kondisi ini mengakibatkan nilai tukar Baht Thailand
merosot tajam meskipun pemerintah Thailand telah mengambil beberapa
langkah penyelamatan nilai tukar melalui intervensi valas maupun menaikkan
suku bunga Baht Thai. Kondisi yang tidak baik tersebut ternyata semakin
memburuk dan bahkan merebak menjadi isu sentimen negatif ke berbagai
negara sekitar sehingga mengakibatkan mata uang negara sekitar mengalami
tekanan depresiasi yang sangat tajam. Tercatat mata uang Peso Filipina,
Ringgit Malaysia dan Rupiah Indonesia terus mengalami tekanan setelah
Baht Thailand. Bahkan kondisi ini diperparah dengan berlanjutnya krisis
mata uang ke krisis politik.
Gambar 17.
Dinamika Nilai Tukar Riil Beberapa Negara Regional
���
��� ��������������� ���������
���������������� ����������������
���
��
��
��
��
��
��
��
��
��
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
���� ����
����������������������
37
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
mematok mata uang peso sebesar 1:1 terhadap dolar AS. Kebijakan ini
diambil dalam rangka mengurangi tekanan inflasi yang terjadi sejak masa
lalu. Namun, sampai dengan tahun 2001, peso ternyata mengalami overvalued
karena kondisi ekonomi dan budget deficit yang semakin besar. Oleh karena
itu, peso didevaluasi pada tahun 2002, akibat semakin besarnya tekanan
sosial dan merebaknya fenomena bank-run yang cukup signifikan. Namun,
kebijakan tersebut tidak cukup untuk mengatasi permasalahan ekonomi
saat itu, dikarenakan perekonomian yang semakin memburuk dan kondisi
bank yang semakin pailit yang menyeret harga aset juga merosot tajam. Isu
devaluasi ini ternyata diperburuk dengan sentiment negatif kekhawatiran akan
terjadi pelemahan peso yang akan berlanjut ke depan. Berdasarkan kondisi
tersebut, pemerintah menyatakan kondisi ekonomi dalam keadaan krisis dan
mata uang peso terus merosot cukup tajam sebagaimana terlihat pada Gambar
18 di bawah ini.
Gambar 18.
Nilai Tukar Harian: Argentina Peso per U.S. Dollar
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
�� � � �� �� �� � �� �� �� � �� ��
�������� �������� ��������
����������������������
38
Landasan Teori Nilai Tukar
Gambar 19.
Fenomena Overshooting
�����������������������
��
������������
�� ��
��
�� ��
����
�����������������������
39
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
memiliki konsekuensi terhadap harga, upah, suku bunga, tingkat produksi, dan
kesempatan kerja serta perekonomian secara luas. Penelitian yang menganalisis
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan dan stabilitas nilai
tukar sudah banyak dilakukan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Faktor-
faktor yang memengaruhi nilai tukar dapat berupa faktor ekonomi, politik,
psikologis, dan juga faktor jangka pendek atau jangka panjang. Perilaku nilai
tukar juga memungkinkan untuk dipelajari melalui variabel makro dan/atau
variabel mikro (Saeed et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
tersebut, beragam faktor yang memengaruhi nilai tukar pun sudah ditemukan.
Demikian pula dengan implikasi kebijakan bagi otoritas berwenang sebagai
bagian dari saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian tersebut. Sub-
bagian berikut akan membahas beberapa literatur yang menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi nilai tukar dan implikasi kebijakan yang disarankan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.
Saeed et al. (2012) melakukan analisis ekonometrik terhadap faktor-faktor
penentu nilai tukar Rupee Pakistan terhadap dolar AS dengan menggunakan
kerangka pendekatan moneter. Data yang digunakan dalam studi tersebut
adalah data bulanan mulai dari Januari 1982 sampai dengan April 2010.
Hasil penelitian mendukung peran faktor ekonomi dan non-ekonomi
dalam penentuan nilai tukar di Pakistan. Hasil empiris juga menunjukkan
bahwa pergerakan nilai tukar sangat terkait dengan rasio cadangan uang
nominal masing-masing mata uang. Cadangan uang relatif dan utang berkaitan
positif dan signifikan dengan nilai tukar. Ketidakstabilan politik berpengaruh
negatif terhadap nilai mata uang dalam kasus Pakistan. Variabel-variabel
seperti tingkat suku bunga relatif jangka pendek dan PDB riil relatif tidak
berhubungan signifikan dengan penentuan nilai tukar PKR terhadap dolar AS,
tetapi kedua variabel tersebut menunjukkan tanda negatif yang sesuai dengan
model moneter harga kaku (sticky price monetary model).
Rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil studi Saeed et al. (2012) adalah
bahwa sektor yang berorientasi ekspor harus dibiayai berdasarkan urutan
prioritas. Langkah-langkah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan
dan defisit transaksi berjalan sangat diperlukan. Selanjutnya, pelepasan
diri dari utang harus direncanakan dan beban utang harus dikurangi. Untuk
mengoptimalkan penggunaan dari keterbatasan dana yang tersedia untuk
sektor swasta, kebijakan kredit harus dilaksanakan sebagai solusi untuk
meningkatkan ketersediaan dana untuk kebutuhan bisnis sektor swasta.
40
Landasan Teori Nilai Tukar
Yang paling utama adalah menjaga tingkat nilai tukar asing yang stabil
dan lingkungan ekonomi makro yang kondusif untuk mempertahankan tingkat
harga yang relatif stabil. Disiplin fiskal dan moneter merupakan prasyarat
penting untuk stabilitas tingkat harga. Perilaku independen dan profesional
dari bank sentral dan pemerintah, bersamaan dengan stabilitas politik, sangat
penting dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencapai
tingkat harga dan nilai tukar yang stabil.
Atif et al. (2012) menganalisis perilaku nilai tukar dolar Australia dan
faktor-faktor yang memengaruhinya dan membedakan antara faktor-faktor
ekonomi dan non-ekonomi. Analisis yang digunakan adalah analisis runtut
waktu dengan metode analisis berupa autoregressive (AR) dan kointegrasi
Engle-Granger. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, antara
lain, suku bunga, neraca modal, penawaran uang, indeks inflasi, ekspor
bersih, net foreign assets, share price index dan dummy stabilitas politik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komponen perdagangan dalam perekonomian
dan indikator-indikator ekonomi yang fundamental, seperti output ekonomi
relatif dan tingkat likuiditas domestik terhadap negara asing, memiliki
peran yang signifikan dalam penentuan nilai tukar. Namun, bertentangan
dengan literatur yang ada, variabel suku bunga dan inflasi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dalam penentuan nilai tukar. Penelitian tersebut
juga menekankan signifikansi peran faktor-faktor yang tidak teramati, seperti
peristiwa politik dan guncangan eksternal, dalam memengaruhi nilai tukar.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Atif et al., (2012) menegaskan bahwa
perdagangan sangat berguna sebagai indikator kebijakan. Kekuatan ekspor
Australia dapat dijadikan indikator untuk mengukur tekanan non-spekulasi
dari pihak asing terhadap dolar Australia.
Penelitian yang dilakukan oleh Oriavwote dan Oyovwi (2012)
menyajikan model dinamis penentuan nilai tukar riil dan juga secara empiris
menguji implikasi dari perubahan faktor-faktor penentu nilai tukar riil di
Nigeria dari tahun 1970 sampai dengan 2010. Metode yang digunakan adalah
parsimonious error correction model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tingkat harga, arus masuk modal, akumulasi modal dan
keterbukaan perdagangan berpengaruh terhadap apresiasi nilai tukar efektif
riil Nigeria. Sebaliknya, peningkatan nilai tukar efektif nominal dan output
membuat nilai tukar efektif riil Nigeria justru terdepresiasi.
41
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
42
Landasan Teori Nilai Tukar
43
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
inflasi dan menjaga stabilitas, tidak cukup bagi Bank Indonesia hanya
mengandalkan kebijakan suku bunga saja. Bank Indonesia juga perlu
memasukkan aspek nilai tukar ke dalam kebijakan moneter dan bauran
kebijakan makroprudensial yang terdiri dari lima instrumen kebijakan, yaitu
suku bunga, nilai tukar, pengelolaan arus modal, makroprudensial, dan
komunikasi kebijakan moneter.
44
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas
45
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
46
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas
dalam hal informasi daripada pelaku pasar valas lainnya. Hal tersebut
dikarenakan dealer memenuhi aktivitas jual beli mata uang dari nasabah
di pasar retail dalam area yang sangat luas. Aktivitas tersebut merupakan
sumber informasi pribadi (private information) yang hanya dimiliki oleh
dealer.
6. Aktivitas perdagangan mata uang oleh nasabah dapat didasari oleh motif
likuiditas, spekulasi, dan manajemen resiko.
47
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
harapan atau ekspektasi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan
berubah, maka nilai tukar hari ini akan berubah meski variabel-variabel lain
tidak berubah.
Ekspektasi juga dibedakan menjadi ekspektasi jangka pendek dan jangka
panjang. Ketidaksesuaian antara ekspektasi nilai tukar jangka pendek dan
jangka panjang dapat dijelaskan oleh perbedaan teknik-teknik ramalan yang
digunakan oleh para peserta pasar valas untuk horison waktu yang berbeda.
Sebagai contoh, teknik utama yang digunakan untuk peramalan nilai tukar
dalam jangka pendek adalah analisis chartist. Analisis chartist atau teknikal
melibatkan penggunaan grafik-grafik (chart) dari pergerakan harga aset
keuangan, dan terkadang juga menggunakan statistik deskriptif untuk
mencoba meramal kemungkinan-kemungkinan harga suatu mata uang di masa
depan dan menentukan strategi-strategi perdagangan. Sementara itu, teknik
yang digunakan untuk peramalan jangka panjang biasanya didasarkan pada
analisis fundamental atau model-model penentuan nilai tukar konvensional.
Perbedaan teknik ramalan ini dapat memengaruhi ekspektasi para pelaku
pasar valas dan pada akhirnya dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar.
48
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas
informasi yang diterima (Evans, 2010). Sebagai contoh, terdapat berita yang
menyatakan bahwa rupiah mengalami apresiasi terhadap dolar AS. Namun,
terdapat perbedaan opini antar para pelaku pasar valas terkait dengan seberapa
jauh rupiah terapresiasi terhadap dolar AS. Dalam kondisi ini, apresiasi nilai
rupiah terhadap dolar AS dapat dinilai besar oleh sebagian pelaku dan dinilai
kecil oleh sebagian lainnya. Pelaku pasar valas yang menilai apresiasi tersebut
terlalu kecil, akan melakukan tindakan untuk menjual rupiah. Sedangkan
pelaku lainnya yang menilai apresiasi tersebut cukup besar, akan melakukan
tindakan untuk membeli rupiah. Perbedaan opini para pelaku pasar valas ini
berpengaruh pada tingkat keakuratan ramalan dan kemudian memengaruhi
volume perdagangan pasar valas (King, Osler dan Rime, 2012).
Beberapa literatur mikrostruktur juga membuktikan bahwa informasi
pribadi dan order flow memiliki kaitan erat dalam menentukan pergerakan
nilai tukar. Order flow dapat didefinisikan sebagai kliring permintaan bersih
atas suatu mata uang dikarenakan kebutuhan likuiditas para pelaku dalam pasar
valas. Implikasi dari pentingnya peran order flow adalah bahwa perubahan
harga mata uang atau nilai tukar terjadi hanya jika terdapat transaksi dalam
pasar valas, dan bukan disebabkan oleh adanya perubahan dalam variabel-
variabel fundamental. Atau dengan kata lain, adanya perubahan dalam
variabel fundamental tidak membuat pergerakan dalam nilai tukar jika tidak
ada transaksi yang terjadi dalam pasar valas. Transaksi tersebut dapat terjadi
karena adanya perubahan dalam informasi pribadi yang dimiliki oleh para
pelaku pasar valas, terutama market makers dan dealer, yang berhubungan
langsung dengan permintaan dan penawaran suatu mata uang oleh nasabah/
klien. Perubahan informasi tersebut kemudian memengaruhi perubahan order
flow oleh market makers dan dealer. Pengaruh order flow terhadap nilai tukar
juga menjadi bahan pertimbangan para dealer dalam melakukan strategi
perdagangannya yang pada akhirnya dapat memengaruhi pergerakan nilai
tukar.
49
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
varians dari tingkat pengembalian suatu mata uang atau instrumen keuangan
lainnya. Volatilitas tersebut dapat digunakan untuk mengukur resiko dari
instrumen terkait. Adanya volatilitas ini tentunya dapat memengaruhi
penentuan nilai tukar suatu mata uang.
50
Mikrostruktur Dalam Pasar Valas
51
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
52
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
Setiap negara di dunia harus menetapkan mata uang negaranya terhadap mata
uang negara lain sebagai patokan untuk memudahkan aktivitas perdagangan
antarnegara. Penetapan nilai tukar suatu negara memiliki dampak yang
signifikan terhadap aktivitas neraca pembayaran dan efektivitas kebijakan
moneter yang pada gilirannya mendorong kegiatan perekonomian negara
tersebut. Nilai tukar mata uang yang menguat secara signifikan dapat
mengurangi daya saing ekspor barang domestik dan membuat harga barang
impor menjadi relatif lebih murah. Hal ini kemudian dapat menyebabkan defisit
neraca perdagangan dari waktu ke waktu. Terkait dengan kebijakan moneter,
depresiasi nilai tukar yang berlebihan dapat mengganggu berjalannya fungsi
kebijakan moneter dan pada akhirnya mengganggu tercapainya kestabilan
harga dalam negeri.
Setelah runtuhnya sistem nilai tukar Bretton Woods, berbagai jenis
sistem nilai tukar telah digunakan oleh berbagai negara. Corden (2002)
mengklasifikasikan sistem nilai tukar ke dalam tiga kelompok, yaitu: i)
sistem nilai tukar tetap murni (absolutely fixed exchange rate); ii) sistem nilai
Gambar 20.
Sistem Nilai Tukar
������� �������
������������ ������������
����������� �����
����������
�������������������������������������
53
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
tukar mengambang murni (pure floating regime); iii) sistem nilai tukar tetap
tetapi dapat disesuaikan (fixed but adjustable rate/FBAR) yang merupakan
kombinasi sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Selain itu, ada juga
beberapa sistem nilai tukar yang merupakan kombinasi dari sistem nilai
tukar mengambang. Gambar 20 merangkum semua jenis sistem nilai tukar
tersebut.
Gambar 21.
Keseimbangan Nilai Tukar Tetap
����
��
��
��
�� �����
����
��
�� ��
�������������������
�������������������������������������
54
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods, sistem nilai tukar tetap telah
ditinggalkan oleh banyak negara sehingga hanya sebagian kecil negara
saja yang masih menerapkan sistem ini. Dua penyebab utama suatu negara
meninggalkan sistem ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sistem
nilai tukar tetap dapat mengganggu neraca perdagangan, terutama jika nilai
tukar dinilai overvalued. Nilai tukar yang overvalued menyebabkan nilai tukar
mata uang domestik menjadi lebih mahal dari nilai sebenarnya. Kondisi ini
mengakibatkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal di luar negeri
dan harga barang impor menjadi lebih murah sehingga dapat memperburuk
neraca perdagangan domestik. Demikian sebaliknya dengan nilai tukar yang
undervalued.
Kedua, ketidakcukupan cadangan devisa untuk mempertahankan sistem
ini. Untuk dapat mempertahankan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang lain pada tingkat tertentu, suatu negara dipersyaratkan untuk memiliki
cadangan devisa yang lebih dari cukup. Negara-negara yang mempunyai
sedikit cadangan devisa akan rentan terhadap serangan spekulasi nilai tukar
karena tidak mampu mengintervensi pasar valas untuk mempertahankan nilai
tukar.
55
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 22.
Keseimbangan Nilai Tukar Mengambang
����
��
�
�
��
��
�
�
��
��
��
�
�
��
� � �� ��
����������������
�������������������������������������
56
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
Tabel 1.
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
57
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
58
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
Tabel 2.
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar De Jure
�������
������� ������� �������
�������
�������������� ���� ���� ���� ����
�� ��������� ���� ���� ���� ����
�� �������������������� ���� ���� ���� ����
�� ����������� ���� ���� ���� ����
�������������������� ���� ���� ���� ����
�� ����������������������������������� ��� ��� ��� ���
�� �������������������������������������� ���� ��� ���� ����
���������������� ���� ��� ��� ����
�� ��������������������������������������
�������������������������������������������
����������������������
59
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 23.
Perkembangan Rezim Nilai Tukar di Berbagai Negara
�����������������������
�����������������������������
����
��������
�� ��������
��������
��
��
��
�����������
������������
������������������
�� ����
��������
�� ������
�������������
��
������ ���
����������� ��
��
���� ����
�������������������� �������������������
�� ��������
��������
���������
�
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
����������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������������������������������������������
���������������������������������������������������������
����������������������
60
Rezim Nilai Tukar Dalam Sejarah Internasional
61
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Pencapaian nilai tukar yang stabil dan kompetitif serta laju inflasi yang
terkendali sangat diperlukan untuk menciptakan situasi yang kondusif
bagi kegiatan ekonomi domestik. Volatilitas nilai tukar yang berlebihan
dapat menimbulkan beban biaya riil pada perekonomian domestik melalui
dampaknya terhadap perdagangan internasional, investasi dan pelaksanaan
kebijakan moneter. Selain itu, perubahan nilai tukar juga memiliki konsekuensi
terhadap harga, upah, suku bunga, tingkat produksi, dan kesempatan kerja
serta perekonomian secara luas. Berdasarkan hal ini, terdapat kepentingan
yang besar di antara pembuat kebijakan dan akademisi untuk mengeksplorasi
ruang kebijakan yang tersedia bagi bank sentral di setiap negara untuk
menangani setiap volatilitas tajam dalam pasar keuangan, terutama pasar
valuta asing. Sub-bagian berikut membahas praktik kebijakan pengendalian
nilai tukar di beberapa negara maju, antara lain, Amerika Serikat, Australia,
Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan Swiss. Pemilihan negara-negara tersebut
didasarkan pada kemajuan perekonomian, pasar keuangan, dan sistem nilai
tukar.
62
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
5.1.2. Australia
Australia saat ini sudah mengadopsi rezim nilai tukar mengambang. Kebijakan
nilai tukar Australia bergeser melalui beberapa rezim sebelum dolar Australia
akhirnya dibiarkan mengambang pada tahun 1983. Dari tahun 1931, mata
uang Australia dipatok (peg) ke mata uang poundsterling Inggris, sebelum
akhirnya dipatok terhadap dolar AS pada tahun 1971. Pada sebagian besar
periode ini -- dari tahun 1944 ke awal tahun 1970-an -- sistem nilai tukar
Australia yang terpatok dioperasikan sebagai bagian dari sistem global nilai
tukar terpatok (pegged exchange rate system), yang dikenal sebagai sistem
Bretton Woods.
Ketika sistem Bretton Woods runtuh di awal tahun 1970-an, negara-
negara maju mengambangkan nilai tukar mata uang mereka. Namun,
Australia tetap menerapkan sistem nilai tukar yang dipatok dengan dolar
AS. Penerapan ini mempertimbangkan sektor keuangan Australia yang saat
itu relatif masih terbelakang. Kemudian, dimulai dari sekitar pertengahan
tahun 1970-an, dolar Australia menjadi semakin lebih fleksibel. Pada tahun
1974, dolar Australia dipatok terhadap TWI (Trade Weight Index). TWI
adalah rata-rata tertimbang dari sekeranjang mata uang yang mencerminkan
pentingnya jumlah ekspor dan impor barang Australia ke setiap negara.
Pada tahun 1976, sistem patokan tersebut kemudian diubah dari hard peg
menjadi crawling peg. Crawling peg melibatkan penyesuaian berkala untuk
tingkat nilai tukar. Dalam perkembangannya, Australia mengambangkan
nilai tukarnya pada akhir tahun 1983. Hal ini sebagai akibat adanya tekanan
spekulatif pada nilai dolar Australia. Terdapat arus modal yang sangat besar
masuk ke perekonomian Australia yang berasal dari spekulan yang bertaruh
63
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
pada apresiasi dolar Australia. Hal ini kemudian memaksa pemerintah untuk
memilih kebijakan antara pengetatan kontrol modal atau pengambangan nilai
tukar. Penerapan rezim nilai tukar mengambang telah memberikan manfaat
bagi perekonomian, antara lain, penurunan volatilitas output selama dua
dekade terakhir ini. Rezim nilai tukar mengambang juga memungkinkan
Reserve Bank Australia untuk menetapkan kebijakan moneter yang paling
sesuai untuk kondisi perekonomian domestik. Dengan demikian, terdapat
independensi pada kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi.
5.1.3. Jepang
Saat ini, Jepang masih mempertahankan rezim nilai tukar mengambang. Sejak
tahun 2013, Jepang tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing.
Dalam pernyataan G-7 pada Februari 2013, Jepang berjanji akan mendasarkan
kebijakan ekonomi untuk tujuan-tujuan domestik dan menghindari kebijakan
penargetan nilai tukar. Hal ini juga dipertegas oleh Gubernur Bank Sentral
G-20, pada pertemuan yang diadakan di Moskow pada Februari 2013, yang
menyatakan bahwa negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk
Jepang, tidak akan menargetkan nilai tukar untuk tujuan kompetitif. Sejak
Februari 2013, pejabat Jepang telah jelas mengesampingkan pembelian aset
asing sebagai alat kebijakan moneter.
5.1.4. Kanada
Kanada mengadopsi sistem nilai tukar mengambang. Baik pemerintah
maupun bank sentral Kanada tidak menargetkan tingkat tertentu untuk dolar
Kanada. Bank sentral Kanada dapat mengintervensi nilai tukar di pasar valuta
asing atas nama pemerintah federal untuk mengantisipasi arus modal masuk
jangka pendek yang mengganggu dolar Kanada. Intervensi tersebut diatur
oleh kebijakan intervensi yang ditentukan oleh pemerintah melalui konsultasi
dengan bank sentral Kanada. Kebijakan intervensi Kanada dalam pasar
valuta asing dilakukan secara diskresi (discretionary), di mana bank sentral
hanya akan mengintervensi jika perekonomian dalam keadaan luar biasa.
Ketika intervensi terjadi, terdapat pengumuman yang menunjukkan adanya
intervensi pada website bank sentral Kanada. Informasi mengenai jumlah
intervensi yang dilakukan pemerintah tersedia untuk umum di press release
bulanan resmi pemerintah mengenai cadangan internasional.
64
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
5.1.6. Swiss
Pada tahun 2011, akibat adanya tekanan dari krisis global dan Eropa, Swiss
mulai mengadopsi nilai tukar terpatok (pegged exchange rate) terhadap euro.
Oleh karena itu, mata uang Swiss, franc, terkenal di kalangan para investor
sebagai mata uang yang paling aman. Pada bulan September 2011, dalam
konteks deflasi, Bank Nasional Swiss (Swiss National Bank/ SNB) menetapkan
tingkat minimum nilai tukar (floor) sebesar 1,20 franc Swiss per euro. Per
September 2014, SNB secara berkala menegaskan kembali komitmennya
untuk mengelola nilai tukar, dengan menyatakan bahwa SNB telah siap untuk
membeli mata uang asing dalam jumlah tak terbatas untuk mencapai tingkat
nilai tukar franc Swiss sebesar 1,20. Namun, kondisi perekonomian global
yang tidak kunjung membaik serta adanya tekanan politik, memaksa bank
sentral Swiss mengambangkan nilai tukarnya pada 15 Januari 2015. Hal
tersebut menyebabkan panik di kalangan investor dan pelaku pasar keuangan
dan mendorong apresiasi franc Swiss dari 1.2 menjadi 0.85 franc per euro.
65
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
66
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
Tabel 3.
Perubahan Rezim Nilai Tukar di Afrika Selatan
���������������������������
5.2.2. Argentina
Otoritas bank sentral dan pemerintah pusat Argentina telah mengenalkan
beberapa langkah dan kebijakan untuk mengatur pasar nilai tukar. Mengenai
ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) setelah runtuhnya rezim
67
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
dewan mata uang (currency board regime) pada tahun 2001, bank sentral
Argentina menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya masalah. Langkah-langkah tersebut termasuk di antaranya adalah
mempromosikan penurunan risiko mata uang, misalnya dengan menetapkan
aturan kecukupan modal untuk ketidaksesuaian mata uang (currency
mismatch), bersama-sama dengan kerangka peraturan yang menetapkan bahwa
deposito dalam dolar di bank lokal harus digunakan hanya untuk pinjaman
dalam dolar. Demikian pula dengan kredit berdenominasi dolar yang hanya
boleh diberikan saat kapasitas pembayaran debitur berkaitan dengan dolar
(misalnya, kegiatan sektor tradable).
Dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukar, Argentina juga melakukan
peraturan arus masuk modal jangka pendek dan mencegah kemungkinan
terjadinya arus modal keluar secara tiba-tiba. Untuk mengurangi efek
negatif dari arus modal jangka pendek, Argentina telah berhasil mengambil
serangkaian tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejak
pertengahan 2005, otoritas ekonomi Argentina telah menerapkan langkah-
langkah yang bertujuan untuk mengatur dan mengurangi arus masuk modal
jangka pendek. Pinjaman keuangan yang baru dibuat yang diperdagangkan
di pasar valuta asing domestik, dan arus modal balik (rollover capital) yang
berasal dari sektor swasta non-keuangan, serta liabilitas eksternal yang berasal
dari aktivitas keuangan penduduk, harus dibuat dan disimpan dalam sistem
keuangan negara untuk setidaknya 365 hari berturut-turut (di mana dalam
regulasi pertama, syaratnya hanya 180 hari). Pinjaman ini tidak dapat dibayar
sebelum tanggal jatuh tempo, terlepas dari adanya modalitas pembayaran
(settlement modality) dan apakah modalitas tersebut melibatkan akses ke
pasar valuta asing domestik atau tidak.
Lebih lanjut, jika ekonomi Argentina kembali menerima peningkatan
jumlah arus modal yang masuk, berdasarkan peraturan Executive Order
616/2005 dan BCRA Communication A 4359, otoritas ekonomi Argentina
menyediakan deposito bebas bunga selama satu tahun yang setara dengan
30 persen dari arus masuk modal tertentu (sektor keuangan dan liabilitas
keuangan sektor swasta non-finansial). Deposito ini pada dasarnya berlaku
untuk investasi portofolio di pasar sekuritas sekunder dan pinjaman luar negeri
untuk investasi dalam aset keuangan, dan bertujuan untuk mengurangi bagian
keuntungan (yield) dari aset lokal sebagai cara untuk menghalangi investasi
keuangan jangka pendek. Sebaliknya, sama sekali tidak ada aturan pembatasan
68
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
pada arus masuk FDI dan pembiayaan luar negeri yang diperuntukkan bagi
aktivitas perdagangan eksternal (impor atau ekspor).
5.2.3. Brasil
Sejak tahun 1999, Brasil mulai mengimplementasikan kebijakan nilai tukar
mengambang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, otoritas moneter
Brasil telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan volatilitas
mata uang Brasil, yaitu real. Pada bulan Maret 2015, bank sentral Brasil
menangguhkan program intervensi resmi, yang sebenarnya telah dimulai
pada Agustus 2013, untuk memenuhi permintaan sektor swasta terkait
dengan lindung nilai (hedging) terhadap depresiasi real. Akan tetapi, program
intervensi resmi tersebut kembali mulai dilakukan pada bulan September
2015 dan dilakukan sesuai kebutuhan. Pihak berwenang Brasil juga telah
menggunakan intervensi pasar valuta asing -- terutama melalui pasar derivatif
valuta asing -- serta ajakan melalui lisan dan langkah-langkah manajemen
arus modal untuk meredam pergerakan arah mata uang yang berlebihan.
5.2.4. China
Sebelum berkembang menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di
lingkup global, pemerintah China selalu bersikap berhati-hati terhadap proyek
modal asing. Namun, sikap demikianlah yang kemudian menyelamatkan China
dan Hong Kong dari krisis keuangan Asia tahun 1998. Saat ini, banyak pihak
yang meminta pemerintah China untuk melakukan deregulasi modal (capital
deregulation). Meskipun secara alami China akan melakukan deregulasi,
namun pemerintah China masih mengadopsi cara yang konservatif dalam
mengejar ekonomi berbasis pasar bebas. Saat ini, China masih menerapkan
kebijakan kontrol devisa, baik menyangkut manajemen giro, manajemen
neraca modal, dan manajemen nilai tukar.
Terkait dengan kebijakan kontrol current account, hal yang paling
banyak dibicarakan saat ini adalah jumlah pembatasan pertukaran mata uang
per tahun, yaitu sebesar USD 50.000. Dengan pembatasan ini, penduduk
dalam negeri hanya dapat membeli valuta asing dengan jumlah nilai sebesar
USD 50.000 per individu per tahun. Sementara itu, terkait dengan capital
account, strategi kontrol yang cukup ketat di masa lalu secara bertahap mulai
69
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
5.2.5. India
Pasar valuta asing India telah melalui proses liberalisasi secara bertahap
selama dua dekade terakhir. Proses liberalisasi tersebut dilakukan sudah jauh
sejak awal tahun 1978 ketika bank-bank di India diizinkan untuk melakukan
perdagangan intraday di pasar valuta asing (Prakash, 2012). Namun demikian,
pasar valuta asing India baru mencapai perubahan secara signifikan sejak tahun
1990-an bersamaan dengan pergeseran rezim mata uang India dari rezim nilai
tukar terpatok (pegged) menjadi rezim nilai tukar mengambang. Lebih jauh,
krisis neraca pembayaran pada tahun 1991 yang kemudian menandai awal
terjadinya proses reformasi ekonomi di India dan menyebabkan implementasi
kebijakan Liberalized Exchange Rate Management System (LERMS) pada
70
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
5.2.6. Malaysia
Krisis keuangan Asia tahun 1998 memaksa Malaysia mengaitkan ringgit
terhadap dolar AS. Namun, pada bulan Juli 2005, Malaysia mulai mengadopsi
rezim nilai tukar mengambang terkendali. Implikasi dari kebijakan ini adalah
ringgit direferensikan terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama
negara dan dibiarkan bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Sejak saat
itu, fokus intervensi Bank Negara Malaysia (BNM) di pasar valuta asing
terbatas hanya untuk menjaga kondisi pasar valuta asing agar tetap dalam
aturan dan untuk menghindari gerakan nilai tukar ringgit yang ekstrim yang
bisa menggoyahkan ekonomi riil domestik (Aziz, 2013).
Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi Malaysia, intervensi di
pasar valuta asing telah jauh lebih jarang dilakukan. Pada saat yang sama,
otoritas moneter Malaysia jauh lebih terfokus untuk mengidentifikasi periode-
71
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
5.2.7. Meksiko
Sebelum tahun 1954, kondisi mata uang Meksiko yakni peso, relatif stabil
terhadap dolar AS pada besaran 8.65 peso per dolar AS. Namun, pada tahun
1954, kondisi yang tidak menguntungkan terjadi di Meksiko sehingga
perekonomian domestik mengalami ketidakstabilan. Dalam rangka untuk
memperbaiki ketidakstabilan tersebut, pada 19 April 1954, peso didevaluasi
dan ditetapkan pada besaran 12,50 peso per dolar AS. Nilai tersebut
dipertahankan hingga September 1976 (Banco de Mexico, 2009). Pada 1
September 1976, Meksiko mengubah sistem nilai tukar tetap dengan sistem
nilai tukar mengambang terkendali (managed floating). Dalam praktiknya,
terdapat dua nilai tukar, yaitu satu untuk transaksi mata uang dan satu lagi
untuk transaksi dengan menggunakan dokumen.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 24, hingga tahun 1994, rezim nilai tukar
di Meksiko telah mengalami beberapa penyesuaian seiring dengan kondisi
perekonomian domestik yang terjadi pada saat itu. Pada akhir tahun 1994,
perekonomian Meksiko mengalami guncangan yang menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan pasar dan mengakibatkan serangan spekulatif pada cadangan
devisa bank sentral Meksiko. Hal tersebut memaksa bank sentral Meksiko
untuk mengambangkan nilai tukarnya (Banco de Mexico, 2009). Hingga saat
72
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
Gambar 24.
Proses Perubahan Rezim Nilai Tukar
��������
��������
���������� ������ ��������
���� ������� ��������
�������� ����
������������ ����
�������
��������� ��������� ������ ��������
���� ������� ������� ��������
���������
�������
�����������������������������������������
�����������������������������������
5.2.8. Rusia
Sejak tahun 1999, bank sentral Rusia telah menerapkan rezim nilai tukar
mengambang terbatas (managed floating exchange rate regime) dengan tidak
mengatur tingkat target (band) nilai tukar rubel. Hal ini berarti bahwa bank
sentral Rusia tidak menghalangi adanya campur tangan pasar dalam dinamika
73
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
nilai tukar rubel yang disebabkan oleh fundamental ekonomi makro. Namun,
disisi lain, bank sentral Rusia juga melakukan intervensi untuk mengurangi
volatilitas berlebihan pada rubel dan memastikan proses adaptasi agen-agen
ekonomi secara bertahap terhadap fluktuasi nilai tukar.
Pada tahun 2005, bank sentral Rusia memperkenalkan keranjang mata
uang ganda (dual-currency basket), yang terdiri dari dolar AS dan euro
sebagai indikator operasional kebijakan nilai tukarnya. Untuk membatasi
fluktuasi berlebihan pada keranjang mata uang ganda tersebut, Bank sentral
Rusia menetapkan koridor untuk indikator operasional ini (operational band)
dan melakukan intervensi nilai tukar berupa operasi konversi rubel/dolar AS
dan rubel/euro di dalam bursa serta pasar OTC. Pergeseran pada batas band
operasional ini dilakukan dengan memperhitungkan keseimbangan dinamika
neraca pembayaran dan perkembangan pasar valuta asing dalam negeri.
Pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009, perekonomian Rusia
menghadapi guncangan eksternal skala besar yang disebabkan oleh perubahan
tajam di pasar keuangan dan komoditas global. Dalam situasi ini, bank sentral
Rusia memodifikasi kerangka kebijakan nilai tukarnya. Pada Februari 2009,
bank sentral Rusia menetapkan aturan pergeseran otomatis band operasional
terkait dan menetapkan lebar band mengambang ini sebesar 2 rubel. Sejak
itu, lebar band operasional mengambang tersebut telah ditingkatkan secara
bertahap untuk memastikan perubahan ke rezim nilai tukar yang lebih
fleksibel.
Pada Oktober 2010, bank sentral Rusia mengumumkan telah meninggalkan
kebijakan band terbatas atas rubel terhadap keranjang mata uang ganda.
5.2.9. Thailand
Seperti halnya Indonesia, Thailand juga merupakan salah satu negara yang
mengalami krisis ekonomi di Asia pada tahun 1998. Bahkan, awal terjadinya
krisis tersebut dimulai dari Thailand. Setelah krisis keuangan Asia tersebut,
Thailand berhasil membangun kembali produktivitas perekonomiannya,
sambil terus membuktikan bahwa ekonomi Thailand tidak rentan terhadap
berbagai guncangan. Sejak 2011, kerangka manajemen nilai tukar di Thailand
telah bergerak ke arah yang lebih fleksibel dalam pergerakan nilai tukarnya
sesuai dengan fundamental ekonomi. Meskipun mengimplementasikan rezim
nilai tukar mengambang, dalam keadaan tertentu otoritas moneter Thailand
74
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
5.3. Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Empiris
Studi terkait volatilitas nilai tukar diantaranya dilakukan di India.Pasar valuta
asing India telah melalui proses liberalisasi bertahap selama dua dekade
terakhir. Akibat dari penerapan rezim nilai tukar yang ditentukan oleh pasar
pada tahun 1993, rupee telah menghadapi episode volatilitas yang tinggi.
Prakash (2013) menganalisa enam fase utama dari volatilitas di pasar valas
75
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
76
Volatilitas Nilai Tukar dan Respon Bank Sentral: Studi Kasus Beberapa Negara
77
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
78
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
dianut di Indonesia adalah sistem devisa bebas, sementara sistem nilai tukar
ditetapkan oleh Pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi dari
Bank Indonesia.
Dengan demikian, dalam hal pengelolaan nilai tukar dan devisa, BI
menjalankan wewenangnya dengan berdasarkan pada UU Bank Indonesia.
Beberapa hal penting yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut
adalah:
• Tujuan kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, utamanya inflasi.
• Bank Indonesia memiliki independensi dalam cara mencapai inflasi
(instrumen moneter), dan kelembagaan (tidak ada campur tangan,
intervensi dan anggaran). Sementara sasaran inflasi ditetapkan oleh
pemerintah bekerjasama dengan BI.
• Penguatan kerangka kebijakan melalui prinsip-prinsip akuntabilitas dan
transparansi.
• Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar memberikan landasan sistem nilai tukar (mengambang)
dan lalu lintas devisa (bebas) di Indonesia.
• Tujuan kebijakan nilai tukar dan devisa.
• Mendukung kesinambungan pelaksanaan pembangunan.
• Mendukung efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Kewenangan BI atas cadangan devisa mencakup beberapa hal seperti
berikut:
• Pengelolaan cadangan devisa,
• Pengembangan pasar valuta asing, dan
• Pengelolaan nilai tukar.
79
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
10 Sebelum 1973, Indonesia pernah menggunakan multiple exchange rate system ‘sistem nilai tukar berganda’
melalui penerapan Sistem Bukti Ekspor sejak tahun 1957. Peraturan-peraturan yang terkait dalam penerapan
sistem ini menyangkut pembatasan-pembatasan di bidang perdagangan dan lalu lintas devisa. Kemudian, pada
tahun 1967 mulai diberlakukan Sistem Bonus Ekspor yang bertujuan untuk menggairahkan ekspor, dengan
memperbolehkan masyarakat memindahtangankan atau memperjualbelikan devisa hasil ekspor di pasar bebas
dengan harga yang berubah setiap waktu (floating exchange rate system).
80
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
• Devaluasi Nopember 1978 dari Rp. 425 per USD menjadi Rp. 625 per
USD;
• Devaluasi Maret 1983 dari Rp. 625 per USD menjadi Rp. 825 per USD;
dan
• Devaluasi September 1986 dari Rp. 1134 per USD menjadi Rp. 1644 per
USD.
Selanjutnya, sistem nilai tukar mengambang terkendali secara lebih
fleksibel pernah diterapkan di Indonesia dari September 1986 – Januari 1994
dan dengan mekanisme pita intervensi dari Januari 1994 – Agustus 1997.
Dalam periode ini dilakukan kebijakan nilai tukar sebagai berikut:
• Bank Indonesia setiap hari mengeluarkan nilai tukar (kurs) tengah
harian;
• Pita intervensi pernah dilakukan pelebaran sebanyak 8 kali, yaitu dari
Rp. 6 (0,25%) menjadi Rp. 10 (0,5%) pada September 1992, menjadi
Rp. 20 (1%) pada Januari 1994, menjadi Rp. 30 (1,5%) pada September
1994, menjadi Rp. 44 (2%) pada Mei 1995, menjadi Rp. 66 (3%) pada
Desember 1995, menjadi Rp. 118 (5%) pada Juni 1996, menjadi Rp. 192
(8%) pada September 1996, dan menjadi Rp. 304 (12%) pada Juli 1997;
• Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga
agar nilai tukar rupiah bergerak dalam batas-batas pita intervensi yang
ditetapkan, dengan cara membeli valuta asing apabila nilai tukar bergerak
mendekati batas bawah dan menjual valuta asing apabila nilai tukar
mendekati batas atas dalam pita intervensi yang telah ditetapkan.
Sementara itu, sistem nilai tukar mengambang diterapkan di Indonesia
sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
sistem ini ditempuh sebagai reaksi Pemerintah dalam menghadapi demikian
besarnya gejolak dan cepatnya pelemahan nilai tukar pada sekitar Juli –
Agustus 1997. Serangan spekulasi terhadap rupiah yang dipicu oleh dampak
menjalar serangan spekulasi terhadap mata uang baht Thailand telah
menyebabkan gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah, yang selanjutnya
mendorong investor luar negeri menarik dananya secara besar-besaran dan
pada waktu bersamaan dari Indonesia. Kepanikan kemudian terjadi di pasar
valuta asing karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri memborong
valuta asing untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari
risiko nilai tukar, sementara sebagian para pelaku pasar berspekulasi untuk
mencari keuntungan pribadi.
81
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
82
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
• Penetapan nilai tukar harian dan lebar kisaran intervensi dalam sistem
nilai tukar mengambang terkendali.
Dengan dianutnya sistem nilai tukar mengambang sejak Agustus 1997,
pergerakan nilai tukar rupiah pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan valuta asing di pasar. Dalam kaitan ini, kebijakan
nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia berupa intervensi di pasar valuta
asing lebih diarahkan untuk menstabilkan atau menghindari gejolak nilai
tukar rupiah di pasar. Intervensi dimaksud tidak dimaksudkan untuk mencapai
atau mengarahkan pergerakan nilai tukar rupiah pada tingkat atau kisaran
tertentu.
83
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
84
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
11 Berdasarkan ketentuan dalam UU No.24 Tahun 1999 tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan
untuk monitoring lalu lintas devisa, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.1/9/1999 tanggal 28 Oktober 1999.
Dalam PBI tersebut diatur kewajiban pelaporan bagi setiap lalu lintas devisa oleh dan melalui bank dan lembaga
keuangan lainnya mulai 1 Maret 2000. Untuk transaksi di atas USD10.000 dilaporkan per transaksi, sementara
untuk transaksi di bawah USD 10.000 dilaporkan secara gabungan. Dalam laporan tersebut dicantumkan tujuan
transaksi devisa yang bersangkutan (ekspor/impor, utang luar negeri, dan sebagainya).
85
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
PBI, DHE dan DULN, sehingga apabila bank melaporkan adanya transaksi
oleh nasabahnya, bank wajib menyampaikan rincian transaksi ekspor dan
dokumennya kepada Bank Indonesia.
Gambar 25.
Perilaku Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia
�����������������������������������
������������������������ �����������������������������������
������������������� ����������������������������������
��������������������������������
�����������������������������������
�����������
������������������
�������������������������
�����
����������������������������������
�����������������������
���������������������������������
��������������������������������
������������������ �������������������������������������
��������������������
�����������������������
������������������ ���������������������������������������
���������������� ���������������������
�����������������
����������������
86
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
Gambar 26.
Perkembangan Nilai Tukar Menuju Sistem Mengambang Fleksibel
����
�����������������
���� ����������������������
��������������������
����
���������������������
���������������������
����
����
����
����
� �� � �� � �� �� � �� � �� � �� � ��
������ ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ���
����������������������
Gambar 27.
Sejarah Sistem Devisa di Indonesia
����������������������������������
����������������������
�����������������������������������
�������������� ����������������������������������
����������������������������������
��������������������������� �����������������������������������
�������������� ��������������������������������
�������������
�������������������
��������������������
����������������������������������
�������������
���������������������������
�������������������������
������������������������������
��������������
�����������������������������
87
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
Gambar 28.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
�������
����������� ������������
����������������� �����������������������
������������
���������
���������������
������������ ����������� ���
�������������� ������
���
������ �������
������������� ���
�������
������������� ��������
����������
�������������������� ���������
���
������������
����������
����������������������
88
Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa di Indonesia
Tabel 4.
Respon Kebijakan Moneter Policy Mix
�� ����������������� ������
� �����������������
�������������������������������������������������������
� ��������������������������������������
��������������������������������������������
� ��������������������������
�����������������������������������������������������
�� ���������������������������������������������������
��������������������������������������������������
�� ���������������������������������
�� ����������������������������������������������
�������������
� ������������������������������
� ������������������ ��������������������������������
� ��������������������������������������������������� ������������������������������������������������������
��������������������������������������������������������� �����������������������������������������������
�������������������������������������������������������������
� �������
�������������������������
� ��������������������������
������������������������������������������������������������
� ���������������������������
� �������������������������
� ���������������������������������� ���������������������������������������������������������
���������������������������������������������������������
� ������������������ ��������������������������������������������������������������������
�������������������������������
�������������������������������������������������������
� ������������������������
��������������������������������
����������������������
89
Konsep, Dinamika dan Respon Kebijakan Nilai Tukar Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Atif, Syed Muhammad, Sauytbekova, M., and Macdonald, James. 2012. The
Determinants of Australian Exchange Rate - A Time Series Analysis.
Munich Personal Repec Archive (MPRA) Paper No. 42309.
https://mpra.ub.uni-muenchen.de/42309/1/MPRA_paper_42309.pdf
Aziz, N.A. 2013. Foreign Exchange Intervention in Malaysia. Bank for
International Settlements (BIS) Paper No. 73. https://www.bis.org/publ/
bppdf/bispap73p.pdf
Banco de Mexico. 2009. Exchange Rate Regimes in Mexico since 1954.
Banco de Mexico Publicaciones.
http://www.banxico.org.mx/sistema-financiero/material-educativo/
basico/%7BA363683E-9B8D-C3A9-610C-E2153395E4B8%7D.pdf
Carbaugh, RJ. 1992. International Economics. 4th edition. Wadsworth
Publishing Company.
Cappiello, L. and Ferrucci, G. 2008. The Sustainability of China’s Exchange
Rate Policy and Capital Account Liberalisation. European Central Bank
Occasional Paper Series No. 82.
https://www.ecb.europa.eu/pub/pdf/scpops/ecbocp82.pdf?74a63da94d97182
0faf0131e81d8e62e
Hassan, S. 2015. Speculative Flows, Exchange Rate Volatility and Monetary
Policy: The South African Experience. South African Reserve Bank
Working Paper Series WP/15/02.
https://www.resbank.co.za/Lists/News%20and%20Publications/
Attachments/6610/WP1502.pdf
Hutchison, M.M., and Pasricha, G. 2015. Exchange Rate Trends and
Management in India.
http://people.ucsc.edu/~hutch/Hutchison-Pasricha%20Exchange%20
Rates%20and%20Exchange%20Rate%20Management%20in%20
India%20May%2031%202015.pdf.
90
Krugman, PR and Obstfeld, M. 2009. International Economics: Theory &
Policy. 8th edition. Pearson International Edition.
http://ijbssnet.com/journals/Vol_3_No_6_Special_Issue_March_2012/23.pdf
Oduncu, A., Akcelik, Y., and Ermisoglu, E. 2013. Reserve Options Mechanism:
A New Macroprudential Tool to Limit the Adverse Effects of Capital Flow
Volatility on Exchange Rates. Central Bank Review Vol. 13, pp. 45-60.
Oriavwote, V.E. and Oyovwi, D.O. The Determinants of Real Exchange Rate
in Nigeria. International Journal of Economics and Finance 4 (8), pp.
150-160.
Prakash, A. 2012. Major Episodes of Volatility in the Indian Foreign Exchange
Market in the Last Two Decades (1993-2013): Central Bank’s Response.
Reserve Bank of India Occasional Papers 33 (1 & 2).
http://rbidocs.rbi.org.in/rdocs/Content/PDFs/8MEVIF270614.pdf
Saeed, A., Awan, R.U., Sial, M.H., Sher, F. 2012. An Econometric Analysis
of Determinants of Exchange Rate in Pakistan. International Journal of
Business and Social Science 3 (6), pp. 184-196.
Sarno, L., and Taylor, M. 2002. The Economics of Exchange Rate. Cambridge
University Press, New York.
Simorangkir, I., dan Suseno. 2004. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Seri
Kebanksentralan No.12. Bank Indonesia.
Pugel, TA. 2007. International Economics. 13th edition. McGraw-Hill Irwin.
Mundell, R. 1968. International Economics. Pearson International Edition.
Syarifuddin, F., Achsani, N.A., Hakim, D.B., Bakhtiar, T. 2014. Monetary
Policy Response on Exchange Rate Volatility in Indonesia. Journal of
Contemporary Economic and Business Issues 1 (2), pp. 35 - 54.
http://www.eccf.ukim.edu.mk/ArticleContents/JCEBI/JCEBI_2/spisanie%20
Ferry%20Syarifuddin.pdf
http://www.eccf.ukim.edu.mk/ArticleContents/JCEBI/JCEBI_2/spisanie%20
Ferry%20Syarifuddin.pdf
91