NIM : 1514190075
Hari & Jam : Selasa, 19:30 – 21:10
Tabel 1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1951 - 1966
Indeks % Indeks %
Tahun Tahun
(1951=100) Perubahan (1951=100) Perubahan
1951 100,0 - 1959 149,1 -1,9
1952 103,8 3,8 1960 146,8 -1,5
1953 126,8 22,1 1961 149,4 1,7
1954 128,6 1,4 1962 145,3 -2,7
1955 133,4 3,7 1963 141,4 -2,7
1956 136,4 2,2 1964 144,7 2,4
1957 144,4 5,8 1965 145,5 0,5
1958 152,0 5,3 1966 146,4 0,6
*Angka dibulatkan, **tahun-tahun setelah itu atas dasar harga 1983 (sebelumnya
atas dasar harga 1973). Sumber: Nota Keuangan dan APBN 1991/1992 dan
1995/1996.
C. REFORMASI
Pada tahun 1999 KH. Abdurrachman Wahid terpilih sebagai Presiden RI yang
menandai awal dari pemerintahan reformasi, menggantikan pemerintahan transisi
yang dipimpin oleh BJ. Habibie. Harapan besar pada awal pemerintahan reformasi
KH. Abdurrachman Wahid yang kemudian digantikan Megawati Soekarno Putri
pada tahun 2001 diwujudkan pada pertumbuhan PDB pada tahun 2000-2004 yang
cukup stabil di kisaran angka 4,9-5,1% (Tabel 4).
Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa pada tahun 2004,
kinerja ekonomi dapat dikatakan lebih baik dibandingkan masa-masa pemerintahan
sebelumnya pada masa reformasi. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 4 dimana
pertumbuhan PDB berada diantara angka 5-6%. Hal ini dilandasi kondisi politik
Indonesia yang terus membaik dan faktor-faktor eksternal yang kondusif.
Tabel
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia Sejak Krisis Ekonomi
1998
Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Pertumbuhan
-13,1 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9
PDB rill (%)
PDB
nominal 96 140 166 164 200 239
(miliar US $)
Pertumbuhan
-8,6 -0,4 27,7 -9,3 5,0 8,4
ekspor
Pertumbuhan
-34,4 -12,2 39,6 -7,6 15,1 10,9
impor
Sumber: BPS dalam Tambunan (2011)
2. PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
A. MASA ORDE LAMA ( 1945 – 1966 )
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Indonesia
menjelang akhir 1940-an menghadapi dua peperangan besar belanda, Polisi I dan
II.
27 Desember 1949 Republik Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaan dari
Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar Belanda ( Denhaag ) yang
dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949.
Pada tahun 1950 – 1965 Indonesia dilanda gejolak politik dalam negeri dan
pemberontakan di sejumlah daerah seperti Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya
selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk,
walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata pertahun hampir 7
% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata pertahun
hanya 1,9% atau bahkan hampir stagflasi selama tahun 1965-1966. Pada tahun 1965
dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestic Bruto (PDB) masing-
masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6% ( Tabel 1 ).
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958 defisit
saldo neraca pembayaran (BoP) dan defisit APBN terus membesar dari tahun ke
tahun. Misalnya, APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989),
jumlah pendapatan pemerintah rata-rata per tahun selama periode 1955 – 1965
sekitar 151 juta rupiah (disebut rupiah “baru”), sedangkan besarnya pengeluaran
pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah, atau lebih
dari 100% lebih besar dari rata-rata pendapatannya. Jika pada tahun 1955 defisitnya
baru 2 juta rupiah, pada tahun 1965 sudah mencapai lebih dari 1 milliar rupiah:
berarti suatu kenaikan yang sangat signifikan selama jangka waktu tersebut. Jika
pada tahun 1955 defisit anggaran baru sekitar 14% dari jumlah pendapatan
pemerintah pada tahun yang sama, pada tahun1965 defisitnya sudah hamper 200%
dari besarnya pendapatan pada tahun yang sama. (Lihat Tabel 2).
Tabel 2
Saldo APBN 1955 – 1965 (jutaan rupiah)
Tahun Pendapatan Pengeluaran Saldo
1955 14 16 -2
1956 18 21 -3
1957 21 26 -5
1958 23 35 -12
1959 30 44 -14
1960 50 58 -8
1961 62 88 -26
1962 75 122 -47
1963 162 330 -168
1964 283 681 -398
1965 923 2.526 -1.603
Pada masa pemerintahan Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk,
banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhan pada saat itu untuk
membiayai dua peperangan, yakni merebut Irian Barat dan pertikaian dengan
Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan
sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri.
b. REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas
utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
d. REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk
memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang
lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk
melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA
adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti
pertumbuhan industri bertahap.
C. REFORMASI
Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia turun menjadi -13,16% pada 1998, bertumbuh sedikit 0,62% pada tahun
1999 dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005
berturut-turut sebagai berikut 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan
5,69%. Ekonomi kita bertumbuh dari hanya 0,62% berangsur membaik pada
kisaran 4% antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada
kisaran 5%. Pemerintah pada mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006
adalah 6,2% tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi
5,8%; namun BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah
dari laju pertumbuhan 2005.
Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih rendah lagi karena
investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi
kita dari tahun 1999 s.d. 2005 mencapai ratarata 4,15%. Dari data di atas
kelihatannya ekonomi kita memiliki prospek membaik yaitu terus meningkatnya
laju pertumbuhan di masa depan. Namun apabila diteliti lebih mendalam akan
terlihat adanya permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor
ekonomi dapat dikelompokkan atas dua kategori yaitu sektor riil dan sektor non-
riil.
Sektor riil adalah sektor penghasil barang seperti: pertanian, pertambangan, dan
industri ditambah kegiatan yang terkait dengan pelayanan wisatawan internasional.
Sektor non-riil adalah sektor lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan,
pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan).
Kegiatan yang melayani wisatawan internasional masuk pada beberapa sektor non-
riil sehingga tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor riil
bertumbuh 3,33% sedangkan sektor non-riil bertumbuh 5,1%. Pertumbuhan ini
adalah pincang karena semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor
riil yang bertumbuh. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh
3,11%, pertambangan -0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%. Hal yang lebih
mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju pertumbuhan sektor riil
cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi keseluruhan sejak 2002
adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang melaju 2 kali lipat dari sektor riil.
C. REFORMASI
Namun, kondisi dalam negeri yang relatif stabil dikejutkan oleh kejadian-kejadian
faktor eksternal. Pada tahun 2005, terjadi kenaikan harga BBM di pasar
internasional yang tidak menguntungkan Indonesia sebagai Negara pengimpor
BBM. Kenaikan ini menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun 2005. Menurut Tambunan (2011),
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4, pengaruh melemahnya rupiah tahun 2005
sangat kecil terhadap peningkatan ekspor Indonesia karena ekspor Indonesia tidak
terlalu elastis terhadap pergerakan rupiah. Hal serupa juga berlaku pada
pertumbuhan impor karena Indonesia sudah sangat bergantung pada impor barang
kebutuhan pokok, mulai dari barang konsumsi sampai barang modal dan peralatan
produksi.
Selain itu, pada periode 2008-2009 terjadi krisis ekonomi global yang berawal dari
krisis keuangan di AS dan merembet ke sejumlah negara maju yang mengakibatkan
resesi ekonomi dunia. Krisis global ini membuat permintaan dunia merosot yang
berdampak pada perekonomian Indonesia lewat penurunan ekspor dari sejumlah
komoditi penting. Namun dampak krisis global ini tidak separah krisis ekonomi
1998 karena laju pertumubuhan ekonomi masih positif. Faktor yang membuat
perekonomian Indonesia lebih baik dalam menghadapi krisis global diantaranya
kondisi perbankan nasional yang lebih baik dan keberhasilan pemerintah dalam
merespons krisis tersebut dengan tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan
menambah pengeluaran pemerintah yang dikenal dengan sebutan stimulus fiskal.
DAFTAR PUSTAKA
Basri F. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tambunan T. 2011. Perekonomian Indonesia: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Bogor:
Ghalia.