Anda di halaman 1dari 10

T1.

Pengaruh Wabah Covid-19 terhadap kegiatan ekonomi khususnya di Indonesia, jika dilihat
dari sisi permintaan dan penawaran.

Essay

Pada situasi seperti sekarang ini, yakni dengan maraknya wabah virus corona atau covid-19
dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian khusunya di Indonesia terutama pada aspek
permintaan dan penawaran. Dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan
penyebaran virus corona tersebut, salah satunya dengan menerapkan social distancing. Dengan
penerapan social distancing ini, tentunya dapat berdampak pada terganggunya aktivitas
masyarakat terutama dalam memenuhi kebutuhannya sehingga masyarakat/konsumen melakukan
penimburan barang karena menganggap situasi tersebut gawat atau darurat. Tindakan seperti ini
kerap kali disebut dengan panic buying. Perilaku panic buying ini dapat dipicu oleh faktor
psikologis yang biasanya terjadi karena adanya informasi yang tidak sempurna atau menyeluruh
yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga
menimbulkan respons tindakan belanja secara masif sebagai upaya penyelamatan diri.

Terdapat dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama adalah khawatir kalau
tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang,
maka esok hari barangnya sudah tidak ada. Misalnya kondisi panic buying yang sekarang ini
terjadi ialah terutama untuk masker.

Dalam ekonomi, maraknya orang yang memburu suatu barang, seperti masker dapat
memengaruhi sisi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi
berlaku yaitu: jika terjadi permintaan yang tinggi namun jumlah barang yang diproduksi sedikit,
maka harga barang akan semakin mahal.

Faktor inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari
keuntungan. Sebab, di tengah kondisi panic buying seperti ini, masyarakat cenderung membeli
barang yang lebih dibutuhkan. Jika hal ini dilakukan oleh banyak orang, maka akibatnya adalah
terjadi kelangkaan barang yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan
antara demand dan supply. Dari kelangkaan akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran
tersebut dapat berujung pada kenaikan harga.
jika kenaikan harga suatu barang meningkat maka akan menyebabkan penurunan daya beli
masyarakat, misal uang Rp10 ribu yang tadinya cukup untuk beli masker, sekarang tidak cukup
lagi karena harganya dua kali lipat bahkan lebih. Artinya, masyarakat harus menyiapkan uang
berkali-kali lipat untuk membeli barang yang jumlahnya sama. Hal ini tentunya dapat
mengurangi daya beli masyarakat.

Dalam kasus sebaran Virus Corona, ada banyak ketidakpastian yang mendorong terjadinya
perilaku pembelian berlebih.

Panic buying ini didorong oleh kecemasan dan keinginan untuk berusaha keras menghentikan
ketakutan tersebut. Karena Panic buying dapat membantu orang merasa mengendalikan situasi.
Dalam keadaan seperti ini, orang merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang sebanding dengan
apa yang mereka anggap sebagai tingkatan krisis.
Padahal, saat ini yang perlu dilakukan masyarakat untuk mencegah penularan dan sebaran wabah
COVID-19 adalah dengan mencuci tangan dan mempraktikkan hidup bersih. Tetapi bagi banyak
orang, mencuci tangan sepertinya terlalu biasa. Wabah COVID-19 adalah peristiwa dramatis.
Oleh karena itu, diperlukan tanggapan dramatis sehingga orang-orang menghamburkan uang
dengan harapan dapat melindungi diri mereka sendiri,

Meski demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang
tidak diketahui, manusia cenderung menggunakan pengetahuan yang telah mereka ketahui
sebelumnya dari ancaman serupa. Terdapat kesinambungan antara reaksi orang terhadap krisis
missal. Beberapa orang mengaitkan wabah COVID-19 dengan wabah SARS yang pernah terjadi
sebelumnya. SARS sendiri disebabkan oleh virus corona yang berbeda dan sempat menyebar
pada 2003 silam. Jadi, orang akan menghubungkan dengan SARS maupun wabah hitam yang
sempat menjangkiti Eropa, dan memperkuat risiko yang akan terjadi.

manusia memiliki kemampuan untuk 'melihat' ancaman di masa depan dan mempersiapkan diri
untuk menghadapinya. Dalam hal seperti wabah Virus Corona, satu faktor yang sangat
menentukan adalah kecepatan informasi yang dapat dibagikan di seluruh dunia.

Memilih untuk panic buying atau berbelanja sesuai kebutuhan sepenuhnya ada di tangan


konsumen. Namun, ada baiknya untuk tetap menjaga tindakan agar tidak merugikan orang lain.
Sebab, dengan panic buying, boleh jadi yang diuntungkan adalah para pemburu rente atau para
pencari keuntungan dan, sebaliknya, orang-orang yang benar-benar membutuhkan yang
dirugikan.

Guncangan (Shock) yang terjadi akibat COVID-19 tidak hanya dari sisi konsumsi (Demand)
tetapi juga produksi (Supply). Dimana dengan adanya praktik social distancing membuat shock
pada sisi produksi (supply) yang terlihat dari penutupan pabrik dan kegiatan produksi. PHK tidak
terelakan dan akan menurunkan daya beli masyarakat, akibatnya konsumsi barang
menurun.kemudian, jika shock berasal dari sisi konsumsi (demand) maka praktik social
distancing membuat keleluasaan untuk mengonsumsi barang akan menurun yang berimplikasi
pada menurunnya permintaan barang tersebut. Akibatnya, perusahaan tidak mendapatkan
pendapatan yang maksimal dan cenderung menurun. Sehingga perusahaan menurunkan biaya
produksinya dan gelombang PHK terjadi.
Wabah virus corona yang bermula di Wuhan, China tersebut dapat mengganggu perekonomian
di China yang berdampak pada perekonomian di Indonesia. Dengan adanya
perlambatan output industrial di China akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku dan
bahan pembantu dalam proses produksi. Sekitar 29 % dari barang yang diekspor China, bahan
mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia (terutama batu bara, kelapa sawit). Implikasinya
yakni perlunya untuk mengantisipasi penurunan permintaan untuk produk-produk tersebut. Bisa
diduga bahwa harga komoditas dan barang tambang berisiko menurun. Jika ini terjadi, maka
sektor ekspor di Indonesia akan terganggu. Selain itu, penurunan harga komoditas dan barang
tambang akan berdampak kepada penurunan pendapatan pekerja di sektor tersebut. Karena
ekonomi di Indonesia masih tergantung pada komoditas dan barang tambang, maka daya beli
akan menurun. Jika daya beli menurun, maka tak ada insentif bagi pengusaha untuk
meningkatkan investasinya atau produksinya. Dengan kata lain penawaran atau proses produksi
suatu barang tidak akan ada apabila tidak adanya permintaan.

Sehingga dampak dari wabah virus Corona dapat memukul sektor ekspor, lalu efek berantainya
akan berpengaruh pada sektor konsumsi rumah tangga, dan investasi. Tak hanya itu, isolasi atau
pembatasan aktivitas yang terjadi di China juga akan mengganggu ketersediaan barang impor
yang berasal dari China. Akibatnya, industri atau sektor yang bahan baku atau barang modalnya
berasal dari China akan terganggu proses produksinya. Begitu juga barang konsumsi, jika
pasokan lokal tak tersedia maka harga akan meningkat. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi
laju penawaran, sebagaiman hukum penawaran yakni jika suatu harga meningkat maka jumlah
barang yang ditawarkan meningkat. Sehingga perusahaan/produsen akan memproduksi suatu
barang yang dengan sangat banyak.

Hal yang harus diantisipasi adalah dampak menurunnya impor barang modal dan bahan baku
yang dapat memukul investasi dan produksi di Indonesia. Oleh karena itu, ada baiknya jika
perusahaan mulai memikirkan substitusi atau sumber impor dari negara lain. Karena, hal ini
dapat mempengaruhi laju permintaan.

Jika ekonomi global dan sektor perdagangan terganggu, maka kita perlu fokus kepada ekonomi
domestik. Saya melihat bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra siklus. Instrumen
yang paling efektif untuk itu adalah mendorong permintaan domestik melalui fiskal. Kita tak
perlu terlalu kuatir untuk meningkatkan defisit anggaran.

Permasalahan ekonomi Indonesia di dalam jangka pendek adalah lemahnya permintaan. Dalam
kondisi permintaan yang lemah, penurunan bunga tak akan berdampak banyak untuk mendorong
produksi, karena –seperti saya singgung di atas – untuk apa menambah investasi jika permintaan
tak ada. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan.

Namun perlu diingat peran dari APBN relatif terbatas. APBN hanya bisa menjadi pemicu untuk
mengembalikan kepercayaan dan harus diikuti oleh investasi swasta. Itu sebabnya, stimulus
fiskal butuh prioritas, ia butuh kualitas belanja yang baik. Soalnya bukan sekadar berapa defisit
anggaran harus naik, namun apakah ia memiliki dampak kepada pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan. Berikan
stimulus fiskal kepada kelompok menengah bawah, bukan kelompok atas. Mengapa? Kelompok
menengah  bawah memiliki kecenderungan konsumsi (Marginal Propensity to Consume) yang
relatif lebih tinggi. Caranya? Perpanjang dan perluas program seperti conditional cash transfer,
cash for work (padat karya tunai), Bantuan Pangan Non Tunai.

Untuk kelas menengah, program kartu Pra Kerja bisa dimanfaatkan untuk membantu daya beli
sekaligus meningkatkan kemampuan. Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli
terjaga. Lalu kombinasikan ini dengan belanja infrastruktur prioritas.

Mungkin pemerintah bisa membantu untuk mendorong sektor pariwisata dengan, misalnya,
memberikan subsidi berupa potongan harga bagi jasa angkutan pesawat, bus, atau kereta api,
atau penginapan agar sektor pariwisata tetap berjalan untuk beberapa bulan. Apabila jumlah
subsidi yang diberikan pada produsen besar, maka akan mengurangi biaya produksi. Sehingga
harga barang yang ditawarkan akan lebih murah. Jika harga barang lebih murah, maka jumlah
barang yang ditawarkan akan lebih banyak. Selain itu, subsidi ini hanya akan mempengaruhi
fungsi penawaran sehingga kurva penawaran yang akan terpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan
penurunan biaya produksi karena adanya subsidi akan mendorong kurva penawaran ke sebelah
kanan bawah, yang mengindikasikan terjadinya penurunan harga.
China merupakan negara eksportir terbesar di dunia. Indonesia sering melakukan kegiatan impor dari
China dan China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Adanya virus Corona yang
terjadi di China menyebabkan perdagangan China memburuk. Hal tersebut berpengaruh pada
perdagangan dunia termasuk di Indonesia. Penurunan permintaan bahan mentah dari China seperti
batu bara dan kelapa sawit akan mengganggu sektor ekspor di Indonesia yang dapat menyebabkan
penurunan harga komoditas dan barang tambang. Dengan adanya penurunan harga tersebut maka
akan berdampak pada permintaan dan penawaran yakni permintaan akan semakin tinggi sedangkan
penawaran akan semakin sedikit.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor migas dan non-migas mengalami penurunan
yang disebabkan karena China merupakan importir minyak mentah terbesar. Selain itu, penyebaran
virus Corona juga mengakibatkan penurunan produksi di China, padahal China menjadi pusat
produksi barang dunia. Apabila China mengalami penurunan produksi maka global supply chain
akan terganggu dan dapat mengganggu proses produksi yang membutuhkan bahan baku dari China.
Indonesia juga sangat bergantung dengan bahan baku dari China terutama bahan baku plastik, bahan
baku tekstil, part elektronik, komputer dan furnitur. Sehingga hal ini dapat menghambat laju produksi
dan menurunnya penawaran.

Virus Corona juga berdampak pada investasi karena masyarakat akan lebih berhati-hati saat membeli
barang maupun berinvestasi. Virus Corona juga memengaruhi proyeksi pasar. Investor bisa menunda
investasi karena ketidakjelasan supply chain atau akibat asumsi pasarnya berubah. Di bidang
investasi, China merupakan salah satu negara yang menanamkan modal ke Indonesia. Pada 2019,
realisasi investasi langsung dari China menenpati urutan ke dua setelah Singapura. Terdapat investasi
di Sulawesi berkisar US $5 miliar yang masih dalam proses tetapi tertunda karena pegawai dari
China yang terhambat datang ke Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara yang memberlakukan larangan perjalanan ke dan dari China untuk
mengurangi penyebaran virus Corona. Larangan ini menyebabkan sejumlah maskapai membatalkan
penerbangannya dan beberapa maskapai terpaksa tetap beroperasi meskipun mayoritas bangku
pesawatnya kosong demi memenuhi hak penumpang. Para konsumen banyak yang menunda
pemesanan tiket liburannya karena semakin meluasnya penyebaran virus Corona. Keadaan ini
menyebabkan pemerintah bertindak dengan memberikan diskon untuk para wisatawan dengan tujuan
Denpasar, Batam, Bintan, Manado, Yogyakarta, Labuan Bajo, Belitung, Lombok, Danau Toba dan
Malang.

Virus Corona juga sangat berdampak pada sektor pariwisata. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa wisatawan asal China mencapai 2.07 juta orang pada tahun 2019 yang
mencakup 12.8 persen dari total wisatawan asing sepanjang 2019. Penyebaran virus Corona
menyebabkan wisatawan yang berkunjung ke Indonesia akan berkurang. Sektor-sektor penunjang
pariwisata seperti hotel, restoran maupun pengusaha retail pun juga akan terpengaruh dengan adanya
virus Corona. Okupansi hotel mengalami penurunan sampai 40 persen yang berdampak pada
kelangsungan bisnis hotel. Sepinya wisatawan juga berdampak pada restoran atau rumah makan yang
sebagian besar konsumennya adalah para wisatawan. Melemahnya pariwisata juga berdampak pada
industri retail. Adapun daerah yang sektor retailnya paling terdampak adalah Manado, Bali,
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Medan dan Jakarta. Penyebaran virus Corona juga berdampak
pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) karena para wisatawan yang datang ke suatu
destinasi biasanya akan membeli oleh-oleh. Jika wisatawan yang berkunjung berkurang, maka omset
UMKM juga akan menurun. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada tahun 2016 sektor UMKM
mendominasi unit bisnis di Indonesia dan jenis usaha mikro banyak menyerap tenaga kerja.

Di lain sisi, virus Corona tidak hanya berdampak negatif, namun juga dapat memberikan dampak
positif bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah terbukanya peluang pasar ekspor baru
selain China. Selain itu, peluang memperkuat ekonomi dalam negeri juga dapat terlaksana karena
pemerintah akan lebih memprioritaskan dan memperkuat daya beli dalam negeri daripada menarik
keuntungan dari luar negeri. Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai koreksi agar investasi bisa
stabil meskipun perekonomian global sedang terguncang.

Ia mengatakan hal itu bisa terjadi karena perlambatan ekonomi akan berdampak pada
penurunan konsumsi dan produksi di China, yang berarti pula penurunan permintaan
barang-barang dari Indonesia. China merupakan negara tujuan ekspor pertama
Indonesia dengan pangsa pasar 16,6% dari total ekspor Indonesia, sebagaimana
disebutkan oleh Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Bogor (04/02).
Penyebaran virus corona ini kian hari semakin bertambah. Saat ini dari data yang telah
dirilis per 26 Maret 2020, terdapat 893 kasus yang positif terjangkit covid-19, dengan 35
orang dinyatakan sembuh dan 78 orang meninggal dunia di Indonesia.

Sudah banyak para pejabat yang terjangkit virus corona tersebut, hal ini menjadi momok
bagi seluruh warga di Indonesia bahwasannya virus ini bisa hinggap ke tubuh mereka
tanpa disadari.

Namun dengan kepanikan masyarakat saat ini pemerintah pusat maupun daerah sedang
berusaha untuk meminimalisir bertambahnya virus corona dengan cara membuat
kebijakan yang saat ini diterapkan seperti meliburkan warga agar melakukan seluruh
aktivitas dilakukan di rumah saja atau penerapan social distancing.

Pemerintah mengimbau warga agar menjauhi tempat-tempat keramaian untuk sementara


agar tidak ada lagi korban akibat virus corona. Pemerintah menilai bahwasannya dengan
adanya menerapkan kebijakan ini dapat mengurangi pertambahan kasus penyebaran.

Namun hal tersebut ternyata membawa dampak negatif bagi  perekonomian negara,


karena wabah ini cukup menurunkan tingkat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seiring menurunnya tingkat konsumsi maka akan mengakibatkan ketimpangan pada
beberapa indikator dalam laju perekonomian.
Jika mengulik ke belakang, sebelum merebaknya wabah ini Indonesia tidak seirama
dengan negara-negara yang melakukan lockdown. Indonesia masih belum merasakan
kepanikan sehingga tidak mengambil tindakan seperti lockdown.

Pemerintah mengimbau kepada masyarakat agar melakukan Social Distancing dan


sebaiknya untuk mengisolasi diri di rumah. Hal ini juga dapat mengurangi laju jual beli di
masyarakat akan mengurang sehingga akan juga mengancam roda perekonomian
masyarakat.

Tempat usaha yang bermitra dengan transportasi online untuk layanan pesan antar secara
online tidak sepenuhnya menjamin lancarnya roda perekonomian di masyarakat. Banyak
usaha kecil yang tidak bermitra dengan transportasi online tersebut yang mengakibatkan
turunnya omset secara drastis. Hal ini sontak membuat banyak pihak mengeluh karena
merasa rugi.

Wabah virus ini membuat gelombang pasang surut pada pasar dunia sehingga
perekonomian pun menjadi anjlok.

Adanya penyebaran virus Covid-19 dapat mengakibatkan kemungkinan pertumbuhan


ekonomi dunia akan menurun akibat rantai penawaran global, menurunnya permintaan
dunia, serta lemahnya pelaku ekonomi yang menjadi beberapa faktor utama.

Perlunya pemerintah mengkaji ulang mengenai kebijakan untuk menangani virus ini dan
mempertimbangkan dampak kedepan bagi negara, karena pada saat ini jumlah kebutuhan
konsumsi kian bertambah namun persediaan semakin menipis yang mengakibatkan
kelangkaan di mana-mana.

Efek self quarantine ini membuat masyarakat melakukan panic buying dalam membeli


alat-alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer. Hal ini berimbas pada pihak lainnya
yang lebih membutuhkan seperti tenaga medis.
Pada saat situasi darurat seperti ini banyak oknum yang memanfaatkan untuk menaikkan
harga agar meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola pikir masyarakat yang
tergolong mudah panik ini mengakibatkan perekonomian juga terganggu.

Pemerintah harus tegas dalam membuat pemahaman terhadap masyarakat untuk tidak
melakukan panic buying dan berlomba-lomba menimbun barang untuk kepentingan
pribadi.
Negara saat ini sedang dalam kondisi darurat dan masyarakat perlu mengikuti imbauan
pemerintah agar tidak terjadi hal-hal yang di luar kendali.

Ketika bisnis kehilangan pendapatan, pengangguran cenderung meningkat tajam, maka akan
mengubah guncangan sisi penawaran menjadi guncangan sisi permintaan yang lebih luas bagi
perekonomian. Tingkat keparahan dampak akan sangat tergantung pada durasi pembatasan pada
pergerakan orang dan kegiatan ekonomi serta pada skala dan kemanjuran respons oleh otoritas-
otoritas keuangan nasional.

Anda mungkin juga menyukai