Disusun Oleh :
UNIVERSITAS MATARAM
2020
1
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka Penulis bisa menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.
Melalui kata pengantar ini penulis terlebih dahulu meminta maaf dan
memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan baik dalam isi
maupun penulisan.Terima kasih.
05 April 2020
Penulis,
2
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan………………..………………………….………………….…...10
3.2 Saran………...…….……………………………………..…………….….….10
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
millenials yang berperan sebagai penerus bangsa perlu untuk memahami dan
mengetahui faktor-faktor pembentuk maupun penghambat integrasi nasional.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Implementasi dari nilai-nilai Pancasila merupakan salah satu cara untuk
mempersatukan bangsa Indonesia. Karena dengan mengamalkan atau
menerapkan nilai-nilai Pancasila maka hidup rukun dalam bermasyarakat
dapat terjalin. Apalagi di era 4.0 yang serba teknologi nilai-nilai Pancasila
dapat diterapkan melalui media social seperti diskusi atau kajian ilmiah untuk
menegmbangkan nilai-nilai Pancasila, memperbanyak situs web mengenai
Pendidikan dan menyajikannya dengan hal-hal yang menarik agar milenial
tertarik.
Teknologi informasi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari
generasi milenial. Mereka bisa melakukan apapun dengan teknologi baik itu
positif maupun negatiF. Sehingga penggunaan teknologi ini terutama media
social harus terus diawasi. Sebagai genarasi milenial harus bijak dalam
menggunakan teknologi karena informasi yang disebarluaskan dengan cepat
sampai kepada masyarakat sehingga jika ada informasi hoax dapat
menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan
perpecahan ditengah masyarakat jika informasi yang mereka terima bertolak
belakang dengan fakta dilapangan.
7
mengahrgai hal tersebut. Sehingga masyarakat akan berfikir untuk pergi
keluar negeri mencari tempat dimana mereka dihargai. Untuk mengatasi hal
tersebut maka negara harus memberikan penghargaan kepada masyarakat
sampai lapisan terbawah tidak hanya yang kaya saja. Dengan diberikannya
penghargaan ini masyarakat akan merasa lebih memiliki tanggungjawab
terhadap bangsanya sendiri.
Disamping hal itu, integrasi juga tidak dapat tercapai jika pembangunan
dilakukan secara tidak merata. Masyarakat yang ada dipelosok akan semakin
tertinggal dan masyarakat kota akan semakin canggih. Hal ini menjadi
ketimpangan sosial ditengah masyarakat yang harus diubah oleh negara.
Untuk mengatasi hal tersebut negara harus meratakan pembangunan, tidak
pilih kasih dalam pembangunan, APBD dari daerah yang tertinggal harus
disesuaikan agar bisa membangun daerahnya, pemerintah daerah juga harus
memperjuangkan daerahnya agar memperoleh pembangunan. Serta
masyarakat juga harus ikut serta dalam pembangunan didaerahnya. Dengan
demikian integrasi nasional dapat tercapai.
Di era teknologi seperti saat ini, kesenjangan sosial masih terus terjadi
dikalangan milenial melalui media sosial. Kesenjangan sosial ini dapat
menjadi pengahambat integrasi di Indonesia karena mereka yang kaya akan
merasa berkuasa terhadap yang miskin. Sehingga yang miskin akan menjadi
pemberontak terhadap kebijakan negara yang mementingkan penguasa. Untuk
mengatasi hal tersebut generasi milenial dapat berperan aktif untuk
mengurangi kesenjangan social seperti tidak memilih-milih teman,
memberikan edukasi kepada pengguna media social mengenai kehidupan
social yang baik dan benar.
8
bangsa. Teknologi yang sudah semakin canggih dapat memecah belah negara
dengan beredernya informasi yang tidak benar adanya. Itulah mengapa
milenial harus cerdas dalam menggunakan teknologi, karena ancaman
terbesar suatu negara adalah teknologinya, dimana teknologi itu digunakan
hampir oleh seluruh generasi milenial. Jadi, jika informasi yang diperoleh
tidak disaring maka dapat menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
10
integrasi nasional melalui hal-hal yang sudah diuraikan sebelumnya seperti
mengimplementasikan pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa pancasila menjadi pedoman dalam kehidupan, sehingga
hidup akan dapat menjadi lebih terarah ke suatu hal yang baik. Karena dengan
adanya integrasi nasional maka akan dapat mempersatukan seluruh masyarakat
Indonesia yang bersifat plural.
11
MAKALAH
Analisis Pasal 27 tentang Hak Warga Negara
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS MATARAM
2020
12
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka Penulis bisa menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.
Melalui kata pengantar ini penulis terlebih dahulu meminta maaf dan
memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan baik dalam isi
maupun penulisan.Terima kasih.
05 April 2020
Penulis,
13
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat……………………………………………………………...…....….......16
BAB II PEMBAHASAN
2.2 Aturan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan
Gender ....................................................................................................................…26
3.1 Kesimpulan………………..………………………….……………...….…........29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………..………………….……......30
14
BAB I
PENDAHULUAN
15
perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
perempuan.
16
BAB II
PEMBAHASAN
17
ayat (1)). Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-
undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti
diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan diskriminasi berdasarkan
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pelarangan
diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: “Setiap orang
berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia,
tanpa diskriminasi”.
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum
lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan,
sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU
HAM ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang
diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua
golongan dan jenis kelamin apapun.
18
Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT
yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah
publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang
jelas. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya
meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta
orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3
adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan
kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban.
Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah
untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2)
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga
yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering
dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan
kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan
gender, yaitu dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan. Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak
hanya difokuskan kepada perempuan sebagai korban, namun juga kepada
pelayan laki-laki, supir laki-laki atau bawahan laki-laki lainnya. Karena
dasar dari kekerasan berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi
kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah kekerasan yang
dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya.
Kekurangan dari undang-undang ini adalah lingkup pengaturan yang
dibatasi hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki
hubungan kekeluargaan atau berada dalam satu domisili yang sama,
19
sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban yang tidak memenuhi
kategori lingkup domestik tersebut. Karenanya sulit untuk mengatakan
bahwa secara umum semua bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis,
ekonomi maupun kekerasan seksual (terutama terhadap korban
perempuan) sudah mendapat pengaturan di dalam hukum pidana
Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini
menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis,
yuridis, dan sosiologis dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara
filosofis, UU 62/58 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum
sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan
antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional
pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS 1950 yang sudah
tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak
asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global,
yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga
negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan
20
perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih
kewarganegaraannya sendiri. Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap
dalam kewarganegaraan Indonesia atau pindah kewarganegaraan
mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum negara asal
suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan
suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat (1) dan (3)).
Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958)
mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia
apabila menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti
kewarganegaraan suaminya.
21
menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus. UU itu harus
mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan orang yang berlindung
di balik kebijakan resmi negara. Misalnya penempatan tenaga kerja di
dalam dan LN. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan, perkawinan
antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang ini
merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan
menghapuskan perdagangan orang (trafficking in person).
5. Undang-Undang Politik
22
institusi-institusi seperti gender atau ras.16 Secara tekstual kata
affirmative action tidak ditemukan dalam UUD 1945 maupun peraturan
pelaksanaannya. Landasan konstitusional untuk affirmative action di
Indonesia adalah Pasal 28 H ayat (2) dan 28 I ayat (2) UUD 1945. Hal itu
dapat ditafsirkan dari kata “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus …dst” dan“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
diskriminatif atas dasar apa pun …dst”. Memberi kemudahan dan
perlakuan khusus dalam membebaskan orang dari perlakuan diskriminatif
dapat dilakukan melalui tindakan affirmatif17. Dengan demikian, tindakan
affirmatif mempunyai dasar konstitusional dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Pasal 46 menjelaskan tentang keharusan sistem
Pemilihan Umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan
sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif meningkatkan
partisipasi keterwakilan perempuan.
23
b. Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua
instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah; Inpres ini
menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat
maupun di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka
kebijakan tersebut harus diganti.
24
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia perempuan.
25
bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
26
tertuang di dalam KUHP, belum memadai mengatur tentang hak perempuan
sebagai korban kekerasan dan hak perempuan sebagai “pelaku”.
Budaya hukum melingkupi cara pandang masyarakat terhadap isu
kekerasan terhadap perempuan, dimana saat ini sedang dibangun untuk peduli
terhadap perempuan. Namun sebagian besar masyarakat masih
menenggelamkan kepentingan perempuan korban kekerasan atas kepentingan
yang lebih besar, seperti nama baik keluarga dan masyarakat. Bagi kasus
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, misalnya penganiayaan
yang dilakukan suami terhadap isteri, masyarakat cenderung menganggap
masalah tersebut sebagai persoalan pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh
orang lain, apalagi aparat penegak hukum. Hal tersebut membuat hak-hak
korban menjadi terabaikan. Masyarakat hanya mengetahui hasil dari proses
penegakan hukum yang ada yang seringkali tidak adil terhadap perempuan.
Pengetahuan masyarakat sebetulnya sangat penting dalam konteks untuk
memberi masukan dalam proses penegakan keadilan terhadap korban.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang
menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk
memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-
undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif gender
serta yang tidak kalah pentingannya adalah perubahan budaya yang cenderung
diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu
bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan
hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya
setempat merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga
dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
28
Antara tahun 1998-2008 banyak keluar peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia. Dapat dikatakan sepuluh tahun tersebut
merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Tidak
ketinggalan juga di dalamnya adalah pengaturan perlindungan hak asasi
perempuan. Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang keluar pada
tahun tersebut masalah hak perempuan mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Terlihat dari adanya upaya pemerintah untuk menghilangkan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang
telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah
disusun dengan perspektif kesetaraan gender, masih terdapat peraturan
perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
3.2 Saran
Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai hak warga
negara terutama menyangkut mengenai hak asasi perempuan harusnya bertindak
secara tegas. Mengingat Indonesia merupakan negara hukum, maka hukum harus
dilakukan secara adil tanpa memandang bulu (siapapun) agar setiap warga negara
dapat merasakan perlindungan dan pelayanan kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
29
30