Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN JEPANG DALAM BIDANG EKONOMI DAN SOSIAL

Jepang membuat kebijakan-kebijakan yang pada intinya terpusat pada tujuan mengumpulkan
bahan mentah untuk industri perang. Ada dua tahap perencanaan untuk mewujudkan tujuan tersebut,
yaitu tahap penguasaan dan tahap menyusun kembali struktur.

Tahap penguasaan

Jepang mengambil alih pabrik-pabrik gula milik Belanda untuk dikelola oleh pihak swasta
Jepang, misalnya, Meiji Seilyo Kaisya dan Okinawa Seilo Kaisya. Adapun dalam tahap restrukturisasi
(menyusun kembali struktur), Jepang membuat kebijakan-kebijakan berikut.

Sistem autarki, = rakyat dan pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan sendiri untuk
menunjang kepentingan perang Jepang.

Sistem tonarigumi, = dibentuk organisasi rukun tetangga yang terdiri atas 10 – 20 KK


untuk mengumpulkan setoran kepada Jepang.

Jepang memonopoli hasil perkebunan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1942 yang dikeluarkan
oleh gunseikan.

Adanya pengerahan tenaga untuk kebutuhan perang. Sebagai usaha penunjang kebutuhan
perang, Jepang memberlakukan mobilitas sosial yang meliputi:

pelaksanaan kinrohoshi atau latihan kerja paksa,

pelaksanaan romusa atau kerja paksa tanpa bayar selamanya, dan

pembentukan tonarigumi atau organisasi rukun tangga.

Untuk membangun mentalitas, ditanamkan seiskin atau semangat serta bhusido atau jalan
ksatria yang berani mati, rela berkorban, siap menghadapi bahaysa, dan menjunjung tinggi
keperwiraan.

Bentuk-bentuk organisasi kemiliteran yang dibentuk Jepang sebagai berikut :

Seinendan = barisan pemuda yang berumur 14 – 22 tahun.

Iosyi Seinendan = barisan cadangan atau seinendan putri.

Bakutai = pasukan berani mati.

Keibodan = barisan bantu polisi yang anggotanya berusia 23 – 35 tahun. Barisan


ini di Sumatra disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konon
Hokokudan.

Hisbullah = barisan semimiliter untuk orang Islam.


Heiho = pembantu prajurit Jepang yang anggotanya berusia 18– 25 tahun.

Jawa Sentotai = barisan benteng perjuangan Jawa.

Suisyintai = barisan pelopor.

Peta atau Pembela Tanah Air = tentara daerah yang dibentuk oleh Kumakichi Harada
berdasarkan Osamu Serei No. 44 tanggal 23 Oktober 1943.

Gokutokai = korps pelajar yang dibentuk pada bulan Desember 1944.

Fujinkai = himpunan wanita yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1943. Jabatan-jabatan
militer yang dapat diperoleh setelah seseorang menamatkan pendidikan adalah sebagai berikut.

Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti


pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.

Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun
belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.

Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan
pertama atau sekolah lanjutan atas.

Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang lulus sekolah dasar.

Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan pemuda yang masih setingkat sekolah
dasar.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Di awal pendudukannya Jepang menunjukkan tindakan-tindakan yang
sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak kepada bangsa Indonesia. Bendera merah putih
dibiarkan berkibar, dan bahas Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat. Sedangkan posisi
yang kosong dalam pemerintahan didistribusikan kepada kaum terpelajar Indonesia. Indonesia
dalam pandangan rakyat sebentar lagi akan merdeka. Bagi Jepang tindakan tersebut hanya
upaya jangka pendek untuk mendapat dukungan rakyat sebelum mereka menunjukkan tujuan
utama kedatangannya.

Pada perkembangan selanjutnya kebijakan Jepang terhadap Indonesia berubah. Orientasi yang
sebenarnya lebih diarahkan pada upaya eksploitasi sumber daya alam, mobilisasi sumber daya
manusia, serta mengupayakan mobilisasi sumber daya kerja untuk kepentingan perang Asia
Timur Raya. Pada masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-
sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan
dampak dari pendudukan Jepang yang sangat menekan dan sangat memeras.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya selama tiga
setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang
diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan
jangka waktu yang lebih lama.

Namun demikian, selain segi-segi merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan
rakyat akibat pendudukan Jepang, segi – segi yang menguntungkanpun juga ada dan dirasakan
pula oleh masyarakat Jawa.

Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Jepang

Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga


prinsip utama. Pertama, mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan
perang dan mempertahankan ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin
struktur pemerintahan yang sudah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang
bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan.1 Oleh karena itu
pemerintah Jepang pada awalnya senantiasa berupaya mencapai dan kemudian
mempertahankan keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan seperti yang
sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu.

Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus
pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat Indonesia demi
kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Luasnya daerah pendudukan Jepang,
menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun
sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah
tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa
di Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan
Romusha. Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi atau kerja bakti. Pada awalnya
mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka
pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa.
Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja
yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih
70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari 300.000 tenaga
Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak.

B. Kebijaksanaan yang dilakukan Jepang bidang ekonomi di Jawa adalah :

Peningkatan produksi padi

Keadaan beras di Jawa tahun 1942 sangat mengkhawatirkan. Oleh kerena itu produksi padi
perlu ditingkatkan. Dalam rangka itu Jepang merencanakan penambahan areal tanah. Cara menambah
areal tanah ini adalah dengan dengan membuka tanah baru terutama bekas perkebunan tanah lainya
yang belum pernah ditanami. Disamping itu Jepang yang memeperkenalkan teknik penanamam padi
yang baru, yaitu menanam bibit padi tanaman padi garis lurus dan Jepang mengemukakan bahwa hal ini
adalah penyebab rendahnya produktivitas padi. Petani diharapkan menanam bibit padi lebih dari 2
centimeter dan tidak membiarkan tanaman terlalu besar di tempat pembibitan sebelum dipindahkan.
Cara penanaman padi yang diperkenalkan oleh Jepang ini akhirnya diterima oleh petani Jawa, karena
cara tersebut lebih efektif dalam rangka meningkatkan produksi padi.

Wajib serah padi

Pada masa pendudukan Jepang, Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras pulau-pulau diluar
Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di medan pertempuran di pasifik selatan. Beras
didatangkan dari Jawa semakin memiliki arti yang sangat penting karena semasa perang ,angkatan jarak
jauh dan perkapalan sangat sulit serta keamanan di laut memburuk. Disamping itu, beras Jawa dikenal
bermutu tinggi dan rasanya enak. Oleh karena itu, Jepang berkeinginan untuk memperolah beras dari
Jawa sehingga kebijakan mereka ditujukan unuk memeksimalkan produksi dan pengumpulan beras.

Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah:

Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam
dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita
seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang
terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi
tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat
drastis.

Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang
sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa
persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang.
Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu, gula, pohon jarak, kapas dan sekaligus
memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung
berkaitan dengan kebutuhan perang.

Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri
dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan
dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik
maupun material.

Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan
kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang
mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui
Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah.

Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat
juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang
camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu
dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.

C. Perubahan Sosial – Ekonomi Masyarakat Jawa


Berbagi kebijakan ekonomi Jepang di Jawa tentu ada kaitannya dengan perubahan sosial-
ekonomi masyarakat Jawa tahun 1942-1945. Bentuk kebijakan ekonomi Jepang di Jawa yang
berakibat pada perubahan sosial-ekonomi masyarakat secara mendasar ialah diberlakukannya
politik penyerahan padi secara paksa untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang semakin
meningkat bagi tentara Jepang di front-front pertempuran.

Selain itu akibat dari terputusnya komunikasi pemerintah Jepang dengan daerah-daerah di
wilayah selatan, menyebabkan daerah-daerah di wilayah selatan harus mencukupi sendiri
kebutuhan ekonominya. Sehingga Syu (karesidenan) harus mampu mengelola kebutuhan
ekonominya sendiri. Apalagi kenyataan bahwa antara kenyataan dan target penyetoran padi
tidak sebanding. Di karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan
Maret 1944 dari target setoran sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton
atau sekitar 46,7% dari target. Bahkan dari April sampai dengan September 1945 dari total
target 80.000 ton, hanya dipenuhi 17.464 ton atau sekitar 21,8%. Selain disebabkan oleh target
setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah faktor produksinya. Pada tahun 1944
terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan
tahun 1941. kemungkinan lain ialah faktor kesulitan pengangkutan dan buruknya tempat
poenyimpanan sehingga padi menjadi busuk.

Dalam aspek fisik yang nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang
merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas
akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan
ketidaktentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan
petani dan masyarakat pedesaan di Jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Bagi
masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan
hidup, dalam situsi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan
berakhir.

Jugun ianfu = istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita yang menjadi korban dalam
perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.

 Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara
Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun
waktu tahun 1942-1945.

 Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi , seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun
ianfu termasuk orang Jepang , Korea , Tiongkok , Malaya ( Malaysia dan Singapura ), Thailand ,
Filipina, Indonesia, Myanmar , Vietnam, Indo , orang Eropa di beberapa daerah kolonial ( Inggris
, Belanda , Perancis , Portugis ), dan penduduk kepulauan Pasifik.

 Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000.
Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas
atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun
dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
 Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon . Orang Jepang yang
menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kelompok
lain.

Jugun ianfu di indo

Para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil
begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri,
atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu
asal Indonesia, Ibu Mardiyem). Para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan
gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi
masyarakat yang tidak memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka
sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan).

Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian
rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses
mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua,
dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi,
pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin . Terakhir, pengadaan
rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat bagi
tentara.

Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan
yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan
koloni Jepang di Korea, Manchukuo , dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini
dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh
keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi.

Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri
menolak mengeluarkan visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena khawatir akan mencemari
nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama
dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil
militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi
karayukisan , atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi
korban pemerkosaan beruntun.

Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan
konvensional melalui orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis
depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer meminta pemimpin
lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang
berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak mampu lagi untuk
menyediakan persediaan yang cukup bagi tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang
meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang
setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan
pembersihan, yang termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.

Menurut wanita penghibur yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat
yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya
pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin
ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur
diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika
mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak
wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki
dalam waktu beberapa tahun.

Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia
Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur mati kelaparan
di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke
tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.

Anda mungkin juga menyukai