khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum tangguhnya keadaan perbankan Indonesia,
disebabkan perbankan Indonesia adalah warisan dari negara penjajah di Indonesia sehingga tidak
memiliki kemampuan untuk mengelola perbankan dengan baik dan Indonesia memang tidak
didasari untuk belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal bank.
Deregulasi ini dimaksudkan dengan tujuan membuat suasana perbankan di Indonesia lebih stabil.
Maka dibuatlah kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang perbankan Indonesia. Mulai dari 1
juni tahun 1983, dilanjutkan dengan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988, Paket Februari 1991
(Paktri) hingga Pakmei. Berikut ini kondisi perbankan di Indonesia sebelum dan sesudah
deregulasi.
1. Mobilisasi dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan-perusahaan besar milik kolonial.
2. Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan perusahaan besar milik kolonial,
seperti giro, garansi bank, pemindahan dana, dan lain-lain.
3. Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke negara penjajah.
4. Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak dari perusahaan penjajah
maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara penjajah.
5. Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
kolonial.
Setelah adanya deregulasi ini perbankan Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Adapun ciri perbankan setelah deregulasi diantaranya:
Setelah beberapa tahun berusaha memperbaiki keadaan Indonesia yang terpuruk, akhirnya di
awal tahun 2000 nampak hasil yang cukup positif. Keadaan bangsa Indonesia di berbagai sektor
berangsur-angsur membaik. Adapan kondisi perbankan Indonesia pasca krisis ekonomi adalah
sebagai berikut:
1. Selesainya penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
2. Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk
membentuk atau menyusun: Lembaga penjamin simpanan, Lembaga pengawas perbankan yang
independen, serta Otoritas jasa keuangan.
3. Kinerja perbankan yang lebih baik, yang mengarah kepada praktik: Manajemen
pengelolaan risiko yang lebih baik, Struktur perbankan nasional yang lebih baik, serta
Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang konsisten
Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari krisis ekonomi dan keuanganyang awalnya
melanda Thailand.Akarpermasalahannyaadalah akumulasiutangswasta luar negeri jangka pendek
dan jangka menengah yang semakin besar,sementara tidak tersedia cukup devisa untuk
membayar utangyang jatuh tempobeserta bunganya sehingga mengakibatkan nilai tukar rupiah
mendapat tekanancukup berat.Sementara itu,tingkat bungadi dalam negeri dibiarkan tinggi
untukmenahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau
mendepositokandananyadalam rupiah.Namun, banyakpinjaman luar negeri dan dana
masyarakatyang masuk ke sistem perbankandikelola secara tidak hati-hati kemudian macetdan
uangnya tidak kembali sehingga terjadilahnegative spread(Tarmidi, 1999).Selain itu efisiensi
sektorperbankan juga semakin memburuk dilihat melaluirasio Biaya Operasional dan Pendapatan
Operasional (BOPO)yangsemakin
3meningkat hingga kuartal pertama tahun 1998. Kondisi ini menunjukkan biayaoperasional yang
semakin meningkat sementara pendapatannyatetap atau bahkanberkurang sehingga tidak dapat
tercapai efisiensi. Keadaan tersebut memaksapemerintah untuk melikuidasi bank-bank yang
dinilai tidak sehat dan tidak layakuntuk beroperasi(Lihat Tabel 1-2).Ditengah gejolak
perekonomian bangsa saat itu,sistemperbankan syariahmuncul sebagai sebuah perbankanyang
mampu menunjukkan bahwa bank syariahlebih tangguh ditengah gejolak krisis moneter (Zalfan,
2011).Senada denganZalfan (2011), Muharam dan Pusvitasari (2007) menjelaskan bahwa
ketangguhanini dikarenakan sistem bagi hasil yang diterapkan pada sistem perbankan
syariah.Meskipun di Indonesia sendiri kemunculan pebankan syariah saat itu masihtergolong
sangat muda, yakni baru berdiri pada 1992 dengan berdirinyaBankMuamalat Indonesia (BMI).
Sementara menengok perkembangan perbankansyariah di kancah internasional sudah dimulai
sejak tahun 1963 di Mesir,kemudian diikuti beberapa perbankan dikawasan timur tengah seperti;
DubaiIslamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan dan Faisal Islamic Bank ofEgypt
(1977), serta Bahrain Islamic Bank (1979).Di Asia Pasifik, berdiriPhillipine Amanah Bank
(1973) dan di Malaysia berdiri Muslim Pilgrims SavingsCoorporation (1983).Ketangguhan
perbankan syariah di Indonesia dipresentasikan oleh BMIyang baru berumur lima tahun, jauh
lebih muda dibandingkan perbankankonvensional dan perbankan syariah yang ada di dunia pada
saat itu. Dari sisioperasional BMI juga mengalami ekuitas mencapai titik terendah yaitu Rp 39,3
4Miliar. Namun ketika krisis moneter BMI memiliki pembiayaan bermasalah yangrelatif rendah.
Bahkantercatat bahwa BMI mengalamirecoveryyang lebih cepatdibandingkan bank
konvensional. Pada tahun 2000 kredit atau pembiayaanbermasalah bank konvensional dan bank
syariah masing-masing sebesar 26,77%dan 12,96%. Sedangkan pada 2001, NPL bank
konvensional adalah sebesar14,08% dan NPF dari bank syariahhanyasebesar 4,04%.Hal ini yang
mendasari pemerintah mengeluarkan UU No 10 tahun 1998sebagai regulasi tentang perbankan
syariah.Menurut UU No. 10 tahun 1998 yangtelah diamandemen oleh UU No.21 tahun 2008
kegiatan usaha perbankanIndonesia menganutdual banking systemdan diakuinya bank dengan
prinsipsyariah, baik itu Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah (Arif, 2012).Dengan
demikian, bank umumdapat melaksanakan kegiatan usaha dengan prinsipkonvensional maupun
syariah, yang selanjutnya disebut sebagai bank umumkonvensional dan bank umum syariah.
Perbedaan mendasar dari kedua jenisperbankan tersebut terletak pada pengembalian dan
pembagian keuntungan yangdiberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan danatau lembaga
keuangankepada nasabah (Muhammad, 2005). Pada perbankan konvensional
pembagiankeuntungannya didasarkan pada prinsip bunga, sementara perbankan
syariahpembagian keuntungan maupun kerugiannya didasarkan pada prinsip bagi hasil.
Regulasi yang telah diterapkan mendorong tumbuhnya perbankan syariah diIndonesia. Hal ini
dapat dilihat dari perkembangan jumlah bank syariah yangsemakin meningkat. Menurut data
Bank Indonesia perkembangan perbankansyariah pada 1998 yang awalnya hanya 1 telah
mengalami peningkatan yang
5signifikan. Hingga Juli 2013 tercatat jumlah bank umum syariah sebanyak 11bank dengan
kantor bank 1.882 kantor yang tersebar di Indonesia. Sementara UnitUsaha Syariah memiliki
jumlah bank sebanyak 24 bank dan jumlah kantorsebanyak 550 buah.
Efisiensi perbankan dapat ditinjau dari sudut pandang mikro maupun makro.secara mikro, bank
harus beroperasi dan semakin berkembang secara efisiendalam persaingan perbankan yang
semakin ketat. Hal ini karena ketidakmampuan
7bank dalam persaingan dapat membuat bank keluar dari pasar, baik itu dalampersaingan harga
maupun kualitas produk dan pelayanan. Disamping itu bankakan kesulitan dalam
mempertahankan kesetiaan nasabahnya dan tidak diminatioleh calon nasabah untuk
memperbesar pasarnya (Abidin, 2007).Menurut Weill (2003), ditinjau dari sisi makro, industri
perbankan yangefisien dapat mempengaruhi biaya intermediasi keuangan dan stabilitas
sistemkeuangan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh peran strategis perbankansebagai
lembagaintermediarydan produsen jasa-jasa keuangan. Dalam tingkatefisiensi yang tinggi,
kinerja efisiensi perbankan akan semakin baik dalammengalokasikan sumber daya keuangan dan
memperlancar proses transmisikebijakan moneter, sehingga kebijakan moneter lebih efektif
mencapai sasaran.Dengan demikian dapat meningkatkan kegiatan investasi dan
pertumbuhanekonomi guna mencapai tujuan ekonomi yang diharapkan.Rasio BOPO merupakan
rasio yang mencerminkan tingkat efisiensi bank,baik untuk bank syariah maupun bank
konvensional (Sandi, 2011). Nilai rasioBOPO perbankan Indonesia mengalami penurunan dari
85,3% pada 2011 menjadi75,4% pada 2012 yang mengindikasikan adanya peningkatan efisiensi
(OutlookPerbankan Indonesia, 2013). Sementara nilai ideal rasio BOPO menurut suratedaran
Bank Indonesia 2004 adalah sebesar 50%-75%.Padakeadaan seperti ini penilaian efisiensi bank
menjadi pentingmengingatefisiensi merupakan gambaran kinerja suatu bank.Disamping itu agar
input yangdigunakan oleh perbankan bisa seminimal mungkin, dan output yang dihasilkanbisa
maksimal, sehingga bank dapat mencapai efisiensi.Selain itu juga sekaligus
8menjadi faktor yang harus diperhatikan bank untuk bertindhak secara rasionaldalam
meminimumkan tingkat resiko perbankan dalam kegiatan operasinya.