Anda di halaman 1dari 5

4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998, Apakah akan Terulang

pada Krisis Ekonomi Sekarang ?


A. Sejarah Krisis Moneter tahun 1990-an

Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang.
Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan
perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan
menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing
dalam sektor finansial dan perusahaan.

Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata
sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif
dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform
orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah
berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat
mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang
biayanya rendah dibanding dollar. Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan
mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia
Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan
kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya,
menimbulkan efek bola salju.

Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah
meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang
diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya
untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock
resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat
yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic
Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju
ke "mental herd" diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam
ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi
perilaku tertarik di psikologi pasar.

B. Indikator Krisis Moneter tahun 1990-an

Belum pernah Indonesia di masa Orde Baru mengalami krisis ekonomi yang begitu
dahsyat seperti terjadi di semester kedua tahun 1997 ini. Anehnya, dampak pada
kehidupan sosial masih belum terlalu terasa. Krisis mata uang yang menimpa
ekonomi kita ini juga tidak, atau kurang, disebabkan oleh kelemahan-kelemahan
ekonomi atau kebijakan pemerintah secara langsung.
Pada permulaannya, kita kena imbas dan krisis di Bangkok. Krisis yang melanda Asia
Tenggara, bahkan sampal menyentuh Korea Selatan, dipicu oleh larinya modal
pinjaman dan modal portfolio (yang paling ganas adalah "hedge funds") yang datang
dan luar. Modal ini, berbondong-bondong masuk Asia Tenggara dan Timur sejak
pertengahan dasawarsa delapanpuluhan. Negara-negara Asia ini menarik sebagai
emerging economies yang dinamis, yang laju pertumbuhannya tinggi. Maka prospek
keuntungan juga bagus.

Karena besarnya pemasukan modal dan luar ini maka defisit neraca berjalan
membengkak, di Thailand sampai 7% dan PDB. Di Indonesia hanya separohnya.
Sebelumnya, angka 2% PDB merupakan patokan batas aman bagi defisit neraca
berjalan itu. Maka pemodal (non-FDI) dari luar negeri sebetulnya ikut
bertanggungjawab atas boom dan bust yang terjadi. Tetapi kepanikan mereka lalu
dukuti oleh kalangan-kalangan dalam negeri. Kurs mata uang jatuh. Diukur dan mata
uang nasional maka jatuhnya sampai dua kali. Tetapi jatuhnya rupiah menjadi yang
terdalam. Dari Rp 2.450 pada Juni 1997 menjadi lebih dan Rp 6.000 menjelang akhir
tahun ini. Di Thailand baht mulai 26 per dollar, akan tetapi sekarang dibawah 50.
Ringgit Malaysia tidak kehilangan nilai terlalu banyak. Begitu pula peso Filipina.

Maka yang harus dicari sebabnya adalah jatuhnya nilai Rupiah yang terbesar karena
keadaan ekonomi umum tidak separah di Thailand. Keterangan yang paling masuk
akal adalah krisis kepercayaan mulai melanda Indonesia. Krisis in mempunyai
dimensi politik, artinya menyangkut kepercayaan kepada keadaan serta hari depan
politik, terutama setelah Presiden perlu istirahat yang tidak ditegaskan oleh komunike
dokter apa sakitnya. Kekurangan transparansi yang meliputi kepemerintahan Orde
Baru ikut memperparah krisis kepercayaan.
Apa prospek tahun 1998 ? Sangat buruk. Dengan kurs Rupiah di atas Rp 5.000 per
dollar maka banyak sekali perusahaan akan mengalami krisis keuangan dan bankrut.
Banyak proyek sudah dan masih akan dihentikan karena modalnya kurang dan
prospek pasarnya menjadi suram. Pengangguran akan bertambah dengan ratusan ribu.
Ini akan terjadi juga di Thailand, dan juga terjadi di Meksiko di tahun 1995, tahun
pertama krisis yang serupa. Krisis ekonomi Indonesia bahkan dibuat lebih parah lagi
oleh dampak kekeringan panjang, debu dan kebakaran hutan yang merusak beberapa
tanaman komoditi, seperti tembakau, kelapa sawit dan coklat. Panen padi pun
menurun 4% sehingga memerlukan impor.

Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa karena meledak
bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah parah karena selama lebih dari 3
dekade sistem pemerintahan yang sentralistik telah mematikan daya kreasi daerah dan
masyarakat di daerah-daerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-
budaya, dan politik daerah, menghadapi hambatan dari kepentingan-kepentingan
ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di
daerah-daerah dalam pengembangannya memerlukan dukungan modal, yang selama
bertahun-tahun mengarus ke pusat karena sistem perbankan sentralistik. Modal dari
daerah makin deras mengalir ke pusat selama krisis moneter. Undang-undang
Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dikembangkan melalui
kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan peningkatan kepastian usaha di
daerah-daerah. Kepastian usaha-usaha di daerah ditingkatkan melalui pengembangan
sistem keuangan Syariah dan sistem jaminan sosial untuk penanggulangan
kemiskinan, dan pengembangan program-program santunan sosial, kesehatan, dan
pendidikan.

Krisis Moneter juga menciptakan suasana ketergantungan ekonomi Indonesia pada


kekuatan kapitalis luar negeri, lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana
Moneter Internasional (IMF) yang tidak mempercayai serta mempertimbangkan
kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri khususnya di daerah-daerah.

Harapan yang kini muncul adalah agar krisis moneter 1997 mampu membawa
kapitalisme di Asia Timur dan Asia Tenggara memasuki milenium ketiga dengan
sebuah wajah baru, di mana koreksi terhadap rasionalitas formal pelaku ekonomi
dimungkinkan oleh intervensi struktural sebuah pemerintahan yang transparan dan
demokratis dalam mekanisme pasar.

C. Dampak Sosial Krisis Moneter tahun 1990-an

Krisis perekonomian yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia telah
menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Dampak tersebut diantaranya
dirasakan di bidang ekonomi secara umum, politik dan budaya.

Seperti yang telah kita ketahui sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia di dera krisis
perekenomian – yang sebenarnya adalah akumulasi persoalan di masa lalu yang
memuncak seiring dengan terjadinya krisis regional di hampir semua belahan asia.
Krisis ditandai dengan menurunnya secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar,
sehingga membuat kinerja perekonomian Indonesia yang banyak mengandalkan utang
dalam dollar, tapi pemasukan dalam rupiah menjadi “collapse”. Kondisi
perekonomian yang “sempoyongan” ini merambah kesemua sektor; likuidasi
beberapa bank, penutupan beberapa perusahaan, PHK besar-besaran, harga-harga
sembako melonjak.

Krisis ekonomi (Krismon) ini mau tak mau memicu krisis sosial; kriminilitas
melonjak, kekerasan kolektif meningkat. Krisis sosial juga memicu krisis politik;
Soeharto mulai kehilangan legitimasi politik.

Krisis, dapat kita bedakan menjadi dua kelompok. Pertama, yang percaya bahwa
krisis itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara
cepat yang menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan
(contagion) menjadi krisis . Kedua, yang berpendapat bahwa krisis timbul karena
adanya kelemahan struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan
atau perbankan dan praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme ‘ ersatz’ .
Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui
dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang
mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya.
Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik karena
kelemahan pada sistim sosial-politik Indonesia.

D. Pemulihan Krisis Moneter tahun 1990-an

Bagaimana Indonesia keluar dari krisis? Pembahasan ini tidak dapat dipisahkan dari
proses terjadinya krisis itu sendiri. Perkembangan dari suatu gejolak menjadi krisis,
dan dari krisis yang satu ke yang lain telah melalui proses dari timbulnya masalah,
langkah-langkah mengatasi masalah (policy responses) dan reaksi dari pasar serta
masyarakat, baik di dalam negeri maupun di luar, semuanya telah tercampur.
Berbagai pelajaran telah dapat dipetik, baik dari mengidentifikasi sebab-musababa
maupun sifat dari krisis dan efektif tidaknya langkah mengatasi masalah yang
diambil. Dalam kaitan ini, harus diterima bahwa delam menghadapi suatu contagion,
kata-kata the sooner the better dan the problems usually are bigger than expected,
memang sangat tepat. Karena itu untuk keluar dari krisis kita tidak mempunyai
kemewahan untuk berlambat-lambat dan karena prosesnya panjang serta berat maka
harus berani menerima banyak kekecewaan selama proses tersebut. Ini menuntut kita
untuk jangan cepat putus asa. Tetapi jangan juga cepat puas.

Jalan keluar harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Karena krisis ini bukan
bersifat single variable, maka jalan keluarnya tidak mungkin hanya dari satu aspek
saja. Aspeknya banyak, yang satu terkait dengan yang lain, karena itu pendekatannya
harus ’sistemik’, dalam keseluuruhan kaitannya. Tidak berati semua harus
diselesaikan sekaligus, karena dalam bidang ekonomi saja ada masalah jangka pendek
dan jangka panjang, ada mikro dan makro yang semuanya harus diselesaikan. Dalam
hal ini pemilihan prioritas dan pentahapan (sequencing ) yang realistis mungkin perlu
diperhatikan. Namun dari pelajaran di atas, karena kita harus menerima kekecewaan,
maka pendeketan ini harus terus menerus, konsisten tapi fleksibel.

Krisis moneter dan krisis multidimensi yang mencakup berbagai bidang kegiatan
ekonomi dan sosial masyarakat, tidak seharusnya dijadikan alasan ekonomi Indonesia
menjadi makin tergantung pada utang dan kepentingan-kepentingan ekonomi luar
negeri. Sebaliknya, daya tahan ekonomi Indonesia semakin dikukuhkan di perdesaan
dan daerah-daerah luar Jawa. Dalam masa dekat hubungan ekonomi pusat-daerah dan
antardaerah dalam rangka otonomi daerah ditingkatkan, diserasikan, dan diselaraskan.
Peningkatan daya tahan ekonomi nasional yang berlandaskan ekonomi rakyat lebih
mendesak ketimbang peningkatan daya saing yang liberal-kapitalistik. Gerakan
koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat makin digalakkan agar berperan
makin besar dalam memajukan perekonomian nasional yang tangguh.

Berbagai langkah keluar yang sudah dilakukan pada dasarnya menyangkut beberapa
aspek: kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar,
inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan restrukturisasi keuangan dan
perbankan, termasuk restrukturisasi pinjaman perusahaan dan restrukturisasi
perusahaan, kebijaksanaan restrukturisasi sektor riil, kebijakan restrukturisasi
kelembagaan, dan penaggulangan dampak sosial krisis dengan program jaringan
sosial. Pendekatannya sendiri, dari cara penanggulangan gejolak moneter pada tingkat
permulaan sampai meminta bantuan IMF dalam bentul ’stand-by arrangement’
dengan segala aspeknya bisa dibahas secara tersendiri. Posisi Indonesia memang aneh
di bandingkan dengan negara-negara lain yang terkena krisis (Korea dan Thailand).
Meskipun pada permulaannya langkah-langkah yang digunakan untuk mengatasi
masalah berjalan dengan lebih baik dari negara lain, meskipun kondisi permulaannya
Indonesia relatif lebih baik, akan tetapi ternyata kondisi Indonesia dalam krisis ini
adalah paling buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.

Kita juga dapat menggunakan langkah-langkah Kebijakan untuk Mengatasi Krisis


Ekonomi, diantaranya :

Bidang moneter: ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan
penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
Bidang fiscal: ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan yang
diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi.
Bidang pengelolaan (governance): ditempuh kebijakan untuk memperbaiki
kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di dalamnya
upaya mengurangi intervensi pemerintah, dan monopoli.

Bidang perbankan: ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan


sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk
mencapai dua hal,yaitu: mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya krisis
serupa di masa datang.

Anda mungkin juga menyukai