Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

LEMBAGA KEUANGAN DAN PASAR MODAL (LPKM)


KRISIS KEUANGAN dan KRISIS PERBANKAN

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Irhas Fatkhullah M.
Nonik Dwi Pratiwi
Melisa Afida Alfian
Dwi Dia Mustika P.
Mutiara Muslimah

12080574226
12080574230
12080574232
12080574234
12080574242

MANAJEMEN KEUANGAN 2012 B

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


TAHUN 2014
KRISIS KEUANGAN dan KRISIS PERBANKAN

1. Krisis Keuangan
a. Pengertian Krisis Keuangan
Krisis keuangan adalah kekacauan besar di pasar keuangan yang ditandai oleh
penurunan harga aset dan kegagalan perusahaan. Berbagai kajian yang menelaah krisis
keuangan Asia dari berbagai sudut pandang telah banyak dilakukan. Namun, dalam hal
kedalaman dan jangka waktunya, Indonesia merupakan kasus yang sangat unik. Seperti
dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang
dijadikan sampel penelitian, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan
terkena dampak krisis dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ketika Thailand
mulai menunjukkan gejala krisis pada tahun 1997, fundamental ekonomi Indonesia
dipercaya cukup kuat untuk menahan kejutan eksternal akibat kejatuhan ekonomi
Thailand.
Beberapa indikator ekonomi makro Indonesia sesaat sebelum krisis menunjukkan
kemajuan yang cukup berarti. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 1995, PDB per kapita secara riil mengalami pertumbuhan rata-rata
sebesar 6,6 persen per tahun, laju inflasi mampu ditekan hingga pada level satu digit,
serta penurunan tingkat kemiskinan.
Menurut Mishkin (2009), ada enam faktor yang memainkan peranan penting sebagai
penyebab krisis keuangan, yaitu:
1. Ketidakseimbangan pasar keuangan yang diakibatkan oleh penurunan permintaan di
pasar modal, penurunan tingkat harga yang tidak diantisipasi, penurunan nilai tukar
2.
3.
4.
5.
6.

domestik yang tidak diantisipasi dan penurunan harga aset,


Kemerosoran dalam neraca keseimbangan lembaga-lembaga keuangan,
Krisis perbankan,
Peningkatan dalam ketidakpastian,
Peningkatan tingkat suku bunga,
Ketidakseimbangan fiskal pemerintah.

b. Krisis Moneter Tahun 1997-1998


Krisis keuangan Asia yang datang secara tiba-tiba dimulai dengan jatuhnya bath
Thailand pada bulan Juli 1997 dan berakibat langsung terhadap nilai rupiah yang
terdepresiasi secara eksponensial dari Rp. 2.400 per USD pada awal tahun 1997
menjadiRp.16.000 per USD bulan Juni 1998. Pada tahun 1996, Indonesia masih memiliki
pertumbuhan sebesar 7,8 persen, kemudian menurun hingga 4,9 persen tahun 1997 dan
mencapai titik terendah ketika mengalami kontraksi tahun 1998 sebesar 13,6 persen. Pada
saat bersamaan, indikator makro ekonomi lainnya yaitu inflasi juga menunjukkan kinerja
terburuk selama 32 tahun terakhir setelah terjadinya hiperinflasi pada tahun 1965 dengan
angka sebesar 77,6 persen.

Adapun krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 disebabkan


oleh dua penyebab utama, yaitu krisis perbankan dan hutang swasta yang

melambung tinggi. Terdapat berbagai kelemahan dalam sistem perbankan


Indonesia. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan sejak pertengahan
tahun 1980an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak
efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.
Tidak ada hukuman bagi bank-bank yang melanggar aturan dan banyak sekali
bank yang sesungguhnya tidak cukup modal (undercapitalized) dibiarkan
beroperasi. Tentu saja hal ini memberikan dampak buruk, perbankan yang
seharusnya menjadi lembaga perantara keuangan guna memastikan sistem
keuangan dan perekonomian berjalan secara efektif dan efisien justru menjadi
korban langsung krisis akibat neracanya yang tidak sehat.
Di sisi lain, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya
berjangka pendek juga menciptakan kondisi ketidakstabilan. Pemerintah selalu
berhati-hati dalam mengelola hutang pemerintah atau hutang publik lainnya,
namun tidak melakukan pengawasan untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta.
Menurut data Bank Dunia (1998), antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli
1997, 85 persen dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari
pinjaman swasta.
Berbagai rekonstruksi ekonomi dilakukan guna memulihkan kondisi
perekonomian Indonesia, namun upaya pemulihan ini terkesan lamban terutama
disebabkan oleh perkembangan situasi politik yang semakin memanas. Sejalan
dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik sebelum dan pasca
tumbangnya pemerintahan Soeharto, maka isu pemerintahan otomatis berkembang
menjadi isu perekonomian pula. Timbulnya krisis kepercayaan dari penanam
modal menyebabkan banyaknya modal dibawa lari ke luar negeri dan tidak
kunjung kembali (capital outflow) dan sulitnya mendapatkan penanam modal
baru. Pada akhirnya, hal ini justru memperbesar dampak krisis itu sendiri.
Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin meluas dari
masyarakat, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh BJ.
Habibie. Presiden Habibie memulai upaya pemulihan dengan berbagai cara dan
cukup berhasil menciptakan stabilitas ekonomi antara lain terlihat dari stabilnya
nilai tukar yang berkisar antara Rp. 6.500 Rp. 7.500 per USD, tingkat suku
bunga sebesar 12-13 persen, laju inflasi yang mencapai level 2,01 persen hingga

peningkatan PDB yang kembali menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 0,79


persen selama tahun 1999. Perlahan namun pasti, Indonesia mulai pulih kembali
dari keterpurukan akibat krisis moneter.
c. Krisis Keuangan Global Tahun 2008
Menjelang akhir triwulan III tahun 2008, perekonomian dunia dihadapkan pada satu
babak baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, seiring dengan meluasnya krisis
keuangan ke berbagai negara. Krisis keuangan global dimulai sejak pengumuman yang
dikeluarkan oleh BNP Paribas, salah satu bank terbesar Perancis pada tanggal 9 Agustus
2007 yang menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait
dengan subprime mortgage dari AS dan pada akhirnya sekuritas ini dibekukan.
Pembekuan ini lantas mulai memicu gejolak di pasar keuangan AS dan Eropa hingga
akhirnya merambat ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di tengah terjadinya penurunan yang sangat tajam di perekonomian global,
perekonomian Indonesia masih mampu menunjukkan kinerja yang baik dengan mencatat
angka

pertumbuhan

sebesar

6,01

persen

tahun

2008,

meskipun

sedikit

menurun dibandingkan tahun 2007 yang tumbuh sebesar 6,35 persen. Imbas krisis
mulai terasa menjelang akhir tahun 2008 dan berlanjut hingga tahun 2009 dengan
pertumbuhan sebesar 4,58 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut
bukan sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang
pertumbuhannya negatif.
Imbas dari krisis keuangan global di Indonesia pada mulanya amat terasa di pasar
modal sebagaimana ditunjukkan oleh kemerosotan tajam IHSG. Kemerosotan IHSG ini
diikuti dengan pelemahan nilai rupiah yang sudah menembus angka Rp 12.462 per USD
pada akhir Nopember 2008. Pasar obligasi, baik pemerintah maupun korporasi juga
tertekan sehingga menimbulkan kerugian besar pada perbankan dan institusi pemegang
obligasi lainnya karena penghitungan yang disesuaikan nilai pasar saat itu (mark-tomarket). Selanjutnya perbankan dihadapkan juga pada persoalan ketatnya likuiditas yang
mendorong peningkatan suku bunga deposito yang tinggi. Hal ini menyebabkan
penurunan investasi hingga minus 8,59 persen tahun 2009. Selain itu, tekanan likuiditas
global juga menyebabkan arus modal keluar (capital outflow) besar-besaran diikuti
dengan penurunan kinerja pasar keuangan Indonesia. Sedangkan dampak krisis keuangan
global pada sektor riil terlihat dari penurunan ekspor hingga mencapai minus 12 persen
yang pada akhirnya juga berdampak terhadap penurunan pendapatan dan konsumsi rumah
tangga dan swasta serta total output.
Dalam menanggapi imbas dari krisis ini, BI melakukan intervensi cukup besar untuk
menjaga stabilitas nilai rupiah. Seiring dengan memburuknya kondisi perekonomian
global dan kejatuhan harga komoditas dunia yang berpotensi menurunkan tekanan inflasi

ke depan dan memicu pelemahan pertumbuhan ekonomi domestik, BI mengambil


kebijakan guna meredam imbas negatif tersebut dengan menurunkan BI rate hingga level
9,25 persen pada bulan Desember. Penurunan BI rate diharapkan akan direspon dengan
penurunan suku bunga kredit oleh sektor perbankan, sehingga dapat mengurangi kendala
penyaluran kredit dan menumbuhkan kembali gairah sektor usaha di tengah lesunya
perekonomian global. Selain itu, pemerintah juga berusaha meyakinkan pasar keuangan
dan pelaku ekonomi umumnya bahwa perekonomian Indonesia tidak terkait langsung
dengan krisis di AS meskipun sempat terkena imbasnya, dengan harapan kekacauan yang
ditimbulkan akibat krisis tidak berlanjut.
Jika dibandingkan antara krisis moneter yang terjadi tahun 1997-998 dengan krisis
keuangan global tahun 2008, pasar finansial dan lembaga keuangan Indonesia berada
dalam kondisi yang jauh lebih kuat dilihat dari berbagai indikator keuangan. Kondisi
fundamental sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan lebih mampu menahan
terpaan krisis global. Pelajaran dari krisis yang lalu menghasilkan implementasi yang
lebih ketat dari peraturan di sektor korporasi dan perbankan sebagai dasar acuan ketika
menghadapi goncangan krisis. Selain itu, pemerintah juga berupaya mengurangi
ketergantungannya terhadap utang luar negeri, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Semua perbaikan ini mengakibatkan Indonesia dinilai sebagai negara berisiko
rendah dan mampu mecapai skor ICRG (International Country Risk Guide) tertinggi
sejak tahun 1997.
d. Implikasi Kebijakan
Belajar dari krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, berikut terdapat
beberapa implikasi kebijakan yang bisa diterapkan, antara lain:
Penyempurnaan kebijakan moneter secara konsisten dengan mengacu kepadaInflation
Targeting Frameweork (ITF). ITF dilaksanakan dengan tetap mengupayakan
keseimbangan optimal antara mempertahankan kestabilan harga, menjaga kestabilan

pasar keuangan dan menggairahkan sektor riil.


Untuk mendorong sektor riil agar bergerak lebih cepat dan berdaya tahan lebih tinggi
terhadap krisis, perbaikan iklim investasi menjadi faktor yang sangat penting.
Ketersediaan infrastruktur dan kualitas institusi yang memadai merupakan bagian
penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Infrastruktur yang baik
mampu memperlancar arus barang modal dan input guna proses produksi yang
merespon permintaan pasar serta menjamin distribusi barang komoditas hasil industri.

Dengan perbaikan infrastruktur, diharapkan terjadi peningkatan investasi domestik.


Di sektor perbankan, perlu diadakan langkah-langkah memperkuat manajemen risiko,
seperti screening danmonitoring terhadap kredit-kredit berisiko guna meminimalisir
dampak

negatif

dari adverse

selectiondan moral

hazard dari

kreditor

serta

menerapkan spesialisasi dalam bentuk pinjaman sebagai salah satu upaya menyeleksi

kelayakan suatu perusahaan atau perorangan pada saat mengajukan pinjaman.


Kebijakan fiskal dalam jangka pendek guna menahan pelemahan ekonomi lebih
dalam diharapkan dapat berjalan optimal dan tepat waktu. Dalam jangka menengah,
langkah-langkah optimalisasi penerimaan negara perlu diupayakan dengan tetap
memperhatikan perlunya insentif fiskal bagi sektor-sektor prioritas guna memacu
investasi domestik. Pada akhirnya, peningkatan investasi mampu mendorong

peningkatan output dan menguatnya perekonomian.


Koordinasi fiskal dan moneter mutlak diperlukan demi terciptanya konsistensi dan
keselarasan kebijakan yang diambil dan perlu diintensifkan. Dalam penetapan sasaran
inflasi misalnya, koordinasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia akan
menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel.

2. Krisis Perbankan
a. Pengertian Krisis Perbankan
Krisis perbankan (baking crisis) adalah hilangnya kepercayaan terhadap sistem
perbankan yang membuat bank kewalahan karena nasabahnya perorangan dan perusahaan
beramai-ramai menarik simpanan mereka.
b. Gambaran Krisis dan Kebijakan Perbankan Indonesia
Kesehatan sistem pembayaran yang tercermin dari kesehatan sektor perbankan,
mengalami saat-saat kronis setelah krisis nilai tukar 1997. Volatilitas kurs dan suku bunga
yang tinggi telah menyebabkan ketidakpastian dalam perekonomian, yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi performa perbankan tanah air.
Ketidakpastian dalam perekonomian ini telah menyebabkan sektor usaha mengalami
penurunan bisnis, sehingga menyebabkan tingginya kredit macet bagi perbankan.
Tingginya NPL atau kredit macet tentu akan memperburuk kualitas aktiva perbankan
yang tercermin dari rendahnya CAR (Capital Adequate Ratio). Keadaan ini juga
diperburuk dengan kepanikan atau bank run yang dilakukan oleh sebagian penabung,
dengan menarik tabungannya secara besar-besar sehingga menyebabkan keringnya
likuiditas perbankan.
Secara makro, collapsenya sistem perbankan tentu mengancam kelangsungan
ekonomi dan memperlambat proses recovery ekonomi. Krisis perbankan akan berefek
domino terhadap sektor riil, karena krisis perbankan akan menghambat proses
intermediasi keuangan. Selain itu, krisis perbankan akan menyebabkan formulasi
kebijakan moneter menjadi kurang efektif karena set of quantitative target serta parameter
bunga sebagai instrumen moneter sulit direspon secara tepat oleh lembaga keuangan yang
tidak sehat.
Permasalahan krisis perbankan di tanah air semakin parah sejak penutupan 16 Bank
yang menyebabkan permasalahan semakin kompleks. Penutupan 16 Bank telah
mengakibatkan terjadinya bank runs (self-fullfilling prophecy), karena para penabung

khawatir akan terjadi penutupan bank susulan sehingga mendorong mereka untuk
melakukan penarikan uang secara besar-besaran. Salah satu indikator pengalihan uang
tersebut dapat dilihat dari tingkat perkembangan uang kartal yang meningkat drastis saat
krisis.
Krisis perbankan secara umum telah menyebabkan menurunnya performa perbankan,
hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator ROA (Return On Assets), CAR (Capital
Adequate Ratio) dan NPL (Non Performning Loans).
Awal terjadinya krisis perbankan secara umum juga dapat dijelaskan oleh perilaku
perbankan yang cenderung agresif pada saat sebelum krisis. Fenomena ini ditandai oleh
pertumbuhan pinjaman per jumlah deposito (LDR) yang mencapai tingkat yang cukup
tinggi pada saat itu. Pada tahun 1996 tingkat LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan
mencapai 78.62, dan nilai ini terus meningkat di tahun 1997 pada posisi 86.42. Namun
tingkat LDR perbankan tanah air mengalami tren yang menurun sejak terjadinya krisis
nilai tukar yang mempengaruhi performa keuangan bank secara umum.
Secara umum krisis nilai tukar yang berasosiasi dengan peningkatan inflasi, suku
bunga serta tingginya resiko usaha telah menyebabkan tingkat pengembalian aset
perbankan menurun drastis. Berdasarkan data Bank Indonesia, tingkat NPL (Non
Performing Loans) perbankan mengalami saat kritis di tahun 1998 dengan ditandai
dengan peningkatan jumlah kredit macet yang tidak mampu terbayar oleh sektor usaha
akibat tingginya resiko di sektor riil. Di tahun tersebut tingkat NPL mencapai 50%, dan
merangkak turun seiring dengan program rekapitulasi perbankan oleh BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional).
Secara umum rendahnya performa perbankan dan stagnasi di sektor riil telah
mengakibatkan penurunan tingkat keuntungan bank. Berdasarkan nilai ROA (Return on
Assets) semasa krisis, sektor perbankan mengalami perkembangan ROA yang negatif
selama tahun 1998-1999. Hal ini juga membuktikan bahwa krisis tidak hanya membuat
sektor perbankan mengalami kesulitan likuiditas namun juga mengalami permasalahan
insolvensi akibat semakin rendahnya kualitas aset-aset yang dimiliki, tingginya beban
hutang tak terbayar serta semakin sempitnya ruang gerak bagi ekspansi kredit di sektor
rill karena krisis.
Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian nasional sebagai
penunjang bergeraknya sektor riil dalam perekonomian maka maka diupayakan proses
restrukturisasi perbankan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Selain berfungsi
dalam sistem pembayaran nasional, struktur perbankan yang sehat dapat menjamin
kelancaran proses transmisi kebijakan moneter sehingga efektivitasnya dapat menopang
pemulihan ekonomi. Dalam mengatasi krisis perbankan ada empat kebijakan utama yang
dilakukan oleh Pemerintah dan BI pada saat krisis, antara lain :
a. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Seperti diuraikan sebelumnya penutupan bank telah mengakibatkan


terjadinya penarikan dana besar-besaran (Bank Runs) pada sejumlah bank. Hal ini
bila tidak disikapi tentu akan menimbulkan resiko sistemik pada perekonomian,
hal ini jugalah yang mendasari perbankan nasional dan pemerintah untuk
memberikan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Pemberian BLBI secara
umum dilakukan untuk mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat,
sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya bank run. Pada dasarnya BLBI
terdiri dari beberapa jenis fasilitas, antara lain:
Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang
bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara permintaan dan
penarikan dana perbankan, baik dalam jangka pendek (fasilitas diskonto 1)
maupun jangka panjang (fasilitas diskonto 2).Fasilitas dalam rangka Operasi
Pasar Terbuka sejalan dengan program moneter dalam bentuk SPBU lelang
maupun bilateral.Fasilitas dalam rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank
dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi
(SOL).Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistem perbankan dan sistem
pembayaran sehubungan dengan adanya penarikan dana perbankan secara besarbesaran.
b. Program Penjaminan Pemerintah
Berbeda dengan BLBI yang ditujukan khusus pada bank untuk memperbaiki
likuiditasnya, program penjaminan pemerintah ditujukan khusus untuk menjamin
dana nasabah untuk menghindari meluasnya bahaya penarikan dana bank secara
besar-besaran. Tidak terdapatnya program penjaminan nasabah pada saat
penutupan bank menimbulkan permasalahan besar yaitu hilangnya kepercayaan
nasabah terhadap bank, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penarikan
dana besar-besaran (bank runs) pada bank swasta nasional. Untuk mencegah
meluasnya bank runs, Pemerintah memberikan blanket guarantee pada akhir
bulan Januari 1998 sesuai dengan Keputusan Presiden No. 26 tahun 1998 tanggal
26 Januari 1998. Kebijakan blanket guaranteemerupakan pemberian jaminan atas
kewajiban bank terhadap deposan dan kewajiban kreditur dalam dan luar negeri.
Pada awal penjaminan s/d akhir 2001; diperpanjang s/d akhir 2003 dan secara
bertahap akan dikurangi dan dihapus setelah pendirian LPS (Lembaga Penjamin
Simpanan).
c. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
BPPN didirikan dengan maksud agar terdapat lembaga tersendiri untuk
menyehatkan perbankan bermasalah sehingga BI dapat lebih berkonsentrasi
mengawasi dan membina bank. BPPN didirikan berdasarkan Keppres No. 27

tanggal 27 Februari 1998. Sesuai dengan PP No. 17 tanggal 27 Februari 1998,


masa tugas BPPN 5 tahun, dengan tugas-tugas antara lain :
Melakukan penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh BI
Menyelesaikan aset bank baik aset phisik maupun non phisik melalui unit

pengelolaan aset
Mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur di bank-bank

d. Restrukturisasi Perbankan Indonesia


Restrukturisasi perbankan secara umum terbagi menjadi dua agenda besar,
antara lain: program penyehatan perbankan dan program pemantapan ketahanan
system perbankan. Dalam program penyehatan perbankan, pemerintah dan bank
sentral menitik beratkan pada upaya rekapitulasi bank untuk meningkatkan nilai
bank melalui konsolodasi/merger dan melakukan divestasi kepemilikan
pemerintah di bank-bank rekap melaui penerbitan dan penempatan obligasi
pemerintah.
Tujuan pemerintah melakukan rekapitalisasi modal perbankan adalah untuk
menghindari dampak negatif dari sistem perbankan yang rapuh terhadap
perkembangan ekonomi. Pentingnya program rekapitalisasi secara internal bank
adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional bank. Bank yang tidak memiliki
kecukupan modal akan mengalami kesulitan dalam menghadapi shock ekonomi
yang dapat menurunkan asset bank secara signifikan. Dalam hal rekapitalisasi,
pemerintah mengupayakan penerbitan Obligasi Pemerintah yang menjadi modal
bagi bank rekap, dan Pemerintah akan memperoleh kembali dana rekap tersebut
secara umum bank mampu memperbaiki performanya.
Serangkaian proses restrukturisasi perbankan
mengalami

permasalahan

seperti

masalah

dalam

penyalahgunaan

perjalanannya
BLBI

dan

pengembalian fungsi vital perbankan intermediasi. Masalah yang pertama


mudah

sekali

ditebak

penyebabnya,

yaitu

moral

hazard,

sehingga

penangannannya pun diperlukan Law enforcement yang jelas dan kuat.


Selanjutnya masalah yang kedua berkaitan dengan keengganan bank untuk
menyalurkan kreditnya kepada dunia usaha atau dikenal dengan istilah credit
crunch.

Keadaan

ini

pada

dasarnya

bukan

disebabkan

oleh

permasalahan supply, bahkan bisa dibilang jumlah kelebihan dana yang ada pada
perbankan sangat mencukupi. Namun lebih disebabkan oleh alasan perbankan
untuk memperbaiki CAR sebagaimana ketentuan regulator (BI). Tentunya faktor
historis pembredelan atau likuidasi bank-bank di saat krisis berkontribusi pada
perilaku bank yang konservatif ini.
Secara teoritis, fenomena menurunnya kredit perbankan pada sektor riil dapat
dilihat dari 2 sisi, yaitu : sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply).
Penurunan kredit perbankan dari sisi permintaan lebih disebabkan oleh lemahnya

investasi sektor bisnis mengingat masih sempitnya ruang ekspansi usaha serta
masih tingginya resiko di sektor riil. Selain itu sektor usaha (corporate
sector) mengalami struktur keuangan yang memburuk, tergambar dari neraca
keuangan perusahaan. Hal ini disebabkan karena sebelum krisis mereka
dihadapkan pada kondisi leverage atau pinjaman yang tinggi yang berasal dari
dalam negri dan luar negri. Depresiasi nilai tukar dan tingginya suku bunga tentu
mempengaruhi net worth posisi keuangan mereka, karena depresiasi nilai tukar
dan tingginya suku bunga telah meningkatkan kewajiban hutang mereka terhadap
bank.
Di

sisi

penawaran

beberapa

hal

yang

menyebabkan

terjadinya

fenomena credit crunch, antara lain: penetapan CAR dan NPL yang dilakukan
Bank Indonesia sebesar 5% dan 8%. Ketentuan ini semakin menambah
permasalahan terhadap kondisi neraca perbankan, karena untuk mencapai rasio
kecukupan modal (CAR-Capital Adequate Ratio) dan mengurangi kredit Macet
(NPL), mereka harus mencari sumber pendanaan dan membatasi kredit yang
keluar. Selain itu penutupan beberapa bank juga berkontribusi terhadap ketakutan
bank untuk mendistribusikan kredit, hal ini dilakukan untuk menjaga tingkat
kesehatan bank yang tercermin dari nilai CAR dan NPL.
Kinerja perbankan yang belum mampu melaksanakan fungsi intermediasinya,
lebih disebabkan karena tidak terdapatnya ruang ekspansi untuk menciptakan
kredit baru. Dengan kata lain, volume usaha pada situasi krisis sangat terbatas.
Disisi lain, perbankan tanah air juga mengalami masalah Moral Hazard yang
dilakukan oleh para bankir-bankir nakal dengan menjaminkan obligasi
pemerintah kepada bank asing untuk melakukan spekulasi valas. Selain itu, ada
beberapa indikasi negatif yang dilakukan para bankir-bankir tersebut dengan
menempatkan dana BLBI di bank-bank luar negri. Keadaan inilah yang mewarnai
proses restrukturisasi perbankan tanah air, yang secara tidak langsung juga
mempengaruhi lamanya proses recovery ekonomi di tanah air.
c. Reformasi Perbankan
Krisis yang terjadi di sektor keuangan memiliki implikasi yang negatif terhadap
perekonomian. Oleh karena itu, pencegahan terhadap krisis keuangan (perbankan) harus
dilakukan secara dini agar tidak mengganggu sistem pembayaran dan arus kredit dalam
perekonomian. Secara umum pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara
menyelamatkan bank-bank bermasalah untuk memelihara stabilitas keuangan sekarang,
namun dengan konsekuensi meningkatnya instabilitas keuangan di masa mendatang
akibat tingginya biaya fiskal. Reformasi perbankan tentu harus dilakukan demi
memulihkan fungsi vital perbankan fungsi intermediasi. Dengan berjalannya fungsi

intermediasi diharapkan

mobilisasi dana, alokasi sumber-sumber keuangan dapat

dilakukan secara lebih efisien dan dapat mendorong penurunan suku bunga.
Sebagai contoh, bantuan likuiditas (liquidity support) yang ditujukan untuk
membantu likuiditas bank, mempunyai efek di sisi fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal
tentu bantuan likuiditas akan menjadi beban keuangan negara, jika sumber
pembiayaannya berasal dari hutang maka bantuan likuiditas akan meningkatkan hutang
luar negri pemerintah. Tentu dalam jangka panjang hutang yang terakumulasi dapat
menyebabkan permasalahan tersendiri bagi perekonomian domestik.
Selanjutnya di sisi moneter, bantuan likuiditas dapat diartikan sebagai ekspansi
moneter. Secara umum ekspansi moneter akibat tingginya jumlah bantuan likuiditas ini
tentu akan memberikan tekanan pada inflasi. Berdasarkan uraian tersebut, efek jangka
panjang dari salah satu upaya restrukturisasi yaitu liquidity supportharus dipertimbangkan
dengan seksama agar pengaruh negatif yang diberikan dapat dikurangi sebesar mungkin
sehingga tidak mengancam perekonomian makro dalam jangka panjang.
Dalam penanganan krisis, restrukturisasi sektor perbankan sangat berkaitan dengan
kondisi makroekonomi dan keberhasilan dalam restrukturisasi di sektor riil. Keduanya
saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Selain itu dalam upaya restrukturisasi
perbankan juga dibutuhkan pembangunan kembali kepercayaan masyarakat pada sektor
perbankan. Hal ini dibutuhkan guna mengurangi kemungkinan terjadinya Bank
run atau Bank panics. Merosotnya kepercayaan kepada keamanan sistem perbankan
mengakibatkan mobilisasi dana oleh perbankan dapat mengalami penurunan yang sangat
tajam sehingga mengancam kehidupan bank yang pada dasarnya amat tergantung atas
sumber dana dari masyarakat. Demikian pula bila kemacetan dan kerusakan yang dialami
di sector riil terus berlangsung, kinerja perbankan dalam mencapai keuntungan akan
terganggu meskipun proses penyehatan bank telah dilakukan secara cermat.
Adanya saling keterkaitan ini menunjukkan bahwa strategi restrukturisasi perbankan
tidaklah cukup bila hanya memperhitungkan aspek mikro penyehatan bank saja.
Kesuksesan restrukturisasi perbankan akan sangat tergantung pada konsistensi penjagaan
stabilitas moneter. Hal ini sangat berkaitan, karena upaya restrukturisasi membutuhkan
dukungan dana/subsidi pemerintah untuk membail out bank. Meskipun dari sudut mikro
penyediaan dana ini berdampak positif pada penyelesaian masalah perbankan, namun
secara makro tingginya biaya fiskal tersebut dapat menimbulkan konflik dengan upaya
menjaga kestabilan moneter dan disiplin anggaran. Oleh karena itu, perlu dicermati agar
restrukturisasi perbankan dapat berjalan dengan baik tanpa mengancam stabilitas
makroekonomi dimasa depan.

Anda mungkin juga menyukai