Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
Irhas Fatkhullah M.
Nonik Dwi Pratiwi
Melisa Afida Alfian
Dwi Dia Mustika P.
Mutiara Muslimah
12080574226
12080574230
12080574232
12080574234
12080574242
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
1. Krisis Keuangan
a. Pengertian Krisis Keuangan
Krisis keuangan adalah kekacauan besar di pasar keuangan yang ditandai oleh
penurunan harga aset dan kegagalan perusahaan. Berbagai kajian yang menelaah krisis
keuangan Asia dari berbagai sudut pandang telah banyak dilakukan. Namun, dalam hal
kedalaman dan jangka waktunya, Indonesia merupakan kasus yang sangat unik. Seperti
dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang
dijadikan sampel penelitian, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan
terkena dampak krisis dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ketika Thailand
mulai menunjukkan gejala krisis pada tahun 1997, fundamental ekonomi Indonesia
dipercaya cukup kuat untuk menahan kejutan eksternal akibat kejatuhan ekonomi
Thailand.
Beberapa indikator ekonomi makro Indonesia sesaat sebelum krisis menunjukkan
kemajuan yang cukup berarti. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 1995, PDB per kapita secara riil mengalami pertumbuhan rata-rata
sebesar 6,6 persen per tahun, laju inflasi mampu ditekan hingga pada level satu digit,
serta penurunan tingkat kemiskinan.
Menurut Mishkin (2009), ada enam faktor yang memainkan peranan penting sebagai
penyebab krisis keuangan, yaitu:
1. Ketidakseimbangan pasar keuangan yang diakibatkan oleh penurunan permintaan di
pasar modal, penurunan tingkat harga yang tidak diantisipasi, penurunan nilai tukar
2.
3.
4.
5.
6.
pertumbuhan
sebesar
6,01
persen
tahun
2008,
meskipun
sedikit
menurun dibandingkan tahun 2007 yang tumbuh sebesar 6,35 persen. Imbas krisis
mulai terasa menjelang akhir tahun 2008 dan berlanjut hingga tahun 2009 dengan
pertumbuhan sebesar 4,58 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut
bukan sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang
pertumbuhannya negatif.
Imbas dari krisis keuangan global di Indonesia pada mulanya amat terasa di pasar
modal sebagaimana ditunjukkan oleh kemerosotan tajam IHSG. Kemerosotan IHSG ini
diikuti dengan pelemahan nilai rupiah yang sudah menembus angka Rp 12.462 per USD
pada akhir Nopember 2008. Pasar obligasi, baik pemerintah maupun korporasi juga
tertekan sehingga menimbulkan kerugian besar pada perbankan dan institusi pemegang
obligasi lainnya karena penghitungan yang disesuaikan nilai pasar saat itu (mark-tomarket). Selanjutnya perbankan dihadapkan juga pada persoalan ketatnya likuiditas yang
mendorong peningkatan suku bunga deposito yang tinggi. Hal ini menyebabkan
penurunan investasi hingga minus 8,59 persen tahun 2009. Selain itu, tekanan likuiditas
global juga menyebabkan arus modal keluar (capital outflow) besar-besaran diikuti
dengan penurunan kinerja pasar keuangan Indonesia. Sedangkan dampak krisis keuangan
global pada sektor riil terlihat dari penurunan ekspor hingga mencapai minus 12 persen
yang pada akhirnya juga berdampak terhadap penurunan pendapatan dan konsumsi rumah
tangga dan swasta serta total output.
Dalam menanggapi imbas dari krisis ini, BI melakukan intervensi cukup besar untuk
menjaga stabilitas nilai rupiah. Seiring dengan memburuknya kondisi perekonomian
global dan kejatuhan harga komoditas dunia yang berpotensi menurunkan tekanan inflasi
negatif
dari adverse
selectiondan moral
hazard dari
kreditor
serta
menerapkan spesialisasi dalam bentuk pinjaman sebagai salah satu upaya menyeleksi
2. Krisis Perbankan
a. Pengertian Krisis Perbankan
Krisis perbankan (baking crisis) adalah hilangnya kepercayaan terhadap sistem
perbankan yang membuat bank kewalahan karena nasabahnya perorangan dan perusahaan
beramai-ramai menarik simpanan mereka.
b. Gambaran Krisis dan Kebijakan Perbankan Indonesia
Kesehatan sistem pembayaran yang tercermin dari kesehatan sektor perbankan,
mengalami saat-saat kronis setelah krisis nilai tukar 1997. Volatilitas kurs dan suku bunga
yang tinggi telah menyebabkan ketidakpastian dalam perekonomian, yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi performa perbankan tanah air.
Ketidakpastian dalam perekonomian ini telah menyebabkan sektor usaha mengalami
penurunan bisnis, sehingga menyebabkan tingginya kredit macet bagi perbankan.
Tingginya NPL atau kredit macet tentu akan memperburuk kualitas aktiva perbankan
yang tercermin dari rendahnya CAR (Capital Adequate Ratio). Keadaan ini juga
diperburuk dengan kepanikan atau bank run yang dilakukan oleh sebagian penabung,
dengan menarik tabungannya secara besar-besar sehingga menyebabkan keringnya
likuiditas perbankan.
Secara makro, collapsenya sistem perbankan tentu mengancam kelangsungan
ekonomi dan memperlambat proses recovery ekonomi. Krisis perbankan akan berefek
domino terhadap sektor riil, karena krisis perbankan akan menghambat proses
intermediasi keuangan. Selain itu, krisis perbankan akan menyebabkan formulasi
kebijakan moneter menjadi kurang efektif karena set of quantitative target serta parameter
bunga sebagai instrumen moneter sulit direspon secara tepat oleh lembaga keuangan yang
tidak sehat.
Permasalahan krisis perbankan di tanah air semakin parah sejak penutupan 16 Bank
yang menyebabkan permasalahan semakin kompleks. Penutupan 16 Bank telah
mengakibatkan terjadinya bank runs (self-fullfilling prophecy), karena para penabung
khawatir akan terjadi penutupan bank susulan sehingga mendorong mereka untuk
melakukan penarikan uang secara besar-besaran. Salah satu indikator pengalihan uang
tersebut dapat dilihat dari tingkat perkembangan uang kartal yang meningkat drastis saat
krisis.
Krisis perbankan secara umum telah menyebabkan menurunnya performa perbankan,
hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator ROA (Return On Assets), CAR (Capital
Adequate Ratio) dan NPL (Non Performning Loans).
Awal terjadinya krisis perbankan secara umum juga dapat dijelaskan oleh perilaku
perbankan yang cenderung agresif pada saat sebelum krisis. Fenomena ini ditandai oleh
pertumbuhan pinjaman per jumlah deposito (LDR) yang mencapai tingkat yang cukup
tinggi pada saat itu. Pada tahun 1996 tingkat LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan
mencapai 78.62, dan nilai ini terus meningkat di tahun 1997 pada posisi 86.42. Namun
tingkat LDR perbankan tanah air mengalami tren yang menurun sejak terjadinya krisis
nilai tukar yang mempengaruhi performa keuangan bank secara umum.
Secara umum krisis nilai tukar yang berasosiasi dengan peningkatan inflasi, suku
bunga serta tingginya resiko usaha telah menyebabkan tingkat pengembalian aset
perbankan menurun drastis. Berdasarkan data Bank Indonesia, tingkat NPL (Non
Performing Loans) perbankan mengalami saat kritis di tahun 1998 dengan ditandai
dengan peningkatan jumlah kredit macet yang tidak mampu terbayar oleh sektor usaha
akibat tingginya resiko di sektor riil. Di tahun tersebut tingkat NPL mencapai 50%, dan
merangkak turun seiring dengan program rekapitulasi perbankan oleh BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional).
Secara umum rendahnya performa perbankan dan stagnasi di sektor riil telah
mengakibatkan penurunan tingkat keuntungan bank. Berdasarkan nilai ROA (Return on
Assets) semasa krisis, sektor perbankan mengalami perkembangan ROA yang negatif
selama tahun 1998-1999. Hal ini juga membuktikan bahwa krisis tidak hanya membuat
sektor perbankan mengalami kesulitan likuiditas namun juga mengalami permasalahan
insolvensi akibat semakin rendahnya kualitas aset-aset yang dimiliki, tingginya beban
hutang tak terbayar serta semakin sempitnya ruang gerak bagi ekspansi kredit di sektor
rill karena krisis.
Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian nasional sebagai
penunjang bergeraknya sektor riil dalam perekonomian maka maka diupayakan proses
restrukturisasi perbankan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Selain berfungsi
dalam sistem pembayaran nasional, struktur perbankan yang sehat dapat menjamin
kelancaran proses transmisi kebijakan moneter sehingga efektivitasnya dapat menopang
pemulihan ekonomi. Dalam mengatasi krisis perbankan ada empat kebijakan utama yang
dilakukan oleh Pemerintah dan BI pada saat krisis, antara lain :
a. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
pengelolaan aset
Mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur di bank-bank
permasalahan
seperti
masalah
dalam
penyalahgunaan
perjalanannya
BLBI
dan
sekali
ditebak
penyebabnya,
yaitu
moral
hazard,
sehingga
Keadaan
ini
pada
dasarnya
bukan
disebabkan
oleh
permasalahan supply, bahkan bisa dibilang jumlah kelebihan dana yang ada pada
perbankan sangat mencukupi. Namun lebih disebabkan oleh alasan perbankan
untuk memperbaiki CAR sebagaimana ketentuan regulator (BI). Tentunya faktor
historis pembredelan atau likuidasi bank-bank di saat krisis berkontribusi pada
perilaku bank yang konservatif ini.
Secara teoritis, fenomena menurunnya kredit perbankan pada sektor riil dapat
dilihat dari 2 sisi, yaitu : sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply).
Penurunan kredit perbankan dari sisi permintaan lebih disebabkan oleh lemahnya
investasi sektor bisnis mengingat masih sempitnya ruang ekspansi usaha serta
masih tingginya resiko di sektor riil. Selain itu sektor usaha (corporate
sector) mengalami struktur keuangan yang memburuk, tergambar dari neraca
keuangan perusahaan. Hal ini disebabkan karena sebelum krisis mereka
dihadapkan pada kondisi leverage atau pinjaman yang tinggi yang berasal dari
dalam negri dan luar negri. Depresiasi nilai tukar dan tingginya suku bunga tentu
mempengaruhi net worth posisi keuangan mereka, karena depresiasi nilai tukar
dan tingginya suku bunga telah meningkatkan kewajiban hutang mereka terhadap
bank.
Di
sisi
penawaran
beberapa
hal
yang
menyebabkan
terjadinya
fenomena credit crunch, antara lain: penetapan CAR dan NPL yang dilakukan
Bank Indonesia sebesar 5% dan 8%. Ketentuan ini semakin menambah
permasalahan terhadap kondisi neraca perbankan, karena untuk mencapai rasio
kecukupan modal (CAR-Capital Adequate Ratio) dan mengurangi kredit Macet
(NPL), mereka harus mencari sumber pendanaan dan membatasi kredit yang
keluar. Selain itu penutupan beberapa bank juga berkontribusi terhadap ketakutan
bank untuk mendistribusikan kredit, hal ini dilakukan untuk menjaga tingkat
kesehatan bank yang tercermin dari nilai CAR dan NPL.
Kinerja perbankan yang belum mampu melaksanakan fungsi intermediasinya,
lebih disebabkan karena tidak terdapatnya ruang ekspansi untuk menciptakan
kredit baru. Dengan kata lain, volume usaha pada situasi krisis sangat terbatas.
Disisi lain, perbankan tanah air juga mengalami masalah Moral Hazard yang
dilakukan oleh para bankir-bankir nakal dengan menjaminkan obligasi
pemerintah kepada bank asing untuk melakukan spekulasi valas. Selain itu, ada
beberapa indikasi negatif yang dilakukan para bankir-bankir tersebut dengan
menempatkan dana BLBI di bank-bank luar negri. Keadaan inilah yang mewarnai
proses restrukturisasi perbankan tanah air, yang secara tidak langsung juga
mempengaruhi lamanya proses recovery ekonomi di tanah air.
c. Reformasi Perbankan
Krisis yang terjadi di sektor keuangan memiliki implikasi yang negatif terhadap
perekonomian. Oleh karena itu, pencegahan terhadap krisis keuangan (perbankan) harus
dilakukan secara dini agar tidak mengganggu sistem pembayaran dan arus kredit dalam
perekonomian. Secara umum pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara
menyelamatkan bank-bank bermasalah untuk memelihara stabilitas keuangan sekarang,
namun dengan konsekuensi meningkatnya instabilitas keuangan di masa mendatang
akibat tingginya biaya fiskal. Reformasi perbankan tentu harus dilakukan demi
memulihkan fungsi vital perbankan fungsi intermediasi. Dengan berjalannya fungsi
intermediasi diharapkan
dilakukan secara lebih efisien dan dapat mendorong penurunan suku bunga.
Sebagai contoh, bantuan likuiditas (liquidity support) yang ditujukan untuk
membantu likuiditas bank, mempunyai efek di sisi fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal
tentu bantuan likuiditas akan menjadi beban keuangan negara, jika sumber
pembiayaannya berasal dari hutang maka bantuan likuiditas akan meningkatkan hutang
luar negri pemerintah. Tentu dalam jangka panjang hutang yang terakumulasi dapat
menyebabkan permasalahan tersendiri bagi perekonomian domestik.
Selanjutnya di sisi moneter, bantuan likuiditas dapat diartikan sebagai ekspansi
moneter. Secara umum ekspansi moneter akibat tingginya jumlah bantuan likuiditas ini
tentu akan memberikan tekanan pada inflasi. Berdasarkan uraian tersebut, efek jangka
panjang dari salah satu upaya restrukturisasi yaitu liquidity supportharus dipertimbangkan
dengan seksama agar pengaruh negatif yang diberikan dapat dikurangi sebesar mungkin
sehingga tidak mengancam perekonomian makro dalam jangka panjang.
Dalam penanganan krisis, restrukturisasi sektor perbankan sangat berkaitan dengan
kondisi makroekonomi dan keberhasilan dalam restrukturisasi di sektor riil. Keduanya
saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Selain itu dalam upaya restrukturisasi
perbankan juga dibutuhkan pembangunan kembali kepercayaan masyarakat pada sektor
perbankan. Hal ini dibutuhkan guna mengurangi kemungkinan terjadinya Bank
run atau Bank panics. Merosotnya kepercayaan kepada keamanan sistem perbankan
mengakibatkan mobilisasi dana oleh perbankan dapat mengalami penurunan yang sangat
tajam sehingga mengancam kehidupan bank yang pada dasarnya amat tergantung atas
sumber dana dari masyarakat. Demikian pula bila kemacetan dan kerusakan yang dialami
di sector riil terus berlangsung, kinerja perbankan dalam mencapai keuntungan akan
terganggu meskipun proses penyehatan bank telah dilakukan secara cermat.
Adanya saling keterkaitan ini menunjukkan bahwa strategi restrukturisasi perbankan
tidaklah cukup bila hanya memperhitungkan aspek mikro penyehatan bank saja.
Kesuksesan restrukturisasi perbankan akan sangat tergantung pada konsistensi penjagaan
stabilitas moneter. Hal ini sangat berkaitan, karena upaya restrukturisasi membutuhkan
dukungan dana/subsidi pemerintah untuk membail out bank. Meskipun dari sudut mikro
penyediaan dana ini berdampak positif pada penyelesaian masalah perbankan, namun
secara makro tingginya biaya fiskal tersebut dapat menimbulkan konflik dengan upaya
menjaga kestabilan moneter dan disiplin anggaran. Oleh karena itu, perlu dicermati agar
restrukturisasi perbankan dapat berjalan dengan baik tanpa mengancam stabilitas
makroekonomi dimasa depan.