Anda di halaman 1dari 3

Adani Julian Perdana 170810170040

B. Intervensi Amerika dan IMF dalam kebijakan ekonomi dan politik yang diambil pada
masa Orde Baru
Mengapa Indonesia tunduk kepada IMF dalam urusan ekonomi? Salah satu alasannya
adalah karena adanya kenyataan bahwa IMF memiliki peran sentral di negara-negara berkembang.
IMF menjadi institusi penting dalam mengatur sistem keuangan dan modal global. Di Indonesia
sendiri, IMF menjadi konsultan keuangan pemerintah sejak awal rezim Soeharto berdiri. IMF
senantiasa terlibat dalam kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru yang banyak
membutuhkan modal dari luar negeri. Mohtar Mas’oed dalam bukunya berjudul Ekonomi dan
Struktur Politik Orde Baru 1996-1971 menjelaskan bahwa sedari awal pemerintah Orde Baru
membina kembali hubungan baik dengan IMF, dimana sebelumnya Indonesia keluar dari IMF
pada masa akhir kepemimpinan Soekarno. Sejak Februari 1967, Indonesia bergabung kembali
menjadi anggota IMF yang ditindaklanjuti oleh IMF dengan menempatkan beberapa
perwakilannya dari luar negeri sebagai konsultan di pos-pos strategis bidang ekonomi seperti
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. (Mas’oed, 1989).
Keterlibatan IMF dalam krisis keuangan di sebuah negara memang tidak pada krisis
keuangan Asia 1997saja. IMF juga banyak mendapatkan sorotan negatif ketika dituduh menjadi
pemicu terjadinya krisis di negara-negara Amerika Latin. IMF dianggap terlalu banyak
menyederhanakan persoalan dalam memberikan nasihat-nasihat kebijakan kepada pemerintah
yang negaranya sedang dilanda krisis. Selain itu, IMF juga dianggap selalu menyamaratakan
persoalan antar satu negara dengan negara lainnya. Hasilnya terbukti di beberapa negara, dengan
nasihat-nasihat kebijakan IMF yang hampir sama bagi beberapa negara telah gagal membawanya
dari krisis dan bahkan semakin terperosok pada krisis yang lebih dalam. (Ramli, 2008)

Program Reformasi Ekonomi IMF, dimana menurut IMF krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah
rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri
menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial.
(Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui
persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial
Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang
keempat, tanggal 16 Maret 1999. (Tarmidi, 1998)
Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program
reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1. Penyehatan sektor keuangan;
2. Kebijakan fiskal;
3. Kebijakan moneter;
4. Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3
milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera,
jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan
sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan
program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar
US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan
yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun
bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan
program-program yang diprasyaratkan IMF. (Tarmidi, 1998)
Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak
Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua
yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-
tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-saran IMF diharapkan
akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa
menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah
sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka
diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10
April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih
luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang
luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum
dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien
dan berdaya saing;
4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor
bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
1. Kebijakan moneter dan suku bunga
2. Pembangunan sektor perbankan
3. Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
4. Reformasi BUMN dan swastanisasi
5. Reformasi struktural
6. Restrukturisasi utang swasta
7. Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah
akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil,menengah dan koperasi
dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998
telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi
berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen
melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa
“Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung
neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap
perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-
kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang
dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September tahun itu. (Tarmidi, 1998)
Tekanan IMF terhadap pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis moneter 1997-1998
dilihat dari bahasan diatas adalah sebuah upaya agar Indonesia menjalan program-program
ekonomi politik neoliberalisme. Agenda Washington Consensus sebagai praktik ekonomi politik
neoliberalisme IMF di Indonesia pada masa krisis moneter 1997-1998 tercermin dari serangkaian
Letter of Intent (LoI) maupun Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP) antara
IMF dengan pemerintah Indonesia. (Hermawandi, 2019)
Sedangkan mengenai kenapa Indonesia tunduk kepada Amerika dapat diketahui dari
pendapat J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, yang mengkritik bahwa prakondisi IMF yang
teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi
menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan
“Konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan
dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS. (Kompas,
13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni tahun
itu akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi
politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan
Ryan). (Tarmidi, 1998)
Menurut Harinowo, ada tiga pilar penting menyangkut penanganan krisis ekonomi atau
moneter berdasarkan Konsensus Washington, yakni pengetatan fiskal, privatisasi, dan liberalisasi
pasar. Pilar pertama terkait dengan penanganan krisis yang pernah terjadi di Amerika Latin pada
dasawarsa 1980-an. Krisis di Amerika Latin ketika itu terkait dengan adanya “kegagalan
Pemerintah” mengelola anggaran keuangan negara (APBN). Oleh karenanya pilar pertama
penanganan krisis ekonomi dan moneter ini dikaitkan dengan perlunya mengelola keuangan
negara agar defisit APBN dapat diatasi. Caranya adalah dengan melakukan pengetatan APBN
negara-negara yang terkena krisis. (Hermawandi, 2019)
Sehingga alasan mengenai tunduknya Indonesia dihadapan Amerika dan IMF pada saat itu
adalah secara historis rezim orde baru pada awal berdirinya dibantu oleh Amerika dalam berbagai
bidang dan IMF sebagai konsultan keuangannya. Hal ini menyebabkan ketika terjadi krisis seperti
yang terjadi pada 1998, ketergantungan atas pinjaman dan tidak independennya pemerintah pada
masa itu menyebabkan munculnya intervensi-intervensi ekonomi yang disebutkan diatas.

Anda mungkin juga menyukai