Anda di halaman 1dari 20

TUGAS UAS MAKROEKONOMI II (EKO 222)

Tinjauan Analitis Kebijakan Defisit Anggaran Tahun 1998 - 2000


dan Pemulihan Ekonomi Pasca Krisis

Kelompok 1
Jaslin Bonita Aureyga H14170052
Novri Aji Pamungkas H14180022
Fasya Miftah Akbar H14180043
Jihan Chika Tamara Rizky H14180071
Natasya Gabrila H14180097

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perekonomian Indonesia dalam tahun anggaran 1997/1998 ditandai dengan
gejolak moneter dan musim kemarau yang berkepanjangan, yang memberikan
pengaruh kepada perkembangan ekonomi nasional. Krisis moneter ini ditandai
dengan melemahnya nilai tukar yang sangat drastis yang disebabkan oleh berbagai
hal, baik berhubungan langsung ataupun tak langsung dengan kegiatan
perekonomian. Pada dasarnya, krisis ekonomi diakibatkan oleh semakin cepatnya
integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Krisis ini juga
tidak terlepas dari kebijakan bank sentral yang selalu membiayai defisit anggaran
pemerintah dalam jumlah yang besar melalui penciptaan uang sehingga
menyebabkan peningkatan pada laju inflasi.
Tahun anggaran 1998/1999 merupakan tahun anggaran ke-30 dalam
keseluruhan strategi pembangunan jangka panjang yang mulai dilaksanakan
secara terarah dan terencana sejak tahun 1969. Hal ini berarti bahwa bangsa
Indonesia telah melaksanakan pembangunan berencana yang tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia, baik material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, Rancangan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) merupakan suatu hal yang sangat penting
karena anggaran negara merupakan salah satu sarana, dimana wakil-wakilnya
melaksanakan haknya untuk menentukan pelaksanaan pembangunan dan
pembiayaannya. Dalam sistem manajemen pembangunan nasional, anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) yang ditempatkan sebagai rencana
operasional tahunan dari pembangunan lima tahunan (Repelita), diarahkan untuk
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan UUD 1945.
Kebijaksanaan APBN yang dilaksanakan sejak tahun pertama Repelita I
didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Berimbang dalam arti
jumlah keseluruhan pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, selalu sama

1
dengan jumlah keseluruhan penerimaan negara. Dinamis berarti bahwa dalam hal
penerimaan lebih rendah dari yang direncanakan semula, Pemerintah akan
menyesuaikan pengeluaran agar tetap terjaga keseimbangan. Demikian pula dalam
hal penerimaan negara melebihi yang direncanakan, masih memungkinkan
dibentuknya dana cadangan yang akan dimanfaatkan pada saat penerimaan negara
tidak cukup untuk mendukung program yang direncanakan sehingga
kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas ekonomi yang mantap
tidak terganggu.
Tahun anggaran 1998/1999, yang merupakan tahun anggaran kelima atau
terakhir Repelita VI, mempunyai makna tersendiri bagi bangsa Indonesia karena
kinerja pembangunan yang dilaksanakan dalam tahun anggaran ini akan
melengkapi, menutup, serta menentukan apakah sasaran-sasaran dalam Repelita
VI dapat tercapai secara keseluruhan. Selain itu, pada akhir tahun anggaran
1997/1998 akan dilaksanakan Sidang Umum MPR yang akan memilih Presiden
dan Wakil Presiden serta menetapkan GBHN. Peristiwa ini memiliki nilai sejarah
yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena akan menentukan masa depan
bangsa Indonesia dalam mengarungi abad ke-21, yaitu suatu abad yang
diperkirakan akan membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia.
Melihat kejadian yang dialami oleh Indonesia pada tahun tersebut maka
penulis tertarik untuk menganalis kondisi defisit anggaran dalam masa krisis
ekonomi tahun 1998 - 2000 dan kebijakan bank sentral untuk pemulihan pasca
krisis dalam memperbaiki situasi perekonomian Indonesia.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas diperoleh rumusan masalah
yang akan dianalisis dalam makalah ini yaitu:
a. Apa penyebab terjadinya defisit anggaran pada tahun 1998-2000 di
Indonesia?
b. Bagaimana dampak defisit anggaran terhadap ekonomi makro?
c. Bagaimana kebijakan defisit anggaran yang efektif untuk menangani
krisis tahun 1998-2000?

2
d. Bagaimana upaya pemerintah untuk memulihkan perekonomian pasca
krisis ekonomi di Indonesia?

Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan jawaban secara ilmiah dari rumusan
masalah diatas. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a) Mengidentifikasi penyebab terjadinya defisit anggaran pada tahun
1998-2000 di Indonesia
b) Menganalisis dampak defisit anggaran terhadap ekonomi makro di
Indonesia
c) Mengidentifikasi kebijakan defisit anggaran yang efektif untuk
menangani krisis tahun 1998-2000
d) Mengidentifikasi upaya pemerintah untuk memulihkan perekonomian
pasca krisis ekonomi di Indonesia

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai referensi bagi semua pihak yang ingin mengetahui kondisi defisit
anggaran pada masa krisis dan pemulihan perekonomian pasca krisis di
Indonesia.
b. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali dan
melakukan penelitian lebih jauh tentang kebijakan defisit anggaran di
Indonesia pada tahun 1998-2000 dan pemulihan ekonomi pasca krisis.

3
PEMBAHASAN

Dalam ekonomi makro, defisit anggaran merupakan salah satu faktor penting
yang menjadi pertimbangan dalam menyusun anggaran. Defisit anggaran adalah
selisih antara seluruh penerimaan (di luar pinjaman) dengan total penerimaan.
Dalam anggaran pemerintah Indonesia, anggaran tersebut terlihat sebagai selisih
antara dana pembangunan dengan pengeluaran pemerintah (selisih antara
penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin). Suatu anggaran dapat
dikatakan mengalami defisit anggaran apabila besarnya pengeluaran pemerintah
lebih besar daripada penerimaannya (Goeltom, 2000).
Ditinjau dari sisi perekonomian makro yang dinamis tidak sepenuhnya
disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha. Hal ini dapat dilihat
dari rendahnya kualitas keputusan yang diambil dunia usaha dan pemerintah
akibat kurangnya transparansi dan konsistensi serta lemahnya indormasi dan
kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, baik oleh sektor swasta maupun
pemerintah. Dengan kondisi fundamental ekonomi tersebut, fluktuasi nilai tukar
hanya merupakan efek penularan yang terjadi di Thailand dan menimbulkan krisis
moneter dan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah. Krisis moneter ini
tidak terlepas dari kebijakan bank sentral yang selalu membiayai defisit anggaran
pemerintah dalam jumlah yang besar melalui penciptaan uang sehingga
menyebabkan peningkatan laju inflasi.
Pada tahun 1999, kondisi keuangan pemerintah masih mendapat tekanan yang
cukup kuat. Defisit anggaran pemerintah membengkak hingga mencapai jumlah
-Rp33.158,25 miliar (Bank Indonesia, 1999). Tahun 1999 ini juga merupakan
tahun pertama dilaksanakan Indepedensi Bank Indonesia berdasarkan UU No. 23
tahun 1999. Setelah disahkannya UU No. 23 tahun 1999 tersebut, pemerintah
masih mengalami defisit anggaran. Pada tahun 2000, defisit anggaran pemerintah
turun sampai jumlah -Rp16.100 miliar. Tahun 2001 sampai 2004 defisit anggaran
pemerintah cenderung mengalami kenaikan dan kembali turun pada tahun 2005
dengan jumlah defisit sebesar -Rp11.100 miliar. Di tengah fenomena inilah Bank
Indonesia dengan indepedensi yang dimilikinya harus mampu menjadi lembaga
yang bebas dari intervensi.

4
Keuangan Pemerintah Tahun 1998 - 2000

Tabel 1. Asumsi APBN (Laporan Bank Indonesia, Maret 1998)


Kebijakan fiskal tahun 1998/1999 pada awalnya diarahkan untuk berperan
sebagai suatu ramuan kebijakan (policy mix) dalah rangka membantu
pengendalian laju inflasi dan nilai tukar rupiah di sektor moneter. Hal ini
ditunjukkan oleh kehati-hatian pemerintah dalam menetapkan sasaran defisit
APBN yang disusun pada tanggal 23 Januari 1998, yaitu hanya 1-2% dari PDB.

Tabel 2. Operasi Keuangan Pemerintah 1998/1999 (Laporan Bank Indonesia)

5
Dalam perkembangannya, kondisi perekonomian yang mengalami kontraksi
dan dampaknya terhadap masyarakat yang semakin luas telah memaksa
pemerintah untuk mengubah asumsi yang digunakan dalam penyusunan anggaran,
sekaligus mengubah orientasi kebijakan fiskal. Orientasi kebijakan fiskal
kemudian difokuskan pada upaya peningkatan peranan pemeintah sebagai
penggerak roda perekonomian serta mengurangi tingkat pengangguran, sekaligus
bebab masyarakat miskin. Perubahan orientsi tersebut tercermin dari peningkatan
sasatan defisit APBN menjadi 8,5% dari PDB, jauh lebih ekspansif daripada
sasaran semula.

Tabel 3. Operasi Keuangan Pemerintah 1999/2000 (Laporan Bank Indonesia)


Dalam tahun anggaran 1999/2000, kondisi keuangan pemerintah diprakirakan
masih akan mendapat tekanan berupa tingginya kebutuhan pengeluaran sedangkan
sumber-sumber penerimaan dalam negeri masih sangat terbatas. Kondisi
perekonomian nasional diprakirakan masih lesu, meskipun tidak separah tahun
sebelumnya, menjadikan peranan kehidupan fiskal masih sangat penting sebagai
lokomotif pemulihan ekonomi. Sejalan dengan itu, pengeluaran berbagai subsidi,

6
meskipun mengalami penajaman masih akan mewarnai pengeluaran operasional
keuangan pemerintah.
Defisit operasi keuangan pemerintah diprakirakan akan mencapai sekitar
Rp53,5 triliun atau 4,4% dari PDB. Seluruh defisit tersebut diharapkan akan
dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang antara lain berasal dari Bank Dunia,
Bank Pembangunan Asia, Pemerintah Jepang dalam rangka Miyazawa Plan, dan
Consultative Group for Indonesia (CGI).

Perkembangan Defisit Anggaran Pemerintah

Pengawasan terhadap defisit anggaran menjadi penting dalam manajemen


ekonomi makro karena anggaran mempunyai tiga fungsi utama dalam roda
perekonomian suatu bangsa.
1. Fungsi alokasi yang mencakup penyediaan dana bagi kebutuhan
masyarakat banyak akan sarana dan prasarana yang tidak mungkin akan
disediakan oleh swasta tanpa campur tangan pemerintah.

7
2. Fungsi distribusi yaitu pengeluaran pemerintah yang diarahkan untuk
mengurangi kesenjangan dan memeratakan pendapatan antar warga
negara.
3. Fungsi stabilisasi yaitu anggaran pemerintah yang diajukan untuk
memelihara tingkat kesempatan kerja yang lebih tinggi, kestabilan harga
dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Setelah tahun 1997, yaitu tahun 1998 sampai dengan tahun 2006 anggaran
pemerintah selalu mengalami defisit yang cukup besar. Pada tahun 1998, terjadi
krisis moneter yang merambat menjadi krisis ekonomi dan krisis politik, sehingga
menyebabkan penurunan yang besar dalam penerimaan negara. Hal ini
menyebabkan anggaran mengalami defisit sebesar Rp81.323 miliar, jumlah defisit
ini berhasil dikurangi pada tahun 1999 sehingga menjadi Rp47.817 miliar. Tahun
1999 merupakan tahun pertama dilaksanakan indepedensi Bank Indonesia
berdasarkan UU No. 23 tahun 1999. Bank Indonesia tidak diperbolehkan lagi ikut
serta dalam pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Defisit anggaran pada tahun
1998-1999 ini turut dibiayai oleh Bank Indonesia melalui penciptaan uang primer.
Pada tahun 2001, kondisi keuangan pemerintah masih mendapat tekanan yang
cukup kuat, defisit anggaran pemerintah kembali terjadi hingga mencapai jumlah
Rp57.364 miliar. Pada tahun 2002, defisit anggaran tetap terjadi sebesar
Rp34.463,3 miliar dan melambung menjadi Rp62.671,6 miliar pada tahun 2004.
Jumlah defisit yang cukup besar tersebut dapat dikendalikan pada tahun 2005
menjadi Rp13.975 miliar. Dengan defisit ini sebagian besar dibiayai oleh hasil
privatisasi BUMN dan penjualan aset, program restrukturisasi perbankan, dan
sisanya dari pinjaman luar negeri.
Realisasi anggaran pemerintah kembali mengalami kenaikan defisit sebesar
Rp.32081 miliar pada tahun 2006, selanjutnya di tahun 2007 dan 2008 defisit
anggaran pemerintah kembali mengamlami kenaikan yang lebih disebabkan oleh
kebijakan pemerintah untuk mencicil utang luar negeri yang bunganya relatif
tinggi.

8
Penyebab Defisit Anggaran
Menurut Barro (Pamuji, 2008), defisit dapat disebabkan oleh upaya
pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi; pemerataan pendapatan
masyarakat; melemahnya nilai tukar; pengeluaran akibat krisis ekonomi; realisasi
yang menyimpang dari rencana; serta pengeluaran karena inflasi.
Pada bulan Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sebesar Rp
2.380 per dolar. Mendadak pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp
11.000. Kemudian pada Juli 1998, rupiah terus merosot, US$1 setara dengan Rp
14.150. Pada 31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan tapi hanya mampu
meningkat hingga Rp 8.000 untuk US$1.
Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah hilangnya
kepercayaan pasar dan masyarakat serta kondisi kesehatan Presiden Soeharto saat
memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirnya ketidakpastian
terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting adalah sikap
plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan
dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan
internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang
membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dalam realisasinya, defisit APBN tahun 1998/1999 tercatat hanya sebesar
Rp23,6 triliun atau 2,2% dari PDB (Bank Indonesia, 1998). Rendahnya realisasi
tersebut terutama disebabkan oleh berbagai kendala teknis dalam pelaksanaan
beberapa pengeluaran investasi dan tidak dapat terealisasinya subsidi secara
penuh.

1. Pengeluaran di Masa Krisis Ekonomi


Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 mengakibatkan
meningkatnya pengangguran dari 34,5 juta orang pada tahun 1996
menjadi 47,9 juta orang pada tahun 1998. Sedangkan penerimaan pajak
menurun, akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak
krisis, padahal negara harus bertanggungjawab meningkatkan daya beli
masyarakat yang tergolong miskin. Akibatnya, negara terpaksa

9
mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan
pemberdayaan masyarakat.

2. Pengeluaran Akibat Inflasi


Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu
berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan
anggarannya tetap sama. Hal ini akan berakibat pada menurunnya
kuantitas dan kualitas program sehingga anggaran negara perlu direvisi.

3. Melemahnya Nilai Tukar


Sejak tahun 1969, Indonesia melakukan pinjaman luar negeri dan
mengalami masalah apabila terdapat gejolak nilai tukar setiap tahunnya.
Hal ini disebabkan oleh nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing
sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung
dengan rupiah. Apabila nilai rupiah menurun terhadap mata uang AS,
maka yang dibayarkan juga akan membengkak.

4. Guna Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi


Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar
dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi,
biasanya negara melakukan peminjaman ke luar negeri untuk
menghindari pembebanan warha negara dan ditutupi melalui penarikan
pajak.

5. Realisasi yang Menyimpang dari Rencana


Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibandingkan dengan
anggaran yang telah direncanakan atau tidak dapat mencapai sasaran,
maka beberapa kegiatan atau program harus dipotong untuk menutupi
kekurangan tersebut.

Dampak Defisit Anggaran Tahun 1998/1999


1. Dampak Terhadap Permintaan Dalam Negeri

10
Tabel 5. Dampak APBN terhadap Permintaan Dalam Negeri
Sejalan dengan menurunnya perekonomian dan daya beli masyarakat
pemerintah berupaya untuk meningkatkan peranannya dan stimulator
pemulihan sektor riil. Namun, kontribusi pemerintah tersebut lebih
terlihat pada peningkatan pengeluaran konsumsi, khususnya untuk
subsidi daripada pengeluaran investasi, baik untuk program JPS maupun
non-JPS. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap PDB
meningkat dari 7,8% pada tahun sebelumnya menjadi 8,9% sedangkan
kontribusi pengeluaran investasi terhadap PDB relatif tetap.

2. Dampak Terhadap Neraca Pembayaran


Kontribusi lalu lintas modal pemerintah terhadap neraca pembayaran
terlihat meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adanya
penjadwalan cicilan pokok pinjaman luar negeri pemerintah cukup
signifikan dalam meringankan beban kewajiban cicilan pokok yang
seharusnya dibayar dalam tahun laporan, sehingga pemasukan modal
pemerintah lebih besar dari tahun sebelumnya. Kontribusi ini dapat
mengimbangi peningkatan impor bantuan proyek dan pembayaran bunga
pinjaman luar negeri.

11
Tabel 6. Dampak APBN terhadap Neraca Pembayaran

3. Dampak Moneter

Operasi keuangan pemerintah berdampak ekspansif terhadap jumlah


uang beredar dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Ekspansi terbesar terjadi pada jenis pengeluaran operasional,

12
khususnya subsidi yang mencapai Rp45 triliun. Pada sisi pengeluaran
pembangunan, ekspansi terutama bersumber dari realisasi program JPS
dan restrukturisasi perbankan.

Dampak Defisit Anggaran Terhadap Ekonomi Makro


1. Dampak Terhadap Tingkat Bunga
Defisit anggaran ditandai dengan kurangnya
pembiayaan pengeluaran negara karena kurangnya penerimaan
yang berasaldari pajak. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
meningkatkan anggaran pembangunan maupun rutin, negar memerlukan
penambahan modal, yang berarti permintaan uangtetap meningkat. Bunga,
merupakan harga modal itu, akan mengalami itngkat keseimbangan yang
lebih tinggi atau meningkat.

2. Dampak Terhadap Neraca Pembayaran


Dalam perekonomian terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi
ekspor impor dari dan ke manca negara. Dengan meningkatnya tingkat
bunga, investasi dalam negeri akan menurun, yang berarti peluang modal
asing cenderung masukmengalir masuk ke dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan investasi dalam negeri. Apabila ini terjadi maka defisit anggaran
mempunyai dua dampak yang berkaitan yaitu defisit anggaran akan
meningkatkan defisit neraca pembayaran , dengan membengkaknya defisit
neraca pembayaran akan menurunkan nilai tukar dalam negeri terhadap
mata uang asing. Sehingga nilai rupiah turun terhadap valuta asing selama
ini bukan hanya disebabkan karena faktor psikologis tetapi juga faktor
teknis.

3. Dampak Terhadap Tingkat Inflasi


Pengeluaran negara yang melebihi penerimaan berartianggaran negara
itu ekspansif, artinya ada kecenderungan untuk menaikan harga-harga
umum (inflasi).

13
4. Dampak Terhadap Konsumsi dan Tabungan
Inflasi yang diakibatkan karena defisit anggaran itu akan mengurangi
pendapatan riil masyarakat. Pengurangan pada pendapatan riil masyarakat
itu akan berakibat pada pengurangan konsumsi dan tabungan. Tabungan
sangat penting sekali untuk mendorong investasi. Apabila pendapatan riil
menurun berartitingkat konsumsi tabungan riil juga menurun, padahal
tingkat tabungan riil itu akan berpengaruh terhadap tingkat investasi.
Dengan menurunnya tingkat tabungan tersebut, tingkat investasi juga
menurun.

5. Dampak Terhadap Pengangguran


Pengangguran berarti penurunan tingkat kesempatan kerja.
Kesempatan kerja tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan baik
oleh negara maupun masyarakat. Naiknya tingkat bunga akan berdampak
pada menurunnya investasi sehingga proyek-proyek tidak dapat berjalan
dan berakibat pada pemecatan tenaga kerja.

Kebijakan Pemerintah
Dalam pengelolaan anggaran pada tahun 1998-2000 dimana APBN
mengalami defisit, yang berarti pengeluaran negara lebih besar dibanding
penerimaannya. Pembiayaan defisit dapat dilakukan melalui pencetakan uang atau
monetaization, utang luar negeri, dan utang domestik. Dalam APBN, pembiayaan
defisit terbagi menjadi dua pos, yaitu pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan
luar negeri. Pembiayaan dalam negeri dapat bersumber dari perbankan dan
non-perbankan. Pembiayaan melalui sektor perbankan dapat melalui neraca
otoritas moneter dan neraca konsolidasi bank umum yang berupa perubahan net
claim central government (Joko Waluyo, 2006). Sementara itu, pembiayaan
melalui sektor non-perbankan dapat berupa privatisasi, penjualan aset, surat
berharga negara, dan dana investasi pemerintah.
Adapun langkah atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
membiayai defisit anggaran, diantaranya dengan melakukan pencetakan uang baru.
Akibatnya menyebabkan tingkat harga-harga umum menjadi melambung

14
(inflation). Selain itu, hutang luar negeri (IMF, World Bank), meminjam dari
negara tetangga, penerbitan surat berharga negara. Instrumen pembiayaan dalam
negeri yang digunakan pemerintah Indonesia adalah Surat Berharga Negara yang
terdiri dari Surat Hutang Negara, berupa Surat Perbendaharaan Negara
(SPN/T-Bills) dan Obligasi Negara (ORI, FR/VR Bond, Global Bond) dan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara baik SBSN berjangka pendek
(Islamic T-Bills) maupun jangka panjang (Ijarah Fixed Rate, Global Sukuk,
Sukuk Dana Haji Indonesia). Dengan pembiayaan tersebut diharapkan mampu
merubah kondisi anggaran kearah lebih baik dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Dalam penerbitan SUN yang dilakukan pemerintah memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan, karena penerbitan SUN dapat dipakai untuk
mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang sangat rentan
terhadap fluktuasi nilai tukar (Kartika, 2006).

Menurut pandangan pakar ekonomi terhadap pembiayaan dengan cara


hutang, yaitu: pertama, kaum Ricardian dengan teorinya Ricardian Equivalence
(RE) berpendapat bahwa defisit anggaran tidak akan mempunyai pengaruh
apa-apa terhadap perekonomian. Kelompok yang kedua adalah kelompok
Neo-Klasik, dimana menyimpulkan bahwa pada kondisi kesempatan kerja penuh,
defisit anggaran yang permanen akan menyebabkan investasi swasta tergusur
(crowding out). Secara umum kaum Neo-Klasik berpendapat bahwa defisit
anggaran akan merugikan perekonomian. Sedangkan kelompok yang ketiga
adalah kaum Keynesian yang berpendapat bahwa defisit anggaran akan
mempengaruhi perekonomian. Kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa
pelaku ekonomi mempunyai pandangan jangka pendek (myopic), hubungan
antar-generasi tidak erat, serta tidak semua pasar selalu dalam posisi
keseimbangan.

Dengan adanya pembiayaan dari hutang luar negeri akan berpengaruh


terhadap kebijakan pengelolaan anggaran, namun tanpa memperhatikan
kemampuan pendanaan dalam negeri, dapat menyebabkan ketergantungan atas
hutang luar negeri. Pada masa Orde baru penyusunan anggaran negara
menggunakan konsep anggaran berimbang, dinamis dan fungsional. Anggaran
berimbang dimaksudkan sebagai terjadinya perimbangan antara anggaran

15
pengeluaran dan anggaran penerimaan. Anggaran dinamis adalah peningkatan
terus-menerus besarnya tabungan pemerintah. Usaha meningkatkan tabungan
pemerintah ini bertujuan meningkatkan peranan tabungan pemerintah sebagai
sumber utama untuk membiayai pembangunan. Sedangkan anggaran fungsional
bertujuan untuk memfungsikan pinjaman atau hutang luar negeri untuk
membiayai pengeluaran pembangunan. Asumsinya adalah semakin besar
tabungan pemerintah semakin kecil peranan atau fungsi hutang luar negeri
(Kusfiardi, 1998).

Bagi masyarakat yang rasional, kebijakan pemerintah menempuh anggaran


defisit dengan memotong pajak memberikan dampak kenaikan pendapatan setelah
pajak untuk saat ini. Namun pada masa yang akan datang pemerintah perlu
membayar cicilan dan bunga atas hutang yang terakumulasi tersebut. Cara yang
ditempuh pemerintah dengan menaikkan pajak. Jadi penurunan pajak saat ini
dipandang oleh konsumen hanya memberikan pandapatan sementara (transitory
income) saja dan pada masa yang akan datang akan “diambil kembali” oleh
pemerintah.

Pemulihan Ekonomi Pasca Krisis


Krisis keuangan Asia paling buruk melanda Indonesia dibandingkan semua
negara lain yang terkena dampaknya karena yang terjadi di Indonesia tidak hanya
krisis ekonomi. Awalnya yang terjadi adalah krisis finansial namun berkembang
dan akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan sosial yang sangat buruk di
mana pemerintah tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang
sangat dibutuhkan melainkan justru berusaha untuk melindungi kekuasaan mereka.
Mengingat bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat penting untuk
membangun kepercayaan investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam
perpolitikan di Indonesia membuat banyak investor pergi.
Ketidakpastian politik membuat banyak investor (baik asing maupun
domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke pasar Indonesia. Akan tetapi
saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun ini adalah
suatu proses yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan otoriter
yang pernah berkuasa selama beberapa decade telah mematikan aktivitas politik

16
masyarakat dan lembaga-lembaga politik hingga batas-batas tertentu. Butuh
waktu sebelum negara ini dapat meninggalkan sebutan negara 'demokrasi cacat’
('flawed democracy') yang diukur oleh Unit Kecerdasan Ahli Ekonomi untuk
Indeks Demokrasinya. Akan tetapi pemilihan umum yang adil dan bebas
memberikan kepastikan bahwa ada dukungan yang lebih besar bagi pemerintah
selama periode Reformasi dibandingkan masa sebelumnya. Keputusan untuk
memilih presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan salah satu
keputusan yang penting secara psikologis. Meskipun demikian, perlu
digarisbawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih rapuh (dengan kata lain
kurang stabil) dibandingkan dengan demokrasi yang sudah lama dibangun karena
banyak kelompok (yang visinya berbeda) mencoba membangun posisi mereka
pada demokrasi yang masih belum matang.
Faktor penting lainya yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia
adalah sektor keuangan Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk
sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh budaya patronase dan korupsi yang tidak
memiliki model pengawasan yang baik. Bahkan Bank Indonesia tidak tahu
tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya utang swasta jangka pendek
yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan terjadinya
'ekonomi gelembung' ('bubble economy'). Budaya patronase dan korupsi (serta
kurangnya kepastian hukum) sangat menghambat fungsi ekonomi yang efisien
dan merupakan bom waktu yang bisa meledak setiap saat.
Namun setelah krisis berakhir, pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya
telah membuat langkah-langkah keuangan yang bijak untuk memastikan agar
krisis serupa tidak terjadi kembali. Pengawasan terhadap likuiditas sektor
perbankan sekarang ketat dan transparan, 'uang panas' ('hot money') ditangani
secara lebih hati-hati, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih rendah
dibandingkan kebanyakan negara-negara ekonomi maju.

17
KESIMPULAN

Dalam ekonomi makro, defisit anggaran merupakan salah satu faktor penting
yang menjadi pertimbangan dalam menyusun anggaran. Pada tahun 1999, kondisi
keuangan pemerintah masih mendapat tekanan yang cukup kuat. Defisit anggaran
pemerintah membengkak hingga mencapai jumlah -Rp33.158,25 miliar. Tahun
1999 ini juga merupakan tahun pertama dilaksanakan Indepedensi Bank Indonesia
berdasarkan UU No. 23 tahun 1999. Pada tahun 2000, defisit anggaran pemerintah
turun sampai jumlah -Rp16.100 miliar. Rendahnya realisasi APBN tersebut
terutama disebabkan oleh berbagai kendala teknis dalam pelaksanaan beberapa
pengeluaran investasi dan tidak dapat terealisasinya subsidi secara penuh. Selain
itu, defisit anggaran juga disebabkan oleh rendahnya daya beli masyarakat,
melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat inflasi, dan guna mempercepat
pertumbuhan ekonomi.
Dampak defisit anggaran tahun 1998 dirasakan dari sisi penerimaan negara,
neraca pembayaran, dan moneter. Langkah untuk menstabilkan ekonomi melalui
APBN dapat dilakukan dengan cara yang pertama, anggaran belanja
dipertahankan agar seimbang, artinya pengeluaran total tidak melebihi atas
penerimaan totalnya. Kedua, dengan tabungan pemerintah diusahakan terus
meningkat disetiap tahunnya, sehingga dapat memperkecil ketergantungan
terhadap bantuan dari luar negeri. Ketiga, melalui basis perpajakan diusahakan
diperluas secara berangsur-angsur dengan cara mengintensifkan penarikan pajak
dan prosedur pengumpulannya. Keempat, memprioritaskan pengeluaran
pembangunan yang sifatnya produktif. Kelima, kebijaksanaan anggaran diarahkan
pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maksimal sumber-sumber
dalam negeri.

18
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun


1998/1999. https://www.kemenkeu.go.id/media/6603/apbn-1998-1999.pdf.

Zulkifli Hasan. 2018. Memori Krisis Moneter Tahun 1998/1999 [Internet].


https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-moneter-19971998.
(Diakses 3 Juni 2020).

Krisis Keuangan Asia di Indonesia [Internet]. https://www.indonesia-investments.


com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246. (Diakses 3 Juni 2020).

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. 2004. Laporan Perekonomian


Indonesia Tahun 1998/1999. https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/
perekonomian/Pages/LapTah%201998%201999.aspx. (Diakses 3 Juni 2020).

Maulida dkk. 2011. Pengaruh Defisit Anggaran, Jumlah Uang Beredar dan
Independensi Bank Indonesia terhadap Inflasi. Jurnal Ekonomi Universitas Riau.

Goeltom, Miranda S. 2000. Kebijakan Ekonomi Makro dengan Integrasi Pasar


Uang dan Globalisasi.

Herlambang, dkk. 2001. Ekonomi Makro: Teori, Analisis dan Kebijakan. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Kunarjo. 2001. Defisit Anggaran Negara. Majalah Perencanaan Pembangunan.


Edisi 23: hlm 1-10.

Nizar Mustofa. Dampak Defisit Anggaran terhadap Perekonomian.


https://www.academia.edu/34849921/dampak_defisit_anggaran_terhadap_perekonomian

Anda mungkin juga menyukai