Anda di halaman 1dari 2

Analisis Kebijakan Fiskal di Indonesia

Bagi negara-negara yang sedang membangun, stabilisasi ekonomi merupakan syarat bagi
terlaksananya pembangunan ekonomi agar tujuan pembangunan dapat tercapai secara efisien dan
efektif. Ada dua kebijakan yang biasa digunakan dalam ekonomi makro yaitu, kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan kebijakan ekonomi yang terkaitan dengan jumlah
uang yang beredar dalam mengatasi permasalahan perekonomian. Sedangkan kebijakan fiskal dalam
mempengaruhi perekonomian lebih mempersentasikan pilihan-pilihan pemerintah dalam
menentukan besarnya jumlah pengeluaran dan pendapatan negara yag tertuang dalam anggaran
pemerintah atau APBN (Anggaran Penerimaan da Belanja Negara).
Terjandinya krisis ekonomi 1997 membuat pemerintah mengalami defisit finansial. APBN
mengalami penurunan pendapatan secara drastis namun pengeluaran semakin tinggi akibat besarnya
beban penangulangan krisis. Sehingga terjadi krisis fiskal di Indonesia yang ditandai dengan
meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk kewajiban kontinjensi. Keadaan di atas membuat
pemerintah Indonesia terbelit beban utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Pascakrisis
Indonesia masih bergantung pada utang dalam negeri guna membiayai defisitnya APBN. Defisit
anggaran yang terjadi sangat membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan pembangunan di
dalam negeri. Hal ini disebabkan karena defisit yang dibiayai dengan surat utang akan menimbulkan
efek crowding-out
Selain masalah defisit anggaran, aspek lain yang penting adalah masalah sinkronisasi
kebijakan fiskal dengan siklus bisnis perekonomian. Idealnya, kebijakan fiskal memiliki sifat sebagai
automatic stabilizer perekonomian. Artinya, dalam kondisi perekonomian sedang mengalami
ekspansi, maka pengeluaran pemerintah seharusnya berkurang atau penerimaan pajak yang
bertambah. Sebaliknya, jika perekonomian sedang mengalami kontraksi, kebijakan fiskal seharusnya
ekspansif melalui peningkatan belanja atau penurunan penerimaan pajak.
Untuk kasus Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Akitoby, et.al. (2004) dan Baldacci
(2009) belum menemukan adanya countercyclicality dalam kebijakan fiskal. Karakter kebijakan fiskal
Indonesia lebih cenderung asiklikal atau bahkan prosiklikal. Kesimpulan tersebut juga diperkuat oleh
riset di Bank Indonesia (2009) bahwa kebijakan fiskal Indonesia cenderung bersifat asiklikal secara
agregat atau justru prosiklikal jika berdasarkan pengelompokan pengeluaran. Sifat siklikalitas yang
demikian berpotensi memberikan tekanan instabilitas dalam perekonomian , seperti kenaikan inflasi.
Plotting antara rasio pengeluaran pemerintah, dengan tidak memasukkan pembayaran bunga, dengan
pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya hubungan yang searah pada periode setelah krisis 1998.
Sebelum krisis ekonomi 1998, hubungan diantara kedua variabel tersebut cenderung berlawanan
arah. Grafik 1 menggambarkan pengeluaran pemerintah terhadap PDB dan pertumbuhan PDB yang
menggambarkan hubungan searah pada periode setelah krisis 1998. Sebelum krisis ekonomi 1998,
hubungan kedua variable tersebut cenderung berlawanan arah.

Dalam menangani kedua permasalahan tersebut diantaranya ada empat solusi yaitu:

1. Mengurangi / menghapus anggaran yang tidak diserap kembali ke kas negara (Subsidi BBM)
Sebagai contoh tahun 2008 contoh, beban tambahan untuk subsidi BBM yang harus ditanggung
APBN sebesar Rp93,8 triliun. Hal ini terjadi lantaran realisasi subsidi BBM meningkat tajam
hingga sebesar Rp135,9 triliun, padahal dalam APBN alokasi yang tersedia hanya sebesar
Rp42,1 triliun.

2. Perbaikan sistem dan kelembagaan pelaksana anggaran
Laporan terkini dari IMF bahkan menunjukkan bahwa dalam praktinya pola kebijakan fiskal di
Indonesia bahkan tak tergolong dalam tipe countercyclical (pengetatan) dan tidak pula
procyclical , melainkan acyclical, atau meminjam istilah IMF sebagi neither sailing against the
wind, nor going with the flow yakni kebijakan fiskal yang tak ada korelasinya dengan gerak
siklus ekonomi.
3. Perluasan basis penerimaan pajak non-migas
Solusi kegita menurut penulis adalah perluasan basis penerimaan pajak non-migas khususnya
pajak penghasilan (PPh) melalui reformasi administrasi dan modernisasi system perpajakan.
Penerimaan perpajakan nonmigas yang semakin tinggi akan menunjang daya fleksibilitas
kebijakan fiskal dalam meredam dampak negatif fluktusi ekonomi.

4. Kedua memasukan zakat kedalam kas negara.
Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama,
zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf,
dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya
mandub (sunnah). Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20
triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford
Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat
Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk
barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih
berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu
temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93
persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima.
.Sumber: BPS, BI, Majalah Kementerian Keuangan dan Artikel terkait.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/12/19/analisis-kebijakan-fiskal-di-
indonesia-620852.html

Anda mungkin juga menyukai