Anda di halaman 1dari 9

Instrumen Kebijakan Moneter

Dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian

Kelompok 2
Nama Anggota:
Ari Frandika
Arif Nuryanto
Candra Nugraha
Elmanuel Nataniel
Freya Ekklesia Mayesti
Indah Wulandari
Octandri
Yoshe Marwanda Veronika
1. Kebijakan Diskonto
Kebijakan diskonto (discount rate policy) atau juga sering disebut dengan politik
suku bunga adalah salah satu kebijakan moneter kuantitatif yang merupakan
pengendalian jumlah peredaran uang dengan peningkatan atau penurunan tingkat
suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral kepada bank umum.

Jika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga, berarti bank sentral ingin
mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Biasanya hal ini
dilakukan untuk mengatasi inflasi.

Sedangkan jika bank sentral menurunkan tingkat suku bunga, berarti bank sentral
ingin menambah jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Biasanya hal ini
dilakukan untuk mengatasi resesi atau termasuk dalam pengertian deflasi.

Contoh Kebijakan Diskonto


Contoh kebijakan diskonto ada pada bank sentral yaitu Bank Indonesia. Peran Bank
Indonesia dalam kasus ini adalah memiliki wewenang dalam penetapan tingkat
diskonto. Berikut adalah ilustrasinya:

Bank sentral yaitu Bank Indonesia memiliki tugas dalam mengawasi kegiatan bank
umum. Salah satu cara yang dilakukan Bank Indonesia untuk bisa memastikan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan adalah dengan memastikan
bahwa bank umum mampu membayar semua cek yang diajukan atau dikeluarkan
oleh nasabah. Dalam hal ini Bank Indonesia dapat memberikan pinjaman kepada
bank umum atau juga bisa membeli surat-surat berharga tertentu yang ada pada
bank umum jika pada bank umum terdapat masalah yang berkaitan dengan
cadangan kas.

Jika bank umum menjual surat-surat berharga tertentu kepada Bank Indonesia
maka disebut mendiskontokan surat-surat berharga. Pembelian surat-surat
berharga yang dilakukan oleh Bank Indonesia hanyalah untuk surat-surat berharga
yang liquid (mudah dicairkan), seperti Sertifikat Bank Indonesia. Atas penjualan
surat-surat berharga tertentu tersebut oleh bank umum kepada Bank Indonesia,
maka Bank Indonesia memiliki hak untuk menetapkan suku bunga diskonto.

Wewenang Bank Indonesia sebagai bank sentral salah satunya adalah menetapkan
tingkat diskonto. Penetapan tingkat diskonto ini bisa digunakan untuk
mengendalikan jumlah penawaran uang dan tingkat kegiatan ekonomi Indonesia.
Jika situasi Indonesia terjadi penyerapan tenaga kerja yang rendah, maka Bank
Indonesia bisa meningkatkan kegiatan ekonomi dengan cara menurunkan tingkat
diskonto. Hal ini juga bisa mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Karena penurunan tingkat diskonto otomatis akan menurunkan pula biaya yang
ditanggung oleh bank umum dan bisa mendorong bank umum untuk memberikan
pinjaman yang lebih banyak kepada masyarakat, termasuk kepada pelaku usaha.
Biasanya pelaku usaha mengajukan permohonan peminjaman kepada bank umum
untuk pengembangan usahanya. Jika suatu sektor usaha berkembang, maka
kebutuhan akan sumber daya manusia juga akan meningkat, sehingga dapat
menciptakan lapangan pekerjaan dan juga meningkatkan jumlah peredaran uang.

Sedangkan jika situasi Indonesia terjadi penyerapan tenaga kerja yang tinggi, maka
Bank Indonesia menahan kegiatan ekonomi dengan cara menaikkan tingkat
diskonto. Dengan adanya kenaikan tingkat diskonto, maka bank umum akan
menaikkan suku bunga pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini akan
berdampak pada penurunan kuantitas pinjaman karena masyarakat enggan untuk
mengajukan permohonan pinjaman ke bank umum karena suku bunga pinjaman
yang tinggi. Masyarakat akan lebih memilih untuk menabung sehingga jumlah
peredaran uang akan menurun.

2. Kebijakan operasi pasar terbuka (open market operation)


Operasi pasar terbuka adalah salah satu kebiajkan yang diambil oleh bank sentral
untuk mengurangi atau menambahkan jumlah uang yang sedang beredar di
masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara menjual serifikat Bank Indonesia (SBI)
atau bisa juga dengan membeli surat berharga yang ada dalam pasar modal.
Contoh dari kebijakan ini adalah ketika Bank Indonesia melelang sertifikatnya atau
bisa juga membeli atau menarik surat-surat berharga yang beredar di pasar modal.

Lelang sertfikat diberlakukan ketika uang yang beredar di masyarakat berlebih


maka dengan itu jumlahnya bisa diminimalisir. Sedangkan pembelian surat-surat
berharga diberlakukan ketika uang yang beredar di masyarakat sedikit atau rendah
maka dengan cara tersebut uang yang beredar di masyarakat akan kembali menjadi
normal. Konsekuensi dari kebijakan ini sangat besar karena bertempat di pasar
terbuka, dimana semua pihak bebas untuk masuk dan melakukan bisnisnya.
Namun di sisi lain dengan ikut di pasar terbuka kita akan mudah untuk mencapai
tujuan utama, misalkan untuk menjual sertifikat berharga kita mudah untuk
menemukan pihak yang akan membeli surat atau sertifikat.
Kita juga lebih mudah untuk membangung sebuah jaringan dimana ketika terjadi
suatu kesulitan atau masalah bisa terselesaikan dengan baik dan efektif.
Pelaksanaan kebijakan ini dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang
karena setiap hasil penjualan surat atau sertifikat berharga digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang ada dan mempertahankan kestabilan jumlah uang
yang beredar di masyarakat.

3. Kebijakan Cadangan Khas


Kebijakan ini berhubungan dengan cash ratio, dimana Bank sentral memiliki
wewenang untuk membuat peraturan yakni dalam menaikkan ataupun
menurunkan cadangan khas atau yang sering kita sebut dengan cash ratio. Bank
umum dalam keadaan ini akan menerima uang dari para nasabah dalam bentuk
giro, tabungan, deposito, dan jenis tabungan lainnya. Namun dalam hal ini ada
sebuah pengecualian yakni adanya presentase tertentu dari uang yang disetor oleh
nasabah yang tidak diperbolehkan untuk dipinjamkan.

Contohnya : saat Bank sentral menahan atau melarang sebagian dari tabungan
serta uang yang beredar di masyarakat baik deposito, giro, sertifikat dan lain lain
untuk dipinjamkan kepada pihak lain, hal ini dimaksudkan untuk membuat kondisi
peredaran uang menjadi stabil kembali, yakni dengan berupaya menurunkan
jumlah uang berlebih yang beredar di masyrakat.
Begitu pula sebaliknya ketika uang yang beredar di masyarakat sedikit maka Bank
sentral akan melakukan kebijakan yakni mengeluarkan cadangan khasnya yang
telah diperoleh sebelumnya untuk dipinjamkanm kepada masyarakat. Tujuan
utama diberlakukannya kebijakan cadangan khas adalah untuk mensiasati
ketidakstabilan kondisi uang yang beredar di masyarakat. Dengan adanya kebijakan
ini maka pemerintah atau Bank sentral tidak bingung ketika ada ketidakstabilan
dalam hal jumlah uang yang beredar di masyarakat, karena ketika kondisi normal
dan ada kelebihan maka pemerintah akan mencadangkan kelebihan itu dengan
tujuan untuk digunakan ketika ada sebuah masalah yang berkaitan dengan jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Hal ini bisa diterapkan dimanapun berada karena
dengan persiapan awal kita tidak akan kesulitan dalam menghadapi sebuah
masalah meskipun datangnya secara tiba-tiba.

4. Kebijakan Kredit Selektif


Sesuai dengan namanya yang mengandung unsur ketat maka kebijakan yang satu
ini berhubungan dengan pengawasan. Pengawasan terhadap jumlah uang yang
beredar di masyarakat. Dengan adanya kebijakan diharapkan perekonomian
mampu membaca situasi dengan baik dan mencari sebuah pemecahan masalah
ketika kita hidup bersama. Kredit ini diberikan bank umum dengan beberapa syarat
yakni karakter, kapasitas, jaminan, kapital, dan kondisi perekonomian. Langkah ini
sangat tepat diambil ketika terjadi inflasi di daerah tersebut. Contohnya ketika
peredaran uang di masyarakat tidak merata dan sering terjadi fluktuatif maka bank
sentral akan menerapkan sistem pajak kredit ketat agar tidak ada satupun pihak
yang menyelewengkan uang yang ada.

Hal ini sangat efektif ketika terjadi sebuah kekacauan di suatu negara, karena
apapun alasannya semua pihak harus mentaatinya dan jika ada sebuah
pelanggaran atau penyelewengan akan mendapatkan sebuah sanksi dan hukuman
sesuai dengan aturan yang ada. Kefefktifan kebijakan ini tidak perlu diragukan lagi
karena sistem ini akan mempersempit peluang pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab dalam membuat atau menciptakan suatu permasalahan.

5. Kebijakan dorongan moral (moral suasion)


Kebijakan atau tindakan yang satu ini berbeda dengan yang lainnya karena dalam
upayanya menstabilkan jumlah uang yang beredar baik untuk menurunkan dan
menaikkan jumlah uang tersebut. Cara atau tindakan yang ditempuh oleh kebijakan
ini adalah dengan pengumuman, pidato dan edaran yang ditunjukkan pada bank
umum dan pelaku ekonomi lainnya.

Pengumuman, pidato dan edaran ini berisi tentang ajakan atau larangan dengan
tujuan menahan pinjaman tabungan dan melepaskan pinjaman yang ada. Untuk
kebijakan yang satu ini layaknya seperti perintah dari atasan dan secara langsung
akan ditindak lanjuti. Untuk kebijakan ini memiliki kekurangan yakni tidak semua
responden yang diperintahkan untuk melakukan perintah tersebut. Hal ini terjadi
karena tidak ada aksi yang signifikan dan control yang minimal.

Itulah beberapa instrumen yang dimiliki oleh kebijakan moneter, dimana


instrumen itu terbagi menjadi 5 yakni kebijakan operasi pasar terbuka, kebijakan
diskonto, kebijakan cadangan khas, kebijakan kredit ketat, dan kebijakan dorongan
moral. Semua kebijakan ini berpengaruh terhadap jumlah uang yang beredar di
masyarakat.

Pada dasarnya kebijakan ini hadir untuk menjaga kestabilan jumlah uang yang
beredar karena hal ini sangat berpengaruh dengan keadaaan ekonomi, ketika
jumlah uang yang beredar di masyarakat berlebih dan hal itu berlangsung terus
menerus maka akan terjadi sebuah permasalahan dalam perekonomian misalkan
menyebabkan inflasi dan lainnya. Begitu juga sebaliknya ketika jumlah yang
beredar dalam masyarakat menipis bahkan kurang dan kejadian ini terjadi terus
menerus maka kan terjadi krisis moneter di suatu negara akibat dari ketidakstabilan
jumlah uang yang beredar.

Devaluasi adalah kebijakan untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik
terhadap mata uang asing. Keuntungan dari melakukan devaluasi adalah membuat
harga barang-barang ekspor menjadi lebih murah sebaliknya harga barang impor
menjadi lebih mahal. Devaluasi membuat peningkatan ekspor, net ekspor (ekspor
dikurangi dengan impor) dan pendapatan nasional sedangkan kerugian dari
devaluasi yang utama adalah membuat cost foreign currency loans lebih besar dari
jumlah dollar yang dibayarkan untuk menutup pinjaman dalam mata uang asing
juga lebih banyak.

Revaluasi adalah kebijakan untuk menaikkan nilai tukar domestik terhadap nilai
tukar negara lain. Keuntungan melakukan revaluasi adalah biaya meminjam dalam
mata uang asing lebih murah, sedangkan kerugiannya yang utama adalah
menyebabkan produk domestik menjadi lebih mahal dalam mata uang asing dan
impor menjadi lebih murah dalam mata uang domestik. Jatuhnya nilai mata uang
tertentu terhadap mata uang lain bisa disebabkan oleh berbagai faktor.

Dampak Kebijakan Devaluasi


Dengan devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya,
harga barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah.
Harapan pemerintah, dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya,
barang-barang yang kita ekspor ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata
uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun). Karena
nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka diharapkan volume
ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional). Dengan adanya kenaikan
ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan perusahaan di dalam negeri
bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang menganggur
dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun, devaluasi juga mempunyai
dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga di dalam negeri mejadi
naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai utang luar negeri dalam
bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang tersebut menjadi
membengkak jika dilihat dari Rupiah.
Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia
harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus
mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah
15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi
mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta.
“tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.

Dampak Kebijakan Revaluasi


Revaluasi adalah kebijakan menaikkan mata uang dalam negeri atas mata uang
asing. Kebijakan ini diambil ketika pemerintah ingin mendorong tingkat impor dan
menurunkan ekspor. Mengapa pemerintah ingin mengingkatkan impor? Salah satu
alasannya adalah untuk mengurangi akumulasi mata uang asing dalam negeri.
Dengan revaluasi, nilai barang-barang dalam negeri menjadi lebih mahal, dan nilai
barang-barang luar negeri menjadi lebih murah. Akibatnya, impor meningkat.
Setiap impor dilakukan, suatu nilai mata uang asing harus digunakan untuk
membayar barang-barang yang diimpor tersebut. Sehingga, peningkatan impor
mengakibatkan peningkatan permintaan mata uang asing dan pada akhirnya
penurunan cadangan mata uang asingg di dalam negeri. Revaluasi dapat membawa
dampak negatif pada keuntungan dan daya saing perusahaan-perusahaan dalam
negeri. Revaluasi membuat barang-barang lokal lebih murah di pasar internasional.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan dalam negeri akan mengalami tekanan untuk
menurunkan harga barang-barangnya, meningkatkan produktivitas, dan promosi
agar barang-barangnya dapat bersaing di pasar internasional dan dalam negeri.

Contoh:
Pada bulan Januari 2004 US$ 1 = Rp 8.500 Pada bulan Maret 2004, pemerintah
mengambil kebijakan revaluasi sehingga US$ 1 = Rp7.000. Perusahaan Empat
Musim adalah perusahaan garmen yang mengekspor produk-produknya ke
berbagai negara Eropa. Seluruh transaksi menggunakan mata uang US$. Pada bulan
Januari 2004, apabila Negara x ingin membeli produk-produk Perusahaan Empat
Musim senilai Rp 1.000.000. Negara X harus membayar Rp 1.000.000 x US$1/Rp
8.5000 = US$ 117.647. Setelah revaluasi, nilai transaksi itu berubah menjadi Rp
1.000.000 x US$1/Rp 7.000. = US$142,857. Dari sini dapat dilihat bahwa setelah
revaluasi, barang-barang ekspor akan menjadi lebih mahal. Sebaliknya, apalagi
Perusahaan Empat Musim adalah pengimpor produk garmen, nilai transaksi
setelah revaluasi akan menjadi lebih murah. Katakanlah Perusahaan Empat Musim
mempunyai transaksi impor US$ 1juta x Rp 8.500/US$ 1 =Rp 8.500.000.000, namun
setelah revaluasi transaksi menjadi US$ 1juta x Rp 7.000/US$1 = Rp 7.000.000.000.
ini berarti, biaya impor menjadi lebih murah.
Dampak Kebijakan Moneter

Pada diskusi tentang dampak kebijakan moneter, makroekonomi modern


menggambarkan adanya perbedaan antara dampak kebijakan moneter dalam
jangka pendek dan jangka menengah. Pembedaan ini sangat diperlukan untuk
mengetahui pemahaman yang benar tentang apa yang dapat dilakukan oleh
kebijakan moneter. Pada kondisi jangka pendek, pergerakan tingkat harga dan
output terlihat sangat kompleks dibandingkan pada kondisi jangka
menengah/panjang (Umi Julaihah, 2007:55-58)
1. Jangka menengah atau panjang Teori moneter memberikan penjelasan
mengenai hubungan antara nflasi, pertumbuhan output dan pertumbuhan uang.
Ekspansi moneter akan meningkatkan pertumbuhan output dan kemudian
meningkatkan tingkat harga umum. Secara rata-rata, tingkat inflasi akan sama
dengan kelebihan ekspansi moneter atas biaya yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan potensial dalam perekonomian. Pada jangka menengah tidak
terdapat trade off bahwa otoritas dapat mengeksploitasi untuk meningkatkan
output pada tingkat inflasi yang tinggi. Pernyataan tersebut berdasarkan dua
alasan, yaitu (1) pada jangka pendek para pelaku ekonomi belajar dari kesalahan
yang telah dibuat di masa lalu dan mengakhirinya dengan prediksi yang baik
tentang bagaimana perekonomian bekerja; (2) selanjutnya harga dan upah menjadi
fleksibel dan diikuti oleh pasar barang dan pasar tenaga kerja yang sempurna. Hal
tersebut berimplikasi bahwa pada jangka menengah inflasi dianggap sebagai
fenomena moneter, otoritas moneter tidak bias menggerakkan perekonomian
melalui inflasi yang tinggi sehingga inflasi yang tinggi pada akhirnya akan
memperburuk perekonomian. Sebagian besar studi antara pertumbuhan jumlah
uang beredar dan inflasi (dalam jangka menengah) memberikan kesimpulan bahwa
terdapat korelasi yang cukup tinggi antara keduanya yaitu mendekati satu (Vinals
dan Valles, 1999:11-12) 2)
2. Jangka pendek Pada pembahasan mengenai dampak kebijakan moneter
dalam jangka pendek muncul adanya kekompleksitasan. Secara umum, jika harga
dan upah sangat fleksibel, maka pasar barang dan pasar tenaga kerja akan
sempurna, setiap agen ekonomi akan memiliki informasi penuh tentang kondisi
perekonomian dan kebijakan yang akan diterapkan oleh otoritas moneter. Pada
kondisi ini, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek kebijakan
moneter hanya akan mempengaruhi harga tapi perekonomian riil tidak terimbas
(money just a veil) (Vinals dan Valles, 1999:14) Aliran pemikiran ekonomi yang
mempercayai bahwa harga dan upah sangat fleksibel pada jangka pendek adalah
berdasarkan adanya missperception dari masyarakat. Pada saat masyarakat
membuat ekspektasi berdasarkan seluruh informasi yang tersedia, maka kebijakan
moneter akan mempunyai efek riil hanya jika kebijakan moneter tidak diantisipasi.
Kebijakan moneter yang tidak diantisipasi akan
menimbulkan missperception tentang perubahan harga sebagai perubahan pada
harga relatif. Pada jangka pendek tidaklah mencukupi untuk melakukan
penyesuaian, namun ketika masyarakat mulai belajar dan memperbaiki
ekspektasinya sepanjang waktu, maka harga akan menyesuaikan secara sempurna
dan output akan berada pada keseimbangan ketika jangka menengah. Pada sisi
lain, jika kebijakan moneter diantisipasi secara sempurna oleh masyarakat, maka
agen akan menggunakan informasi yang dimiliki dalam perhitungan dan dalam
membuat keputusan ekonomi. Sehingga kebijakan moneter akan secara penuh dan
cepat menggerakkan harga tanpa memiliki dampak jangka pendek terhadap
output. Implikasi kebijakan dari kondisi di atas adalah: (1) hanya kebijakan moneter
yang tidak sistematik yang mempunyai efek jangka pendek terhadap output, (2)
kebijakan yang sistematik atau diantisipasi oleh masyarakat hanya akan
mempengaruhi harga dan tidak mempengaruhi output. Sehingga kebijakan
moneter yang bersifat ‘rules’ tidak akan mempunyai efek jangka pendek terhadap
perkembangan output (Vinals dan Valles, 1999:14-15).
Realitas yang ada di dunia nyata adalah seringkali
terjadi imperfect information sehingga harga dan upah tidak fleksibel
penuh nominal rigidities). Pada kondisi terjadi kekakuan harga dan upah dan diikuti
kebijakan moneter yang sistematik maupun tidak sistematik, maka kebijakan
moneter memiliki efek temporer
terhadap output. Sehingga, pilihan kebijakan dari otoritas moneter untuk jangka
pendek dapat berupa target harga (inflasi) maupun output (Vinals dan Valles,
1999:16)

Anda mungkin juga menyukai