Anda di halaman 1dari 54

X MIA 2

SEJARAH INDONESIA
ISLAMISASI DAN SILANG BUDAYA DI NUSANTARA

==

ADISTA FADILAH (01)


AGATA INTAN F. (02)
DWI FITRIA R. (10)
FIRMAN LALASIZOKHI H. (11)
JASLIN BONITA A. (15)
M. ARIEF ALFIANNO (19)
MUSYAFFA DHIRA (22)
ZAKIYATUL LAILI (31)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka


ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya.
Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika
dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran
jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa.
Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku
bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih
di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih
berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat


negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan
Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan,
Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus
dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang
lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak
mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat.
Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-
raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam
memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat
muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang
lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa
dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim,
meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya


dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama
Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-
masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama
dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari
pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam
menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang
telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan
saling pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan
pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai
pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya
dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara
negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
BAB II
PEMBAHASAN

MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA


Teori Teori Teori Teori Pantai
Teori Persia
Gujarat Mekkah Benggali Coromandel

A. TEORI PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

1. TEORI MEKAH
Teori lama, teori Gujarat, sejak 1958 mendapatkan koreksi dan kritik dari
Hamka yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah. Koreksinya ini
disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Sejak dari pidatonya di atas,
kemudian dikuatkan dalam sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agma
Islam Ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menolak pandangan
yang menyatakan bahwa agama islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan
berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan
bangsa arab sebagai pembawa agama islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan
sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat,atau mesir sebagai
tempat pengambilan ajaran islam.
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan
rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia
dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal
kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nila-
nilai ekonomi, melainkan di dorong oleh
motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam
pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah
berlangsung jauh sebelum tarikh masehi. Selain itu, Hamka menolak pendapat
yang menyatakan bahwa agama islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13,
karena di Nusantara abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik islam. Jadi
masuknya agama islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-
7.
Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori
Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka
penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis
Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk
menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang
mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia
dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di
Indonesia mendapatkan Islam dari orang-orang pertama (orang Arab), bukan dari
hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan
oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara)
yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya
mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau
perguruan tarekat.
Menurut Arnold, bahwa untuk menetapkan masuknya agama Islam ke
Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia
oleh pedagang-pedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriah, lama sebelum
ada tulisan-tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu. Pendapat yang
demikian itu berdasarkan pengertian kita tentang ramainya perdagangan dengan
dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2
sebelum masehi perdagangan dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka.
Pada permulaan abad ke 7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat
ramai sehingga pada pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di
Canton, sedang antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka
telah menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama
telah mendirikan tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di
Indonesia, sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang
kepulauan itu tidak disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9,
menurut berita Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang seorang pembesar
Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat
Sumatera
Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia
datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara
semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun
630-631 hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini
mempunyai implikasi yang besar terhadap proses
Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang
Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan
tempat mereka singgah di Asia Tenggara

2. TEORI GUJARAT (INDIA)


Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama
kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis
tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia
menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan
Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya
ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan
terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan
umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat
kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk
Hurgronje, seorang orientalis terkemuka Belanda yang melihat para pedagang
kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah
nusantara. Teori Snock Hurgronje ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison
pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari
sanalah Islam datang ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai
pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka
menuju nusantara.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang
memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat
pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan
di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik,
Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay,
Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut di impor dari
Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syaf’i yang
di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

3. TEORI PERSIA
Pembangun teori ini di Indonesia adalah
Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori
ini tentang masukkanya agama Islam ke
nusantara berbeda dengan teori India dan
Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan
masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya.
Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya
kepada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
mempunyai persamaan dengan Persia.
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia
antara lain :
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah
atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan
bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-
Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan
diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke
sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut
diambil dari bahasa Arab.
b. Adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran
sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M,
tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga
memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat
mempelajarinya.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk
tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran tingkat awal.
Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer,
dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari
Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab.
d. Nisan pada makam  Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim
(1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia
mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat
berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson
e. Pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi’i sebagai
madzhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah
madzhab Syafi’i, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan
dengan GE Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang
dikemukakan oleh Hamka. Hoesein Djayadiningrat di satu pihak
melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan
kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafii terhenti
ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafii
di Makkah.

4. TEORI CINA
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia
(khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah
berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di
Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur
dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran
Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru
berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa
menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton,
Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah
pemukiman Islam.
Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun
lokal (babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat
tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro
Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina
bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan
Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis
dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban
Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel”
ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang
berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur
Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di
Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik,
misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut
dan pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan
kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam
masing-masing teori tersebut
5. TEORI BENGGALI (BANGLADESH)
Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari
Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang
mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang
Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di semenanjung
Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11,
melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa
doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, Elemen-
elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di
Leran. Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori
Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada
dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab yang dominan di
Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di semenanjung
dan nusantara secara keseluruhan.

6. TEORI PANTAI COROMANDEL (INDIA)


Dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dan Morisong . Islam datang ke
Indonesia melalui Coromandel dan Malabar ( Indonesia ). Dasar teori ini adalah
ketidak mungkinan Gujarat menjadi sumber penyebaran Islam ketika itu,karena
gujarat pada saat itu belum menjadi pusat perdagangan timur tengah dengan
nusantara

B. SUMBER SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA


 SUMBER EKSTERNAL
1. SURAT RAJA SRIWIJAYA
Salah satu bukti tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan
oleh Prof.Dr.Azyumardi Asra dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara.
Dalam buku itu, Azyumardi menyebutkan bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
surat yang dikirim oleh Raja Sriwijaya kepada Umar bin Abdul Azis yang
berisi ucapan selamat atas terpilihnya Umar bin Abdul Azis sebagai pemimpin
dinasti Muawiyah.

2. MAKAM FATIMAH BINTI MAIMUN


Berdasarkan penelitian sejarah telah
ditemukan sebuah makan Islam di Leran, Gresik.
Pada batu nisan dari makam tersebut tertulis nama
seorang wanita, yaitu Fatimah binti Maimun dan
angka tahun 1082. Artinya, dapat dipastikan bahwa
pada akhir abad ke-11 Islam telah masuk ke
Indonesia. Dengan demikian, dapat diduga bahwa
Islam telah masuk dan berkembang di Indonesia
sebelum tahun 1082.

3. MAKAM SULTAN MALIK AS – SALEH


Makam Sultam Malik As Saleh yang
berangka tahun 1297 merupakan bukti bahwa
Islam telah masuk dan berkembang di daerah Aceh pada abad ke-12.
Mengingat Malik As Saleh adalah seorang sultan, maka dapat diperkirakan
bahwa Islam telah masuk ke daerah Aceh jauh sebelum Malik As Saleh
mendirikan Kesultanan Samudra Pasai.

4. MAKAM SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM


Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim (1419
M) terletak di Gresik. Jirat makam ini didatangkan
dari Gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.

 SUMBER EKSTERNAL
1. BERITA ARAB
Berita Arab diketahui dari para pedagang Arab yang melakukan
aktivitasnya dalam bidang perdagangan dengan bangsa Indonesia. Para
pedagang Arab ini telah datang ke Indonesia sejak masa Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7 Masehi.Hubungan pedagang Arab dengan Kerajaan Sriwijaya
terbukti dengan adanya sebutan para pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya
yaitu zabaq, zabay, atau sribusa.

2. BERITA INDIA
Para pedagang Gujarat dari India selain melakukan perdagangan juga
menyebarkan agama Islam di pesisir pantai.

3. BERITA CINA
Ma Huan (sekretaris Laksamana Cheng Ho)
mengatakan bahwa pada tahun 1400 M telah ada
pedagang-pedagang Islam yang tinggal di pantai
utara Jawa.

4. CERITA MARCOPOLO
Pada abad ke 13 M penyebaran agama Islam semakin
meluas. Pada tahun 1092, Marco Polo, seorang musafir dari
Venesia (Italia) singgah di Perlak dan beberapa tempat di
Aceh bagian Utara. Marco Polo sedang melakukan
perjalanan dari Venesia ke NegerI Cina. Ia menceritakan
bahwa pada abad ke-11, Islam telah berkembang di Sumatra
bagian Utara. Marcopolo menyatakan bahwa telah ada
Kerajaan Fumasik dan Samudera Pasai setelah melakukan
perjalanan pulang dari Cina menuju Persia. Ia juga
menceritakan bahwa Islam telah berkembang sangat pesat di
Jawa.

5. CERITA IBNU BATUTAH


Pada tahun 1345, Ibnu Battutah mengunjungi
Samudra Pasai. Ia menceritakan bahwa Sultan Samudra
Pasai sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Di
samping itu, ia menceritakan bahwa Samudra Pasai
merupakan kesultanan dagang yang sangat maju. Di sana Ibnu Battutah
bertemu dengan para pedagang dari India, Cina, dan Jawa.

C. PROSES PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA


1. SALURAN – SALURAN PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA
a) Saluran Perdagangan
Indonesia dilalui
oleh jalur perdagangan laut
yang menghubungkan antara
China dan daerah lain di Asia.
Letak Indonesia yang strategis
ini membuat lalu lintas
perdagangan di Indonesia
sangat padat dilalui oleh para
pedagang dari seluruh dunia
termasuk para pedagang
muslim. Saluran islamisasi
melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan
bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka
menjadi pemilik kapal dan saham. Para pedagang muslim ini banyak
bermukim di daerah pesisir pulau Jawa dan Sumatera yang
penduduknya masih menganut agama Hindu. Para pedagang ini
mendirikan masjid dan mendatangkan para ulama dan mubalig dari
luar untuk mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada penduduk lokal,
dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan kaya-
kaya. Dibeberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat
sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan dipesisir utara Jawa
banyak yang masuk islam, bukan hanya karena faktor politik dalam
negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan
ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan
selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan
kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.

b) Saluran Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap
sebagai kalangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan banyak
penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka
dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi
muslim terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka semakin luas. Akhirnya timbul kampong-kampung,
daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim. Dalam perkembangan
berikutnya, ada pula wanita muslim yang dikawini oleh keturunan
bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk islam terlebih
dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi
antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan
anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut
mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden
Rahmat atau sunan ampel dengan Nyai Manila, sunan Gunung Jati
dengan putrid Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang
menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dll.
c) Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan,
kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya
memeluk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik
raja sangat membantu tersebarnya islam di daerah
ini. Disamping itu, baik di Sumatera dan Jawa
maupun Indonesia bagian timur, demi
kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam
memerangi kerajaan-kerajaan non-islam. Kemenangan kerajaan islam
secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan islam itu
masuk islam.

d) Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para
sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur
dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam
soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-
kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka
ada juga yang mengawini putrid-putri
bangsawan setempat. Dengan tasawuf,
“bentuk” islam yang diajarkan kepada
penduduk pribumi mempunyai persamaan
dengan alam pikiran mereka yang
sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-
ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan
dengan alam pikiran Indonesia pra-islam adalah Hamzah Fansuri di
Aceh, syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran
mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad
ke-20 M ini.

e) Saluran Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam mulai
dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk.
Pendidikan dilakukan di pesantren ataupun di
pondok yang dibimbing oleh guru agama,
ulama, ataupun kyai. Para santri yang telah
lulus akan pulang ke kampung halamannya dan
akan mendakwahkan Islam di kampung
masing-masing. Misalnya, pesantren yang
didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta
Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran
pesantren Giri ini banyak yang diundang ke
Maluku untuk mengajarkan agama islam.

f) Saluran Seni Budaya


Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk menyebarkan
islam kepada penduduk lokal. Sunan
Kalijaga adalah salah satu tokoh
terpandang dan paling mahir dalam
mementaskan wayang untuk mengenalkan
agama Islam. Beliau tidak perna menerima
upah pertunjukan, tetapi meminta para
penonton untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat syahadat. Cerita
wayang yang dipentaskan biasanya dipetik
dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang
kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam.
Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat
islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni
bangunan, dan seni ukir.

2. PERANAN PARA WALI DALAM PENYEBARAN ISLAM DI PULAU JAWA


Walisongo mempunyai peranan yang
sangat besar dalam perkembangan Islam di
Indonesia. Bahkan mereka adalah perintis utama
dalam bidang dakwah Islam di Indonesia,
sekaligus pelopor penyiaran Islam di nusantara.
‘Wali’ adalah singkatan dari bahasa Arab,
Waliyullah yang berarti ‘orang yang mencintai
dan dicintai Allah’ dan Songo berasal dari bahasa
Jawa yang berarti ‘sembilan’, sehingga Wali
songo merujuk pada wali sembilan yaitu
Sembilan orang yang mencintai dan dicintai
Allah.
Mereka diberi gelar seperti itu karena mereka
dianggap penyiar-penyiar agama Islam dan yang
terpenting adalah karena kesungguhan mereka
dalam mengajarkan dan menyebarkan Islam. Disamping itu, Para Walisongo
adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru
masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga kepemerintahan.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai
utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-
Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi HinduBudha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak
tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan
nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Berikut ini adalah ulasan singkat mengenai peranan masing-masing
sunan Wali Songo :

1. SUNAN GRESIK ATAU MAULANA MALIK IBRAHIM


Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22
dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar
Thariqat Wali Songo . Ia diperkirakan lahir di
Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan
lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam
cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek
Bantal. Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri dan 2 anak.
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik
Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis
ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar
agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat.
Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

2. SUNAN AMPEL ATAU RADEN RAHMAT


Sunan Ampel adalah Anak Maulana Malik
Ibrahim yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan namaRaden Rahmat. Ia lahir di Campa pada
1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan
dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di
daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo
sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel
masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di
Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke
daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang
putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang
raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika
Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari
Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja
Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula
ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren
tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan
Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk
berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras,
tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. SUNAN BONANG ATAU RADEN MAKHDUM IBRAHIM


Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M
dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan
Bonang adalah Anak Sunan Ampel, yang berarti
juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Pada masa
kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden
Makdum Ibrahim.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren
ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan
Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -
sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun
tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan
nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan
kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura
maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal.
Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah
sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks.
Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai
mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat
mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta
sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada
Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau
tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899).
Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.
Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin
Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang
menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan
‘isbah (peneguhan).

4. SUNAN DRAJAT ATAU RADEN QASIM


Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat
kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja
keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren
Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai
wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat,
Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di
Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan
wafat wafat pada 1522.

5. SUNAN KUDUS ATAU JA'FAR SHADIQ


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji,
dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus
adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul
Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath
bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah
bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang
besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima
perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan
negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi
Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto
penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah
satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus
diperkirakan wafat pada tahun 1550.

6. SUNAN GIRI ATAU RADEN PAKU ATAU AINUL YAQIN


Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin.
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada
juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang
putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku
kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi
Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik
Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga
isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel,
tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit
adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan
dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit - konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan
pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur
pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu
pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa,
waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri
malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan
Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak
tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti,
pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,
Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi
VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,
Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan,
Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang
berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia
juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri.
Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam.

7. SUNAN KALIJAGA ATAU RADEN SAID


Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak
disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya
adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran
Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon
dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di
sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu
berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ”
penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari
tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus
sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota
berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini
sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati
Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan
Demak.

8. SUNAN MURIA ATAU RADEN UMAR SAID


Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan
Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga Nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal
terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke
utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan
sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat
jelata, sambil mengajarkan keterampilan-
keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah
itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu
Sinom dan Kinanti.

9. SUNAN GUNUNG JATI ATAU SYARIF HIDAYATULLAH


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran
Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak
berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya
Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan
ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali
songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari
pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur
berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari
arah barat.

10.AKULTURASI KEBUDAYAAN INDONESIA DAN KEBUDAYAAN ISLAM


a. Seni Bangunan
1) Masjid
Dilihat dari segi arsitektuknya, masjid-masjid kuno di
Indonesia menampakan gaya arsitektur asli Indonesia dengan ciri-ciri
sebagai berikut.
 Atapnya bertingkat/tumpang dan ada puncaknya (mustaka).
 Pondasinya kuat dan agak tinggi.
 Ada serambi di depan atau di samping.
 Ada kolam/parit di bagian depan atau samping.
Gaya arsitektur bangunan yang mendapat pengaruh Islam ialah
sebagai berikut:
 hiasan kaligrafi;
 kubah;
 bentuk masjid.
Adapun bangunan masjid kuno yang beratap tumpang, antara
lain sebagai berikut
i. Masjid beratap tumpang, antara lain
sebagai berikut.
 Masjid Agung Cirebon dibangun pada
abad ke-16.
 Masjid Angke, Tambora dan Marunda
di Jakarta dibangun pada abad ke-18.
 Masjid Katangka di Sulawesi Selatan
dibangun pada abad ke-17.
 Masjid beratap tumpang tiga, antara lain
sebagai berikut.
 Masjid Agung Demak dibangun pada
abad ke-16.
 Masjid Baiturahman di Aceh, dibangun pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, yakni pada abad ke-17.
 Masjid Jepara
 Masjid Ternate
ii. Masjid beratap tumpang lima ialah Masjid
Banten yang dibangun pada abad ke-17.

b. Makam
Makam khususnya untuk para raja bentuknya
seperti istana disamakan dengan orangnya yang
dilengkapi dengan keluarga, pembesar, dan
pengiring terdekat. Budaya asli Indonesia
terlihat pada gugusan cungkup yang
dikelompokkan menurut hubungan keluarga.
Pengaruh budaya Islam terlihat pada huruf dan
bahasa Arab, misalnya Makam Puteri Suwari di
Leran (Gresik) dan Makam Sendang Dhuwur di
atas bukit (Tuban).

c. Seni Rupa dan Aksara


Akulturasi bidang seni rupa terlihat pada seni kaligrafi atau seni khot,
yaitu seni yang memadukan antara seni lukis dan seni ukir dengan
menggunakan huruf Arab yang indah dan penulisannya bersumber pada ayat-
ayat suci Al Qur'an dan Hadit. Adapun fungsi seni kaligrafi adalah untuk
motif batik, hiasan pada masjid-masjid, keramik, keris, nisan, hiasan pada
mimbar dan sebagainya.

d. Seni Sastra
Seni sastra Indonesia di zaman Islam banyak terpengaruh dari sastra
Persia. Di Sumatra, misalnya menghasilkan karya sastrayang berisi pedoman-
pedoman hidup, seperti cerita Amir Hamzah, Bayan Budiman dan 1001
Malam. Di samping itu juga mendapat pengaruh Hindu, seperti Hikayat
Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Cerita Panji pada zaman Kediri (Hindu)
muncul lagi dalam bentuk Islam, seperti Hikayat Panji Semirang. Hasil seni
sastra, antara lain sebagai berikut.
 Suluk, yaitu kitab yang membentangkan ajaran tasawuf. Contohnya ialah
Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang. Karya sastra
yang dekat dengan suluk ialah primbon yang isinya bercorak kegaiban
dan ramalan penentuan hari baik dan buruk, pemberian makna kepada
sesuatu kejadian dan sebagainya.
 Hikayat, yakni saduran cerita wayang.
 Babad, ialah hikayat yang berisi sejarah. Misalnya Babad Tanah Jawi
isinya sejarah Pulau Jawa, Babad Giyanti tentang pembagian Mataram
menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan sebagainya.
 Kitab-kitab lain yang berisi ajaran moral dan tuntunan hidup, seperti
Tajus Salatin dan Bustan us Salatin.

e. Sistem Kalender
Pada zaman Khalifah
Umar bin Khatab ditetapkan
kalender Islam dengan
perhitungan atas dasar
peredaran bulan yang disebut
tahun Hijriah. Tahun 1 Hijrah
(H) bertepatan dengan tahun
622 M. Sementara itu, di Indonesiapada saat yang sama telah menggunakan
perhitungan tahun Saka (S) yang didasarkan atas peredaran matahari. Tahun
1 Saka bertepatan dengan tahun 78 M. Pada tahun 1633 M, Sultan Agung
raja terbesar Mataram menetapkan berlakuknya tahun Jawa (tahun
Nusantara) atas dasar perhitungan bulan ( 1 tahun =354 hari). Dengan
masuknya Islam maka muncul sistem kalender Islam dengan menggunakan
nama-nama bulan, seperti Muharram (bulan Jawa; Sura),Shafar (bulan Jawa;
Sapar), dan sebagainya sampai dengan Dzulhijah (bulan Jawa; Besar) dengan
tahun Hijrah (H).

f. Seni Musik dan Tari


Akulturasi pada seni musik terlihat
pada musik qasidah dan gamelan pada
saat upacara Gerebeg Maulud. Di bidang
seni tari terlihat pada tari Seudati yang
diiringi sholawat nabi, kesenian Debus
yang diawali dengan membaca Al Qur'an
yang berkembang di Banten, Aceh, dan
Minangkabau.

g. Sistem Pemerintahan
Pada zaman Hindu pusat kekuasaan adalah raja sehingga raja dianggap
sebagai titisan dewa. Oleh karena itu, muncul kultus “dewa raja”. Apa yang
dikatakan raja adalah benar. Demikian juga pada zaman Islam, pola tersebut
masih berlaku hanya dengan corak baru. Raja tetap sebagai penguasa tunggal
karena dianggap sebagai khalifah, segala perintahnya harus dituruti

ISLAM DAN JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR PULAU


Berdasarkan data arkeologis seperti
prasasti-prasasti maupun data historis
berupa berita-berita asing, kegiatan
perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi. Jalurjalur
pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia
Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain
oleh W. Wolters (1967).
Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari
sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan
perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri
terutama dengan Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama
Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai
berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak
sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan
pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya
pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi,
Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-
Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam
atau kesultanan, antara lain, Samudera Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak
abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-
komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental
(1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan
perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan
kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia,
Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para
pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia,
Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar,
Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja,
Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga,
Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri,
Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di
Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan
Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan
perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional
maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat
menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas
perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran
tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan
Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan
menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia
menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad
ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun
hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia
menjadi langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang
masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu
pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari pelabuhan
Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh
Portugis pada 1511, dan usaha Portugis
selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di
selat tersebut, mendorong para pedagang
untuk mengambil jalur alternatif, dengan
melintasi Semenanjung atau pantai barat
Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini
melahirkan pelabuhan perantara yang baru,
seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor,
Banten, Makassar dan lain sebagainya.
Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering
diganggu oleh bajak laut. Perompakan laut
sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan
yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu
sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan karena
merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat
penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat dari aktivitas bajak laut, rute
pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir
Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus,
Pariaman, dan Tiku.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, system jual beli barang masih
dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah
pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Transaksi
itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter
hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah
terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah
menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak
mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah
setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan
karena kemenangan militer dan ekonomi dari Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan
agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.

ISLAM MASUK ISTANA RAJA


PERKEMBANGAN NEGARA – NEGARA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
1. Kerajaan Islam di Sumatera
a. Kerajaan Samudera Pasai (abad ke-13- abad ke-16)
Pedagang Persia, Gujarat, dan
Arab pada awal abad ke-12 membawa
ajaran Islam aliran Syiah ke pantai
Timur Sumatera, terutama di negera
Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah
berkembang di Persia dan Hindustan
apalagi Dinasti Fatimiah sebagai
penganut Islam aliran Syiah sedang
berkuasa di Mesir. Mereka berdagang
dan menetap di muara Sungai Perlak
dan muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah
runtuh tahun 1268 dan digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i,
mereka menumpas orang-orang Syiah di Mesir, begitu pula di pantai Timur
Sumatera. Utusan Mamluk yang bernama Syekh Ismail mengangkat Marah
Silu menjadi sultan di Pasai, dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Marah Silu
yang semula menganut aliran Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i. Sultan
Malikul Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir,
sedangkan putra keduanya yang bernama Sultan Malikul Mansur
memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah. Saat Majapahit
melakukan perluasan imperium ke seluruh Nusantara, Pasai berada di bawah
kekuasaan Majapahit.
Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai,
yakni:
(a) Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).
(b) Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.
(c) Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.
(d) Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, wafat tahun 1383.
(e) Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.
(f) Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), wafat pada tahun 1428.
Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah,
sejarawan dari Maroko. Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal
ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia
berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya
sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi
Sumatera.
Ketika singgah di pelabuhan Pasai, Batutah dijemput oleh laksamana muda
dari Pasai bernama Bohruz. Lalu laksmana tersebut memberitakan kedatangan
Batutah kepada Raja. Ia diundang ke Istana dan bertemu dengan Sultan
Muhammad, cucu Malik as-Saleh. Batutah singgah sebentar di Samudera
Pasai dari Delhi, India, untuk melanjutkan pelayarannya ke Cina. Sultan Pasai
ini diberitakan melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan
Kesultanan Usmani Ottoman. Diberitakan pula, bahwa terdapat pegawai yang
berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang mengabdi di istana Pasai. Oleh
karena itu, karya sastra dari Persia begitu populer di Samudera Pasai ini.
Untuk selanjutnya, bentuk sastra Persia ini berpengaruh terhadap bentuk
kesusastraan Melayu kemudian hari. Berdasarkan catatan Batutah, Islam telah
ada di Samudera Pasai sejak seabad yang lalu, jadi sekitar abad ke-12 M. Raja
dan rakyat Samudera Pasai mengikuti Mazhab Syafei. Setelah setahun di
Pasai, Batutah segera melanjutkan pelayarannya ke Cina, dan kembali ke
Samudera Pasai lagi pada tahun 1347.
Bukti lain dari keberadaan Pasai adalah ditemukannya mata uang dirham
sebagai alat-tukar dagang. Pada mata uang ini tertulis nama para sultan yang
memerintah Kerajaan. Nama-nama sultan (memerintah dari abad ke-14 hingga
15) yang tercetak pada mata uang tersebut di antaranya: Sultan Alauddin,
Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad Malik Zahir, Ahmad
Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16, bangsa Portugis
memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera Pasai pada
1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi
kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu
itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat.

b. Kerajaan Malaka (abad ke-14- abad ke-17)


Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia,
melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting
dalam kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara,
maka Kerajaan Malaka ini perlu dibahas dalam bab ini. Kerajaan Malaka
(orang Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di jalur pelayaran dan
perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan
yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya
(Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14
M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura.
Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan
dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh
orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum
bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat
Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan
Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina.
Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan
Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian,
Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian,
Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di
sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera
(Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia,
India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut
catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan
puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara
bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut Sejarah Melayu,
pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti
Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab. Setelah
masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian
sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang
pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh
Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia
lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama
Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun,
hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau
Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu,
wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk
wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan
Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah
Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan
Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa kejayaan Malaka
langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511.
Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan
mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng
pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa
hingga kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang
dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun
tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih
kekuasaan atas Malaka.

c. Kerajaan Aceh (abad ke-16 - 1903)


Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan
Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Alaudin al-
Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-
Kahar menyerang kerajaan Johor dan
berhasil menangkap Sultan Johor, namun
kerajaan Johor tetap berdiri dan
menentang Aceh. Pada masa kerajaan
Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda,
ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan
penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi
usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan
Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan
dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan
dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman,
Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda
digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang
memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda.
Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri
daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat,
empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat
Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan
tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga
berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-
Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin
hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian
diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian
antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat
orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama
adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian
berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan
Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah
yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan
Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin
Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang
dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia
menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan
Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-
Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan
Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di
Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai
dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin
menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu
pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan
oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu
berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan
Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi
sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di
London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak
boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871,
berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak
memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh.
Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut.
Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah
pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku
Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda
mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang
dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih.
Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang
sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945
Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.

d. Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)


Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah
kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri
pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan
Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan
Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama
ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 –
964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225
H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini,
Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662
H/1225-1263 M).
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan
pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah
Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri
Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna
Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang).Perkawinan ini dengan
parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.
Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan
Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul
Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir
Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai
dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul
Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari
adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas
(dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.

e. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau
yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi
provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini
pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun
1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Munculnya nama
Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri
tersebut. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-
16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari
Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh
Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan,
adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam
adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.

f. Kesultanan Inderapura (abad ke-16- abad 18)


g. Kerajaan Pasaman Kehasilan Kalam (abad ke-16 - 18)
h. Kerajaan Melayu Jambi
i. Kesultanan Johor-Riau

2. Kerajaan Islam di Jawa

a. Kesultanan Demak (1500 - 1550)


Masjid Agung Demak yang dibangun
menggunakan gaya arsitek Jawa tradisional
Kerajaan Demak adalah kesultanan islam
pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden
Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini
sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit,
dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan
Indonesia pada umumnya.
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis
wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang
terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim
sebagai pewaris tahta Majapahit.  Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut
pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.  Sementara
Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging
mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

i. Kehidupan Politik Kerajaan Demak


1) Raden Patah
Raden Patah dianggap sebagai
pendiri dari kerajaan Demak dan
merupakan orang yang berhubungan
langsung dengan kerajaan Majapahit.
Salah satu bukti menyebutkan bahwa
beliau adalah putra dari raja Brawijaya V
dari Majapahit (1468-1478). Beliau
memerintah dari tahun 1500-1518. Di
bawah pemerintahnya, Demak
mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Hal itu disebabkan Demak
memiliki daerah pertanian yang sangat
luas sebagai penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh karena
itu, Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.
Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara
Jawa, seperti Semarang, Jepara, Tuban, dan Gresik tapi hingga ke
Jambi dan Palembang di Sumatera timur.
Wali Sanga sangat membantu
dalam penyebaran agama Islam di
Jawa
Kerajaan Demak berkembang
sebagai pusat perdagangan dan
sebagai pusat penyebaran agama
Islam. Jasa para wali dalam
penyebaran agama Islam sangat
besar, baik di pulau Jawa maupun
daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti penyebaran agama Islam
ke daerah Maluku dilakukan oleh Sunan Giri, ke daerah Kalimantan
Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Demak yang bernama
Tunggang Parangan. Pada masa pemerintahan Raden Patah,
dibangun masjid Demak yang pembangunan masjid itu dibantu oleh
para wali atau sunan.
Akan tetapi, ketika Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis
tahun 1511 M, hubungan Demak dan Malaka terputus. Kerajaan
Demak dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas perdagangan.
2) Pati Unus
Pada tahun 1513 Raden Patah memerintahkan Pati Unus
memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka.
Serangan itu belum berhasil, karena pasukan Portugis jauh lebih
kuat dan persenjataannya lengkap. Atas usahanya itu Pati Unus
mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
Setelah Raden Patah wafat, tahta Kerajaan
Demak dipegang oleh Pati Unus. Ia
memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M.
Masa pemerintahan Pati Unus tak begitu lama
karena ia meninggal dalam usia yang masih
sangat muda dan tak meninggalkan seorang
putra mahkota. Walaupun usia
pemerintahannya tak begitu lama, namun
namanya cukup dikenal sebagai panglima
perang yang memimpin pasukan Demak
menyerang Portugis di Malaka.
3) Sultan Trenggana
Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai
menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan
mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya
dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan
Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai
(Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan
Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran
menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan
Prawoto.

ii. Keruntuhan Demak


Arya Penangsang memngambil alih Kerajaan
Demak setelah mengalahkan Sunan Prawoto
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak
berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen.
Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada
tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya
“dihabisi” oleh suruhan Arya Penangsang, putera
Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang
kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan
Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri
adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak
adipati memusuhi Arya Penangsang.
  Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh
Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat
pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.

iii. Kehidupan di Demak


Upacara Sekaten
Perekonomian di Kerajaan Demak
berkembang dengan pesat dalam dunia
maritim karena didukung oleh
penghasilan dalam bidang agraris yang
cukup besar. Kerajaan Demak
mengusahakan kerjasama yang baik
dengan daerah-daerah di pantai utara
Pulau Jawa yang telah menganut agama
Islam sehingga tercipta semacam
federasi atau persemakmuran dengan Demak sebagai pemimpinnya.
  Kehidupan sosial Kerajaan Demak kebanyakan telah diatur oleh aturan -
aturan Islam tapi tak juga meninggalkan tradisi yang lama.
  Kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Demak mendapat dukungan
dari para wali terutama Sunan Kalijaga. Masjid Demak dan perayaan
Sekaten adalah salah satu peninggalan budayanya.

b. Kesultanan Banten (1524 - 1813)


Wilayah kekuasaan Kerajaan Banten
semasa peninggalan Hasanuddin
Kerajaan Banten didirikan oleh
Hasanuddin pada abad ke 16 dan terletak
di barat laut Banten atau Jawa pada
umumnya. Hasanuddin sendiri adalah
putra dari Fatahillah atau Sunan Gunung
Jati dan mencapai masa keemasan pada
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan posisi yang strategis inilah yang
membuat Kerajaan Banten menjadi kerajaan besar di Jawa Barat dan
bahkan menjadi siangan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di
Batavia.
i. Kehidupan Politik Kerajaan Banten
1) Raja Hasanuddin
Pengislaman Banten oleh Fatahillah membawa pada berdirinya
Kerajaan Banten. Setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah, daerah
Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasanuddin. Ia
memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Ia meletakkan dasar-
dasar pemerintahan Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai
raja pertama.
Pada masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan kerajaan
Banten dapat berkembang cukup pesat.Raja Hasanuddin juga
memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan menduduki
daerah Lampung, maka Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal
jalur lalu lintas pelayaran perdagangan Selat Sunda, sehingga setiap
pedagang yang melewati Selat Sunda diwajibkan untuk melakukan
kegiatan perdagangannya di Bandar Banten.
2) Panembahan Yusuf, Maulana Muhammad, Abu’ Mufakir
Setelah wafatnya Raja Hasanuddin tahun 1570 M, putranya
yang bergelar Panembahan Yusuf menjadi Raja Bnaten berikutnya.
Ia berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan. Ia juga
berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya.
Setelah  10 tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat
sakit keras yang dideritanya.
Setelah Panembahan Senopati wafat digantikan oleh putranya
yang baru berumur sembilan tahun bernama Maulana Muhammad
dengan gelar Kanjeng Ratu Benten. Mangkubumi menjadi wali raja.
Mangkubumi menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan
samapi rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan
kerajaan untuk menyerang Palembang. Tujuannya untuk menduduki
bandar dagang yang terletak di tepi selat Malaka agar bisa dijadikan
tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi lainnya dari
Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tak berhasil, malah
Kanjeng Ratu Banten tertembak dan wafat. Tahta kerajaan
kemudian berpindah kepada putranya yang baru berumur lima bulan
yang bernama Abu’ Mufakir.
Abu’ Mufakir dibantu oleh wali kerajaan yang bernama
Jayanegara.  Akan tetapi, ia sangat dipengaruhi oleh pengasuh
pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung.  Pada tahun 1596
M itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka berlabuh di
pelabuhan Banten. Tujuan awal mereka datang ke Indonesia adalah
untuk membeli rempah-rempah.
3) Sultan Ageng Tirtayasa
Setelah wafat, Abu’ Mufakir digantikan oleh putranya dengan
gelar Sultan Abu’ Mu’ali Ahmad Rahmatullah. Tetapi berita tentang
pemerintahan sultan ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah
Sultan Abu’ Ma’ali wafat, ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari tahun 1651-
1692 M.
Di bawah pemerintahannya, Banten mencapai masa
kejayaannya. Ia berupaya untuk memperluas kerajaannya dan
mengusir Beland adari Batavia. Di samping itu, ia memerintahkan
kepada pasukan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap
Belanda di Batavia.
Pada tahun 1671 M Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra
mahkota menjadi raja pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. 
Beliau lebih dikenal dengan Sultan Haji. Sultan Haji membuat
hubungan yang erat dengan Belanda dan hal itu mebuat ayahnya
menarik kembali tahta kerajaan. Kemudian terjadilah perang
saudara diantara keduanya. Peperangan dimenangkan oleh Sultan
Haji dan pada akhirnya membawa kehancuran  pada Kerajaan
Banten sendiri.

ii. Kehidupan di Banten


Masjid Agung Banten
Kerajaan Banten terletak di
ujung Pulau Jawa, yaitu daerah
Banten sekarang. Daerah Banten
berhasil direbut dan diislamkan
oleh Fatahillah dan berkembang
sebagai banda perdagangan dan
pusat penyebaran Islam. Banten
yang cepat maju dikunjungi oleh
pedagang-pedagang asing seperti
pedagang Gujarat, Persia, Cina,
Turki, Pegu (Myanmar), Keling,
Portugis, dan lain-lain. Di Banten pun banyak berkembang
perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu. Kehidupan
sosialnya kebanyakan telah mendapat pengaruh Islam. Tak banyak hasil
kebudayaan yang dapat diperoleh dari Kerajaan Banten karena kerajaan
ini banyak bergantung pada hasil pelayaran dan perdagangan. Masjid
Agung Banten (Grand Mosque of Banten) adalah salah satu hasil
peninggalannya yang dibangun sekitar abad ke-16.

c. Kesultanan Pajang (1568 - 1618)


Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada tahun
1568, tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi
ke JawaTimur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di
Jawa TimurRaja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa
dalampenaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki
Ageng Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam
pertempuran melawanAria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram,
sedangkan Ki Ageng Panjawidiberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama
Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima
tentara Pajang. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta
Pajang direbut Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang
bernama Pangeran Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram,
Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah
dan melarikan diri ke Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan
takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang
dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Mataram.

d. Kesultanan Mataram (1586 - 1755)


Kota Gede, bekas ibukota Mataram Islam
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di
Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari
Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah
sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas
jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya
dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya
termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak
sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta
dan sistem persawahan di Karawang.

i. Kehidupan Politik di Mataram Islam


1) Panembahan Senapati
Pada mulanya daerah Mataram merupakan sebuah kadipaten
yang diperintah oleh Kiai Gede Pamanahan (bekas kepala prajurit
Hadiwijaya yang mengalahkan Arya Penangsang).
Setelah Kiai Gede Pamanahan wafat tahun 1575 M, kedudukan
sebagai adipati Mataram digantikan oleh putranya yang bernama
Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati ing Aloko Saidin
Panotogomo. Ia bercita-cita menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu,
berbagai persiapan dilakukan di daerah seperti memperkuat pasukan
Wijaya dan penyerahan tahta dari pangeran Benowo kepada
Senapati.
Setelah berhasil membentuk kerajaan Mataram, Senapati
mengadakan perluasan wilayah kerajaan dan menduduki daerah-
daerah pesisir pantai seperti Surabaya. Adipati Surabaya menjalin
persekutuan dengan Madiun dan Ponorogo dalam menghadapi
Mataram. Namun Ponorogo dan Madiun berhasil dikuasai Mataram.
Selanjutnya Pasuruan dan Kediri berhasil direbut. Adipati Surabaya
berhasil dikalahkan.  Dengan demikian dalam waktu singkat
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menjadi bagian dari
kekuasaan Kerajaan Mataram.
2) Mas Jolang
Mas Jolang memerintah Mataram dari tahun 1601-1613 M. di
bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram diperluas lagi dengan
mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Mataram di bawah
pemerintahan Mas Jolang adalah Ponorogo, Kertosono, Kedir,
Wirosobo (Mojoagung). Pada tahun 1612 M, Gresik-Jeratan berhasil
dihancurkan. Namun, karena berjangkitnya penyakit menular maka
pasukan Mataram yang langsung dipimpin oleh Mas Jolang terpaksa
kembali ke pusat Kerajaan Mataram. Pada tahun 1613 M, Mas
Jolang wafat di desa Krapyak dan dimakamkan di Pasar Gede.
Selanjutnya ia diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak.
3) Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang
bergelar Sultan Agung Prabu
Hanyokrokusumo atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Agung. Pada
masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Wilayah
Mataram mencakup Pulau Jawa dan
Madura (kira-kira gabungan Jawa
Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang).
Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta
(Jw. “kertå”, maka muncul sebutan pula
“Mataram Kerta”). Akibat terjadi
gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan
VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam
beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat
(dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Amangkurat (Amangkurat I).
4) Amangkurat 1
Amangkurat 1 memindahkan lokasi
keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari
Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar sultan, melainkan “sunan” (dari
“Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”).
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil
karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi
pemberontakan besar yang dipimpin oleh
Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Ia wafat di
Tegalarum (1677) ketika mengungsi
sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.
5) Amangkurat 2
Amangkurat 2 memerintah Mataram dari
tahun 1677-1703 M. di bawah
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan
Matarm semakin sempit. Sebagian daerah-
daerah kekuasaan diambil alih Belanda. 
Amangkurat II yang tidak tertarik untuk tinggal
di ibukota Kerajaan, selanjutnya mendirikan
Ibu Kota baru di desa Wonokerto yang diberi
nama Karta Surya. Di Ibu Kota inilah
Amangkurat II menjalankan pemerintahannya
terhadap sisa-sisa kerajaan Mataram, hingga akhirnya meninggal
tahun 1703 M.

ii. Keruntuhan Mataram Islam


Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III
(1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-
1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat
III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini
menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan
menjadi “king in exile” hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke
Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana
III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota
Karanganyar Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu
kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat
Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.

iii. Kehidupan di Mataram


Upacara Grebeg
Mataram yang letaknya jauh di
pedalaman Jawa Tengah adalah
sebuah negara agraris, yaitu negara
yang mengutamakan pertanian
sebagai sumber kehidupan. Di
bawah pemerintahan Sultan
Agung, kehidupan perekonomian
masyarakatnya berkembang sangat pesat dengan didukung oleh  hasil
bumi yang melimpah.
 Pada masa pemerintahan Sultan Agung pula dilakukan usaha
memperluas areal persawahan dan memindahkan banyak petaninya ke
daerah Karawang yang sangat subur sehingga terbentuklah masyarakat
feodal.Upacara Grebeg yang bersumber dari pemujaan roh nenek
moyang berupa kenduri gunungan merupakan tradisi dari zaman
Majapahit.

e. Kesultanan Cirebon (sekitar abad ke-16)


Pintu masuki ke Keraton Cirebon Kanoman
Kesultanan Cirebon adalah sebuah
kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad
ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar
pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang
merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa
Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
“jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda
sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

i. Kehidupan Politik di Kesultanan Cirebon


1) Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang
kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama
kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal
dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu,
yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya
sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh
karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang –
ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di
Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga
Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara
Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan
kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana,
yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah
Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah dari
keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.
2) Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra
adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif
Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang
setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan
Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar
agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati
wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan
Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung
Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu
Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal
lebih dahulu pada tahun 1565.
3) Fatahillah,Panembahan Ratu1 dan Panembahan Ratu 2
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati
melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan
memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568.
Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung
dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun
setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan
dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana
Gunung Sembung.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang
layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan
Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama
kurang lebih 79 tahun.
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah
Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan
sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di
antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan
Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap
lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena
Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak
dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung
Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di
Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja
Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber
di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya
adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

ii. Kehidupan di Cirebon


Keraton Cirebon Kasepuhan
Menurut Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah
Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang
dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi
nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat,
dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan
terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air
rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah
satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran
dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia
lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran
agama Islam di Jawa Barat.

3. Kerajaan Islam di Maluku


a. Kesultanan Ternate (1257 - ..... )
Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri
Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate
terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain
Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri
kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan
Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan
Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate
banyak dikunjungi oleh pedagang, baik dari
Nusantara maupun pedagang asing.

i. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan


Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M).
Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya,
Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya,
bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun
1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang
oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa
pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak
kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan
di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga
tersebar sangat luas.

ii. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan


Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat
sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku. Para
pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan
beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan
memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga
dapat membangun laut yang cukup kuat.Sebagai kerajaan yang bercorak
Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak
menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari
Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan
mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang
cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya
membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
iii. Kemunduran Kerajaan Ternate.    
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan
Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol )
yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.
Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu
domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

b. Kesultanan Tidore (1110 - 1947)


Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan
Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan
Tidore, Raja Ternate pertama adalah Muhammad
Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru
pada tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh
Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin
bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.

i. Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan


Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan
Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda
kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak
mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang
cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak
diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga
kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup
luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan
Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat
menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.

ii. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial


Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam
kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat
dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis
melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-
Qur’an.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah
Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi
oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain
Portugis, Spanyol, dan Belanda.
iii. Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan
Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis )
yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.
Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu
domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

c. Kesultanan Jailolo
d. Kesultanan Bacan
e. Kesultanan Lolota
f. Kerajaan Tanah Hitu (1470 – 1682 )
g. Kerajaan Iha
h. Kerajaan Honimoa/ Siri Sori
i. Kerajaan Huamual

4. Kerajaan Islam di Sulawesi


a. Kesultanan Gowa - Tallo (awal abad ke-16 - 1667?)
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang
dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone,
Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan
oleh Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan
Gowa menurut Hikayat Wajo.Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa Tallo
Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga
kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk
mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco,
sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada
1605, maka Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan
lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa Tallo. 
Kerajaan-kerajaan yang unduk kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain
Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Di daerah
Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig
yang disebut Datto Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur
atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib
Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya
bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah
yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung
dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari
1605 M). 
Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya
dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo)
mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22
September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I
Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab
1016 H atau 9 November 1607 M. Perkembangan agama Islam di daerah
Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme
Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa
dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya
tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan
dan pergi ke Banten. 
Di Banten ia terima oleh Sultan AgengTirtayasa bahkan dijadikan
menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan Banten.Dalam sejarah
Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin
dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan
ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian
terhadap Kerajaan Gowa Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan. Setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa
Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka ternyata di kapal tersebut
ada orang Makassar. 
Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya
pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan
rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa
tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus
dan baru berhenti antara 1637-1638. Tetapi perjanjian damai itu tidak kekal
karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu
cendana, dan muatannya tersebut telah dijual kepada orang Portugis. Perang di
Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667
yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.

b. Kesultanan Buton (1332 - 1911)


Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi
Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi .
Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton
dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan
Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih
Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
1) Raja Buton Masuk Islam
Kerajaan Buton secara resminya
menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu
Timbang Timbangan atau Lakilaponto
atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang
dari Johor. Menurut beberapa riwayat
bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di
Buton pernah tinggal di Johor.
Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur).
Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk
dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai
(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid
pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain
menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke
Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus
yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama
Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan
Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru
dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan
sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV,
18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan
beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal
dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933
H/1526 M.
2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948
H/1541 M.
3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948
H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah
terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana
Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai
Sultan Buton pertama.

2) Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin
seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun
perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan
Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum.
Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan
Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau
rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal
dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina
dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit.
Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep
kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain
di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan
bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi
sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja
dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang
terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga
memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan
dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup
ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah
proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja
yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari
jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga
bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai
lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli
berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum
Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan
tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai
bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya
diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya
termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang
demokrasi Kesultanan Buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan
dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan
aspirasi masyarakat Buton.
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama
bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta
mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe,
dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar
dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang
dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain).
Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan
diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan
dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu
“Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya
Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie
(Wilayah Kecil).

5. Kerajaan Islam di Kalimantan


a. Kesultanan Pasir (1516)
Dahulunya rakyat dayak pasir, diperintahkan oleh kepala-kepala dari
rakyat dayak sendiri . ada seorang kepala suku dayak yang sangat berpengaruh ,
yang bernama tamanggung tokio, mengusulkan agar didaerah daerah dikepali
oleh sorang kepala suku dan untuk itu diminta sultan yang dekat tempat
tinggalnya. Mereka telah berangkat  dengan perahu yang penuh bermuatan
emas  dan perak, yang dianugrahkan kepada nya kepada raja yang baru ,
mereka telah pergi ke utara dan selatan, tetapi tak ada mendapat  seorangpun
yang dipandang cakap. Tamanggung tokio sangatlah sedih sampai tidak minum
dan makan , kemudian dalam mimpinya ia melihat seorang tua yang berkata
kepadanya.
Untuk mendapat raja, baiklah engkau pergi kelaut, dan disitu engkau
memperoleh sepotong bambu, yang ruasnya  tarapung apung dilaut  ambilah
bambu itu, dan bungkuslah dengan sutra kuning, karena didalam bambu itu ada
sebutir telur yang harus dirabun diberi asap dupa, menyan dan garu. Dan dari
telur itu nanti akan dilahirkan seorang raja perempuan.
Pada esokkan harinya sesudah dia bangun, tamanggung tokio menuruti
pesan perempuan dalam mimpinya . sesudah 3 hari 3 malam telur itu
didupakan, maka terbelah dua lah buluh itu dan dari telur itu pecah pula dan
dilahirkan seorang bayi puteriyang cantik jelita. Anak itu sama sekali tidak
mampu menyusu, setelah berusaha dapatlah ia diberi makanan dengan susu
kerbau putih: lambat laun menjadi akil balig.
Puteri inilah yang diangkat jadi raja *(ratu pasir) , dan waktu ia berumur
15 tahun  ia telah dinikahnkan , tetapi malang sekali ia tidak mendapat
keturunan sihingga harus diceraikan beberapa kali.
Seterusnya sesudah kawin yang ketujuh kali , belum juga mempunyai
anak, kebetulan datang lah seorang arab dari jawa (gresik), terus dikawin kan
dengan sang puteri . orang yang dari gresik tersebut dicarinya dukun agar
membuang sari bambu yang ada pada sang puteri sehingga bisa melahirkan 2
puteri dan satu putera. Puetri yang tertua dikawinkan dengan seorang  arab
yang membawa agama islam dipasir (1600). Yang putera sesudah ibunda
mangkat, mengantikan duduk disingasana. Inilah cerita ringkas dari raja pasir,
yang berasal dari sebutir telur dan bersuamikan putera arab dari jawa.

b. Kesultanan Banjar (1526-1905)


Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk
Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan
darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultanan
wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan,
Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian
dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika
beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut
Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan
Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang
merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

c. Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan
cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin
Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari
(terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan
Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637,
tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan
Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis
tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin
pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan
keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu
kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran
sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan
wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin,
Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).

d. Kesultanan Sambas (1675)


Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir
utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo
(Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas
sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan
Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau
Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana
yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa
itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek
Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul
pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam.
Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat
dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini
tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di
wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M)
datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang)
yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu
melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh
pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan
Trenggono.

e. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura


Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak
Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di
Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali
eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya
dan adat Kutai Keraton. Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai
dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji
Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara
ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada
tanggal 22 September 2001

f. Kesultanan Berau (1400)


Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di
wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-
14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung
dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit
Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di
Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.[3] Sejarahnya kemudian pada
keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan
Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.Menurut Staatsblad van
Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-
afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-
Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8

g. Kesultanan Sambaliung (1810)


Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan
Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung
dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama
adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja
Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal
dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi
ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan
ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran
Dipati. Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara
keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat
terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan
insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari
Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma. Raja Alam
adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian
menjadi kerajaan Sambaliung).

h. Kesultanan Gunung Tabur (1820)


Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil
pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua,
yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-
an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung
Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.

i. Kesultanan Pontianak (1771)


Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh
penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif
'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia
melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari
Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin
(Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah
I).Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan
Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak
dari Belanda pada tahun 1779.

j. Kerajaan Tidung
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan
(Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara
Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di
Salimbatu.

k. Kesultanan Bulungan(1731)
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah
menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri
pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril
Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau
ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin
(1931-1958).

 PENINGGALAN SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


1) Keraton Kadriah (kota Pontianak)
Keraton Kadriah Pontianak merupakan pusat pemerintahan
Pontianak tempo dulu, struktur bangunannya terbuat dari kayu
yang sangat kokoh, didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie pada tahun 1771. keraton ini memberikan daya tarik
khusus bagi para pengunjung dengan banyaknya artefak atau
benda-benda bersejarah seperti beragam perhiasan yang digunakan
secara turun-temurun sejak jaman dahulu. Di samping itu, koleksi
tahta, meriam, benda-benda kuno, barang pecah belah dan foto
keluarga yang telah mulai pudar, menggambarkan kehidupan dan
kejayaan kerajaan ini dimasa lampau.

2) Keraton Amantubillah (Pontianak)


Mempawah, memilki beragam potensi wisata. Selain event
tahunan berupa acara robo-robo, mempawah juga memilki istana
Amantubillah, seni budaya, dan beragam   kuliner khas mempawah.
Nama Istana “ Amantubillah ” mempunyai arti, “ Aku beriman
kepada Allah ”. Istana yang didominasi oleh warna hijau ini
menempatkan tulisan “ Mempawah harus maju, malu dengan adat ”
pada pintu gerbang istana

3) Keraton Ismahayana (Kab. Landak)


Keraton Ismahayana Landak terletak sekitar 50 meter disebelah barat sungai
pinyuh yang membelah kota ngabang. Istana ini berupa rumah panggung khas
melayu Kalimantan Barat yang memanjang kebelakang dengan fondasi, lantai
dan dinding, serta atap sirap dari kayu belian sebagai bahan utamanya. Terdapat
beberapa koleksi peninggalan Kesultanan Landak yang tergolong sebagai
warisan budaya dan sejarah, diantaranya mahkota Sultan Landak, keris “si
kanyut”, sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan istrinya, duplikat
payung kebesaran Sultan, dua kipas raja, seperangkat gamelan, dan Al-Quran
kuno. Selain itu, ada juga artefak-artefak lain seperti meriam “si penyuk” dan
empat buah meriam lainnya, lontar silsilah raja dan sejarah singkat Kesultanan
Landak, foto-foto keluarga raja, bendera Kesultanan, serta perlengkapan upacara
perkawinan adat berupa timbangan kayu.

4) Keraton Surya Negara (Kab. Sanggau)


Dearah yang dikenal dengan julukan Bumi Daranante ini memilki banyak
keunikan. Baik beragam kekayaan alam, sejarah maupun pesona budaya
daerahnya. Seiring peradaban manusia, Kabupaten Sanggau juga mempunyai
peninggalan kebudayaan jaman keemasan masyarakat sanggau tempo dulu.
Ditandai dengan terdapatnya Keraton Surya Negara. Dari sejarah kerajaan 
sanggau  memerintah pada abad ke-18 dengan rajanya bergelar “Panembahan”.
Catatan seharah menyebutkan bahwa pertama kali Kerjaan Sanggau didirikan
oleh Daranante. Dia bukan asli Sanggau, namun berasal dari Kabupaten
Ketapang. Daranante kemudian menikah dengan Babai Cingak darui suku dayak
Sanggau  

5) Keraton Matan (Kab. Ketapang)


Matan yang berarti “Tanah Keselamatan”  merupakan kerajaan yang memilki
sejarah panjang. Kerajaan Matan ini merupakan saksi bisu perjalanan sejarah
masyarakat dan pemerintah Kabupaten Ketapang. Sekaligus dinasti terakhir
Kerajaan Tanjungpura beragama hindu yang pernah berdiri sejak abad 9. baru
setelah tahun 1451 raja-raja Tanjungpura memeluk agama islam dengan nama
Kerajaan Matan yang dipimpin raja pertama bercirikan islam yakni pangeran
Giri Kusuma. Koleksi unik terdapat di keraton ini adalah Meriam “Padam
Pelita” dan sepasang tempayan bersejarah.

6) Rumah Melayu (Kab. Ketapang)


Pada  arsitektur traditional melayu terkandung nilai budaya yang tinggi. Hal
ini terlihat dari bentuk bubungan yang tidak lurus. Tetapi agak mencuat ke
kanan dan ke kiri. Dapat disimpulkan bahwa para ahli pembuat rumah melayu
jaman dahulu telah memikirkan faktor keindahan pada bubungan rumah yang
mereka diami. Letak rumah melayu pada jaman dahulu menghadap ke arah
matahari terbit. Ini berarti mengharapkan berkah dan rahmat seperti halnya
matahari pagi yang bersinar cerah. 
7) Keraton Al Mukarramah (Kab.Sintang)
Sampai saat ini kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik.
Dihalaman istana, terdapat sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah
batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan
Sintang. Di serambi depan istana terpajang salinan Undang-undang Adat
Kerajaan Sintang yang terbuat pada masa pemerintahan Sultan Nata (disalin
ulang pada tahun 1939) serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan
Sintang. Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur tersimpan koleksi
meriam, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata.

8) Keraton Alwatzikhoebillah (Kab. Sambas)


Kuno tapi terawat dengan baik. Hijau dan sejuk. Begitulah kira-kira kesan
yang muncul ketika menginjakkan aki di istana Alwatzikhoebillah Kesultanan
Sambas ini, bangunan istana didominasi dengan warna kuning sebagai warna
khas melayu yang melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti.
Terdapat pula bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping  kanan istana
dan rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana. Pada sore
hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini yang eksotik,
apalagi di lihat dari atas perahu yang berjalan  perlahan-perlahan di atas Sungai
Sambas Kecil.

9) Rumah Adat Dayak Sebujit (Kab. Bengkayang) 


Rumah adat dayak sebujit yang bernama “Balug” ini terletak di kampung
sebujit kecamatan siding Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat ini
merupakan rumah adat dayak yang dimilki suku dayak Bidayuh. Khasanah
masyarakat dayak bidayuh menggambarkan kebersamaan dan sangat
menghormati setiap tamu yang datang. Benda-benda pusaka masih tetap
menjadi simbol keperkasaan dan manjadi kebanggan masyarakat sebagai
peninggalan leluhur yang harus tetap dijaga dan dihormati, sehingga ritual
upacara adat tetap dilaksanakan setiap tahunnya. Salah satu upacara yang
dikenal adalah upacara nyobeng yaitu upacara memandikan tengkorak manusia
untuk keselamatan kampung dari bencana maupun malapetaka yang mungkin
akan datang juga sebagai simbol penghormatan terhadap roh leluhur. 

10) Bangunan Leluhur Marga Chia Hiap Sin (Kota Singkawang)


Sebuah bangunan ala Tiongkok kuno terletak di belakang deretan bangunan
ruko baru Jl. Budi Utomo, Singkawang. Tepatnya rumah no. 37 ini berada di
ujung jalan menuju tepi sungai. Bangunan ini tampak masih kokoh berdiri
selama ratusan tahun hingga sekarang. Bentuknya yang mirip “Si he yuan”
(bangunan khas Tiongkok Utara) ini justru memberikan kesan bersahaja dan
sedikit kesuraman karena terkikis hantaman cuaca selama ratusan tahun.
Namun, rumah besar Hiap Sin ini merupakan bangunan ala kombinasi timur
barat satu-satunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di Singkawang.

11) Rumah Betang ( Rumah Adat Dayak Kalimantan Barat) 


Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan
sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu
dalam rumah tangga da masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan
bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari
gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka duka maupun mobilitas tenaga
untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di
rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga
yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan  yang mereka miliki.
Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai
suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar
belakang sosial.

6. Kerajaan Islam di Papua


Berdasarkan sumber tradisi lisan dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-
Sorong, Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal
datang ke daerah ini. Ada beberapa pendapat mengenai kedatangan Islam di
Papua. Pertama, Islam datang di Papua tahun 1360 yang disebarkan oleh
mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini juga berasal dari sumber lisan
yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw)
dan Raja Rumbati ke-17 (H. Ismail Samali Bauw). 
Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati dan
sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung
Rumbati tahun 1374. Kedua, pendapat yang menjelaskan bahwa agama Islam
pertama kali mulai diperkenalkan di tanah Papua di jazirah Onin (Patimunin-
Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh
Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada abad
pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur
sekitar 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya
di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda dan
Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang
telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan dengan cara
khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati,
kedua mubaligh akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan
tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
 Keempat, pendapat yang mengatakan Islam di Papua berasal dari Bacan.
Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan
mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti Sulawesi, Fiilipina,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas Arnold, Raja
Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah
tahun 1521. Pada masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-
pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati.
Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin
Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya dan para pedagang
muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama
Islam. Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli di
pedalaman masih tetap menganut animisme.
Kelima, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Papua berasal dari
Maluku Utara (Ternate-Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan
bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I)
memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua). Setelah tiba di wilayah Pulau
Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil
Patrawar putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi ).
Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama
Boki Tayyibah.
         Kemudian berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni
Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan
Kerajaan Waigeo Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses
Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-
15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan
Tidore). Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan
jalur perdagangan rempah-rempah (silk road)di dunia.
a. Kerajaan Waigeo
b. Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
c. Kerajaan Salawati(marga Arfan)
d. Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
e. Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
f. Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
g. Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
h. Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
i. Kerajaan Patipi
j. Kerajaan Arguni
k. Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
l. Kerajaan Kowiai/Kerajaan Namatota
m.Kerajaan Aiduma
n. Kerajaan Kaimana

BAB III
KESIMPULAN

Proses islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi
lebih merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa
yang akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan
berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang tertanam dalam
konteks
Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai
daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan
mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di
berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur
campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh
penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan
kepercayaan animisme.
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan
bangsawan maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai
sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan
bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai
kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991),
him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam
Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia – Prof Kong Yuanzhi
http://anwarmyla.blogspot.com/2013/10/teori-teori-masuknya-islam-di-indonesia.html
http://amaliaakusuma.blogspot.com/2012/11/sumber-sumber-masuknya-islam-di.html
http://www.artikelsiana.com/2014/11/sumber-sejarah-masuknya-islam-indonesia.html
http://sejarah-smu.blogspot.com/2013/11/akulturasi-kebudayaan-indonesia-dan.html
http://zulfanioey.blogspot.com/2008/12/peran-walisongo-dalam-penyebaran-islam.html
http://warbek-brutal.blogspot.com/2011/12/sumber-smber-berita-masuknya-agama-dan.html
http://prawirosoemitho.blogspot.com/2012/05/kerajaan-kerajaan-islam-di-sumatera.html
http://dianifan.blogspot.com/2012/11/kerajaan-islam-di-jawa.html
http://arif-aba.blogspot.com/2012/06/kerajaan-islam-di-maluku.html
http://www.seputarpendidikan.com/2014/11/kerajaan-kerajaan-islam-di-sulawesi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
http://anggitwildian.blogspot.com/2014/03/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html

Anda mungkin juga menyukai